Selasa, 08 Maret 2011

ANTOLOGI HASIL TEMU SASTRAWAN INDONESIA III DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU


Bunga Rampai Puisi dan Cerpen
Berlatar Kota Tanjungpinang
(Diterbitkan, Desember 2010)

Kota Tanjungpinang merupakan salah satu pusat penting Kerajaan Melayu. Ia pernah menjadi menjadi gerbang Kerajaan Bintan sejak tahun 1673 Kerajaan Johor muncul gemilang di Hulu Sungai Carang – atau dikenal sebagai Sungai Riau. Pada masa itu dunia kalam, tulis-menulis berbagai ilmu pegetahuan, khususnya agama Islam dan sastra tumbuh subur. Maka dikenallaah nama pengarang Raja Ahmad dan Engku Putri Hamidah, anak Raja Haji Fisabilillah. Kepengarangan terus berlanjut sampai kepada Raja Ali Haji (anak Raja Ahmad dan merupakan cucu Raja Haji), Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau dan sampai kepada Aisyah Sulaiman Riau. Selepas itu, muncul Hasan Junus, Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM. Syamsuddin dan lain-lain sampai Suryatati A. Manan.
Buku Tanjungpinang Punya Cerita ini mencoba menghimpun cerpen dan puisi yang berlatar Kota Tanjungpinang karya sejumlah pengarang/penyair dari berbagai kota di tanah air. Mereka adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Chavchay Syaifullah, Hudan Nur, Isbedi Stiawan ZS, Rida K. Liamsi, Sitok Srengenge, Tan Lioe Ie, Viddy AD Daery, Fakhrunnas MA Jabbar, Nanang Suryadi, Fahrudin Nasrulloh, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, M. Raudah Jambak, Raudal Tanjung Banua, dan Triyanto Triwikromo; di samping dari Tanjungpinang sendiri, Abdul Kadir Ibrahim dan Suryatati A Manan.
Ini bukan sekadar romantisme-kenangan, namun sebuah upaya membangkitkan kemungkinan kreatif dari sebuah kota, sekaligus mendokumentasikan pengalaman sastrawan atas kota yang hikmatinya. Karya sastra sebagai dokumentasi sosial niscaya menemukan persilangannya yang tepat: ia merekm jejak pergulatan Kota Tanjungpinang, dulu, sekarang dan masa datang.

Rabu, 02 Maret 2011

SAJAK-SAJAK SOFYAN TANJUNG :

Seribu Sungai Seribu Muara Seribu Masa Lalu

Gairah menyelinap di penghujung malam
ada percikan api memuai kelopak bunga
dan sepasang dusta melabuhkan gigilnya
ketika gelombang pasang menagih janjinya
seperti kabar yang sampai di telingamu hari ini
dari rahim malam telah lahir seribu anak-anak
tanpa masa lalu

Persetubuhan yang kita sepakati dapat menghangatkan
janji telah jadi ritual bagi peniadaan anak-anak negeri
yang tidak kuasa menyebut nama pahlawannya
di kedua pangkal pahanya terbuhul mimpi yang tak henti
henti meneteskan darah
kelak dewasa dia akan mengepal tangan dan berdiri menantang
matahari mengulangi ikrar leluhurnya : right or wrong it is my
country !

Sejak itu gelombang laut bertahun-tahun tidak memperlihatkan
kemilaunya sedangkan anak-anak negeri masih saja setia mengikatkan
kakinya pada selangkang sejarah dan meyakini kesabaran
adalah persaudaraan
kerendahan hati adalah sikap jiwa yang sudi berbagi
toleransi adalah kesabaran menahankan perih tanpa bertanya
dan memaklumi kenaifan sejarah seperti kita memaklumi luka
piramida

Barangkali
bukan kesaksian yang kita butuhkan,
kepalan tangan yang selalu siap mengayunkan kemarahan
tapi sebidang tanah lapang di mana anak-anak negeri
dapat dengan leluasa meneriaki masa lalunya menagih janji mentari
sebab masa lalu adalah seribu anak sungai
mengalir dari seribu masa lalu
mencari seribu muara


Medan, 1999


SAJAK-SAJAK SOFYAN TANJUNG :

Aku adalah Musa di Bukit Thursina

Di dalam genggamannya ada janji
Di dalam dadanya membara gairah mencari
Dia bawa janji berlari antara Safa dan Marwa
Nazareth dan Bukit Golgota, Ayoda dan Gangga
Mengendus jejak laki-laki terpilih

