Selasa, 19 Oktober 2010

Mau Dibawa ke Mana Sastrawan Medan?

Lalu, hingga Mei 2010 ini terbitlah dua buku bunga rampai sastra yang menjadi perbincangan seniman, khususnya di Kota Medan dan Jakarta. Buku pertama berjudul ‘Akulah Medan’ dan buku kedua dilabel ‘Ini Medan Bung’. Hal ini sejatinya wajib diapresiasi positif andaikan masing-masing buku tersebut menawarkan kelebihan tersendiri.

Oleh: Ramadhan Batubara

Masalahnya, isi kedua buku itu nyaris sama. Mubazir. Dan, di dalam otak saya yang tidak seberapa ini, mengemuka pertanyaan yang harus mendapat jawaban; ada apa dengan sastrawan Medan? Mengapa terbit dua buku yang isinya nyaris sama? Sementara, masih banyak sastrawan Medan lainnya yang bisa dirangkum dalam kumpulan tersebut?
Saya jadi teringat dengan Dearmando Purba. Ya, beberapa waktu lalu saya dan Kadis Perhubungan Kota Medan itu terlibat perbincangan yang menarik soal lalu lintas di kota tercinta ini. Ujung-ujungnya mengarah kepada kemacetan. Saya pancing Purba dengan pertanyaan sederhana, “Kok macet?” Dan, Purba menjawab dengan santai tapi serius, “Pertumbuhan kendaraan di kota ini mencapai lima belas persen per tahun, sementara pertumbuhan badan jalan kau tahu berapa? Hanya satu pesen!”

Nah, kalimat Purba ini tiba-tiba keluar dalam otak saya dan memaksakan tangan saya untuk menuliskannya. Kata kuncinya adalah pertumbuhan.

Sederhananya begini, disepakati atau tidak disepakati, geliat sastra di Kota Medan mulai menunjukkan gerak. Telah bermunculan penulis-penulis baru, namun ruang untuk mereka berkarya tetap tidak berubah. Contohnya media, Medan dikenal sebagai kota dengan seribu koran, namun berapa korankah yang menyediakan ruang bagi penulis Medan untuk berkarya? Adakah majalah yang fokus untuk memajukan sastra Medan? Atau, adakah ruang lain yang bisa memanjakan seniman Medan untuk memublikasikan karyanya? Bak jalan yang itu-itu saja, kendaraan yang semakin banyak memunculkan macet yang tak terkira. Bah, mau dibawa ke mana sastrawan Medan ketika tak ada ruang untuk mereka berkarya?

Kenyataan ini menjadi menarik ketika ada dua buku terbit namun isinya nyaris sama. Ya, ‘Akulah Medan’ dan ‘Ini Medan Bung’ tadi. Ayolah, ketika penerbitan buku kumpulan sastrawan Medan minim, ada pula kumpulan orang dengan pongah menerbitkan dua buku yang isinya nyaris sama. Teja Purnama, penyair yang judul sajaknya diambil menjadi judul buku ‘Akulah Medan’ pun bingung. “Waduh, aku juga tak tahu kenapa bisa kayak gitu, Bung. Yang kutahu, untuk buku ‘Akulah Medan’ saja,” katanya.

Ini dia masalahnya, ketika karya dicomot dan dipublikasikan tanpa sepengetahuan si pembuat karya, maka bisa berbahaya kan? Ini sudah melanggar kekayaan intektual; hak cipta!

Seperti Teja, saya juga jadi bingung. Untuk meredakan sedikit kebingungan, saya perhatikan lagi buku itu. Buku pertama, ’Akulah Medan’ diterbitkan oleh sastramedan.com (2010) dan buku kedua ‘Ini Medan Bung’ diterbitkan oleh Seniman Medan (Jakarta, Mei 2010). Berarti, ada dua penerbit dan kalau dilihat dari nama penerbitnya ini pasti dikerjakan oleh kaum seniman juga kan? Berarti ada dua kubu pekerja yang saling berseberangan. Kembali lagi, kenapa isinya nyaris sama? Ah, siapa dibalik ini semua. Hebat sekalikah karya yang dirangkum dalam bunga rampai itu hingga dua penerbit mau menerbitkannya secara bersamaan? Sekali lagi, apakah penerbit tak mau melirik penulis Medan yang lain untuk dirangkum dalam sebuah buku? Bukankah hal itu bisa menambah semarak sastra Medan?
Terus terang, ketika memegang kedua buku itu, saya jadi tak selera membacanya. Bukan apa-apa, saya kecewa. Seniman yang biasanya lebih bijak memandang sesuatu kenapa terkesan unjuk gigi seperti ini. Saya curiga, persis yang dialami oleh Teja, banyak penulis di dalam kedua buku itu yang tak tahu-menahu soal ini.

Ya, bagi mereka adalah karya dipublikasikan, itu saja. Tentunya, jika terjadi seperti ini, mereka akan menolak saat diminta karyanya. Parahnya lagi, kabarnya, seniman yang memasukan karya di kedua buku itu tidak mendapat royalti. Fiuhhh….

Jika begini, tampaknya dibutuhkan sebuah pertemuan dari dua kubu pekerja itu. Setidaknya, pertemuan untuk membahas nasib para seniman tersebut dan seniman Medan pada umumnya. Ayolah, demi sebuah kemajuan, tak ada salahnya untuk berbincang dari hati ke hati. Ya, untuk menghindari hal seperti ini lagi terjadi. Seperti kata Purba, jalanan di Kota Medan sudah tak mampu lagi menampung kendaraan yang begitu banyak. Jadi, para seniman, buka mata.

Lihatlah, penulis baru sudah begitu banyak, bangunlah ‘jalan’ yang baru, ‘jalan’ yang ada di Kota Medan ini sangat terbatas. ‘Kendaraan’ harus terus melaju, kenapa ada ‘jalan’ yang ditutup demi ‘kendaraan’ yang itu-itu saja. Dan, bukankah menutup ‘dua jalan’ untuk ‘kendaraan’ tertentu adalah sesuatu yang tidak bijak?
“Orang Medan kan selalu ingin di depan, di lampu merah pun mereka ingin paling depan, hingga tanpa mempedulikan marka jalan,” kata Purba.

Ya, ‘Akulah Medan’ eh ‘Ini Medan, Bung’.

SEBUAH terobosan Komunitas Seni Medan

SEBUAH terobosan menarik dalam bidang sastra di Medan, digagas Komunitas Seni Medan (KSM). Lembaga ini menerbitkan sebuah buku kumpulan cerpen. Tahun 2009 tampaknya akan menjadi titik balik kebangkitan penerbitan karya sastra di Medan, khususnya cerpen.

Koordinator KSM Teja Purnama menyatakan, buku kumpulan cerpen itu dinamakan secara sederhana saja, Kumpulan Cerpen Medan. Isinya cerpen-cerpen yang berkenaan dengan Medan. Mulai dari sejarahnya tempo dulu hingga kondisi kekinian.

“Penerbitan ini terutama dimaksudkan untuk mencoba membangkitkan kembali gairah penerbitan sastra di Medan. Sebelumnya memang sudah pernah ada penerbitan sejenis, tetapi sudah lama tidak. Semoga ke depan ada banyak pihak yang melakukan hal seperti ini,” kata Teja di Medan, Selasa (10/11/).

Buku bersampul hitam dengan sketsa gambar Kantor Pos Besar Medan itu berisi 15 cerpen karya 15 cerpenis asal Medan. Antara lain A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Idris Pasaribu, Muram Batu, Nasib TS, Rina Mahfuzah Nst, Sulaiman Sambas, T. Agus Khaidir, Teja Purnama, YS. Rat dan Yulhasni.

Teja menyatakan tidak terlalu berharap banyak dari penerbitan ini. Hanya upaya untuk membangkitkan gairah para pekerja sastra di Medan saja. Namun ada banyak mimpi lain yang ingin diujudkan KSM. Sebelumnya KSM juga pernah menerbitkan beberapa beberapa karya sastra, namun sudah sekian lama tidak lagi menerbitkan karya-karya baru karena berbagai masalah.

“Kami tentu berharap ada karya-karya lain yang bisa diterbitkan. Tetapi pada sisi lain, tidak mudah menerbitkan sebuah karya sastra di Medan. Selain masalah ketersediaan materi dan potensi pasar, juga ada masalah percetakan yang cukup sulit. Kualitas cetak di Medan seringkali tidak begitu bagus atau kami belum menemukan tempat yang bagus. Maka kemarin kami terpaksa cetak di luar kota. Setidaknya satu tingkat lebih baiklah kualitas cetaknya,” kata Teja.

Mengenai peluncuran, Teja menyatakan memang sudah ada rencana untuk melakukan peluncuran buku tersebut pertengahan November mendatang. Pelucuran juga akan dilakukan secara sederhana saja. Hanya kumpul-kumpul sastrawan dan berdiskusi tentang pelbagai hal, termasuk membahas cerpen-cerpen yang ada buku yang baru diterbitkan ini. “Insya Allah akan ada acara peluncuran, tapi ya masih rencana,” ujar Teja.

Aldian Aripin Dalam Perjalanan

Maka pulau Bangkapun terlampaui
Benturan-benturan ombak di haluan
Memukul-mukul hatiku yang rindu

Elang yang duka bertengger di kayu terapung
Mengucapkan salam, selamat jalan kepadaku
Perantau larut dalam perjalan pulang

Matahari yang jingga keemasan
Sebentar lagi 'kan silam, tenggelam
Di balik-balik Bukit Barisan

Ketika ini, di senja begini
Kutahu dia sedang mengulangi membaca
Telegram yang kemarin aku poskan:

"Aku pulang, datang bersama kematangan
Yang akan kutumbuhkan dalam hatimu,
Nantikan daku sayang, di pelabuhan."

1964.
(Dalam Perjalanan,Aldian Aripin)

NAMA Aldian Aripin tentu tidak asing lagi dalam jagat sastra Indonesia. Biodatanya kepengarangannya bisa dibaca dalam Leksikon Susastra Indonesia-nya Korie Layun Rampan ataupun Buku Pintar Sastra Indonesia-nya Pamusuk Eneste.

Karya Aldian Aripin secara lengkap dapat dilacak dalam buku Aldian Aripin: Penyair, Karya, Rentang Waktu, dan Lingkup Jelajahnya. Buku ini mengungkap sejarah kepenyairan beserta pumpunan antologi puisi yang ditulis Aldian Aripin, diterbitkan Sastra Leo, Medan, tahun 2001. Aldian Aripin adalah seorang penyair Angkatan 66 yang berasal dari Sumatera Utara.

Buku ini memang terbit tahun 2001. Namun, karya-karya yang muncul masih layak hingga kini. Apalagi, sang penulis tercatat sebagai penyair Angkatan 66 yang kerap mengikuti perkembangan sastra di Indonesia.

Karena itu, di antara jajaran sastrawan ”Angkatan 66” Sumatera Utara, sepatutnya kita tengok ruang-ruang dan lingkup jelajahnya. Ada keistimewaan tersendiri pada diri sastrawan gaek ini. Betapa tidak, di saat memasuki usia pensiun, ia menyempatkan diri mengumpulkan kembali karya-karyanya yang terserak dalam sejumlah buku. Lalu disatukan dan dikompilasi.

Sejauhmana kehebatan wilayah ucap Aldian? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa meminjam pernyataan Siahaan (Aripin, 2001:199), bahwa pada awal kepenyairan, Aldian menyenangi puisi-puisi romantis lalu berubah ke penciptaan puisi imagis yang terpengaruh dari penyair Amerika, Carl Sandburg. Proses selanjutnya ia beralih menulis puisi-puisi mistis-metafisis.

Karya-karyanya dalam buku ini merupakan kumpulan-kumpulan puisinya yang sudah terbit dari tahun 1966-1998 dan sejumlah puisi yang belum terbit. Buku ini memuat kumpulan puisi ‘Ribeli 1966’, ‘Oh Nostalgia’, ‘Elipsis’, ‘Nyanyian Malam Hari’, ‘Amanat’, ‘Comemorative Stone and Other Poems’, dan sejumlah puisi yang terkesan ’dibuang sayang’. Selain itu, buku ini juga memuat beberapa komentar dari para kritikus sastra dan dari pengarang sendiri serta proses kreatifnya dalam berpuisi.

Diawali dengan bagian pertama yang diberi judul ‘Labyrinth’, berasal dari kumpulan puisi Ribeli 1966. puisi-puisi dalam kumpulan ini umumnya mengandung nilai-nilai perjuangan seperti dalam puisi yang berjudul Revolusi: “Revolusi kita adalah revolusi rakyat/yang menegakkan kebenaran, menuntut keadilan/siapa yang khianat/Tahanlah ujung peluru//.”

Atau pada bait terakhir puisinya yang berjudul Akan Tiba Waktu: ”//..//Lihatlah, jutaan tangan teracun/dengan satu tuntutan/Turun tahta!//.” Nilai-nilai perjuangan ini timbul karena sang penyair merasa gelisah akibat ketidakadilan dan kesewenangan pemerintah. Nilai-nilai perjuangan juga terdapat dalam puisi-puisi yang berjudul ’Labyrinth’, ’Elegia Ibukota’, dan ’Akulah Tanah Air’.

Lalu pada bagian kedua yang dipetik dari kumpulan puisi ’Oh Nostalgia’, Aldian menyusun puisi-puisi romantisnya. Hal ini terlihat pada puisi-puisi yang berjudul Balada Penyair dan Gadisnya, Mimpi, Sebuah Kamar, Perempuan, Midah, dan Marilah Sayang.

Ia juga berbicara tentang cintanya yang ditolak dalam puisi Dendam: “Perhitungan-perhitungan yang salah/menyayat hatiku luka parah//...//Jalan berliku, ujungnya menanjak/hatiku sendu, hasratku ditolak//Bertahan atas kelabu, luka kian meruyak/padakertas kusuratkan dendam yang bergejolak//.”

Pada bagian ketiga, Aldian berbicara lewat puisi-puisi singkat yang diambil dari kumpulan ’Elipsis’. Ia berfilosofi tentang Tuhan dan manusia. Simak saja puisinya yang berjudul Ada: ”Adakanlah dirimu/maka/engkaupun adalah//Dan tetap ada/hingga/segalanya punah//.”

Filosofinya tentang Tuhan dan manusia juga terdapat dalam puisi Metafisika, Manusia, Akulah Manusia, Guruh di Jauh, Enneth, Au Revoir, Perjuangan, ’Adam Kesadaran Pertama, Nafi-Isbat, Beban, Kita Memang Suka, Benar, dan masih banyak lagi.

Aldian juga bercerita tentang cinta seperti dalam puisi Ketilang: ”Dendang hati rindu/ketilang di ranting kayu/sendu kicau yang sedih/ketilang kehilangan kekasih/bedil angin di tangan/telah memupus angan//.”

Dalam puisi di atas, meskipun singkat, bisa dilihat kisah cinta seekor ketilang yang kesepian karena ditinggal mati oleh kekasihnya. Pada bait terakhir Aldian menjelaskan bahwa ternyata kekasih ketilang itu telah mati karena dibuhnuh oleh manusia. Pada puisi ini terlihat jika manusia hanya mementingkan kesenangan untuk dirinya sendiri saja. Manusia tidak bisa (mau) melihat apakah kesenangannya itu bisa menyengsarakan makhluk (manusia) lain atau tidak.

Pada bagian keempat, yang diambil dari kumpulan puisinya yang berjudul ’Nyanyian Malam Hari’, Aldian bercerita tentang Bulan Sabit, Orang di Luar, Pintu, ’Jendela, Lampu, Kursi, Meja, Paku, Kalender, Cermin, Rak Buku, Bayangan, Angin Malam, dan benda-benda lain yang menarik hatinya untuk diungkapkan dalam puisi.

