Jumat, 17 Desember 2010

UNDANGAN OMONG-OMONG SASTRA 6 FEBRUARI 2011

Gairah bersastra sepertinya harus terus diasah. Memang, seperti peribahasa mengatakan, tak ada gading yang tak retak, tak ada tuyul yang tak botak. Dan, Ilmu memang harta kekayaan yang tak akan habis-habisnya. Maka, tunggu tanggal mainnya di rumah Idris Siregar Omong-omong sastra dilaksanakan.....

Rabu, 15 Desember 2010

Seputar Omong-omong Sastra (21 November 2010)

Geliat Sastrawan Muda di Omong-omong Sastra



ADALAH muskil – saat ini – sastra yang dimuat di sejumlah koran (surat kabar) tanah air mampu menarik minat para pembaca untuk menyantapnya terlebih dahulu ketimbang berita politik, ekonomi, atau olahraga. Lantas, masih perlukah sastra muncul di koran?



Seperti cabang seni lain yang mengalami perkembangan, sastra – dalam hal ini puisi dan cerpen – telah pula mengalami perkembangan yang amat pesat. Setiap tahun penyair-penyair dan cerpenis-cerpenis baru bermunculan – bak jentik di genangan air, hingga melahirkan beragam gaya pengucapan ataupun pola estetika yang cenderung aneh sekaligus segar menggairahkan. Hal ini sangat mengembirakan sekaligus mencemaskan. Mencemaskan? Ya, sebab, jangan-jangan (sedikit dari bagian kecurigaan saya) hal itulah yang mengakibatkan para penikmat karya sastra jadi kian enggan membaca puisi dan cerpen dalam koran.



Terlepas dari dibaca atau tidaknya puisi dan cerpen dalam koran, yang pasti sampai hari ini koran-koran di tanah air masih memberikan ruang bagi karya sastra – puisi dan cerpen – mutakhir. Begitu juga halnya koran-koran yang terbit di Kota Medan, masih rela memberikan ruang bagi karya sastra (ketimbang iklan-iklan yang tentu lebih menguntungkan). Namun, apakah karya-karya sastra – puisi dan cerpen – itu telah melewati proses seleksi yang “benar” (layak terbit)?



Itulah sedikit bagian dari isi paparan YS Rat pada acara Omong-omong Sastra (OOS) yang digelar Minggu (21/11/2010). Ini merupakan OOS kedua yang digelar dalam tahun 2010, di rumah sastrawan Hasan Al Banna, Griya Sakinah B7, Jalan Balai Desa, Bandar Khalifah, Medan Tembung.



Acara yang seharusnya diadakan dua bulan sekali ini sempat mengalami penundaan. Namun, berkat semangat para sastrawan, OOS kembali digelar. Sebelumnya, OOS dilaksanakan di kediaman Nina Zuliani, Jalan Gaperta Medan.



Kembali ke persoalan proses seleksi karya sastra dalam koran, menurut YS Rat – yang juga salah satu redaktur budaya – lemahnya proses seleksi di beberapa koran kerap kali memunculkan karya-karya sastra yang luput pada kaidah-kaidah penulisan. Oleh karena itu, makna-makna yang seharusnya mengena pada para penikmat sastra, justru menjadi tak jelas dan terkesan kabur.



Tak bisa dipungkiri, kelemahan-kelemahan beberapa redaktur budaya di sejumlah koran juga seringkali jadi pemicu munculnya karya-karya sastra plagiat. Ini tentu suatu hal yang mengkhawatirkan, apalagi terjadi pada saat gejolak sastra Sumatera Utara sedang menggeliat. Di sinilah sebenarnya peran penting redaktur-redaktur sastra (budaya) dalam proses penyeleksian karya yang “layak” terbit, hingga karya-karya yang muncul bisa menjadi pencerahan, baik bagi sastrawan maupun pembaca koran.



Ia juga menyatakan pentingnya pembinaan yang intens terhadap sastrawan-sastrawan muda – untuk menyebutkan sastrawan kelahiran tahun 1980 ke atas – Sumatera Utara saat ini. Sebab tanpa pembinaan yang “benar” maka sastrawan-sastrawan muda tak ubahnya seperti tunas-tunas di ladang yang tandus.



Tercatat ada sekitar 30 lebih sastrawan muda kelahiran di atas tahun 1980 yang pernah singgah di rubrik Rentak yang digawangi YS Rat. Sebut saja di antaranya Djamal, Sukma, Maulana Satrya Sinaga, Intan Hs, Wika Fitriana, Muhammad Pical Nasution, Irma Yanti Nasution, Wahyu Wiji Astuti, Dani Sukma, dan lain-lain. Inilah generasi-generasi yang akan melanjutkan dunia kesusastraan Sumatera Utara (Indonesia) ke zaman keemasannya kembali.



