Jumat, 17 Desember 2010

UNDANGAN OMONG-OMONG SASTRA 6 FEBRUARI 2011

Gairah bersastra sepertinya harus terus diasah. Memang, seperti peribahasa mengatakan, tak ada gading yang tak retak, tak ada tuyul yang tak botak. Dan, Ilmu memang harta kekayaan yang tak akan habis-habisnya. Maka, tunggu tanggal mainnya di rumah Idris Siregar Omong-omong sastra dilaksanakan.....

Rabu, 15 Desember 2010

Seputar Omong-omong Sastra (21 November 2010)

Geliat Sastrawan Muda di Omong-omong Sastra



ADALAH muskil – saat ini – sastra yang dimuat di sejumlah koran (surat kabar) tanah air mampu menarik minat para pembaca untuk menyantapnya terlebih dahulu ketimbang berita politik, ekonomi, atau olahraga. Lantas, masih perlukah sastra muncul di koran?



Seperti cabang seni lain yang mengalami perkembangan, sastra – dalam hal ini puisi dan cerpen – telah pula mengalami perkembangan yang amat pesat. Setiap tahun penyair-penyair dan cerpenis-cerpenis baru bermunculan – bak jentik di genangan air, hingga melahirkan beragam gaya pengucapan ataupun pola estetika yang cenderung aneh sekaligus segar menggairahkan. Hal ini sangat mengembirakan sekaligus mencemaskan. Mencemaskan? Ya, sebab, jangan-jangan (sedikit dari bagian kecurigaan saya) hal itulah yang mengakibatkan para penikmat karya sastra jadi kian enggan membaca puisi dan cerpen dalam koran.



Terlepas dari dibaca atau tidaknya puisi dan cerpen dalam koran, yang pasti sampai hari ini koran-koran di tanah air masih memberikan ruang bagi karya sastra – puisi dan cerpen – mutakhir. Begitu juga halnya koran-koran yang terbit di Kota Medan, masih rela memberikan ruang bagi karya sastra (ketimbang iklan-iklan yang tentu lebih menguntungkan). Namun, apakah karya-karya sastra – puisi dan cerpen – itu telah melewati proses seleksi yang “benar” (layak terbit)?



Itulah sedikit bagian dari isi paparan YS Rat pada acara Omong-omong Sastra (OOS) yang digelar Minggu (21/11/2010). Ini merupakan OOS kedua yang digelar dalam tahun 2010, di rumah sastrawan Hasan Al Banna, Griya Sakinah B7, Jalan Balai Desa, Bandar Khalifah, Medan Tembung.



Acara yang seharusnya diadakan dua bulan sekali ini sempat mengalami penundaan. Namun, berkat semangat para sastrawan, OOS kembali digelar. Sebelumnya, OOS dilaksanakan di kediaman Nina Zuliani, Jalan Gaperta Medan.



Kembali ke persoalan proses seleksi karya sastra dalam koran, menurut YS Rat – yang juga salah satu redaktur budaya – lemahnya proses seleksi di beberapa koran kerap kali memunculkan karya-karya sastra yang luput pada kaidah-kaidah penulisan. Oleh karena itu, makna-makna yang seharusnya mengena pada para penikmat sastra, justru menjadi tak jelas dan terkesan kabur.



Tak bisa dipungkiri, kelemahan-kelemahan beberapa redaktur budaya di sejumlah koran juga seringkali jadi pemicu munculnya karya-karya sastra plagiat. Ini tentu suatu hal yang mengkhawatirkan, apalagi terjadi pada saat gejolak sastra Sumatera Utara sedang menggeliat. Di sinilah sebenarnya peran penting redaktur-redaktur sastra (budaya) dalam proses penyeleksian karya yang “layak” terbit, hingga karya-karya yang muncul bisa menjadi pencerahan, baik bagi sastrawan maupun pembaca koran.



Ia juga menyatakan pentingnya pembinaan yang intens terhadap sastrawan-sastrawan muda – untuk menyebutkan sastrawan kelahiran tahun 1980 ke atas – Sumatera Utara saat ini. Sebab tanpa pembinaan yang “benar” maka sastrawan-sastrawan muda tak ubahnya seperti tunas-tunas di ladang yang tandus.



Tercatat ada sekitar 30 lebih sastrawan muda kelahiran di atas tahun 1980 yang pernah singgah di rubrik Rentak yang digawangi YS Rat. Sebut saja di antaranya Djamal, Sukma, Maulana Satrya Sinaga, Intan Hs, Wika Fitriana, Muhammad Pical Nasution, Irma Yanti Nasution, Wahyu Wiji Astuti, Dani Sukma, dan lain-lain. Inilah generasi-generasi yang akan melanjutkan dunia kesusastraan Sumatera Utara (Indonesia) ke zaman keemasannya kembali.



Selain YS Rat, OOS ini juga mendaulat Wika Fitriana sebagai pembicara. Wika merupakan salah satu sastrawan muda yang lahir di atas tahun 1980. Mengusung tema proses kreatif dalam karya sastra, Wika pun memaparkan sedikit proses kreatif yang selama ini ia lakoni. Walau terkesan sangat umum, namun pemaparannya mampu menghangatkan suasana diskusi bagi para sastrawan siang itu.



Acara OOS kali ini, yang dipandu Nina Zuliani, dinilai berhasil kembali menciptakan suasana akrab yang memang selalu jadi kegiatan nor formal itu. Tanpa ragu, Nina juga kerap memotong pembicaraan para sastrawan yang melewati batas waktu. Wajar saja, pasalnya bukan hanya satu-dua orang yang ingin bicara. Sebab, kapan lagi para sastrawan menyampaikan unek-unek yang bersarang di kepala mereka. Ya, namanya juga sastrawan, tentu hasrat berbicara sama besarnya dengan hasrat menulis. Lagipula, bukankah acara OOS ini sudah selayaknya jadi ajang bagi para sastrawan muda untuk berani tampil mengungkapkan pendapat.



Puas berdikusi dengan kedua pemakalah, acara dihentikan sejenak untuk melaksanakan salat zuhur, kemudian dilanjutkan dengan santap siang. Menu roti jala dan kari kambing yang disediakan tuan rumah benar-benar mampu menjadi penawar litak perut para sastrawan siang itu. Usai santap siang, acara dilanjutkan dengan pembicaraan agenda-agenda OOS yang sudah dibicarakan di pertemuan sebelumnya, seperti penerbitan antologi puisi, pembentukan STM (serikat tolong menolong), agenda OOS selanjutnya yang direncakan di rumah Idris Siregar di Tanjung Morawa, dan hal-hal lainnya seputar sastra.



Acara OOS kali ini juga dinilai berhasil membangun ikatan persaudaraan antar sastrawan. Selain dihadiri beberapa sastrawan senior seperti Norman Tamin, Sulaiman Sambas, Darwis Rifai Harahap, Damiri Mahmud, Jaya Arjuna, Mihar Harahap, M. Raudah Jambak, Yunus Rangkuti, juga ada para sastrawan muda dari beberapa komunitas seperti KOMPAK diwakili Dani Sukma, Wahyu Wiji Astuti, Rudi Saragih, komunitas Home Poetry diwakili Djamal dan penulis, serta FLP Sumut diwakili Sukma dan M.N Fadhli. Ini tentu kesempatan bagi sastrawan-sastrawan muda untuk menjalin keakraban dan bertukar pikiran dengan sastrawan-sastrawan senior Sumatera Utara.



Ke depan, diharapkan dari acara OOS akan muncul sastrawan-sastrawan yang menasional, bahkan mendunia, sehingga acara ini bukan untuk sekadar berkombur. (ilham wahyudi)

Selasa, 07 Desember 2010

Ben M Pasaribu, Penggiat Musik Tradisional Tutup Usia


Terus Bernyanyi Hingga Akhir Hayat
10:23, 07/12/2010
Terus Bernyanyi Hingga Akhir Hayat

Hari Senin (6/12), Etnomusikolog dan penggiat musik tradisional Ben Pasaribu menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit dr Boloni Jalan Mongonsidi Medan sekitar pukul 02.30 WIB. Komplikasi penyakit yang menggerogoti tak mampu mengalahkan semangatnya untuk menutup mata selama-lamanya.

INDRA JULI, Medan

Senandung pujian kidung rohani membahana dari rumah duka dimana jenazah Ben Pasaribu terbaring kaku. Seulas senyum tulus tersungging jelas di bibirnya. Meskipun begitu, perasaan kehilangan tak mampu menahan tangisan dari sana keluarga yang mengelilinginya. Sejak pagi pelayat pun tak kunjung berhenti menyampaikan ucapan bela sungkawa yang diikuti dengan penghiburan.

“Hari Minggu (5/12) nya, dia (Ben Pasaribu, Red) menelepon saya menyuruh untuk datang. Di situ saya lihat dia masih terus bernyanyi dan berdoa. Nyanyian rohani berbahasa batak. Setelah itu dia pun menutup mata sambil tersenyum seolah mengatakan dia sudah tenang,” ucap abang dari Ben Pasaribu, Mangatas Pasaribu yang ditemui di rumah duka Kompleks Diklat PU, Jalan Busi Medan, Senin (6/12).

Mangatas lalu menceritakan perjuangan panjang yang dilakukan Ben Pasaribu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Diawali pada gempa susulan Gunung Merapi Yogyakarta, pria kelahiran 10 Januari 1961 yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Yogyakarta ini mengeluhkan rasa sakit di punggungn
Dari pemeriksaan yang dilakukan, hal itu disebabkan adanya saraf yang terjepit. Saat menjalani pengobatan Ben kembali diserang keram di otot kaki.

Di dalam perjalanan menuju Unit Gawat Darurat, suami dari Ernita Panjaitan ini kembali didera serangan jantung. Tak tanggung-tanggung Ben mengalami penurunan berat badan yang drastis hingga 10 kilogram. Tubuh tinggi besar yang dulu dimilikinya seolah hilang hanya dalam sesaat, menyisakan sosok yang terbaring dengan senyum.
Keputusan keluarga menerbangkan Ben Pasaribu untuk berobat ke Penang pun tepat sehari sebelum penutupan bandar udara Yogyakarta dikeluarkan pemerintah. Di negara jiran itu pula keluarga mengetahui apa gerangan penyakit yang diderita bontot dari delapan bersaudara ini. Bukan, saraf yang terjepit, keram otot, atau serangan jantung yang selama ini disebut.

“Menurut pemeriksaan di Penang, awalnya disebabkan oleh adanya virus di tulang punggung. Namun karena sudah terlalu lama virus ini melalui darah masuk ke jantung. Tapi mereka juga menegaskan bukan virus ini yang menyebabkan kematian Ben. Tapi karena sudah menyebar ke seluruh tubuh,” papar Mangatas yang menyesalkan lambannya penanganan kesehatan di negara ini.

Dikarenakan kesibukan sang istri Ernita Panjaitan yang juga tengah menyelesaikan studi S-3 dan harus mengambil data doktoral ke Australia, keluarga pun memutuskan untuk membawa Ben kembali ke Kota Medan dan ditempatkan di Rumah Sakit Prof Dr Boloni Jalan Mongonsidi Medan. Semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk perawatan lanjutan pun didatangkan dari Penang.

Namun Sang Khaliq berbicara lain. Ben pun memperlihatkan tanda-tanda kepergiannya. Bahkan obat terakhir yang seharusnya dimasukkan Senin (6/12) pukul 09.00 WIB tak sempat lagi. Ben Pasaribu yang 10 Januari 2011 genap 50 tahun ini telah menghembuskan nafas terakhirnya pukul 02.30 WIB setelah sebelumnya menyanyikan kidung rohani dan berdoa. Keinginan untuk menerbitkan buku dari koleksi tulisan putrinya Mulan Pasaribu pun kandas.

“Hanya pesan terakhir saya diminta menjaga buku-buku koleksinya untuk putrinya Mulan. Pasalnya Mulan yang kini duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar ini memiliki hobi menulis dan sudah mengumpulkan banyak tulisan. Banyak juga komik yang sudah ditulisnya,” ucap dosen seni rupa Universitas Negeri Medan (Unimed) ini.

Bagi Mangatas, Ben adalah sosok yang selalu terbuka untuk membantu siapa saja. Kesibukannya yang tak kenal berhenti dalam menggelar pertunjukan musik kontemporer khususnya tradisi membuat sang abang menyebutnya ‘bandel’. Karena keteguhan sang adik dalam menggeluti musik tradisional dirinya lantas menyebut kepergian Ben Pasaribu sebagai kehilangan maestro musik kontemporer di tanah air.

Di kalangan akademis, Ben M Pasaribu juga dikenal sebagai sosok yang tegas dan objektif dalam penilaian. Meskipun begitu dirinya tetap bersedia membuka diri untuk membantu mahasiswa memahami materi yang diajarkan. Ben yang mengajar mata kuliah Filsafat Seni ini juga kerap dijadikan inspirasi bagi mahasiswa untuk belajar. “Pak Ben adalah guru, bapak, dan teman bagi mahasiswa. Dia selalu terbuka dan tak kenal lelah membantu kami untuk paham. Kadang dia yang bertanya kalau tidak ada mahasiswa yang nanya. Kami kehilangan sosok itu,” ucap mahasiswa jurusan seni musik Unimed, Muhammad Iksan Ramadan dan Khairil Syah yang datang melayat sore itu.

Ben M Pasaribu pergi meninggalkan seorang istri dan dua orang putri yaitu Mula Pasaribu dan Gita yang juga masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Selama hidupnya Ben selalu menciptakan karya yang berperan dalam mengangkat kesenian tradisional khususnya musik tradisional Batak tidak hanya di tingkat nasional juga internasional.
Salah satunya dengan mendirikan Medan Jazz Community dengan bermain sebagai arranger dan percussion. Bersama Medan Jazz Community, Ben pernah tampil pada hari pertama Java Jazz Festival 2009 mengusung warna musik free world jazz.

Dari karakter radikal dalam bermusik dari masing-masing personel, Ben berhasil memadukannya dengan musik jazz. Sebagai mediasi dipilih musik tradisional Batak yang memiliki karakter berbeda. Dari situ Medan Jazz Community pun menciptakan genre baru yang memperkaya warna musik tanah air yaitu free world jazz.