Ia juga masih mengungkapkan sisi romantisnya dalam puisi ’Kekasih’: ”Bila aku memandangmu ketagihan/Adalah karena rangsang rasa gairah/Lalu kurentang kedua tangan/Bolehlah dadaku kau belah//Maukah kau tahu/Bahwa besi yang pijar inginkan tempa/Karena pasti kau tahu/Aku terpana karena tergoda//.”

Dalam puisi di atas, ia menceritakan seseorang yang sedang dilanda asmara. Aldian tak lupa mengungkapkan masalah-masalah kehidupan hingga kematian seperti dalam bait terakhir puisinya, Ketakutan Pada Mati: ”Betapa benarkah perihnya/Betapa hebatkah ngerinya/Batas antara hidup dan mati//.”

Pada bagian kelima yang berasal dari kumpulan puisi yang berjudul ’Amanat’, Aldian lebih mengarah kepada sisi spiritual. Puisi-puisi yang bersifat mistis-metafisis mengungkapkan sisi religius, tentang keimanan manusia terhadap Tuhannya.

Pada puisi Man Roa Minkum Munkaron, Aldian mengungkapkan tipisnya keimanan manusia sekarang karena malas dan suka bermewah-mewah. Simak saja puisinya di bawah ini:

Sesungguhnya

telah enggan para malaikat

menyentuh mesjid-mesjid yang megah

yang setiap menjelang waktu sholat

memutar kaset mengumandangkan ayat-ayat

sedang di situ berjejer lusinan kitab

dan di antara jamaahpun ada yang fasih

dan lancar membaca Al-Qur’an

Namun para nazir jarang

yang menyadari akan kealpaan ini

ia malah terlena termangu-mangu dibuai

oleh alunan lagu dari qori yang telah

direkamkan

Sabda telah dilecehkan

firman telah diperjualbelikan

kita tinggal menerima laknat dan kutukan

bencana yang berkepanjangan.

Selain itu, semangat religinya terdapat pada puisi Tentang Sebuah Mesjid, Perjalanan Malam Hari, Karunia, Amanat Bagi Pencari, Batu Hitam, Thawaf, Dzikrullah, Qolbulmukminina Baitullah, Sang Pemandu, Penobatan, Tentang Ruh, Titah, Baiat, Urusan, dan Laisa Ka Mishlihi Syaiun.

Kemudian pada bagian keenam, Aldian mengumpulkan puisi-puisinya yang berbahasa Inggris dalam ’Comemorative Stone and Other Poems’. Semua puisi dalam kumpulan ini pun sudah diterbitkan dalam kumpulan puisi sebelumnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Aldian sendiri dan Harry Aveling, sastrawan dari Australia.

Lalu pada bagian ketujuh, buku ini memaparkan sejumlah komentar dari para kritikus sastra. Drs. M.S. Hutagalung menyatakan bahwa puisi-puisi elipsis Aldian tidak sanggup mendukung isi dari kedalaman dan kebessaran temanya. Dalam menciptakan sajak-sajak itu terkadang ditemukan ungkapan yang mengesankan dan padat, namun sajak-sajak itu condong ke arah konsep-konsep dan statemen (hal. 247).

Beberapa kritikus mencoba menelaah kepenyairan Aldian yang berubah dari wakru ke waktu dan dipengaruhi oleh sastrawan asing. Namun semua itu tidak sepenuhnya benar, karena meskipun ia beralih dari puisi romantis ke mistis-metafisis bukan berarti ia tidak menulis puisi-puisi romantis lagi.

Pada bagian kedelapan, Aldian menanggapi komentar para kritikus. Ia membantah pernyataan dari M.S. Hutagalung yang menganggap puisi-puisinya condong ke arah konsep-konsep dan statemen. Bagi Aldian, apa yang dia tulis dalam puisi-puisinya bukan hanya konsep, tapi sajak yang final (hal. 247).

Ia menambahkan bahwa sajak adalah pekatan kata, suatu esensi. Itulah sebabnya ia selalu cenderung menulis sajak-sajak pendek. Hal itu sekali-kali bukan karena kurang darah, kurang elan vital, tapi baginya, jika mau berpanjang-panjang mengapa harus ditulis sebagai puisi. Bukankah lebih baik ditulis sebagai esai atau cerita pendek saja?

Pada bagian akhir buku ini, Aldian menyematkan karya-karyanya yang terkesan ’dibuang sayang’. Beberapa di antaranya Sajak Buat Ibrahim Sattah yang ditulis dalam bahasa Minang. Selain itu, ada puisi yang berjudul Musim Kemarau dan Mobokrasi Kita yang mengungkapkan kegelisahannya akan negerinya sendiri karena keserakahan sejumlah elite politik. Lalu ada puisi-puisi dalam bahasa Jerman dan Cina serta sebuah lagu yang berasal dari puisi Marilah Sayang. *** (Alm. Aldian Aripin telah berpulang ke rahmatullah Jumat, 16 Oktober 2010,Aldian Aripin. Lahir di Kotapinang, Sumatera Utara 1 Agustus 1938.Kumpulan puisisnya antara Lain : Oh Nostalgia (1968) Nyanyian Malam Hari (1997) Menjadi editor antologi puisi dan cerita pendek Sumatera Utara Terminal (1972) bersama Zakaria M Passe The Horizon of Hopes (1999) )Selamat jalan.........

kurusetra

AFRION
Lahir di Kisaran, 29 April 1963. Rumah Jl. Pematang Pasir Gang. Famili No. 71 Tanjung Mulia - Medan 20241. Nomor Handphone. 0816 312 0974. E-mail : afrionblok@yahoo.com Mulai menulis di media massa tahun 1976 antara lain puisi, cerpen, esay, artikel, dan resensi pertunjukan Aktif berteater mulai tahun 1976. Sempat hijrah ke Jakarta tahun 1987. Bergabung mengikuti latihan teater di Bengkel Teater Rendra dan mendapat kesempatan ikut dalam lakon drama "The Ritual of Solomons Children" yang di pentaskan dalam acara The First New York International Festival of The Art di kota New York. Kembali ke Medan tahun 1989, membentuk Genta Enterprise bersama Ali Jauhari Productions. Mengundang kelompok seni pertunjukan Bengkel Teater Rendra, Teater Kecil Arifin C Noer, Ikranagara dan N. Riantiarno Teater Koma Jakarta. Sebelumnya, 1984 membentuk Teater Blok Medan dan memainkan naskah-naskah dramanya antara lain Orang Orang Tercecer (1985), Janin dan Orang Orang Terasing (1986), Dialog Batin (1987), Di Ujung Malam (2002 - 2003), Huma (nyanyian hantu (2003), monolog Orang Orang Tercecer (1986), monolog Tanah Negeri dan Semak Kuburan (2004), Dumen dan Waktu Beku, Kaki Langit di Tubuhku (2005). Kumpulan puisi Gelombang, 1985, diterbitkan CV. Kencana Ungu Medan. Sangsi, 1987, CV Sinar Agung Medan. Nyanyian Jiwa, 2003, Politeknik Negeri Medan. Waktu Beku, 2004, Laboratorium Sastra Medan. Antologi puisi Amuk Gelombang, 2005, Star Indonesia Productions. Ragam Jejak Sunyi Tsunami, 2005, Balai Bahasa Medan.

Bahorok

Dan airlah membawa maut sejak mula riwayat hutan dihabiskan Pekik yang merajam dendam di tanah bebatu yang kerap kita lalui berlompatan ranting pohon puncak bukit menghadap hutan gundul membangunkanmu yang lelah menyaksikan tapak-tapak kaki pembalakan mengupak-ngapik tanah runtuh Airlah ia yang datang tiba-tiba diciptakan ruh dari padanya batang kayu bersampan-sampan ke dalam hidupmu seketika tak kau jawab langit runtuh matikah? Berhamburan mata air illegal logging sepanjang hutan Bukit Barisan berapakah usiamu kini? Lihat betapa sesak nafasmu menunggu sepanjang terang menghitung bencana tak jera-jera merenggut anak dalam buaian tak ingin lekas pulang menghadap Tuhan Dan airlah membawa maut sejak mula riwayat hutan dihabiskan jadi gurita mencengkram nyawa
2004

Kota Batu

Di kota bertumbuhan kesombongan tanah merekah memekik amarah membabat rumput dan daun-daun jadi batu baru bertingkat-tingkat menggapai langit Tak ada bangga selain keluh kesah menutup beban sejarah setiap sudut menjadi bocah melukis cahaya batang pohon bergulingan di atas marmar - lantai keramik menerbangkan layang-layang menyaksikan ruang terhina bangunan tua Runtuhlah bangunan tua itu berdiri di antara dinding batu baru diremuk hawa panas dan debu bertahun tidak bersisa ruang meleburkan diri bersama kisah bergulingan di atas rumput Celakalah kesombongan membiarkan yang lain sakit dirajam sesak nafas berhari-hari udara kotor di tabur pendurhaka kota membiarkan pencemaran menjadi semak Berapa rupiah sudah kau habiskan? Kota bertumbuhan batu-batu baru sungai berlumpuran limbah aku pun tak ingat entah sudah berapa kali mengantar jenazah 2004 3

Toba Samosir
I
Dulu pernah kujelajah berapa pinus tumbuh puncak bukit dengan daun dan bunga mengembang pinggiran danau hijau membentang lalu air membawaku berkeliling begitu jernih begitu bersih Menelusuri jalan berangin-angin mengitari tanah bertingkat, sawah, dan wangi daun bersama basahi tubuh, selalu gemetar merasa dingin menikmati sekumpulan ikan bunga-bunga sepanjang jalan melantunkan bunyi; Boraspati - Boraspati pada peta abadi menenun ulos pengantin tak merasa lagi dingin menziarahi makam atau membarakan perapian menghangatkan tubuh menghias langit tujuh pelangi mendongengkan orang asing datang berkunjung berganti-ganti lalu pergi membawa ulos pengantin Boraspati lenakah tidurmu dalam kabut puncak bukit daun yang tak lagi remaja berbunga-bunga melantunkan kenangan yang kini terlupakan terhina dan terlunta Tanah maha luas dulu pernah kuhitung berapa pinusmu debit air dan wajah ikan berkejaran
II
Kini di antara jejak tapak kaki tak kulihat pinus tumbuh berlapis-lapis atau tubuh lelaki kekar memanjat pohon Selain luka panas tanah membakar tak ada tersisa dingin angin cahaya kunang-kunang menembus gelap dan anak-anak ikan berkejaran ke pantai Tak ada pantai karena bangunan menjorok ke danau ikan mati dilimbah racun pinus habis menggelandang Menyaksikan retak tanah disapu angin membawa daun-daun kering pada setiap butir batu nyanyi pilu anak-anak di tubuh berdebu sudahkah kau dewasa? Menyaksikan tanah moyang dijarah puluhan kerambah ikan orang asing mengapung limbah pelet menjadi lumpur racun di dasar danau Menyaksikan batang kayu ditebangi bertahun-tahun menjelmakan kerawanan menjadi kiamat yang tak tercatat Sudahkah kau berpikir dewasa menuliskan sebaris riwayat menutup luka?
III
Akan kunyanyikan padamu tentang tanah negeri dan semak kuburan sukma yang luruh di setiap sudut mendongengkan sejarah makhluk raksasa menjaga hutan sampai ke akar ke puncak ubun Melintasi kota sepanjang hari mengikut jejak demonstran meski gemetar keluar dari tubuh keriput karena ancaman senjata dan palu godam pengadilan Menyisir petaka menampung mata air, menjelmakan sungai menuju danau, lalu istirah membiarkan tubuh basah menulis tanah dan air rintik hujan menyeka rambut dan mata Akan kuperdengarkan pula bisik Boraspati menyusukan anak-anaknya dari getah pohon pinus beratus tahun minum dari liur ikan juga kepadamu akan kuberi ciuman sepasang pengantin melahirkan putik bunga mengambangkan daun, buah masak Tapi sudahkah kau cukup dewasa atau tua hanya pandai mereka-reka?
IV
Air keruh, bau, dan kotor menggegaskan langkah mengakhiri penjelajahan karena tanah kian gaduh pohon gundul, hilang tempat berteduh Kenangan lalu menjerat ketakutan pada tubuh sekarat bahkan tanpa nyawa di pinggir pantai berbatu mengutip sampah pembawa maut Danaumu - danaumu oh raja dan datu-datu yang kau jaga siang malam mendendangkan lagu keindahan tanahmu menjadi hina dan terlunta-lunta
V
Apakah menjadi sia-sia tubuhku melontarkan amarah anak sorga dibungkam dengan hukum dan palu godam Aku atau kitakah tak berdaya melawan segala khianat menyeka bau udara lembab Sebab besok adalah kematian ditumpangi malaikat menutup muka dalam sedih yang hitam sakit yang mencekam 2005

Deknong
(airmatamu riwayat duka Aceh)
1.
Laut menggemuruh menggunung ombak datang bergelombang Di tengah pagi menghantam daratan menyapu jiwa - melayang - hilang senyap suara-suara menyayat mendekap tangisan meratap Seperti murkanya alam maut datang dari laut bagai melepas dendam tangannya mencengkram ribuan nafas kemudian seketika raib ke samudera lalu nampaklah di tengah puing berserakan puluhan tubuh bergelimpangan Langit memayungkan duka air mata kutulis syair menjadi prosa kutulis pilu tangis membanjir puisi luka puisi duka maha dahsyat luka maha dahsyat duka Maha bijak Allah!
2
Kau pun tahu, Deknong begitu tak berdayanya kita di tengah amuk perang dan politik dunia di tengah amuk senjata dan mortir penguasa taklah gelombang sekejam itu meratakan tanah huma Berhentilah mengenang anak-anakmu atau menghitung kesalahan masa lalu Pagi ketika maut dijemput laut biarkan senyum menebar wajah antara hidup dan mati alangkah dekatnya kita meski membayang derita menghantam sepanjang riwayat tanah Aceh Kehendak pengetahuan tak sampai membangunkan kesadaran pikiran berhentilah menangisi gelombang menyaksikan riak air, batu, dan pantai berpasir Jika dikenang begitu jauhnya ujung pulau lalu laut mengkafani jasad menghilang ke negeri lain antara langit, daratan, dan perasaan melumpuhkan hari-hari berkabung menghitung satu dua pertempuran maka biarkan laut menjemput maut biarkan mereka tidur melepas lelah di sisi Allah
2005

Resah
(tentang sebuah negeri)
Berpuluh resahku menghambur ke pucuk kalbumu lahir berpuluh gundah - berpuluh gelisah berpuluh rumah dan kanak berselimut kain belacu Istana bagi semua - mengalir airmata tetesnya menusuk jantung - hati dan paru debar menyesak - menghantam tengkuk kepala kemana membawa pikiran - sedang tanah tandus beratus luka perempuan-perempuan Adalah ibuku berkisah tentang sebuah negeri bertumbuhan kepalsuan; Sekumpulan orang meniup sangkakala sementara ibu di tengahnya mengelus hiba merangkul amuk manusia pinggiran bangun dari tidur - melihat jalanan terbakar minyak bertumpahan - nafsu merubah kehidupan Bumi dilamun petaka prahara menghancurkan hati - tanah dan air dikubangan kota - mengiris hati - menghentak langkah memamah kenakalan sejarah siapa meneteskan mata air padahal di mimbar kerakyatan langit berkabut lalu antara bayangan memanjang melewati negeri gelap gulita - segala menghilang membentang khianat tanah huma tanah dari negeri menangiskan mimpi-mimpi 2004 - 2005