Selain YS Rat, OOS ini juga mendaulat Wika Fitriana sebagai pembicara. Wika merupakan salah satu sastrawan muda yang lahir di atas tahun 1980. Mengusung tema proses kreatif dalam karya sastra, Wika pun memaparkan sedikit proses kreatif yang selama ini ia lakoni. Walau terkesan sangat umum, namun pemaparannya mampu menghangatkan suasana diskusi bagi para sastrawan siang itu.



Acara OOS kali ini, yang dipandu Nina Zuliani, dinilai berhasil kembali menciptakan suasana akrab yang memang selalu jadi kegiatan nor formal itu. Tanpa ragu, Nina juga kerap memotong pembicaraan para sastrawan yang melewati batas waktu. Wajar saja, pasalnya bukan hanya satu-dua orang yang ingin bicara. Sebab, kapan lagi para sastrawan menyampaikan unek-unek yang bersarang di kepala mereka. Ya, namanya juga sastrawan, tentu hasrat berbicara sama besarnya dengan hasrat menulis. Lagipula, bukankah acara OOS ini sudah selayaknya jadi ajang bagi para sastrawan muda untuk berani tampil mengungkapkan pendapat.



Puas berdikusi dengan kedua pemakalah, acara dihentikan sejenak untuk melaksanakan salat zuhur, kemudian dilanjutkan dengan santap siang. Menu roti jala dan kari kambing yang disediakan tuan rumah benar-benar mampu menjadi penawar litak perut para sastrawan siang itu. Usai santap siang, acara dilanjutkan dengan pembicaraan agenda-agenda OOS yang sudah dibicarakan di pertemuan sebelumnya, seperti penerbitan antologi puisi, pembentukan STM (serikat tolong menolong), agenda OOS selanjutnya yang direncakan di rumah Idris Siregar di Tanjung Morawa, dan hal-hal lainnya seputar sastra.



Acara OOS kali ini juga dinilai berhasil membangun ikatan persaudaraan antar sastrawan. Selain dihadiri beberapa sastrawan senior seperti Norman Tamin, Sulaiman Sambas, Darwis Rifai Harahap, Damiri Mahmud, Jaya Arjuna, Mihar Harahap, M. Raudah Jambak, Yunus Rangkuti, juga ada para sastrawan muda dari beberapa komunitas seperti KOMPAK diwakili Dani Sukma, Wahyu Wiji Astuti, Rudi Saragih, komunitas Home Poetry diwakili Djamal dan penulis, serta FLP Sumut diwakili Sukma dan M.N Fadhli. Ini tentu kesempatan bagi sastrawan-sastrawan muda untuk menjalin keakraban dan bertukar pikiran dengan sastrawan-sastrawan senior Sumatera Utara.



Ke depan, diharapkan dari acara OOS akan muncul sastrawan-sastrawan yang menasional, bahkan mendunia, sehingga acara ini bukan untuk sekadar berkombur. (ilham wahyudi)

Selasa, 07 Desember 2010

Ben M Pasaribu, Penggiat Musik Tradisional Tutup Usia


Terus Bernyanyi Hingga Akhir Hayat
10:23, 07/12/2010
Terus Bernyanyi Hingga Akhir Hayat

Hari Senin (6/12), Etnomusikolog dan penggiat musik tradisional Ben Pasaribu menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit dr Boloni Jalan Mongonsidi Medan sekitar pukul 02.30 WIB. Komplikasi penyakit yang menggerogoti tak mampu mengalahkan semangatnya untuk menutup mata selama-lamanya.

INDRA JULI, Medan

Senandung pujian kidung rohani membahana dari rumah duka dimana jenazah Ben Pasaribu terbaring kaku. Seulas senyum tulus tersungging jelas di bibirnya. Meskipun begitu, perasaan kehilangan tak mampu menahan tangisan dari sana keluarga yang mengelilinginya. Sejak pagi pelayat pun tak kunjung berhenti menyampaikan ucapan bela sungkawa yang diikuti dengan penghiburan.

“Hari Minggu (5/12) nya, dia (Ben Pasaribu, Red) menelepon saya menyuruh untuk datang. Di situ saya lihat dia masih terus bernyanyi dan berdoa. Nyanyian rohani berbahasa batak. Setelah itu dia pun menutup mata sambil tersenyum seolah mengatakan dia sudah tenang,” ucap abang dari Ben Pasaribu, Mangatas Pasaribu yang ditemui di rumah duka Kompleks Diklat PU, Jalan Busi Medan, Senin (6/12).

Mangatas lalu menceritakan perjuangan panjang yang dilakukan Ben Pasaribu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Diawali pada gempa susulan Gunung Merapi Yogyakarta, pria kelahiran 10 Januari 1961 yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Yogyakarta ini mengeluhkan rasa sakit di punggungn
Dari pemeriksaan yang dilakukan, hal itu disebabkan adanya saraf yang terjepit. Saat menjalani pengobatan Ben kembali diserang keram di otot kaki.