Aku adalah Musa di Bukit Thursina
Lelaki tanpa alas kaki memahat keabadian
Matahari di angan-angannya

Bersama Nietsche
Sartre
Mansur
Gandhi dan
Fansuri

Aku mengembara sepanjang lorong-lorong waktu
Menjelajahi hangatnya padang-padang sejarah
Eksistensialisme
Humanisme
Wujudisme
Fantaisme
Komunisme

Tuhan,
Jangan biarkan aku sendiri dalam pengembaraan ini
Tunjukkan jalan aku kembali
Kampung halaman yang sepi
Di mana segala isme melebur dalam
Anggur kegairahan

Rinduku
Rindu para Mu’allaf
Rindu rupa
Rindu sapa

Medan, 89-99


SAJAK-SAJAK SOFYAN TANJUNG :

MUSA I
(sudah sampaikah lelaki itu kemari?)

Tatkala mimpi beranakkan mimpi
Dan malam menjelma pesta masturbasi
Sang jadah menggenggam dendam
Mendaulat diri jadi penguasa negeri
Sejak itu ibu pertiwi tak pernah lagi
Melahirkan bocah laki-laki

Para tentara adalah bedil-bedil tua
Lelehan mani yang tumpah dari dusta yang
Digumamkan. Sejarah tanpa laki-laki
Adalah anjing penyalak bayang-bayang sendiri
Berharap angin’kan berhenti mewarna diri

Semua itu berpusar pada gedung-gedung parlemen
Dan kandang-kandang sapi. Sorak para kasim
Memantik kembang api di kemaluannyadan lenguh
Panjang menikam diri

Lelaki adalah tragedi bagi penguasa negeri
Lelaki adalah bara api gairah sungai Nil
Mewujudkan mimpi
Lelaki adalah mereka yang pilih berkelahi
Ketimbang berdalih
Lelaki adalah mereka yang pilih mati berkalikali
Demi menegakkan harga diri

Sudah sampaikah lelaki itu kemari
Ke negeri ini negeri para banci
Dalam gairah sungai Nil yang tak pernah
Henti mengalirkan sejarah darah laki-laki