Sekalipun bergerak di bidang musik, Ben M Pasaribu juga memberikan perhatian di cabang seni lainnya. Tak heran sosok Ben sangat akrab di kalangan penggiat seni. Ya Kota Medan telah kehilangan. Selamat jalan Bang Ben. (*)

Jaya Arjuna – Kapsul


Judul: Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir
Editor: Korrie Layun Rampan
Penerbit: Bukupop, Jakarta
Tahun: Cetakan I, Februari 2009
Jumlah cerpen: 36 judul
Tebal: xi + 337 halaman

Daftar Cerpen:

Bagian 1 Cerpenis Laki-Laki

01. Agus Noor – Goyang Dangdut
02. Ahmadun Yosi Herfanda – Kolusi
03. Arie M.P. Tamba – Burung Biru
04. Bre Redana – Mencari Nina
05. Cecep Syamsul Hari – “Rendevouz”
06. Gus tf Sakai – Tukang Cukur
07. Gendut B. Riyanto – Rong
08. Harris Effendi Thahar – Si Malanca
09. Jaya Arjuna – Kapsul
10. Joni Ariadinata – Nekrofagus
11. Kurnia J.R. – Kesaksian Malam
12. Nadjib Kartapati Z. – Kalung
13. Pio Kristie Djelani – Rinai
14. Seno Gumira Ajidarma – Sukab & Sepatu
15. Sony Karsono – Insomnia
16. Sutarno Priyomarsono – Cakil Gugat
17. Tjendry Herianto – Bumi “China Town”

Bagian 2 Cerpenis Perempuan

18. Aan Almaidah Anwar – Rangkaian Melati
19. Anna M. Massie – Suatu Malam
20. Apri Swan Awanti – Suami Di Rumah Impian
21. A. Rahartati Bambang – While There’s Still Time
22. Dianing Widya Yudhistira – Rembulan Beku
23. Dorothea Rosa Herliany – Ikan-ikan Menggelepar
24. Etik Minarti – Nasib Sanggul Bu Colon
25. Lila Fitri Aly – Dua Orang Asing
26. Martha Hadimulyanto – Kenangan Pesta
27. Mona Sylviana – Dalam Ketika Legenda Malam
28. Nani Mulyani – Ketika Harus Memilih
29. Nenden Lilis A. – Oresteia
30. Nina Pane – Anak
31. Rainy M.P. Hutabarat – Terakhir Kali
32. Rani Rachmani Moediarta – Thea Giman
33. Ratna Indraswati Ibrahim – Tujuh Belas Tahun Lebih Empat Bulan
34. Ryke L. – Setelah Kelahiran
35. Sofia Trisni – Sebelum Hari Ini
36. Yatie Asfan Lubis – Taplak Krestik

OMONG-OMONG SASTRA DAN KOMUNITAS DI SUMUT

1. Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
KSI merupakan komunitas yang konsisten melahiran penulis-penulis berbakat, sebut saja Maulana Satrya Sinaga, Butet Benny Manurung, Embar T Nugroho, Sakinah Annisa Mariz, Adi Putra (Omadi Pamouz), dan masih banyak lagi. KSI dibawah manajemen bapak Idris Pasaribu selaku sastrawan senior yang telah melahirkan novel Acek Botak dan telah dicetak ulang. Komunitas ini terletak di Taman Budaya Sumatera Utara. Baru-baru ini Omadi Pamouz juga telah meluncurkan novel terbaru dengan judul Gethora, sedangkan sebelumnya Butet Benny Manurung meluncurkan novel remaja dengan judul Metamorfosis Gendis. Karya para anggotanya tersebar di berbagai media massa, seperti Harian Analisa, Medan Bisnis, Global, Sumut Pos, Waspada dan masih banyak lagi.

2. Komunitas Home Poetry (HP)
Komunitas HP digawangi oleh M. Raudah Jambak, memiliki simpatisan yang militan, agenda yang tiap tahun dilaksanakan antara lain lomba baca puisi yang dilaksanakan di Taman Budaya Sumatera Utara. Karya para anggotanya telah merajai berbagai surat kabar di medan dan luar kota.Seperti Hasan Al Banna, Ilham Wahyudi, Afrion, S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, M. Yunus Rangkuti, Djamal, Ahmad Badren Siregar, Saiful Amri, dll. Semboyan mereka LEBIH BAIK BERKARYA DARIPADA MENCELA.Even Komunitas HP

1. Mengikuti Temu Sastrawan I di Jambi (2007)
2. Memainkan 3 Judul Sinetron di TVRI Sumut (2009)
3. Baca Puisi 3 Penyair Sumut di Taman Budaya Sumut (2008)
4. Melaksanakan pelatihan Penulisan Puisi (2007)
5. Monolog “Teror” di Taman Budaya Sumut (2008)
6. Mengikuti Festival Film Pendek “Mencari Titik” (2009)
7. Melaksanakan Lomba Baca Puisi se-Sumatera Utara (2010)
8. Menerbitkan Buku Antologi Puisi “6 Penyair Urban” (2007)
9. Menerbitkan Buku Antologi Puisi “Laut Air Mata” (2008)
10. Melaksanakan Grafiti Contes (2008)
11. Lomba Baca Puisi Tingkat Pelajar se- Sumatera Utara (2009)
12. Diskusi Berkala
13. Pelatihan Cerita Anak Untuk Guru TK, SD se – Sumatera Utara (2010)
14. Kegiatan Partisipasi dan Kerjasama dengan kelompok lain
15. Pertunjukan Puisi 'KEPALA ATAU EKOR'karya Djamal(2010)
16. Berpartisipasi dalam Monolog 'CUBLIS'Hasan Al Banna (2010)
17. Berpartisipasi dalam pertunjukan Kolosal 'CINTA TANAH AIR'naskah/sutradara Raudah Jambak (2010)
18. Menampilkan monolog 'CELAH' Bunda Jibril (2010)
19. Kegiatan Temu Sastrawan Indoneisa I (Jambi), II (Bangka Belitung) III (Tanjung Pinang)
20. Dll.

3. Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK)
KOMPAK lahir dari kolaborasi aktivis kampus Universitas Negeri Medan (Unimed) yakni; Dani Sukma dan Rudi Hartono Saragih serta dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Budianto dan Sri Rizki Handayani, yang merasa tergugah untuk menghadirkan penulis dari kalangan mahasiswa agar bukan hanya sekedar menjadi akademisi tetapi juga harus bisa menjadi praktisi sastra. KOMPAK beranggotakan dari Unimed, UMSU, Universitas HKBP Nommensen, Insitut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Microskil.Karya anggotanya telah malang melintang di beberapa surat kabar medan, antara lain di Harian Analisa, Waspada, Medan Bisnis, dan Sumut Pos. Beberapa karya anggotanya juga telah masuk kumpulan antologi Cerpen dan Puisi, antara lain Antologi Cerpen CERMIN, Antologi Artefak Cerita Pendek Indonesia, Antologi [Mirip] Cerpen Para Penanti dan Antologi Puisi Suara Peri dan Mimpi. Beberapa nama anggota yang lekat berkarya antara lain Ria Ristiana Dewi (Unimed), Sri Rizki Handayani (UMSU), Erny Wirda Ningsih (Microskil), Budianto UMSU), Zuliana Ibrahim (UMSU), dan masih banyak lagi. Agenda yang dilaksanakan antara lain Pelatihan Kepenulisan, Pembacaan Puisi, Perlombaan Cipta dan Baca Puisi, Festival Cerita Pendek Se-Sumatera Utara. Memintal Kata Penuh Semangat, Merajut Karya Penuh Martabat merupakan falsafah komunitas ini. Komunitas ini terletak di Taman Budaya Sumatera Utara. Selain aktif dalam bergiat menulis di media massa, prestasi juga tergurat diberbagai pentas lomba baik antar kampus maupun tingkat Sumatera Utara. Komunitas ini dibina oleh sastrawan berjiwa muda, abangnda Afrion dan di bawah perlindungan sastrawan nasional Drs. Antilan Purba, M. Pd

4. Komunitas Penulis Muda Sumatera Utara
Komunitas maya ini digagas oleh Maulana Satrya Sinaga, di dalamnya dihimpun penulis-penulis muda yang berniat menunjukkan dedikasi dan atensi terhadap dunia sastra. Walau di dunia maya, namun selalu berupaya mencipta komunikasi antar anggota sehingga informasi kebudayaan dan sastra tetap menjadi menu pilihan utama untuk disajikan dalam komunitas ini.

5. Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya (KOMA) UMN Al-Washliyah Medan
Walau terbilang baru, KOMA UMN Al-Washliyah telah menunjukkan kiprahnya dalam belantika sastra di Sumatera Utara, terbukti prestasi demi prestasi telah tergurat atas nama komunitas ini. Di antaranya Juara pertama lomba baca puisi cinta HUT harian Globa 2010, Juara ketiga lomba cipta cerpen HUT Harian Global 2010, Juara pertama lomba baca puisi AMUK Teater LKK Unimed 2010, Juara pertama lomba baca puisi Komunitas Poeisi Unimed, dan lain-lain. Komunitas ini digagas oleh Muhhammad Anhar Husyam dan Lilik Suryadi (EL-Surya). Selain meramaikan jagad perlombaan sastra, Komunitas ini juga militan dalam berkarya di media massa, karya anggotanya termuat di beberapa media massa, seperti Harian Medan Bisnis dan juga menembus ketatnya Kompas.Com.

6. Komunitas Poeisi Universitas Negeri Medan (KOMPOEI Unimed)
KOMPOEI Unimed merupakan komunitas yang menerjunkan diri dalam totalitas menelusuri lekuk demi lekuk tubuh puisi. Agenda rutin yang menjadi ciri khas komunitas ini adalah pelatihan membaca puisi, sehingga para anggotanya dibekali kekuatan dalam menunjukkan kualitas pembacaan puisi. Karakter penampilan dan keberanian dalam menghadapi tantangan setiap tampil sastra baik itu untuk perlombaan atau pengabdian benar-benar tercermin dalam komunitas ini, yang luar biasa perlatihan baca puisi dalam komunitas ini langsung di bina oleh Sastrawan Nasional Drs. Antilan Purba, M. Pd. Tak heran bila angguk decak tersemat saat para anggotanya yang aktif mengikuti perlombaan sastra selalu memboyong piala, antara lain; Juara 1 lomba baca puisi AMUK Teater LKK Unimed 2009, Juara 1 Lomba Baca Puisi Komunitas Home Poetry 2009, Juara 2 Lomba Baca Puisi Amuk Teater LKK Unimed 2010, Juara 2 Lomba Baca Puisi HUT Harian Global 2010, dan masih banyak lagi presatasi yang tertoreh komunitas yang saat ini diketuai oleh Syafaruddin, Mahasiswa angkatan 2008 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed.

7. Komunitas Mahasiswi Pecinta Sastra Indonesia (KOMPENSASI)
Yang menarik dari Komunitas ini adalah anggotanya khusus untuk para wanita. Sepertinya gelora yang dihujamkan Raden Ajeng Kartini melekat di komunitas ini. Hanya saja komunitas ini masih terbilang muda, akan tetapi beberapa anggotanya telah mampu menembus media massa. Komunitas Ini digagas mahasiswi Unimed angkatan 2009 yang meyakini bahwa usia muda bukan halangan untuk berkarya. Dengan motto; Nurani Wanita Nurani Cinta Karya, membuat komunitas ini terpacu untuk bersaing dengan komunitas yang lebih dahulu muncul dalam belantika sastra di Sumatera Utara.

8. Komunitas Tanpa Nama (KONTAN) Unimed
Gila! mungkin kata ini layak dilekatkan dalam komunitas ini, bagaimana tidak, komunitas ini baru terbentuk di awal bulan Agustus 2010 dan hanya beranggotakan sepuluh orang yang kesemuanya mahasiswa stambuk 2010 (mahasiswa baru) Unimed. Namun, walau terbilang baru karya para anggota telah tembus di beberapa surat kabar, seperti Medan Bisnis, Analisa dan Waspada.Inilah terobosan sekaligus kenekadan para mahasiswa yang berprinsip kedewasaan bukan hanya ditentukan dari segi usia, tetapi juga dari segi kematangan berpikirnya. Tetapi kegilaan mereka layak kita apresiasi, sebab yakin dan percaya komunitas ini akan mampu bersaing dalam kancah sastra.

9. Komunitas Garapan Pemuda Tahan Lapar (GARPUTALA)
Komunitas ini digawangi empat sekawan Rudi Hartono Saragih (Mahasiswa Berprestasi Universitas Negeri Medan 2010, Dani Sukma A. S (Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Sumatera Utara), Khairul Anam (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed), dan M. Irsyad Sungkunan Lubis (Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed). Sesuai dengan nama komunitas, maka komunitas ini -mungkin- satu-satunya komunitas yang memproklamirkan bahwa miskin harta tidak harus menjadi hambatan untuk miskin karya, sebab kualitas hidup dan kehidupan setiap orang bukan hanya ditinjau dari materi tetapi juga dedikasi untuk menggapai prestasi. Terbukti, lewat Komunitas GARPUTALA lahir para pakar organisatoris dengan beragam prestasi akademis, antara lain mengantarkan Rudi sebagai duta Mahasiswa Berprestasi Se-Unimed dan bertanding dikancah mahasiswa berprestasi tingkat nasional. Selain itu, Dani Sukma A. S juga mampu menduduki struktur wakil ketua HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Sumut, dan pada akhirnya Rudi dan Dani juga mampu menjajah ibukota Jakarta sebagai duta Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Sumatera Utara dalam Program Hibah Kompetisi Assosiasi Profesi Mahasiswa (PHK APM) 2009 dan berhasil meraih dana hibah untuk kegiatan pengembangan sastra bagi mahasiswa sebesar 38.500.000 (Tiga Puluh Delapan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Kiprah GARPUTALA tak berhenti sampai di situ, pada tahun 2010 ini, Khairul Anam dan M. Irsyad Sungkunan Lubis (Ketua dan Wakil Ketua HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed) juga mampu meneruskan tradisi dengan merebut PHK APM 2010 dan lagi-lagi dua sejoli ini mejadi kampiun sebagai duta Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Sumatera Utara dan mendapat dana hibah sebesar 25.000.000 (Dua puluh lima juta rupiah) untuk melaksanakan kegiatan berbasis sastra bagi mahasiswa. Selain Prestasi tersebut, Rudi dan Dani juga aktif menulis, karya mereka telah di muat dalam berbagai buku Antologi Cerpen dan Puisi serta dimuat dibeberapa surat kabar, demikian pula dengan Khairul Anam dan M. Irsyad yang terus berlomba bahkan perang antar saudara untuk berkarya demi komunitas GARPUTALA.

NB:
Sebenarnya masih banyak Komunitas lain yang belum mampu didedeteksi, akan tetapi semoga Komunitas di atas bisa dijadikan referensi bagi para generasi cinta karya untuk melabuhkan proses pertapaan karya dan berguru kedalaman ilmu, silahkan pilih dan tentukan mana yang terbaik untuk dijadikan rujukan dalam proses berkarya.