Di dalam perjalanan menuju Unit Gawat Darurat, suami dari Ernita Panjaitan ini kembali didera serangan jantung. Tak tanggung-tanggung Ben mengalami penurunan berat badan yang drastis hingga 10 kilogram. Tubuh tinggi besar yang dulu dimilikinya seolah hilang hanya dalam sesaat, menyisakan sosok yang terbaring dengan senyum.
Keputusan keluarga menerbangkan Ben Pasaribu untuk berobat ke Penang pun tepat sehari sebelum penutupan bandar udara Yogyakarta dikeluarkan pemerintah. Di negara jiran itu pula keluarga mengetahui apa gerangan penyakit yang diderita bontot dari delapan bersaudara ini. Bukan, saraf yang terjepit, keram otot, atau serangan jantung yang selama ini disebut.

“Menurut pemeriksaan di Penang, awalnya disebabkan oleh adanya virus di tulang punggung. Namun karena sudah terlalu lama virus ini melalui darah masuk ke jantung. Tapi mereka juga menegaskan bukan virus ini yang menyebabkan kematian Ben. Tapi karena sudah menyebar ke seluruh tubuh,” papar Mangatas yang menyesalkan lambannya penanganan kesehatan di negara ini.

Dikarenakan kesibukan sang istri Ernita Panjaitan yang juga tengah menyelesaikan studi S-3 dan harus mengambil data doktoral ke Australia, keluarga pun memutuskan untuk membawa Ben kembali ke Kota Medan dan ditempatkan di Rumah Sakit Prof Dr Boloni Jalan Mongonsidi Medan. Semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk perawatan lanjutan pun didatangkan dari Penang.

Namun Sang Khaliq berbicara lain. Ben pun memperlihatkan tanda-tanda kepergiannya. Bahkan obat terakhir yang seharusnya dimasukkan Senin (6/12) pukul 09.00 WIB tak sempat lagi. Ben Pasaribu yang 10 Januari 2011 genap 50 tahun ini telah menghembuskan nafas terakhirnya pukul 02.30 WIB setelah sebelumnya menyanyikan kidung rohani dan berdoa. Keinginan untuk menerbitkan buku dari koleksi tulisan putrinya Mulan Pasaribu pun kandas.

“Hanya pesan terakhir saya diminta menjaga buku-buku koleksinya untuk putrinya Mulan. Pasalnya Mulan yang kini duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar ini memiliki hobi menulis dan sudah mengumpulkan banyak tulisan. Banyak juga komik yang sudah ditulisnya,” ucap dosen seni rupa Universitas Negeri Medan (Unimed) ini.

Bagi Mangatas, Ben adalah sosok yang selalu terbuka untuk membantu siapa saja. Kesibukannya yang tak kenal berhenti dalam menggelar pertunjukan musik kontemporer khususnya tradisi membuat sang abang menyebutnya ‘bandel’. Karena keteguhan sang adik dalam menggeluti musik tradisional dirinya lantas menyebut kepergian Ben Pasaribu sebagai kehilangan maestro musik kontemporer di tanah air.

Di kalangan akademis, Ben M Pasaribu juga dikenal sebagai sosok yang tegas dan objektif dalam penilaian. Meskipun begitu dirinya tetap bersedia membuka diri untuk membantu mahasiswa memahami materi yang diajarkan. Ben yang mengajar mata kuliah Filsafat Seni ini juga kerap dijadikan inspirasi bagi mahasiswa untuk belajar. “Pak Ben adalah guru, bapak, dan teman bagi mahasiswa. Dia selalu terbuka dan tak kenal lelah membantu kami untuk paham. Kadang dia yang bertanya kalau tidak ada mahasiswa yang nanya. Kami kehilangan sosok itu,” ucap mahasiswa jurusan seni musik Unimed, Muhammad Iksan Ramadan dan Khairil Syah yang datang melayat sore itu.

Ben M Pasaribu pergi meninggalkan seorang istri dan dua orang putri yaitu Mula Pasaribu dan Gita yang juga masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Selama hidupnya Ben selalu menciptakan karya yang berperan dalam mengangkat kesenian tradisional khususnya musik tradisional Batak tidak hanya di tingkat nasional juga internasional.
Salah satunya dengan mendirikan Medan Jazz Community dengan bermain sebagai arranger dan percussion. Bersama Medan Jazz Community, Ben pernah tampil pada hari pertama Java Jazz Festival 2009 mengusung warna musik free world jazz.

Dari karakter radikal dalam bermusik dari masing-masing personel, Ben berhasil memadukannya dengan musik jazz. Sebagai mediasi dipilih musik tradisional Batak yang memiliki karakter berbeda. Dari situ Medan Jazz Community pun menciptakan genre baru yang memperkaya warna musik tanah air yaitu free world jazz.

