Kamis, 28 April 2011

DI MANAKAH RUMAH CHAIRIL ANWAR DI MEDAN

Mengenang Chairil Anwar
Oleh Damiri Mahmud

Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Demikian pula masa kecilnya sehingga dia dewasa dihabiskannya di Medan. Baru pada tahun 1941 atau menurut Keith Foulcher mal...ah tahun 1942, dia pindah ke Jakarta mengikuti ibunya, Saleha, karena berpisah dengan ayahnya, Toeloes, seorang pamongpraja Belanda. Ini berarti sebagian besar masa hidupnya dihabiskan Chairil di Medan. Chairil telah berusia 20 tahun ketika pindah ke Jakarta, padahal sebagaimana diakuinya dalam suratnya kepada HB Jassin, dia telah menyatakan sikap berkeseniaannya ketika berumur 15 tahun! “Aku berkesenian dengan sepenuh hati” katanya. Ini berarti pilihan hidupnya itu secara mantap telah dia pancangkan ketika masih di Medan. Ironisnya kita tidak tahu dengan pasti di mana sebenarnya rumah Chairil di Medan. (Alm.) Arief Husin Siregar pernah bilang kepada A. Rahim Qahhar bahwa rumah Cahiril berada di salah satu “rumah gedong” di Jalan Gajah Mada, Medan Baru. Hal ini tampaknya sejalan dengan sebuah sajak Chairil berjudul “Rumahku” Rumahku dari unggun timbun sajak Kaca jernih dai luar segala nampak Kulari dari gedong lebar halaman Aku tersesat tak dapat jalan (bait I & II) Kita perhatikanlah larik “Kulari dari gedong lebar halaman”. Sebuah rumah gedung dengan halamannya yang lebar pada masa Chairil hidup di Medan tahun dua-puluhan tentulah bukan sembarang rumah. Artinya, rumah itu tentulah rumah orang berada. Pada waktu itu hanya bangsawan dan pegawai tinggi Belanda saja yang memiliki rumah yang bagus. Dan istilah yang dipakai Chairil untuk rumahnya bukan “rumah batu” sebagaimana yang lazim dikatakan waktu itu. Tapi “gedong”! Dan bukan “gedung”. Pada masa itu hingga ke tahun lima-puluhan, orang Medan tahu “rumah gedong” menunjuk ke kompleks perumahan pamongpraja Belanda di Jalan Gajah Mada itu. Kemudian dalam sajaknya “Perhitungan” Chairil mendeskripsikan “rumah gedong”nya itu dan mengapa ia lari dari sana. Perhitungan Banyak gores belum terputus saja Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya Langit bersih-cerah dan purnama raya... Sudah itu tempatku tak tentu di mana. Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran Hambus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi...!? Kini aku meringkih dalam malam sunyi. 16 Maret 1943 “Satu rumah kecil putih” ini tentu menunjukkan kebagusannya. Apa lagi dengan “lampu merah muda caya”. Artinya rumah itu memakai penerangan dengan lampu listrik. Pada masa itu hal ini tentulah suatu kemewahan dan keistimewaan yang hanya terdapat pada rumah-rumah tertentu. Kebanyakan rumah orang Medan ketika itu hanyalah rumah papan atau tepas yang beratapkan nipah atau rumbia dengan penerangan lampu sentir atau paling banter lampu petromaks. Tapi, di sisi lain, fenomena rumah Chairil yang eksklusif itu tidak sesuai atau bertolak belakang dengan keterangan seorang kawan dekatnya sesama masih kecil, bernama Sjamsulridwan. Katanya: “Pantang dikalahkan itulah kira-kira kesimpulan yang saya dapatkan dari kehidupan masa kanak-kanak Chairil semenjak kecilnya hingga menginjak dewasa; baik pantang kalah dalam sesuatu persaingan, maupun dalam hal mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan, hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.” “Dan yang lebih menarik hati lagi, althans bagi kami yang mengenal kehidupan rumah tangga mereka, ialah cara hidup kedua suami isteri yang penuh percideraan rumah tangga itu. Kadang-kadang kita bertanya-tanya dalam hati: Bagaimanakah dua orang suami isteri dapat hidup demikian lamanya, bertahun-tahun dengan pertengkaran terus-menerus, boleh dikatakan tiada mengenal damai agak sejenakpun? Keduanya sama-sama galak, sama-sama keras hati, sama-sama tidak mau mengalah. Seolah-olah pertemuan besi dan api yang menimbulkannya. Ia merah percikan api melulu. Di tengah-tengah api percideraan dan pertengkaran begitulah Chairil Anwar hidup dan dibesarkan. Dapatlah kita rasakan, bagaimana pula pengaruh suasana kehidupan demikian terhadap jiwanya. Sedang di samping itu, dia sangat dimanjakan pula. Segala-galanya harus diadakan untuk Chairil, motor-motoran kanak-kanak, sepeda kanak-kanak dan apa lagi permainan atau kegemaran kanak-kanak, yang terbaik. Dan makanan,. Bukanlah hal yang aneh untuk sebagai anak-anak menghabiskan seekor ayam goreng seorang diri saja.” “Kalau Chairil berkelahi, maka bapaknya selalu membenarkan Chairil. Kalau perlu bapaknya juga ikut berkelahi. Memang, bapak Chairil juga punya sifat untuk bersikap “akulah yang benar”, bukan saja terhadap orang lain, tetapi juga terhadap isterinya sendiri. Karena itulah keadaan rumah tangga tidak harmonis.” (Arief Budiman, “Chairil Anwar Sebuah Pertemuan”, Pustaka Jaya, 1976, hal. 64-65). Suasana tempat tinggal yang dilukiskan oleh kawan dekatnya ini, tentulah jauh dari suasana “rumah gedongan” yang eksklusif dan teratur itu. Situasi dan kondisinya lebih mirip kepada kampung rakyat yang padat dan campur baur antara kebanyakan orang miskin dengan sedikit orang berada. Di “rumah gedong” tentulah fasilitas yang didapatkan Chairil berupa permainan mahal dan makanan enak adalah sesuatu yang lumrah dan sudah pada tempatnya, tidak harus mendapat perhatian atau kecemburuan sosial. Namun, tentulah sulit diterima kalau di kompleks “orang berpangkat” itu, kedua orang tuanya terus perang mulut, Chairil kerap membuat onar dan bapaknya pun ikut berkelahi membela anaknya. Fenomena seperti itu tentulah lebih cocok diperkampungan rakyat biasa. Ada pernyataan seorang penyair, Aldian Aripin, dalam sebuah percakapan dengan saya. Katanya, di awal-awal tahun enam-puluhan, selalu diadakan peringatan tentang Chairil. Kalau mereka mengadakan acara, misalnya di Gedung Kesenian di bawah Titi Gantung (sekarang sudah lenyap dan tergusur), panitia selalu menjemput ibu Chairil yang tinggal di Jalan Singamangaraja di sekitar Mesjid Raya. Dengan demikian, ketika itu ibu Chairil masih hidup dan sudah “balik kampung” kembali dari Jakarta. Kalau benar ibu Chairil ketika balik ke Medan kembali menempati rumahnya yang lama, pernyataan Aldian Aripin sesuai dengan suasana yang dilukiskan oleh kawan dekat Chairil, Syamsulridwan, di atas. Di sekitar Mesjid Raya itu, yang disebut dengan Kota Maksum, memang banyak tinggal orang Minang. Jadi, di situlah Chairil Anwar lahir, dibesarkan dan dewasa. Dan ketika membaca seluruh sajak Chairil yang hanya 70-an biji itu, kita merasa yakin Chairil sangat akrab dengan orang-orang Melayu yang campur-baur di perkampungan itu, mengingat suasana diksi dan idiom sajak-sajaknya sangat kental dengan budaya Melayu. Misalnya larik “Hambus kau aku tak perduli, ke Bandung ke Sukabumi...!?”, benar-benar khas idiom Melayu Medan. Bahkan hingga sekarang para pengkaji Chairil, banyak yang tidak faham dengan kosakata “hambus”, sehingga dalam versi lain sajak “Perhitungan” itu diganti dengan “hembus”. Misalnya dalam buku “Derai-derai Cemara” terbitan Horison, disebutkan, “Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung ke Sukabumi...!?” Tapi Chairil tampaknya tak pernah menuliskan suasana rumah di lingkungan perkampungan ini. Dia hanya melukiskan rumah “gedong lebar halaman” dengan “lampu merah muda caya”, namun dia tidak betah di sana, karena Chairil tidak cocok dengan ayahnya. Kedua mereka dia lukiskan “serupa dua kelewang bergeseran”. Saya mencoba menarik “benang kusut” ini sebagai berikut. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan di perkampungan sekitar Mesjid Raya itu. Karena pasangan Toeloes dan Saleha itu tak harmonis, mereka bercerai. Dan ayahnya Toeloes menikah lagi. Ibunya Saleha pindah ke Jakarta. Chairil ikut ayahnya menempati rumah pamong di “gedong lebar halaman” itu. Karena Toeloes sangat mencintai Chairil, lagi pula dia adalah pegawai tinggi Belanda (di masa revolusi kemerdekaan dia menjadi bupati Indragiri), ayahnya memasukkan Chairil ke MULO di sekitar Jalan Abdullah Lubis. Belakangan Chairil tidak cocok dengan ayahnya, lalu minggat ke Jakarta, menyusul ibunya, sebelum menamatkan MULO. Ayahnya menjemputnya, tapi Chairil menolak. Sehingga ayahnya yang temperamental itu berang lalu berteriak, “Hambus kau aku tak perduli, ke Bandung ke Sukabumi...!?” Sekarang dengan penelusuran yang belum tuntas ini, menjadi tugas kitalah untuk menyelidiki dengan pasti di manakah sebenarnya rumah kelahiran dan kediaman Chairil. Ironis kalau penyair legendaris sekaliber dia yang telah ditokoh oleh majalah Tempo sejajar Soekarno dan Sjahrir tak diketahui sejarah hidup dan tempat tinggalnya secara pasti.

Rabu, 20 April 2011

Penyair Komunitas Home Poetry



alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5597568359094310658" />


Djamal
Kepala Atau Ekor

Akulah kepala, kepala yang berarti seribu kepala yang penuh kehendak
dengan takdir sebagai kepala, segala tuah kepala, segala kuasa kepala
kepala-kepala yang mengatur segala gerak, segala tingkah, segala kata
segala hal bagiku adalah aku yang tak lain adalah permainanku, sang kepala
maka mainkan saja segala permainan berdasarkan kehendakku, kepala

Lalu kamikah ekor, yang mengekor berekor-ekor, tanpa perlu disebut ekor
telah terlahir jadi ekor, takdir ekor yang hanya mengekor, segala gerak dan tingkah
hanya liuk yang tak arti selain mengikuti kehendakmu, wahai kepala, iakah begitu
kamikah yang memainkan segala kehendak tanpa daya selain kibasan-kibasan tanpa makna, begitu pongah engkau, meski begitu kami turut dalam permainan, dengan sedikit daya sebagai ekor

Dalam kepala kami berputar seribu rahasia, rahasia para kepala adalah
kehidupan segala atas kehendak kami, dalam rahasia para kepala ada segala kebutuhan kami dan kebutuhanmu yang kami atur seatur-aturnya, sesuka kami sajalah karena kami kepala yang dalam kepala kami tak lain adalah nyawamu, masa depanmu, keluargamu,harta bendamu dan mu-mu-mu semua mu, akuilah, kami raja yang memegang kendali atas segala halmu. Maka bersorak-sorailah buat kami Hidup Kepala!

O, begitu gilakah takdir sebagai ekor-ekor yang terseret-seret dalam permainanmu
yang sungguh berahasia jalang yang terus kami ekori sebagai ekor-ekor
yang telah ditakdir sebagai sesisa bagian yang paling sisa yang kau anggap
mainanmu, yang seenak kepalamu kau seok-seokkan ke kanan ke kiri, ke atas-ke bawah
kamilah itu ekor yang kau anggap ekor-ekor, yang selalu kau teriyaki Matilah ekor-ekor!

Bolehkah aku tidak peduli, kepala-kepala memang bertugas mengatur kemenangannya,
Kebutuhan paling butuh yang membuat kebutuhan terpenuhi, itulah tugas kami. Untuk itu tentu ada kebutuhan yang disisakan buat bagian sisa. Maka kamipun menjelma jadi beribu macam kepala sesuai kebutuhannya. Apabila kami di tempatkan di sebuah pulau kamilah kepala pulau, apabila ada sebuah urusan maka kamilah kepala urusan. Dan apabila ada sebuah permainan, kamilah kepala permainan. Atas nama kepala

Lalu kami, bolehkah jadi peduli. Ekor-ekor bukanlah sisa, tapi bagian nyata dari tubuh juga. Segala bagian yang telah merrasa jadi sisa ialah kami, yang tanpa daya ialah kami, yang tanpa kuasa ialah kami, yang tertindas ialah kami, yang terpaksa menurut ialah kami, di segala urusan di segala permainan di segala kepulauan. Kamilah sekumpul-kumpul ekor yang mengekorimu tanpa kau sadari. Atas nama ekor

Kepala ialah kepala, kami para kepala telah sepakat untuk tetap mengepalai, maka siapapun yang hendak bernama kepala kami bolehkan saling rebut, saling silang, saling hantam, saling tipu, saling khianat agar tetap jadi kepala. Agar kepala-kepala tetap berada dalam posisinya sebagai kepala. Maka siapapun yang hendak dengan kami akan kami beri tempat, mungkin jadi leher, tangan-tangan kami dan seterusnya. Tapi kalian, bagian-bagian yang menyusahkan, yang sisa yang tak berguna tetap akan jadi ekor-ekoran kami saja. Terimalah takdir dan kesialanmu, memilih jadi ekor!

Tapi bukanlah segampang itu, kami para ekor merasa sebagai sisa. Di atas kepala di bawah kepala. Memang adalah kesialan bagi kami. Memang nasib telah mempermainkan kami, memilih kami jadi ekor. Tapi ini adalah kami, ekor-ekor yang mengekor bukanlah posisi yang pantas kalian permainkan, kami para ekor akan bergerombol-gerombol berekor-ekoran, menyatu sebagai ekor yang akan melilitmu apabila menyiakan kami, yang menyialkan kami. Kau akan menanggung nasibmu sebagai kepala!

Kepala akan terus menindas para ekor!
Kepala akan berbuat sesuka hati demi kepalanya sendiri, demi keagungan kami para kepala! Agar kepala tetap kepala! Ekor tetaplah ekor!

Begitukah! Maka kami para ekor akan bersatu menghempang para kepala
dengan keekoran kami! Kau para kepala membutuhkan kami, para ekor!
Kami akan berontak, Agar para kepala juga memikirkan nasib para ekor!
Demi keberadaan ekor yang bukanlah sisa!


Medan, 2010

Lomba Baca Puisi Penyair Sumatera Utara Komunitas Home Poetry Ketika Puisi Penyair Sumatera Utara Dibacakan

Oleh ILHAM WAHYUDI

Puisi pada dasarnya merupakan sebuah hasil karya sastra yang mengungkapkan gagasan/pemikiran penulisnya (penyair) melalui kata-kata yang disusun sedemikian rupa, sehingga menghasilkan bunyi atau irama tertentu yang mampu membangkitkan perasaan serta merangsang imajinasi pancaindera penikmat puisi. Dengan kata lain, puisi sebenarnya merupakan hasil rekaman dan interpretasi pengalaman manusia (penyair) yang dimunculkan kembali dalam bentuk tulisan.
Banyak hal yang terkandung dalam puisi. Misalnya saja, imajinasi, luapan emosi, pemikiran, nada, irama, ide, kesan pancaindera, susunan kata, kiasan, kepadatan kata dan perasaan. Nah, oleh karena itu tentunya dibutuhkan kepekaan rasa untuk memahami sebuah puisi, selain juga terkadang memerlukan sebuah pergulatan (batin) yang panjang.
Untuk dapat memahami makna yang terkandung di dalam sebuah puisi diperlukan pembacaan teks puisi yang berulang-ulang serta memerlukan daya seni dan kepekaan rasa yang tinggi. Sebab tanpa hal tersebut, susunan kata-kata dalam teks puisi sebagai perwujudan sistem tanda takkan mampu ditelusuri kedalamannya. Di sinilah sebenarnya puncak kenikmatan puisi (seni) itu berada. Itulah mengapa teori sastra modern pun mengatakan bahwa nilai sastra (dalam hal ini puisi) seluruhnya ditentukan oleh pembaca. Tanpa pembaca, karya sastra (puisi) itu malah tidak bernilai apa pun juga.
Seperti cabang seni lainnya, sastra (dalam hal ini puisi) di Sumatera Utara juga mengalami perkembangan yang cukup mengembirakan. Ini dibuktikan dengan bermunculannya sastrawan-sastrawan mutakhir Sumatera Utara di kancah sastra nasional.
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1) Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
(2) Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
(3) Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
(4) Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
(5) Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.
Melihat pesatnya kelahiran puisi, di Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara khususnya, wajarlah jika puisi menjadi bagian dari media pembelajaran sastra di sekolah.
Sebagai media pembelajaran bagi siswa-siswa di sekolah, puisi dinilai mampu menjadi media pembelajaran sastra di kalangan pelajar dan remaja. Selain cerpen, novel, dan essai, puisi yang notabanenya adalah salah satu genre sastra, ternyata paling menarik minat pelajar dan remaja, khususnya pelajar dan remaja di kota Medan. Ini dibuktikan dengan antusias pelajar (remaja) kota Medan yang mengikuti lomba baca puisi penyair Sumatera Utara yang diselenggarakan oleh Komunitas Home Poetry, 27 Februari 2011 di Sanggar Tari, Taman Budaya Sumatera Utara.

Penulis adalah
pekerja teater, film, dan
bergabung di Lt2 Art Community.

Gebyar Muda Bersastra

Herni Fauziah S.Pd

Dengan membaca wawasanmu bertambah, dengan menulis kreativitas berpikirmu terasah, dengan bersastra hidupmu jadi semakin indah.

Itulah tema yang menjadi dasar pelaksanaan acara Gebyar Muda Bersastra. Semangat para guru Bahasa dan Sastra menyatu bersama semangat para siswa yang berkarya. Berbagai kegiatan berlangsung di SMA Negeri 2 Binjai. Musikalisasi puisi, majalah dinding yang bertema sastra, berbalas pantun dan yel-yel yang diikuti oleh 15 peserta untuk masing-masing jenis lomba. Kegiatan berlangsung seharian dari pagi yang di buka oleh kepala dinas pendidikan kota Binjai mewakili Walikota Binjai, juga dihadiri oleh kepala dinas Sumatera Utara, Kapusda Binjai, Muspida setempat dan lain-lain.

Kegiatan ini didukung oleh para juri yang tidak diragukan lagi kepiawaiannya seperti Jamal, Raudah Jambak, Ibnu, Andi, Hasan Al Bana dan lain-lain. Hasil dari penilaian para dewan juri sangat memuaskan para peserta. Ajang ini mampu menggerakkan semangat para siswa dan para guru bahasa dan sastra Indonesia untuk berkreativitas bersama karya sastra.

Kehadiran para guru Bahasa Indonesia sebagai pendamping peserta pada event ini, terkesan seperti sedang “reunian” dalam berkarya. Terpancar wajah-wajah kepuasan meski dalam keadaan kalah dan menang. Sorak sorai kegirangan para siswa menunjukkan aura positif jauh dari hingar-bingar tawuran. Harapan kita dapatlah terarahkan kreativitas siswa seperti kegiatan-kegiatan ini.

Karya puisi yang dibawakan para peserta berjudul “Bahasa Laut” dan “Sajak Untuk Anakku” karya Timbas Tarigan wakil walikota Binjai. Sayangnya pada saat kegiatan berlangsung Timbas tidak hadir, karena sedang tidak berada di Binjai. Karyanya ditafsirkan beragam oleh para peserta, sehingga muncul berbagai penafsiran yang sangat luar biasa.

