Senin, 26 September 2011

Bukan Politik Sastra, Tapi Krisis Kemanusiaan

Jones Gultom

TERLALU jauh tafsiran T. Agus Khaidir menanggapi polemik politik sastra yang digulirkan Yulhasni di ruang Rebana, Harian Analisa, beberapa minggu lalu. Meski membubuhkan tanda tanya dalam judul tulisannya, saya kira Agus Khaidir terjebak asumsinya sendiri. Politik sastra yang dimaksudkan Yulhasni, sebenarnya lebih kepada pernyataan retoris, jadi tak menentu arahnya. Mengait-ngaitkan konstelasi Lekra vs Manikebu dengan isu politik sastra, membuktikan dunia sastra kita (Medan) masih arogan.
Saya kira bukan di situ letak persoalannya. Jika politik sastra yang dimaksud Yulhasni lebih bersifat ajakan agar sastrawan mau memasuki ruang politik, kiranya perlu dipertanyakan. Politik seperti apa yang dia maksud. Karena sastra itu sendiri adalah politik, apalagi jika dia masih berbicara tentang persoalan sosial dengan berbagai fenomenanya. Apakah muatan politik dalam sastra itu muncul sebagai nilai atau hanya sebatas tematis, adalah hal lain yang bersifat teknis.

Harus saya akui, dalam kapasitas saya sebagai salah satu penjaga halaman sastra di Harian MedanBisnis, kebanyakan karya yang saya dapati memang cenderung menjauhkan diri dari hal-hal politis praktis. Itu jika yang saya maksud dengan politik, hanya menyangkut kebijakan-kekuasaan. Tema politik, motif serta kandungan yang ada di dalam karya-karya itu, lebih sekedar ungkapan personal penulisnya.

Tidak tepat, bila hal itu disebut karena ketidakmauan penulisnya terhadap wacana politik. Kalau pun kemudian karya itu dianggap jadi tak kontekstual, saya kira hal itu tergantung persfektif masing-masing orang. Saya lebih setuju jika karya-karya yang dimaksud Yulhasni itu tergolong kering karena miskin gagasan, terutama untuk kepentingan banyak orang. Tetapi belum tentu begitu untuk seni dan penulisnya sendiri.

Saya kira bukan soal politik , tetapi krisis kemanusiaan. Apakah sastra kita, terutama di Medan, memang masih bicara soal manusia dan kemanusiaannya? Merunut pahamnya, seni untuk seni atau seni untuk semua merupakan ungkapan dialektis, ketika di zamannya manusia mulai menggugat kemanusiaannya sendiri. Pasca renesains, seni mengalami pergeseran. Semula dia dikultuskan sebagai cara mendekati "keilahian" dengan konsep ide dan gagasan, kemudian berubah menjadi begitu taktis sebagai pendobrak kelahiran revolusi industri. Sejak itu seni menyempurnakan posisinya; vertikal-horizontal. Keduanya tak mungkin terpisah begitu saja. Rupanya sudah menjadi takdir, seni hidup dari dualisme itu.

Apa yang terjadi dalam dunia sastra kita dewasa ini hanyalah perulangan. Ketika dinamika sosial-politik begitu progresif, seperti yang terjadi belakangan ini, pelaku sastra menjadi gamang. Apakah menolak atau ikut di dalam situasi itu. Kemudian, pilihan itu seringkali tak menghasilkan apa-apa. Karena memilih pun masih menjadi persoalan, bagi kebanyakan sastrawan. Setidaknya menurut saya, hal itu disebabkan atas beberapa faktor.

Pertama, sebagai bangsa yang tak pernah selesai dengan ideologinya, masyarakat kita, termasuk pelaku sastranya, belum menemukan cara yang tepat ketika akan membahasakan politik dalam karyanya. Seringkali hal ini terjadi karena persoalan analogi, penafsiran maupun referensi yang tak cukup memadai. Selain itu, pola klasik sastrawan; intuisi dibangun atas persfektif tunggal kreatornya, sering menyebabkan pemaknaan atas ide itu justru semakin dangkal dari yang sebenarnya; sekedar sampai pada idiom-idiom, bersifat parsial dan tak jarang terjebak di dalamnya.

Sebagai contoh, kasus Gayus misalnya. Jika sastrawan sekedar menyorotinya sebagai praktik korupsi, dia tertinggal jauh dengan dinamika politik. Wajar saja, seringkali karya yang semula dimaksudkan untuk menyentil para politisi, oleh politisi itu sendiri, justru nyanyian nina bobok. Karenanya tak heran pula jika sastra (seni pada umumnya) di daerah ini, masih sering dijadikan "bulan-bulanan" oleh masyarakat di luar seni. Malah, oleh pihak-pihak tertentu, termasuk sastrawannya sendiri, kerap sekedar dijadikan proyek. Jadilah puisi masuk kantor dewan. Puisi masuk kantor Panwaslu.