Cerpen YS Rat

SIAPA MEMBAWA AGAM DAN INONG

Bingung Agam dan Inong begitu tersentak dan menyadari tubuh mereka terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Masing-masing bangkit, duduk dan selintas saling pandang tanpa berujar sepatah kata pun. Anak lelaki dan perempuan berusia sekitar lima tahun itu sama-sama tak mengerti mengapa di tanah bergelimang lumpur di hadapan mereka juga banyak orang berbaring.
Agam dan Inong mengira, seperti juga mereka, orang-orang yang berbaring itu tak lama lagi pasti akan bangkit. Tapi, setelah ditunggu hingga lewat tengah hari, ternyata tak satu pun di antara mereka yang bangkit. ''Mungkin mereka kelelahan. Kasihan kalau sampai malam tertidur di sini. Aku harus membangunkan mereka.''
Pikiran kanak-kanak Agam menerka sambil melangkah menghampiri tubuh-tubuh yang terbaring itu. Nyata di penglihatannya, lumpur menyelimuti tubuh-tubuh tersebut sehingga tak bisa dia mengenalinya. Inong pun, yang tanpa bicara mengikuti apa yang dilakukan Agam mendapati kenyataan sama.
Perlahan-lahan Agam dan Inong berjongkok serta mengamati sosok tubuh yang terbaring di dekat mereka secara seksama. Dengan sangat berhati-hati keduanya menggoyang-goyang sosok tubuh tersebut. Tak ada reaksi. Sekali lagi mereka coba, tetap saja tanpa reaksi. Ke sosok tubuh lainnya mereka beralih, hasilnya sama saja. Ke yang lainnya lagi, tetap tak ada beda. Terus, bergantian dari satu sosok tubuh ke sosok tubuh lainnya. Hanya lelah yang didapat.
Agam memutuskan mencari tempat untuk beristirahat. Sambil memejamkan mata, dia duduk bersandar pada batang sebuah pohon besar di dataran yang agak tinggi. Tak sedikit pun dia hirau terhadap Inong yang tetap mengikutinya dan melakukan seperti yang dia lakukan.
Dalam diam dan memejamkan mata, ingatan Agam berpulang kepada peristiwa yang tadi dirasakannya bagaikan mimpi, hingga akhirnya dia tersentak dan mendapatkan dirinya terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Tak tau dia kenapa tiba-tiba tubuhnya terbujur dan terapung-apung di tengah laut yang maha luas, tanpa sedikit pun membersit rasa takut meskipun di kemahaluasan laut hanya ada dirinya. Malah, air laut yang mengombang-ambingkan tubuhnya dia nikmati layaknya sedang bermain ayunan.
Bersamaan dengan usainya perulangan kenangan itu di benaknya, Agam kembali membuka matanya. Begitu pula Inong yang berada di sebelahnya, tanpa sepengetahuan Agam ternyata juga mengalami hal serupa. Seketika, secara bersamaan kedua kanak-kanak itu saling pandang dan heran.
"Wajahmu penuh lumpur," ujar Inong kepada Agam."Wajahmu juga berlumpur," balas Agam sembari bangkit dan bergegas menuju genangan air di dataran yang rendah, diikuti Inong di belakangnya. Begitu sampai, keduanya membersihkan wajah masing-masing dengan air yang sungguh sangat tak bersih itu. "Inong?!""Agam?!"Terperanjat. Agam dan Inong sama menyapa setelah bisa saling mengenali. Kemudian, di dalam diri masing-masing membuncah pertanyaan demi pertanyaan, berbaur dengan kebingungan yang menggumpal. Apa yang telah terjadi? Dimana ayah, ibu dan adikku? Kemana aku harus berjalan untuk kembali ke rumah dan bertemu dengan mereka? Apa ini yang dibilang kiamat, seperti yang sering diceritakan ayah? Kalau memang kiamat, kenapa kami masih hidup?
Selain berjibun sosok tubuh orang-orang yang terbaring bergelimang lumpur, sisa-sisa bangunan menghadang tatap mata kedua bocah yang selama ini tinggal bersebelahan rumah itu. Di antaranya tinggal puing dan tak sedikit yang telah rata dengan tanah. Pada arah terbenamnya matahari, hanya tampak hamparan tanah membentang maha luas berbatas kaki langit. Seolah ada tenaga gaib yang menggerakkan tangannya, Agam segera meraih tangan Inong dan menggandengnya berjalan ke arah tersebut. Inong pun tak menolak.
Telah entah berapa jauh jarak ditempuh. Sama sekali tak terbersit keinginan untuk berhenti. Terus dan terus berjalan, tanpa secuil pun hinggap rasa lelah, juga tak sebutir pun peluh menempel di tubuh. Bahkan, gumpalan pertanyaan berbaur kebingungan yang sempat mendera tak bersisa sepenggal pun. Berganti dengan kedamaian yang datang dan menyeruak memenuhi relung hati Agam dan Inong.
Namun, tiba-tiba tatap mata Agam menangkap sesuatu yang dirasanya aneh. Segera dia menghentikan langkah sambil tetap menggandeng tangan Inong. Di hadapannya, jauh di batas kaki langit, tampak sebuah titik hitam muncul. Inong pun menyaksikan hal yang sama. Di samping titik hitam itu, muncul lagi satu titik hitam yang lain. Satu lagi bertambah di sebelah titik hitam kedua. Satu lagi di samping yang ketiga dan satu lagi di sebelahnya. Masih juga bertambah di samping yang keempat, di sebelah yang kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan seterusnya dan seterusnya. Terus pula Agam dan Inong mengarahkan tatapannya mengamati pertambahan titik-titik hitam itu, hingga akhirnya menyatu di batas kaki langit.
Perlahan-lahan seluruh titik hitam bergerak naik, mewujud garis tegak lurus, membentuk sebuah lingkaran dan mendesak ke depan. Nyatalah, pemandangan yang semula tampak aneh itu merupakan sosok orang saling berpegangan tangan satu sama lainnya. Semakin nyata pula, lingkaran sosok orang yang tak terhitung jumlahnya, yang sekarang telah teramat dekat dengan Agam dan Inong, semuanya berusia dewasa.
Menghadapi kenyataan itu, Agam dan Inong tak bergeming. ''Jelas sekali, kedua bocah inilah yang dimaksudkan petunjuk yang kita dapatkan itu. Karena, menurut petunjuk itu tinggal ada dua bocah di dunia ini. Laki-laki dan perempuan. Sekarang kita sudah mendapatkannya.''
Agam dan Inong tak hirau dengan apa yang dikatakan salah seorang di antara orang-orang berusia dewasa itu.''Kalau begitu kita harus segera menyelamatkan kedua bocah ini sebelum terlambat,'' usul yang lainnya.''Ya, sebelum malam tiba semuanya sudah harus selesai,'' timpal yang lainnya lagi mengingatkan.Seorang yang tampak lebih tua dari yang lain melanjutkan.''Terlebih dahulu kami mohon maaf. Berdasarkan petunjuk yang kami terima, kami harus menemukan sekaligus menyelamatkan dua orang bocah yang masih tersisa. Menurut petunjuk tersebut, kalau kalian tidak kami selamatkan, bahaya maha dahsyat akan memporak-porandakan perjalanan umat manusia menuju alam keabadian.''Orang itu menarik nafas sejenak.''Petunjuk itu juga menyebutkan, jika kalian dibebaskan melangkah sesuka kalian, pada akhirnya rasa rindu untuk memiliki teman, sahabat atau bahkan pendamping akan mendera hati kalian. Rasa rindu itu awalnya sekadar membujuk, tapi lama kelemaan akan memaksa diri kalian masing-masing untuk memenuhinya. Lantas, begitu kalian sama-sama berhasil memenuhi rasa rindu itu, saat itulah bahaya maha dahsyat akan memulai aksinya. Romantisme yang ada di lubuk hati kalian akan membuat kalian tak mampu membebaskan diri dari penjara kehendak sosok yang awalnya kalian butuhkan sebagai teman, sahabat atau pendamping tersebut.''
Kali ini lebih panjang, kembali orang itu menarik nafas.''Pada akhirnya kalian pun berkomplot dan membelokkan perjalanan umat manusia dari menuju alam keabadian kepada perjalanan tak berbatas serta tanpa kepastian. Kalian akan membelokkan perjalanan umat manusia ke arah yang dilumuri pertumpahan darah tanpa ada yang berani mencegah. Karena, setiap yang berusaha mencegah pasti akan dibenamkan ke dalam kolam darah. Jadi, sekali lagi maafkan kami. Kami harus menyelamatkan kalian, demi keselamatan umat manusia hingga sampai ke alam keabadian.''
Agam dan Inong tetap saja diam. Lingkaran orang-orang berusia dewasa itu perlahan-lahan menyebar dan mengelilingi kedua bocah itu. Serentak mereka merapat, dengan cepat memberangus Agam dan Inong.
Mendadak, bumi yang hanya hamparan tanah maha luas berbatas kaki langit bergoyang. Perlahan-lahan. Sedikit kencang. Bertambah kencang! Semakin kencang! Teramat kencang! Maha kencang! Hingga, langit maha tinggi serasa sejengkal di atas kepala.''Bum! Bam! Dum! Dam! Dor!''
Rubuh! Lenyap! Apa yang ada menyatu dengan tanah. Ini yang kesekian kalianya. Semua berawal dari entah siapa membawa Agam dan Inong entah kemana.
[Medan, 17 Februari 2005]]

Jumat, 05 November 2010

Biografi Sutan Takdir Alisjahbana


Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 - Jakarta, 17 Juli 1994), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).

Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).

Masa Kecil

Ayah STA, Raden Alisyahbana Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepakbola yang handal. Kakek STA dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas, dan di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.

Keterlibatan dengan Balai Pustaka

Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

Karya-karyanya

* Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
* Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
* Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
* Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
* Layar Terkembang (novel, 1936)
* Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
* Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
* Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
* Pelangi (bunga rampai, 1946)
* Pembimbing ke Filsafat (1946)
* Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
* The Indonesian language and literature (1962)
* Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
* Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
* Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
* Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
* The failure of modern linguistics (1976)
* Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
* Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
* Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
* Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
* Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
* Kalah dan Menang (novel, 1978)
* Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
* Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
* Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
* Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
* Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
* Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
* Sajak-Sajak dan Renungan (1987).


Buku yang dieditorinya: Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).


Terjemahannya: Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).

Buku mengenai STA: Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999) dan S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006).

Penghargaan

Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.

STA adalah pelopor dan tokoh “Pujangga Baru”.

Lain-lain

Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.

Kamis, 04 November 2010

Semaraknya Sastra Sumut Jangan Dibiarkan Redup

Mochli’s

SAYA merasakan duka kian dalam dengan berpulangnya Aldian Aripin. Semua orang tahu, juga mungkin mengakui, Aldian Aripin ini termasuk sastrawan yang andalan di Medan, katakanlah Sumatera Utara. Dengan tiadanya lagi sastrawan yang satu ini, sedikit banyak memberi pengaruh pada perkembangan dunia sastra di daerah ini yang menurut hemat saya tidak lagi berkembang seperti yang diharapkan di masa-masa belakangan ini.

Maafkan, jika pendapat saya ini keliru. Namun cobalah simak secara jujur perkembangan atau katakanlah aktivitas sastra di daerah kita terasa benar telah begitu melorot ke titik rendah. Setelah “presiden puisi” N.A.Hadian, juga Herman Ks, Lazuardi Anwar, Rusli A. Malem, Prof.M.Samin Siregar mendahului kita semua. Memang bukan hanya mereka yang mampu mengembangkan sastra di Medan/Sumut, justru masih banyak lagi sastrawan di daerah ini yang berkaliber unggulan.

Tetapi bagaimanapun juga karya, peran, kiprah maupun aktivitas mereka sedikit banyak mewarnai sastra di daerah ini. Menyemarakkan, menumbuh-kembangkan, menebarkan sinar terang sastra Medan yang dikenal sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia.

Sedihnya, sudah sejak beberapa waktu belakangan ini semaraknya itu meredup. Sinar terang hampir-hampir padam. Tumbuh-kembang itu seolah mandeg ! Mengapa dan kenapa ? Saya tak tahu pasti. Yang saya tahu di Medan ini masih ada sastrawan yang sudah punya nama besar. Ada Damiri Mahmud, ada Afrion, Raudah Jambak, Darwis, Z.Parlindungan Lubis, ada Hasan Al Bana, Zatako, ada, ada, ada ah cukup banyaklah. Lalu jangan lupa ada juga Idris Pasaribu si Acek Botak,

Memang tidak ada seperti Andrea Hirata yang produktif dan sangat terkenal. Tetapi mereka adalah orang-orang potensial dalam bidangnya, sastra. Ini tidak dapat dimungkiri kalau kita mau jujur. Lalu masih ada lagi, meskipun aktivitasnya sehari-hari adalah dosen, Guru Besar, yakni Prof.Dr.M.Solly Lubis, namun perhatiannya cukup besar terhadap sastra.

Bahkan juga turut berkarya menulis puisi (ingat bukunya “Safari”), dan selalu turut dalam berbagai aktivitas sastra, juga Ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara Shafwan Hadi Umry, walaupun sibuk juga sebagai dosen toh mereka tidak dapat “disisihkan” begitu saja. Mereka juga punya peran. Mereka juga berjasa dalam bidang sastra.

Juga di Medan ini masih ada sastrawan masa lalu dan pernah jaya di zamannya. Hanya zaman mereka sudah berlalu. Sepertinya juga mereka sudah lupa pada dunia yang dulu pernah mereka geluti dan cintai. Mereka adalah Bokor Hutasuhut dan Ali Soekardi. Usia senja juga membuat mereka sudah kehilangan kemampuan.

Suatu hal yang tak mengherankan, ini alami. Yang mengherankan justru rekan-rekan sastrawan yang punya nama besar, dan masih potensial dan punya tenaga, kok sepertinya “terhenti”. Sekali-sekali mereka masih muncul di ruang budaya koran. Hanya saja karya mereka seolah-olah tertumpu hanya pada esai. Mungkin hanya Hasan Al Bana yang terasa daya kreatifnya berbentuk cerpen yang muncul di koran Ibukota. Teruskan, Bung.

Idris Pasaribu yang menurut hemat saya masih berpotensi dan kreatif, namun waktunya sudah habis disedot mengurusi ruang Seni dan Rebana setiap minggunya. Lebih disayangkan lagi, justru ruang budaya koran pun sudah tidak banyak lagi, kecuali Analisa yang masih tetap mempertahankannya sampai sekarang.

Menurut sejarahnya Rebana sudah seumur korannya, 37 tahun dengan pengasuh yang saling berganti dari Ali Soekardi, Dhalika Tadaus, Zakaria M.Pase, Buoy Hardjo dan sekarang Idris Pasaribu.

Tentu saja yang tidak boleh dilupakan sekarang ini cukup banyak muncul penulis generasi muda. Sastrawan remaja. Umumnya mereka berkarya dan mengisi berbagai ruang yang sesuai dengan usia dan dunia mereka : remaja. Banyak mereka yang berbakat. Punya masa depan yang bagus dapat menggantikan generasi yang beranjak tua. Hanya saja mereka masih harus banyak berkarya dan berlatih. Malahan juga perlu pembinaan dari yang tua-tua.

Diperhitungkan Kembali

Kembali pada perasaan saya yang mungkin benar, mungkin juga tak tepat, bahwa semarak sastra di Sumut memudar, gaungnya hampir tak terdengar lagi, barangkali tidaklah salah jika mendapat perhatian mereka-mereka yang masih punya semangat dan potensi di bidang sastra ini. Ya, kaum sastrawanlah. Atau dari kampus-kampus yang berseni-budaya. Atau juga organisasi, badan yang bergerak di bidang sastra ini.

Bekerjasama dan sama-sama bekerja menumbuh-kembangkan sastra agar Medan/Sumut diperhitungkan kembali, rasanya jauh lebih baik daripada bersaing secara tidak sehat. Dewan Kesenian Sumut (DKSU) mungkin perlu dibenahi secara benar dan berperan secara benar pula.

Setahu saya DKSU ini terlalu malas bekerja memajukan kesenian daerah ini, maupun memberikan penghargaan pa-da seniman/budayawan yang pantas diberi penghargaan. Lagi pula suatu organisasi kesenian sewajarnyalah dikelola oleh seniman/budayawan yang berkemampuan, jangan pula dijadikan semacam organisasi berstrukturisasi gaya organisasi pemerintah. Jangan, dong !

Jangan dibiarkan sinar sastra di Medan/Sumut terus meredup. Jangan sampai kenyataan ocehan orang, bahwa sastra di Padang’ dan Pekanbaru lebih semarak dan menentukan. Kita juga seharusnya bisa. Walaupun dulu, ya dulu dulu, pernah dikenal sebagai “sastra picisan” namun nama Medan pernah berkibar, jaya dan harum.

Sekarang pun Medan harus kembali namanya berkibar, jaya dan harum dengan sastra yang berbobot, yang diperhitungkan, tidak kalah dari Jakarta, atau Yogjakarta. Karena potensinya ada. Asal, asal mau menjauhi “penyakit hati” : benar sendiri, hebat sendiri, puas sendiri. Sombong, ah !

Sekarang ini hampir-hampir tidak ada badan resmi, organisasi, atau apalah namanya yang memberikan penghargaan yang memadai kepada sastrawan yang karyanya bagus dan pantas dihargai. Baik sastra berbahasa nasional, maupun berbahasa daerah. Padahal di daerah kita ini, Sumatera Utara, ada delapan etnis yang memiliki atau kaya dengan seni budayanya termasuk sastra. Dulu ada sastra Batak, Opera Batak, kesenian Karo, Mandailing dan lain sebagainya yang khas dan bagus.