Warna lokal atau ciri kedaerahan sangat terasa pada setiap penampilan. Seperti dari SMA Harapan yang menafsirkan dengan irama musik Karo, demikian pula dari SMK Negeri 8 Medan memunculkan warna Melayu meski belum terasa “lemak melayu” didalamnya. Ada pula yang menafsirkan musik rock seperti yang ditampilkan SMA Negeri 4 Medan dan lain-lain.

Penafsiran yang dilakukan sebenarnya sah-sah saja. Hanya saja ada beberapa kriteria penilaian yang dilakukaan untuk mendapatkan hasil yang terbagus. Menurut Yoyok, salah seorang kreator musikalisasi puisi, ada beberapa hal yang harus dipahami untuk menggubah nada irama puisi ke dalam musik. Salah satunya adalah melakukan penafsiran yang tepat terhadap makna puisi itu.

Selain mencari nada yang disesuaikan dengan suasana makna, lalu lengkapi penampilannya dengan memberi warna-warna lokal, sehingga menambah kuat pemahaman terhadap isi puisi yang dibawakan. Seperti yang terlihat pada penampilan sang juara dari SMA Harapan 2 Medan, penampilan musikalisasi puisi berwarna musik Karo yang dilengkapi pakaian yang bercirikan budaya Karo bahkan lebih indah lagi apabila alat musik yang digunakan ditambah dengan alat musik tradisional Karo.

Majalah dinding yang ditampilkan juga tak kalah menarik, seperti salah satu peserta dari sekolah Ahmad Yani, meski mereka belum berhasil dalam kejuaraan namun kreativitas mereka tak dapat diabaikan, dengan latar transparansi mereka terkesan pandai bermain imajinasi yang tinggi, demikian dari SMA 6 Binjai, mereka menggunakan tikar bekas sebagai latar, dengan komposisi yang menarik. Untuk kreatifitas para siswa, kita patut acungkan jempol.

Menurut ibu Novi sebagai penggagas acara dan pembimbing “Komunitas Rumput Hijau”, selain latar majalah dinding ada beberapa penilaian khusus yang perlu diperhatikan para peserta seperti kolom, redaksi, isi ddan sebagainya. Demikian pula untuk berbalas pantun.

Bagaimana kecepatan membalas pantun yang dijual, juga ketepatan balasan serta kesesuaian persajakan. Meski kemampuan peserta pada umumnya rata-rata sama, namun besar harapan pada masa mendatang generasi muda kita masih mencintai budaya melayu. Terlebih lagi kegiatan ini akan menjadi agenda tahunan oleh SMA Negeri 2 Binjai, kata salah seorang penggagas komunitas Rumput Hijau ibu Dra. Susilawati.

Penampilan terakhir sudah menjelang gelap, yaitu “yel-yel”. Meski hari sudah sore, namun semangat para peserta dan para pendukung, serta guru-guru pembimbing tidak terlihat layu meski di sela waktu sempat terjadi kerusakan sound system. Kegairahan kawula muda sangat membanggakan , aura positif terpancar dari wajah-wajah mereka. Seandainya seluruh aktivitas kawula muda dapat diarahkan seperti ini, kita yakin tawuran, kebut-kebutan, atau korban narkoba dapat dikurangi.

Seperti yang disampaikan Drs. Syarifuddin Lubis, untuk terlaksananya kegiatan ini, dibutuhkan kerja keras, kesabaran dan waktu yang tidak singkat. Perjuangan sudah lama dilakukan, secara bertahap kegiatan dilaksanakan. Sampai hari ini sudah ada tiga sekolah yang mendirikan komunitas sastra di kota Binjai yang dipelopori SMA Negeri 1 dan diikuti oleh SMA Negeri 2, belum lama ini SMA Negeri 6 juga sudah membentuk komunitas yang sama. Mudah-mudahan tidak hanya di kota Binjai sekolah-sekolah lain di Medan, Stabat, Langkat atau daerah lainnya segera menyusul.

Meski hari sudah mulai gelap, namun peminat supporter, peserta, para pembimbing tak beranjak dari tempat duduk meski lesehan di rumput dan berserak dari tiap sudut atau menikmati sambil duduk di bawah pohon. Hari sudah mulai gelap, penerang dari sekolah belum kelihatan dipersiapkan namun peserta dan para guru masih setia menunggu hasil pengumuman. Terasa puas kiranya bagi para panitia beserta para peserta pada acara Gebyar Muda Bersastra. Sebelum pengumuman disampaikan oleh para juri, Kepala SMA Negeri 2, Dra. Senia, S.Sos menutup acara. Senia sangat merespon acara. Terlihat dari kesediaannya tetap berada di lokasi acara dan koordinasi yang baik di antara panitia.

Tidak biasanya, para juri menyampaikan pengumuman dalam suasana gelap. Anehnya semua berjalan dengan lancar. Terlihat ada keikhlasan dari peserta, panitia penyelenggara, sehingga tidak menjadi masalah.
Juara untuk kategori berbalas pantun, Sri Mersing (juara favorit). Tanjung Langkat (juara 1), Si Cantik Anak Dara (juara 2) dan Tanjung Katung (juara 3). Kategori Majalah Dinding untuk favorit dan juara 1.2 diraih oleh SMA Negeri 1 Binjai dan juara 3 MAN Binjai 2. Kategori Musikalisasi Puisi juara favorit SMA Negeri 2 Binjai, juara 1,2,3 diraih oleh SMA Harapan 2 Medan, SMK Putra Anda Binjai dan SMA Negeri 1 Binjai. Kategori yel-yel, SMA Ahmad Yani menjadi pavorit, SMK Putra Anda Binjai sebagai juara pertama diikuti SMA Negeri 1 Binjai dan MAN 2 Model Medan berhasil menjadi juara ketiga. Sebagaimana yang disampaikan juri, seluruh peserta berhasil mengapresiasi karya sastra, namun ketekunan, latihan, masih diperlukan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.

Tak ada gading yang tak retak, tak ada ada pekerjaan yang sempurna. Untuk kegiatan yang akan datang sebagai saran yang dapat diberikan;
Membeli parang di Kota Rokan
Beli belimbing di Simpang Empat
Penerang dan sound-system agaknya perlu diperhatikan
Juga disiplin waktu hendaklah tepat
Terlepas dari segala kekurangan, acungan jempol perlu disampaikan kepada penyelenggara. Upaya dan kerja keras mereka untuk mencerdaskan bangsa lewat karya sastra berbuah nyata dan tema yang diangkat tidak menjadi sia-sia.
Medan, 9 April 2011
Penulis; Guru SMK Negeri 8 Medan

Kamis, 14 April 2011

Tarung Penyair Panggung Tanjung Pinang Pertarungan Gagasan

M. Raudah Jambak

Mungkin akan muncul di benak kita untuk apa penyair ditarungkan? Kalau seandainya pertanyaan ini muncul dari orang-orang awan tentunya wajar, tetapi kalau penyair atau seniman yang berbicara tentu ini akan menjadi satu tanya besar. Penyair yang selalu bergulat dikubangan simbol kata dan penafsiran lalai menafsirkan kata tentu aneh.
Sulit-sulit mudah memang jika harus diberi penjelasan lebih lanjut tentang persoalan ini. Pada dasarnya adalah penyair tentu selalu masuk dalam kawasan kegelisahan kreatifitas. Kegelisahan itu tentunya tidak hanya puas dengan menuangkannya di atas kertas tetapi juga di atas panggung. Penyair kertas tentu beda dengan penyair panggung, atau kombinasi keduanya. Dan penulis menangkap bagaimana kegelisahan itu dapat di apresiasikan di kertas dan panggung sekaligus. Termasuk ketika ide ini justru dituangkan dalam Tarung Penyair Panggung se-Kota Tanjung Pinang dan se-Asia Tenggara sekaligus.
Setelah sukses menyelenggarakan Tarung Penyair Panggung pertama 2008, Pemerintah Kota Tanjungpinang bekerja sama dengan Yayasan Panggung Melayu kembali melaksanakan Tarung Penyair Panggung, kali ini terbuka se-Asia Tenggara. Dilaksanakan 14-17 April 2011 di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman dan Anjung Cahaya Kota Tanjungpinang.
Tarung Penyair Panggung dilaksanakan awalnya untuk Hari Ulang Tahun Suryatati A Manan, Wali Kota Tanjungpinang dengan tujuan memberikan penghargaan atas dedikasinya terhadap kesastraan, khususnya puisi. Ini agar dapat memberikan inspirasi kepada kepala daerah lainnya supaya peduli sastra Indonesia sebagai usaha mengangkat martabat bangsa melalui kegiatan budaya yang bernilai. Selain itu, menggairahkan tradisi pemanggungan puisi yang unggul, inovatif dan kreatif serta wahana silaturahmi penyair se-Asia Tenggara.
“Bukan sarung sembarang sarung, sarung penyair ter¬singkap angin kencang. Bukan tarung sembarang tarung, tarung penyair mantap di Tanjung Pinang,” ujar Suryatati di momen peresmian dan pembukaan acara itu. Perhelatan akbar yang para pemenangnya diumumkan Sabtu (16/4) itu, diselenggarakan oleh Peme¬rintah Kota Tanjung Pinang dan merupakan lanjutan acara Tarung Penyair Panggung di tahun 2009.
“Acara ini adalah salah satu upaya memberikan apresiasi kepada para seniman yang ada, khususnya di Tanjung Pinang, untuk unjuk kebolehan,” ujar Suryatati.
Suryatati merespons baik kegiatan tempat bertarung dan bersilaturahminya para penyair dengan berbagai karya dan bermacam gaya. Dia juga berharap kegiatan ini dapat berlanjut, untuk dua atau tiga tahun sekali. Baginya, momen ini adalah kesempatan untuk masyarakat, khususnya di Tanjung Pinang, termasuk seniman dan penyair, untuk mencurahkan isi hatinya lewat karya sastra.
Menurut Ketua Pelaksana Kegiatan Tusiran Suseno, ba¬nyaknya permintaan dari penyair di daerah lain membuat acara ini diluaskan dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Tarung Penyair se-Tanjung Pinang dan se-Asia Tenggara. “Kami menyertakan penyair dari daerah lain se-Indonesia, termasuk dari negara lain,” ujar Tusiran yang dikenal sebagai pengamat pantun ini.
Peserta yang mendaftar di ajang Tarung Penyair Panggung se-Tanjung Pinang mencapai 74 penyair dengan juri antara lain Yurnaldi dan Lawen Newal. Sementara itu, peserta ajang Tarung Penyair Panggung se-Asia Tenggara mencapai 52 penyair, yang pesertanya berasal dari daerah lain di Indonesia dan dari Asia Tenggara
‘’Kami berharap kawan-kawan penyair untuk ikut ambil bagian dalam pertarungan ini. Selain untuk mengadu kemampuan dalam membaca puisi, juga mempererat silaturahmi antar sesama pelaku seni. Selain itu kita harapkan acara ini dapat memberikan apresiasi pada kalangan muda untuk mendorong kemampuan menulis puisi serta berekspresi di pemanggungan puisi. Puisi dapat disenangi dan menjadi kreativitas yang digemari generasi muda’’ ulas Konseptor dan Pengarah Kegiatan Tarung Penyair Panggung Asrizal Nur.
Acara ini, menurut Asrizal yang dikenal juga sebagai penyair itu, bertujuan menggairah kan tradisi pemanggungan puisi yang unggul, inovatif, dan kreatif. Acara ini juga dapat dijadikan sebagai momen silaturahmi antarpenyair se-Asia Tenggara.
Peserta Tarung Penyair Panggung se-Asia Tenggara, memperebutkan Piala Suryatati A Manan (Wali Kota Tanjungpinang), Uang Total Rp40 juta, gelar Johan Penyair Panggung, piagam penghargaan dan cenderamata.
Semua peserta mendapatkan kesempatan dibawa ziarah budaya ke makam Raja Ali Haji, satrawan terkemuka pencipta Gurindam 12 (dua belas).
Sumatera Utara, Medan, menindaklanjuti kegiatan positif ini. Walau hanya mendapat bantuan moral dan Doa, dari Sumatera Utara M. Raudah Jambak, Djamal, Indah Zuhairani, dan Reza Adrian hadir dalam kegiatan ini. Terlepas dari pikiran dan sisi yang lain, yang jelas kegiatan ini sangat positif selain menambah rasa kekeluargaan juga sekaligus sebagai ajang berbagi gagasan. Semoga daerah lain ikut tergugah dengan kegiatan seperti ini.
Acara ini dimulai dengan babak penyisihan dengan menetapkan 15 finalis (dari Medan Indah Zuhairani Siregar masuk sebagai finalis), dan menentukan 6 Johan Penyair Panggung di babak final. Pada penutupan diisi sejumlah penyair seperti Karmila asal Brunei Darussalam, Yoserizal Manua dari Jakarta, Asrizal Nur, Sutardji Calzoum Bachri, serta penampilan unik puisi kalosal para pelajar SLTA yang membawakan “Melayukah Aku” karya Walikota Tanjungpinang Suryatati A Manan. Malam itu, Suryatati tampil membawakan “Tinggal Kenangan”.
Tusiran Suseno selaku Ketua Pelaksana Tarung Penyair menjelaskan, ajang itu dibagi 2 kategori yaitu tingkat Kota Tanjungpinang yang diikuti 50 peserta dan tingkat Asia Tenggara yang diikuti 70 peserta. Ajang yang berlangsung sejak 14-15 April itu merupakan kegiatan perdana di Indonesia dimana para penulis puisi sekaligus membacakan hasil puisinya secara langsung.
Presiden Penyair Indonesia Sutarji yang menjadi juri tunggal dalam ajang itu menyebutkan, bahwa puisi yang ditulis baru setengah jadi, dan puisi dibawakan oleh pembaca baru, memberikan warna dan sempurnanya sebuah puisi. Sedangkan proses editing memiliki peran penting untuk dapat memberikan penafsiran dari sebuah hasil karya serta dalam kehidupan.
Sementara, Walikota Tanjungpinang, Suryatati berharap melalui ajang itu, nama Tanjungpinang bisa bergaung ke seluruh Indonesia bahkan ke seluruh Asia, demi lebih meningkatkan jalinan silaturahmi serta lebih menggairahkan dunia sastra.
Dari hasil penilaian juri untuk tarung penyair tingkat Kota Tanjungpinang pemenang unggulan 3 diraih Dian Saputra, unggulan 2 M.Febriyadi, unggulan 1 Muhardim, Juara III Mila Aminiyati, Juara II Asih, Juar I, Zainal dengan judul puisi “Segenggam”. Kemudian, untuk kategori Asia Tenggara pemenang unggulan 3 Yoan Sutrisna Nugraha asal Tanjungpinang, unggulan 2 Khrisna Pabichara asal Bogor, unggulan 1 M.Raudah Jambak asal Medan (Sisingamangaraja, Hobar Namora). Juara Juara III Barozi asal Tanjungpinang, Juara II Nana Riskhi Susanti asal Semarang dan juara I, Jefri Al Malay asal Bengkalis dengan puisi “Anjung-Anjung”

Selasa, 12 April 2011

Mengenang Cornel Simanjuntak Seniman yang Pahlawan

Hidayat Banjar

Senin 21 Maret 2011 malam, di Auditorium RRI Medan Jalan Gatot Subroto tertata artistik. Panggung dilatarbelakangi karikatur Cornel Simanjuntak (1921-1946) yang ditembak pahanya oleh tentara Gurkha.

Di sebelah kanan panggung dari sisi penonton, para pemain musik, duduk manis sembari memegang alat musik masing-masing.

Di bawah panggung, di bangku sebelah kiri dari arah penonton, presenter Yusrianto membacakan acara demi acara. Semula dia duduk, kemudian berdiri. Setelah Dr. Mauli Purba, musisi dari USU menduduki kursi sebelah kanan, Yusrianto duduk lagi.

Menjawab pertanyaan Yusrianto, Purba mengtakan, Cornel memiliki pribadi yang kuat dan tergambar dari kematangan karyanya, sangat musikal.

"Komposisi lagunya sangat berkarakter, melodi yang kuat, komposisi musik barat yang mengindonesia. Cornel begitu pas meramu antara melodi dan teks. Sangat berkarakter Cornel," jelas Purba. Jenis musiknya vokal seriosa. Teks tak sulit, ritmanya sangat kuat (mars).

H Karseno S Wakil Ketua Lembaga Veteran Sumut mengemukakan, lagu-lagu Cornel Simanjuntak "Par Siantar" ini membangkitkan semangat perjuangan.

"Dulu, kita gunakan lagu-lagu Cornel untuk membangkitkan semangat prajurit," tegasnya.

Cornel Serasa Hadir

Kemudian tampillah Raudah Jambak membacakan puisi karya Djohan A Nasition (alm) yang berjudul "Memori untuk Cornel". Tidak, Musikmu tetap mengalun/Lestari dalam hati kami/dan jejakmu kukuh membumi (bait terakhir). Sungguh betapa Cornel serasa hadir di RRI malam itu, di sisi kita: pemuda yang gagah berani dan berhati lembut.

Kehadiran Cornel tambah intens ketika "Maju Tak Gentar" dilantunkan Sofeggio Choir Unimed dalam orkestra. Maju tak gentar membela yang benar/Maju tak gentar hak kita diserang.

Demikianlah Cornel memanfaatkan musik untuk perjuangan kemerdekaan. Hal ini diperkuat dari penuturan Joni Simanjuntak (anak dari adik Cornel).

"Bapak tua saya itu menggunakan musik untuk perjuangan." Ketika ditanya mengenai pembentukan yayasan, Joni menuturkan idenya sudah ada, tapi belum terwujud.

Dr Ikhwan Ashari sejarawan mengemukakan, Cornel menggunakan musik untuk perjuangan.

"Ya, itulah fungsi sejarah, mempelajari masa lalu untuk jadi inspirasi masa kini. Seniman adalah anak zamannya, misal jika ada pembicaraan tentang tsunami, maka tampillah Ebit atau lagunya. Bicara korupsi akan hadir Iwan Fals atau lagunya," paparnya.

Ada realitas sejarah dan ada konstruksi sejarah, bagaimana kita mengkonstruksi realitas itu?

"Lagu-lagu Cornel merupakan transformer power yang memiliki kekuatan mengajak orang lain untuk melakukan sebagaimana yang diinginkan penciptanya. Lagu-lagu Cornel memiliki daya magis yang luar biasa. Pengaruh musiknya justru lebih kuat setelah dia meninggal," tambah Ikhwan.

Usai penjelasan Ikhwan, tampil Lamhot Sihombing dengan lagu O Ale Alogo. Kemudian Tyas Anggoro Anggota Dewan LPP RRI. Acara ditutup dengan pemberian cindera mata dari dr Robert Valentino Tarigan SPd Pimpinan BT/BS BIMA Indonesia yang berpusat di Jalan Bantam Medan dan Baldwin Silitonga Msi Kepala RRI Medan.

Menanggapi acara Mengenang Komponis Cornel Simanjuntak ini, Valentino mengemukakan, meski dirinya awam dalam bidang musik (seni) tetapi dia suka musik.

"Musik dan bentuk-bentuk kebudayaan lainnya berguna terhadap kehidupan spritualitas anak bangsa dan negara. Wajar kalau kita ikut berperan -meski kecil- di dalamnya," tegasnya.

Pejuang Kemerdekaan

Seperti yang disuarakan back sound RRI dan di buku "Kumpulan Lagu-lagu Komponis Nasional Cornel Simanjuntak" yang disusun oleh Willy Simanjuntak SH, disebutkan Cornel Simanjuntak lahir di Pematang Siantar (Kampung Tambunan Simpang II) tahun 1921. Anak dari Tolpus Simanjuntak gelar Ompu Mangara pensiunan Polisi di Medan, Ibunda Rumina boru Siahaan, sembilan bersaudara, 7 laki-kaki dan 2 perempuan.