Bumi
(di tengah musim)
Jika menjadi ibu di kepalanya penuh kunang-kunang Jika menjadi abu habislah sudah cahaya kehidupan Jangan pernah tak bertenaga membuka suara membentang pergolakan - mengabarkan perilaku tentang tangis dan penindasan berpuluh gundah - hak dinistakan kehidupan ditelantarkan terbuang jadi debu di tengah musim; masa suram Setelah amuk perang, senjata, dan pembodohan jadi lorong labirin - tenggelamkan sejarah peradaban bumi dikelilingi dataran rumit penuh sukacita pecahan tabung kaca lalu pesta jumpalitan melepas lelah, tidur dangan kemenangan Pada selembar surat yang kutulis pandanganku teriris-iris Bahwa aku menghempang kematian menjadi abu atau menjadi patung batu monumen sejarah berziarahlah membuka sejarah kota dan kehidupan kugantikan pisau batu dengan baja bermata seribu 11 Setajam bibir ombak menguras pasir di pantai sesekali ke tengah berenangan dengan angan-angan menjadi beribu pisau pisau-pisau peradaban kebudayaan
2005

Langkah
Mendaki jalan-jalan - tanah rumputan kaki telanjang nyeri menggapai-gapai gapaiku gapaimu di puncak langit biru Jalan-jalan bebatuan - mata bersimbah darah hidup di angin apa dengan perut keroncongan Aku inikah bumi tak sampai-sampai langkahku mencapaimu lelah mencari telaga di tanah kering Gapaiku gapaimu tak sampai-sampai bertemu
1986 - 2005

Dunia
Bayangan kita memutus barisan di kerajaan angin kutu dan kecoa di daratan berlupaan lupa segala yang tiada, ada yang membenam hati dan jiwa penuh kelancangan yang bergelayutan di kafir puncak kota-kota jadi pelacur jadi anjing kekuasaan jadi rebutan
1987 - 2005

Laut
Telah dikabarkan riwayat gelombang melekat di tanah menghitam Jika dikenang begitu dekatnya kita bertempur dengan maut antara hidup dan mati Maka biarkan laut menjemput biarkan aku menidur melepas lelah di sisi Allah 1990

Maut
Ada malaikat meneteskan gerimis ada wanita tenggelam di langit jangan menangis menahan sakit meski waktu datangkan perih lalu maut memungut sisa nafas kita

Khuldiku
Lelah sukmaku lepas sukmamu cemas penghabisan di segala muara masuklah-masuklah silahkan kau rebah jatuh karmaku jatuhlah Cahaya adakah cahaya membenahi keterlanjuran yang tercipta sejak lama? Khuldiku jemputlah dosa kita itu kiamat jatuh sepanjang dunia tempat adam dan hawa samsara 1985 - 2005 Demi Bumi
Jangan letakkan hukum di bawah bantal dalam mobil mewah berwarna hitam pekat yang tak bisa kutandai entah simpang mana menuju jurang jejak kaki nyeri pada kulit mata berkunang sepanjang jalan selalu kalah di tikungan Setiap muara berhenti di laut logam berat melebur lewat tailing setelah lalui meja dan kursi duduk bersandar membuka jendela membersihkan kemeja membungkam suara menerka-nerka warna seperti buih menepi menampar karang pasir pantai jejak hilang meninggalkan bau karatan Lelakiku tertinggal jauh selalu kalah di tikungan jalan ke mana perginya orang-orang itu? Menjelajahi bumi menyisir udara, tanah, dan air sedimentasi mengancam Timika limbah muara Otakwa ke laut Arafura merenggut jiwa Amungme, Komoro, Dani, dan Ekari Merkuri, Arsen, Sianida, dan Tembaga logam berat pencemar Teluk Buyat di Sulawesi Utara rintihan korban Tembaga Pura, Rampa, dan Teluk Jakarta raib entah ke mana 14 Penebangan hutan Ladia Galaska Illegal logging di Kalimantan dan Papua sama parahnya menggelandangkan pinus ke Porsea Kalau tanah menjadi debu debu menjadi abu abu menjadi udara kotor udara kotor menjadi panas panas menjadi uap air uap air menjadi gas gas mencemari angkasa di angkasa lapaisan ojon menganga lalu sepanjang perjalanan waktu senantiasa menghitung maut menggali makam sampai tenggelam abadi lebih abadi dari matahri

Jones Gultom
Lahir di Perbaungan 26 Oktober 1982. Tulisan- tulisannya berupa puisi, cerpen dan artikel budaya diterbitkan di sejumlah media cetak dan nasional. Di antaranya Analisa, Waspada, SIB, Mimbar Umum, Sumut Pos, Kiprah, Harian Sumatra, Medan Bisnis, Suara Pembaruan, Majalah Salus, Suara Hati dan Menjemaat. Berkesenian di beberapa kota di Indonesia antara lain, Yogyakarta, Lampung, Jakarta, Pekanbaru dan Medan.

Bulan di atas toba
dari dolok ke dolok aku menyusuri bayangmu setiap kali kutemukan jejakmu selalu ada yang tertinggal bula di atas toba seperti Tuhan yang sedang berkaca senyumnya luka- luka yang indah di atas toba bulan tak pernah mati meski di tanah ini mendung selalu menggantung memasung hariara, hoda, anggir hingga tak lagi bertuah dari dolok ke dolok di antara pinus dan hariara aku menyusur bayangmu yang tersangkut di antara gundukan enceng gondok seperti Li Tai Po kau pun mengajakku bersidekap 2005

Hutan Gugur
di gerbang rimbamu kau menyambutku dengan nyanyian chainsaw dan deru pohon yang berjatuhan aku pun ragu melanjutkan perjalanan! 2005
Di Toba Aku Berpulang
Telah kutaburkan serpihan jiwaku ke dasarmu toba Hantarkanlah pada Nan Tinjo si penjaga tao Hanya itu yang bisa kuberikan Sisanya secuil nyeri dan sakit hati Melihat hutanmu tak lagi menyisakan ranting bagi leang- leang mandi Melihat airmu yang berlumpur Sengaja kubakar dengan dupa dan kemenyan Bair aromaku merajai tubuhmu Kelak angin dolok menyeretnya ke hulu Mengetuk- ngetuk setiap pintu! 2005

Kabar Dari yang Berebahan
Kayu yang berebahan di gerbang pintu Mengucap salam padamu Tentang penjarahan besar- besaran tadi malam ; mereka membawa traktor, buldozer dan chainsaw mereka juga membunuh anak- anak kami lalu menunjukkan luka- lukanya kabar dari hutan siapa yang tahu kabar dari rimba siapa yang mau tahu bila di balik itu ada yang lebih menggairahkan! 2005

Nyanyian Burung yang Hutannya Hilang Rimba
Kusaksikan di antara ranting dan dedaunan Burung- burung kehilangan cengkeraman Menggantung di udara Karena hutan telah kehilangan rimba Di udara burung- burung tak henti berkepak Sayapnya mulai terbakar Dan gugur satu persatu Burung- burung melengking Mencoba menghentikan auman cainsaw Hanya udara yang mendengarnya Sementara di sebelah sana orang sibuk menghitung angka- angka 2005 Temaram Rebah di

Toba
Matahari patah Ketika temaram rebah di dadamu Aku mengayuh perahu sampai jauh Sampai lapuk biduk dan robek layarku Menuju ujung jubahmu Yang kau ikatkan di perahuku Toba adalah airmata para dewa Dan aku terombang- ambing di atasnya 18 Bandang
Terima kasih telah kau ingatakan kami akan serakah ini!

Tsunami
Tolong kirim yang lebih dahsyat lagi Biar dunia tahu Di Indonesia banyak anak yang memperkosa ibunya!

Mengungsi ke Kepala
Karena tak ada tempat Gajah, harimau, monyet burung, ular pohon- pohon Mengungsi ke kepalaku Lantas beranak- pinak Menjelmalah kepala menjadi hutan rimba Aku memang tak punya bahtera Seperti Nuh Tapi aku punya jiwa Bagimu Hutanku! Inilah kelemahanku! 2005

Surat dari rimba untukNya
Katakan padaku siapa yang menyembunyikan surat itu Hingga Dia tak pernah tahu kabar kami di sini Lalu murka mengirim bencana Sejak dulu kami rajin mengirim surat Walau aku ragu sampaikah ia padaNya Sebelum akhirnya bencana Dan kami sadar tak sekalipun ia pernah membacanya Lalu siapa yang menyembunyikan surat itu?

M. Raudah Jambak
Lahir di Medan, 5 Januari 1972. Aktif diberbagai kegiatan seni sastra dan budaya. Selain menulis puisi, cerpen, artikel, dan esai. Ia dikenal sebagai aktor dan sutrdara teater. Tahun 1993, melakonkan Tessemata di Open Stage TBSU. Tahun 1994, Sang penyair di Open Stage TBSU. Tahun 1995 mengikuti PEKSIMI-NAS III di TIM Jakarta, membawa naskah Abrakadabra. Tahun 1997, menampilkan Menyibak Tirai Masa Depan di Pardede Hall. Tahun 1998, membawa Petang di Taman. Tahun 2000, melakonkan Tragedi Al-Hallaj di Tiara Convention Hall. Tahun 2001, Kecubung Pengasihan di TBSU. Tahun 2002, menampilkan lakon Jodoh di TBSU. Tahun 2003, Tamu Terakhir di GKJ Jakarta. Tahun 2004, monolog Anjing Masih Mnggonggong di Taman Budaya Banda Aceh. Puisinya diterbitkan dalam antologi Kecamuk ( ), Tengok (.......... ), Seratus Untai Biji Tasbih (....................), Meditasi (..................). Muara Tiga ( cerpen Indonesia dan Malaysia,..............). Easainya dimuat dalam buku 25 tahun Omong-Omong Sastra. Bekerja sebagai guru di Perguruan Panca Budi dan Budi Utomo, serta dosen honorer di Universitas Negeri Medan. Kegiatan lainnya sebagai redaktur budaya di tabloit Media Ummat. Kini tinggal menetap di Murai Batu E.10 Kompleks Rajawali Indah-Sunggal Medan. Handphone 085830805157. Semboyan hidupnya, jika ingin hidup maka berjuanglah.

Di Bawah Rintik Hujan

Hujan bercakap-cakap dengan rindu, rindu dengan pohon, pohon dengan perempuan perempuan dengan hujan di serambi sunyi, sunyi hampir malam, malam makin menghitam Dari balik jendela, kau memahami percakapan hujan dengan takdir yang mengalir bersama nadi diri, bersama nurani, padahal takdir sendiri takut kau hadapi Setidaknya kau merangkai kata dalam nyanyian tentang lelaki; atau bunyi cecak dari balik jendela atau kau bisa mengakui; takdir adalah kelam berisik angin yang patah di serambi tapi sampai kini kau masih juga tidak mengerti sebab tak kau sadari ada seorang lelaki yang bersunyi-sunyi diri menggenggam matahari bersama untaian melati Hujan bercakap-cakap dengan rindu, rindu dengan pohon, pohon dengan perempuan, perempuan dengan melati, melati dengan matahari dan lelaki itu dan perempuan itu akhirnya tak sendiri
Medan, 2000

Rindu Daun-daun

Kemana daun-daun itu? sedang kemarau menabur-tabur luka di setiap nyanyian kita : rindu daun-daun angin siang ini, kekasih bertutur pada kembara riwayat kita rindu yang merindu beraroma melati begitu kemaraunya membabat tangis dalam isak sampai angin membawanya pada segala kitapun lunglai asyik dalam nyanyian diri mengharu biru dalam deru rindu daun-daun ke puncak angin ke puncak bianglala menikam pada dada setiap perawan menghujam jantung para jejaka kemana daun-daun itu? Medan, 2000

Sepasang Kelinci

Suara kelinci betina di kandang suara kehilangan tentang si jantan yang kaku jadi bangkai hawa nafas kurungan jadi rantai ada kehidupan terikat mati ada kematian dalam cengkraman kehidupan sepanjang peradaban Medan, 00-06 Tembang Burung Malam
Kau lihatkah burung-burung terbang pada pelukan malam tangisnya semakin dalam; dari senja sampai batas kelam Sayap-sayap berpatahan satu persatu gugur menyentuh bumi Sayap-sayap berpatahan diterbangkan angin pada matahari namun gerimis, tak cukup untuk mengurai tangis kau lihatkah?
Medan, 2000

Sajak Burung Lelah

Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas terkunci di balik pintu kebebasan Dalam jari mencengkram, suaranya beku dalam bius dinding-dinding dingin. Hanya ada biji-biji padi, jagung atau pisang serta minuman penuh ganggang Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas suaranya dan bulu keemasan telah jadi pajangan, di dalam istana para junungan. Ia lupa warna cahaya mentari, apalagi pelangi Tak terdengar kokok ayam hutan jantan di pagi hari dan rinai hujan yang menari Burung yang lelah mengigau dalam sangkar emas kebebasannya telah mati bulu-bulu halusnya jadi tas tangan untuk ibu-ibu dan remaja putri dalam sandangan Medan, ‘01

Balada Daun-daun Gugur

Di puncak pepohonan ranting patah, dahan patah. Selembar daun jatuh dia tidak melambai ketika angin bertiup karena ia gugur sebelum menguning sebelum tubuhnya mengering kemarau dan hujan telah menjebaknya membius dengan sengatnya, mengguyur tanpa iba menyeret daun ke liang kubur Pepohonan diam, dahan diam, ranting diam, Daun diam, anginpun diam Seperti telah dibungkam Medan, 2000 Nuri dan Musang
Seekor nuri menjerit di bubungan atap pekik kerasnya ditelan warna kesunyian seekor musang mengintai di balik kelam mata jalangnya menatap garang menjelma ujung tombak menembus jantung nuri yang tercekik, menggelepar di kebisuan malam Medan, 00-06

Masih Merdekakah Kau Indonesia

Masih merdekakah kau Indonesia setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya dalam kaleng rombeng, di antara recehan miliknya para pengemis belia yang mendendangkan asap kanalpot dari oplet tua Masih merdekakah kau Indonesia ketika musyawarah berubah dari mufakat menjadi siasat, ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat, ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan, dan ketika para pejabat negara tega-teganya menjadi penghianat bangsa Masih merdekakah kau Indonesia dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya karena matamu telah dibutakan dan mulutmu disekat rapat-rapat, serta telinga cuma sekedar bunga tanpa aroma Masih merdekakah kau Indonesia padahal telah banyak disumbangkan darah dan airmata dari berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar warna luka Masih merdekakah kau Indonesia masih merdekakah? Medan, Agustus 00-04 Hutan Dalam Lukisan
Aku tahu ada macan dalam hutan ada kera dalam belantara aku tau buasnya hutan rimba Di sana juga ada surga bagi ikan bersinggasana di jernihnya kali dan kerajaan lumut rumput yang lembut dan seperti musafir, tempat para unggas singgah sehabis perjalanan yang lelah. Dan angin di pucuk pepohonan yang menari antara mayang-mayang menggapai langit antara gesekan lantun para daun Aku tahu ada hewan yang bebas dalam lindungannya ada tumbuhan yang beraneka rupa seperti lukisan hutan para maestro dunia karena keindahannya. Tapi yang aku tidak tahu mengapa ada gesekan gergaji kanan dan kiri berbuah gurun untuk generasi penerus negeri sementara kita masih senyum-senyum sendiri.
Medan, ‘00

Dikotaku Walet Jadi Penguasa

Di desa, para sesepuh rapat bersama berdiskusi tentang pengadilan lokasi swadaya tentang tangsi-tangsi pengungsi tentang pengadaan pangan, sandang dan papan untuk para pengungsi, saudara-saudara kita dari kota Di desa, para sesepuh berdoa bersama memanjatkan harapan pada Yang Maha Kuasa bagi penghuni-penghuni yang terusir dari rumahnya mengungsi entah kemana, berkumpul membangun desa bersama-sama Di desa, para sesepuh menggantungkan harapan dan impian, bagi keselamatan diri dari inspeksi virus imbas kota, walet-walet telah jadi penguasa, membangun istana untuk kerajaannya. Medan, ‘00