Medan, awal ’99

MEMAHAMI TEATER SEBAGAI GAMBARAN REALITAS KEHIDUPAN

Oleh : S.Ratman Suras

Di even Parade teater Sumatera Utara, Kelompok-kelompok Teater yang tampil telah hadir dengan menawarkan gagasan-gagasan. Gagasan inipun tentunya harus berani dibayar mahal oleh sutradara, yang sudah cukup dikenal debutnya di ajang perteateran Sumatera Utara, dengan berbagai tafsiran dari kalangan masyarakat penonton.
Gagasan itu begitu kompleks. Diantaranya keberanian mengawinkan aliran dan budaya yang berbeda. Konvensional dan Absurd distek. Realis atau semirealis. Monolog sepintas selalu hadir. Kostum yang begitu wah dicangkok dengan setting minimalis. Moderen dan tradisional pun disandingkan. Mungkin bayi multikulturalisme yang akan diharapkan lahir. Mengutip komentar dari kritikus seni lukis, keberanian sutradara menarik garis pantas menjadi bahan perenungan kita. Dan hal ini mengingatkan saya dengan konsep teater alternative (yang saya baca) yang pernah dihadirkan salah satu kelompok teater pemenang dari Jakarta, di ajang festival teater alternative yang pernah saya saksikan di Gedung Kesenian Jakarta, 2004 lalu. Beritanya juga dimuat diberbagai surat kabar di Indonesia.
Tema-tema beragam yang hamil dalam rahim pikiran sutradara-pun dilahirkan. Misalnya saja rakyat miskin yang bertabur di emperan rumah Negara Kaya. Manusia yang baru menikmati gurihnya buah harga diri dan sayur kehormatan, setelah dia merasa tidak berharga. Perjuangan. Barang-barang yang senilai dengan sampah justru menjadi lebih mahal dari berlian dengan lapisan mutumanikam. Betapa pertunjukan yang hadir mengajak kita merenung, berani memperolok-olok diri sendiri. Berani menertawakan diri sendiri sebelum menertawakan orang lain. Menertawakan ego dan kesombongan yang tidak kita sadari terus melimpah dari usus besar kita lalu memuntahkannya ke wajah siapa saja. Salahsatunya kita masih menganggap uang di atas segala-galanya. Dengan uang kita bungkam kebenaran yang keluar dari mulut siapa saja. Mengobral gombal. Harga diri sekedar cerita basi. Semisal tanaman Kantong Semar yang lahap menelan segala yang dianggap serangga. Atau Raflesia yang menelan tiba-tiba.
Sutradara berhasil melemparkan gagasan itu, walau banyak pesan yang seharusnya diserap menjadi tidak focus. Penonton kewalahan menerima pesan yang melebar begitu rupa. Sekadar membawa visual tingkah aneh, dialog nyeleneh, dan kostum yang terkadang melebeh, menjadi oleh-oleh, walau tidak seluruhnya, seperti yang ditampilkan Teater LKK dengan “BUI”-nya, Teater GENERASI dengan “KEOK atawa PEPETENG”-nya, atau Teater KARTUPAT dengan “Tuan Kondektur”-nya.
Pemain Berkarakter dan Alur Luber
Celetukan dan improvisasi hadir dari pemain yang rata-rata masih belia dengan kemampuan yang mulai menunjukkan kematangan. Vokal mungkin sedikit terbantu plus terganggu dengan mike seadanya. Dan jika kejelian dan analisa naskah dipertajam lebih dalam, maka peluang celetukan dan improvisasi akan lebih banyak lagi yang dapat dimanfaatkan, seperti yang dilakukan actor sebesar M. Raudah Jambak(GENERASI), Sabarto(KARTUPAT), dll. Ada yang berusaha menciptakan karakter yang orisinal. Ada pula yang mencoba-coba mengadaptasi karakater dari sinetron atau acara komedi semacam OB (officeboy), Bajai Bajuri, Extravaganza, dsbnya.
Sutradara sudah memberi peluang yang lebar untuk dimanfaatkan, berdasarkan situasi. Perubahan-perubahan terus dilakukan berdasarkan “selera” pasar. Tidak melulu terpaku pada naskah. Kalau perlu dialog ditambah, tokoh ditambah, lagu dihadirkan, atau malah sebaliknya. Sumber idenya tidak semata-mata dari sutradara, pemain diberi kebebasan member penawaran-penawaran asal dapat dipertanggungjawabkan. Mulai dari handproferti, kostum, karakter dialog, karakter tokoh, maupun penawaran lainnya. Peluang untuk menjadi seorang actor memang sudah diciptakan sedemikian rupa, hanya mungkin jam terbang yang perlu ditambah ruang dan waktunya, sehingga inner-act dapat hadir secara wajar.