Pendidikan HIS St Fransiscus di Medan tamat tahun 1937, kemudian melanjutkan pendidikan ke HIK Xaverius College Muntilan Yogyakarta. Sebenarnya Cornel sudah diterima pada sekolah HBS di Medan, tetapi orangtuanya sengaja mengirimkan ke sekolah guru di pulau Jawa karena pada saat itu suatu kebanggaan, kalau anak dapat belajar di sana. Kemudian predikat sebagai guru mempunyai status terhormat di kalangan masyarakat. Berkat bantuan dan dorongan Zuster Rodolfin Kepala Sekolah HIS St Fransiscus di Medan, Cornel berangkat ke HIK Muntilan.

Murid yang Cerdas

Menurut teman-temannya satu sekolah di Muntilan pada masa itu, Binsar Sitompul dan JFP Hutauruk, Cornel Simanjuntak termasuk murid yang cerdas, pemberani, jujur dan tidak pernah enggan membela pendiriannya.

Alat-alat musik yang digemarinya, piano, biola, fluit/clarinet, orgel, faktor inilah yang menjadi dasar untuk dapat menjadi dirigen dan sempat menggerakkan Orkes Paulus Seminari Yogyakarta.

Gurunya pada masa itu Peter J Schouter dan RAJ Suyasmin, sangat menarik perhatian dan mengagumi Cornel. Oleh gurunya di luar jam pelajaran sekolah, Cornel diberikan pelajaran musik secara khusus mengenai teori dan praktik.

Di dalam Orkes Simponi Sekolah, Cornel memegang peranan sebagai Conser Master, juga beberapa kali tampil sebagsi Solis pada biola.

Suatu kali, dia kedapatan oleh guru tidak memperhatikan pelajaran yang sedang diberikan karena ternyata di bangkunya, dia sedang sibuk menulis balok-balok not untuk menyusun suatu harmoni musik yang sedang berkecamuk di benaknya.

Seorang Prajurit

Pada awalnya, Cornel lebih merasakan sebagai seorang prajurit daripada seorang seniman. Sebagai seorang idealis sejati, dia menganjurkan kepada teman-teman pemuda lainnya, supaya memanggul senapan karena pada hematnya hanya itulah satu-satunya jalan untuk berbakti kepada Tanah Air Indonesia.

Cornel dengan pemuda lain aktif memberi penerangan kepada masyarakat di sekitar kampung-kampung di kawasan kota Jakarta dan Krawang tentang arti kemerdekaan. Kemudian mengimbau rakyat supaya bersiap-siap untuk membela yang benar, serentak mengusir penyerang dan siapa saja yang mau menjamah Tanah Air Indonesia maupun yang akan menentang Kemerdekaan Indonesia.

Pada satu pertempuran antara pasukan kita dengan pasukan sekutu (tentara Inggris/Gurkha) di daerah Senen, di Tangsi Penggorengan, Cornel Simanjutak tertembak pahanya, kemudian dirawat di RSU Pusat Jakarta. Belum sempat sembuh oleh teman-temannya, Cornel diselundupkan ke luar kota Jakarta dan diungsikan ke Krawang, sehubungan ada info, pasukan Inggris/Gurkha bakalan mengadakan penggerebekan maupun pebersihan di sekotar kota Jakarta.

Dari Krawang supaya dapat memperoleh perawataan yang lebih baik, Cornel dipindahkan ke Yogyakarta dan diopname di Sanatorium Pakem. Pada kesempatan ini, dia banyak meniciptakan lagu-lagu perjuangan. Sembari opname di rumah sakit, dia terus berkarya. Saat itu masyarakat Indonesia memang benar-benar membutuhkan lagu-lagu mars perjuangnan, lalu Cornel pun menciptakan lagu yang sangat populer seperti Maju Tak Gentar.

Sejarah telah membuktikan, lagu Maju Tak Gentar benar-benar membangkitkan semangat perjuangan para pemuda Indonesia pada tempo dulu. Banyak lagu-lagu perjuangan yang telah diciptakannya antara lain: Indonesia Tetap Merdeka, Maju Indonesia, Pada Pahlawan, Tanah Tumpah Darahku, Teguh Kukuh Berlapis Baja (diciptakan pada masa kemerdekaan).

Sedangkan yang diciptakan pada masa pendudukan Jepang: Asia Sudah Bangun, Hancurkan Musuh Kita, Menanam Kapas, Bikin Kapal, Menabung, Bekerja, Di Pabrik, Poelang dan Jawa Hokokai.

Hampir enam bulan lamanya onpname di Sanatorium Pakem kesehatannya semakin memburuk. Kadangkala dia sampai larut malam mecipta lagu, lupa untuk mengurus kesehatannya dan akhirnya diserang penyakit paru-paru. Pada tanggal 15 September 1946 ia meninggal dunia.



Generasi Muda Harus Berada di Garda Terdepan Menangkal Pengaruh Budaya Luar

Bendungan terhadap adanya suatu peralihan budaya yang terjadi dewasa ini, cenderung bermuara pada ‘sikap bermuatan barat’ yang dapat menghilangkan budaya lokal.

"Hal ini sangat tergantung pada generasi muda. Sebagai generasi penerus bangsa yang nantinya sangat kita harapkan dapat tegak di garda terdepan sebagai penyaring peralihan tersebut," ujar H. Abdulllah Nasution dalam sambutannya mewakili Ketua Tanfidziyah Pimpinan Wilayah Nahdatul Ulama (PW-NU) Sumut pada Workshop Teater, Sinetron dan Film (WTSF) yang berlangsung Minggu (6/3) di Gedung PW NU Sumut Jalan Sei Batang Hari Medan.

Menurut salah seorang Wakil Ketua Tanfidziyah PW-NU Sumut itu, modernisasi dalam pengembangan seni budaya saat ini terus berlangsung. Bila terjadi penyimpangan dalam proses kreativitasnya, harus segera diluruskan.

"Bila tercium aroma tak sedap yang keluar dari mulut pengembangannya, kita beri nafas segar dan wangi senada dengan garis ideology Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja), yang menjadi landasan sosial-keagamaan NU," paparnya.

Di sisi lain, menyambut gembira dengan tingginya antusias puluhan pelajar dan mahasiswa dari berbagai SMA dan Perguruan Tinggi yang terdapat di Medan dan Binjai mengikuti workshop tersebut.

"Antusiasme peserta ini membuktikan bahwa seni dan budaya (produk lokal) merupakan ha! yang sangat dibutuhkan oleh kaum muda, yang kita harapkan ke depannya mampu menangkal pengaruh budaya luar," tambahnya.

Workshop itu melibatkan berbagai nara sumber diantaranya H. Usman Lubis, salah seorang tokoh dan sesepuh NU yang mengetengahkan materi Apa itu Lesbumi?

Sementara untuk film diundang H.Amsyal. Sedangkan untuk teater dan sinetron mengundang M.Raudah Jambak, SPd dan Adhek Hermansyah Nasution dari Sanggar Seni Petrokimia Gresik lawa Timur.

Program Lesbumi NU

Sementara itu, Workshop Teater, Sinetron dan Film (WTSF) yang diselenggarakan Seniman Budayawan Muslim Indonesia Nahdatul Ulama Sumatera Utara (Lesbumi-NU Sumut) itu merupakan program awal Lesbumi NU-Sumut paska diputuskan kehadirannya kembali di tubuh PW-NU Sumut.

Ketua Lesbumi-NU Sumut H. Dahri Uhum Nasution (Tok Ai) menyebutkan, pihaknya telah menyusun susunan pengurus. Terdapat nama-nama seniman yang sudah tak asing lagi seperti Yan Amarni Lubis yang dipercaya sebagai wakil ketua.

Kemudian di Biro Teater ada M.Raudah Jambak SPd. Di Biro Sastra ada Hasan Al Banna SPd dan Andy Mukly SHi. Di Biro Film ada H. Amsyal, Munir Nasution SH dan masih banyak lagi nama-nama lain seperti di Biro Musik ada Hafiz Lawak serta di Biro Tari ada Rina Lubis SS dan Sri Patria.

"Setelah penyelenggaraan workshop itu, Lesbumi NU-Sumut telah mencanangkan untuk menindaklanjuti program-program baik yang bersifat pementasan maupun lomba," kata Tok Ai.

Lesbumi NU-Sumut sangat berkepentingan menyikapi semangat dan talenta anak muda, dikarenakan generasi muda sebagai asset bangsa dan agama yang membutuhkan atensi dan wadah pengembangan kreativitas talentanya dalam seni budaya.

"Dalam hal ini Lesbumi-NU Sumut siap bersinergis dengan seniman dan budayawan muslim dari lembaga sejenis lainnya," tambah Yan Amarni Lubis selaku Ketua Panitia Pelaksana Workshop.

Jumat, 08 April 2011

SMA dari Delitua di depan FKSS IKIP Negeri Medan hadiri kegiatan di halaman kampus

PARA sastrawan Sumatera Utara sudah tidak masuk lagi ke sekolah-sekolah. Juga jarang adakan acara di kampus-kampus. Kalaupun ada hanya kampus tertentu saja. Acara sastrawan masuk sekolah, sudah lebih 25 tahun tidak bangkit lagi di Medan.

Tahun 1979, sebuah organisasi penulis yang dimotori oleh Yudhi Harsoyo dan teman-teman. Ketika itu, Penulis dan Shafwan Hadi Umri (saat itu penulis dan Shahwan) masih sama-sama mahasiswa di tingkat akhir. Saya di Fakultas Hukum USU, Shafwan di IKIP Negeri Medan. Himpunan Penulis Muda (HPM) yang bermarkas di Jalan Ahmad Yani, kantor Harian Berita Yudha Perwakilan Medan.


HPM begitu aktif menggalang para penulis remaja untuk menjadi cerpenis dan pemuisi. Selain aktif dalam berbagai kegiatan omong-omong sastra dari rumah ke rumah, HPM juga mengadakan berbagai kegiatan lainnya. Tersebutlah Rustam Lubis Djamaksyari aktif di dalamnya.

Tak lama berdirinya HPM, Shafwan menjadi pegawai negeri dan ditugaskan di Tapanuli Selatan sebagai guru Bahasa Indoensia. Bersama Yudhi Harsoyo dan Rustam Lubis Djamaksyari, kami terus menggalakkan sastra masuk sekolah-sekolah. Pada tahun itu juga HPM mengadakan kegiatan di IKIP Negeri Medan Jalan Merba. Ketika itu HPM bekerja sama dengan Dewan Mahasiswa IKIP egeri Medan, menampilkan Damiri Mahmud sebagai pembicara dari HPM dan BP Situmorang dari IKIP Negeri Medan.

Mulanya rektor IKIP Negeri Medan menolak. Drs. B. P. Situmorang yang pernah sebagai pembicara pada Pertemuan sasttrawan Sumut tahun 1977 di Taman Budaya Medan "berduet" dengan Sabarudin Ahmad, BA. Ketika itu, Sabaruddin Agmad masih belum mengambil doktorandusnya.

Perdebatan yang sangat hangat di Taman Budaya Medan yang sebelumnya bernama Taman Bina Budaya Medan (TBBM) bergaung bukan hanya sampai ke Jakarta, bahkan sampai ke negara tetangga di Malaysia. Dengan tegas, ketika itu, B. P. Situmorang mengatakan, sastra kita baru sampai lampu satu, belum berlayar mengharungi lautan bebas ke mancanegara. Di sisi lain BP. Situmorang mengatakan, kalau sastra Malaysia tertinggal 20 tahun dari Indonesia.

Pro-kontra ketika itu sangat tajam. Saat itu, mata Jakarta terbuka karena tajamnya pro-kontra pertemuan itu menghiasi berbagai halaman koran Jakarta, seperti Sinar Harapan (Belum dibreidel dan berganti Suara Pembaruan), Kompas, Berita Yudha, bahkan MBM Tempo yang ditulis oleh Zakaria M Passe.

Mengingat itu, B. P. Situmorang mengajak saya menemui rektor ke ruangannya. Saat itu kebetulan di ruangan rektior ada Dekan FKSS (Fakultas Kejuruan Sastra dan Seni di Unimed sekrang bernama FBS). Drs. B. P. Situmorang meyakinkan rektor, kalau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh HPM adalah kegiatan positif.

Perlu digarisbawahi, ketika itu kampus-kampus yang baru saja tenang dalam berbagai demo, sangat "tertutup" pada komunitas luar kampus. "Kalau Pak Situmorang berani bertanggungjawab, silahkan," ancam rektor ketika itu. Dengan lantang Drsw. B. P. Situmorang mengatakan:" Saya yang akan bertanggung jawab."

Dalam kegiatan di halaman kampus di depan FKSS IKIP Negeri Medan, hadir juga undangan para siswa SMA, termasuk SMA dari Delitua yang dibawa gurunya Angkup Lubis, SH dan kini menjadi hakim tinggi di Jambi. Kegiatan itu pun berlangsung dengan baik dan penuh antusias dari kalangan mahasiswa. Sebelumnya, mereka hanya membaca tulisan yang hadir seperti Damiri Mahmud, A.N. Zaifa, Rahim Qahhar, R. Lubis Djamaksyari dan sebagainay dari kioran saja.

Seperti Koran SIB, Analisa, Waspada, Bukit Barisan dan Bintang Sport & Film (BSF) saja. Kotran-koran tertera di atas saja ketika itu yang aktif terus-menerus mengadakan kolom sastra dan budaya. Walaupun ketika itu BSF dicetak dalam bentuk Letter Press dan bermarkas di Jalan Hindu namun setiap minggunya memuat cerpen dan puisi serta artikel sastra.

Para peminat olahraga yang berlangganan BSF tetap aktif membaca hal-hal sastra. Tak geran jika para pemain tua PSMS, mengenal siapa-siapa sastrawan Sumatera Utara. Pemain tua PSMS bahkan lebih mengenal sastrawan Sumatera Utara ketimbang para guru Bahasa Indonesia ketika itu, karena para pemain PSMS selalu berlangganan BSF.

Kini, sastrawan masuk ke sekolah-sekolah sudah sangat langa terdengar. Guru-guru Bahasa Indonesia di SLTA, sepertinya tidak memikirkan hal itu. Atau mungkin njuga kepala sekolah yang tak terpikir ke arah itu, hingga saat guru Bahasa Indoensia menyampaikan hal itu, kurang mendapat tanggapan.

Sarifuddin Lubis di Binjai, kelihatannya masih terus aktif mengembangkan sastra sekolah. Itu juga nampaknya masih terbatas kepada para siswanya saja. Selaian itu, untung masih banyak juga media yang memiliki kolom remaja dan ada ruang sastranya.

Kalau majalah sastra Horison kita menggalakkan sastrawan masuk sekolah, sebenarnya Sumatera Utara sudah terlebih dahulu melakukannya. Bedanya, mereka mendapat dana dan biaya yang cukup, sementara di Sumatera Utara tidak. Sudah selayaknya para Kepala Dinas Pendikan di Kabupaten/Kota memikirkan hal ini, karena kegiatan inisangat positif kepada para siswa. Idris Pasaribu


Bertemu Penyair Medan

Budhi Setyawan

http://budhisetyawan.wordpress.com/

Tanggal 24 – 26 November 2008 saya ada acara dinas di Medan. Sebelum berangkat, saya telah memberitahukan kepada 2 penyair Medan yang sebelumnya pernah bertemu di TIM Jakarta yaitu Hasan Al Bana dan Suyadi San. Saya tiba di Medan hari Senin sore sehingga tidak ada agenda dinas dan langsung ke hotel. Saya dan rombongan menginap di Hotel Inna Dharma Deli. Hotel lama dan kamar sederhana.
Malam itu saya bersama tim dinas hanya makan rujak di Medan Plaza dan sea food di belakang Hotel Best Western. Di sela sela makan sea food, ada telepon masuk dari teman di komunitas Pasar Malam yaitu Nina. Karena di tempat makan suasana sangat gaduh, saya tidak mengangkat telepon itu. Lewat pesan singkat, dia bilang bahwa juga sedang ada di Medan berkaitan dengan pekerjaan kantornya. Akhirnya saya menemuinya sebentar di tempatnya menginap di Hotel Tiara. Kami hanya mengobrol singkat di lobi karena waktu telah malam, sekitar pukul 21 lebih. Saya juga tak tahu mengapa kalau di daerah atau kota kecil (pokoknya bukan Jakarta), waktu seperti cepat malam.

Hari Selasa setelah urusan kantor selesai dan beli oleh-oleh berupa bika ambon dan bolu, pukul 16.30-an saya ke Taman Budaya Sumatera Utara untuk bertemu penyair-penyair Medan. Dan akhirnya saya bertemu dengan banyak penyair Medan antara lain: Suyadi San, Hasan Al Bana, M Raudah Jambak. Djamal, S Ratman Suras, Afrion, Antilan Purba, Ardani. Beberapa saya lupa namanya, juga beberapa aktivis FLP Sumut dan pemain teater di TBSU. Rupanya Suyadi San telah menyiapkan semacam acara diskusi dengan adanya kedatangan saya di Medan. Itu terasa sangat mengakrabkan. Dan saya merasa terharu. Meskipun saya agak sedikit kikuk, karena saya mesti menyampaikan semacam riwayat perjalanan selama ini, mengapa memilih sastra dan proses kreatifnya. Mengapa saya kikuk? Karena saya merasa kurang bisa menyampaikan dengan bahasa sastra. Saya merasa hanya mengikuti kata hati yang mencintai dunia seni, seperti seni lukis, musik dan termasuk sastra. saya juga bilang bahwa buku puisi yang saya terbitkan berisi puisi puisi yang sederhana atau malah bisa dibilang draft/bakal puisi. Itu semua saya terbitkan secara spontan, tanpa editor dan pada masa saya belum berkenalan dengan banyak penulis/penyair serta kurang mengetahui seluk beluk dunia penerbitan. Komunitas diskusi sastra juga saya tak punya.
Saya ingat dan katakan waktu itu, bahwa saat acara peluncuran buku puisi saya Sukma Silam di PDS HB Jassin bulan Desember 2007, banyak penyair atau penulis yang mengkritik buku saya banyak kekurangannya. Dan ada seorang penyair yang mengatakan bahwa puisi-puisi dalam kumpulan itu tidak memuat apa-apa, tidak menyampaikan apa-apa. Pada saat itu saya juga dalam hati bertanya-tanya: apakah benar semua puisi saya tidak menyampaikan apa-apa? Namun semua masukan menjadi bahan instropeksi bagi saya. Dan setelah itu saya banyak membaca puisi penyair-penyair tua dan juga penyair muda. Dalam hati saya bilang, saya harus belajar! Dengan adanya dinas luar kota, saya manfaatkan untuk silaturahmi dengan penyair di kota yang saya kunjungi. Dan biasanya saya diberikan buku puisi yang memuat puisi-puisi mereka. Dan biasanya saya akan baca ketika di bandara, stasun atau di perjalanan. Saya baru tahu ternyata banyak penyair-penyair daerah yang menulis puisi dengan begitu dahsyat. Salam kreatif. Majulah Sastra Indonesia.