Sekalipun bergerak di bidang musik, Ben M Pasaribu juga memberikan perhatian di cabang seni lainnya. Tak heran sosok Ben sangat akrab di kalangan penggiat seni. Ya Kota Medan telah kehilangan. Selamat jalan Bang Ben. (*)

Jaya Arjuna – Kapsul


Judul: Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir
Editor: Korrie Layun Rampan
Penerbit: Bukupop, Jakarta
Tahun: Cetakan I, Februari 2009
Jumlah cerpen: 36 judul
Tebal: xi + 337 halaman

Daftar Cerpen:

Bagian 1 Cerpenis Laki-Laki

01. Agus Noor – Goyang Dangdut
02. Ahmadun Yosi Herfanda – Kolusi
03. Arie M.P. Tamba – Burung Biru
04. Bre Redana – Mencari Nina
05. Cecep Syamsul Hari – “Rendevouz”
06. Gus tf Sakai – Tukang Cukur
07. Gendut B. Riyanto – Rong
08. Harris Effendi Thahar – Si Malanca
09. Jaya Arjuna – Kapsul
10. Joni Ariadinata – Nekrofagus
11. Kurnia J.R. – Kesaksian Malam
12. Nadjib Kartapati Z. – Kalung
13. Pio Kristie Djelani – Rinai
14. Seno Gumira Ajidarma – Sukab & Sepatu
15. Sony Karsono – Insomnia
16. Sutarno Priyomarsono – Cakil Gugat
17. Tjendry Herianto – Bumi “China Town”

Bagian 2 Cerpenis Perempuan

18. Aan Almaidah Anwar – Rangkaian Melati
19. Anna M. Massie – Suatu Malam
20. Apri Swan Awanti – Suami Di Rumah Impian
21. A. Rahartati Bambang – While There’s Still Time
22. Dianing Widya Yudhistira – Rembulan Beku
23. Dorothea Rosa Herliany – Ikan-ikan Menggelepar
24. Etik Minarti – Nasib Sanggul Bu Colon
25. Lila Fitri Aly – Dua Orang Asing
26. Martha Hadimulyanto – Kenangan Pesta
27. Mona Sylviana – Dalam Ketika Legenda Malam
28. Nani Mulyani – Ketika Harus Memilih
29. Nenden Lilis A. – Oresteia
30. Nina Pane – Anak
31. Rainy M.P. Hutabarat – Terakhir Kali
32. Rani Rachmani Moediarta – Thea Giman
33. Ratna Indraswati Ibrahim – Tujuh Belas Tahun Lebih Empat Bulan
34. Ryke L. – Setelah Kelahiran
35. Sofia Trisni – Sebelum Hari Ini
36. Yatie Asfan Lubis – Taplak Krestik

OMONG-OMONG SASTRA DAN KOMUNITAS DI SUMUT

1. Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
KSI merupakan komunitas yang konsisten melahiran penulis-penulis berbakat, sebut saja Maulana Satrya Sinaga, Butet Benny Manurung, Embar T Nugroho, Sakinah Annisa Mariz, Adi Putra (Omadi Pamouz), dan masih banyak lagi. KSI dibawah manajemen bapak Idris Pasaribu selaku sastrawan senior yang telah melahirkan novel Acek Botak dan telah dicetak ulang. Komunitas ini terletak di Taman Budaya Sumatera Utara. Baru-baru ini Omadi Pamouz juga telah meluncurkan novel terbaru dengan judul Gethora, sedangkan sebelumnya Butet Benny Manurung meluncurkan novel remaja dengan judul Metamorfosis Gendis. Karya para anggotanya tersebar di berbagai media massa, seperti Harian Analisa, Medan Bisnis, Global, Sumut Pos, Waspada dan masih banyak lagi.

2. Komunitas Home Poetry (HP)
Komunitas HP digawangi oleh M. Raudah Jambak, memiliki simpatisan yang militan, agenda yang tiap tahun dilaksanakan antara lain lomba baca puisi yang dilaksanakan di Taman Budaya Sumatera Utara. Karya para anggotanya telah merajai berbagai surat kabar di medan dan luar kota.Seperti Hasan Al Banna, Ilham Wahyudi, Afrion, S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, M. Yunus Rangkuti, Djamal, Ahmad Badren Siregar, Saiful Amri, dll. Semboyan mereka LEBIH BAIK BERKARYA DARIPADA MENCELA.Even Komunitas HP

1. Mengikuti Temu Sastrawan I di Jambi (2007)
2. Memainkan 3 Judul Sinetron di TVRI Sumut (2009)
3. Baca Puisi 3 Penyair Sumut di Taman Budaya Sumut (2008)
4. Melaksanakan pelatihan Penulisan Puisi (2007)
5. Monolog “Teror” di Taman Budaya Sumut (2008)
6. Mengikuti Festival Film Pendek “Mencari Titik” (2009)
7. Melaksanakan Lomba Baca Puisi se-Sumatera Utara (2010)
8. Menerbitkan Buku Antologi Puisi “6 Penyair Urban” (2007)
9. Menerbitkan Buku Antologi Puisi “Laut Air Mata” (2008)
10. Melaksanakan Grafiti Contes (2008)
11. Lomba Baca Puisi Tingkat Pelajar se- Sumatera Utara (2009)
12. Diskusi Berkala
13. Pelatihan Cerita Anak Untuk Guru TK, SD se – Sumatera Utara (2010)
14. Kegiatan Partisipasi dan Kerjasama dengan kelompok lain
15. Pertunjukan Puisi 'KEPALA ATAU EKOR'karya Djamal(2010)
16. Berpartisipasi dalam Monolog 'CUBLIS'Hasan Al Banna (2010)
17. Berpartisipasi dalam pertunjukan Kolosal 'CINTA TANAH AIR'naskah/sutradara Raudah Jambak (2010)
18. Menampilkan monolog 'CELAH' Bunda Jibril (2010)
19. Kegiatan Temu Sastrawan Indoneisa I (Jambi), II (Bangka Belitung) III (Tanjung Pinang)
20. Dll.

3. Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK)
KOMPAK lahir dari kolaborasi aktivis kampus Universitas Negeri Medan (Unimed) yakni; Dani Sukma dan Rudi Hartono Saragih serta dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Budianto dan Sri Rizki Handayani, yang merasa tergugah untuk menghadirkan penulis dari kalangan mahasiswa agar bukan hanya sekedar menjadi akademisi tetapi juga harus bisa menjadi praktisi sastra. KOMPAK beranggotakan dari Unimed, UMSU, Universitas HKBP Nommensen, Insitut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Microskil.Karya anggotanya telah malang melintang di beberapa surat kabar medan, antara lain di Harian Analisa, Waspada, Medan Bisnis, dan Sumut Pos. Beberapa karya anggotanya juga telah masuk kumpulan antologi Cerpen dan Puisi, antara lain Antologi Cerpen CERMIN, Antologi Artefak Cerita Pendek Indonesia, Antologi [Mirip] Cerpen Para Penanti dan Antologi Puisi Suara Peri dan Mimpi. Beberapa nama anggota yang lekat berkarya antara lain Ria Ristiana Dewi (Unimed), Sri Rizki Handayani (UMSU), Erny Wirda Ningsih (Microskil), Budianto UMSU), Zuliana Ibrahim (UMSU), dan masih banyak lagi. Agenda yang dilaksanakan antara lain Pelatihan Kepenulisan, Pembacaan Puisi, Perlombaan Cipta dan Baca Puisi, Festival Cerita Pendek Se-Sumatera Utara. Memintal Kata Penuh Semangat, Merajut Karya Penuh Martabat merupakan falsafah komunitas ini. Komunitas ini terletak di Taman Budaya Sumatera Utara. Selain aktif dalam bergiat menulis di media massa, prestasi juga tergurat diberbagai pentas lomba baik antar kampus maupun tingkat Sumatera Utara. Komunitas ini dibina oleh sastrawan berjiwa muda, abangnda Afrion dan di bawah perlindungan sastrawan nasional Drs. Antilan Purba, M. Pd

4. Komunitas Penulis Muda Sumatera Utara
Komunitas maya ini digagas oleh Maulana Satrya Sinaga, di dalamnya dihimpun penulis-penulis muda yang berniat menunjukkan dedikasi dan atensi terhadap dunia sastra. Walau di dunia maya, namun selalu berupaya mencipta komunikasi antar anggota sehingga informasi kebudayaan dan sastra tetap menjadi menu pilihan utama untuk disajikan dalam komunitas ini.

5. Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya (KOMA) UMN Al-Washliyah Medan
Walau terbilang baru, KOMA UMN Al-Washliyah telah menunjukkan kiprahnya dalam belantika sastra di Sumatera Utara, terbukti prestasi demi prestasi telah tergurat atas nama komunitas ini. Di antaranya Juara pertama lomba baca puisi cinta HUT harian Globa 2010, Juara ketiga lomba cipta cerpen HUT Harian Global 2010, Juara pertama lomba baca puisi AMUK Teater LKK Unimed 2010, Juara pertama lomba baca puisi Komunitas Poeisi Unimed, dan lain-lain. Komunitas ini digagas oleh Muhhammad Anhar Husyam dan Lilik Suryadi (EL-Surya). Selain meramaikan jagad perlombaan sastra, Komunitas ini juga militan dalam berkarya di media massa, karya anggotanya termuat di beberapa media massa, seperti Harian Medan Bisnis dan juga menembus ketatnya Kompas.Com.