Bahkan dulu di tahun 1970-an ada badan BKKW (Badan Koordinasi Kesenian Jawa) Sumatera Utara yang aktif mengadakan pagelaran kesenian Jawa. Malahan pernah mengadakan Festival Pedalangan se Sumatera Utara.

Dalam festival tersebut bertandinglah para dalang wayang kulit dengan juri dalang terkenal dari Jawa. Dan apa hasilnya ? Yang keluar sebagai Juara I Dalang, ternyata orang Karo.

Bayangkan yang dilombakan dalang wayang kulit berbahasa Jawa (bahasa pewayangan yang berkelas tinggi), ternyata yang jago dan menang orang Karo (sejak kecil dia senantiasa tinggal di tengah masyarakat Jawa). Namun satu bukti, satunya bangsa ini, bangsa Indonesia, walaupun terdiri dari berbagai suku. Namun lewat kebudayaan, lewat kesenian mereka lebih kuat kesatuan dan persatuan.

Sastra Lokal

Saya jadi teringat pada sastrawan, dosen tanpa ijazah, Ajip Rosidi asal dari Jawa Barat tapi kini tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Dia punya yayasan bernama Rancage (artinya aktif kreatif) yang setiap tahun memberikan penghargaan kepada sastrawan lokal yang terbaik dengan karyanya terbagus.

Tentu sastra dalam bahasa daerah, yang pada mulanya dulu diberikan kepada sastrawan Sunda bernama Yus Rusyana dengan cerpennya Jajaten Minggan Papasten (Keberanian Menghadapi Takdir). Tapi Rancage kini telah berkembang, bukan sastra Sunda saja, tetapi juga sastra Jawa dan Bali yang terbaik diberi penghargaan.

Penghargaan itu juga dibarengi hadiah uang. Dan semua biayanya keluar dari kantong Ajip Rosidi, yang pernah mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Jepang. Di Medan/Sumut kita belum memiliki sastrawan seperti ini. Entah nanti di belakang hari, ada sastrawan yang sudah mapan karena merangkap misalnya sebagai Guru Besar yang punya keikhlasan dan kemampuan mencontoh Ajip Rosidi, meskipun mungkin secara kecil-kecilan.

Atau ada badan khusus yang serius mau mengembangkan dan menghargai sastra dan sastrawan-nya, agar sastra Sumut kembali semarak (ya, jangan ada badan resmi dijadikan ajang senang sendiri). Insya Allah, moga-moga sastra di Medan/Sumatera Utara tidak lagi redup, ”tapi bangkit semarak dan diperhitungkan di Tanah Air.
***

Selasa, 19 Oktober 2010

Mau Dibawa ke Mana Sastrawan Medan?

Lalu, hingga Mei 2010 ini terbitlah dua buku bunga rampai sastra yang menjadi perbincangan seniman, khususnya di Kota Medan dan Jakarta. Buku pertama berjudul ‘Akulah Medan’ dan buku kedua dilabel ‘Ini Medan Bung’. Hal ini sejatinya wajib diapresiasi positif andaikan masing-masing buku tersebut menawarkan kelebihan tersendiri.

Oleh: Ramadhan Batubara

Masalahnya, isi kedua buku itu nyaris sama. Mubazir. Dan, di dalam otak saya yang tidak seberapa ini, mengemuka pertanyaan yang harus mendapat jawaban; ada apa dengan sastrawan Medan? Mengapa terbit dua buku yang isinya nyaris sama? Sementara, masih banyak sastrawan Medan lainnya yang bisa dirangkum dalam kumpulan tersebut?
Saya jadi teringat dengan Dearmando Purba. Ya, beberapa waktu lalu saya dan Kadis Perhubungan Kota Medan itu terlibat perbincangan yang menarik soal lalu lintas di kota tercinta ini. Ujung-ujungnya mengarah kepada kemacetan. Saya pancing Purba dengan pertanyaan sederhana, “Kok macet?” Dan, Purba menjawab dengan santai tapi serius, “Pertumbuhan kendaraan di kota ini mencapai lima belas persen per tahun, sementara pertumbuhan badan jalan kau tahu berapa? Hanya satu pesen!”

Nah, kalimat Purba ini tiba-tiba keluar dalam otak saya dan memaksakan tangan saya untuk menuliskannya. Kata kuncinya adalah pertumbuhan.

Sederhananya begini, disepakati atau tidak disepakati, geliat sastra di Kota Medan mulai menunjukkan gerak. Telah bermunculan penulis-penulis baru, namun ruang untuk mereka berkarya tetap tidak berubah. Contohnya media, Medan dikenal sebagai kota dengan seribu koran, namun berapa korankah yang menyediakan ruang bagi penulis Medan untuk berkarya? Adakah majalah yang fokus untuk memajukan sastra Medan? Atau, adakah ruang lain yang bisa memanjakan seniman Medan untuk memublikasikan karyanya? Bak jalan yang itu-itu saja, kendaraan yang semakin banyak memunculkan macet yang tak terkira. Bah, mau dibawa ke mana sastrawan Medan ketika tak ada ruang untuk mereka berkarya?

Kenyataan ini menjadi menarik ketika ada dua buku terbit namun isinya nyaris sama. Ya, ‘Akulah Medan’ dan ‘Ini Medan Bung’ tadi. Ayolah, ketika penerbitan buku kumpulan sastrawan Medan minim, ada pula kumpulan orang dengan pongah menerbitkan dua buku yang isinya nyaris sama. Teja Purnama, penyair yang judul sajaknya diambil menjadi judul buku ‘Akulah Medan’ pun bingung. “Waduh, aku juga tak tahu kenapa bisa kayak gitu, Bung. Yang kutahu, untuk buku ‘Akulah Medan’ saja,” katanya.

Ini dia masalahnya, ketika karya dicomot dan dipublikasikan tanpa sepengetahuan si pembuat karya, maka bisa berbahaya kan? Ini sudah melanggar kekayaan intektual; hak cipta!

Seperti Teja, saya juga jadi bingung. Untuk meredakan sedikit kebingungan, saya perhatikan lagi buku itu. Buku pertama, ’Akulah Medan’ diterbitkan oleh sastramedan.com (2010) dan buku kedua ‘Ini Medan Bung’ diterbitkan oleh Seniman Medan (Jakarta, Mei 2010). Berarti, ada dua penerbit dan kalau dilihat dari nama penerbitnya ini pasti dikerjakan oleh kaum seniman juga kan? Berarti ada dua kubu pekerja yang saling berseberangan. Kembali lagi, kenapa isinya nyaris sama? Ah, siapa dibalik ini semua. Hebat sekalikah karya yang dirangkum dalam bunga rampai itu hingga dua penerbit mau menerbitkannya secara bersamaan? Sekali lagi, apakah penerbit tak mau melirik penulis Medan yang lain untuk dirangkum dalam sebuah buku? Bukankah hal itu bisa menambah semarak sastra Medan?
Terus terang, ketika memegang kedua buku itu, saya jadi tak selera membacanya. Bukan apa-apa, saya kecewa. Seniman yang biasanya lebih bijak memandang sesuatu kenapa terkesan unjuk gigi seperti ini. Saya curiga, persis yang dialami oleh Teja, banyak penulis di dalam kedua buku itu yang tak tahu-menahu soal ini.

Ya, bagi mereka adalah karya dipublikasikan, itu saja. Tentunya, jika terjadi seperti ini, mereka akan menolak saat diminta karyanya. Parahnya lagi, kabarnya, seniman yang memasukan karya di kedua buku itu tidak mendapat royalti. Fiuhhh….

Jika begini, tampaknya dibutuhkan sebuah pertemuan dari dua kubu pekerja itu. Setidaknya, pertemuan untuk membahas nasib para seniman tersebut dan seniman Medan pada umumnya. Ayolah, demi sebuah kemajuan, tak ada salahnya untuk berbincang dari hati ke hati. Ya, untuk menghindari hal seperti ini lagi terjadi. Seperti kata Purba, jalanan di Kota Medan sudah tak mampu lagi menampung kendaraan yang begitu banyak. Jadi, para seniman, buka mata.

Lihatlah, penulis baru sudah begitu banyak, bangunlah ‘jalan’ yang baru, ‘jalan’ yang ada di Kota Medan ini sangat terbatas. ‘Kendaraan’ harus terus melaju, kenapa ada ‘jalan’ yang ditutup demi ‘kendaraan’ yang itu-itu saja. Dan, bukankah menutup ‘dua jalan’ untuk ‘kendaraan’ tertentu adalah sesuatu yang tidak bijak?
“Orang Medan kan selalu ingin di depan, di lampu merah pun mereka ingin paling depan, hingga tanpa mempedulikan marka jalan,” kata Purba.

Ya, ‘Akulah Medan’ eh ‘Ini Medan, Bung’.

SEBUAH terobosan Komunitas Seni Medan

SEBUAH terobosan menarik dalam bidang sastra di Medan, digagas Komunitas Seni Medan (KSM). Lembaga ini menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen. Tahun 2009 tampaknya akan menjadi titik balik kebangkitan penerbitan karya sastra di Medan, khususnya cerpen.

Koordinator KSM Teja Purnama menyatakan, buku kumpulan cerpen itu dinamakan secara sederhana saja, Kumpulan Cerpen Medan. Isinya cerpen-cerpen yang berkenaan dengan Medan. Mulai dari sejarahnya tempo dulu hingga kondisi kekinian.

“Penerbitan ini terutama dimaksudkan untuk mencoba membangkitkan kembali gairah penerbitan sastra di Medan. Sebelumnya memang sudah pernah ada penerbitan sejenis, tetapi sudah lama tidak. Semoga ke depan ada banyak pihak yang melakukan hal seperti ini,” kata Teja di Medan, Selasa (10/11/).

Buku bersampul hitam dengan sketsa gambar Kantor Pos Besar Medan itu berisi 15 cerpen karya 15 cerpenis asal Medan. Antara lain A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Idris Pasaribu, Muram Batu, Nasib TS, Rina Mahfuzah Nst, Sulaiman Sambas, T. Agus Khaidir, Teja Purnama, YS. Rat dan Yulhasni.

Teja menyatakan tidak terlalu berharap banyak dari penerbitan ini. Hanya upaya untuk membangkitkan gairah para pekerja sastra di Medan saja. Namun ada banyak mimpi lain yang ingin diujudkan KSM. Sebelumnya KSM juga pernah menerbitkan beberapa beberapa karya sastra, namun sudah sekian lama tidak lagi menerbitkan karya-karya baru karena berbagai masalah.

“Kami tentu berharap ada karya-karya lain yang bisa diterbitkan. Tetapi pada sisi lain, tidak mudah menerbitkan sebuah karya sastra di Medan. Selain masalah ketersediaan materi dan potensi pasar, juga ada masalah percetakan yang cukup sulit. Kualitas cetak di Medan seringkali tidak begitu bagus atau kami belum menemukan tempat yang bagus. Maka kemarin kami terpaksa cetak di luar kota. Setidaknya satu tingkat lebih baiklah kualitas cetaknya,” kata Teja.

Mengenai peluncuran, Teja menyatakan memang sudah ada rencana untuk melakukan peluncuran buku tersebut pertengahan November mendatang. Pelucuran juga akan dilakukan secara sederhana saja. Hanya kumpul-kumpul sastrawan dan berdiskusi tentang pelbagai hal, termasuk membahas cerpen-cerpen yang ada buku yang baru diterbitkan ini. “Insya Allah akan ada acara peluncuran, tapi ya masih rencana,” ujar Teja.

Aldian Aripin Dalam Perjalanan

Maka pulau Bangkapun terlampaui
Benturan-benturan ombak di haluan
Memukul-mukul hatiku yang rindu

Elang yang duka bertengger di kayu terapung
Mengucapkan salam, selamat jalan kepadaku
Perantau larut dalam perjalan pulang

Matahari yang jingga keemasan
Sebentar lagi 'kan silam, tenggelam
Di balik-balik Bukit Barisan

Ketika ini, di senja begini
Kutahu dia sedang mengulangi membaca
Telegram yang kemarin aku poskan:

"Aku pulang, datang bersama kematangan
Yang akan kutumbuhkan dalam hatimu,
Nantikan daku sayang, di pelabuhan."

1964.
(Dalam Perjalanan,Aldian Aripin)

NAMA Aldian Aripin tentu tidak asing lagi dalam jagat sastra Indonesia. Biodatanya kepengarangannya bisa dibaca dalam Leksikon Susastra Indonesia-nya Korie Layun Rampan ataupun Buku Pintar Sastra Indonesia-nya Pamusuk Eneste.

Karya Aldian Aripin secara lengkap dapat dilacak dalam buku Aldian Aripin: Penyair, Karya, Rentang Waktu, dan Lingkup Jelajahnya. Buku ini mengungkap sejarah kepenyairan beserta pumpunan antologi puisi yang ditulis Aldian Aripin, diterbitkan Sastra Leo, Medan, tahun 2001. Aldian Aripin adalah seorang penyair Angkatan 66 yang berasal dari Sumatera Utara.

Buku ini memang terbit tahun 2001. Namun, karya-karya yang muncul masih layak hingga kini. Apalagi, sang penulis tercatat sebagai penyair Angkatan 66 yang kerap mengikuti perkembangan sastra di Indonesia.

Karena itu, di antara jajaran sastrawan ”Angkatan 66” Sumatera Utara, sepatutnya kita tengok ruang-ruang dan lingkup jelajahnya. Ada keistimewaan tersendiri pada diri sastrawan gaek ini. Betapa tidak, di saat memasuki usia pensiun, ia menyempatkan diri mengumpulkan kembali karya-karyanya yang terserak dalam sejumlah buku. Lalu disatukan dan dikompilasi.

Sejauhmana kehebatan wilayah ucap Aldian? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa meminjam pernyataan Siahaan (Aripin, 2001:199), bahwa pada awal kepenyairan, Aldian menyenangi puisi-puisi romantis lalu berubah ke penciptaan puisi imagis yang terpengaruh dari penyair Amerika, Carl Sandburg. Proses selanjutnya ia beralih menulis puisi-puisi mistis-metafisis.

Karya-karyanya dalam buku ini merupakan kumpulan-kumpulan puisinya yang sudah terbit dari tahun 1966-1998 dan sejumlah puisi yang belum terbit. Buku ini memuat kumpulan puisi ‘Ribeli 1966’, ‘Oh Nostalgia’, ‘Elipsis’, ‘Nyanyian Malam Hari’, ‘Amanat’, ‘Comemorative Stone and Other Poems’, dan sejumlah puisi yang terkesan ’dibuang sayang’. Selain itu, buku ini juga memuat beberapa komentar dari para kritikus sastra dan dari pengarang sendiri serta proses kreatifnya dalam berpuisi.

Diawali dengan bagian pertama yang diberi judul ‘Labyrinth’, berasal dari kumpulan puisi Ribeli 1966. puisi-puisi dalam kumpulan ini umumnya mengandung nilai-nilai perjuangan seperti dalam puisi yang berjudul Revolusi: “Revolusi kita adalah revolusi rakyat/yang menegakkan kebenaran, menuntut keadilan/siapa yang khianat/Tahanlah ujung peluru//.”

Atau pada bait terakhir puisinya yang berjudul Akan Tiba Waktu: ”//..//Lihatlah, jutaan tangan teracun/dengan satu tuntutan/Turun tahta!//.” Nilai-nilai perjuangan ini timbul karena sang penyair merasa gelisah akibat ketidakadilan dan kesewenangan pemerintah. Nilai-nilai perjuangan juga terdapat dalam puisi-puisi yang berjudul ’Labyrinth’, ’Elegia Ibukota’, dan ’Akulah Tanah Air’.