Sutradara berusaha menghadirkan teater actor dalam setiap pertunjukan secara keseluruhan, kemudian difariasikan dengan teknik teater sutradara. Hanya saja, mungkin pengaruh kematangan, permainan terkesan terengah-engah. Durasi waktu terasa menjenuhkan dari pertengahan pertunjukan. Cahaya dan musik yang belum akrab. Juga terutama pada situasi tertentu. Fokus jadi bercabang. Lalu ditutup dengan penyelesaian yang belum selesai. Ibarat nonton sinetron, penonton beranggapan akan menemukan akhir yang memukau di episode berikutnya.
Akhirnya, setuju atau tidak seluruh pertunjukan yang diusung oleh semua kelompok teater tersebut telah menggariskan warna yang istimewa dalam Parade Teater Sumatera Utara. Tertawa itu ternyata tidak harus lucu. Tertawa itu ternyata bisa juga karena tidak lucu, sedih, kecewa atau marah. Tertawa itu ternyata juga bukan karena disebabkan tingkah orang lain, tetapi juga kelakuan diri sendiri. Tertawa pun dapat hadir dari kepedihan dan penderitaan hidup. Kita harus mampu menertawakan diri sendiri sebelum menertawakan atau ditertawakan orang lain. Tidak harus ngakak, senyum saja sudah cukup mewakili. Nasehat yang sangat bijak tentunya.
PEMAHAMAN TEATER
Memahami teater sebagai bidang seni yang multidimensi kita akan memasuki wilayah pemikiran yang cukup komplek. Sebab teater erat kaitannya dengan bidang seni yang ada. Di teater ada seni rupa, seni musik, sastra, tari, dan seni laku(peran) acting itu sendiri. Dan juga seni menejemen pengelolaan yang tak kalah perlunya bagi sebuah teater.
Dengan muatan yang begitu banyak, jika kita nonton sebuah pementasan teater, pemikiran kita pun akan bercabang kemana-mana. Namun di sini saya hanya akan mendekatkan diri dari kacamata yang umum. Bahwa teater adalah seni peran (akting) pelakunya yang menggambarkan kehidupan nyata yang terjadi dimasyarakat. Walaupun tak terlepas dari unsure seni yang ada tentunya. Sebab teater terlahir bisa jadi karena peristiwa-peristiwa yang melanda masyarakat tertentu pada suatu massa tertentu. Barangkali!
Melalui pendekatan ini, saya jadi lebih santai, menikmati pementasan teater LKK UNIMED (teater lakon kesenian kampus Universitas Negeri Medan) pada malam perdana parade teater Sumatera Utara, di gedung Utama Taman Budaya Sumut, pada 23/11/07, Teater GENERASI, pada 15/12/07, dan Teater KARTUPAT, pada 22/12/07 lalu. Parade teater Sumatera Utara itu berlangsung dari 23 Nopember- 22 Desember 2007, merupakan gawean Karang Taruna Sumatera Utara, yang perlu mendapat tempat di hati para pencinta teater, para penikamat, dan tentunya para pelaku teater yang ada di Sumut.
LKK, GENERASI dan KARTUPAT
Teater LKK UNIMED sebagai teater yang lahir di kampus, pada malam perdana mengusung “BUI” karya Indra YT, sutradara Heri Sukamto, cukup berhasil mengguncang pikiran-pikiran penonton, termasuk saya, untuk memasuki ruang batin dan menangkap apa yang terjadi di masyarakat negeri ini. Tema khususnya adalah kaum perempuan.
Dari zaman Nabi Adam dan ibu Hawa turun ke bumi, nampaknya kaum perempuan menjadi titik sentral tragedy yang terjadi di belahan bumi ini. Kisah epik Ramayana dan Mahabarata manjadi contoh yang paling dekat di hati bangsa ini. Bahwa laki-laki selalu menjadi biang kerok kesengsaraan kaum ibu Hawa ini. Perempuan lemah, laki-laki kuat. Perempuan jadi korban kebuasan laki-laki. Perempuan melawan, perempuan menerjang, baru laki-laki jadi korban.