6. Komunitas Poeisi Universitas Negeri Medan (KOMPOEI Unimed)
KOMPOEI Unimed merupakan komunitas yang menerjunkan diri dalam totalitas menelusuri lekuk demi lekuk tubuh puisi. Agenda rutin yang menjadi ciri khas komunitas ini adalah pelatihan membaca puisi, sehingga para anggotanya dibekali kekuatan dalam menunjukkan kualitas pembacaan puisi. Karakter penampilan dan keberanian dalam menghadapi tantangan setiap tampil sastra baik itu untuk perlombaan atau pengabdian benar-benar tercermin dalam komunitas ini, yang luar biasa perlatihan baca puisi dalam komunitas ini langsung di bina oleh Sastrawan Nasional Drs. Antilan Purba, M. Pd. Tak heran bila angguk decak tersemat saat para anggotanya yang aktif mengikuti perlombaan sastra selalu memboyong piala, antara lain; Juara 1 lomba baca puisi AMUK Teater LKK Unimed 2009, Juara 1 Lomba Baca Puisi Komunitas Home Poetry 2009, Juara 2 Lomba Baca Puisi Amuk Teater LKK Unimed 2010, Juara 2 Lomba Baca Puisi HUT Harian Global 2010, dan masih banyak lagi presatasi yang tertoreh komunitas yang saat ini diketuai oleh Syafaruddin, Mahasiswa angkatan 2008 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed.

7. Komunitas Mahasiswi Pecinta Sastra Indonesia (KOMPENSASI)
Yang menarik dari Komunitas ini adalah anggotanya khusus untuk para wanita. Sepertinya gelora yang dihujamkan Raden Ajeng Kartini melekat di komunitas ini. Hanya saja komunitas ini masih terbilang muda, akan tetapi beberapa anggotanya telah mampu menembus media massa. Komunitas Ini digagas mahasiswi Unimed angkatan 2009 yang meyakini bahwa usia muda bukan halangan untuk berkarya. Dengan motto; Nurani Wanita Nurani Cinta Karya, membuat komunitas ini terpacu untuk bersaing dengan komunitas yang lebih dahulu muncul dalam belantika sastra di Sumatera Utara.

8. Komunitas Tanpa Nama (KONTAN) Unimed
Gila! mungkin kata ini layak dilekatkan dalam komunitas ini, bagaimana tidak, komunitas ini baru terbentuk di awal bulan Agustus 2010 dan hanya beranggotakan sepuluh orang yang kesemuanya mahasiswa stambuk 2010 (mahasiswa baru) Unimed. Namun, walau terbilang baru karya para anggota telah tembus di beberapa surat kabar, seperti Medan Bisnis, Analisa dan Waspada.Inilah terobosan sekaligus kenekadan para mahasiswa yang berprinsip kedewasaan bukan hanya ditentukan dari segi usia, tetapi juga dari segi kematangan berpikirnya. Tetapi kegilaan mereka layak kita apresiasi, sebab yakin dan percaya komunitas ini akan mampu bersaing dalam kancah sastra.

9. Komunitas Garapan Pemuda Tahan Lapar (GARPUTALA)
Komunitas ini digawangi empat sekawan Rudi Hartono Saragih (Mahasiswa Berprestasi Universitas Negeri Medan 2010, Dani Sukma A. S (Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Sumatera Utara), Khairul Anam (Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed), dan M. Irsyad Sungkunan Lubis (Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed). Sesuai dengan nama komunitas, maka komunitas ini -mungkin- satu-satunya komunitas yang memproklamirkan bahwa miskin harta tidak harus menjadi hambatan untuk miskin karya, sebab kualitas hidup dan kehidupan setiap orang bukan hanya ditinjau dari materi tetapi juga dedikasi untuk menggapai prestasi. Terbukti, lewat Komunitas GARPUTALA lahir para pakar organisatoris dengan beragam prestasi akademis, antara lain mengantarkan Rudi sebagai duta Mahasiswa Berprestasi Se-Unimed dan bertanding dikancah mahasiswa berprestasi tingkat nasional. Selain itu, Dani Sukma A. S juga mampu menduduki struktur wakil ketua HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Sumut, dan pada akhirnya Rudi dan Dani juga mampu menjajah ibukota Jakarta sebagai duta Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Sumatera Utara dalam Program Hibah Kompetisi Assosiasi Profesi Mahasiswa (PHK APM) 2009 dan berhasil meraih dana hibah untuk kegiatan pengembangan sastra bagi mahasiswa sebesar 38.500.000 (Tiga Puluh Delapan Juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Kiprah GARPUTALA tak berhenti sampai di situ, pada tahun 2010 ini, Khairul Anam dan M. Irsyad Sungkunan Lubis (Ketua dan Wakil Ketua HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed) juga mampu meneruskan tradisi dengan merebut PHK APM 2010 dan lagi-lagi dua sejoli ini mejadi kampiun sebagai duta Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Sumatera Utara dan mendapat dana hibah sebesar 25.000.000 (Dua puluh lima juta rupiah) untuk melaksanakan kegiatan berbasis sastra bagi mahasiswa. Selain Prestasi tersebut, Rudi dan Dani juga aktif menulis, karya mereka telah di muat dalam berbagai buku Antologi Cerpen dan Puisi serta dimuat dibeberapa surat kabar, demikian pula dengan Khairul Anam dan M. Irsyad yang terus berlomba bahkan perang antar saudara untuk berkarya demi komunitas GARPUTALA.