Kepodang Kehilangan Sarang

Pada pelepah pisang kepodang biasa memandang sawang dengan tenang Pada pelepah pisang kepodang biasa menyambut fajar yang terang cemerlang Pada pelepah pisang kepodang biasa bersiul masygul Kuning bercahaya bersih bersahaja bulunya melodi pagi sering terdengar nyaring riangnya Tapi, pagi tadi kepodang menyeringai garang. Dia telah kehilangan sarang Kehilangan mangkuk bulu poleng hitam di mata tengkuk, yang kuning keemasan. Kehilangan serangga buahan, sebagai makanan, terantuk sarang manuasi yang tinggi diantara gedung-gedung pencakar langit. Tak ada suaka, sementara deru knalpot membabat lantunnya Di etalase toko sarang kepodang dipajang menantang dengan harga bandrol khusus buat para pialang Di gedung-gedung bioskop, dan stasiun radio dimunculkan nenek moyang para kepodang dengan alunan lagu tembang kenangan Kepodang dengan paruh dan kaki merah jambu telah kehilangan sarang Kepodang dengan paruh dan kaki merah jambu telah jadi sejarah dalam kotak kaca sebagai cinderamata antar pengusaha. Dan anak cucu kita hanya melihatnya di musium-musium millenium
Medan, ‘01

M. Yunus Rangkuti
Lahir di Medan, 21 Maret 1966. Alumnus Program Studi Diploma III Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Tulisannya di muat di harian Analisa, Mimbar Umum dan Waspada (Medan), mingguan Swadesi dan Bisnis Indonesia (Jakarta). Puisi-puisinya terangkum dalam antologi bersama, ASA, 1984, diterbitkan Senat Mahasiswa Fak. Sastra USU. Katarsis, 1987, majalah dinding dan Senat Mahasiswa Fak. Sastra USU. Dalam Kecamuk Hujan, 1997, sanggar Kedai Sastra Kecil. Indonesia Berbisik, 1999, Dewan Kesenian Sumatera Utara. Muara Tiga, 2001, Dialog Utara IX. 25 Tahun Omong-Omong Sastra, 2002, Satra Leo. Tengok 4, 2003, Arisan Sastra Medan. Aktif mengikuti kegiatan sastra, khususnya di lingkungan Taman Budaya Sumatera Utara, menjabat sebagai Ketua Forum Kreasi Sastra (FKS) Medan. Kini bermukim di desa Sampali, kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang. Nomor kontak telepon (061) 6623492.

Seharusnya Kita Hidup Makmur
di tanah gembur tetumbuhan menyubur seharusnya kita hidup makmur tapi dedaunan mengering gugur tapi hutan digundul hancur tapi lahan hijau terus tergusur konglomerat rakus, pejabat tak jujur di tanah gembur tetumbuhan menyubur seharusnya kita hidup makmur tapi bencana terus menjulur tapi kemiskinan kian melumpur kita berkubang, lalu terkubur Sampali, Juli 2005

Limbah
Limbah poradaban kian mengental dalam darah menjalari sekujur tubuh bersama degup jantung membiak bak riak hujan lahirkan gelembung sesaat bertahan, kemudian pecah limbah kian melarut dalam pagut maut bermuara ke tangis samudera duka seperti embun pagi sejuknya sesaat membasuhi balita kita lahir senyumnya sesaat membahagiai hanya sesaat!
Sampali, Desember 2005

Limbah (2)
Limbah telah menganak sungai melimpah pada muara darah. Orang-orang tak henti menari dan berlari gapai pelangi hingga lelah sendiri limbah kian melimpah mendarah luka memburu pada cumbu semu. Orang-orang tak malu melagu lalu berlalu pacu waktu hingga kaku beku
Sampali, Desember 2005

Limbah (3)
Limbah cair tambah meruah di air membuncah setiap hari industri muntah. Anyir membaui ikan gobi mati sendiri Limbah cair tak henti menjalari tanah, sungai, danau terkontaminasi seratus juta warga mengkonsumsi limbah cair terus melarut kentali laut biota laut terancam, dalam sampan nelayan muram limbah cair bagai arus menggulung tak terbendung limabelas juta ton setahun, hanya dua juta bisa dikelola. Air, tanah dan udara diperkosa kita-kita tak berdaya saat tubuh kita limbung sebab lambung telah jadi tabung limbah cair terus mengalir, maut terus menggilir
Sampali, 2005

Maut dari Mulut-Mulut
Asap menebar maut menyebar dari mulut-mulut para pengisap akrab merasa beradab merasa tak menyalah, meski gelisah mendera-dera dalam layar kaca tak cela, dalam papan iklan] bak jantan, di bis kota bagai raja bermahkota dari beratus juta batang dibakar asap menebar maut dibalut dalam kemas pantas selubungi racun ganas, tutupi rasa cemas asap maut terus menyebar dari mulut-mulut para penghisap dalam pesona perangkap tawarkan cita rasa, malah hadirkan binasa suguhkan nikmat sejati, justru mempercepat mati
Laut Dendang, 2003

Pesta Madu
Seribu kumbang dan kupu-kupu berdendang merdu sejuta bunga melambai tari suguhkan madu sebegitu mempesona jangan usik kemesraan mereka! Ini pesta naluri alami, bukan umbar birahi
Desember, 2005

Ketika Aku datang, Ketika Aku Pergi

Ketika aku datang kota berhamparan kehijauan aku masih bocah gamang melangkah pematang sawah serombongan kami bersorak serentak burung-burung pipit terbang berhamburan Ketika aku datang kota bernaungkan kerimbunan aku masih belia senang menyusuri lengang jejalanan sekelompok kami melempar memunguti mangga dan sentul berjatuhan (tahun berganti, kota meramai aku meniti hari, hingga lelah sendiri) Ketika aku pergi kota kian sesak bebangunan aku telah menua bimbang melangkah persimpangan hamparan kehijauan ditelan deru pembangunan pipit menjerit gelisah kehilangan sawah sejuta walet pongah seliweran meresah mangga dan sentul telah lama tak berbuah Ketika aku pergi kota bertebaran sesampahan aku telah letih limbung menanggung beban kesedihan di hati berjanji: tak kembali lagi
Sampali, 2004

Kisah Kota Megah

Inilah kisah dari kota megah: banjir melimpah-ruah, sebab parit ditumpat sampah. Sungai jadi sempit sebab bantaran disesaki bebangunan nyaris tak tersisa keluasan penuh tanaman dan tanah kehilangan akar-akar serapan beton-beton menghunjam ke dasar bumi pipa dan kabel menjalar melingkari bebangunan menjulang gapai awan pepohonan menghilang dari pandangan bebangunan meluas kuasai lahan dedahanan dipangkas, akar ditebas protes selalu ada, proses begitu saja penghijauan dilakukan lewat anggaran sejuta Pinang Merah di pinggir jalan sesaat tumbuh, lalu rubuh tak utuh hilang dari pandang yang tersisa merana sia-sia wargakah tak bertanggung jawab? Atau selalu ada oknum penuh harap? Anggaran kembali turun untuk dilahap! Sampali, 2003

Limbah (4)

Limbah tiada bermuara, hanya mengembara lalu kembali meracuni kita-kita
Sampali, Desember 2005

Tiada yang Liar, Hanya Kita yang Barbar
Tiada yang liar dalam hutan terhampar kita sendiri bertindak tak benar memburu penuh nafsu, menebang dengan garang harimau, badak dan gajah melangkah lelah menuju punah. Berjenis unggas terbang gamang hilang sarang gaharu, cendana satu waktu tinggal nama hutan terus dirambah, jutaan batang telah rebah oleh tangan-tangan serakah Tiada yang liar di keluasan hutan terhampar kecuali kita pemburu dan penebang liar kecuali kita yang bertindak barbar
Sampali, 2005

Rida HR
Nama lengkapnya Ridahati Rambey, Lahir 03 April 1983 di desa Asam Jawa, sebuah desa di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara. E-mail: arida_01@yahoo.co.id Handphone: 081361462150. Anak ketiga dari enam bersaudara dari ayah yang bernama Amalan Rambey dan Ibu Fatimah Siregar. Hidup dan dibesarkan dari keluarga yang sederhana. Menyelesaikan SD tahun 1995, SMP tahun 1998, dan SMA tahun 2001 di Kabupaten Labuhan batu. Tahun 2005, menamatkan kuliahnya di Departeman Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Puisi-puisinya di muat di harian Analisa, di antara Sepi, Lumrah, Ziarah pada Pusara yang Tak Bernama, Buatmu, Puisi Anak Negeri, Atas Nama Rintihan Alam, Padamu Jua. Semasa kuliah, aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, dikenal sebagai seorang aktifis lingkungan hidup yang peduli terhadap pelestarian hutan. Dalam Komunitas Pena Kehutanan Universitas Sumatera Utara (KOMPEN-USU), Komunitas Pembibitan USU (KOMBIT-USU), dan Himpunan Mahasiswa Sylva USU (HIMAS-USU).

Di Antara Jengkal-Jengkal Tanah

Puluhan tahun negeri berhutan rimba belantara dan satwa di dalamnya menampung air mengalir ke akar-akar pohon daun-daun tumbuh, dan embun menyentuh Namun kini di antara jengkal-jengkal tanah kita berdiri berubah jadi tembok-tembok angkuh memaksa bumi merusak alam memotong ranting dan pohon membuahkan padang gersang dan banjir bandang illegal loging, pertambangan, dan pembalakan jadi bencana Berteriaklah bumiku berteriaklah alamku gncangkan dunia dengan tangismu guncangkan jiwa dengan bencanamu Sebab esok tak ada embun yang datang bergeming di hati tak ada tajuk pohon menaungi karena hati keruh dan penuh debu Kitakah yang diagungkan sebagai khalifah bumi berdiri di antara jengkal-jengkal tanah negeri? Medan, 2005
Bahasa Alam Air yang mengalir dari gunung hingga ke lereng-lereng adalah bahasa alam sinar matahari dan angin yang berhembus riuh satwa di belantara adalah bahasa alam Sesungguhnya bahasa alam adalah bahasa aba-aba maka, jika pandai membaca aba-aba takkan mungkin sengsara takkan ada bencana Wahai, kembalilah memaknai bahasa alam untuk damai dan tenang hidup segala makhluk
Medan, 2005

Ziarah Pada Pusara Tak Bernama
Di bawah rimbun pohon kamboja beberapa helai daun dan bunga jatuh di atas pusara yang tak bernama adakah kau di sana ditemani malaikat berwajah garang atau riang? Aku berharap kau bergelar syuhada dari sang pencipta karena yang aku tahu kau pergi dalam gelombang dan bumi yang berguncang abadi dalam lukisan di tanah ini Medan, 2005

Buatmu Bahorok
Segala kisah yang kita rangkai tersandar pada luka pada masa yang diakhiri sang waktu berbaringlah pada tidur panjangmu Waktu yang tersisa adalah semai cinta yang harus kujaga dan doa yang harus kulantunkan setiap saat buatmu Kenangan bersama akan terkubur dalam rindu masa lalu dawai-dwai kerinduanku akan menghasilkan nyanyian tanpa isyarat tenanglah di sisiNya
Medan, 2005

Dalam Perjalanan Mencari Cahaya
Kami adalah buah cemara yang digerogoti dalam perjalanan mencari cahaya di belantara ini Kami hanya bisa mendengar nyanyian asmara cerita kami terpotong-potong dalam kolong sesekali bolehkah kami rindu pada pantai dan teka-teki gemersik pasir Medan, 2005

Buat Para Pemimpin Negeri
Geliat dan ratapan bocah jalanan gambaran penderitaan setumpuk kesumpekan peradaban yang tercipta oleh sang waktu Berbagai peristiwa mencengkram jiwa, lara keriuhan pikiran terhadap fenomena yang tercipta membuahkan beribu pertanyaan padamu para pemimpin negeri Cahaya apakah yang akan kau suguhkan pada kami adakah ia cahaya matahari yang terangnya hingga ke lubuk hati? Medan, 2005 Celoteh Kura-Kura
Aku seekor kura-kura kecil tak tahu kenapa dikurung dalam akuarium tinggal sendiri, dijatah makan hanya sekali karena kecil tubuhku geliatku tak kuat memecah kaca Berkali-kali membenturkan kepala, kukatakan menghiba; lepaskanlah aku tinggal di tepi laut bersama teman-teman bermain di pasir, menggulung riak-riak ombak tapi majikanku tak juga mengerti
Medan, 2005

Banjir Bandang
Air mengeruh berubah warna ini pertanda air menjelma jadi bencana banjir bandang datang tiba-tiba Hanyutkan berjuta jiwa manusia bayi yang ditimang pun kehilangan susu ibunya para remaja pun kehilangan kisah asmara tenggelam duka ditelan masa Tak ada daya Alam marah Tuhan marah Harus lari kemana kehadiratNya pasrah saja kenapa? Alam tak dijaga manusia tak amanah Konservasi didemo milik bersama eksplorasi milik siapa?
Medan 2006

Harta Pinem
Lahir 25 Juni 1958 di Juhar, Kecamatan Juhar, Kabupaten Karo. Pendidikan akhir Sarjana Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia di IKIP Medan, 1987. Aktif menulis puisi, cerpen, esai seni budaya sejak 1986. Karya puisinya dimuat di harian Analisa, Singgalang, lampung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Nusa Tenggara, dan Bali Pos. Sejumlah puisinya turut dimuat dalam antologi Serayu (Purwokerto, 1995), Refleksi setengah Abad Indonesia (Solo, 1995), Tabur Bunga Penyair Indonesia (Blitar, 1994), Mimbar Penyair Abad 21 (Jakarta, 1996), Antologi Puisi Indonesia 1 (Bandung, 1996), Dari Bumi Lada (Bandar Lampung, 1996), Songket (Pelembang, 1996), Makam (Pekanbaru, 1999), Bumi (Medan, 2000) Bersama puluhan penyair dan pekerja seni atas undangan seniman Mbeling Sutanto, ia turut membawakan pidato kebudayaan di Studio Mendut, Magelang pada 1994. Saat ini ia menjadi staf penyunting dan pengasuh rubrik sastra di majalah bulanan rohani Menjemaat, komsos Keuskupan Agung Medan

Kepada Manusia
Kami ribuan satwa yang mengungsi dari daerah kelahiran kami sebab hutan yang tinggal sedikit terus ditebangi Kami tak tahu perjalanan hari depan kami raungan mesin sinso semakin akrab dalam pendengaran kami seolah musik pengantar tidur Kami tak takut mati sebab maut kini sahabat setia kami bahkan para alien semakin bergentayangan mengincar hari-hari kami yang bertambah sempit Teruskan, teruskan perbuatanmu wahai sahabat kami manusia tak usah kalian hiraukan gerak hidup kami yang makin terjepit jangan pula kalian hiraukan tentang arti sebuah persahabatan Teruskan menghamba pada kesementaraan tutup telingamu dan jangan asah nuranimu setelah ini Medan, 2005

Gerak
Tersebutlah kau sebagai rumpun gelagah dikremasi waktu sehabis abad berlalu para hewan perkasa berlalu lalang rayakan jasadmu Di hamparan tanah pekuburan milik semua bangsa tak lagi siapa pun yang dapat lanjutkan kekuasaan di sana sebab alam telah mencabutnya secara paksa Angin meneruskan embusannya sepanjang detik dan jam hujan melanggengkan sedu sedannya bagi bumi yang kini tinggal sebu semata Sungai mengalir deras dengan desirnya menembus semenanjung laut pun bergelombang merayakan kesunyian sepeninggal manusia di bumi tempat kediamannya
Medan, 2004

