Jumat, 05 November 2010

Biografi Sutan Takdir Alisjahbana


Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 - Jakarta, 17 Juli 1994), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).

Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).

Masa Kecil

Ayah STA, Raden Alisyahbana Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepakbola yang handal. Kakek STA dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas, dan di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.

Keterlibatan dengan Balai Pustaka

Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

Karya-karyanya

* Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
* Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
* Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
* Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
* Layar Terkembang (novel, 1936)
* Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
* Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
* Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
* Pelangi (bunga rampai, 1946)
* Pembimbing ke Filsafat (1946)
* Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
* The Indonesian language and literature (1962)
* Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
* Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
* Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
* Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
* The failure of modern linguistics (1976)
* Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
* Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
* Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
* Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
* Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
* Kalah dan Menang (novel, 1978)
* Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
* Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
* Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
* Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
* Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
* Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
* Sajak-Sajak dan Renungan (1987).


Buku yang dieditorinya: Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).


Terjemahannya: Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).

Buku mengenai STA: Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999) dan S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006).

Penghargaan

Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.

STA adalah pelopor dan tokoh “Pujangga Baru”.

Lain-lain

Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.

Kamis, 04 November 2010

Semaraknya Sastra Sumut Jangan Dibiarkan Redup

Mochli’s

SAYA merasakan duka kian dalam dengan berpulangnya Aldian Aripin. Semua orang tahu, juga mungkin mengakui, Aldian Aripin ini termasuk sastrawan yang andalan di Medan, katakanlah Sumatera Utara. Dengan tiadanya lagi sastrawan yang satu ini, sedikit banyak memberi pengaruh pada perkembangan dunia sastra di daerah ini yang menurut hemat saya tidak lagi berkembang seperti yang diharapkan di masa-masa belakangan ini.

Maafkan, jika pendapat saya ini keliru. Namun cobalah simak secara jujur perkembangan atau katakanlah aktivitas sastra di daerah kita terasa benar telah begitu melorot ke titik rendah. Setelah “presiden puisi” N.A.Hadian, juga Herman Ks, Lazuardi Anwar, Rusli A. Malem, Prof.M.Samin Siregar mendahului kita semua. Memang bukan hanya mereka yang mampu mengembangkan sastra di Medan/Sumut, justru masih banyak lagi sastrawan di daerah ini yang berkaliber unggulan.

Tetapi bagaimanapun juga karya, peran, kiprah maupun aktivitas mereka sedikit banyak mewarnai sastra di daerah ini. Menyemarakkan, menumbuh-kembangkan, menebarkan sinar terang sastra Medan yang dikenal sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia.

Sedihnya, sudah sejak beberapa waktu belakangan ini semaraknya itu meredup. Sinar terang hampir-hampir padam. Tumbuh-kembang itu seolah mandeg ! Mengapa dan kenapa ? Saya tak tahu pasti. Yang saya tahu di Medan ini masih ada sastrawan yang sudah punya nama besar. Ada Damiri Mahmud, ada Afrion, Raudah Jambak, Darwis, Z.Parlindungan Lubis, ada Hasan Al Bana, Zatako, ada, ada, ada ah cukup banyaklah. Lalu jangan lupa ada juga Idris Pasaribu si Acek Botak,

Memang tidak ada seperti Andrea Hirata yang produktif dan sangat terkenal. Tetapi mereka adalah orang-orang potensial dalam bidangnya, sastra. Ini tidak dapat dimungkiri kalau kita mau jujur. Lalu masih ada lagi, meskipun aktivitasnya sehari-hari adalah dosen, Guru Besar, yakni Prof.Dr.M.Solly Lubis, namun perhatiannya cukup besar terhadap sastra.

Bahkan juga turut berkarya menulis puisi (ingat bukunya “Safari”), dan selalu turut dalam berbagai aktivitas sastra, juga Ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara Shafwan Hadi Umry, walaupun sibuk juga sebagai dosen toh mereka tidak dapat “disisihkan” begitu saja. Mereka juga punya peran. Mereka juga berjasa dalam bidang sastra.

Juga di Medan ini masih ada sastrawan masa lalu dan pernah jaya di zamannya. Hanya zaman mereka sudah berlalu. Sepertinya juga mereka sudah lupa pada dunia yang dulu pernah mereka geluti dan cintai. Mereka adalah Bokor Hutasuhut dan Ali Soekardi. Usia senja juga membuat mereka sudah kehilangan kemampuan.

Suatu hal yang tak mengherankan, ini alami. Yang mengherankan justru rekan-rekan sastrawan yang punya nama besar, dan masih potensial dan punya tenaga, kok sepertinya “terhenti”. Sekali-sekali mereka masih muncul di ruang budaya koran. Hanya saja karya mereka seolah-olah tertumpu hanya pada esai. Mungkin hanya Hasan Al Bana yang terasa daya kreatifnya berbentuk cerpen yang muncul di koran Ibukota. Teruskan, Bung.

Idris Pasaribu yang menurut hemat saya masih berpotensi dan kreatif, namun waktunya sudah habis disedot mengurusi ruang Seni dan Rebana setiap minggunya. Lebih disayangkan lagi, justru ruang budaya koran pun sudah tidak banyak lagi, kecuali Analisa yang masih tetap mempertahankannya sampai sekarang.

Menurut sejarahnya Rebana sudah seumur korannya, 37 tahun dengan pengasuh yang saling berganti dari Ali Soekardi, Dhalika Tadaus, Zakaria M.Pase, Buoy Hardjo dan sekarang Idris Pasaribu.