Lalu pada bagian kedua yang dipetik dari kumpulan puisi ’Oh Nostalgia’, Aldian menyusun puisi-puisi romantisnya. Hal ini terlihat pada puisi-puisi yang berjudul Balada Penyair dan Gadisnya, Mimpi, Sebuah Kamar, Perempuan, Midah, dan Marilah Sayang.

Ia juga berbicara tentang cintanya yang ditolak dalam puisi Dendam: “Perhitungan-perhitungan yang salah/menyayat hatiku luka parah//...//Jalan berliku, ujungnya menanjak/hatiku sendu, hasratku ditolak//Bertahan atas kelabu, luka kian meruyak/padakertas kusuratkan dendam yang bergejolak//.”

Pada bagian ketiga, Aldian berbicara lewat puisi-puisi singkat yang diambil dari kumpulan ’Elipsis’. Ia berfilosofi tentang Tuhan dan manusia. Simak saja puisinya yang berjudul Ada: ”Adakanlah dirimu/maka/engkaupun adalah//Dan tetap ada/hingga/segalanya punah//.”

Filosofinya tentang Tuhan dan manusia juga terdapat dalam puisi Metafisika, Manusia, Akulah Manusia, Guruh di Jauh, Enneth, Au Revoir, Perjuangan, ’Adam Kesadaran Pertama, Nafi-Isbat, Beban, Kita Memang Suka, Benar, dan masih banyak lagi.

Aldian juga bercerita tentang cinta seperti dalam puisi Ketilang: ”Dendang hati rindu/ketilang di ranting kayu/sendu kicau yang sedih/ketilang kehilangan kekasih/bedil angin di tangan/telah memupus angan//.”

Dalam puisi di atas, meskipun singkat, bisa dilihat kisah cinta seekor ketilang yang kesepian karena ditinggal mati oleh kekasihnya. Pada bait terakhir Aldian menjelaskan bahwa ternyata kekasih ketilang itu telah mati karena dibuhnuh oleh manusia. Pada puisi ini terlihat jika manusia hanya mementingkan kesenangan untuk dirinya sendiri saja. Manusia tidak bisa (mau) melihat apakah kesenangannya itu bisa menyengsarakan makhluk (manusia) lain atau tidak.

Pada bagian keempat, yang diambil dari kumpulan puisinya yang berjudul ’Nyanyian Malam Hari’, Aldian bercerita tentang Bulan Sabit, Orang di Luar, Pintu, ’Jendela, Lampu, Kursi, Meja, Paku, Kalender, Cermin, Rak Buku, Bayangan, Angin Malam, dan benda-benda lain yang menarik hatinya untuk diungkapkan dalam puisi.

Ia juga masih mengungkapkan sisi romantisnya dalam puisi ’Kekasih’: ”Bila aku memandangmu ketagihan/Adalah karena rangsang rasa gairah/Lalu kurentang kedua tangan/Bolehlah dadaku kau belah//Maukah kau tahu/Bahwa besi yang pijar inginkan tempa/Karena pasti kau tahu/Aku terpana karena tergoda//.”

Dalam puisi di atas, ia menceritakan seseorang yang sedang dilanda asmara. Aldian tak lupa mengungkapkan masalah-masalah kehidupan hingga kematian seperti dalam bait terakhir puisinya, Ketakutan Pada Mati: ”Betapa benarkah perihnya/Betapa hebatkah ngerinya/Batas antara hidup dan mati//.”

Pada bagian kelima yang berasal dari kumpulan puisi yang berjudul ’Amanat’, Aldian lebih mengarah kepada sisi spiritual. Puisi-puisi yang bersifat mistis-metafisis mengungkapkan sisi religius, tentang keimanan manusia terhadap Tuhannya.

Pada puisi Man Roa Minkum Munkaron, Aldian mengungkapkan tipisnya keimanan manusia sekarang karena malas dan suka bermewah-mewah. Simak saja puisinya di bawah ini:

Sesungguhnya

telah enggan para malaikat

menyentuh mesjid-mesjid yang megah

yang setiap menjelang waktu sholat

memutar kaset mengumandangkan ayat-ayat

sedang di situ berjejer lusinan kitab

dan di antara jamaahpun ada yang fasih

dan lancar membaca Al-Qur’an

Namun para nazir jarang

yang menyadari akan kealpaan ini

ia malah terlena termangu-mangu dibuai

oleh alunan lagu dari qori yang telah

direkamkan

Sabda telah dilecehkan

firman telah diperjualbelikan

kita tinggal menerima laknat dan kutukan

bencana yang berkepanjangan.

Selain itu, semangat religinya terdapat pada puisi Tentang Sebuah Mesjid, Perjalanan Malam Hari, Karunia, Amanat Bagi Pencari, Batu Hitam, Thawaf, Dzikrullah, Qolbulmukminina Baitullah, Sang Pemandu, Penobatan, Tentang Ruh, Titah, Baiat, Urusan, dan Laisa Ka Mishlihi Syaiun.

Kemudian pada bagian keenam, Aldian mengumpulkan puisi-puisinya yang berbahasa Inggris dalam ’Comemorative Stone and Other Poems’. Semua puisi dalam kumpulan ini pun sudah diterbitkan dalam kumpulan puisi sebelumnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Aldian sendiri dan Harry Aveling, sastrawan dari Australia.

Lalu pada bagian ketujuh, buku ini memaparkan sejumlah komentar dari para kritikus sastra. Drs. M.S. Hutagalung menyatakan bahwa puisi-puisi elipsis Aldian tidak sanggup mendukung isi dari kedalaman dan kebessaran temanya. Dalam menciptakan sajak-sajak itu terkadang ditemukan ungkapan yang mengesankan dan padat, namun sajak-sajak itu condong ke arah konsep-konsep dan statemen (hal. 247).

Beberapa kritikus mencoba menelaah kepenyairan Aldian yang berubah dari wakru ke waktu dan dipengaruhi oleh sastrawan asing. Namun semua itu tidak sepenuhnya benar, karena meskipun ia beralih dari puisi romantis ke mistis-metafisis bukan berarti ia tidak menulis puisi-puisi romantis lagi.

Pada bagian kedelapan, Aldian menanggapi komentar para kritikus. Ia membantah pernyataan dari M.S. Hutagalung yang menganggap puisi-puisinya condong ke arah konsep-konsep dan statemen. Bagi Aldian, apa yang dia tulis dalam puisi-puisinya bukan hanya konsep, tapi sajak yang final (hal. 247).

Ia menambahkan bahwa sajak adalah pekatan kata, suatu esensi. Itulah sebabnya ia selalu cenderung menulis sajak-sajak pendek. Hal itu sekali-kali bukan karena kurang darah, kurang elan vital, tapi baginya, jika mau berpanjang-panjang mengapa harus ditulis sebagai puisi. Bukankah lebih baik ditulis sebagai esai atau cerita pendek saja?

Pada bagian akhir buku ini, Aldian menyematkan karya-karyanya yang terkesan ’dibuang sayang’. Beberapa di antaranya Sajak Buat Ibrahim Sattah yang ditulis dalam bahasa Minang. Selain itu, ada puisi yang berjudul Musim Kemarau dan Mobokrasi Kita yang mengungkapkan kegelisahannya akan negerinya sendiri karena keserakahan sejumlah elite politik. Lalu ada puisi-puisi dalam bahasa Jerman dan Cina serta sebuah lagu yang berasal dari puisi Marilah Sayang. *** (Alm. Aldian Aripin telah berpulang ke rahmatullah Jumat, 16 Oktober 2010,Aldian Aripin. Lahir di Kotapinang, Sumatera Utara 1 Agustus 1938.Kumpulan puisisnya antara Lain : Oh Nostalgia (1968) Nyanyian Malam Hari (1997) Menjadi editor antologi puisi dan cerita pendek Sumatera Utara Terminal (1972) bersama Zakaria M Passe The Horizon of Hopes (1999) )Selamat jalan.........

kurusetra

AFRION
Lahir di Kisaran, 29 April 1963. Rumah Jl. Pematang Pasir Gang. Famili No. 71 Tanjung Mulia - Medan 20241. Nomor Handphone. 0816 312 0974. E-mail : afrionblok@yahoo.com Mulai menulis di media massa tahun 1976 antara lain puisi, cerpen, esay, artikel, dan resensi pertunjukan Aktif berteater mulai tahun 1976. Sempat hijrah ke Jakarta tahun 1987. Bergabung mengikuti latihan teater di Bengkel Teater Rendra dan mendapat kesempatan ikut dalam lakon drama "The Ritual of Solomons Children" yang di pentaskan dalam acara The First New York International Festival of The Art di kota New York. Kembali ke Medan tahun 1989, membentuk Genta Enterprise bersama Ali Jauhari Productions. Mengundang kelompok seni pertunjukan Bengkel Teater Rendra, Teater Kecil Arifin C Noer, Ikranagara dan N. Riantiarno Teater Koma Jakarta. Sebelumnya, 1984 membentuk Teater Blok Medan dan memainkan naskah-naskah dramanya antara lain Orang Orang Tercecer (1985), Janin dan Orang Orang Terasing (1986), Dialog Batin (1987), Di Ujung Malam (2002 - 2003), Huma (nyanyian hantu (2003), monolog Orang Orang Tercecer (1986), monolog Tanah Negeri dan Semak Kuburan (2004), Dumen dan Waktu Beku, Kaki Langit di Tubuhku (2005). Kumpulan puisi Gelombang, 1985, diterbitkan CV. Kencana Ungu Medan. Sangsi, 1987, CV Sinar Agung Medan. Nyanyian Jiwa, 2003, Politeknik Negeri Medan. Waktu Beku, 2004, Laboratorium Sastra Medan. Antologi puisi Amuk Gelombang, 2005, Star Indonesia Productions. Ragam Jejak Sunyi Tsunami, 2005, Balai Bahasa Medan.

Bahorok

Dan airlah membawa maut sejak mula riwayat hutan dihabiskan Pekik yang merajam dendam di tanah bebatu yang kerap kita lalui berlompatan ranting pohon puncak bukit menghadap hutan gundul membangunkanmu yang lelah menyaksikan tapak-tapak kaki pembalakan mengupak-ngapik tanah runtuh Airlah ia yang datang tiba-tiba diciptakan ruh dari padanya batang kayu bersampan-sampan ke dalam hidupmu seketika tak kau jawab langit runtuh matikah? Berhamburan mata air illegal logging sepanjang hutan Bukit Barisan berapakah usiamu kini? Lihat betapa sesak nafasmu menunggu sepanjang terang menghitung bencana tak jera-jera merenggut anak dalam buaian tak ingin lekas pulang menghadap Tuhan Dan airlah membawa maut sejak mula riwayat hutan dihabiskan jadi gurita mencengkram nyawa
2004

Kota Batu

Di kota bertumbuhan kesombongan tanah merekah memekik amarah membabat rumput dan daun-daun jadi batu baru bertingkat-tingkat menggapai langit Tak ada bangga selain keluh kesah menutup beban sejarah setiap sudut menjadi bocah melukis cahaya batang pohon bergulingan di atas marmar - lantai keramik menerbangkan layang-layang menyaksikan ruang terhina bangunan tua Runtuhlah bangunan tua itu berdiri di antara dinding batu baru diremuk hawa panas dan debu bertahun tidak bersisa ruang meleburkan diri bersama kisah bergulingan di atas rumput Celakalah kesombongan membiarkan yang lain sakit dirajam sesak nafas berhari-hari udara kotor di tabur pendurhaka kota membiarkan pencemaran menjadi semak Berapa rupiah sudah kau habiskan? Kota bertumbuhan batu-batu baru sungai berlumpuran limbah aku pun tak ingat entah sudah berapa kali mengantar jenazah 2004 3

Toba Samosir
I
Dulu pernah kujelajah berapa pinus tumbuh puncak bukit dengan daun dan bunga mengembang pinggiran danau hijau membentang lalu air membawaku berkeliling begitu jernih begitu bersih Menelusuri jalan berangin-angin mengitari tanah bertingkat, sawah, dan wangi daun bersama basahi tubuh, selalu gemetar merasa dingin menikmati sekumpulan ikan bunga-bunga sepanjang jalan melantunkan bunyi; Boraspati - Boraspati pada peta abadi menenun ulos pengantin tak merasa lagi dingin menziarahi makam atau membarakan perapian menghangatkan tubuh menghias langit tujuh pelangi mendongengkan orang asing datang berkunjung berganti-ganti lalu pergi membawa ulos pengantin Boraspati lenakah tidurmu dalam kabut puncak bukit daun yang tak lagi remaja berbunga-bunga melantunkan kenangan yang kini terlupakan terhina dan terlunta Tanah maha luas dulu pernah kuhitung berapa pinusmu debit air dan wajah ikan berkejaran
II
Kini di antara jejak tapak kaki tak kulihat pinus tumbuh berlapis-lapis atau tubuh lelaki kekar memanjat pohon Selain luka panas tanah membakar tak ada tersisa dingin angin cahaya kunang-kunang menembus gelap dan anak-anak ikan berkejaran ke pantai Tak ada pantai karena bangunan menjorok ke danau ikan mati dilimbah racun pinus habis menggelandang Menyaksikan retak tanah disapu angin membawa daun-daun kering pada setiap butir batu nyanyi pilu anak-anak di tubuh berdebu sudahkah kau dewasa? Menyaksikan tanah moyang dijarah puluhan kerambah ikan orang asing mengapung limbah pelet menjadi lumpur racun di dasar danau Menyaksikan batang kayu ditebangi bertahun-tahun menjelmakan kerawanan menjadi kiamat yang tak tercatat Sudahkah kau berpikir dewasa menuliskan sebaris riwayat menutup luka?
III
Akan kunyanyikan padamu tentang tanah negeri dan semak kuburan sukma yang luruh di setiap sudut mendongengkan sejarah makhluk raksasa menjaga hutan sampai ke akar ke puncak ubun Melintasi kota sepanjang hari mengikut jejak demonstran meski gemetar keluar dari tubuh keriput karena ancaman senjata dan palu godam pengadilan Menyisir petaka menampung mata air, menjelmakan sungai menuju danau, lalu istirah membiarkan tubuh basah menulis tanah dan air rintik hujan menyeka rambut dan mata Akan kuperdengarkan pula bisik Boraspati menyusukan anak-anaknya dari getah pohon pinus beratus tahun minum dari liur ikan juga kepadamu akan kuberi ciuman sepasang pengantin melahirkan putik bunga mengambangkan daun, buah masak Tapi sudahkah kau cukup dewasa atau tua hanya pandai mereka-reka?
IV
Air keruh, bau, dan kotor menggegaskan langkah mengakhiri penjelajahan karena tanah kian gaduh pohon gundul, hilang tempat berteduh Kenangan lalu menjerat ketakutan pada tubuh sekarat bahkan tanpa nyawa di pinggir pantai berbatu mengutip sampah pembawa maut Danaumu - danaumu oh raja dan datu-datu yang kau jaga siang malam mendendangkan lagu keindahan tanahmu menjadi hina dan terlunta-lunta
V
Apakah menjadi sia-sia tubuhku melontarkan amarah anak sorga dibungkam dengan hukum dan palu godam Aku atau kitakah tak berdaya melawan segala khianat menyeka bau udara lembab Sebab besok adalah kematian ditumpangi malaikat menutup muka dalam sedih yang hitam sakit yang mencekam 2005