Ilham Wahyudi
Perkara di Kepala

Ini perkara di kepala
yang melekat serupa kulit
yang mengusik di hari terik
yang mengganggu di hitam baju
yang diribut si orang banyak
ia tak sebesar si semut merah
namun terserak di banyak kepala
sungguh ia pula yang mencuri perhatian
sebabkan ia si perusak citra
bagi gadis, lajang, terlebih lagi duda dan janda

Ini perkara di kepala
yang belum bertandang duhai obatnya
yang tak terkira jumlah adanya
yang tak cukup puisi ini menceritakannya
ya, apalagi kalau bukan perkara yang di kepala
yang beta derita bertahun lamanya

Medan, 2010

Perkara di Wajah
bagi al bunc

Duh, merah nian
dikau yang serupa bolabola
akarmu tertanam
wahai di dasarnya
bagai merapi yang bunting larva
yang tak tumpah bila belum masanya

Ini perkara juga tak kalah hebohnya
membuat remaja dirundung durja
bila ia mekar melebih tiga
yang kadang pula subur di hidung dinda
duhai pelita pujaan kanda

Medan, 2010


Perkara di Tapak Kaki

Ini perkara lain sendiri
karena letaknya di tapak kaki
jika rajin pergi mencuci
tapi kaki tak tahan kena sabun cuci
maka alamat ia makin menjadi
sebab muasalnya konon dari kamar mandi
tempat ‘nak gadis biasa mencuci

Ini perkara di tapak kaki
yang ‘kan selalu berair bila digaruki
yang juga tak gampang ‘tuk diobati
baik masa ‘ni kira pun nanti

ini perkara, perkara kami
yang bisa pula tuan dan puan alami
maka janganlah bungkam menutup diri
bila kelak ia mendatangi tapak kaki
yang tak tahan kena sabun cuci
apalagi becek di pasar pagi

Medan, 2010


Dini Hari di Tugu

Dini hari di Tugu
Bulan hampir penuh
Juga lirih lagu pengamen:
Ada kamu di sana
Dan beberapa pertanyaan sepele

Sudah berapa kali kemari?
Tak berapa sering
Kamu tidak merasa dingin
Tak berapa dingin
Kemarin jadi menungguku di sini?
Mmm…

Dini hari di Tugu
Orang-orang semakin ramai saja
Dan pertanyaan itu, terus saja kuulangulang

Jogja-Medan, 2010

Problem Urban dalam Cerpen-cerpen Medan
DEMOGRAFI penduduk, terutama migrasi mereka dari desa ke kota, tentu menimbulkan sejumlah problem. Karakter yang dulunya komunal, oleh tuntutan sosial kota yang cenderung individualis, menyebabkan perubahan massa yang cukup radikal. Dinamika itu kemudian menciptakan persoalan-persoalan baru dan meluas menjadi problem global yang lebih komplit. Masalah-masalah itu antara lain; pengangguran, kemiskinan, determinasi yang semua itu cenderung kriminal. Pada masyarakat yang tinggal di inti kota, terutama kota-kota maju, semisal Jakarta, Medan dan Surabaya, perubahan itu bahkan sudah mencapai antiklimaks. Masyarakat kelompok ini justru mulai hidup dalam gaya postmodrenitas, yang tak lagi terselubung.

Problem urban justru lebih dirasakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di pinggiran kota. Sebagai kaum pinggiran, kelompok inilah yang sering menjadi korban kebijakan-kebijakan pemerintah kota. Misalnya kelompok masyarakat pinggiran rel, bantaran sungai atau tempat pembuangan akhir sampah. Problem urban menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Hal itu, tanpa disadari menjelma menjadi gaya hidup yang kemudian membentuk karakternya.

Tema-tema urban sebenarnya sejak tahun 80-an sudah didengungkan sastrawan kita, sebagai kritik terhadap kebijakan pemerintah yang sentralis dan berfokus pada pembangunan fisik semata. Menyebut beberapa nama; Motinggo Busye, Arief Budiman, WS Rendra, Putu Wijaya, Arifin C.

Noer, Mucthar Lubis. Menyusul kemudian generasi yang lebih baru seperti, Seno Gumira Aji Darma, Hudan Hidayat, Joni Ariadinata, Moammar Emka sampai Djenar Maesa Ayu. Meski begitu, inti yang diangkat juga tidak terlalu berubah. Manusia masih menjadi objek utama yang didasarkan atas pengalaman empiris pengarang. Sementara, hal pokok, semacam kebijakan-kebijakan pemerintah itu sendiri masih belum tercover. Hal ini juga merupakan masalah yang penting untuk didiskusikan.

Medan Dalam Cerpen
Pengarang-pengarang di Medan juga begitu. Jarang sekali karya, terutama cerpen yang diterbitkan di koran-koran Medan, mengangkat problem urban secara defenitif, baik setting, simbol maupun pengungkapan. Kesan itu terungkap lewat Omong-omong Sastra yang digelar di rumah Idris Siregar, 6 Februari 2011. Kelangkaan itu pula yang membuat Hidayat Banjar dan Intan Hasibuan, sebagai pemateri, kesulitan menghadirkan contoh cerpen sebagai bahan diskusi.

Hidayat Banjar mengaku, analogi urban dalam pemikirannya masih belum terungkap jelas dalam cerpen-cerpen yang ia suguhkan. Meski begitu, diakuinya tidak tertutup kemungkinan, ada perbedaan persefsi antar peserta diskusi. Cerpen-cerpen yang diketengahkan Hidayat Banjar berasal dari penulis muda, yang oleh YS. Rat disebut sebagai angkatan pasca reformasi di antaranya, “Tito” (T. Sandi Situmorang, Analisa, Rabu 24-11-2010) “Memeluk Angin” (Zuliana Ibrahim, Analisa, Rabu 24-11-2010) “Duka Telah Hilang” (Elpi Sinaga, Waspada, Minggu 28– 11-2010) “Afifah” (Intan HS, Analisa, Rabu 1-12-2010) “Ketika Fajar Beringsut” (Wahyu Wiji Astuti, MedanBinis, Minggu 12-12-2010) “Patung Lek” (Rifan Nahzif, Harian Global, 15-1-2011) “Topeng” (Venny Mandasari, Analisa, Minggu, 16-1-2011). Sayang Hidayat tidak melampirkan cerpen-cerpen itu secara utuh, sehingga cerpen-cerpen itu tak bisa dibahas secara lengkap. Terlepas itu, menurut Afrion, idealnya cerpen urban harus memunculkan problem-problem masyarakatnya, salah satunya yang timbul oleh kebijakan pemerintah kota. Contohnya dampak dari penataan tata kota yang amburadul. “Bisa jadi cerpen urban adalah kritisi terhadap kebijakan pemerintah kota yang mungkin dirasakan pengarang tidak berpihak pada masyarakat.

Apakah hal-hal semacam ini tersirat dalam cerpen-cerpen yang dipilih pembicara?” tanya Afrion.
Sedangkan penulis, di kesempatan itu menyatakan cerpen-cerpen urban tidak harus mengungkap tempat secara definitif, karena hal itu akan diketahui secara otomatis lewat problem-problem yang dirasakan masyarakatnya. Di Indonesia, problem ini mempunyai warna yang beragam sekaligus menarik, mengingat perbedaan karakter etnisitas masyarakatnya.

Problem urban bermula dari ketidaksiapan sekelompok masyarakat terutama ketika mereka berpindah, baik inisiatif sendiri maupun melalui program-program pemerintah semisal urbanisasi atau transmigrasi. Perubahan karakter itu sering berbenturan dengan gaya sosial di tempatnya yang baru. Dinamika ini menarik untuk diungkap dalam sebuah cerpen. Sayangnya cerpen-cerpen yang terbit di koran Medan, belum cukup menggambarkan kekhasan itu. Sehingga problem urban tidak begitu terasa. Menyempurnakan beragam pendapat itu, sastrawan Damiri Mahmud, menjelaskan, yang paling penting dari sebuah cerpen adalah pengungkapan, karena dari situlah terasa tema yang ia garap, entah itu urban atau tidak. Begitupun omong-omong sastra kali ini menghasilkan pemikiran-pemikiran yang penting.

Di antaranya menegaskan kembali pentingnya kritikus sastra yang memang langka di kota ini. Kesan ini diungkap Yulhasni, sekaligus mengkritis pembicara yang tak melengkapi bahannya, sehingga peserta kesulitan menganalisa cerpen-cerpen itu. “Kita memang kekurangan kritikus sastra, terbukti bahkan untuk diskusi seperti ini pun, pembicara tidak melengkapi data-data yang menjadi pembahasan,” ujarnya. Demikianlah omong-omong sastra kali ini memang tak menyimpulkan apa-apa, selain sebuah tradisi yang unik dan tetap harus dilestarikan.
(jones gultom)

Malam Beku dan Jemu
Sakinah Annisa Mariz
; Liandi Prassetiyadi
/1/

detik-detik jatuh, hari-hari terpeleset
minggu mengering, bulan menua di langit
rindu untukmu menancap pada gemerisik angin
yang hening, menyembul harap

satu-satu cahaya datang dan hilang
kupikir itu lentera yang menyala kecil dari perahu dari tengah laut
ah, syair tentang perahu belum tepat untuk kita bincangkan dalam puisi rindu
lebih baik kita isi saja gelas malam ini dengan sajak romantis
tapi aku tak pandai menjahit kata-kata
bagaimana ini?
kuntum-kuntum cinta terus saja bermekaran
/2/
kau yang menjenguk sunyi di kedalaman hati
desah daun-daun gugur di jendela dan titik embun dini hari
menusuk malam dalam mimpi-mimpi kosong dan berdebu
masih bolehkah terjaga?
aku tahu kau telah berusaha, sayang
untuk membuat gelap tak terlampau garang
menjelmakan sepi di puisi ini
padahal telah kutulisi berlembar-lembar fotomu di sketsa malam
tapi lagi-lagi jariku meleleh
serupa bayangan samar, dia kikis di kata-kata penghabisan
itu sebabnya jawabku hadir terlalu lambat
j" te aime
Karena Rindu Itu Anugrah, Maka Selamanya Aku Akan Bersyukur
Sakinah Annisa Mariz

bulan dan malam bukan perkakas dalam puisi mati
dentang jam dinding membujur di dada
meski hari dan tahun bukan untuk kau, juga aku
cengkraman rindu mengoyak-ngoyak kita
jadi kepingan kata
yang berkarat
dalam jarak

3 Desember 2010
; Sahabatku, Guntar
/1/

Orang-orang datang dan pergi
seperti kali pertama juga kali penghabisan
dan segala yang bernyawa benarlah kembali sujud padaNya

doa"-do"a mengalir untuk ruhnya yang suci
di pembaringan yang terakhir
maka dzikirkanlah munajat padaNya
dengan cucur rindu yang mengalir di tahajjud

/2/
jangan menyepi Guntar,
bapak tidak pernah beranjak darimu
dia ada dalam dagingmu
dia lesap dalam darahmu
dia hidup dalam nafasmu
dia hadir dalam waktu sholatmu
maka tunjukkanlah baktimu
agar malam tak bertumpangtindih dengan suny
Kepada Malam yang
Menyerupaimu
Sukma

Aku sembunyikan tubuhmu
Pada waktu yang dangkal
Ketika itu gerimis datang menitipkan
Malam lalu mengalirkannya ke tubuhmu

Kita sendiri lupa
Bagaimana mengubah kabut-kabut
Kemudian melahirkan seorang bayi dari langit
Karna aku masih mengerti
Nyaring suaramu yang lahir dari
Permukaan lagu meski malam
Selalu hadir padaku
Medan, Nopember 2010

Kedatanganmu
Sukma

Pada hari yang sama seorang gadis
Datang padaku. Rambutnya terurai
Menutupi langkahku
Siang itu dia kembali datang
Setelah memanjat tebing-tebing
Menyelami kedalaman sunyi

Aku menatap keningnya
Mirip dengan putriku yang tiga hari lalu
Tidak mengerti jalan pulang

Di tangan kanannya ada bekas luka
Aku tersenyum
Dia menceritakan siapa ibunya
Dan esok kembali menjumpaiku
Medan, Nopember 2010
Seharian
Sukma

Terlalu pagi bagi kita
Untuk menceritakan laut yang bergetar
Sejak kapan kau menangis
Bukanlah cerita yang akan kudapati
Aku selalu saja seharian menunggumu
Dalam kerinduan yang teramat dingin
Kuterjemahkan nama batu dan debu
Menjadi kristal bening
Aku teringat matamu
Medan, Nopember 2010

Berdiam Diri
Sukma

Kau buka sebuah pintu di hatiku
Kita masuk ke dalamnya berdua
Kau duduk di sudut paling gelap
Menyalakan lilin dan menyiapkan kopi hangat

Waktu seketika mengeras
Kita terkunci
Daun-daun berguguran dan semuanya berubah
Menjadi patung yang mengerikan
Aku lihat wajahmu memucat
Dan kita tidak berusaha keluar
Medan, Nopember 2010

Visualisasi Puisi KSI Medan
“Indonesiaku, Bencanaku;....” Terlalu Sadar Tampil
MELALUI pergelaran visualisasi sejumlah puisi berjudul “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku,” Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan mengisi kegiatan Pergelaran Seni Sastra, program Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU)-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumut, Rabu (15/12/2010) sore.
Visualisasi puisi “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku” dengan sutradara Idris Pasaribu itu, sekaligus jadi penutup tiga rangkaian program TBSU, berupa Pergelaran Seni Teater, Workshop Penulisan Naskah Drama, dan Pergelaran Seni Sastra.

Dalam kegiatan yang kepanitiaannya diketuai Drs Bangun Nasution itu, melalui visualisasi puisi “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku,” KSI mengusung sejumlah puisi di antaranya “Perjanjian dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar, “Indonesiaku” karya Idris Pasaribu, “Indonesia, Aku Masih Tetap Mencintaimu” karya Ahmadun Yosi Herfanda, “Wasior Kesohor Waswas” karya Juhendri Chaniago, “Mentawai” karya Sakinah Annisa Mariz, “Asa Dalam Lahar Mentari” karya Sidrata Emha, serta karya Antilan Purba, Embar T Nugroho, dan Richa Ayu.

Pergelaran visualisasi puisi KSI Medan ini, yang didukung tataan musik Hendrik Peranginangin bersama Winarto, diawali masuknya 15 orang sambil mengibar-ngibarkan bendera macam-macam warna, satunya Bendera Merah Putih, berjalan mengitari area pentas hingga membentuk sebuah komposisi.

Selanjutnya salah satu pemain, Embar T Nugroho, mengambil posisi di area pentas terdepan dan dari belakang Juhendri Chaniago bergerak maju, membacakan puisi “Perjanjian dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar.

Berikutnya diselingi olah gerak sejumlah pendukung dan beberapa tarian, bergantian dibaca puisi di antaranya karya Idris Pasaribu, Ahmadun Yosi Herfanda, Juhendri Chaniago, Antilan Purba, dan lain-lain.

Visualisasi puisi “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku” berkisah tentang sejumlah kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia sejak perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, zaman kemerdekaan, peristiwa 1966, Orde Baru, dan reformasi. Juga musibah alam yang melanda hingga yang terkini di Wasior, meletusnya Gunung Merapi, serta musibah gempa dan tsunami di Mentawai.

Pertunjukan yang dihadirkan Idris Pasaribu melalui sejumlah olah gerak pendukung dan tarian, sebenarnya memberikan daya pikat tersendiri. Hanya saja, pada beberapa bagian di antara pendukung terkesan terlalu menyadari sedang tampil untuk ditonton, sehingga permainannya lepas dari kontinuitas cerita. Meski demikian, bentuk pertunjukan itu sedikit berhasil menggiring penonton untuk masuk ke suasana yang bakal hadir pada bagian pertunjukan berikutnya.

Satu hal – dan ini dasar dalam membacakan puisi – agaknya perlu diberi perhatian khusus. Kemampuan olah vokal para pembaca di visualisasi puisi “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku” itu masih minim dan seakan terjebak pada pola pengucapan dialog dalam lakon teater, juga terkadang tak bisa dicermati karena cacat di artikulasi. (ys rat)

Si Jonaha Persembahan PLOt
Opera Batak Empat Bahasa di TBSU
MedanBisnis – Medan. Opera Batak berjudul Si Jonaha persembahan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) kali ini, yang teksnya ditulis Thompson HS sekaligus juga sebagai sutradara, bisa dipastikan bernuansa lain. Operasi ini digelar Jumat dan Sabtu (11 dan 12/3) di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan Medan. Si Jonaha disuguhkan dalam empat bahasa yakni bahasa daerah Batak Toba, Simalungun, Karo, dan Bahasa Indonesia.
Thompson yang didampingi Direktur Produksi PLOt, M Swarsono, dan Pimpinan Produksi, Ojak Manalu, mengemukakan hal itu kepada wartawan di Ruang Pameran TBSU, Senin (7/3) sore.

“Garapan kali ini agak berbeda, kita coba gabungkan tiga bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sedangkan selama ini kita khusus menggunakan bahasa Batak Toba,” jelasnya.

Menurut Thompson, pergelaran Si Jonaha di Medan ini merupakan yang ketiga setelah sebelumnya pernah ditampilkan pada acara Pesta Danau Toba dan di Batam tahun 2010. Berdasarkan pengalaman dua pergelaran terdahulu itulah, kata dia, muncul gagasan untuk menghadirkan opera Batak sebagai tontotan yang bisa dinikmati masyarakat semua etnis.

“Karena memang, dari pengalaman pementasan-pementasan sebelumnya terasa ada benang merah yang memungkinkan penonton dari berbagai latar etnis menikmatinya juga dan disadari ada sedikit kendala dalam hal bahasa yang digunakan. Itulah makanya, kali ini kami coba meminimalkan kendala itu dengan menggarapnya dalam empat bahasa meliputi bahasa Batak Toba, Simalungun, Karo, dan bahasa Indonesia,” papar Thompson.

Soal pemain, dia menjelaskan, pergelaran Si Jonaha akan didukung 16 pemain dari tiga generasi mulai generasi muda hingga generasi tua. Di antaranya, imbuh Thompson, maestro opera Batak yang sudah selama 36 tahun bergabung bersama kelompok Opera Batak Serindo pimpinan Tilhang Gultom dan sudah cukup ternama, yakni Zulkaidah Br Harahap dan Alister Nainggolan.

Ditambahkan Ojak Manalu, dari pengalaman pergelaran di Batam jumlah penonton mencapai antara 5.000 hingga 6.000 orang dari kapasitas gedung pertunjukan untuk 7.000 penonton dan pada Pesta Danau Toba lalu jumlah penonton bahkan membludak, pihaknya yakin di TBSU pun akan mendapat sambutan antusias dari masyarakat.

Untuk itu, lanjutnya, masih dibuka kesempatan bagi para calon penonton untuk memperoleh tanda masuk, di TBSU Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan, Galeri Payung Teduh Jalan Sei Bingei No 1, Kedai Kopi Tradisi Jalan Setia Budi No 12 F Pasar I Tanjung Sari, dan Rumah Buku Medan Jalan Jamin Ginting No 514 Padang Bulan. Si Jonaha dihadirkan empat kali pertunjukan dalam dua hari. Yakni, pukul 15.00-16.30 WIB khusus pelajar dan pukul 19.30-21.30 WIB untuk umum/mahasiswa. (ys rat)

Bersama D’lick Theater Team
Nonton Lagi “Fajar Sadik” Setelah 18 Tahun
SENIN, 13 Desember 2010 pukul 16.00 WIB, berada di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan, ingatan kembali ke kenangan masa lalu. Kali ini, nonton lagi “Fajar Sadik” karya Emil Sanosa, yang 18 tahun lalu di tempat itu juga dipentaskan D’lick Theater Team, dengan sutradara yang sama, Yondik Tanto.
Jika 18 tahun lalu “Fajar Sadik” dipentaskan pada Festival Drama Epos Perjuangan 1945 Tingkat Sumut dan D’lick Theater Team berhasil meraih enam kategori pemenang sekaligus ditetapkan sebagai juara umum, kali ini mengisi Pergelaran Seni Teater Program UPT TBSU-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, yang kepanitiaannya diketuai Drs Bangun Nasution.

Adakah yang beda di pementasan “Fajar Sadik” kali ini dengan 18 tahun lalu? Kecuali sutradara, yang pasti perbedaan di para pemain. Kini, C Rizky (Maryoso), Jali Kendi (Ahmad), Ilham Wahyudi (Sersan), Andy Mulky (Kiai), dan Yusra Lubis (Julaiha/adik Ahmad). Sedangkan di pementasan 18 tahun lalu antara lain Eddy Siswanto (Maryoso), Monos Ra (alm/Ahmad), Sampir (Kiai) dan Susi Suhaimi (Julaiha).