Perjuangan Kalah Menang
Dan sekawanan singa menggerayang di tubuhku minta daging empuk dan darah segar pemuas dahaga dan lapar yang meruyak di badan Singa-singa itu mendengus dan menggeram dalam aortaku mengoyak-ngoyak dinding kesadaranku Tubuhku jatuh amukannya melebihi hujatan badai Haruskah aku menyerah pada kebuasaannya tubuhku menggeliat laksana ular kesetanan mengunci tubuhnya dengan lilitan mematikan Kami bergumul saling meronta kalah dan menang nyawa taruhannya

Medan, 2001

Perpisahan Sehabis Perang
Kita berpisah sehabis perang pecah di lautan nafsu bukan suratan tangan, kata beliis jantan lalu terbang dan hinggap dari kolam ke kolam sambil membawa hujan Kata-kata bergema rindu bermekaran bagai bunga di sepanjang taman orang-orang bertangisan seraya menabur bunga ke nisan Angin bertiup kencang diikuti deru hujan belibis-belibis itu tak pernah berhenti menaburkan benih harapan meski selalu dikejar pemburu haus nafsu Dilayarkannya rindu dari kolam ke kolam sebelum menidurkannya di sebuah taman segar penuh semerbak mawar kita pun berpisah sehabis perang pecah di lautan nafsu menyimpang dari jalan keteduhan memilih jalan sendiri-sendiri
Medan, 2001

Di Rimbun Daun Tembakau
sunyi mengendap di sela-sela ladang tembakau kaktus-kaktus tua ranggas daunnya seperti kenangan sehabis perang mimpiku melata di dalamnya mencari bentuk aku masih ingin minum anggur dari guci biar kunimati lagu erangan burung undan bersama aroma bunga tembakau dan kau rangkum kisah sejarah kita dengan untaian lagu yang kukarang dari sejuk udara kampung jika kelak kita harus pulang ke pangkuan bunda berteduh di bawah rerimbun daun tembakau mengemas sisa rindu bersama anak cucu bersenang-senang meniti takdir meski langitdi atas sana masih berselimut mendung rerimbun daun tembakau pun masih gembira bertiup diembus angin

Sejak
Aku berjalan berkendaraan angin menelusuri seisi alam Aku rahmat bagi semesta lepaskan busana ago Tubuhku mengecil berbagi kasih bersama si miskin yang hidupnya tersisih dari pusaran arus angin Ibuku putri ayu saudara-saudaraku penggembala domba bersama bapakku kami bekerja di ladang anggur Setiap pagi bermasmur agungkan penciptaan hujan jadi kawan dan kemarau jadi penyeimbang harapan kami untuk setia memelihara kehidupan Aku mengembara bersama impian melawat kekasih jiwaku di sana riang membaca kalam menyanyikan syair kehidupan digerakkan roh keabadian bersatu hati rayakan kehadiran-Nya
Medan, 2004

Dalam Cintaku
Dalam cintaku kau melebihi danau di permukaannya perahu cintaku berlayar mencari kedamaian berkeliling dari pantai ke pantai wartakan kasih kerinduanku yang semakin hari semakin dalam pada semesta seperti dirimu yang tetap kurindu sepanjang waktu Dalam cintaku kau melebihi laut dikeluasan airmu kapal cintaku berlayar dari teluk ke palung menyelami rahasia diri dalami hakikat ziarah dari titik awal aku ada di sini hingga ke akhir nanti

Nanar
Aku tak ingin matamu nanar memandang kelelawar lalu-lalang terbang ke luar masuk ke dalam goa sebab sudah di sanalah memang tempatnya bersama keluang dan satwa gelap lainnya mereka nyanyikan senandung pengharapan bagi jiwa-jiwa yang rindu pulang ke kampung halaman sebab hidup di rantau hanya menambah antrian panjang para penganggur sedang perasaan bertambah rentan dirundung gelisah pikiran bercabang pula Zaman berlari, abad berlari berpacu mengejar asa sedang kita tertinggal jauh di belakang mengejar kesia-siaan angan aku tak ingin matamu nanar memandang keadaan sebab kita bukan kelelawar kita makhluk penebar benih harapan setiap jengkal perkataan kita adalah buah cinta janganlah pernah kita biarkan berhamburan jadi sampah
Medan, 2005

Senandung
Sebuah senandung kau lantunkan dengan penuh penghayatan bagi kekasih di seberang lautan ahoi sinandong! ahoi sinandong! Di mana kepala kuletakkan dan tangan kudekapkan ahoi, mambang segala mambang! maut tak kupuja hatiku hancur, siapa sangka, o, dara jelita! Ahoi nandong sinandong! Di manakah beta meletakkan cinta padahal laut telah kusingkap padahal jarak telah kutangkap padahal rindu telah kutimang di manakah kekurangannya, mestikaku! Sebuah senandung telah kau lantunkan dengan penuh kesabaran apalagi yang kurang, tanyamu pada angin di laut ombak berkejar-kejaran pohon bakau meliuk lambai perlahan di sana dara, di sini dara engkau di tengahnya merindu tanya
Medan, 2005

Seperti Capung
Seperti capung-capung di permukaan air hidupku mencari kesejukan di tengah kegersangan bumi sejak pepohonan, gua, dan sungai tak lagi terpelihara kehidupan satwa dan tumbuhan liar kucar kacir tak tentu arahnya seperti kehidupan bangsaku saat ini saling berebut peluang dan cakar-cakaran mengorbankan tumbal sesama tubuh yang kecil babak belur, Tuhanku diimpit kesesakan maka beri kami kekuatan melepaskan diri dari hukuman kutuk dan siksa ini seperti capung-capung itu menikmati kesementaraan dan kebahagiaan sejati di ladang-Mu
Medan, 2003

Hidayat Banjar
Lahir di Medan, 1 April 1962. Rumah Jl. Kapten M. Jamil Lubis - Aspol Blok A. No. 4 A Medan Telepon 061 7356324, Handphone 0812 6461581 Mulai menulis puisi, cerpen, cerbung dan esay/artikel tahun 1980 di media massa Waspada, Analisa, Bukit Barisan, Garuda, Mimbar Umum, Perjuangan Mandiri, Portibi (Medan) dan Harian Merdeka, Pelita (Jakarta). Karya cerpennyanya dimuat dalam Antologi cerita pendek Ah... Gerimis Itu cetakan I, 1990, diterbitkan oleh CV Monora Medan. 50 puisi Serenada, 1994, dipentaskan teater Kartupat Medan. Menerbitkan SKM Mediamassa, 2003. Sebagai pimpinan redaksi Tabloid Tona MUSALA. Staf ahli dr. Robert Valentino Tarigan SPd, BT/BS Bima. Aktif dalam seminar, diskusi sastra dan jurnalistik, masalah HAM serta lingkungan hidup dan pertelekomunikasian

Prodeo et Patria
Kebersamaan kau dan aku dengan rakyat melarut di rimba-rimba, di liku-liku kota di sungai-sungai peradaban urban karena kita adalah rakyat jutaan tangan yang lunglai Bersebab kita melarut jutaan tangan yang lunglai berubah jadi karang yang tahan segala tiba Duhai sahabat benih yang kau tabur di kebun dan ladang-ladang cinta kasih membuahkan keikhlasan menerima segala tiba sebagaimana para santo kau berjuang bersama rakyat melawan kezaliman tidak untuk dan jadi apa-apa prodeo et patria Bersama rakyat kita lalui siang terik berdebu gulita malam berembun membuhul makna perjuangan, harapan cinta kasih dan kesetiaan Duhai sahabat bukan perjuangan dan semangat perlawananmu yang membuat nurani bergemuruh dan burung-burung elang mengepak-ngepakkan sayapnya di langit jingga bukan...... bukan perjuangan dan perlawananmu Barusjahe, beratus kilometer dari tempatmu bekerja kami catat dalam sejarah pergerakan kaum lingkungan kemudian menyebar ke seluruh tanah karo simalem siosar, kacinambun, kutakendit dan rimba-rimba lainnya Sahabat, bukan perjuangan dan perlawananmu benar yang membuat nurani bergemuruh bukan..... bukan itu kasetiaan dan keridhaanmu menerima segala tiba bagai mazmur, menyirami jiwa-jiwa kering Kebersamaan yang melarut membuahkan pengertian tentang hak-hak rakyat yang dimarjinalkan tawaran uang, jabatan, dan todongan pistol kau lawan agar mata air rakyat tak berubah menjadi air mata agar tanah karo simalem tak berubah jadi simelas agar ibu pertiwi tetap lestari
Medan, 2004

Jangan Menangis Valentino

Jangan menangis Valentino ketika jutaan tangan lunglai menggapai-gapai pundakmu meraba-raba kegelapan tertatih-tatih menghimpun kekuatan agar mata air yang dirampok kezaliman kekuasaan tak berubah menjadi airmata, darah dan nanah Inilah negeri kita untaian zamrud di khatulistiwa jutaan hektar hutan perkebunan dan laut energi yang besar jutaan ton tambang emas, batubara, minyak dan gas energi yang masih tersimpan milik negeri ini milik kita tapi tak didistribusikan dengan adil Puluhan tahun orang-orang marjinal terus menanti terus bermimpi tentang bintang harapan yang terus menyinari siapa saja penduduk negeri ini sebuah negeri indah dengan nyanyian nyiur melambai dengan deru ombak Samudra Hindia dan Selat Malaka dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun namun rakyatnya kekurangan energi Kini engkau datang Valentino saat hutan bakau berubah jadi laut hutan gunung berubah jadi ladang-ladang pertikaian hujan yang merupakan rahmat berubah jadi bencana banjir sinar mentari yang hangat berubah jadi kemarau Inilah negeri kita Valentino sebuah sorga yang dibangun dengan air mata, darah dan nyawa rakyat tapi mereka terus terpinggirkan dan tak berdaya Hadirlah bersama rakyat tanpa tangis kepedihan mencari sorga kemerdekaan yang hilang entah ke mana Valentino, jadilah kidung bagi rakyat membasuh luka tak bertepi menerangi jalan-jalan panjang agar tak terjebak labirin berbau apek yang tanpa pintu dan jendela

Bahorok 1
Ada banyak alasan menyalahkan kami berumah di bantaran sungai dalam diskusi panjang di hotel berbintang yang mengantarkan kalian menjadi pemerhati lingkungan sejati Medan, 2004

Bahorok 2
Sudahlah, hentikanlah pertikaian jadikan kami, ratusan nyawa yang meregang tanpa arti sebagai jejak sejarah bahwa kita memang abai menjaga lingkungan Medan, 2004

Bahorok 3
Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini aku manusia biasa, yang menyimpan kenangan Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini bandang itu membuatku bagai sebatang pohon di tengah gurun anak, istri, orang tua, mertua dan orang-orang terkasih lenyap ditelan air yang membawa ribuan ton kayu Rusuk retak, kepala pun nyaris pecah keajaiban jualah yang melemparku dari timbunan balok kematian itu Apakah tak pantas meratapi kemalangan ini aku manusia biasa, bukan batu bersendiri di penampungan sesekali amis darah menelusup di rongga jiwa Hai para maling kayu masih sanggupkah bersembunyi memakai mulut dan tangan penguasa menyebut kami makhluk yang pantas menerima bencana ini
Medan, 2004

Tiga Senja di Banda
senja pertama januari kususuri pantai yang terlihat di sini adalah jejak tsunami langit memerah dalam lnskap menggoda bianglala memayungi banda burung-burung laut masih sempat menyambar-nyambar ombak pantai yang kian melebar senja kedua januari, aku masih di sini terpana menatap jejak tsunami yang perkasa tak sanggup membayangkan nazli si kecil yang belum usai esde tercampak dansyat ke gunung mata’i dan tersangkut di ranting-ranting pohon sementara nazli-nazli yang lain lenyap ditelan gelombang tiga senja aku di banda sejauh-jauh mata memandang adalah silhuet hitam dengan mulut menganga ulee lheu, meuraxa, pekan bada, dan lainnya adalah genangan duka serta ketakutan tiga senja di banda adalah perasaan yang melompat-lompat merah-jingga-hitam-merah-jingga-hitam kemudian tsunami menggumpal di dada Allah
Medan, 2005

Pagi
adalah nyanyian pengantin yang membasahi bunga-bunga mekar taman pun mewangi dalam berjuta kemungkinan kapal-kapal yang bersandar menarik jangkar kawan pagi adalah senyum perwan yang menggerai rambutnya memanggil sang jejaka untuk mengolah lahan Medan, 2005

Siang
adalah arena kurusetra tempat para lelaki mempertaruhkan tanggungjawab kawan, tak usah ragu majulah kalah dan menang bukan tujuan nilai terletak pada seberapa besar kesanggupanmu menerima segala tiba dengan keikhlasan bumi yang siap memikul beban apa pun Medan, 2005

Selasa, 12 Oktober 2010

KSM Kampanyekan Cerpen Masuk Sekolah

Dahi editor novel "Pelangi Rimba", Nasib Ts, terlihat mengerut sebagai pertanda sedang berpikir ekstra keras. Begitu juga dengan T Agoes Khaidir, salah seorang penulis cerpen dalam "Kumpulan Cerpen Medan", dan Teja Purnama Lubis, Ketua Komunitas Seni Medan (KSM), yang duduk di baris terdepan. Bisik-bisik dari puluhan pelajar segera memenuhi ruang perpustakaan Perguruan Panca Budi Medan, awal pekan lalu, saat digelar "Bincang Buku Kumpulan Cerpen Medan" dan "Pelangi Rimba" yang diterbitkan KSM.


Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena moderator acara, Dewi Chairani, dari Klub Baca Perpustakaan Panca Budi segera mencairkan kebekuan melalui sejumlah joke segar. "Saya tidak menduga bakal mendapat pertanyaan yang kritis seperti ini dari para pelajar," ungkap Nasib, sebelum memulai penjelasannya.


Dari bibir warga Delitua ini meluncur kalimat seputar proses editing dari novel "Pelangi Rimba", termasuk menjelaskan persoalan ayat-ayat Al'Qur'an yang nyaris tidak ditemukan dalam novel keagamaan tersebut. "Penulis Novel Pelangi Rimba tergolong pemula di dunia tulis-menulis. Ia juga mencoba meminimalisir ayat-ayat Al-Qur'an agar pembaca tidak merasa jenuh membacanya," papar Nasib yang dalam kesempatan itu hadir mewakili penulis.


Jawaban Teja lebih lugas lagi atas pertanyaan seorang pelajar tentang cara memulai penulisan cerpen. "Cara memulai penulisan cerpen atau pun tulisan lain sederhana, ya segera dimulai menulis, jangan ditunda-tunda," tegasnya yang disambut dengan aplaus para peserta.


Sementara, Agoes Khaidir mempersilakan para pelajar untuk membiarkan alur cerita melebar dalam proses kreatif penulisan. Pasalnya, tidak jarang alur cerita yang melebar justru menjadi suatu kekuatan dan membuatnya menjadi menarik. Meski para peserta dan pemateri hanya duduk di karpet (lesehan -red), namun sejumlah pertanyaan silih berganti "menyerang" tiga pemateri hingga jadwal acara yang seharusnya berakhir tepat pukul 12.00 WIB, molor menjadi 12.20 WIB. Mengenai setting santai tersebut, Wahyudi, pimpinan event organizer Blue Sky Management Medan, yang dipercaya menangani kegiatan ini, memiliki alasan sendiri. "Kita ingin mengubah imej bedah buku yang selama ini serius menjadi santai dengan hanya berbincang saja. Tentunya, tanpa mengurangi kualitas kegiatan ini," tegasnya di awal kegiatan.


Pihak Perguruan Panca Budi Medan, diwakili Abdi Setiawan, menyambut positif kegiatan ini. Apalagi, setting santai yang diciptakan pihak Blue Sky Management Medan, bakal menghilangkan imej serius dan membosankan dari kegiatan bedah buku.