Deknong
(airmatamu riwayat duka Aceh)
1.
Laut menggemuruh menggunung ombak datang bergelombang Di tengah pagi menghantam daratan menyapu jiwa - melayang - hilang senyap suara-suara menyayat mendekap tangisan meratap Seperti murkanya alam maut datang dari laut bagai melepas dendam tangannya mencengkram ribuan nafas kemudian seketika raib ke samudera lalu nampaklah di tengah puing berserakan puluhan tubuh bergelimpangan Langit memayungkan duka air mata kutulis syair menjadi prosa kutulis pilu tangis membanjir puisi luka puisi duka maha dahsyat luka maha dahsyat duka Maha bijak Allah!
2
Kau pun tahu, Deknong begitu tak berdayanya kita di tengah amuk perang dan politik dunia di tengah amuk senjata dan mortir penguasa taklah gelombang sekejam itu meratakan tanah huma Berhentilah mengenang anak-anakmu atau menghitung kesalahan masa lalu Pagi ketika maut dijemput laut biarkan senyum menebar wajah antara hidup dan mati alangkah dekatnya kita meski membayang derita menghantam sepanjang riwayat tanah Aceh Kehendak pengetahuan tak sampai membangunkan kesadaran pikiran berhentilah menangisi gelombang menyaksikan riak air, batu, dan pantai berpasir Jika dikenang begitu jauhnya ujung pulau lalu laut mengkafani jasad menghilang ke negeri lain antara langit, daratan, dan perasaan melumpuhkan hari-hari berkabung menghitung satu dua pertempuran maka biarkan laut menjemput maut biarkan mereka tidur melepas lelah di sisi Allah
2005

Resah
(tentang sebuah negeri)
Berpuluh resahku menghambur ke pucuk kalbumu lahir berpuluh gundah - berpuluh gelisah berpuluh rumah dan kanak berselimut kain belacu Istana bagi semua - mengalir airmata tetesnya menusuk jantung - hati dan paru debar menyesak - menghantam tengkuk kepala kemana membawa pikiran - sedang tanah tandus beratus luka perempuan-perempuan Adalah ibuku berkisah tentang sebuah negeri bertumbuhan kepalsuan; Sekumpulan orang meniup sangkakala sementara ibu di tengahnya mengelus hiba merangkul amuk manusia pinggiran bangun dari tidur - melihat jalanan terbakar minyak bertumpahan - nafsu merubah kehidupan Bumi dilamun petaka prahara menghancurkan hati - tanah dan air dikubangan kota - mengiris hati - menghentak langkah memamah kenakalan sejarah siapa meneteskan mata air padahal di mimbar kerakyatan langit berkabut lalu antara bayangan memanjang melewati negeri gelap gulita - segala menghilang membentang khianat tanah huma tanah dari negeri menangiskan mimpi-mimpi 2004 - 2005

Bumi
(di tengah musim)
Jika menjadi ibu di kepalanya penuh kunang-kunang Jika menjadi abu habislah sudah cahaya kehidupan Jangan pernah tak bertenaga membuka suara membentang pergolakan - mengabarkan perilaku tentang tangis dan penindasan berpuluh gundah - hak dinistakan kehidupan ditelantarkan terbuang jadi debu di tengah musim; masa suram Setelah amuk perang, senjata, dan pembodohan jadi lorong labirin - tenggelamkan sejarah peradaban bumi dikelilingi dataran rumit penuh sukacita pecahan tabung kaca lalu pesta jumpalitan melepas lelah, tidur dangan kemenangan Pada selembar surat yang kutulis pandanganku teriris-iris Bahwa aku menghempang kematian menjadi abu atau menjadi patung batu monumen sejarah berziarahlah membuka sejarah kota dan kehidupan kugantikan pisau batu dengan baja bermata seribu 11 Setajam bibir ombak menguras pasir di pantai sesekali ke tengah berenangan dengan angan-angan menjadi beribu pisau pisau-pisau peradaban kebudayaan
2005

Langkah
Mendaki jalan-jalan - tanah rumputan kaki telanjang nyeri menggapai-gapai gapaiku gapaimu di puncak langit biru Jalan-jalan bebatuan - mata bersimbah darah hidup di angin apa dengan perut keroncongan Aku inikah bumi tak sampai-sampai langkahku mencapaimu lelah mencari telaga di tanah kering Gapaiku gapaimu tak sampai-sampai bertemu
1986 - 2005

Dunia
Bayangan kita memutus barisan di kerajaan angin kutu dan kecoa di daratan berlupaan lupa segala yang tiada, ada yang membenam hati dan jiwa penuh kelancangan yang bergelayutan di kafir puncak kota-kota jadi pelacur jadi anjing kekuasaan jadi rebutan
1987 - 2005

Laut
Telah dikabarkan riwayat gelombang melekat di tanah menghitam Jika dikenang begitu dekatnya kita bertempur dengan maut antara hidup dan mati Maka biarkan laut menjemput biarkan aku menidur melepas lelah di sisi Allah 1990

Maut
Ada malaikat meneteskan gerimis ada wanita tenggelam di langit jangan menangis menahan sakit meski waktu datangkan perih lalu maut memungut sisa nafas kita

Khuldiku
Lelah sukmaku lepas sukmamu cemas penghabisan di segala muara masuklah-masuklah silahkan kau rebah jatuh karmaku jatuhlah Cahaya adakah cahaya membenahi keterlanjuran yang tercipta sejak lama? Khuldiku jemputlah dosa kita itu kiamat jatuh sepanjang dunia tempat adam dan hawa samsara 1985 - 2005 Demi Bumi
Jangan letakkan hukum di bawah bantal dalam mobil mewah berwarna hitam pekat yang tak bisa kutandai entah simpang mana menuju jurang jejak kaki nyeri pada kulit mata berkunang sepanjang jalan selalu kalah di tikungan Setiap muara berhenti di laut logam berat melebur lewat tailing setelah lalui meja dan kursi duduk bersandar membuka jendela membersihkan kemeja membungkam suara menerka-nerka warna seperti buih menepi menampar karang pasir pantai jejak hilang meninggalkan bau karatan Lelakiku tertinggal jauh selalu kalah di tikungan jalan ke mana perginya orang-orang itu? Menjelajahi bumi menyisir udara, tanah, dan air sedimentasi mengancam Timika limbah muara Otakwa ke laut Arafura merenggut jiwa Amungme, Komoro, Dani, dan Ekari Merkuri, Arsen, Sianida, dan Tembaga logam berat pencemar Teluk Buyat di Sulawesi Utara rintihan korban Tembaga Pura, Rampa, dan Teluk Jakarta raib entah ke mana 14 Penebangan hutan Ladia Galaska Illegal logging di Kalimantan dan Papua sama parahnya menggelandangkan pinus ke Porsea Kalau tanah menjadi debu debu menjadi abu abu menjadi udara kotor udara kotor menjadi panas panas menjadi uap air uap air menjadi gas gas mencemari angkasa di angkasa lapaisan ojon menganga lalu sepanjang perjalanan waktu senantiasa menghitung maut menggali makam sampai tenggelam abadi lebih abadi dari matahri

Jones Gultom
Lahir di Perbaungan 26 Oktober 1982. Tulisan- tulisannya berupa puisi, cerpen dan artikel budaya diterbitkan di sejumlah media cetak dan nasional. Di antaranya Analisa, Waspada, SIB, Mimbar Umum, Sumut Pos, Kiprah, Harian Sumatra, Medan Bisnis, Suara Pembaruan, Majalah Salus, Suara Hati dan Menjemaat. Berkesenian di beberapa kota di Indonesia antara lain, Yogyakarta, Lampung, Jakarta, Pekanbaru dan Medan.

Bulan di atas toba
dari dolok ke dolok aku menyusuri bayangmu setiap kali kutemukan jejakmu selalu ada yang tertinggal bula di atas toba seperti Tuhan yang sedang berkaca senyumnya luka- luka yang indah di atas toba bulan tak pernah mati meski di tanah ini mendung selalu menggantung memasung hariara, hoda, anggir hingga tak lagi bertuah dari dolok ke dolok di antara pinus dan hariara aku menyusur bayangmu yang tersangkut di antara gundukan enceng gondok seperti Li Tai Po kau pun mengajakku bersidekap 2005

Hutan Gugur
di gerbang rimbamu kau menyambutku dengan nyanyian chainsaw dan deru pohon yang berjatuhan aku pun ragu melanjutkan perjalanan! 2005
Di Toba Aku Berpulang
Telah kutaburkan serpihan jiwaku ke dasarmu toba Hantarkanlah pada Nan Tinjo si penjaga tao Hanya itu yang bisa kuberikan Sisanya secuil nyeri dan sakit hati Melihat hutanmu tak lagi menyisakan ranting bagi leang- leang mandi Melihat airmu yang berlumpur Sengaja kubakar dengan dupa dan kemenyan Bair aromaku merajai tubuhmu Kelak angin dolok menyeretnya ke hulu Mengetuk- ngetuk setiap pintu! 2005

Kabar Dari yang Berebahan
Kayu yang berebahan di gerbang pintu Mengucap salam padamu Tentang penjarahan besar- besaran tadi malam ; mereka membawa traktor, buldozer dan chainsaw mereka juga membunuh anak- anak kami lalu menunjukkan luka- lukanya kabar dari hutan siapa yang tahu kabar dari rimba siapa yang mau tahu bila di balik itu ada yang lebih menggairahkan! 2005

Nyanyian Burung yang Hutannya Hilang Rimba
Kusaksikan di antara ranting dan dedaunan Burung- burung kehilangan cengkeraman Menggantung di udara Karena hutan telah kehilangan rimba Di udara burung- burung tak henti berkepak Sayapnya mulai terbakar Dan gugur satu persatu Burung- burung melengking Mencoba menghentikan auman cainsaw Hanya udara yang mendengarnya Sementara di sebelah sana orang sibuk menghitung angka- angka 2005 Temaram Rebah di

Toba
Matahari patah Ketika temaram rebah di dadamu Aku mengayuh perahu sampai jauh Sampai lapuk biduk dan robek layarku Menuju ujung jubahmu Yang kau ikatkan di perahuku Toba adalah airmata para dewa Dan aku terombang- ambing di atasnya 18 Bandang
Terima kasih telah kau ingatakan kami akan serakah ini!

Tsunami
Tolong kirim yang lebih dahsyat lagi Biar dunia tahu Di Indonesia banyak anak yang memperkosa ibunya!

Mengungsi ke Kepala
Karena tak ada tempat Gajah, harimau, monyet burung, ular pohon- pohon Mengungsi ke kepalaku Lantas beranak- pinak Menjelmalah kepala menjadi hutan rimba Aku memang tak punya bahtera Seperti Nuh Tapi aku punya jiwa Bagimu Hutanku! Inilah kelemahanku! 2005

Surat dari rimba untukNya
Katakan padaku siapa yang menyembunyikan surat itu Hingga Dia tak pernah tahu kabar kami di sini Lalu murka mengirim bencana Sejak dulu kami rajin mengirim surat Walau aku ragu sampaikah ia padaNya Sebelum akhirnya bencana Dan kami sadar tak sekalipun ia pernah membacanya Lalu siapa yang menyembunyikan surat itu?

M. Raudah Jambak
Lahir di Medan, 5 Januari 1972. Aktif diberbagai kegiatan seni sastra dan budaya. Selain menulis puisi, cerpen, artikel, dan esai. Ia dikenal sebagai aktor dan sutrdara teater. Tahun 1993, melakonkan Tessemata di Open Stage TBSU. Tahun 1994, Sang penyair di Open Stage TBSU. Tahun 1995 mengikuti PEKSIMI-NAS III di TIM Jakarta, membawa naskah Abrakadabra. Tahun 1997, menampilkan Menyibak Tirai Masa Depan di Pardede Hall. Tahun 1998, membawa Petang di Taman. Tahun 2000, melakonkan Tragedi Al-Hallaj di Tiara Convention Hall. Tahun 2001, Kecubung Pengasihan di TBSU. Tahun 2002, menampilkan lakon Jodoh di TBSU. Tahun 2003, Tamu Terakhir di GKJ Jakarta. Tahun 2004, monolog Anjing Masih Mnggonggong di Taman Budaya Banda Aceh. Puisinya diterbitkan dalam antologi Kecamuk ( ), Tengok (.......... ), Seratus Untai Biji Tasbih (....................), Meditasi (..................). Muara Tiga ( cerpen Indonesia dan Malaysia,..............). Easainya dimuat dalam buku 25 tahun Omong-Omong Sastra. Bekerja sebagai guru di Perguruan Panca Budi dan Budi Utomo, serta dosen honorer di Universitas Negeri Medan. Kegiatan lainnya sebagai redaktur budaya di tabloit Media Ummat. Kini tinggal menetap di Murai Batu E.10 Kompleks Rajawali Indah-Sunggal Medan. Handphone 085830805157. Semboyan hidupnya, jika ingin hidup maka berjuanglah.

Di Bawah Rintik Hujan

Hujan bercakap-cakap dengan rindu, rindu dengan pohon, pohon dengan perempuan perempuan dengan hujan di serambi sunyi, sunyi hampir malam, malam makin menghitam Dari balik jendela, kau memahami percakapan hujan dengan takdir yang mengalir bersama nadi diri, bersama nurani, padahal takdir sendiri takut kau hadapi Setidaknya kau merangkai kata dalam nyanyian tentang lelaki; atau bunyi cecak dari balik jendela atau kau bisa mengakui; takdir adalah kelam berisik angin yang patah di serambi tapi sampai kini kau masih juga tidak mengerti sebab tak kau sadari ada seorang lelaki yang bersunyi-sunyi diri menggenggam matahari bersama untaian melati Hujan bercakap-cakap dengan rindu, rindu dengan pohon, pohon dengan perempuan, perempuan dengan melati, melati dengan matahari dan lelaki itu dan perempuan itu akhirnya tak sendiri
Medan, 2000

Rindu Daun-daun

Kemana daun-daun itu? sedang kemarau menabur-tabur luka di setiap nyanyian kita : rindu daun-daun angin siang ini, kekasih bertutur pada kembara riwayat kita rindu yang merindu beraroma melati begitu kemaraunya membabat tangis dalam isak sampai angin membawanya pada segala kitapun lunglai asyik dalam nyanyian diri mengharu biru dalam deru rindu daun-daun ke puncak angin ke puncak bianglala menikam pada dada setiap perawan menghujam jantung para jejaka kemana daun-daun itu? Medan, 2000

Sepasang Kelinci

Suara kelinci betina di kandang suara kehilangan tentang si jantan yang kaku jadi bangkai hawa nafas kurungan jadi rantai ada kehidupan terikat mati ada kematian dalam cengkraman kehidupan sepanjang peradaban Medan, 00-06 Tembang Burung Malam
Kau lihatkah burung-burung terbang pada pelukan malam tangisnya semakin dalam; dari senja sampai batas kelam Sayap-sayap berpatahan satu persatu gugur menyentuh bumi Sayap-sayap berpatahan diterbangkan angin pada matahari namun gerimis, tak cukup untuk mengurai tangis kau lihatkah?
Medan, 2000

Sajak Burung Lelah

Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas terkunci di balik pintu kebebasan Dalam jari mencengkram, suaranya beku dalam bius dinding-dinding dingin. Hanya ada biji-biji padi, jagung atau pisang serta minuman penuh ganggang Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas suaranya dan bulu keemasan telah jadi pajangan, di dalam istana para junungan. Ia lupa warna cahaya mentari, apalagi pelangi Tak terdengar kokok ayam hutan jantan di pagi hari dan rinai hujan yang menari Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas kebebasannya telah mati bulu-bulu halusnya jadi tas tangan untuk ibu-ibu dan remaja putri dalam sandangan Medan, ‘01