NB:
Sebenarnya masih banyak Komunitas lain yang belum mampu didedeteksi, akan tetapi semoga Komunitas di atas bisa dijadikan referensi bagi para generasi cinta karya untuk melabuhkan proses pertapaan karya dan berguru kedalaman ilmu, silahkan pilih dan tentukan mana yang terbaik untuk dijadikan rujukan dalam proses berkarya.

Cerpen YS Rat

SIAPA MEMBAWA AGAM DAN INONG

Bingung Agam dan Inong begitu tersentak dan menyadari tubuh mereka terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Masing-masing bangkit, duduk dan selintas saling pandang tanpa berujar sepatah kata pun. Anak lelaki dan perempuan berusia sekitar lima tahun itu sama-sama tak mengerti mengapa di tanah bergelimang lumpur di hadapan mereka juga banyak orang berbaring.
Agam dan Inong mengira, seperti juga mereka, orang-orang yang berbaring itu tak lama lagi pasti akan bangkit. Tapi, setelah ditunggu hingga lewat tengah hari, ternyata tak satu pun di antara mereka yang bangkit. ''Mungkin mereka kelelahan. Kasihan kalau sampai malam tertidur di sini. Aku harus membangunkan mereka.''
Pikiran kanak-kanak Agam menerka sambil melangkah menghampiri tubuh-tubuh yang terbaring itu. Nyata di penglihatannya, lumpur menyelimuti tubuh-tubuh tersebut sehingga tak bisa dia mengenalinya. Inong pun, yang tanpa bicara mengikuti apa yang dilakukan Agam mendapati kenyataan sama.
Perlahan-lahan Agam dan Inong berjongkok serta mengamati sosok tubuh yang terbaring di dekat mereka secara seksama. Dengan sangat berhati-hati keduanya menggoyang-goyang sosok tubuh tersebut. Tak ada reaksi. Sekali lagi mereka coba, tetap saja tanpa reaksi. Ke sosok tubuh lainnya mereka beralih, hasilnya sama saja. Ke yang lainnya lagi, tetap tak ada beda. Terus, bergantian dari satu sosok tubuh ke sosok tubuh lainnya. Hanya lelah yang didapat.
Agam memutuskan mencari tempat untuk beristirahat. Sambil memejamkan mata, dia duduk bersandar pada batang sebuah pohon besar di dataran yang agak tinggi. Tak sedikit pun dia hirau terhadap Inong yang tetap mengikutinya dan melakukan seperti yang dia lakukan.
Dalam diam dan memejamkan mata, ingatan Agam berpulang kepada peristiwa yang tadi dirasakannya bagaikan mimpi, hingga akhirnya dia tersentak dan mendapatkan dirinya terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Tak tau dia kenapa tiba-tiba tubuhnya terbujur dan terapung-apung di tengah laut yang maha luas, tanpa sedikit pun membersit rasa takut meskipun di kemahaluasan laut hanya ada dirinya. Malah, air laut yang mengombang-ambingkan tubuhnya dia nikmati layaknya sedang bermain ayunan.
Bersamaan dengan usainya perulangan kenangan itu di benaknya, Agam kembali membuka matanya. Begitu pula Inong yang berada di sebelahnya, tanpa sepengetahuan Agam ternyata juga mengalami hal serupa. Seketika, secara bersamaan kedua kanak-kanak itu saling pandang dan heran.
"Wajahmu penuh lumpur," ujar Inong kepada Agam."Wajahmu juga berlumpur," balas Agam sembari bangkit dan bergegas menuju genangan air di dataran yang rendah, diikuti Inong di belakangnya. Begitu sampai, keduanya membersihkan wajah masing-masing dengan air yang sungguh sangat tak bersih itu. "Inong?!""Agam?!"Terperanjat. Agam dan Inong sama menyapa setelah bisa saling mengenali. Kemudian, di dalam diri masing-masing membuncah pertanyaan demi pertanyaan, berbaur dengan kebingungan yang menggumpal. Apa yang telah terjadi? Dimana ayah, ibu dan adikku? Kemana aku harus berjalan untuk kembali ke rumah dan bertemu dengan mereka? Apa ini yang dibilang kiamat, seperti yang sering diceritakan ayah? Kalau memang kiamat, kenapa kami masih hidup?
Selain berjibun sosok tubuh orang-orang yang terbaring bergelimang lumpur, sisa-sisa bangunan menghadang tatap mata kedua bocah yang selama ini tinggal bersebelahan rumah itu. Di antaranya tinggal puing dan tak sedikit yang telah rata dengan tanah. Pada arah terbenamnya matahari, hanya tampak hamparan tanah membentang maha luas berbatas kaki langit. Seolah ada tenaga gaib yang menggerakkan tangannya, Agam segera meraih tangan Inong dan menggandengnya berjalan ke arah tersebut. Inong pun tak menolak.