Sampan Zulaiha

Hasan Al Banna

Ia mengekori bapaknya yang berjalan beriring dengan Nurdin. Tangan kiri bapaknya menenteng sejumlah bubu bambu perangkap ikan, juga beberapa bubu nilon penjerat kepiting. Tangan kanannya menggenggam sepasang dayung. Nurdin, meski usianya kurang sepuluh tahun, enteng saja menggendong segulung jala dan menjinjing bekal. Maklum, sejak usia tujuh tahun, adik laki-lakinya itu sudah melaut bersama bapaknya. Zulaiha iri. Ia juga kepingin melaut. Tapi keinginan itu ibarat ikan hendak berenang di genangan langit! Angannya sering berkelana; menunggang sampan, menghirup wangi laut, dan membiarkan pias laut menyerpih di wajahnya. Nikmat!

Sampan masih tertambat, tapi terkulai-kulai diayun putik ombak. Bapaknya menyulut rokok, dan Nurdin begitu sigap menguras air dari lengkung sampan. Diam-diam Zulaiha menggeliat ke sisi Nurdin. Sampan berguncang! Lalu terdengar dengus yang rakus, disusul suara gedebab, semacam pelepah kelapa menimpa sesuatu. Zulaiha terjerembab! Di punggungnya, bukan tanggung rasa panas yang menjalar. Kepala dayung yang dihantamkan bapaknya ke tubuh Zulaiha. ”Berapa kali Bapak katakan, kau tu tak boleh melaut. Anak jadah!”

Zulaiha bangkit ditopang derit sakit. Tapi ia tidak meringis, apalagi menangis. Sudah berulang kali ia mengalami kejadian semacam itu. Benar, sesaat matanya nanar, merah, dan pedih. Kepalanya sempat tersungkur ke dangkal laut. Hidung dan mulutnya berlumpur. Tapi dengan napas tertahan, ia remas bajunya yang terbasuh laut. Ia kibaskan lumut yang bergayut di lutut. Dan kemudian, sorot matanya tak berkedip, begitu saksama melepas sampan membawa Nurdin dan Bapaknya berarung ke jantung laut. Nasib belum mujur.

Tempo hari, sebenarnya Zulaiha lihai memasang akal. Ia terlebih dulu menuju sampan. Lalu, ia benamkan tubuhnya di setumpuk jala bekas yang tertinggal di sampan. Tentu buah dari harapan Zulaiha, bapaknya luput mengetahui keberadaannya. Maka, ia akan turut melaut. Tapi kandas. Sebelum sampan beranjak ke lenguh ombak, bapaknya menyuruh Nurdin mengembalikan jala koyak itu ke rumah. Dan ketahuan. Maka tak ada keraguan, setelah Zulaiha dijinjing, sebuah tendangan membikin Zulaiha terlentang, berlalu pulang. Nun, di dadanya membuncah cita-cita—atau kesumat sejati yang mengilat?

Suatu hari nanti, aku akan melaut. Sendiri! Mesti sendiri!

Zulaiha betapa mencintai laut. Lumrah itu. Bukankah ia tumbuh di lingkungan laut? Bahkan, konon, kata kerabatnya, Zulaiha lahir saat laut pasang menyeruduk rumah mereka. Maklum, rumah rapuh mereka teronggok dekat paloh, rendam rawa di sekitar bengkalai bakau. Nek Sakdiah, dukun beranak Mak-nya saat itu, malah sempat memandikan Zulaiha dengan air asin. ”Baru lahir saja sudah minum laut,” seloroh mereka. Memang, sejak kecil, tabiat Zulaiha memperlakukan laut sering dianggap tak lazim. Iya pula, ketika beranjak tidur, Zulaiha mesti mendekap botol bir berisi air laut. ”Mm, ada-ada saja,” geleng tetangga berbalut geli.

Selain itu, setiap kali hatinya dicengkram kuku taring kepiluan, atau sedang bertabur kembang sukacita, Zulaiha pun bersegera ke tepian laut. Tak siang tak malam. Adalah bangkai dermaga kayu, tak jauh dari rumah mereka, lapak kegemarannya. Sering ia kedapatan duduk sebatang diri di situ. Betapa lapang Zulaiha melempar pandang ke hampar laut. Sorot matanya menyeruakkan tangan, hendak merangkul kaki langit yang sembunyi di balik punggung laut? Sambil lalu, ia biarkan julur ombak menggeli-geli kakinya. Baginya, lidah laut seperti belaian beludru.

Lautkah gemulai rahim yang mendamparkanku ke dunia?

Pada lain waktu, Zulaiha sebenarnya tekun tegak dengan tubuh yang oleng. Ia songsong geriap laut, ia hirup napas ombak, lalu rentanglah tangannya, semacam mendekap angin beraroma garam. Erat. Rambutnya yang sebahu—berwarna senja, kusam, dan camping—tak pernah terikat. Tergerai, berkibar diangguk-geleng angin. Mungkin bagi Zulaiha, laut adalah pangkuan kaki yang tak pernah menendang tangkai hidungnya. Atau laut taklah tangan yang berkali-kali mengempaskan kepal ke dagunya yang rompal.

Lautku, lautku, ayunanku!

Zulaiha, dua belas tahun! Mengharapkan percik wajahnya mengisyaratkan suasana hatinya adalah pekerjaan petaka. Tawanya langka, air mata tiada. Paling, untuk menandai debar perasaan Zulaiha, tataplah lekat-lekat bundar matanya. Andai ia sedang berbuai ria, saksikan, ada kerlip sinar di antara kedipan. Sepasang bola matanya adalah kebeningan laut kecil yang menggelinjangkan sekawanan ikan. Dan sebaliknya, dua matanya bak laut menanggal cahaya, berkabut pekat, jika ia sedang diombang-ambing buih luka. Begitulah, lain kadang, matanya menyaru mata hiu. Mata yang mati. Namun, di ngarai dadanya, dendam senantiasa sepitam arang, bergulung, dan bersipompa.

Bernama dendam apa? Ke alamat mana?

Entahlah, Zulaiha pun lalai ingatannya, bila ia terakhir kali mengulum senyum atau menyedak durja? Serupa dengan ketakpahamannya, mengapa sejak lahir ia terpental dari rimbun peluk-cium orangtua, terutama bapaknya? Ia anak sulung. Tapi itu bukan penghalang bapaknya untuk tidak menyeru Zulaiha: anak pembawa sial! ”Sudahlah perempuan, cacat pulak!” Tidak iqamat, tapi umpatan yang menyayat telinga Zulaiha selepas lahir. Bapaknya kepingin anak laki-laki. ”Biar bisalah kubawa melaut,” begitu alasannya. Ah, Zulaiha, lahir sebagai anak perempuan yang ranum, kecuali kaki kanannya yang lebih pipih dari kaki kiri. Pun telapaknya mendongak. Maka kaki kanannya cuma bertumpu pada tumit. Cecah langkahnya pun tak sempurna.

Namun sumpah, Zulaiha tumbuh sebagai anak yang percaya diri, cekatan. Lincah ia kian kemari meski kadang terjungkal-terbanting. Tapi bersebab perlakuan bapaknya yang terlampau, ia berubah menjadi pendiam. Hobi bersendiri! Gemar berendam di paloh. Pernah pun, saat berusia lima tahun, Zulaiha nyaris tertanam perdani, pasang besar yang rutin melanda dua tahun sekali. Hendak memetik tunas piye ia saat itu. Piye banyak tumbuh di sekitar paloh. Anak-anak perempuan sering memetiknya untuk main masak-masakan.

Beruntung ada Dempol. Lajang sebelah rumah Zulaiha itu kebetulan sedang membubu kepiting. Lelaki pengangguran (juga lemah mental) itulah yang susah-upaya merebut Zulaiha dari rahang perdani. Ia juga yang membopong tubuh Zulaiha—yang pingsan—ke rumah bidan Rasidah. Tapi jerih payah berbuah serapah. Bukan ucapan terima kasih upah jasanya, melainkan terjang makian. ”Hah, mengapa tak kau biarkan saja anak sialan ini hanyut, Dempol! Biar mati sekalian!” Hardikan berkarat itu membikin Dempol terpelongo. Lajang malang itu menunduk, tak bernyali menantang dua biji saga yang bertengger di bawah dahi bapak Zulaiha. Tajam sekaligus mengerikan.

Tapi kengerian itu tidak lagi menggetarkan nyali Zulaiha. Ia sudah terbiasa. Meski juga dendam tak penat-penat menggeliat, menghasut gedebar lahar yang siap meletus. Iya, tidak sekali dua kali kelebat tangan bapaknya menggempur pipi, dada, dan kepala Zulaiha. Hidungnya pernah meluruhkan darah usai dibentur dengan palang pintu. Bahkan seayun tinju pernah pula menghantam rusuknya, membiru, dan sekian senti lagi menggapai ulu hati. Bermacam-macamlah pasalnya.

Maka siapa yang kelak menuai badai dendam?

Suatu kali, kepiting rajungan tangkapan bapaknya terlepas seekor ketika Zulaiha hendak merebusnya untuk makan malam. Asli, jangankan kebagian makan malam, Zulaiha hanya merasakan pedas tamparan. Dan seperti biasa, demi menghalau kepedasan, Zulaiha menggegaskan langkah pincangnya ke dermaga. Ia tinggalkan rumah dengan mimik dingin. Lalu, begitu lekat ia menghadap raut laut. Mengadu tanpa sedak sendu. ”Kak Zula! Dipanggil Mak! Lekas pulang!” Mungkin, kalau bukan karena mendengar kuyup teriakan Mukhlis—adiknya yang nomor tiga, tentu ia tahan berselimut angin laut hingga malam larut.

Laut, o, laut, pelipurku!

Ampun, punah segala kesakitan yang bersarang di tubuh Zulaiha. Bayangkan, gara-gara salah beli rokok saja, Zulaiha harus menebus hukuman. Bapaknya menyulut rokok, lalu memuntungkannya ke daun telinga Zulaiha. ”Bodoh kali kau ni, Zula! Heh, anak jin laut!” Zulaiha terpuruk, menanggungkan hujat begitu saja, dan tidak melawan sama sekali. Mak Zulaiha pun demikian sifatnya. Memilih diam atau menangis kalau sedang menahankan perilaku kasar bapaknya. Ia istri penurut, tak ada keberanian menunjukkan hati yang berkemelut. Tentu ia menyimpan rasa iba buat Zulaiha. Tapi apa daya, tenaga dan nyali menjelma hampa.

Sempurna derita, takdir Zulaiha? Lalu di garis laut, lalu pada laut, Zulaiha memulangkan kesumat hati. Tidak, ketiga adik laki-lakinya bukan muara dari kecamuk dendamnya. Meski sejak kelahiran Nurdin, Mukhlis, dan Husen, keberingasan bapaknya kian mengganas. Dan Zulaiha selalu menjadi sasaran. Perlakuan bapaknya kepada Zulaiha berbanding senjang dengan ketiga adiknya. Zulaiha tak pernah merasakan bagaimana bersekolah, seperti halnya Nurdin dan Mukhlis. Meskipun kedua adiknya itu berhenti juga di pangkal jalan, tak sempat naik-naikan kelas. ”Mengapa pulak kau hendak sekolah, Zula! Tak ada otak kau!” Ah, bapaknya, adakah seperti berhadapan dengan binatang?

Begitulah, bersebab adik-adiknya, Zulaiha sering pula dipaksa menelan hardik dan tebasan kaki bapaknya. Pernah pada sebuah pagi, hari Minggu, Zulaiha mengajak Husen ke halaman pasar. Itu pun karena Mak-nya menyuruh Zulaiha menjaga adik bungsunya itu. Berusia tiga tahun lebih Husen saat itu. Nah, biasanya, hari itu orang-orang kota datang bergerombol menyandang ransel berisi alat-alat pancing. Mereka hobi memancing. Lumayan, selain untuk menghanyutkan kejenuhan bekerja selama sepekan, untung-untung mereka pulang menggandeng ikan.

Sebelum pergi, Zulaiha berhasil menanggok sebaskom udang binje—seukuran kelingking—di paloh. Hasil tanggok-an itulah yang dijajakan Zulaiha kepada gerombolan pemancing. Udang-udang itu untuk umpan ikan. Kalau masih segar dan hidup, harganya tinggi. Penjaja yang lain juga ramai. Mereka menggelar udang, sibuk mengail minat orang-orang yang hilir mudik.

Namun, belum seorang pun yang menawar udang, mendadak bapaknya berdiri berkacak pinggang, tepat di depan Zulaiha. Wajah bapaknya bagai laut keruh, disepuh api, dan menggelegak! ”Anak binatang! Kau bawa rupanya si Husen, ya. Mengapa pulak kau di sini, hah! Petentengan!”

Lalu, berduyun tempeleng mengena wajah Zulaiha, menerbitkan lemak luka. Tapi ekspresi Zulaiha tetap setenang cuaca. Sebuah tendangan memelantingkan baskom buram. Udang-udang berserak, menggeleparkan sisa nyawa. Ada kelengangan yang melintas sejenak, lantas riuh kembali kelebat cerca. Bapaknya menyeret Zulaiha pulang, tak peduli dengan Husen yang berpekik-pekik tangis di bahunya. Orang-orang terkesima. Lipatan dahi menghimpun, menjuntaikan tanya. Entahlah, cuaca masih cerah, tapi terasa sedang menanak amarah.

O, Dendam pun bersiasat. Tak berhenti merajut jerat?

Hmm, Zulaiha adalah kepalan baja, atau pualam siksa? Pada sebuah malam, bapaknya sedang menyirat jala dengan cuban, alat penyulam jala. Ia biarkan Husen tertidur pulas di pangkuannya. Ada cahaya liar menyusup dari samar lampu teplok. Di luar, angin menderas. Nurdin dan Mukhlis asyik bergelut, sesekali terdengar rengekan mereka. Zulaiha tergoda, turut pula menghampirkan canda. Tapi canda tak berderai tawa, melainkan mendentangkan suara kaca. Kaki Zulaiha menyenggol gelas kopi bapaknya. Maka tumpah, kopi pun tersisa sepertiga. Padahal baru dihidang. Masih panas dan mengepul. Pun belum sempat diteguk.

Sudah terduga, bapaknya kalap luar biasa. Bangkit bapaknya, lalu dengan ringan mengayunkan runcing cuban ke pelipis Zulaiha. Saat itu darah adalah air mancur yang melimpah. Sambil memaki, bapaknya masih sempat melemparkan gelas kopi ke kaki kanan Zulaiha. Kaki yang menanggung lara sejak lama. Zulaiha bermimik tugu beringsut ke pintu. Lalu, ke mana lagi berlari, selain ke beranda dermaga? ”Zula, jangan kau ke dermaga, Nak. Angin kencang, badai!” Suara Mak-nya hanya bunyian yang tumpul. Zulaiha berwajah darah, terus menatihkan langkah.

Laut, laut, izinkan aku tidur di bilikmu malam ini.

Angin berontak. Ombak berderak. Dermaga usang berguncang. Tapi Zulaiha, sejak lampau tak pernah menabung takut. Langit pekat. Cuaca sekarat. Udara bertumbangan. Aroma garam bercampur anyir darah bertebar di atas kepala Zulaiha. Bunyi petir macam suara nenek sihir. Menakutkan. Tapi Zulaiha tak kecut. Ia tegak menghadap laut. Kilat melesatkan cahaya, seperti cambuk api yang melecut tengkuk laut. Angin mendaki-menghempas. Rambut Zulaiha mengibas, seperti melambai apa, atau menyahut siapa?

Laut meninggi ribuan senti. Tempiasnya mencipta hujan air garam, menguyupkan tubuh Zulaiha yang timpang. Lalu ia tadahkan lekuk tangan ke arah laut. Aha, Zulaiha, hendak mendekap siapa?