Balada Daun-daun Gugur

Di puncak pepohonan ranting patah, dahan patah. Selembar daun jatuh dia tidak melambai ketika angin bertiup karena ia gugur sebelum menguning sebelum tubuhnya mengering kemarau dan hujan telah menjebaknya membius dengan sengatnya, mengguyur tanpa iba menyeret daun ke liang kubur Pepohonan diam, dahan diam, ranting diam, Daun diam, anginpun diam Seperti telah dibungkam Medan, 2000 Nuri dan Musang
Seekor nuri menjerit di bubungan atap pekik kerasnya ditelan warna kesunyian seekor musang mengintai di balik kelam mata jalangnya menatap garang menjelma ujung tombak menembus jantung nuri yang tercekik, menggelepar di kebisuan malam Medan, 00-06

Masih Merdekakah Kau Indonesia

Masih merdekakah kau Indonesia setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya dalam kaleng rombeng, di antara recehan miliknya para pengemis belia yang mendendangkan asap kanalpot dari oplet tua Masih merdekakah kau Indonesia ketika musyawarah berubah dari mufakat menjadi siasat, ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat, ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan, dan ketika para pejabat negara tega-teganya menjadi penghianat bangsa Masih merdekakah kau Indonesia dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya karena matamu telah dibutakan dan mulutmu disekat rapat-rapat, serta telinga cuma sekedar bunga tanpa aroma Masih merdekakah kau Indonesia padahal telah banyak disumbangkan darah dan airmata dari berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar warna luka Masih merdekakah kau Indonesia masih merdekakah? Medan, Agustus 00-04 Hutan Dalam Lukisan
Aku tahu ada macan dalam hutan ada kera dalam belantara aku tau buasnya hutan rimba Di sana juga ada surga bagi ikan bersinggasana di jernihnya kali dan kerajaan lumut rumput yang lembut dan seperti musafir, tempat para unggas singgah sehabis perjalanan yang lelah. Dan angin di pucuk pepohonan yang menari antara mayang-mayang menggapai langit antara gesekan lantun para daun Aku tahu ada hewan yang bebas dalam lindungannya ada tumbuhan yang beraneka rupa seperti lukisan hutan para maestro dunia karena keindahannya. Tapi yang aku tidak tahu mengapa ada gesekan gergaji kanan dan kiri berbuah gurun untuk generasi penerus negeri sementara kita masih senyum-senyum sendiri.
Medan, ‘00

Dikotaku Walet Jadi Penguasa

Di desa, para sesepuh rapat bersama berdiskusi tentang pengadilan lokasi swadaya tentang tangsi-tangsi pengungsi tentang pengadaan pangan, sandang dan papan untuk para pengungsi, saudara-saudara kita dari kota Di desa, para sesepuh berdoa bersama memanjatkan harapan pada Yang Maha Kuasa bagi penghuni-penghuni yang terusir dari rumahnya mengungsi entah kemana, berkumpul membangun desa bersama-sama Di desa, para sesepuh menggantungkan harapan dan impian, bagi keselamatan diri dari inspeksi virus imbas kota, walet-walet telah jadi penguasa, membangun istana untuk kerajaannya. Medan, ‘00

Kepodang Kehilangan Sarang

Pada pelepah pisang kepodang biasa memandang sawang dengan tenang Pada pelepah pisang kepodang biasa menyambut fajar yang terang cemerlang Pada pelepah pisang kepodang biasa bersiul masygul Kuning bercahaya bersih bersahaja bulunya melodi pagi sering terdengar nyaring riangnya Tapi, pagi tadi kepodang menyeringai garang. Dia telah kehilangan sarang Kehilangan mangkuk bulu poleng hitam di mata tengkuk, yang kuning keemasan. Kehilangan serangga buahan, sebagai makanan, terantuk sarang manuasi yang tinggi diantara gedung-gedung pencakar langit. Tak ada suaka, sementara deru knalpot membabat lantunnya Di etalase toko sarang kepodang dipajang menantang dengan harga bandrol khusus buat para pialang Di gedung-gedung bioskop, dan stasiun radio dimunculkan nenek moyang para kepodang dengan alunan lagu tembang kenangan Kepodang dengan paruh dan kaki merah jambu telah kehilangan sarang Kepodang dengan paruh dan kaki merah jambu telah jadi sejarah dalam kotak kaca sebagai cinderamata antar pengusaha. Dan anak cucu kita hanya melihatnya di musium-musium millenium
Medan, ‘01

M. Yunus Rangkuti
Lahir di Medan, 21 Maret 1966. Alumnus Program Studi Diploma III Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Tulisannya di muat di harian Analisa, Mimbar Umum dan Waspada (Medan), mingguan Swadesi dan Bisnis Indonesia (Jakarta). Puisi-puisinya terangkum dalam antologi bersama, ASA, 1984, diterbitkan Senat Mahasiswa Fak. Sastra USU. Katarsis, 1987, majalah dinding dan Senat Mahasiswa Fak. Sastra USU. Dalam Kecamuk Hujan, 1997, sanggar Kedai Sastra Kecil. Indonesia Berbisik, 1999, Dewan Kesenian Sumatera Utara. Muara Tiga, 2001, Dialog Utara IX. 25 Tahun Omong-Omong Sastra, 2002, Satra Leo. Tengok 4, 2003, Arisan Sastra Medan. Aktif mengikuti kegiatan sastra, khususnya di lingkungan Taman Budaya Sumatera Utara, menjabat sebagai Ketua Forum Kreasi Sastra (FKS) Medan. Kini bermukim di desa Sampali, kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Nomor kontak telepon (061) 6623492.

Seharusnya Kita Hidup Makmur
di tanah gembur tetumbuhan menyubur seharusnya kita hidup makmur tapi dedaunan mengering gugur tapi hutan digundul hancur tapi lahan hijau terus tergusur konglomerat rakus, pejabat tak jujur di tanah gembur tetumbuhan menyubur seharusnya kita hidup makmur tapi bencana terus menjulur tapi kemiskinan kian melumpur kita berkubang, lalu terkubur Sampali, Juli 2005

Limbah
Limbah poradaban kian mengental dalam darah menjalari sekujur tubuh bersama degup jantung membiak bak riak hujan lahirkan gelembung sesaat bertahan, kemudian pecah limbah kian melarut dalam pagut maut bermuara ke tangis samudera duka seperti embun pagi sejuknya sesaat membasuhi balita kita lahir senyumnya sesaat membahagiai hanya sesaat!
Sampali, Desember 2005

Limbah (2)
Limbah telah menganak sungai melimpah pada muara darah. Orang-orang tak henti menari dan berlari gapai pelangi hingga lelah sendiri limbah kian melimpah mendarah luka memburu pada cumbu semu. Orang-orang tak malu melagu lalu berlalu pacu waktu hingga kaku beku
Sampali, Desember 2005

Limbah (3)
Limbah cair tambah meruah di air membuncah setiap hari industri muntah. Anyir membaui ikan gobi mati sendiri Limbah cair tak henti menjalari tanah, sungai, danau terkontaminasi seratus juta warga mengkonsumsi limbah cair terus melarut kentali laut biota laut terancam, dalam sampan nelayan muram limbah cair bagai arus menggulung tak terbendung limabelas juta ton setahun, hanya dua juta bisa dikelola. Air, tanah dan udara diperkosa kita-kita tak berdaya saat tubuh kita limbung sebab lambung telah jadi tabung limbah cair terus mengalir, maut terus menggilir
Sampali, 2005

Maut dari Mulut-Mulut
Asap menebar maut menyebar dari mulut-mulut para pengisap akrab merasa beradab merasa tak menyalah, meski gelisah mendera-dera dalam layar kaca tak cela, dalam papan iklan] bak jantan, di bis kota bagai raja bermahkota dari beratus juta batang dibakar asap menebar maut dibalut dalam kemas pantas selubungi racun ganas, tutupi rasa cemas asap maut terus menyebar dari mulut-mulut para penghisap dalam pesona perangkap tawarkan cita rasa, malah hadirkan binasa suguhkan nikmat sejati, justru mempercepat mati
Laut Dendang, 2003

Pesta Madu
Seribu kumbang dan kupu-kupu berdendang merdu sejuta bunga melambai tari suguhkan madu sebegitu mempesona jangan usik kemesraan mereka! Ini pesta naluri alami, bukan umbar birahi
Desember, 2005

Ketika Aku datang, Ketika Aku Pergi

Ketika aku datang kota berhamparan kehijauan aku masih bocah gamang melangkah pematang sawah serombongan kami bersorak serentak burung-burung pipit terbang berhamburan Ketika aku datang kota bernaungkan kerimbunan aku masih belia senang menyusuri lengang jejalanan sekelompok kami melempar memunguti mangga dan sentul berjatuhan (tahun berganti, kota meramai aku meniti hari, hingga lelah sendiri) Ketika aku pergi kota kian sesak bebangunan aku telah menua bimbang melangkah persimpangan hamparan kehijauan ditelan deru pembangunan pipit menjerit gelisah kehilangan sawah sejuta walet pongah seliweran meresah mangga dan sentul telah lama tak berbuah Ketika aku pergi kota bertebaran sesampahan aku telah letih limbung menanggung beban kesedihan di hati berjanji: tak kembali lagi
Sampali, 2004

Kisah Kota Megah

Inilah kisah dari kota megah: banjir melimpah-ruah, sebab parit ditumpat sampah. Sungai jadi sempit sebab bantaran disesaki bebangunan nyaris tak tersisa keluasan penuh tanaman dan tanah kehilangan akar-akar serapan beton-beton menghunjam ke dasar bumi pipa dan kabel menjalar melingkari bebangunan menjulang gapai awan pepohonan menghilang dari pandangan bebangunan meluas kuasai lahan dedahanan dipangkas, akar ditebas protes selalu ada, proses begitu saja penghijauan dilakukan lewat anggaran sejuta Pinang Merah di pinggir jalan sesaat tumbuh, lalu rubuh tak utuh hilang dari pandang yang tersisa merana sia-sia wargakah tak bertanggung jawab? Atau selalu ada oknum penuh harap? Anggaran kembali turun untuk dilahap! Sampali, 2003

Limbah (4)

Limbah tiada bermuara, hanya mengembara lalu kembali meracuni kita-kita
Sampali, Desember 2005

Tiada yang Liar, Hanya Kita yang Barbar
Tiada yang liar dalam hutan terhampar kita sendiri bertindak tak benar memburu penuh nafsu, menebang dengan garang harimau, badak dan gajah melangkah lelah menuju punah. Berjenis unggas terbang gamang hilang sarang gaharu, cendana satu waktu tinggal nama hutan terus dirambah, jutaan batang telah rebah oleh tangan-tangan serakah Tiada yang liar di keluasan hutan terhampar kecuali kita pemburu dan penebang liar kecuali kita yang bertindak barbar
Sampali, 2005

Rida HR
Nama lengkapnya Ridahati Rambey, Lahir 03 April 1983 di desa Asam Jawa, sebuah desa di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. E-mail: arida_01@yahoo.co.id Handphone: 081361462150. Anak ketiga dari enam bersaudara dari ayah yang bernama Amalan Rambey dan Ibu Fatimah Siregar. Hidup dan dibesarkan dari keluarga yang sederhana. Menyelesaikan SD tahun 1995, SMP tahun 1998, dan SMA tahun 2001 di Kabupaten Labuhan batu. Tahun 2005, menamatkan kuliahnya di Departeman Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Puisi-puisinya di muat di harian Analisa, di antara Sepi, Lumrah, Ziarah pada Pusara yang Tak Bernama, Buatmu, Puisi Anak Negeri, Atas Nama Rintihan Alam, Padamu Jua. Semasa kuliah, aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, dikenal sebagai seorang aktifis lingkungan hidup yang peduli terhadap pelestarian hutan. Dalam Komunitas Pena Kehutanan Universitas Sumatera Utara (KOMPEN-USU), Komunitas Pembibitan USU (KOMBIT-USU), dan Himpunan Mahasiswa Sylva USU (HIMAS-USU).

Di Antara Jengkal-Jengkal Tanah

Puluhan tahun negeri berhutan rimba belantara dan satwa di dalamnya menampung air mengalir ke akar-akar pohon daun-daun tumbuh, dan embun menyentuh Namun kini di antara jengkal-jengkal tanah kita berdiri berubah jadi tembok-tembok angkuh memaksa bumi merusak alam memotong ranting dan pohon membuahkan padang gersang dan banjir bandang illegal loging, pertambangan, dan pembalakan jadi bencana Berteriaklah bumiku berteriaklah alamku gncangkan dunia dengan tangismu guncangkan jiwa dengan bencanamu Sebab esok tak ada embun yang datang bergeming di hati tak ada tajuk pohon menaungi karena hati keruh dan penuh debu Kitakah yang diagungkan sebagai khalifah bumi berdiri di antara jengkal-jengkal tanah negeri? Medan, 2005
Bahasa Alam Air yang mengalir dari gunung hingga ke lereng-lereng adalah bahasa alam sinar matahari dan angin yang berhembus riuh satwa di belantara adalah bahasa alam Sesungguhnya bahasa alam adalah bahasa aba-aba maka, jika pandai membaca aba-aba takkan mungkin sengsara takkan ada bencana Wahai, kembalilah memaknai bahasa alam untuk damai dan tenang hidup segala makhluk
Medan, 2005

Ziarah Pada Pusara Tak Bernama
Di bawah rimbun pohon kamboja beberapa helai daun dan bunga jatuh di atas pusara yang tak bernama adakah kau di sana ditemani malaikat berwajah garang atau riang? Aku berharap kau bergelar syuhada dari sang pencipta karena yang aku tahu kau pergi dalam gelombang dan bumi yang berguncang abadi dalam lukisan di tanah ini Medan, 2005

Buatmu Bahorok
Segala kisah yang kita rangkai tersandar pada luka pada masa yang diakhiri sang waktu berbaringlah pada tidur panjangmu Waktu yang tersisa adalah semai cinta yang harus kujaga dan doa yang harus kulantunkan setiap saat buatmu Kenangan bersama akan terkubur dalam rindu masa lalu dawai-dwai kerinduanku akan menghasilkan nyanyian tanpa isyarat tenanglah di sisiNya
Medan, 2005

Dalam Perjalanan Mencari Cahaya
Kami adalah buah cemara yang digerogoti dalam perjalanan mencari cahaya di belantara ini Kami hanya bisa mendengar nyanyian asmara cerita kami terpotong-potong dalam kolong sesekali bolehkah kami rindu pada pantai dan teka-teki gemersik pasir Medan, 2005

Buat Para Pemimpin Negeri
Geliat dan ratapan bocah jalanan gambaran penderitaan setumpuk kesumpekan peradaban yang tercipta oleh sang waktu Berbagai peristiwa mencengkram jiwa, lara keriuhan pikiran terhadap fenomena yang tercipta membuahkan beribu pertanyaan padamu para pemimpin negeri Cahaya apakah yang akan kau suguhkan pada kami adakah ia cahaya matahari yang terangnya hingga ke lubuk hati? Medan, 2005 Celoteh Kura-Kura
Aku seekor kura-kura kecil tak tahu kenapa dikurung dalam akuarium tinggal sendiri, dijatah makan hanya sekali karena kecil tubuhku geliatku tak kuat memecah kaca Berkali-kali membenturkan kepala, kukatakan menghiba; lepaskanlah aku tinggal di tepi laut bersama teman-teman bermain di pasir, menggulung riak-riak ombak tapi majikanku tak juga mengerti
Medan, 2005