Ketika panggung terbuka, penonton disuguhi adegan di sebuah ruang penjara para perempuan sebagai terdakwa hokum dunia penjara. Narapidana kaum ibu ini, terkesan kumuh, sempit, sumpek. Ada ranjang tingkat reot, harus ditiduri tiga napi. Bantal sebiji harus rebutan. Siapa kuat, siapa dapat. Adegan mengalir datar. Sesekali penuh kejutan. Pada awalnya capek juga pikirn saya nonton LKK kali ini. Namun makin jauh detik ke menit makin jadi asyik.
Usai adegan sipir namboru yang galak membawa napi baru yang pendiam. Lakon terus mengalirkan cerita sesungguhnya. Latarbelakang kehidupan masa lalu, yang membawa para napi perempuan ini dihukum pun mengalir kelam namun penuh darah. Sebab, rata-rata mereka membunuh kaum laki-laki. Ada yang membunuh karena diperkosa. Ada yang membunuh karena selalu disiksa sang suami, bahkan ada yang membunuh ayah kandungnya sendiri sebab dijadikan budak seks.
Sampai di sini saya membatin, fenomena kasus seperti ini memang sering terjadi di negeri ini. Indra YT, dan Heri Sukamto sebagai sutradara, dan para pelakon yang berperan pada cerita BUI, telah berusaha memeksimalkan kerja kreatifnya. Kiprah anak-anak LKK UNIMED malam itu berhasil memotret kusam kaum perempuan. Pesan krisis moral dan kritik social lewat teater memeng perlu kerja keras dan cucuran keringat.
Teater GENERASI yang mengusung “Keok atawa Pepeteng” karya Imran Pasaribu, disutra-darai Suyadi San dan asisten sutradara M. Raudah Jambak juga lebih menggelitik. Dengan kombinasi pemain lama dan baru terlihat variasi pertunjukkan jadi lebih menonjol. Ada warna Teater KOMA-nya Nano Riantiarno.
Suminta (M. Raudah Jambak) cukup lihai menjaga benang merah pertunjukan. Cerita yang berkisah tentang sebuah perusahaan yang gonjang-ganjing akibat ulah Rambing (Suyadi san), awalnya terlihat sangat serius dan tegang menjadi sejuk dengan improvisasi yang memukau.
Setting yang sederhana terkesan hidup dengan bantuan cahaya walau sedikit ada kesalahan di beberapa adegan. Musik-pun sangat membantu pertunjukkan tersebut menjadi lebih hidup. Terlihat pada penampilan itu keseriusan sebuah pertunjukkan.
Penguasaan ruang dan areal pertunjukan justru menambah keseriusan penonton untuk menikmati setiap adegan yang dihadirkan. Penonton seolah bertanya apa selanjutnya? Jumlah penonton yang cukup banyak itu terlihat adem menunggu sampai kisah demi kisah berakhir.
Tuan Kondektur-nya KARTUPAT terjemahan dari karya Anton Chekov, sebenarnya adalah naskah yang sudah jadi dan lucu. Begitu dibawa oleh KARTUPAT kelucuan tersebut terkesan dipaksakan. Kujang (Sabarto) sempat terpancing dengan ulah beberapa penonton yang “nakal”. Ada kesan kurang sportif memang, tetapi untung Kujang tidak larut dengan “kenakalan” bebe-rapa penonton yang mungkin kurang menghargai sebuah “kesakralan” pertunjukan.
Raswin Hasibuan sendiri sebagai sutradara memang sudah kita akui sepak terjangnya. Pengalaman bertahun-tahun dan berpuluh-puluh pertunjukkan untungnya memberikan warna yang berbeda. Sehingga terlihat kesalahan-kesalahan kecil tersebut dapat ditutupi dengan apik. Pertunjukan menjadi segar sesuai dengan ciri khas KARTUPAT.
Akhir kata, tulisan ini tidak berpretensi apa-apa. Seni itu relative. Mungkin apa yang saya hidangkan ini jauh panggang dari api. Malah mungkin tidak benar sama sekali, saya memaklu-minya. Silap dan salah adalah milik manusia semata. Kesempurnaan dan kebenaran hakiki adalah miliknya, Sang Maha Pencipta Cinta. Oleh sebab itu bravo untuk semuanya. Terutama untuk panitia penyelenggara Parade Teater Sumatera Utara tanpa kecuali. Terimakasih. Salam