Tidak mendekap siapa-siapa. Malam itu, bukan dendam-kesumat yang Zulaiha tunaikan, melainkan cita-cita: melaut sendiri, sendiri! O, tengoklah, sampan Zulaiha adalah tubuh Zulaiha sendiri!

Medan, 05/08

Puaka Tiga Datuk

Cerpen Khas Ranesi

M. Raudah Jambak

"Belandalah sebenarnya yang mengajarkan kita apa itu nasionalisme. Belanda sebenarnya yang mengajarkan arti kepahlawanan dan pengkhianatan. Kita ternyata bangsa terbelakang yang selalu kesulitan memberi tafsiran," demikian ujaran Pak Sutan berapi-api. Lalu kukaitkan dengan perjuangan yang berlangsung pada masa pendudukan Belanda dan situasi kekinian, termasuk tentang Aceh, Jogja, Poso, Ambon, Papua dan sebagainya. Dan Pak Sutan dengan bangga memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Sehingga kalau seandainya kami terlihat di sudut kedai kopi Taman Budaya Sumatera Utara, maka persoalan kenegaraan, politik, sosial, dsb, selalu kami kunyah-kunyah. Jika belum selesai, maka esok hari pembicaraan itu akan dilanjutkan. Selalu begitu.

***

Lama aku terpaku mendengar cerita Pak Sutan. Pertemuan kami sebenarnya bukan pertemuan yang disengaja. Di sebuah kedai kopi. Waktu itu aku sedang asyiknya membaca berita tentang pergolakan yang terjadi di Aceh. Tentang berita GAM. Beritanya sudah sangat memuncak. Berita-berita seperti itu yang selalu kubaca. Memang banyak berita yang lebih dahsyat tentang negara ini. Tentang Gus Dur maupun lawan-lawan politiknya. Tapi, hal itu justru berita biasa. Berita basi. Tentang oknum-oknum yang sedang bermain presiden-presidenan. Belajar jadi menteri-menterian, atau berlagak jadi pejabat - pejabatan.

"Ah, basi..." desisku.
"Apa yang basi?" ujar Pak Sutan tiba - tiba. Rupanya Pak Sutan sudah sedari tadi duduk tepat di depanku, tanpa kusadari.
"Oh, Pak Sutan. Sudah lama, Pak?"
"Dari tadi. Kau saja yang tidak kontrol," Pak Sutan tersenyum. "Apanya yang basi?"
Kembali aku terdiam. Kupandangi kembali koran yang baru saja kubaca. Memandang judul berita di halaman satu yang ditulis huruf tebal besar - besaran.
"Lho, ditanya apa yang basi malah diam..."

Aku tak berani menjawab. Aku kenal betul dengan Pak Sutan. Karakternya agak keras. Orangnya sangat berani. Terlalu berani malah, kalau boleh kukatakan. Pak Sutan sangat bersemangat jika diajak berbicara masalah apa saja, terutama masalah politik. Dan hampir semua masalah dikuasainya. Mungkin sesuai dengan umurnya yang sekitar lima puluhan.
Dan ketakutan ketika berbicara tentang masalah politik dengan Pak Sutan, yaitu keberanian mengungkapkan pokok persoalan dengan panjang lebar dan detail.

Tidak perduli orang akan melakukan "sesuatu" padanya. Walau kita ketahui era kepresidenan sekarang tidak seperti sebelumnya, tetapi sisa-sisa kekhawatiran itu kan masih ada. Era sekarang era berani buka suara selebar-lebarnya, akhirnya kebablasan. Sedangkan era sebelumnya, era mengunci mulut serapat-rapatnya. Alias berbisikpun dilarang. Era serba keterlaluan.

Bagiku pribadi Pak Sutan adalah tokoh yang cukup kukagumi. Aku banyak belajar dari caranya mengungkapkan pandangan-pandangan tentang apa saja. Mudah memunculkan pokok pembicaraan, dan mudah pula menyimpulkan jalan keluarnya. Satu dari sekian orang hebat di mataku.
Bagi kami yang sudah cukup mengenalnya, Pak Sutan ini adalah sosok yang familiar dan kebapakan. Tapi bagi yang baru saja mengenalnya, Pak Sutan sosok yang misterius dan angker. Terkesan kejam.

"Hei, apanya yang basi!"
Suara Pak Sutan mulai terdengar keras. Aku ragu, sebenarnya hal ini tak perlu kusampaikan kepada Pak Sutan. Takut Pak Sutan akan melebarkannya.
"Ini, ini Pak. Berita basi..." kusodorkan koran yang kubaca dengan judul yang besar dan tebal. Penuh keraguan.

Pak Sutan mengambil koran yang kuberikan. Dilihatnya sebentar. Hanya sebentar dia melihat. Selebihnya membolak-balik kertas koran itu.
"Betul. Berita basi...!"
Aku terkejut. Biasanya Pak Sutan selalu merespon setiap pokok persoalan. Apalagi ini, persoalan politik. Wah, aku terheran-heran. Perubahan besar bagi Pak Sutan. Aku jadi penasaran. Aku ingin memancing, apakah Pak Sutan sudah benar-benar tidak berminat lagi dengan masalah politik.

"Ini, ini basi tidak, Pak?!" tanyaku menyelidik sambil menunjukkan berita yang lain.
"Hampir sama."
"Apanya yang hampir sama, Pak?"
Pak Sutan agaknya mulai terpancing. Pembicaraannya melebar. Tapi aku senang. Mulai dari Ambon, Sampit, sampai Aceh. Bagiku uraian Pak Sutan ini sangat berguna dan penuh wawasan. Bagi Pak Sutan, Indonesia sedang sakit. Perawatan intensif yang harus dilakukan. Bukan pengeksploitasian yang berlebihan. Indonesia menurut Pak Sutan sedang digerogoti virus-virus dan bibit-bibit penyakit yang berusaha menyerang nadi maupun jantung kekuasaan.

"Kita tidak seperti perjuangan para pahlawan dulu." Pak Sutan mulai bercerita.
"Pahlawan kita tidak pernah pamrih dan meminta balas jasa. Kita sebenarnya harus memperluas wawasan dan cakrawala berpikir kita. Dengan cara mendidik generasi - generasi penerus bangsa. Ini tidak, sesama kita berkelahi, berbenuhan lagi."
"Menurut Bapak, pergolakan Aceh bagaimana?"
"Ini satu persoalan juga. Tapi sebaiknya kita jangan kebablasan membawa nama rakyat. Tetapi di lapangan rakyat justru dijadikan tumbal. Makanya, saya pribadi tidak begitu simpati dengan aksi-aksi yang dilakukan para revolusioner sekarang." Pak Sutan menarik nafas. "Dulu di Sumatera ini. Di tanah Deli ini. Ada tiga orang Datuj yang berjuang tanpa pamrih. Datuk Sunggak, Datuk kecik, dan Datuk Sulung."

Aku terkejut. Sampai menjadi guru seperti ini, aku justru tidak mengenal tiga datuk yang disebutkan Pak Sutan. Menurut Pak Sutan, dalam mempertahankan Tanah Deli ini dari Belanda, ketiga datuk ini mempertahankannya selama lebih kurang dua puluh lima tahun. Tidak sebanding dengan Aceh yang lebih kurang hanya lima tahun.
Perjuangan datuk ini dimulai oleh Datuk Sunggal. Lalu diteruskan oleh Datuk Kecik dan selanjutnya Datuk Sulung. Berjuang turun-temurun. Dan ketiganya sampai di buang ke Cilacap.

"Nah, ketiga datuk ini berjuang tanpa pamrih." Pak sutan meneruskan. "Mereka berjuang demi mempertahankan harga diri tanpa pamrih."
"Tapi Pak, kenapa tidak masuk ke dalam sejarah...?
"Itu satu hal yang membuat saya lebih bangga. Dan mereka selalu dikenang oleh orang - orang yang betul-betul mengenal sejarah. Yang paling akhir berjuang yaitu keturunan mereka yang sempat bergabung di PETA dengan pangkat Mayor."
"Kalau Kesultanan Deli yang sekarang bagaimana, Pak?"
"Saran saya, pelajarilah! Biar kau tahu sajarah..."

Pembicaraan selesai. Pak Sutan akhirnya meninggalkan aku dalam keadaan termenung. Pembicaraan dengan Pak Sutan membuat aku terpikir. Begitu konflik persoalan yang dialami negeri ini. Seperti yang diistilahkan Pak Sutan. Negeri ini sedang sakit.
Pernah aku membaca tentang Hang Tuah dan Hang Jebat. Persoalannya lain lagi. Kita dibingungkan dengan persoalan mana yang pahlawan dan mana yang pengkhianat.
Persoalan seperti ini semakin membuatku ngeri. Aku yang seorang guru justru tidak pernah mendengar cerita dan sejarah seperti ini dari guru - guruku sebelumnya. Atau dari bacaan - bacaan yang pernah kubaca.

Kepalaku mendadak pening. Berpikir mengenai Malin Kundang atau Sampuraga. Berpikir tentang Siti Nurbaya atau Sabai Nan Aluih. Berpikir tentang Tan Malaka atau Soekarno. Ahmad Yani Atau Soeharto. Amien Rais atau Gus Dur. Persoalan kebohongan yang selalu disuapi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab kepada masyarakat awam, sebagai anak-anak bangsa.

Aku mau muntah. Dan kurasakan sepertinya aku sudah berada di tempat tidur. Samar- samar kulihat orang sedang mengerumuni aku. Samar-samar kulihat orang-orang sedang kasak-kusuk melihatku. Dan tiba-tiba suasana gelap.
"Bangun! Mau mati apa?" Kurasakan ada seseorang yang memaksaku bangun. Pelan-pelan kubuka mataku. Samar-samar kulihat orang-orang sedang memandangiku. Kurasakan tubuhku dalam keadaan basah kuyup.

"Kau mata-mata, ya!"
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba beberapa orang di antara mereka mengangkatku dan mendorongku untuk berjalan. Aku melangkah gontai. Kurasakan tubuhku sangat lemah. Persendianku seakan-akan mau lepas. Mataku ditutup senapan. Banyak suara orang-orang dengan sayup-sayup dentuman bom. Tembakan-tembakan senapan. Banyak suara orang- orang yang berteriak. Aku hanya berpikir mungkin sudah pecah perang dalam upaya perebutan kekuasaan. Akhirnya masing-masing pihak tidak ada yangt mau mengalah, batinku.

"Dudukkan dia!" suara orang kudengar memberi perintah," Jangan lupa, buka ikatan matanya!"
"Baik, Datuk..."
Ikatan penutup mataku perlahan-lahan dibuka setelah sebelumnya aku didudukkan pada sebuah temtat duduk yang cukup aneh bagiku. Kupandangi sekitarku. Di hadapanku terlihat duduk dengan gagah seorang laki-laki yang sudah cukup tua. Penampilannya persis seperti datuk-datuk. Di kiri kanannya yang sedikit lebih muda dari laki-laki yang sedang terduduk. Penampilannya juga seperti datuk-datuk.

"Kau ingin memata-matai kami, Anak muda?" Datuk yang pertama bertanya.
"Kau mau jadi penjilat rupanya, ya?" Datuk kedua juga ikut bicara.
"Bilang sama majikanmu mereka tidak akan mungkin menang..." Datuk ketiga tidak tinggal diam.
Aku tertunduk. Aku tidak mengerti dengan apa yang mereka tanyakan. Aku jadi merasa asing. Aku tidak mengenal orang-orang yang mengelilingiku saat ini. Aku tidak mengenal tiga lelaki tua yang berlomba menanyaiku ini.

"Jawab...!" teriak mereka serentak.
"Aku...aku... tidak tahu!"
"Tidak tahu apa?"
"Tidak tahu apa yang harus kujawab?"
"Katakan saja, bahwa kau mata-mata!"
"Mata mata? Mata-mata siapa? Aku tidak pernah ikut partai politik. Aku hanya guru. Aku cuma tahu, aku ini mengajar. Jadi, aku bukan mata-mata.
Semua terdiam. Ada sedikit keraguan di benak mereka. Terutama yang paling tua.

"Benarkah kau ini guru, Tuan Guru?"
"Benar. Aku guru bahasa Indonesia. Bukan mata-mata seperti yang kalian tuduhkan!"
"Eh, Indonesia? Dusun daerah manapula itu?"
"Anu..." Aku bingung, sepertinya telah terjadi kesalahpahaman. Aku merasakan aku tidak berada di lingkungan yang semestinya. "Indonesia itu negara kita sekarang."
"Maaf, Tuan Guru. Kami sangat patuh dengan semua tuan-tuan guru. Tapi tolong, jangan coba-coba mengelabui kami. Saat ini kita sedang sibuk melawan penjajah Belanda. Jadi, janganlah menipu kami."
"Melawan Belanda?"
"Ya..."
"Kalian serius?"
"Tuan Guru jangan membingungkan kami!"
"Kalian serius?"
"Tuan Guru yang harus serius!"

Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita tentang Pak Sutan. Tentang negara Indonesia yang sedang dilanda krisis moneter. Tentang Aceh, Ambon Sampit, dan sebagainya. Dan mungkin juga tentang peristiwa yang menimpaku saat ini.
"Kami tidak mengerti yang Tuan Guru ceritakan. Kami kenal Samudra Pasai, Pagaruyung, atau juga Mataram."
"Lalu bagaimana dengan kalian? Aku tidak kenal siapa kalian?"
"Wah, seluruh negeri ini sangat mengenal kami. Terutama bangsa Belanda. Kami adalah tiga Datuk. Datuk Sunggal, Datuk Kecik, dan Datuk Sulung."
"Kalian jangan coba-coba mengelabui aku. Kalian serius?"

Datuk Sunggal segera bercerita. Aku hanya mendengar heran dan takjub. Dua Datuk juga bernasib sama dengan aku. Terbawa arus waktu. Bercerita tentang perlawanan mereka dengan Belanda.
"Tapi mengapa di generasi kami kalian tidak dikenal?"
"Secara pribadi kami sangat menyayangkan. Tapi kami lebih memikirkan perjuangan kami. Biarlah kami tidak dikenal asal perjuangan kami berhasil."
Pembicaraan akhirnya melebar. Tiga datuk itu lebih tertarik mendengar perkembangan zaman setelahnya. Bahwa Belanda akhirnya berhasil di usir dari bumi Deli. Bahwa perjuangan yang mereka lakukan tidak sia-sia. Dan ternyata itu memicu mereka untuk lebih semangat berjuang. Singkatnya aku jadi penasehat mereka dalam beberapa pertempuran.

Kemenangan demi kemenangan mereka capai. Untungnya aku pernah juga membaca buku strategi perang Cina. Perjuangan pahlawan-pahlawan terdahulu yang berhasil mengalahkan lawan-lawan mereka. Dan itu membuat penasaran para jenderal Belanda. Setiap gempuran-gempuran yang mereka lakukan selalu gagal.
"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... serbu...!
"Akhirnya kemenangan demi kemenangan kita peroleh. Tapi kita belum berhasil mengusir Belanda dari sini."
"Menurut sejarah yang kubaca. Dan informasi Pak Sutan, kalian hanya bisa mengalahkan Belanda. Dan itu hanya sementara saja. Karena di antara kalian sendiri ada pengkhianat dan aku tak tahu siapa. Kalian pun akan diungsikan oleh Belanda suatu ketika ke Cilacap."
"Ini adalah tanah kami. Bukan milik Belanda. Silahkan tanah kami dijual kepada siapa saja, tapi jangan kepada Belanda."

Aku terdiam. Aku berpikir ini adalah kesempatan untuk meluruskan sejarah. Hatiku sempat panas mendengar cerita Pak Sutan. Panas mendengar bahwa perjuangan Datuk Sunggal, Datuk Kecik, dan Datuk Sulung tidak tercatat dalam sejarah. Sejarah perjuangan bangsa. Dan ketiga datuk inipun tidak terdaftar sebagai pahlawan bangsa, padahal mereka berjuang lebih lama dalam mempertahankan tanah negerinya dan harga diri.