Banjir Bandang
Air mengeruh berubah warna ini pertanda air menjelma jadi bencana banjir bandang datang tiba-tiba Hanyutkan berjuta jiwa manusia bayi yang ditimang pun kehilangan susu ibunya para remaja pun kehilangan kisah asmara tenggelam duka ditelan masa Tak ada daya Alam marah Tuhan marah Harus lari kemana kehadiratNya pasrah saja kenapa? Alam tak dijaga manusia tak amanah Konservasi didemo milik bersama eksplorasi milik siapa?
Medan 2006

Harta Pinem
Lahir 25 Juni 1958 di Juhar, Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo. Pendidikan akhir Sarjana Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia di IKIP Medan, 1987. Aktif menulis puisi, cerpen, esai seni budaya sejak 1986. Karya puisinya dimuat di harian Analisa, Singgalang, lampung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Nusa Tenggara, dan Bali Pos. Sejumlah puisinya turut dimuat dalam antologi Serayu (Purwokerto, 1995), Refleksi setengah Abad Indonesia (Solo, 1995), Tabur Bunga Penyair Indonesia (Blitar, 1994), Mimbar Penyair Abad 21 (Jakarta, 1996), Antologi Puisi Indonesia 1 (Bandung, 1996), Dari Bumi Lada (Bandar Lampung, 1996), Songket (Pelembang, 1996), Makam (Pekanbaru, 1999), Bumi (Medan, 2000) Bersama puluhan penyair dan pekerja seni atas undangan seniman Mbeling Sutanto, ia turut membawakan pidato kebudayaan di Studio Mendut, Magelang pada 1994. Saat ini ia menjadi staf penyunting dan pengasuh rubrik sastra di majalah bulanan rohani Menjemaat, komsos Keuskupan Agung Medan

Kepada Manusia
Kami ribuan satwa yang mengungsi dari daerah kelahiran kami sebab hutan yang tinggal sedikit terus ditebangi Kami tak tahu perjalanan hari depan kami raungan mesin sinso semakin akrab dalam pendengaran kami seolah musik pengantar tidur Kami tak takut mati sebab maut kini sahabat setia kami bahkan para alien semakin bergentayangan mengincar hari-hari kami yang bertambah sempit Teruskan, teruskan perbuatanmu wahai sahabat kami manusia tak usah kalian hiraukan gerak hidup kami yang makin terjepit jangan pula kalian hiraukan tentang arti sebuah persahabatan Teruskan menghamba pada kesementaraan tutup telingamu dan jangan asah nuranimu setelah ini Medan, 2005

Gerak
Tersebutlah kau sebagai rumpun gelagah dikremasi waktu sehabis abad berlalu para hewan perkasa berlalu lalang rayakan jasadmu Di hamparan tanah pekuburan milik semua bangsa tak lagi siapa pun yang dapat lanjutkan kekuasaan di sana sebab alam telah mencabutnya secara paksa Angin meneruskan embusannya sepanjang detik dan jam hujan melanggengkan sedu sedannya bagi bumi yang kini tinggal sebu semata Sungai mengalir deras dengan desirnya menembus semenanjung laut pun bergelombang merayakan kesunyian sepeninggal manusia di bumi tempat kediamannya
Medan, 2004

Perjuangan Kalah Menang
Dan sekawanan singa menggerayang di tubuhku minta daging empuk dan darah segar pemuas dahaga dan lapar yang meruyak di badan Singa-singa itu mendengus dan menggeram dalam aortaku mengoyak-ngoyak dinding kesadaranku Tubuhku jatuh amukannya melebihi hujatan badai Haruskah aku menyerah pada kebuasaannya tubuhku menggeliat laksana ular kesetanan mengunci tubuhnya dengan lilitan mematikan Kami bergumul saling meronta kalah dan menang nyawa taruhannya

Medan, 2001

Perpisahan Sehabis Perang
Kita berpisah sehabis perang pecah di lautan nafsu bukan suratan tangan, kata beliis jantan lalu terbang dan hinggap dari kolam ke kolam sambil membawa hujan Kata-kata bergema rindu bermekaran bagai bunga di sepanjang taman orang-orang bertangisan seraya menabur bunga ke nisan Angin bertiup kencang diikuti deru hujan belibis-belibis itu tak pernah berhenti menaburkan benih harapan meski selalu dikejar pemburu haus nafsu Dilayarkannya rindu dari kolam ke kolam sebelum menidurkannya di sebuah taman segar penuh semerbak mawar kita pun berpisah sehabis perang pecah di lautan nafsu menyimpang dari jalan keteduhan memilih jalan sendiri-sendiri
Medan, 2001

Di Rimbun Daun Tembakau
sunyi mengendap di sela-sela ladang tembakau kaktus-kaktus tua ranggas daunnya seperti kenangan sehabis perang mimpiku melata di dalamnya mencari bentuk aku masih ingin minum anggur dari guci biar kunimati lagu erangan burung undan bersama aroma bunga tembakau dan kau rangkum kisah sejarah kita dengan untaian lagu yang kukarang dari sejuk udara kampung jika kelak kita harus pulang ke pangkuan bunda berteduh di bawah rerimbun daun tembakau mengemas sisa rindu bersama anak cucu bersenang-senang meniti takdir meski langitdi atas sana masih berselimut mendung rerimbun daun tembakau pun masih gembira bertiup diembus angin

Sejak
Aku berjalan berkendaraan angin menelusuri seisi alam Aku rahmat bagi semesta lepaskan busana ago Tubuhku mengecil berbagi kasih bersama si miskin yang hidupnya tersisih dari pusaran arus angin Ibuku putri ayu saudara-saudaraku penggembala domba bersama bapakku kami bekerja di ladang anggur Setiap pagi bermasmur agungkan penciptaan hujan jadi kawan dan kemarau jadi penyeimbang harapan kami untuk setia memelihara kehidupan Aku mengembara bersama impian melawat kekasih jiwaku di sana riang membaca kalam menyanyikan syair kehidupan digerakkan roh keabadian bersatu hati rayakan kehadiran-Nya
Medan, 2004

Dalam Cintaku
Dalam cintaku kau melebihi danau di permukaannya perahu cintaku berlayar mencari kedamaian berkeliling dari pantai ke pantai wartakan kasih kerinduanku yang semakin hari semakin dalam pada semesta seperti dirimu yang tetap kurindu sepanjang waktu Dalam cintaku kau melebihi laut dikeluasan airmu kapal cintaku berlayar dari teluk ke palung menyelami rahasia diri dalami hakikat ziarah dari titik awal aku ada di sini hingga ke akhir nanti

Nanar
Aku tak ingin matamu nanar memandang kelelawar lalu-lalang terbang ke luar masuk ke dalam goa sebab sudah di sanalah memang tempatnya bersama keluang dan satwa gelap lainnya mereka nyanyikan senandung pengharapan bagi jiwa-jiwa yang rindu pulang ke kampung halaman sebab hidup di rantau hanya menambah antrian panjang para penganggur sedang perasaan bertambah rentan dirundung gelisah pikiran bercabang pula Zaman berlari, abad berlari berpacu mengejar asa sedang kita tertinggal jauh di belakang mengejar kesia-siaan angan aku tak ingin matamu nanar memandang keadaan sebab kita bukan kelelawar kita makhluk penebar benih harapan setiap jengkal perkataan kita adalah buah cinta janganlah pernah kita biarkan berhamburan jadi sampah
Medan, 2005

Senandung
Sebuah senandung kau lantunkan dengan penuh penghayatan bagi kekasih di seberang lautan ahoi sinandong! ahoi sinandong! Di mana kepala kuletakkan dan tangan kudekapkan ahoi, mambang segala mambang! maut tak kupuja hatiku hancur, siapa sangka, o, dara jelita! Ahoi nandong sinandong! Di manakah beta meletakkan cinta padahal laut telah kusingkap padahal jarak telah kutangkap padahal rindu telah kutimang di manakah kekurangannya, mestikaku! Sebuah senandung telah kau lantunkan dengan penuh kesabaran apalagi yang kurang, tanyamu pada angin di laut ombak berkejar-kejaran pohon bakau meliuk lambai perlahan di sana dara, di sini dara engkau di tengahnya merindu tanya
Medan, 2005

Seperti Capung
Seperti capung-capung di permukaan air hidupku mencari kesejukan di tengah kegersangan bumi sejak pepohonan, gua, dan sungai tak lagi terpelihara kehidupan satwa dan tumbuhan liar kucar kacir tak tentu arahnya seperti kehidupan bangsaku saat ini saling berebut peluang dan cakar-cakaran mengorbankan tumbal sesama tubuh yang kecil babak belur, Tuhanku diimpit kesesakan maka beri kami kekuatan melepaskan diri dari hukuman kutuk dan siksa ini seperti capung-capung itu menikmati kesementaraan dan kebahagiaan sejati di ladang-Mu
Medan, 2003

Hidayat Banjar
Lahir di Medan, 1 April 1962. Rumah Jl. Kapten M. Jamil Lubis - Aspol Blok A. No. 4 A Medan Telepon 061 7356324, Handphone 0812 6461581 Mulai menulis puisi, cerpen, cerbung dan esay/artikel tahun 1980 di media massa Waspada, Analisa, Bukit Barisan, Garuda, Mimbar Umum, Perjuangan Mandiri, Portibi (Medan) dan Harian Merdeka, Pelita (Jakarta). Karya cerpennyanya dimuat dalam Antologi cerita pendek Ah... Gerimis Itu cetakan I, 1990, diterbitkan oleh CV Monora Medan. 50 puisi Serenada, 1994, dipentaskan teater Kartupat Medan. Menerbitkan SKM Mediamassa, 2003. Sebagai pimpinan redaksi Tabloid Tona MUSALA. Staf ahli dr. Robert Valentino Tarigan SPd, BT/BS Bima. Aktif dalam seminar, diskusi sastra dan jurnalistik, masalah HAM serta lingkungan hidup dan pertelekomunikasian

Prodeo et Patria
Kebersamaan kau dan aku dengan rakyat melarut di rimba-rimba, di liku-liku kota di sungai-sungai peradaban urban karena kita adalah rakyat jutaan tangan yang lunglai Bersebab kita melarut jutaan tangan yang lunglai berubah jadi karang yang tahan segala tiba Duhai sahabat benih yang kau tabur di kebun dan ladang-ladang cinta kasih membuahkan keikhlasan menerima segala tiba sebagaimana para santo kau berjuang bersama rakyat melawan kezaliman tidak untuk dan jadi apa-apa prodeo et patria Bersama rakyat kita lalui siang terik berdebu gulita malam berembun membuhul makna perjuangan, harapan cinta kasih dan kesetiaan Duhai sahabat bukan perjuangan dan semangat perlawananmu yang membuat nurani bergemuruh dan burung-burung elang mengepak-ngepakkan sayapnya di langit jingga bukan...... bukan perjuangan dan perlawananmu Barusjahe, beratus kilometer dari tempatmu bekerja kami catat dalam sejarah pergerakan kaum lingkungan kemudian menyebar ke seluruh tanah karo simalem siosar, kacinambun, kutakendit dan rimba-rimba lainnya Sahabat, bukan perjuangan dan perlawananmu benar yang membuat nurani bergemuruh bukan..... bukan itu kasetiaan dan keridhaanmu menerima segala tiba bagai mazmur, menyirami jiwa-jiwa kering Kebersamaan yang melarut membuahkan pengertian tentang hak-hak rakyat yang dimarjinalkan tawaran uang, jabatan, dan todongan pistol kau lawan agar mata air rakyat tak berubah menjadi air mata agar tanah karo simalem tak berubah jadi simelas agar ibu pertiwi tetap lestari
Medan, 2004

Jangan Menangis Valentino

Jangan menangis Valentino ketika jutaan tangan lunglai menggapai-gapai pundakmu meraba-raba kegelapan tertatih-tatih menghimpun kekuatan agar mata air yang dirampok kezaliman kekuasaan tak berubah menjadi airmata, darah dan nanah Inilah negeri kita untaian zamrud di khatulistiwa jutaan hektar hutan perkebunan dan laut energi yang besar jutaan ton tambang emas, batubara, minyak dan gas energi yang masih tersimpan milik negeri ini milik kita tapi tak didistribusikan dengan adil Puluhan tahun orang-orang marjinal terus menanti terus bermimpi tentang bintang harapan yang terus menyinari siapa saja penduduk negeri ini sebuah negeri indah dengan nyanyian nyiur melambai dengan deru ombak Samudra Hindia dan Selat Malaka dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun namun rakyatnya kekurangan energi Kini engkau datang Valentino saat hutan bakau berubah jadi laut hutan gunung berubah jadi ladang-ladang pertikaian hujan yang merupakan rahmat berubah jadi bencana banjir sinar mentari yang hangat berubah jadi kemarau Inilah negeri kita Valentino sebuah sorga yang dibangun dengan air mata, darah dan nyawa rakyat tapi mereka terus terpinggirkan dan tak berdaya Hadirlah bersama rakyat tanpa tangis kepedihan mencari sorga kemerdekaan yang hilang entah ke mana Valentino, jadilah kidung bagi rakyat membasuh luka tak bertepi menerangi jalan-jalan panjang agar tak terjebak labirin berbau apek yang tanpa pintu dan jendela

Bahorok 1
Ada banyak alasan menyalahkan kami berumah di bantaran sungai dalam diskusi panjang di hotel berbintang yang mengantarkan kalian menjadi pemerhati lingkungan sejati Medan, 2004

Bahorok 2
Sudahlah, hentikanlah pertikaian jadikan kami, ratusan nyawa yang meregang tanpa arti sebagai jejak sejarah bahwa kita memang abai menjaga lingkungan Medan, 2004

Bahorok 3
Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini aku manusia biasa, yang menyimpan kenangan Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini bandang itu membuatku bagai sebatang pohon di tengah gurun anak, istri, orang tua, mertua dan orang-orang terkasih lenyap ditelan air yang membawa ribuan ton kayu Rusuk retak, kepala pun nyaris pecah keajaiban jualah yang melemparku dari timbunan balok kematian itu Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini aku manusia biasa, bukan batu bersendiri di penampungan sesekali amis darah menelusup di rongga jiwa Hai para maling kayu masih sanggupkah bersembunyi memakai mulut dan tangan penguasa menyebut kami makhluk yang pantas menerima bencana ini
Medan, 2004

Tiga Senja di Banda
senja pertama januari kususuri pantai yang terlihat di sini adalah jejak tsunami langit memerah dalam lnskap menggoda bianglala memayungi banda burung-burung laut masih sempat menyambar-nyambar ombak pantai yang kian melebar senja kedua januari, aku masih di sini terpana menatap jejak tsunami yang perkasa tak sanggup membayangkan nazli si kecil yang belum usai esde tercampak dansyat ke gunung mata’i dan tersangkut di ranting-ranting pohon sementara nazli-nazli yang lain lenyap ditelan gelombang tiga senja aku di banda sejauh-jauh mata memandang adalah silhuet hitam dengan mulut menganga ulee lheu, meuraxa, pekan bada, dan lainnya adalah genangan duka serta ketakutan tiga senja di banda adalah perasaan yang melompat-lompat merah-jingga-hitam-merah-jingga-hitam kemudian tsunami menggumpal di dada Allah
Medan, 2005

Pagi
adalah nyanyian pengantin yang membasahi bunga-bunga mekar taman pun mewangi dalam berjuta kemungkinan kapal-kapal yang bersandar menarik jangkar kawan pagi adalah senyum perwan yang menggerai rambutnya memanggil sang jejaka untuk mengolah lahan Medan, 2005

Siang
adalah arena kurusetra tempat para lelaki mempertaruhkan tanggungjawab kawan, tak usah ragu majulah kalah dan menang bukan tujuan nilai terletak pada seberapa besar kesanggupanmu menerima segala tiba dengan keikhlasan bumi yang siap memikul beban apa pun Medan, 2005