Lantas, selebihnya? Ada kesamaan dan perbedaan. Kerja penyutradaraan Yondik kali ini masih sama dengan 18 tahun lalu, mampu menjadikan “Fajar Sadik” tetap mempunyai daya tarik ditonton sepanjang satu jam lebih hingga akhir pementasan. Bedanya, pemeran yang diandalkan masih kurang mampu menjiwai “ruh” sesungguhnya dari “Fajar Sadik” dibandingkan mereka yang memerankan lakon ini 18 tahun lalu.

Ahmad dan Maryoso
“Fajar Sadik” diawali pertentangan putra Kiai, Ahmad dengan Maryoso yang merupakan teman sekaligus murid kesayangan ayahnya. Atas petunjuk Ahmad kepada kaum kolonial, pesantren di mana Sang Kiai menempa para santri yang juga dijadikan markas para laskar pejuang di bawah pimpinan Maryoso, dibakar habis oleh penjajah sehingga banyak jatuh korban.

Mengesampingkan persoalan teman sekaligus putra Sang Kiai, Maryoso menjadikan Ahmad sebagai tawanan dan segera akan menjatuhkan hukuman mati dengan cara ditembak. Maryoso berpendirian, perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tidak memandang seseorang sebagai teman dan putra Sang Kiai yang juga merupakan gurunya. Bagi Maryoso, Ahmad harus dihukum setimpal atas pengkhianatannya yang telah menelan banyak korban.

Sedangkan bagi Ahmad, tindakannya memberitahu pesantren milik sang ayah sebagai markas para pejuang sebagai aksi balas dendam atas kematian ibunya yang menurut dia disebabkan Maryoso. Itu terjadi karena di tengah situasi teramat gawat, istri kiai yang adalah ibu Ahmad berlari keluar dari persembunyiannya di dalam pesantren. Menghadapi hal itu, tak ada tindakan lain bisa dilakukan kecuali menembaknya demi menghindari pihak kolonial mengetahui markas para laskar pejuang di pesantren itu.

Rasa dendam itulah yang dibalaskan Ahmad dan itu dikemukakannya di hadapan Maryoso ketika dia ditawan. Sementara Maryoso, kalaulah Ahmad merasa perlu menuntut balas atas kematian ibunya, sehingga korbannya para laskar pejuang dan para santri, ditambah kedua orang tua Maryoso sendiri, kepada Ahmad dia mempertanyakan; tidakkah dia juga sesungguhnya perlu menuntut balas jika hanya mementingkan diri sendiri?

Di saat pertentangan antara Ahmad dengan Maryoso semakin memuncak, muncullah Kiai dan mengajukan tuntutan kepada Maryoso agar menghukum gantung Ahmad, karena menurutnya hukuman tembak terlalu ringan untuk seorang pengkhianat seperti dia. Kiai tak mau Maryoso menghukum tembak Ahmad dan bukan menjatuhkan hukuman gantung karena pertimbangan dia anak kandung beliau yang juga guru Maryoso sendiri.

Maryoso kukuh pendirian. Ahmad dihukum mati dengan cara ditembak. Cara itu dia lakukan dilandasi pertimbangan kemanusiaan, bukan lantaran Ahmad sebagai bekas teman dan anak Kiai yang juga gurunya. Ketegangan pun masih dipengaruhi lagi oleh kehadiran adik perempuan Ahmad, Julaiha, yang meminta ayahnya menggunakan pengaruhnya terhadap Maryoso untuk membatalkan hukuman mati Ahmad.

Tapi, perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tetap di atas segalanya. Hukuman mati di hadapan regu tembak tak bisa diurungkan terhadap Ahmad atas pengkhianatan menunjukkan pesantren milik ayahnya yang dijadikan markas para laskar pejuang dan juga terdapat banyak santri, sehingga akhirnya dibumihanguskan oleh kaum kolonial.

Sekadar tambahan. Yondik Tanto sebagai sutradara pastilah memberikan arahan perihal penjiwaan peran kepada para pemain “Fajar Sadik” dan hal ini sudah terlihat membuahkan hasil. Hanya, kerapnya di beberapa adegan para pemain lepas dari kontinuitas penjiwaan perannya, sangat berpengaruh terhadap kestabilan komposisi dan penguasaan area pentas. Juga, kehadiran perangkat pendukung seperti tata rias, busana, pentas, dan lampu masih jauh dari totalitas yang semestinya.

Hanya perlu sedikit lagi upaya – tentunya bermodal keseriusan – sangat mungkin pementasan “Fajar Sadik” yang kali ini telah memiliki daya tarik, akan semakin menarik ditonton. Karenanya, Anda yang gemar nonton teater layak menunggu sekaligus bersiap untuk kembali menonton “Fajar Sadik” yang memang sedang dipersiapkan Yondik Tanto untuk program pergelaran D’lick Theater Team ke depan. (ys rat)

Perupa Muda Sahala Hadirkan 3 Puak di Opera Batak
Kelompok perupa Sahala akan menghadirkan nuansa puak Karo, Simalungun, dan Toba di atas panggung Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), 11-12 Maret 2011 mendatang, pada pementasan Opera Batak Si Jonaha. Di samping itu Sahala juga akan menggelar pameran lukisan dan karya rupa lain di pelataran parkir TBSU. Yanal Zendrato, salah satu anggota Sahala, mengatakan, keterlibatan mereka pada pementasan Si Jonaha yang digelar Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) merupakan pengalaman pertama Sahala sebagai tim artistik panggung. "Ini sebuah bentuk kepercayaan dari teman-teman di PLOt kepada kami selaku perupa-perupa muda," sebut Yanal.
Sahala sebagai sebuah kelompok perupa dibentuk oleh empat mahasiswa Universitas Negeri Medan (Unimed) pada medio 2008. Deppi Tarigan, Julister Sinurat, Ranjaya Siahaan, dan Yanal Zendrato mendirikan Sahala sebagai pengungkapan rasa kehilangan terhadap Galeri Tondi. Galeri Tondi, seperti diakui Yanal, ketika masih eksis, telah memberi ruang kreativitas bagi mereka. Di galeri yang didirikan perupa Grace Siregar ini, mereka pernah menggelar pameran. Di Galeri Tondi pula mereka berkesempatan berdiskusi dengan perupa-perupa nasional yang berpameran di sana.

Sebagai sebuah kelompok perupa Sahala menyadari pentingnya sebuah galeri. Pasca Galeri Tondi, mereka sempat berpindah-pindah tempat memamerkan karya-karya mereka. Namun, sejak Januari lalu mereka telah memiliki galeri permanen di Jalan Garuda Raya No 4 Perumnas Mandala.

"Di sana kami termotivasi membangun minat anak-anak muda Medan pada seni rupa. Mengisi pentas Opera Batak Si Jonaha bersama PLOt adalah salah satu kesempatan dan kebanggan buat kami untuk menunjukkan kreativitas kami," tegas Yanal optimis.

Sekedar informasi, pertunjukan Si Jonaha sendiri akan dilakukan dalam 4 pertunjukan selama 2 hari. Pertunjukan sore pukul 15.00-16.30 WIB dikhususkan bagi pelajar dan pertunjukan malam 19.30-21.30 WIB bagi umum dan mahasiswa.

Undangan pertunjukan ini dapat diperoleh di TBSU Jalan Perintis Kemerdekaan no 33, Medan, Galeri Payung Teduh Jalan Sei Bingei no 1, Kedai Kopi Tradisi Jalan Setia Budi No 12 F Pasar I Tanjung Sari, dan Rumah Buku Medan Jalan Jamin Ginting No 514 Padang Bulan.

"Kami juga akan bekerjasama dengan Sanggar Tinuang dalam membangun nuansa Karo di panggung pementasan itu," tutup Yanal mengakhiri. (Jones Gultom )

Dunia Kesenian: Mempertanyakan Nurani dan Kepedulian

M. Yunus Rangkuti

Pada 27 – 29 April 2008,beberapa waktu lalu, penulis diundang panitia sebagai peninjau pada acara “Temu Penyair 5 Kota” di Payakumbuh, Sumatera Barat. Acara berlangsung sukses. Kesuksesan ini terlihat dari besarnya kepedulian Pemerintah Kota Payakumbuh, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Dewan Kesenian Daerah Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatera Barat, Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Payakumbuh, Universitas Andalas, Komunitas Seni Intro, serta antusias masyarakat setempat. Terlebih di Nagari Taeh, kampungnya Penyair Khairil Anwar. Ratusan masyarakat antusias mengikuti acara mengenang penyair ternama tersebut.
Kita mungkin berbangga hati membaca biodata Khairil Anwar yang dilahirkan di Medan. Apakah daerah ini merasa memiliki sastrawan tersebut? Setiap kali bulan April tiba, kegiatan apa yang kita laksanakan untuk mengenangnya? Masyarakat Nagari Taeh beserta jajaran Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, dan Pemerintah Sumbar telah menyatakan Khairil Anwar adalah penyair yang lahir dari daerahnya.
Besarnya kepedulian dan antusias pemerintah dan masyarakat daerah tersebut, merupakan hal yang hampir-hampir tak tampak di sini. Berkali even kesenian yang diselenggarakan di Medan khususnya, tampak sepi. Baik dari peserta, undangan, maupun masyarakat yang menyaksikan acara tersebut. Sementara pelaksanaan acara berlangsung seadanya, sebab kurang mendapat dukungan dari pemerintah dan instansi yang terkait. Terutama dalam pendanaan.
Beberapa kali kegiatan yang seharusnya dilaksanakan harus molor dari jadwal, diundur tanpa kepastian, atau terpaksa dibatalkan, karena kesulitan dalam pendanaan dan fasilitas. Contoh kasus, ketika Medan ditetapkan sebagai tuan rumah “Temu Penyair se-Sumatera 2004”. Bertahun acara tersebut tak terlaksana. Baru terselenggara pada Desember 2007 lalu, disatukan dalam kegiatan “Temu Sastrawan se -Sumatera/ Sumatera Utara”.
Sesungguhnya kekurangpedulian bukan hanya terlihat di setiap kegiatan kesenian, namun semua hal terkait di bidang kesenian. Termasuk pelaku seni atau seniman yang sesungguhnya adalah asset. Seperti halnya olahragawan, politikus, tekhnokrat, atau kalangan bisnis. Padahal, banyak seniman Sumatera Utara yang karyanya telah mengharumkan Sumatera Utara di tingkat nasional dan internasional.
Bisa dikata, hanya seniman di bidang musik dan tari yang berkali merasakan “manisnya” kucuran dana pemerintah. Sedangkan seniman di bidang sastra, teater, lukis, dan kriya hanya sesekali mencicipi. Itu pun harus pontang-panting untuk meminta dana. Tahun-tahun belakangan ini Dewan Kesenian Sumatera Utara, Dewan Kesenian Medan dan daerah tingkat dua lainnya nyaris tak mampu melaksanakan kegiatan. Termasuk juga Taman Budaya Sumatera Utara, dikarenakan tak memiliki anggaran. Beberapa seniman yang diundang menghadiri kegiatan di daerah lain urung berangkat, karena kesulitan dana.
Pahitnya suasana berkesenian di Sumatera Utara sangat dirasakan para seniman dalam hidup dan kehidupannya, hingga akhir hayatnya. Satu dua menjalani masa tuanya terlunta-lunta. Di mana nurani dan kepedulian kita?
Masih membayang di mata kita kondisi penyair N A. Hadian yang sakit-sakitan menjelang akhir hayatnya. Beliau bahkan beberapa hari “terdampar” di pelataran musholla TBSU. Hanya seniman yang peduli padanya. Tiada uluran tangan pemerintah daerah membantu biaya perobatannya. Setelah beliau meninggal, penghargaan apa yang telah diberikan padanya? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya?
Kondisi-kondisi yang hampir sama juga dialami dialami seniman kita yang telah meninggal, ataupun saat ini sakit-sakitan. Dunia kesenian kita berkali berkabung, disaat senimannya meninggal dunia. Buoy Hardjo, Maruli Simbolon, Amiruddin AR, Danil Eneste, Rusli A. Malem, Lazuardi Anwar, Sirto Yono, Monos Ra, M. Yunus Matondang, Tantowi Yunus, Slamet Khairi, Usman Al Hudawy,dan Raswin Hasibuan. Mungkin hanya seniman, keluarga, kerabat dan tetangga yang peduli dan sangat merasa kehilangan.
Apakah kondisi seperti ini dirasakan juga di daerah lain? Mungkin saja sama, atau malah sebaliknya. Mereka para seniman justru sebegitu dipeduli oleh pemerintahnya. Seorang sastrawan Medan, pernah menulis tentang sastrawan ternama Propinsi Riau mendiang Idrus Tintin, ketika beliau menderita sakit. Dia menceritakan betapa tingginya kepedulian masyarakat Riau dari berbagai kalangan. Termasuk juga dari Sumatera Barat dan Sumut.
Mulai dari gubernur, walikota, wakapolda, Rektor Universitas Negeri Riau, pejabat pemerintah setara lainnya hadir membesuk Idrus Tintin di rumah sakit. Kepedulian dan simpati yang dalam juga diperlihatkan kalangan budayawan dan seniman Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Dari Medan, seorang pejabat mengirim bantuan alat perobatan. Bagi sebagian besar masyarakat Riau, Idrus Tintin adalah sosok seniman yang pantas dihormati.
Ah, kepedulian seperti itu sesuatu yang langka di sini.


Penulis: Pegiat di Komunitas Home Poetry

Maha Ada di Suka Duka Jiwa

Maha Ada di Suka Duka Jiwa
Cerpen: M. Yunus Rangkuti
Duka tak mengerti, mengapa Jiwa cenderung mengabaikannya. Jiwa ternyata lebih condong pada Suka. Di mana dan ke mana pun mereka berada, Jiwa selalu saja memperlihat dan memperkenalkan Suka. Jiwa sebegitu membanggakan Suka. Duka merasa Jiwa selalu menutupi keberadaannya. Tak memperlihatkan, membicarakan, bahkan berupaya melupakannya. Padahal, di saat Jiwa ditinggal Suka berlama-lama, Duka begitu setia menemani. Menanti kapan Suka akan kembali, atau turut mencari ke mana Suka pergi. Meski penantian dan pencarian memakan waktu, menguras apa saja, atau hanya sia-sia.
Duka merasa Jiwa terlalu memanjakan Suka. Merasa Suka adalah segalanya. Berkali. Duka menyaksikan Jiwa bagai lepas kendali saat bermanja dengan Suka. Sebenarnya Duka tak cemburu, Duka tak ingin Jiwa menjadi lalai. Namun, saban kali Duka mengingatkan, Jiwa justru menyalahkannya. Duka malah dianggap sebagai penyebab perginya Suka. Duka tak pernah membantah Jiwa. Duka menampung segalanya. Segala amarah dan keluh-kesah. Duka berusaha meyakinkan Jiwa, bahwa Suka pasti kembali, andai bersabar dan terus berupaya. Tapi entah mengapa, Jiwa justru melupa di saat Suka telah kembali berada. Jiwa kembali bermanja-manja dengan Suka. Berulang ini terjadi, namun Duka tetap setia menemani.
Apakah Jiwa telah melupakan perjanjian yang mereka ikrarkan di hadapan Maha? Atau Jiwa tak menyadari dan kembali mengulangi sebentuk kesalahan pernah terjadi? Di mana pada awal Jiwa ada dan berada, Duka pun dihadirkan. Maha menyatukan mereka. Sementara keberadaan Suka sepenuhnya ada pada Maha. Namun Jiwa menginginkan Suka. Jiwa merasa hampa, merasa tak sempurna tanpa memiliki Suka.
“Ya Maha, berikan daku Suka, agar sebagai Jiwa daku mempunyai rasa seutuhnya.” Berkali Jiwa mengulangi permintaan kepada Maha. Maha pun berkenan, dengan persyaratan Jiwa harus berupaya dan selalu menjaga.
“Sepenuhnya Suka milikku. Aku hanya memberi seperkian saja, karena kau tak akan sanggup menjaga.”
Lalu satu waktu, Jiwa sebegitu takjub melihat sebentuk mirip dengannya. Sebentuk yang seketika mengusik perasaan. Sebentuk yang tampak sedemikian mempesona.
“Apakah kamu Suka?” Sebentuk itu mengangguk. Seketika Jiwa pun melupa keberadaan Duka.
Satu waktu Suka merayu Jiwa. Jiwa tergoda. Maha murka, karena Jiwa telah melanggar pantangan.“Aku berikan Suka agar kau selalu mengingatku. Mengapa engkau melupa?”
“Ampuni daku Maha.”
“Aku mengampunimu, namun untuk itu engkau harus menjalani satu rentang waktu pada suatu tempat. Duka akan selalu menemanimu. Pada rentang waktu dan tempat tersebut Suka akan berada. Suka kuhadirkan dalam berbagai unsur dan bentuk. Suka adalah rahasiaku. Aku yang menentu dan mengatur kapan kuperlihat dan kuberikan. Aku yang berkuasa mengambilnya kembali. Ingatlah! Suka adalah bagianku, maka jangan sesekali melupakanku.”
Jiwa pun mengembara pada suatu tempat menjalani satu rentang waktu. Duka selalu mengisi hari-harinya. Jiwa terpana menyaksikan alam barunya. “Apakah ini seluruhnya adalah Suka? Lalu, di mana Suka yang pernah kurasa? Suka yang menemaniku bersenda-canda?” Benak Jiwa dipenuhi tanya.
“Duka, bantulah daku menemukan Suka.”
“Bukankah seluruh yang berada di sekitarmu adalah Suka?”
“Daku menginginkan Suka dalam sebentuk penuh pesona.”
“Berupayalah Jiwa.”
“Upaya bagaimana daku lakukan? Daku merasa sebegitu hampa.”
“Selalulah mengingat pada Maha.”
“Bagaimana caranya?”
“Bersamaku kau kan selalu mengingat.”
Jiwa pun berjalan bersama Duka. Melangkah menyusuri sungai, menempuh rimba belantara, mendaki perbukitan, dan menuruni lembah. Berhari, berbulan, bahkan bertahun. Lalu pada satu waktu di satu tempat datar meluas, Jiwa akhirnya bersua Suka yang pernah mempesonanya. Jiwa dan Suka kembali bersatu.
***
Waktu terus berlalu. Jiwa bertebaran di mana-mana. Saling berlomba memperebutkan Suka. Sesama Jiwa bertikai, berperang, dan saling bunuh untuk mendapatkan Suka Demi Suka Jiwa kembali melupa Maha. Berkali Maha menegur Jiwa melalui Duka, namun hanya sesaat Jiwa mengingat Maha.
Jiwa merasa telah memiliki Suka sepenuhnya. Jiwa justru menganggap telah mencipta Suka. Untuk itu Jiwa berhak sepenuhnya akan keberadaan Suka. Jiwa telah melupakan perjanjiannya di hadapan Maha.
Jiwa kecewa, ketika Maha mengambil sebagian atau sepenuh Suka darinya. Ketika Maha menebar Duka, Jiwa merasa teraniaya. Jiwa tak bias menerima. Bagi Jiwa Duka hanyalah fenomena biasa yang segera sirna. Ketika Duka berkepanjangan, Jiwa berkeluh resah. Jiwa tak bisa menerima. Jiwa protes, mempertanyakan Maha:
Maha,
Duka ini milikmu
Mengapa daku harus merasa?
Maha tak lagi langsung berkata mengingatkan Jiwa. Maha tak lagi menegur lewat kata-kata. Sejak awal Maha telah memperingatkan Jiwa. Bagi Maha segelintir Jiwa yang mengingat, adalah lebih utama. Merekalah Jiwa-Jiwa mulia. Jiwa-Jiwa yang kelak berhak menikmati Suka sepenuhnya.
Ingatlah Jiwa,
Ketika Duka engkau rasa
Sesungguhnya aku menyapa
Mengapa engkau melupa?
Maha tetap mempertahankan Duka pada Jiwa. Melalui Duka, Maha memperingatkan Jiwa yang berlomba memperebut Suka. Bermanja atau justru membanggakan Suka. Entah mengapa, berjuta Jiwa tak juga bisa menerima akan Duka. Di kala Suka Jiwa melupa Maha, di kala Duka Jiwa mempertanyakan Maha.
“Maha, Maha! Mengapa Duka selalu mendera?”
Jiwa selalu merasa Duka jadi penyebab terengutnya Suka. Di kala Duka kian terasa, Jiwa-Jiwa berlomba enyahkan Duka. Seakan Duka tiada dan tak perlu ada. Bukannya memakna, mengapa tercipta Duka. Mengapa Maha Hadirkan Duka?
Satu waktu jiwa kembali bertanya pada Maha:
Di mana engkau
Rupa tiada*
Jiwa sebenarnya tak merindu Maha. Jiwa tak bisa menerima kehilangan Suka. Entah kenapa, Jiwa sebegitu mudah melupa atau tak menerima bahwa Maha adalah segalanya. Maha berada di mana saja. Pada Suka maupun Duka. Maha ada di Suka Duka Jiwa.
Medan, 0508
* dari Padamu Jua, Amir Hamzah