Telah entah berapa jauh jarak ditempuh. Sama sekali tak terbersit keinginan untuk berhenti. Terus dan terus berjalan, tanpa secuil pun hinggap rasa lelah, juga tak sebutir pun peluh menempel di tubuh. Bahkan, gumpalan pertanyaan berbaur kebingungan yang sempat mendera tak bersisa sepenggal pun. Berganti dengan kedamaian yang datang dan menyeruak memenuhi relung hati Agam dan Inong.
Namun, tiba-tiba tatap mata Agam menangkap sesuatu yang dirasanya aneh. Segera dia menghentikan langkah sambil tetap menggandeng tangan Inong. Di hadapannya, jauh di batas kaki langit, tampak sebuah titik hitam muncul. Inong pun menyaksikan hal yang sama. Di samping titik hitam itu, muncul lagi satu titik hitam yang lain. Satu lagi bertambah di sebelah titik hitam kedua. Satu lagi di samping yang ketiga dan satu lagi di sebelahnya. Masih juga bertambah di samping yang keempat, di sebelah yang kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan seterusnya dan seterusnya. Terus pula Agam dan Inong mengarahkan tatapannya mengamati pertambahan titik-titik hitam itu, hingga akhirnya menyatu di batas kaki langit.
Perlahan-lahan seluruh titik hitam bergerak naik, mewujud garis tegak lurus, membentuk sebuah lingkaran dan mendesak ke depan. Nyatalah, pemandangan yang semula tampak aneh itu merupakan sosok orang saling berpegangan tangan satu sama lainnya. Semakin nyata pula, lingkaran sosok orang yang tak terhitung jumlahnya, yang sekarang telah teramat dekat dengan Agam dan Inong, semuanya berusia dewasa.
Menghadapi kenyataan itu, Agam dan Inong tak bergeming. ''Jelas sekali, kedua bocah inilah yang dimaksudkan petunjuk yang kita dapatkan itu. Karena, menurut petunjuk itu tinggal ada dua bocah di dunia ini. Laki-laki dan perempuan. Sekarang kita sudah mendapatkannya.''
Agam dan Inong tak hirau dengan apa yang dikatakan salah seorang di antara orang-orang berusia dewasa itu.''Kalau begitu kita harus segera menyelamatkan kedua bocah ini sebelum terlambat,'' usul yang lainnya.''Ya, sebelum malam tiba semuanya sudah harus selesai,'' timpal yang lainnya lagi mengingatkan.Seorang yang tampak lebih tua dari yang lain melanjutkan.''Terlebih dahulu kami mohon maaf. Berdasarkan petunjuk yang kami terima, kami harus menemukan sekaligus menyelamatkan dua orang bocah yang masih tersisa. Menurut petunjuk tersebut, kalau kalian tidak kami selamatkan, bahaya maha dahsyat akan memporak-porandakan perjalanan umat manusia menuju alam keabadian.''Orang itu menarik nafas sejenak.''Petunjuk itu juga menyebutkan, jika kalian dibebaskan melangkah sesuka kalian, pada akhirnya rasa rindu untuk memiliki teman, sahabat atau bahkan pendamping akan mendera hati kalian. Rasa rindu itu awalnya sekadar membujuk, tapi lama kelemaan akan memaksa diri kalian masing-masing untuk memenuhinya. Lantas, begitu kalian sama-sama berhasil memenuhi rasa rindu itu, saat itulah bahaya maha dahsyat akan memulai aksinya. Romantisme yang ada di lubuk hati kalian akan membuat kalian tak mampu membebaskan diri dari penjara kehendak sosok yang awalnya kalian butuhkan sebagai teman, sahabat atau pendamping tersebut.''
Kali ini lebih panjang, kembali orang itu menarik nafas.''Pada akhirnya kalian pun berkomplot dan membelokkan perjalanan umat manusia dari menuju alam keabadian kepada perjalanan tak berbatas serta tanpa kepastian. Kalian akan membelokkan perjalanan umat manusia ke arah yang dilumuri pertumpahan darah tanpa ada yang berani mencegah. Karena, setiap yang berusaha mencegah pasti akan dibenamkan ke dalam kolam darah. Jadi, sekali lagi maafkan kami. Kami harus menyelamatkan kalian, demi keselamatan umat manusia hingga sampai ke alam keabadian.''
Agam dan Inong tetap saja diam. Lingkaran orang-orang berusia dewasa itu perlahan-lahan menyebar dan mengelilingi kedua bocah itu. Serentak mereka merapat, dengan cepat memberangus Agam dan Inong.
Mendadak, bumi yang hanya hamparan tanah maha luas berbatas kaki langit bergoyang. Perlahan-lahan. Sedikit kencang. Bertambah kencang! Semakin kencang! Teramat kencang! Maha kencang! Hingga, langit maha tinggi serasa sejengkal di atas kepala.''Bum! Bam! Dum! Dam! Dor!''
Rubuh! Lenyap! Apa yang ada menyatu dengan tanah. Ini yang kesekian kalianya. Semua berawal dari entah siapa membawa Agam dan Inong entah kemana.
[Medan, 17 Februari 2005]]