Sei Blutu, 2007

Zikir Penyair Belia dalam Puisi

Data Buku

Judul: Dua Pintu Kita
Penulis: Utomo Soconingrat
Desain Cover: Pratama DP
Penerbit: Hening, Bekasi
Terbit: April 2009
Tebal: xiii + 39 hlm: 14 x 21 cm

Oleh HASAN AL BANNA

“Aku lahir dalam keadaan putih suci/ Nikmat terberi/ Kesenangan terbangun/ Kesedihan terperih/ Namun lalai bersyukur// Ya Allah, taburkan ampunku/ Jauhkan kami dari durhaka dan iri dengki/ Jernihkan pikiranku dari kegelapan/ Bersihkan pikirkanku dari mimpi dunia/ Sucikan hatiku dari kotoran/ Tuntun langkahku, agar ku tak sesat/ Menuju jalan pintu-Mu”. (Puisi “Menuju Jalan Pintu-Mu”)
* * *
Hakikatnya, zikir kepada Allah tidak semata bergulir ketika seorang muslim harus bersila di atas sajadah. Siapapun boleh berzikir sambil berdiri, berjalan, atau berlari. Di pasar silakan mendesirkan zikir. Berzikir di atas kendaraan, boleh. Pada hilir yang lebih luas, zikir adalah peristiwa mengingat Allah. Memohon ampun kepada Allah itu zikir. Menakjubi Allah yang Agung, ya, zikir. Menyadari diri sebagai makhluk yang terbatas, pun sewujud zikir.
Lantas, ketika peristiwa-peristiwa yang mengaitkan seorang manusia dengan Sang Maha Pencipta digelar di dalam baris-baris puisi, zikir jugakah? Ya, puisi-puisi yang memuja-muji Allah boleh diganjar dengan sebutan puisi zikir. Sesungguhnya, banyak puisi yang menyerahkan kekuatan kata dan maknanya untuk membesarkan Sang Khalik. Namun, coba sebutkan berapa jumlah penyair belia di negeri ini? Lantas, siapa di antara penyair belia itu yang menulis puisi-puisi yang bernapaskan zikir?
10 Tahun, 30 Puisi
Tersebutlah Utomo Soconingrat salah satu penyair belia yang mencoba memahat keakbaran Pencipta Semesta dalam puisi. Dan puisi-puisi tersebut menjadi bagian dari Himpunan Puisi “Dua Pintu Kita”. Memang, 30 puisi Utomo yang termaktub dalam “Dua Pintu Kita” tidak semata mengandalkan tema yang bersinggungan dengan persoalan Ketuhanan, melainkan juga kait-mengait dengan ranah keindividuan penyair sebagai manusia dan keterlibatanya sebagai makhluk sosial.
Utomo Soconingrat lahir di Jakarta, 13 Oktober 1999. Saat ini Utomo bersama kedua orangtuanya; EM. Yogiswara dan Lilik Bekti Lestari tinggal di Jambi dan sedang menuntut ilmu di SD Islam Al-Fallah Jambi. Puisi-puisi Utomo sudah menyebar di Harian Pagi Jambi Ekspres dan Harian Pagi Jambi Independent. Inilah persembahan seorang anak laki-laki yang masih berusia 10 tahun.
Dr. Sudaryono, M.Pd., dalam apresiasinya tentang “Dua Pintu Kita” menyatakan, “...Puisi yang digubah Utomo Soconingrat secara tematis berkenaan dengan tiga dimensi, yakni persoalan personal-individual, persoalan sosial, dan persoalan religius (dalam pengertian yang luas)...”
Selanjutnya, Dr. Sudaryono, M.Pd., mengungkapkan, “...tema boleh sama, namun yang menarik adalah bagaimana tema itu diekspresikan oleh penggubahnya ke dalam puisi. Ini berarti bahwa daya tarik puisi terutama bukan terletak pada tematiknya, melainkan pada daya tarik ekspresinya.”
Meskipun demikian, adalah sebuah hal yang menarik ketika anak seusia Utomo berbicara tentang Allah; yang nyata dalam keyakinan, namun abstrak dalam wujud. Dalam hal ini, Utomo malah termasuk berani merambah tema keagamaan, bagaimanapun ia mengekspresikannya dalam puisi.
Lantaran itu, karya-karya dengan tema ini menjadikan puisi-puisi zikir Utomo terlihat lebih menonjol, seperti dalam “Matahari”, “Dua Pintu Kita”, “Melihat Kebesaran-Mu”, “Menuju Jalan Pintu-Mu”, “Tobat di Perut Paus”, “Subuh”, “Yang Maha Esa”, “Berpuasa”, dan “Ramadhan”. Bagaimanakah Allah dalam pandangan Utomo?
Pengagum Allah
Utomo adalah makhluk yang mengagumi Allah! Dengan kekaguman tersebut, Utomo juga sedang menyatakan batapa tak berdaya ia sebagai manusia. Kebesaran Allah dan kekerdilan manusia menjadi dua titik yang kerap dibandingkan Utomo dalam puisi-puisinya. Simak puisi “Yang Maha Esa” di berikut ini.
“Ya Allah/ Engkau telah membuat dunia begitu indah/ Tapi kenapa kami tak menjaganya// Ya Allah/ Engkau telah menciptakan alam/ Tapi kenapa kami tak mempelajarinya// Ya Allah/ Lewat Nabi Muhammad/ Sholat ditegakkan/ Tapi kenapa masih ada orang tak menjalaninya// Ya Allah Kau ciptakan kami menjadi manusia sempurna/ Tapi kenapa kesempurnaan tak kami pelihara// Ya Allah/ Hanya engkau yang tahu//”
Perbadingan antara dua titik tidak hanya diseiringkan Utomo antara kekuasaan Allah dengan kebutuhan manusia secara terang-terangan. Meskipun, pada hakikatnya, apapun yang dibutuhkan manusia di dunia ini, bukankah milik Allah semata? Maka, tatkala manusia memerlukan air, api, angin, tumbuhan, makanan, tanah, termasuk bulan, bintang, serta matahari, tak akan bisa memindahkan permohonan selain kepada Allah. Puisi “Matahari” di bawah ini adalah sebuah permohonan kepada matahari sekaligus permintaan kepada Allah. Bukankah matahari diciptakan; ditegakkan dan direbahkan oleh Allah?
Matahari
Sampai kapan kau menyinari bumi
Jangan pergi dari bumi
Kalau kau tak ada bumi bak kubur
Gulita dalam gelap

Matahari
Sampai kapan kau menjadi sumber kami
Jangan alfa memberi cahayamu
Jika kau tak ada bumi mati

Matahari
Sampai kapan apimu meredup
Gaib bersama bumi

Jambi, 20 Februari 2008

Memilih Antara Dua Pintu
Kegemaran Utomo menyandingkan hal yang bertolak belakang; kuat-lemah, suci-kotor, terang-gelap seolah ingin (kembali) menyatakan kekuasan Allah yang menciptakan banyak hal di atas dunia dengan berpasangan. Ya, hitam-putih, salah-benar, tidur-bangun, dosa-pahala, serta neraka-surga. Manusia diberi pilihan! Syukur atau ingkar, lurus atau belok, kiri atau kanan? Setiap manusia pasti menginginkan kebaikan. Ingin nikmat, ingin rahmat, ingin pahala, ingin surga. Puisi “Dua Pintu Kita”, meskipun bercerita tentang neraka dan surga, adalah sebuah perwujudan betapa pilihan di atas dunia kerap menunggu.