MAHA BENCANA

inilah maha bencana sesungguhnya
ketika di mana-mana limbah meruah membuncah
mempolusi apa saja siapa saja
hari ke hari pabrik-pabrik industri
memuntah jutaan ton limbah organik dan non organik
parit, sungai, danau terkontaminasi
limbah kian melarut pekati laut
segala biota terancam binasa
dalam sampan nelayan diam muram
ikan-ikan menjauhi tepi pantai
mencari sarang, karena terumbu karang telah hilang
limbah bak arus terus menggerus
menggulung tak terbendung
air, tanah, udara diperkosa

apa yang kita rasakan, ketika
suhu bumi mulai meningkat saat lidah api menjilat
karena atmosfir nganga terkoyak
apa yang kita alami, ketika
badai radiasi matahari menggerogoti
kita bagai memabuk mimpi-mimpi buruk
melagu igau lalu kaku beku
ketika hutan ditebang dan dibakar
apa yang kita saksikan?
orang utan kehilangan dahan gegayutan
harimau menceracau tak tentu tuju
rusa dan beruang terus lintang-pukang
badak dan gajah melangkah lelah menuju punah
burung-burung bersenandung murung
kupu-kupu dan kumbang terbang gamang

ketika suhu bumi bertambah panas
hamparan salju beku pun mencair
meninggikan permukaan lautan
arus air deras mengalir membanjiri daratan
memporakporandakan tatanan kehidupan
apa lagi yang dapat kita lakukan
ketika virus penyakit terus mewabah
masihkah kita berpangku tangan
dan membiarkan peradaban musnah?

Medan, 2009

PARODI DIRI

sebegitu lesatkah matahari berlalu luluh? tanpa hangat menggeliat tubuh guyur hujan di dinihari menggerimis hingga pagi gigil dingin masih memilin kita hilang gegas dikemas malas
pada beranda senja kita merenda kata cerita purba menjelma di kepala menyisa tanya hampa , “apa, mengapa dan bagaimana” matahari melesap malampun mendekap apakah kita masih berharap mimpi membuai jadi berarti di esok hari
apa yang tersisa pada rentang siang? rutinitas tak pernah tuntas, resah tertumpah di jalan berbasah, pesona pelangi menari mimpi, atau kulik elang hilang peluang di ambang petang tapi mengapa pagi berkali kita khianati?
2008

M. Yunus Rangkuti lahir di Medan, 21 Maret 1966. Puisi-puisinya banyak menyebar di beberapa harian Medan. Selain itu beberapa karyanya sudah dibukukan dalam antologi bersama, seperti: ASA, DALAM KECAMUK HUJAN, TENGOK 4, AMUK GELOMBANG, JELAJAH, MEDAN PUISI, MEDAN SASTRA, MUARA TIGA, dll. Bergabung dalam komunitas FKS (forum kreasi sastra-Medan), LABSAS (laboratorium sastra), KSI (komunitas sastra indonesia-medan), GENERASI dan YA. Production. Bermukim di Desa Sampali, Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. No. Kontak: 081396936505 mengikuti kegiatan sastra Temu Sastrawan Nusantara 1996, Dialog Utara Indonesia-Malaysia 2001, Temu Penyair Lima Kota Payakumbuh 2008, Temu Sastrawan Indonesia Jambi 2008.Bersama M. Raudah Jambak, Afrion, Djamal, S. Ratman Suras, Saiful Amri, dll, mengusung Komunitas HP (Home Poetry), SEKARANG sedang sibuk membidani RUMAH KATA bersama Nasib TS, Idris Siregar, Ratman Suras, Rina Mahfuzah, dkk.

Tumbuhkan Sastra Sejak Dini

Lelaki, Belati dan Tumini

SAMPAI beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Lelaki itu sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu membulatkan tekad menapakkan langkah. Lelaki itu menelusuri ruang-ruang basah. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya.
HUJAN masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu melangkah berkendara engah. Lelaki itu berjalan mengikis pongah. Hujan seperti bersimpati padanya. Tak henti membasuh luka sekujur tubuh yang mulai ringkih itu. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bukan. Bukan karena perih tubuhnya. Bukan lantaran guyur hujan dan deru angin. Tetapi, ada yang lebih pedih dari itu, hatinya.

Hatinya gulana. Semacam beliung yang tak henti-henti menderes batang nadi. Mengoyak bilah-bilah dada. Lelaki itu hanya tak menyangka. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala makna. Sehingga ia tak lagi sanggup mengunyah definisi-definisi setia. Tak sanggup meneguk tuak-tuak nisbi, Tumini, istrinya.

Pagi-pagi sekali, setelah menyusun botol jamu, Tumini menitip pamit padanya. Setelah melabuhkan bakul jamu di punggungnya, Tumini segera menapak langkah. Lelaki itu pelan-pelan mengutip kembali jejak yang ditinggalkan.

Biasanya Tumini selalu mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, meski jamu hanya sedikit yang berkurang.
“Hati-hati di jalan, ya...”
“Ya, Kang Mas...”

Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan beranjak dewasa dan momongan tak pernah singgah di gendongan, tak pernah ada kata luka dalam diksi puisi cinta mereka.

Kalau dihitung mungkin hanya sekali pertanyaan mengejutkan terlontar. Pertanyaan itu langsung terasa begitu mengganggu. Mencemari kisah hari-hari mereka.
“ Tadi siang aku melihatmu di terminal...”

“Ya, tadi aku sempat singgah...”
“Siapa laki-laki yang kerap memelukmu dari belakang itu?”
“Hanya pelanggan.”
“Pelanggan?”
“Ya, pelanggan.”

“Hanya demi segelas jamu kau biarkan laki-laki itu berbuat sesukanya?”
“Itu di luar kendaliku...”
“Kebetulan hanya satu itu yang sempat terlihat...”
“Maksudmu?”

“Mungkin yang tidak terlihat lebih dari itu...”
“Ooo, berarti kau sudah berpikiran, bahwa aku perempuan murahan, begitu!?”
“Aku tidak berpikiran seperti itu.”

“Tetapi kata-katamu menuduhku seolah-olah aku bukan perempuan baik-baik,” Tumini menarik napas, “Mas, dengar. Seburuk apapun aku di pikiranmu, aku tidak akan menodai perkawinan kita.”

“Aku percaya.”
“Kalau kau percaya mengapa kau menuduhku seburuk itu.”
“Aku hanya kuatir.”
“Percayalah, Mas. Kalau kau percaya itu lebih cukup bagiku untuk tetap setia.”
“Aku percaya.”

“Ya, aku juga percaya padamu. Aku percaya kau tidak akan pernah berkhianat padaku...”
Setelah pembicaraan itu memang tak ada lagi kata-kata. Kata-kata sepertinya hanya pengantar ke puncak gairah. Kata-kata berganti irama desah. Berganti lumatan, pagutan, dan rangsang gelinjang. Hujan pun seperti telah ditakdirkan mengambil perannya sendiri. Menghadirkan orkestra romantis yang begitu puitis.
***

SEBAGAI seorang pengangguran, lelaki itu selalu menimbun malu. Harga dirinya sebagai seorang lelaki sering terusik. Ia ingin mendapatkan pekerjaan tetap, tetapi hanya pekerjaan semrawutan yang bisa ia dapat.

Ada rasa sedih, marah, kecewa, bercampur aduk dalam benaknya. Ingin rasanya ia menjadi suami seutuhnya. Kepala keluarga yang sebenarnya. Suami yang mencari nafkah, istri yang menjadi ratu di rumah. Tetapi, hal itu belum mampu diwujudkannya. Istrinya yang mencari nafkah, ia sebagai suami hanya melukis sesal di rumah.

“Kita belum punya anak...,” lelaki itu mulai mengeja cerita, suatu kali di beranda.
“Mas, jangan mulai lagi...,” Tumini menyeka air mata.

“Maksudku, sebagai seorang lelaki, aku ingin kau menjadi istri seutuhnya,” lelaki itu menyalakan sebatang rokok di tangannya, “Aku hanya tidak sampai hati melihatmu yang harus luntang-lantung mencari nafkah. Sementara aku hanya penjaga rumah yang tidak memiliki daya.”
“Mas, aku ikhlas menjalani ini semua. Aku hanya ingin membantumu..”
“Dan aku tidak sampai hati melihat semua itu...”

“Mas, dengarkan aku. Tidak ada setitik pun dalam pikiranku merendahkanmu. Kau adalah pahlawanku. Aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Dan aku hanya bisa melakukan itu. Aku hanya bisa sebagai penjual jamu. Aku tidak bisa lebih dari itu. Percayalah.”

Kembali lelaki itu tersengat tak berdaya. Di matanya Tumini adalah sosok perempuan yang betul-betul sempurna. Selalu saja siraman-siraman sejuk yang terlontar dari bibir mungil Tumini. Keyakinannya semakin cadas. Rasa percayanya kepada Tumini sepadat logam. Lelaki itu semakin pasti. Pasti akan kesetiaan Tumini.
***

PAGI-pagi sekali lelaki itu pergi, setelah merapikan botol jamu Tumini. Tumini berselubung sakit. Menitip maaf padanya. Setelah melabuhkan kecup di dahi Tumini, lelaki itu segera menapak langkah. Lelaki itu diam-diam merangkai kejutan, mencatat pada jejak yang ditinggalkan.

Kali ini lelaki itu seolah mendapatkan kesempatan mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, menabalkan niat kejutan cinta yang lama terpendam walau hanya sekadar setangkai kembang.

“Hati-hati di rumah, ya...”
“Ya, Kang Mas...”
Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan beranjak dewasa, dan momongan tak pernah singgah di gendongan. Dan kesempatan ini tidak akan begitu saja dilupakan sebagai pengerat diksi puisi cinta mereka.

Sampai beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Lelaki itu sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu membulatkan tekad menapakkan langkah. Lelaki itu menelusuri ruang-ruang basah. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya.

Hatinya membunga. Semacam taman yang tak henti-hentinya menebarkan semerbak aroma surga. Menyusup pada bilah-bilah dada. Sesampainya di rumah, lelaki itu menggelupurkan sesak dada. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala bahagia. Sehingga ia tak paham lagi mengunyah definisi-definisi setia.

Entah apa yang merasuk di kepalanya. Ada amuk yang mengelora. Ranjangnya membanjir gairah. Ranjangnya ditenggelamkan irama desah. Bukan gairah miliknya. Bukan irama desah miliknya. Setangkai melati di tangannya ikut merasakan deru amarah. Seketika tenggelam bermandikan darah. Belati di tangannya memerah. (Cerpen M. Raudah Jambak)

Cerpen Muram Batu
Berhenti Bermain Luka
KAU tersenyum. Kau dapat peran baru. Kau pulang dengan ringan. Kau telah menerima kesempatan untuk mengubah karakter. Ya, sejak bergabung dengan kelompok sandiwara itu, kau selalu saja kebagian karakter yang sama; perempuan yang kehilangan kekasih. Peran yang cocok, sebenarnya. Setidaknya, penonton suka dengan peran yang kau mainkan. Namun, pergolakan dalam dirimu telah mengalahkan tepuk riuh penonton. Kau butuh yang lain. Kau butuh tantangan peran. Dan, kini semuanya telah di tangan.
LAYAR tutup. Panggung gelap kembali terang. Suara penonton perlahan menjauh, meninggalkan bangku-bangku yang sebelumnya penuh. Anggota pentas mulai mengangkati properti satu persatu. Pelan namun pasti, panggung kembali kosong. Kau duduk bersila di sudut panggung, menatap layar, tanpa gerak. Sama sekali tidak terpengaruh oleh suara ribut; ucapan selamat atau basa-basi penuh suka.

Ini ketiga kalinya kau duduk seperti itu sehabis pentas. Kali pertama memang sempat mencuri perhatian hingga sebagian besar orang berebut lempar kata untukmu. Kali kedua pun hampir sama, walau berkurang, tetap saja ada orang yang bertanya juga beri tanggapan.

“Nauli, ada apa?”
“Nauli, kau sakit?”
“Kau belum makan?”
“Sudah, lupakan saja, ini hanya sandiwara. Besok masih ada peran lain untukmu. Jangan terbawa karakter itu terus. Sudah sana, bersihkan tata riasmu!”

Kali ini tak ada yang bertanya. Mungkin mereka malas. Sekian kata yang mereka lontarkan, dalam dua kali kesempatan, tak mendapat respon.

Dan, kali ini kau malah menangis. Menatap layar hitam dengan linangan air mata. Sendiri. Kau pun semakin tenggelam. Sebuah tangis bukan untuk diperhatikan atau mencari perhatian, tangis untuk dirasakan. Sesuatu yang pribadi.

Ketika suara-suara semakin hilang dan ketika raga pergi satu-satu, kau baru mulai melihat sekeliling. Air mata telah kering dan kau pun siap berdiri.

Sayang, kau tak perhatikan, lelaki yang sejak mula memperhatikanmu tetap di situ. Tepatnya di atas kepalamu. Ya, gara-gara tangismu, lampu yang harus ia lepaskan belum juga terlaksana. Mungkin ia terenyuh, mungkin pula terhibur. Tangis pada sosokmu adalah sesuatu yang langka. Karena itu, ia berpegangan kuat pada besi, takut tak kuat menahan keterkejutan itu.
“Tunggu!” katanya begitu melihat kau berdiri.

Kau pun terkejut hingga sampai tak sadar berteriak. Lalu, kau mulai mencari asal suara. Kau mendongak. Dan, kau tertawa. “Ngapain kau di sana, Binsar?” tanyamu.

“Kau kenapa menangis?”
“Mencopot lampu?”
“Kau lagi ada masalah? Ceritalah...” Binsar dengan segera turun.
“Kau melihatku menangis, Binsar?” sambutmu ketika Binsar tiba tepat di depan.
“Tadi aku mau mencopot lampu, kulihat kau di bawah, sudah tiga kali. Tapi, baru kali ini kau menangis.”

“Aku lagi senang, Binsar.”
“Tangis senang beramai-ramai, sedang kau sendirian.”
“Aku senang sendirian.”
“Bukan, bukan itu. Kau pasti ada masalah.”
“Ya, sudah kalau kau sudah tahu. Aku pulang dulu.” Kau bergerak cepat.
“Tunggu dulu, Nauli!”

“Kau copot saja lampu itu. Nanti kau juga tahu...”
Kau keluar gedung. Sendirian. Kau naiki kendaraan pun tanpa teman. Setiba di rumah, kau hadapi kesunyian rumah tanpa orang lain. Dan, kau tersadar, tata rias belum terhapus. Di hadapan cermin kau tertawa keras. “Jadi, sepanjang perjalanan tadi aku tetap begini. Tetap menggunakan tata rias dan busana pentas? Dasar Nauli gila!”

Selagi melepas tata rias dan busana, kembali kau kenang pementasan terakhir. Cerita klasik. Cinta kasih yang berujung pada kematian. Tragedi cinta yang masih tetap diagungkan. Kisah tua yang tetap saja laku.

Kau menjadi perempuan itu. Perempuan yang menunggu. Di dermaga. Menanti kapal datang dari seberang membawa lelakimu. Sekian lama penungguan tak juga kau temukan yang diharapkan. Kau pun nyaris gila. Keluargamu menyarankan, malah memaksa, kau menerima pinangan lelaki lain. Lelaki yang sesungguhnya jauh dari bayangamu untuk menjadi suami. Kau berencana bunuh diri, kau kejar kapal yang belayar menuju seberang. Kau ingin tenggelam. Membawa cintamu yang telah karam. Saat itulah, lelakimu datang. Kau terkejut gembira. Kau kejar dia. Sayang, lelakimu membawa dua orang di sisinya. Seorang perempuan hamil tua dan seorang anak dengan ingus berwarna hijau. Kau terdiam. Lelakimu itu terdiam. Anak dengan ingus hijau menangis. Perempuan hamil tua curiga. Dan, cerita berakhir di sana. Di sebuah pertikaian yang berakhir dengan darah. Kau bunuh mereka; lelaki dengan istri dan anaknya. Kau pun gila. Dan, kau mati dalam kegilaan.

“Kenapa Nauli, kenapa kau selalu mendapat peran seperti itu? Kau tidak memerankan apa-apa, Nauli, kau hanya memindahkan hidupmu ke atas panggung. Kau bukan aktris, Nauli. Kau tidak bisa berakting!” kau muntahkan kalimat itu ke pembaringan. Kau suntuki dirimu hingga tertidur.
Kau bangun dengan mata bengkak. Suasana sudah condong melewati angka tiga di jam dinding. Tergesa kau ke kamar mandi. Terlalu banyak tidur selalu saja membuat perutmu tak enak. Semacam ada yang berontak. Dan ketika semuanya telah keluar, kau baru sadar, sebuah naskah baru harus kau terima sore itu juga.

Kau tiba di gedung pertunjukan yang menjadi markas kelompokmu tepat pukul lima. Sebagian besar orang telah datang. Telah menerima setumpuk kertas yang berisikan cerita. Namun, belum sempat kau dekati mereka, Binsar menghadang. “Sudah sehat kau, Nauli?”
“Memangnya aku sakit?”
“Tadi malam kau menangis.”
“Sekarang?”
“Ya, tidak lagi.”
“Ya sudah.”

Kau biarkan Binsar yang mengeluarkan tatapan bingung. Kau pun bergegas ke kumpulan orang-orang. “Aku mau peran yang lain. Aku bosan peran perempuan cengeng. Bertindak keras hanya karena hatinya sakit. Aku butuh peran yang menantang,” teriakmu begitu tiba di sana.
“Seperti apa?” balas salah satu dari kumpulan orang.
Kau terdiam. Bingung.

“Seperti seorang ibu yang begitu setia menunggu anaknya pulang dari merantau. Sekian tahun menunggu dan terus saja memasakkan makanan kesukaan anaknya walau sang anak tak pernah pulang?” sambung orang itu.

Kau masih terdiam. Masih bingung.
“Atau, seorang anak perempuan yang tak pernah pulang ke rumah ibunya karena tidak suka masakan ibunya?”

“Ya, yang kedua itu,” balasmu.
“Ya, sudah. Ambil ini,” ucap orang itu sambil melemparkan naskah. Dalam pikirannya, mungkin dengan peran barumu, kelompok sandiwaranya akan semakin laku.

Kau terima naskah itu dengan suka cita. Lalu, kau duduk tenang sambil menunggu perintah.
“Pelajari naskah, satu minggu lagi kita mulai latihan,” ucap orang itu.