Pak Sutan juga pernah mengatakan bahwa perjuangan mereka, merupakan perjuangan yang seharusnya sebagai contoh teladan bagi generasi-generasi sesudahnya. Jangan sampai terjadi kesimpangsiuran informasi sejarah.
"Bom...!"

Tiba-tiba Belanda menyerang pertahanan ketiga datuk dengan gencar. Tidak lama kemudian terjadi pertempuran. Aku berusaha mencari perlindungan. Pihak Belanda menyerang dengan gencar. Aku masih tetap mencari perlindungan. Aku tidak ingin mati di masa lampau. Lagipula, aku masih ingin memusatkan perhatian untuk membimbing siswa- siswaku agar mereka mau mempelajari sejarah mereka. Mau mengambil nilai-nilai positif dari sejarah-sejarah perjuangan para pahlawan.

Dari pihak datuk, korban sudah banyak berjatuhan. Aku masih terus berlari. Tiba-tiba kakiku tersandung sesuatu. Aku jatuh terjerembab. Kepalaku tepat mendarat di batang sebuah pohon. Sayup-sayup ketiga datuk itu memanggil namaku."
"Tuan Guru..."
Aku tidak bisa bergerak.
"Tuan Guru. Sampaikan perjuangan kami..."
Aku tidak bisa bergerak.
"Pak..." sebuah tangan menyentuh pundakku.
"Pak..." Kudengar suara itu tidak begitu asing. "Bapak ngantuk, ya?"
"Terimakasih, Din." Anak itu segera berlari. Aku segera membaca pesan dari Pak Sutan.

Awalnya mungkin aku berpikir ada sesuatu yang cukup serius yang perlu disampaikan. Walaupun perutku terasa janggal. Kenapa dia tidak membangunkan aku. Justru dia malah pergi. Ada empat lipatan di kertas itu. Satu persatu kubaca. Hatiku merasa tidak enak juga.
Mungkin pesan ini cukup panjang, pikirku. Pesan tentang perjuangan. Pesan tentang pengajaran. Pesan tentang pengendalian diri. Dan masih banyak pesan-pesan kemanusiaan yang ingin disampaikan. Pesan pengulangan dan sebagainya. Tapi, setelah kubaca, aku cuma bisa tertawa. Pak Sutan hanya menuliskan satu kata saja, diketahui oleh tiga Datuk. Di sana tertulis kata : "M E R D E K A !" dari Datuk nan bertiga.

Zahra

Cerpen Rina Mahfuzah Nst

DI LUAR, gerimis turun mewarnai pagi. Gerimis pertama yang kurasakan sejak tiba di kota ini, dua hari yang lalu. Sejak semula sudah kusiapkan hatiku menerima kenyataan bahwa aku harus bertemu ayah mertuaku dalam keadaan yang berbeda dari apa yang diharapkan seorang menantu kepada mertuanya. Kematiannya.

Namun, ada hal yang lebih menggelitik batinku setelah aku berada di rumah ini. Perempuan itu. Dia bernama Zahra, kakak paling tua suamiku. Dia masih terlelap. Padahal, di luar, orang-orang sudah sibuk mempersiapkan kedatangan jenazah dari rumah sakit. Ada yang memasang teratak dan menyusun kursi. Ada yang menggelar ambal dan tikar.

Perlahan, aku mendekati tempat tidur dan menepuk-nepuk bahu perempuan itu sambil menyampaikan sebuah kabar.

“Kak Zahra, bangun. Amangboru meninggal. Amangboru sudah tidak ada lagi, Kak.”

Dia membuka mata. Rasa mengantuk masih terlihat jelas di rongga matanya.

“Sekarang, kakak bersiap-siap. Sebentar lagi rumah ini akan ramai.”

Perempuan itu hanya hening dari kata-kata. Matanya tak mengisyaratkan tangis atau kesedihan.

Ketika namboru sudah sampai di rumah duka dan jenazah amangboru telah dibaringkan dengan posisi menghadap kiblat, barulah Zahra mau mandi dan berganti pakaian. Tapi, tak lama kemudian, dia sudah ingin membuka paksa jilbabnya. Dia juga ingin membuka gamisnya. Suamiku yang menyaksikan itu hampir hilang kesabarannya.

“Sudahlah, Mak. Kalau dia tidak mau, biarkan saja dia terus di dalam kamar. Mungkin, kamar adalah tempat paling cocok untuknya.”

“Azmi, jaga kata-katamu. Dia kakakmu. Lagi pula, dia tidak sadar dengan apa yang dilakukannya,” tatapan lekat namboru memaku mulut Azmi.

Namboru kemudian memberikan sepiring nasi dengan sepotong ikan goreng di hadapan Zahra, cepat-cepat dia melahapnya. Seperti anak kecil yang acap kali menumpahkan remah-remah nasi ke luar dari piring makanannya, begitu juga Zahra. Beberapa butir nasi menempel di pipi, dagu, dan hidungnya. Bahkan, ada pula yang jatuh di bajunya.

“Zahra tidak pernah menolak makanan apa pun, Nabila. Dari ikan teri sampai ikan kakap. Dari gulai daun ubi sampai sop daging, semua dilahapnya. Tapi, jangan tanya pendapatnya tentang makanan itu. Apakah manis, asin, atau pahit karena dia tidak akan mengerti,” ucap namboru perlahan.

Sekilas, aku menatapnya. Mungkin, usianya berkisar empat puluh tahun atau lebih. Beberapa bintik hitam sudah terlihat di beberapa bagian wajahnya. Tubuhnya lebih tinggi dari aku, mungkin sekitar seratus enam puluh lima senti, tapi beratnya pasti lebih dari delapan puluh lima kilogram. Kelopak matanya menebal. Begitu juga dengan wajah, tangan, perut, dan pahanya. Persis seperti perempuan hamil lima bulan.

“Apa yang terjadi padanya?” pikirku dalam hati. Dia seperti anak balita yang masih diurus ibunya. Bangun, mandi, makan, tidur, dan seterusnya. Dan, mengapa dia hanya menyimpan keheningan dalam dirinya? Tak ada kata-kata atau reaksi yang muncul mewakili apa yang ada dalam hatinya.

“Kau heran melihat kakak iparmu itu, Bila? Dia memang begitu sejak bertahun-tahun lalu. Keempat adik laki-lakinya bahkan sudah menikah semua dan memiliki anak. Sebaliknya, dia melewati hari demi hari tanpa irama dan warna dalam hidupnya.”

Aku tercenung. Azmi memang pernah bercerita mengenai kakaknya sebelum kami menikah, tapi baru kali inilah aku mengenalnya dari dekat. Ada rasa iba menjalari hatiku melihat kenyataan yang dialami perempuan itu.

Para pelayat mulai memenuhi ruangan. Mereka mendekati jenazah amangboru dan memanjatkan doa. Namboru mengenalkan aku sebagai menantu dari anak ketiganya yang selama ini tinggal di Jawa. Mereka mengajakku bicara dan sesekali memuji kecantikanku. Tapi begitu melihat Zahra, mereka seperti melihat monster. Selanjutnya, mereka menjauh dan mulai berbisik-bisik satu dengan yang lainnya.

Saatnya berziarah. Suamiku memberi salam terakhir kepada almarhum ayahnya. Sejak delapan tahun lalu, dia tidak pernah pulang ke rumah dan bertemu ayahnya. Azmi tak kuasa menahan tangisnya. Bahunya berguncang dan air matanya mengucur deras dari sudut matanya. Aku bersama kedua anak kami tak luput merasakan keharuan ini. Tapi, Zahra hanya bergeming. Tak ada air mata mengaliri pipinya.

***

DI SUDUT ruangan di lantai dua, ada sebuah kursi berukiran Jepara yang berdampingan dengan sebuah meja dan lemari berukiran sama. Ada sebuah lukisan kaligrafi bertuliskan ayat kursi tergantung di dinding. Sebenarnya, rumah ini masih tampak bagus seandainya diberi sentuhan lebih modern pada pewarnaan dinding rumah ataupun susunan perabot di dalam rumah. Sayangnya, kesan tak terawat lebih menonjol.

“Setiap selesai shalat Ashar, ayah selalu duduk di situ. Menikmati segelas kopi sambil menggenggam tasbih di tangannya. Dia seorang pebisnis mebel kayu berukiran Jepara. Dari lemari, tempat tidur, bufet, kursi tamu, sofa santai, kursi goyang, dan sebagainya. Ayah juga penyuka barang-barang antik dari dalam dan luar negeri. Entah dari mana ayah belajar bisnis ini. Sebab, saat itu belum berkembang di Kota Medan.” Tiba-tiba, Azmi sudah berada di belakangku.

“Dia memang bukan seorang ayah yang komunikatif dan penuh ekspresi. Dia lebih sering mengurusi bisnisnya di dalam dan luar negeri. Tapi, kalau dia sudah berada di rumah, tepatnya di atas kursi Jeparanya, dia akan memanggil kami satu per satu.”

“Ayah akan bertanya, siapa di antara kami yang tidak pergi mengaji? Kalau tahu ada yang membolos, ayah sudah menyiapkan semacam kayu rotan kecil sebagai hukuman kami. Sama halnya kalau ada di antara kami yang merokok, mencuri uang di laci, berkelahi di sekolah, lalai dalam shalat, keluyuran, ketahuan berpacaran, dan mendapatkan nilai buruk di kelas.”

“Kekerasan yang diperlihatkan ayah di rumah bertambah sering terjadi, sehubungan musibah yang menimpa bisnisnya. Seorang pelanggan tetap yang selalu menyuplai barang dari toko ayah membuka hubungan langsung dengan perajin kayu dari Jepara. Dia juga sampai hati merebut beberapa pelanggan ayah. Ayah marah besar karena merasa telah dicurangi orang yang selama ini justru banyak belajar tentang bisnis mebel Jepara darinya.”

“Kami tumbuh dari sifat keras yang dimiliki ayah, tapi kami dapat berhasil melewatinya dengan baik. Pendidikan dan karier kami lumayan baik di masyarakat. Itu karena emak selalu menghujani kami dengan seluruh kasih sayang dan cinta yang dia miliki. Entah mengapa, justru Kak Zahra yang tertekan perasaannya sehingga mengalami gangguan kejiwaan yang tak juga sembuh.”

Aku melihat ujung mata Azmi berair. Aku mengusap lembut bahunya, lalu kubilang, “Kita hanya dapat mendoakan almarhum amangboru agar tenang dan lapang di sisi Allah, Bang. Yang tak kalah penting, bagaimana kita mengurus Kak Zahra supaya penyakitnya sembuh dan dia dapat hidup normal seperti perempuan yang lainnya.”

***

SELEPAS tahlilan malam ketiga, namboru sakit. Tubuhnya mendadak lemah, tenaganya seperti terkuras oleh sesuatu dari dalam tubuhnya. Walau begitu, namboru tetap tersenyum di hadapan anak-anak, menantu, dan cucucucunya. Namboru mengatakan bahwa dia baik-baik saja.

“Mak, itu tandanya emak butuh istirahat total. Sudah lama emak berkonsentrasi mengurus ayah sejak terserang stroke. Emak juga mengurus Kak Zahra tanpa mengeluh. Setelah kepergian ayah, biarkan Kak Zahra diurus oleh seorang pembantu khusus di rumah ini,” ujar Azmi mengemukakan pendapatnya.

“Azmi betul, Mak. Kami ingin emak sehat dan tidak mempunyai beban apa pun dalam hidup ini,” tambah Bang Dahlan, abang tertua Azmi. Kulihat namboru ingin menampik ucapan kedua anaknya, tapi langsung kucegah dengan ucapanku pula.

“Selama kami masih berada di rumah ini, biarkan semua keperluan Kak Zahra, Nabila yang urus, Namboru,” kataku.

Akhirnya, perempuan berusia lebih enam puluh tahun itu menganggukkan kepalanya.

“Ini foto Kak Zahra sedang bersama amangboru di halaman Istana Maimun Medan. Wah, kakak cantik sekali dengan gaun warna pink ini,” kataku kepada Zahra. Aku memperlihatkan foto masa kecilnya bersama ayah di ruang keluarga.

“Amangboru sering mengajak kakak jalan-jalan ke Istana Maimun, Bandara Polonia, Masjid Raya, dan Kebun Bunga. Banyak foto kakak dan amangboru di beberapa tempat itu. Kak Zahra paling diistimewakan amangboru, ya? Itu karena kakak anak sulung dan satu-satunya perempuan,” tambahku sambil membolak-balik album foto.

“Dulu, setiap amangboru akan pergi ke luar kota ataupun ke luar negeri, dia akan mencium ubun-ubun kakak. Katanya, supaya kakak enggak rindu dan jatuh sakit. Kakak masih ingat?” kataku sambil menatapnya, tapi tak kutemukan mentari di bola matanya. Tak juga sinar bulan. Apalagi, pelangi. Hanya ada awan yang kelabu.

Tapi, aku tidak menyerah. Aku selalu berusaha mengajak Kak Zahra berbicara. Baik di saat membangunkannya, menyiapkan sarapannya, menonton televisi, maupun memasak. Bahkan, saat memasak, kusuruh Kak Zahra ikut menyiangi sayuran, mengupas kentang atau wortel, memetik cabe, dan sebagainya. Tapi, aku seperti berbicara dengan batu, tak ada satu reaksi yang kudapatkan.

“Halo, Kak Zahra. Selamat pagi. Apa kabar kakak hari ini? Ayo, bangun dan mandi. Supaya kakak kelihatan lebih cantik hari ini. Kan malu kalau diejek sama matahari? Di luar, semuanya sudah bangun,” kataku pada suatu pagi.

Zahra bangkit. Tatapan matanya sangat aneh. Tiba-tiba, tangannya menarik rambutku dan menjambaknya dengan kuat. Aku merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku. Aku menjerit sambil menangis, memintanya melepaskan rambutku. Suamiku datang, melepaskan cengkeraman tangan Zahra di rambutku. Zahra, perempuan bertubuh gempal itu, terjengkang ke tengah-tengah tempat tidur.

“Zahra tidak bisa dibiarkan. Dia sudah mulai meresahkan kita,” kata Azmi pada namboru dan keempat abangnya. Rumah namboru menjadi tidak tenang. Namboru sulit untuk beristirahat. Pada suatu hari, sesuai keputusan bersama, adik-adik Zahra membawanya pergi dari rumah.

***

Setahun kemudian, di sebuah rumah sakit jiwa, seorang perempuan duduk termenung di sebuah bangku panjang. Senja sudah menampakkan hadirnya, sesekali terdengar suara cericit burung di atas pohon.

“Kak, apa yang kakak pikirkan tentang figur seorang ayah? Seorang ayah adalah pemimpin sebuah keluarga, menjadi tiang yang menopang kehidupan rumah tangga. Apa bedanya hati seorang ayah dengan sepotong hati yang dimiliki ibu? Keduanya sangat berjasa, mengiringi kehadiran kita di dunia ini,” kataku layaknya seorang guru di hadapan muridnya. Kini, aku mengerti, persoalannya bersumber dari cinta yang tidak direstui orang tua. Dari situlah kebencian Zahra bermuara pada ayahnya.

“Seorang ayah juga manusia biasa, Kak. Siapa pun ayah kita tidak bisa kita samakan dengan ayah-ayah yang lain di penjuru dunia ini. Dia juga memiliki kelebihan dan kekurangan, seperti sifat yang dimiliki manusia yang lain,” tambahku lagi.

“Cepatlah sembuh, Kak. Masih banyak cinta yang ada di muka bumi ini.”

Dia menoleh. Aku merasa dia akan semakin membaik. (*)