Dua Pintu Kita

Kita tidur di bumi
Bangun di akhirat
Kelak kita dilempar di dua pintu
Neraka atau surga

Kita tidur di bumi
Bangun di akhirat
Tiba waktunya
kita berbaris melewati dua pintu
Neraka atau surga

Dua pintu kita
Senantiasa menunggu

Jambi, 21 Februari 2008

Hidup memang dihadapkan dengan peristiwa memilih! Lantas, manusia, siap tidak siap, harus mampu menanggung segala risiko dari pilihannya. Siapa ingin menuai kebaikan maka tanamlah kebaikan. Jika bahagia hendak direngkuh, tempuhlah jalan menuju kebahagian. Ingin surga? Rajinlah menabung amal! Kalau itu dijalankan, itulah namanya upaya dan ikhtiar. Upaya dan ikhtiar adalah landasan bagi manusia untuk pasrah! Pasrah terhadap ketentuan Allah. Seperti kepasrahan Utomo dalam bait terakhir puisi “Menuju Jalan Pintu-Mu”:
Aku lahir dalam keadaan putih suci
Hidup di bumi bangun di surga
: semua hak Tuhan sepenuhnya


Penulis adalah alumnus FBS—Universitas Negeri Medan,
Penenun tulisan fiksi dan non fiksi,serta pengoleksi buku.
Kini bekerja Balai Bahasa Medan.

Monolog “Celah”