Kau tersenyum. Kau dapat peran baru. Kau pulang dengan ringan. Kau telah menerima kesempatan untuk mengubah karakter. Ya, sejak bergabung dengan kelompok sandiwara itu, kau selalu saja kebagian karakter yang sama; perempuan yang kehilangan kekasih. Peran yang cocok, sebenarnya. Setidaknya, penonton suka dengan peran yang kau mainkan. Namun, pergolakan dalam dirimu telah mengalahkan tepuk riuh penonton. Kau butuh yang lain. Kau butuh tantangan peran. Dan, kini semuanya telah di tangan.

Namun, sebelum kau sampai bibir gedung, Binsar kembali menghadang. “Memang sudah sehat tampaknya. Ceria kali kau...,” katanya sambil terseyum lega. “Jangan menangis lagi, ya, Nauli,” sambungnya.

“Kau mau menjadi sapu tanganku setiap kali aku menangis?”
“Ya, kenapa tidak?”
“Kalau begitu, simpan jauh-jauh harapan itu, Binsar.”
“Bagaimana kalau aku jadi cermin tempat kau melihat senyum?”
“Untuk itu aku tak harus berpikir, cermin sudah kupecahkan.”
Lintas waktu. Kau perankan terus karakter seperti itu. Perempuan muda yang tak pernah sesuai dengan pilihan dan pandangan orang tua. Kau perempuan pemberontak. Individualis dan kurang peka.

Layar tutup. Panggung gelap kembali terang. Suara penonton perlahan menjauh, meninggalkan bangku-bangku yang sebelumnya penuh. Anggota pentas mulai mengangkati properti satu persatu. Pelan namun pasti, panggung kembali kosong. Kau duduk bersila di sudut panggung, menatap layar, tanpa gerak. Sama sekali tidak terpengaruh oleh suara ribut; ucapan selamat atau basa-basi penuh suka.

Tak ada yang mendekat. Tak ada yang memperhatikan. Kau sendiri menatap layar hitam. Kau melihat ke atas, tepat ke atas kepalamu, tak ada Binsar di sana. Kau pun mulai menangis.

Sayang, kau tak melihat Binsar di belakangmu. Jauh, di balik tumpukan properti yang telah dipinggirkan, siap disimpan dalam lemari atau belakang panggung. Ia lihat kau menangis. Segera saja ia datangi, “Kenapa kau masih menangis, Nauli?”
Kau terkejut dan langsung berlari. Kau pulang tanpa sempat menghapus tata rias maupun mengganti kostum.

Setiba di rumah kau tak tertawa. Kau semakin menangis di depan cermin. Dan kau pun berteriak. “Bodoh! Kau bodoh, Nauli! Kau tidak bisa berakting. Kau bukan aktris. Kau hanya memindahkan hidupmu ke atas panggung.”
Kau suntuki dirimu hingga tertidur.

Besoknya, tepat jam lima kau datangi kumpulan orang di gedung pertunjukan markas kelompok sandiwara itu. Binsar tak ada. Tak ada kata sambutan seperti biasa. Sepi. Binsar entah di mana.
“Aku berhenti.” Kau katakan itu pada kumpulan orang tanpa menunggu balasan mereka. Kau langkahkan kaki berbalik. Dan, kau sampai rumah, menatap cermin. “Kenapa kau Nauli, kenapa kau berhenti bermain luka. Bukankah dengan luka sesuatu yang indah akan semakin indah terasa? Kalau begini, kau memang bukan aktris! Kenapa kau pindahkan cerita panggung ke dalam hidupmu. Aktris yang terlena dengan perannya adalah bodoh. Dan, itu adalah kau!”
Kau suntuki dirimu. Namun, kali ini kau tak tertidur. Kau pandangi lagi cermin. “Belum kupecahkan, tapi kenapa Binsar tak ada? Aku ingin tersenyum...”

Medan April 2008



Info Buku

Judul Buku: Sastra Anak-Anak| Penulis: Dra. Mursini, M.Pd.| Penata Letak: Muhammad Yunus Nasution| Sampul :Aulia Grafika| Penerbit: Cipta Pustaka Media Perintis Cetakan: Pebruari 2011| Tebal: x + 232 halaman

“INILAH buku yang sangat penting dibaca mahasiswa, guru, dosen, bahkan
orang tua sekalipun. Demi membentuk karakter anak agar tidak bertindak
semberono melalui apresiasi dan pembelajaran sastra anak-anak.”

Buku “Sastra Anak-Anak” ini ditulis Dra. Mursini, MPd yang berprofesi sebagai dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Unimed. Selain mengajar, ia juga menjadi instruktur TOT-CTL, BKB, KTSP, dan Pendidikan Berwawasan Multikultural tingkat nasional. Beliau juga pernah dilibatkan menjadi instruktur pada TOT pembelajaran kelas permulaan di daerah bencana yang bekerja sama dengan NGO wilayah Aceh dan Nias. Sampai saat ini ia masih diamanahi sebagai instruktur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) wilayah Sumatera Utara.

Berbicara tentang buku sastra anak, sepuluh jari masih menganggur menghitungnya di deretan lemari buku . Padahal sastra untuk anak-anak dapat membentuk karakter positif pada anak. Dengan karya sastra, guru dan orang tua dapat menyuburkan kedekatan dengan anak, mendidik, juga menghibur. Anak akan terdidik dengan pesan-pesan yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Baik yang berupa puisi, cerita-cerita (prosa-fiksi), dan drama anak. Guru atau orang tua bisa menghibur anak-anak dengan tampilan sastra anak yang menarik dan pantas dikonsumsi anak-anak.

Sastra bagaimanakah yang bisa disuguhkan pada anak-anak?
Nah, biasanya anak-anak lebih menyukai sastra lisan. Sastra lisan anak dapat dicerna anak-anak saat mereka bermain, menjelang tidur, dan ketika mengikuti pelajaran di sekolah. Sastra lisan anak ini termasuk warisan pusaka, mereka bisa menelannya kapan saja mereka mau. Hanya saja yang menjadi pertanyaannya apakah semua guru atau orang tua memiliki warisan pusaka sastra tersebut? Bagi guru dan orang tua yang tidak kebagian warisan pusaka tersebut, jangan terlalu cemas. Sebab buku ini mengemas sebagian warisan tersebut yang bisa diberi pada anak. Semua akan menjadi perbendaharaan pada anak dan mereka bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga bisa menurunkannya pada anak-cucu mereka nantinya.
Mengapa Anak Meninggalkan Sastra?

Dewasa ini tak jarang kita lihat anak-anak bermain yang terkadang bernilai negatif, cabut sekolah dan mengendap di warnet. Bermain facebook, game online, dan permainan lain yang telah disediakan operator (pemilik) warnet. Bukan berarti kita menafikan teknologi dikenal anak-anak, tapi harus dengan pantauan dan bimbingan orang tua atau guru.

Kehadiran buku ini di tengah-tengah kita sangat membantu bagi mahasiswa yang ditugaskan menjaga adik atau keponakannya, guru mendidik muridnya, dan orang tua membimbing anaknya.

Bisa dikatakan anak zaman sekarang canggih-canggih, terkadang terlihat hanya bermain seperti biasa. Namun terkadang di balik itu semua ada hal yang juga harus kita perhatikan. Terkadang anak-anak jaman sekarang sudah berani taruhan (judi) saat mereka bermain. Miris memang jika kita menemukan anak yang mau seperti itu. Sebagai orang dewasa, setidaknya kita melarang anak tersebut jika kita temukan demikian, jangan hanya tinggal diam. Jika kita tinggal diam, lantas mau jadi apa si-anak tersebut jika telah dewasa nanti? Berjiwa bobrok. Haruskah yang demikian diwariskannya pada generasi berikutnya?

Dalam buku ini, tiap babnya mengupas sekelumit tentang sastra khususnya bagi anak-anak. Mulai dari karakteristik sastra anak, manfaat sastra anak, jenis cerita fiksi anak, sejarah komik, bahkan hal yang mendorong perkembangan bahasa dan sastra anak-anak di sekolah. Setidaknya buku ini berguna bagi para guru di sekolah dan orang tua di rumah tentunya.

Buku ini akan membantu bagi siapa saja yang siap mewariskan sastra dan mengabadikannya. Apakah Anda juga termasuk orang yang mampu membentuk karakter anak lewat sastra? Lihat saja efek dari buku ini setelah Anda membacanya dan mengajarkannya pada anak!
( M. Irsyad A Sungkunan Lubis )

Penulis adalah mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia Unimed, bergiat di Komunitas Mahasiswa Pecinta Sastra Indonesa
(Kompensasi). .

Puisi Kontemporer di Batin Penyair Muda Sumut
SECARA sederhana sastra kontemporer berarti sastra masa kini, sastra mutakhir, sastra yang hidup pada zaman sama. Sedangkan dalam arti luas, sastra kontemporer adalah sastra yang hidup pada masa kini atau dalam waktu yang sama, atau sastra yang bergerak mendahului zamannya.
Puisi kontemporer nyatanya lebih dipilih sebagian penyair muda karena stukturnya yang bebas dan tak mengikat sehingga akan mengalir begitu saja tanpa harus mempertimbangkan bunyi, irama dan sebagainya.

Keunikan karakteristik puisi kontemporer yang menarik, tantangan yang muncul ketika kita ingin memaknainya juga menjadi menu pilihan. Tidak jarang permainan bentuk dan tanda baca dipakai menggantikan kata-kata, seperti pada puisi-puisi Sutardji yang dianggap pelopor puisi kontemporer Indonesia.

Sementara bagi sebagian besar penyair muda lainnya, puisi konvensional yang memegang kesederhanaan bentuk dan mengutamakan isi dirasa lebih mengena dalam menyampaikan ide. Selain itu, menurut mereka puisi-puisi konvensional akan terasa lebih indah bahasanya.

Di dalam Komunitas Penulis Anak Kampus (Kompak) anggota dan calon anggota diarahkan untuk menulis puisi-puisi yang tidak keluar dari jalurnya. Mereka tidak dibiasakan membuat puisi yang semena-mena terhadap makna kata dan bahasa. Namun pada intinya, penulis sangat menjunjung kebebasan dalam berekspresi, khususnya dalam berpuisi. Bagaimanapun bentuk dan isi puisi mereka, penulis tetap memberi apresiasi. Sebab, lebih baik berkarya daripada hanya mencerca. Yang terpenting dari seorang penyair; bersyair. Setelah bisa bersyair barulah diarahkan bagaimana mengelola syair.

Tetapi nantinya jika mereka merasa ingin membuat karya-karya di luar jalur yang umum, atau dengan “tidak sadar” tercipta suatu puisi kontemporer dari mereka, hal ini tidak akan menjadi persoalan. Karena, seorang penyair bebas menuangkan ide-idenya.

“Tidak Sadar” di sini maksudnya bahwa dalam menciptakan karya sastra (dalam hal ini puisi) seseorang cenderung tidak berniat menciptakan puisi kontemporer sebelumnya, namun karena dorongan imajinasi yang entah kenapa menuntun penanya menggoreskan karya sedemikian rupa, terciptalah karya yang ternyata berciri kontemporer.

Senada dengan istilah licentia poetica, berupa kebebasan memanipulasi kata oleh penyair demi menimbulkan efek tertentu dan terkadang menabrak kaidah-kaidah dasar berbahasa. Penyimpangan dari kaidah dasar biasanya terjadi pada arti kosakata (leksikal), bunyi-bunyi kebahasaan (fonologi), tata makna (semantis) maupun tata kalimat (sintaksis), karena pada dasarnya mengarang merupakan usaha menggunakan bahasa secara maksimal untuk membangun “suatu dunia” dalam sudut pandang yang dipilihnya dan dalam prinsip yang dianut untuk membangun keserasian antara isi dan ungkapan.

Berhubung masih tergolong baru berkecimpung di dunia sastra, puisi kontemporer masih menjadi perdebatan di benak penulis dan mungkin juga di benak para penyair muda.

Ternyata, perdebatan di benak penulis itu telah lama pula jadi perdebatan dalam dunia sastra. Perdebatan yang dimaksudkan di sini adalah pertanyaan apakah simbol-simbol atau kata yang seolah dipermainkan itu mampu menyampaikan makna? Apakah sebuah kata yang dibentuk sedemikian rupa itu bisa disebut puisi? Sementara merujuk definisi puisi yang menyatakan bahwa puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan larik dan bait (Sudjiman: 1984), maka puisi semacam itu belum mewakilinya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang kerap muncul di pikiran penulis, juga pikiran para penyair pemula.
Tetapi bagaimana pun itu, puisi kontemporer telah berhasil meramaikan khazanah perpuisian di dunia sastra dan menjadi salah satu genre sastra yang mendapat tempat di hati pembaca, pun penyairnya. Di dunia akademis pun sastra kontemporer telah mendapat tempat pembahasan.

Memang tidak bisa dipungkiri, keunikan puisi-puisi kontemporer “mini kata” ini menjadi daya tarik tersendiri, sehingga kadang mempengaruhi imajinasi untuk membuat pula karya-karya serupa.

Berdasarkan pengamatan singkat yang penulis lakukan, beberapa penulis muda Sumut mengaku membuat puisi kontemporer dan mengirimkannya ke media massa lokal, namun puisi-puisi seperti itu jarang lolos. Penyebabnya mungkin saja sesuai dengan yang penulis pikirkan atau karena pertimbangan lain, itu semua berpulang kepada redaktur dan pengasuh rubrik sastra yang tentunya punya alasan jelas.

Kekontemporeran puisi karya penyair muda tentu berbeda-beda sifatnya, misalnya jenis puisi naratif yang sedang digemari para penyair muda Sumut, bahkan nyaris menyerupai prosa singkat sehingga sulit membedakan apakah itu sebuah puisi atau prosa. Akhir-akhir ini mulai menjamur pula fiksi mini (flash fiction) yang jumlah katanya sangat minim. Ini jelas-jelas membuat pemikiran menjadi tumpang tindih, terlebih bagi pemula yang belum begitu mafhum genre sastra. Lantas, ketika puisi-puisi keluar dari jalurnya namun tak mencapai posisi kontemporer, dimunculkan istilah semi-kontemporer.

Letak kekontemporeran atau tidaknya puisi penyair pemula bisa kita lihat pada karya-karya mereka di media massa lokal. Akhirnya, segala pertanyaan dan perdebatan keberadaan sastra kontemporer khususnya di Sumut, lagi-lagi hanya menjadi perdebatan batin penyair muda dan akan terjawab seiring perkembangan kedewasaan proses kreatif mereka. (wahyu wiji astuti)

Indah Zuhairani Siregar

Secuil Cinta Setelah Tanah Masak

Maka dengan setangkai malam,
kuciptakan kau kekasih
Bahkan dari belukar yang semak di dadaku
Dan rimbun di rambutmu
Adalah engkau langit bagi hujanku
Dan adalah kau danau, bagi tumpahku
Dan inilah cintaku
Cinta musim senja di sekeping hutan

Kau bisa melirik satu pepohonan
Juga ini, yang lahir sebagai anak ketiga-Nya
Menyisir semak, bukan rambutmu
Menerjunkan jurang bukan cerukmu
Pun mengalirkan kali, bukan airmu
Dia pula menyerak bintang bukan jemarimu
Sebagian gerak, sebagian diam
Diam, sediam laut yang melayarkan gaduh di jantungmu

Tapi aku dari melata dan merangkak,
tiba dari ringkih dadamu
Dari Turab-Attin-dan Salsalmu,
Maka tanpa ummi bagiku
menumbuh nafsu di hadapmu
Aku yamna yang lahirkan kau dan kau dari many yumnamu sendiri
Mengibar nuhtfah menjadi alqalah
Maka berilah buah itu,
Biar kuldimu mengiba sedak
Dan dadaku laut yang tumpah
Pada sudut bibir mudghah–mu

Kasih….
Harum betul baunya, rasakanlah
Kecup basah yang cungkin arinya
Pertama tama, kuajari kau cara memilih tepi
Kedua kubiarkan kau menikmati pagi
Ketiga, kusimpan napasmu di beranda hati
Keempat ada kenyang yang merindang
Buncah di yumna
Dan bejana kian penuh
Tempias
Rekah
Gerimis tuntas


Ntahlah Apa Kau Kini!

semakin sempit sajak,
ketika tiada logam atau tembaga yang dicair menuju kali rasa.
dan peleburan bait-bait mulai tak lagi masak dan didih,
cuma tepukan pada panggangan bara.
dan menetaslah sajak panas,
yang kau kikir jadi belati.
untuk apa? (tanyaku).

untuk bunuh diri, karena sajak kian sunyi!
membacamu seperti menengok rumus matematika.
rumit memang.
tapi tetap ada sama dengan
bahkan rumus phitagoras kehilangan per akarnya,
aku mau menegukmu,
sehausku.
bahkan kukunyah kau,
selaparku.
lalu kumuntahkan semuak-muakku!
sini mendekatlah.
ada segumpal ludah yang ingin terludah...

Kharismatik Sastra Lokal
Menguak nilai-nilai budaya memang tidak luput dari bagaimana menyajikan aturan, norma-norma dan falsafah hidup yang terkandung di dalamnya. Kemauan seseorang untuk mengakui apalagi mendalami sebuah tatanan budaya yang dimilikinya terkadang menjadi hal yang paling fundamen dalam mengembangkan budaya ke arah yang lebih baik.
BANYAK cara dilakukan orang agar nilai-nilai budaya mengakar dalam sanubari kehidupan bermasyarakat, salah satunya dapat ditempuh dengan bersastra. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ragde F. Daye dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu. Pria asal Solok, Sumatera Barat ini berusaha masuk dalam intrik budaya di tengah polemik kehidupan modern saat sekarang ini.

Dalam 15 cerpen buatannya ini, Ragde menuturkan soal budaya Minangkabau yang mulai ditinggalkan. Identitas anak rantau yang biasa dilabelkan pada anak-anak muda suku Minang seolah menjadi kegelisahan tersendiri bagi si penulis. Hal itu dapat kita buktikan dalam cerpennya berjudul Rumah Lumut. Bagaimana pun jua, seorang ibu tetaplah perempuan biasa. Tak punya banyak kuasa yang dimiliki olehnya tatkala anak lajang yang dipunya hendak mengumpul rezeki di tanah orang.

“Mak, saya pergi!” Anak muda itu membawa tangan Mak Leha dalam genggaman tangannya ke kening. “Izinkan saya. Mak.”

Mak Leha mula-mula bertahan untuk tegak. Tapi tak kuat. Dia berjalan ke bangku di sisi jendela. Lantai papan berbunyi lirih mengiringi drama pagi kesembilan.
“Telah tetapkah hatimu?”
Pemuda itu, Rozehan, mengangguk.

Tabiat merantau memang sudah telanjur melekat di kalangan pemuda Minang. Terlebih kalau tanah di kampung tak lagi menghasilkan benih rezeki untuk menyambung sisa hidup yang ada. Tapi apa hendak dibilang, kehidupan kota lagi-lagi sering menggelincirkan para anak muda dari kampung, berniat datang mengisi lambung, konon pastilah limbung lantaran kehidupan tak seindah apa yang diimpikan.

Inilah resah gelisah yang hendak ditawarkan penulis dalam cerpen ini. Kebanyakan anak muda Minang pergi dengan niat yang mantap namun mereka sering lupa kemana alamat pulang hendak dituju.

“Karena aku bukan ibu Malin Kundang, maka aku tak akan pernah mengucapkan kutuk, meski barangkali kalian benar-benar telah melupakan jalan pulang ke rumah.”
Kisah-kisah realis memang kerap dibungkus Ragde dalam antologi ini. Cenderung nada cerita keibuan yang sering merangkap menjadi kisah cinta yang melankolis. Penulis berusaha menampilkan kehiruk-pikukan dan sesak napas masalah sosial serta orang-orang terasing. Mengutip pula dari apa yang disampaikan Bramantio pada esai di dalam antologi ini bahwa Ragde juga mengusung sejumlah cerpen yang bersifat lebih personal. Meskipun demikian, bukan berarti cerpen-cerpen tersebut menjadi kurang menyesakkan.