Tentu saja yang tidak boleh dilupakan sekarang ini cukup banyak muncul penulis generasi muda. Sastrawan remaja. Umumnya mereka berkarya dan mengisi berbagai ruang yang sesuai dengan usia dan dunia mereka : remaja. Banyak mereka yang berbakat. Punya masa depan yang bagus dapat menggantikan generasi yang beranjak tua. Hanya saja mereka masih harus banyak berkarya dan berlatih. Malahan juga perlu pembinaan dari yang tua-tua.

Diperhitungkan Kembali

Kembali pada perasaan saya yang mungkin benar, mungkin juga tak tepat, bahwa semarak sastra di Sumut memudar, gaungnya hampir tak terdengar lagi, barangkali tidaklah salah jika mendapat perhatian mereka-mereka yang masih punya semangat dan potensi di bidang sastra ini. Ya, kaum sastrawanlah. Atau dari kampus-kampus yang berseni-budaya. Atau juga organisasi, badan yang bergerak di bidang sastra ini.

Bekerjasama dan sama-sama bekerja menumbuh-kembangkan sastra agar Medan/Sumut diperhitungkan kembali, rasanya jauh lebih baik daripada bersaing secara tidak sehat. Dewan Kesenian Sumut (DKSU) mungkin perlu dibenahi secara benar dan berperan secara benar pula.

Setahu saya DKSU ini terlalu malas bekerja memajukan kesenian daerah ini, maupun memberikan penghargaan pa-da seniman/budayawan yang pantas diberi penghargaan. Lagi pula suatu organisasi kesenian sewajarnyalah dikelola oleh seniman/budayawan yang berkemampuan, jangan pula dijadikan semacam organisasi berstrukturisasi gaya organisasi pemerintah. Jangan, dong !

Jangan dibiarkan sinar sastra di Medan/Sumut terus meredup. Jangan sampai kenyataan ocehan orang, bahwa sastra di Padang’ dan Pekanbaru lebih semarak dan menentukan. Kita juga seharusnya bisa. Walaupun dulu, ya dulu dulu, pernah dikenal sebagai “sastra picisan” namun nama Medan pernah berkibar, jaya dan harum.

Sekarang pun Medan harus kembali namanya berkibar, jaya dan harum dengan sastra yang berbobot, yang diperhitungkan, tidak kalah dari Jakarta, atau Yogjakarta. Karena potensinya ada. Asal, asal mau menjauhi “penyakit hati” : benar sendiri, hebat sendiri, puas sendiri. Sombong, ah !

Sekarang ini hampir-hampir tidak ada badan resmi, organisasi, atau apalah namanya yang memberikan penghargaan yang memadai kepada sastrawan yang karyanya bagus dan pantas dihargai. Baik sastra berbahasa nasional, maupun berbahasa daerah. Padahal di daerah kita ini, Sumatera Utara, ada delapan etnis yang memiliki atau kaya dengan seni budayanya termasuk sastra. Dulu ada sastra Batak, Opera Batak, kesenian Karo, Mandailing dan lain sebagainya yang khas dan bagus.

Bahkan dulu di tahun 1970-an ada badan BKKW (Badan Koordinasi Kesenian Jawa) Sumatera Utara yang aktif mengadakan pagelaran kesenian Jawa. Malahan pernah mengadakan Festival Pedalangan se Sumatera Utara.

Dalam festival tersebut bertandinglah para dalang wayang kulit dengan juri dalang terkenal dari Jawa. Dan apa hasilnya ? Yang keluar sebagai Juara I Dalang, ternyata orang Karo.

Bayangkan yang dilombakan dalang wayang kulit berbahasa Jawa (bahasa pewayangan yang berkelas tinggi), ternyata yang jago dan menang orang Karo (sejak kecil dia senantiasa tinggal di tengah masyarakat Jawa). Namun satu bukti, satunya bangsa ini, bangsa Indonesia, walaupun terdiri dari berbagai suku. Namun lewat kebudayaan, lewat kesenian mereka lebih kuat kesatuan dan persatuan.

Sastra Lokal

Saya jadi teringat pada sastrawan, dosen tanpa ijazah, Ajip Rosidi asal dari Jawa Barat tapi kini tinggal di Magelang, Jawa Tengah. Dia punya yayasan bernama Rancage (artinya aktif kreatif) yang setiap tahun memberikan penghargaan kepada sastrawan lokal yang terbaik dengan karyanya terbagus.

Tentu sastra dalam bahasa daerah, yang pada mulanya dulu diberikan kepada sastrawan Sunda bernama Yus Rusyana dengan cerpennya Jajaten Minggan Papasten (Keberanian Menghadapi Takdir). Tapi Rancage kini telah berkembang, bukan sastra Sunda saja, tetapi juga sastra Jawa dan Bali yang terbaik diberi penghargaan.

Penghargaan itu juga dibarengi hadiah uang. Dan semua biayanya keluar dari kantong Ajip Rosidi, yang pernah mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Jepang. Di Medan/Sumut kita belum memiliki sastrawan seperti ini. Entah nanti di belakang hari, ada sastrawan yang sudah mapan karena merangkap misalnya sebagai Guru Besar yang punya keikhlasan dan kemampuan mencontoh Ajip Rosidi, meskipun mungkin secara kecil-kecilan.

Atau ada badan khusus yang serius mau mengembangkan dan menghargai sastra dan sastrawan-nya, agar sastra Sumut kembali semarak (ya, jangan ada badan resmi dijadikan ajang senang sendiri). Insya Allah, moga-moga sastra di Medan/Sumatera Utara tidak lagi redup, ”tapi bangkit semarak dan diperhitungkan di Tanah Air.
***