Perempuan, Tubuh, dan Penindasan

Oleh ILHAM WAHYUDI





Banyak hal yang sebenarnya bisa memperkaya sebuah pertunjukan monolog. Pemanfaatan tubuh dan benda-benda di atas pentas adalah salah satu cara menyikapi hal tersebut. Jika tidak, sesungguhnya sebuah monolog sedang merancang riwayat kemiskinan bagi dirinya sendiri.
Langit memang memberi sedikit “celah” kepada pertunjukan “Monolog Celah”, Sabtu, 04 Desember 2010 di Teater Tertutup, Taman Budaya Sumatera Utara. Bagaimana tidak, hampir setiap petang langit Medan mengguyurkan hujan. Namun, pertunjukan Celah adalah “pengecualian”. Mungkin itulah salah satu “keberuntungan cuaca” yang menyusup pada pertunjukan “Monolog Celah” sore itu.
Ditonton oleh sekitar 500 penonton, pertunjukan monolog yang berjudul Celah karya Indah Zuhairani Siregar atau yang biasa dipanggil dengan Bunda Djibril ini, mampu mengundang tepuk tangan penonton di akhir pertunjukan. Selain sukses memainkan tiga sosok yang berbeda, aktor juga berhasil memainkan benda-benda di atas panggung pertunjukan dengan terampil.
Benda-benda seperti selendang, tali-tali putih panjang yang menggantung, serta sebuah kotak yang juga menggantung, mampu ditafsirkan aktor sebagai benda-benda yang tak asing lagi bagi penonton. Padahal, sebelum aktor memberikan tafsiran pada benda-benda di atas panggung, penonton jelas tampak merasa asing dan aneh pada benda-benda di atas panggung.
Keberhasilan aktor memfungsikan benda yang ada di sekelilingnya terlihat jelas saat si aktor berperan sebagai Ibu. Aktor Celah ternyata mampu merubah selendang menjadi bayi, ayunan dan botol dot. Bahkan di salah satu adegan, aktor juga berhasil menjadikan selendang sebagai dinding, jendela, maupun lelaki brengsek.
Nah, bukankah kepekaan akan fungsi benda-benda di atas panggung adalah salah satu nilai keberhasilan seorang aktor? Namun sayang, ketika kepekaan tidak sempurna ditunaikan, kekayaan aktor pun di beberapa bagian menjadi sumir.
Berbicara tentang sinergi antara aktor dan dua penari yang merupakan bagian dari kesatuan pertunjukan, termasuk berhasil dikemas Celah, yang mampu memberikan warna tersendiri. Pertunjukan “Monolog Celah” yang disutradarai oleh M. Raudah Jambak ini merupakan pertunjukan yang diproduksi oleh Komunitas Home Poetry. Walau pun Komunitas Home Poetry adalah sebuah komunitas sastra, tetapi pertunjukan “Monolog Celah” bukanlah pertunjukan pertama yang pernah digelar oleh Komunitas Home Poetry.
Pertunjukan “Monolog Celah” diawali dengan sebuah tarian dari sesosok perempuan yang membelakangi penonton. Sesosok yang tak lain adalah tokoh utama (aktor Celah) dalam cerita. Sementara itu, di balik kain putih yang menggantung menghadap sesosok perempuan, tampak siluet dua penari yang menyimbolkan sifat maskulin serta feminim dalam diri manusia. Tak lama setelah tarian berhenti, sesosok perempuan itu pun memulai ceritanya.
Dengan bangunan arsistik yang cukup sederhana, aktor Celah pelan-pelan meneror penonton dengan kalimat-kalimat puitis yang penuh metafora. Kesedihan demi kesedihan yang dirasakan si tokoh utama coba ia tebarkan ke seluruh penonton. Namun, apakah kesedihan musti dilontarkan dengan vokal yang lemah? Apalagi beberapa petikan dari kalimat yang dilepaskan aktor cenderung absurd. Beruntung balutan gerak yang dimunculkan aktor di atas panggung mampu menepis kekaburan makna sekaligus vokal dari kalimat-kalimat absurd yang meluncur ke gendang telinga penontong.
Naskah Celah awalnya adalah sebuah puisi panjang Bunda Djibril mengenai sosok perempuan yang ingin lepas dari masa lalu yang suram. Namun, dengan sentuhan dingin sutradara, puisi panjang itu pun akhirnya berhasil disulap menjadi adegan-adegan yang sarat makna.
Cerita berlanjut pada adegan melahirkan. Sesosok perempuan yang menari di awal pertunjukan, kini telah menjadi seorang Ibu. Dengan perjuangan yang berat, ia pun harus membesarkan buah hatinya tanpa sosok seorang ayah. Hal ini membuat Ibu muda itu akhirnya gamang dan frustasi membesarkan anaknya. Ia pun mengalami sedikit depresi, hingga terkadang lepas kontrol.
Dengan dukungan musik yang nyaris sempurna, adegan-adegan pada pertunjukan Celah menjadi terasa begitu nyata. Apalagi ditambah dengan tarian-tarian yang menyimbolkan setiap peristiwa masa lalu yang dialami si tokoh utama. Kombinasi ini pulalah yang membuat durasi pertunjukan selama lebih kurang satu jam menjadi tak terasa.
Monolog Celah sangat jelas menggambarkan bagaimana perjuangan seorang perempuan (Ibu) dalam membesarkan anaknya tanpa figur seorang Ayah. Kemarahan dan kebencian akan masa lalu sang tokoh perempuan terlihat jelas hampir di sepanjang pertunjukan. Hal ini bukanlah tanpa sebab, menjadi korban pemerkosaan telah membuat si tokoh perempuan lebih posesif. Terutama saat membesarkan anaknya yang kebetulan berjenis kelamin perempuan.
Di sinilah sebenarnya letak tantangan bagi aktor Celah. Perubahan karakter yang tak beraturan dari seorang Ibu, menjadi Anak dan kemudian menjadi Ibu Tua, tentu membutuh konsentrasi yang baik. Sebab, jika tidak, “kecelakaan” dalam memerankan karakter bisa saja terjadi. Namun, untunglah sutradara dapat menyikapi hal itu dengan menghadirkan dua penari dalam pertunjukan Celah sebagai jeda perubahan karakter aktor.
M. Raudah Jambak selaku sutradara dalam pertunjukan “Monolog Celah” dengan optimal memfungsikan kemampuan tubuh aktor dalam melakukan eksplorasi gerak. Ia juga berhasil memaksimalkan kemampuan dua penari dalam pertunjukan Celah dengan musik yang memukau oleh Al Koboy, sehingga pertunjukan monolog Celah bukan hanya menjadi sebuah pertunjukan teater semata. Ya, kalau bisa dikatakan pertunjukan Celah adalah sebuah pertunjukan sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik). Sampai batas ini, pertunjukan Celah telah berhasil menunaikan kerja seni yang maksimal, meskipun pada batas yang lain masih layak untuk diperdebatkan.


Ilham Wahyudi,
penikmat seni pertunjukan, penyair,
dan penulis cerpen