Bukti Lokalitas
Seperti cerpennya yang berjudul “Empat Meter dari Pangkal”. Ia hadir tidak lagi menyajikan cerita yang mengarah pada aspek sosial seperti kemiskinan, kesedihan atau kematian melainkan sebuah cerita yang lebih akrab dengan dunia nyata dan dunia impian. Bahkan penulis lebih saklek berada pada dunia di antaranya. Kebanyakan pembaca umum memang tidak gampang untuk bisa menafsirkan tipikal cerita ini. Penulis menyajikan cerita tersebut sarat dengan simbolik dan pernyataan-pernyataan yang tak bersudut. Namun demikian, dalam buku ini karya “Empat Meter dari Pangkal” memberi kekhasan tersendiri tatkala ia disejajarkan dengan cerita-cerita sebelumnya.

Menelaah judul pertama dalam kumpulan cerita ini memang akan membawa kita pada sebuah pengertian bahwa Ragde memang lebih memilih cerita-cerita yang dingin bernada keibuan seperti yang saya paparkan di atas. Perempuan Bawang adalah bukti bahwa penulis memang kerap menjadikan sosok ibu, istri dan perempuan lainnya dengan berbagai peran dan karakter sebagai tokoh utama yang penting untuk diangkat menjadi sebuah cerpen.

Meski kemudian tokoh-tokoh perempuan itu dihidupkan Ragde berbalut kerisauan tentang Minangkabau sebagai identitas. Pada cerpen Perempuan Bawang tampak jelas bahwa Solok yang disetting menjadi pasar tradisional yang membantu Ragde untuk menceritakan bagaimana Sumatra Barat mengental di dalamnya. Menyajikan data-data terkait bagaimana Solok berkembang-biak lewat pasar tradisional. Keadaan carut-marut pasar tradisional hingga bagaimana konflik batin tokoh yang diciptakan penulis seolah memberikan kesan beginilah Solok dengan pasar tradisionalnya.

Bukan semata hendak menceritakan tokoh-tokoh dan konfliknya melainkan ada titipan yang hendak ia sampaikan sebagai bukti lokalitas yang mengental di dalamnya. Maka kalau hal ini dibahas, tentulah personalitas penulis akan muncul secara nyata. Tapi saya hanya akan menyetujui bahwa kharismatik Solok sebagai pasar tradisional mengendap perlahan dalam Perempuan Bawang yang Ragde ciptakan.

Cerita serupa hampir mirip dengan Lekuk Tekuk, Jarak, dan Di Solok Aku Akan Mati Perlahan. Pada cerpen Jarak, Solok adalah tanah kelahiran yang kelak disadari oleh Attar, tokoh sentral cerpen ini, tidak menjanjikan apa-apa. Bertahun-tahun berlalu tapi tidak sedikit pun terbersit di dalam pikirannya untuk kembali ke Solok untuk menjumpai masa lalunya.

Intinya, siapa pun yang hendak membaca buku ini pastilah akan menambah khasanah budaya yang dimilikinya. Terlebih bagaimana budaya Minang cukup jelas digambarkan di dalam buku ini. Meski Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu secara keseluruhan adalah sebuah kumpulan cerpen yang muram. Keresahan tumbuh subur di dalamnya, hantu-hantu menemukan taman bermain yang mengerikan dan penderitaan tak pernah kekurangan nutrisi di dalamnya.

Meskipun demikian, saya setuju dengan ungkapan Bramantio bahwa ada sesuatu di muara cerita yang nuansanya bisa dianggap berbeda dengan bagian hulu dan alirannya. Yakni muara yang cerah. Ada harapan yang hendak ditulis Ragde dalam sekumpulan cerita-cerita muram ini. Harapan itulah yang seharusnya diuraikan oleh khalayak pembaca secara umum. Selamat membaca!

Penulis adalah pencinta buku dan aktif menulis karya sastra, pernah menjabat. (sukma)

Menggugat Perempuan Melalui Kain Putih
CERPEN “Kain Putih Itu Tak Bernoda” karya Chairani, lulusan strata satu jurusan bahasa dan sastra Indonesia, yang mendedikasikan diri sebagai guru di SMA Dharmawangsa Medan, saya baca di Rubrik Rentak Harian MedanBisnis, Minggu 28 November 2010.
Membaca cerpen Chairani ini, seperti mendengar kembali petuah orang tua zaman dahulu yang kerap berpesan agar anak gadisnya selalu menjaga keperawanan dan mereka pun melakukan berbagai upaya untuk itu. Berbagai pantangan diwejangkan kepada anaknya demi keperawanan yang merupakan lambang kesucian dan budi pekerti.

Itu dulu, saat kehidupan berjalan di atas nilai-nilai budaya. Hidup begitu indah dengan berbagai pantangan dan larangan. Bahkan, ada pantangan yang menjadi misteri. Toh, hal itu tetap dipatuhi sampai akhirnya budaya pikir melebihi budaya etika dan nilai rasa.

Kini, masihkah keperawanan dipersoalkan? Itulah yang dipertanyakan secara tersirat oleh Chairani melalui “Kain Putih Itu Tak Bernoda.” Zaman kini, ketika godaan datang sangat terbuka, masih sanggupkah perempuan menjaga keperawanannya hingga melewati fase demi fase masa pranikah?

Sebagai perempuan, secara tersirat, Chairani tidak menyukai pertanyaan itu. Di sini terlihat Chairani berada pada posisi gendernya. Masih adanya pertanyaan itu, menandakan gender tak mungkin terhapus. Menghapuskan gender berarti juga menghapus beberapa nilai budaya. Menurut Chairani, salah satu etnis yang masih mempertahankan budaya menjaga keperawanan adalah masyarakat nelayan. Tapi, tak jelas etnis mana itu. Chairani hanya memaparkan latar tempatnya, tak mendeskripsikannya melalui penyebutan nama suku, karakter dialog, sapaan kekerabatan, atau hal lain yang bisa jadi petunjuk.

Untuk membuat kesan sastra pada cerpen, penyajiannya memang tidak harus berbelit ke sana-sini. Alurnya pun tidak harus berputar-putar hingga memusingkan kepala. Chairani telah melakukan itu. Dia menyajikan cerpen ini dengan alur mudah dipahami dan enak dibaca. Kisah yang dipaparkannya mulai berkiblat pada kondisi sesaat, yang disitilahkan dengan instan.
Chairani mengisahkan soal gejolak hati tokoh utama (Aku/Saodah) yang cemas dan batinnya tersiksa. Kecemasan itu ditimbulkan oleh kegagalannya memberikan darah perawan pada selembar kain putih. Kain putih itu sengaja disediakan oleh keluarga Topan.

Pada mulanya keluarga mertua beranggapan bahwa Topanlah yang belum mampu menjalani fungsinya sebagai suami. Setelah hari demi hari terlewati, kecurigaan mengarah kepada tokoh Aku. Tak bisa dipungkiri, Aku memang sudah tidak perawan. Sayangnya, tak jelas sebab-musababnya mengapa dia bisa tidak perawan. Memang kebanyakan perempuan selalu bertahan untuk tidak menceritakan sebab-musabab itu. Tapi, ini cerpen. Tentunya sebab-musabab bisa diceritakan melalui dialog batin atau yang lain.

Topan tak banyak bicara tentang keperawanan itu. Topan, sang suami, hanya sekali menanyakan tentang keperawanan tokoh Aku.

“Jawab yang jujur, apakah kau masih suci? Maafkan pertanyaanku, Saodah. Aku…, aku, maafkan aku.”

Pertanyaan Topan tak dijawab tokoh Aku. Pertanyaan itu dijawab dengan deskripsi sikap tokoh Aku. Tokoh aku menangis. Sebagai laki-laki, Topan pun luluh dengan tangisan itu.

Ternyata, pihak keluarga mertua telah merencanakan hari penyambutan untuk menantu yang benar-benar telah memberikan keperawanan kepada suaminya. Ibu mertua telah menyediakan air dalam tempayan. Air itu diberi bunga tujuh rupa. Air yang telah bercampur bunga itu akan digunakan untuk menepungtawari pengantin perempuan yang mampu memberikan noda pada kain putih. Tapi, apa hendak dikata, tokoh Aku secara tak sengaja telah memecahkan tempayan berisi air bunga itu. Ini merupakan pantangan dan menambah kekecewaan ibu mertua.

Upacara tepung tawar harus digagalkan. Tokoh Aku mengaku memang dia tidak perawan. Sebagai upaya menunjukkan kekecewannya, Topan pergi melaut dan tak pernah kembali. Tokoh Aku menunggu kepulangan Topan sambil memikirkan janin dalam rahimnya. Setelah itu cerita terhenti, menandakan plot terbuka.

Pilihan plot terbuka memberikan kesempatan kepada pembaca berpihak kepada yang mana pun. Ide yang dikandungkannya menyangkut masalah gender. Chairani tak memaksa keberpihakan itu. Bisa dimakluminya bahwa orang akan cenderung berpihak kepada gendernya.

Saya melihat masalah utama yang dimunculkan Chairani keperawanan sebagai lambang kesucian perempuan. Bagi Chairani, pernyataan ini sangat sulit diterimanya. Ini adalah hal yang berat bagi perempuan. Chairani juga menyampaikan pilihan, memang sangat mulia bila perempuan dapat menjaga keperawanan hingga menjalani malam pertama. Tapi, bukankah sejak dahulu kala pun keperawanan telah diragukan? Buktinya, ada etnis yang menyediakan kain putih untuk pembuktiannya. Ini menandakan bahwa sejak dahulu telah ada pra anggapan setiap gadis belum tentu perawan. Namun, jika ada perempuan saat ini yang sanggup mempertahankan ksuciannya hingga ke pintu rumah tangga, itu yang lebih baik.

Sebuah cerita tentu memiliki keterkaitan dengan kondisi kekinian. Ada kepekaan yang dimiliki Chairani terhadap hal itu. Saat ini, pada kuantitas gender yang lebih banyak jumlah perempuan daripada laki-laki, sudah biasa ada perempuan menyerahkan keperawanan kepada orang yang disukainya. Ada yang berpendapat, “Kalau tak nekat, kapan punya pacar?”

Meningkatnya jumlah perempuan ternyata sangat berpengaruh terhadap kondisi pergaulan antarlawan jenis yang disebut “pacaran” itu. Bukan lagi pandangan asing di pinggiran jalan agak sepi, jika mata kita mau menelisik, akan terlihat perempuan menempelkan tubuh kepada laki-laki yang dianggap pacarnya. Ini sangat berbeda dengan kondisi tahun delapan puluhan. Tahun delapan puluhan, gadis melangkah malu-malu, menunggu dirayu jejaka. Kini, gadis agresif merayu pilihannya. Mungkin Chairani jengah terhadap hal ini hingga dia menciptakan cerpen “Kain Putih Itu Tak Bernoda.”

Deskripsi cuaca yang dipaparkan di cerpen ini cocok sebagai pendukung suasana kesedihan, kegusaran, atau kekecewaan. Chairani mendeskripsikan gerimis, cuaca dingin, suara halilintar untuk menghanyutkan pembaca pada suasana yang dibuatnya.

Cerpen bukan berita. Masalah yang diangkat tidak harus menghebohkan. Tidak ada kasus penyiksaan, pemotongan alat kelamin, mertua memerkosa menantu, bunuh diri karna beribu masalah yang melanda, anak membunuh ibunya kemudian memerkosa neneknya, suami membakar istri, atau masalah berat seperti pada pemberitaan. Memang bukan beratnya persoalan yang jadi inti keindahan pada cerpen. Tapi kedalamannya menyentuh hati pembaca merupakan unsur penting. Masalah keseharian dapat diangkat hingga menggugah hati pembaca untuk memilih keberpihakan.

Ada keraguan Chairani untuk memberikan keberpihakan itu. Tersirat, ia berpihak pada gender wanita dengan mengalaskan janin di rahim tokoh Aku. Hanya itu alasannya. Tak dideskripsikannya hal-hal lain yang memperkuat alasan itu. Mungkin karena Chairani menyadari bahwa keberpihakannya itu takkan banyak diterima orang.

Untuk memokuskan cerita pada idenya, dia tidak mengawali cerpen-nya dengan kehidupan berpacaran atau prosesi pernikahan. Namanya cerpen, ia memulai penyajian langsung ke permasalahan, yaitu malam pertama yang tak menyenangkan. Memang tidak mengulur-ulur, tapi seperti ada yang tertinggal. Tidak diceritakannya latar perkawinan tokoh Aku dengan Topan pada cerpen itu. Bukankah sebuah perkawian harus ada landasan? Dasar perkawinan paling kelasik adalah cinta. Tapi boleh saja Chairani membuat hal lain sebagai dasar atau latar perkawinan itu. Sayangnya, tak sedikit pun disinggungnya persoalan cinta. Apakah cinta masa kini sudah ditelantarkan? Atau Chairani takut terkesan cengeng? (saiful amri )

Remaja Menulis Sastra
“Menulis mudah, menulis indah, menulis dan menulis. Dalam menulis tidak ada kata sulit untuk melakukannya. Apa yang terlintas dalam pikiran tulis, apa yang terlintas di hadapan diri tulis, jadi kejadian apapun, di mana pun yang sering akrab dengan kita, tulis. Didorong juga dengan semangat yang keras dan tanpa ada kata menyerah, tanpa ada kata malas. Tanpa kreativitas semua ruangan tidak akan berpenghuni, tanpa kreativitas dunia hampa, maka tuanglah seisi duniamu dengan menulis, berkarya dan membaca. Itulah yang dituturkan Hasan Al Banna salah seorang pembicara dalam acara workshop sastra dan sekaligus launching buku Antologi Puisi, Cahaya dan Cerpen, Ma Hyang.


Dunia sastra berkaitan dengan dunia berbahasa, meramu kata dan melukis kehidupan. Dengan sastra hidup lebih indah, dengan sastra hidup lebih bermakna. Sastra bisa dikatakan sangat berperan penting dalam kehidupan. Sastra dapat membuat perubahan yang lebih baik, sastra juga dapat membuat orang lain menjadi jatuh cinta dengan makna – makna kata yang semilir mengalir.

Bagi orang yang kritis dalam berbahasa mereka menggambarkan suatu makna dengan hal yang sulit dibayangkan oleh kebanyakan orang lain. Tetapi, bila diperhatikan dengan teliti gambaran yang dibuat oleh orang – orang yang kritis berbahasa sangat mempunyai makna yang cukup mendalam. Bisa terbawa alur cerita. Tidak terlalu rumit untuk berkenalan dengan sastra yang sejatinya membantu dalam hal rutinitas sehari – hari. Namun yang disayangkan, masih banyak orang yang berpikir menulis dan membaca itu tidak penting hanya membuang waktu dengan percuma, padahal begitu banyak manfaat yang bisa dirasakan dengan menggeluti kegiatan di setiap harinya.

Sejatinya menulis dan membaca sejalan dan tidak terpisahkan satu sama lain. Menulis adalah hal yang paling menyenangkan dan mengasyikkan, dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dalam situasi apa saja. Begitu banyak seni serta budaya yang tidak terlepas dari kehidupan kita.

Dalam hal ini, sastra dapat terbentuk dengan wawasan dan pengetahuan yang luas. Semua objek yang ada di sekitar kita dapat kita prioritaskan dan kita ungkapkan. Salah satu contoh ialah puisi. Puisi adalah bentuk ekspresi pengalaman empirik atau batin seseorang yang diwujudkan dengan bahasa-bahasa indah, perumpamaan dan kiasan. Puisi juga merupakan cara penyampaian tak langsung dari seseorang terhadap sesuatu hal yang dirasa menggelitik naluri estetika, emosi dan perasaan jiwa yang dialami seseorang serta mempunyai nilai tinggi dan bermakna.

Cara tak langsung itu dilakukan melalui aneka bentuk perumpamaan yang terangkai dalam sajian kata-kata yang indah, singkat, multitafsir dan cerdas. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra memiliki dua fungsi yakni sebagai karya sastra itu sendiri dan juga sebagai cara atau alat bagi siapa yang memegang puisi tersebut. Tak jarang kita temui seorang yang merayu orang lain menggunakan kata-kata indah sebuah puisi. Pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta biasanya merupakan orang-orang yang sangat sensitif dengan nilai-nilai keindahan sebuah puisi.

Jadi sangat jelas bahwa disamping memiliki fungsi sebagai karya sastra itu sendiri, puisi adalah juga sebuah cara atau alat yang diciptakan seseorang dalam meraih sebuah tujuan yang ia inginkan. Contoh lainnya ialah cerpen. Cerpen ialah, anak kedua setelah puisidari karya sastra.

Hanya saja cerpen merupakan sebuah cerita pendek yang diungkapkan dalam bentuk kisah kehidupan seseorang yang digoreskan di helaian kertas atau diary. Cerpen biasanya juga diangkat dari cerita – cerita khayalan, nyata, dan curahan hati seseorang. Bahasa dan isinya mudah dipahami. Dengan demikian, cerpen tersebut dapat di baca kurang dari satu jam dan isinya tidak terlupakan oleh pembacanya sepanjang waktu. Semua berharap, bakat menulis sastra dan budaya tidak terkubur dalam pusara waktu. Juga kreativitas terus tumbuh dan berkembang dari akar yang kuat serta tanah yang subur. Artinya teruslah menulis dan berkarya untuk menumbuhkembangkan budaya bangsa. Sehingga budaya tersebut dapat tumbuh dan kokoh walau harus berganti musim sekalipun.

Workshop Sastra
“Dalam menanggapi penulisan sastra diperlukan keseimbangan bahasa demi terjalinnya suatu kata yang teramu dengan baik. Dengan mencoba membangkitkan semangat karya, dan supaya lebih aktif, diperlukan juga proses yang cukup panjang. Menulis indah, mengenali tulisan fiksi tidak terlalu rumit, bahwa dalam menembus media massa harus memiliki potensi, agar tulisan yang diperlihatkan layak dimuat dan layak untuk dibaca. Intinya apapun yang berada di sekelilingmu tulis!”, ujar Afrion sebagai pembicara dalam workshop sastra, teknik penulisan fiksi menembus media massa, Sabtu, 26 Februari 2011.

Dalam workshop tersebut sesi pertama dibuka oleh Hasan Al Banna, dengan memperlihatkan beberapa gambar. Peserta harus mampu menjelaskan gambar-gambar ke dalam bentuk puisi. Sesi kedua, peserta diajarkan mengenai cara jitu menembus media massa oleh Afrion, dengan mengenali karakter dan visi misi media massa, membaca dan mengetahui standar tulisan, mengenali redaktur, mengemas karya serapi dan seteliti mungkin dan kirim karya sebanyak – banyaknya serta jangan pernah menyerah.

Selanjutnya, dengan pengenalan alamat email dari masing – masing media yang ada di kota Medan, khususnya untuk media yang berubrik budaya atau seni. Peserta harus memahami etika mengirim karya ke media. Peserta workshop yang terdiri dari pelajar SMU Negeri 3 Medan, MAN, SMU Sinar Husni, dan lainnya juga dihadiri kalangan mahasiswa yakni dari Unimed, UMN, UMSU USU, dan sejumlah mahasiswa dari universitas lainnya.

Dalam workshop juga digelar launching antologi buku puisi Cahaya, dan cerpen Ma Hyang. Serta pengumuman pemenang lomba baca puisi. Workshop ditutup dengan penampilan drama dari Komunitas Penulis Anak Kampus (Kompak) hingga selesai.
(liandi prassetiyadi, rudiansyah, angga pratama, sofyan ibrahim)