Atau pembacaan puisi oleh pejabat dan politisi parpol. Padahal hati kecil kita sama-sama tahu, kegiatan-kegiatan itu hanyalah gombal. Jadilah maling teriak maling. Koruptor membaca puisi tentang korupsi. Sastrawan dengan penuh kesastrawanannya, masih saja minta dikasihani pemerintahnya, sambil membayangkan berapa besar honor yang akan dia peroleh. Satu lagi, dari mana ceritanya, seorang sastrawan yang sejatinya muncul karena kezholiman, malah mengiba-iba pula kepada masyarakatnya yang sudah tak bisa makan.

Mestinya seni hadir dengan bahasa yang lebih luas serta mendalam sembari tetap mengusung nilai-nilai humanisme yang universal. Dalam kevakuman hidup, seni harusnya harus menjadi alternatif, kalaupun tak selalu mungkin jadi solusi. Karenanya seni yang baik mesti merangsang munculnya kritik, ide dan gagasan. Mungkin bagi sebagian orang term-term ini terlanjur dikaitkan dengan terminologi politik. Muncullah asumsi, seni yang berpolitik adalah seni yang berani mengkritik. Padahal itu hanyalah bagian kecil dari bangunan seni itu sendiri. Saya membayangkan jika seni di Medan mampu mengusung kompleksitas itu, maka profesi seniman akan sangat diidam-idamkan, melebihi politisi. Barangkali itu sebabnya para senat di zaman Yunani Kuno lebih sering disebut seniman daripada politisi.

Kedua, dikotomi Lekra dan Manikebu seperti yang disinggung Khaidir, telah membuat perspektif pelaku sastra kita menjadi abu-abu. Seolah-olah sastra yang berpolitik itu seperti yang diperlihatkan Pram. Dengan begitu, puisi-puisi Sapardi dianggap sangat apolitis.

Karenanya ada kecenderungan para sastrawan kita membuat opsinya sendiri-sendiri. Ini yang kemudian biasanya menjadi "kerjaan" akademisi dan ilmuwan sastra. Bukan malah menguatkan opsi itu, sebaliknya, justru keseringan membunuhnya. Perbandingan yang dipakai juga cenderung tak relevan. Ini pula yang membuat kritik seni kita inkonsisten. Di satu sisi dituntut kontekstual sastrawannya tetapi malah membandingkannya dengan karya sastrawan masa lalu.

Ketiga, misi kemanusiaan yang memang belum populer di kalangan sastrawan kita. Menurut saya inilah faktor terpenting yang justru sering diabaikan sastrawan. Sastra sebagai alat pencerahan masih belum dimaksimalkan dengan baik. Tentunya konsekuensi dari misi kemanusiaan itu adalah karya. Kebanyakan motif seseorang menjadi sastrawan lebih karena menganggap profesi ini menyiratkan kebebasan. Karenanya wajar jika karya sastra di Medan sering tak memuaskan kemanusiaan kita. Mungkin inilah yang dipahami Yulhasni, sehingga dia merasa harus memanggil kembali para sastrawan untuk pulang pada tugas politiknya.

Tanpa Identitas

Hal lainnya, adalah sastra di Medan tumbuh tanpa identitas. Identitas yang saya maksud menyangkut gagasan yang diusung para sastrawannya. Apa jadinya jika sebuah produk kebudayaan, yang konon diolah melalui pengalaman batin dan impresi yang cukup dalam, dilahirkan tanpa tujuan. Inilah yang membuat, karya-karya para sastrawan nyaris seragam. Situasi ini semakin diperparah dengan arogansi media massa. Seperti kita sadari, sentralisme di negara ini menyuburkan berbagai pengkultusan, termasuk dalam dunia sastra.

Akibatnya, sastrawan kita tak terbiasa survive dengan kekuatan kreatifnya, yang nantinya akan menggambarkan identitasnya itu. Saya juga tak menafikan pentingnya standarisasi sebuah media, tetapi jika hal itu dimanfaatkan sebagai motivasi. Selain itu, di internal sastrawan sendiri, banyak yang lari dari tanggungjawab. Ada yang merasa bukan sastrawan, tetapi ketika hal itu diusik, dia merasa tersinggung.

Lebih penting dari semua itu, apakah seorang sastrawan sungguh memiliki kepekaan sosial dalam dirinya? Jika memang demikian, kalau kemudian karyanya tak mendapat porsi dalam perebutan "halaman" itu, kenapa tak menjadikan dirinya sendiri sebagai media bagi karya-karyanya? Dengan begitu ada keterikatan yang harmonis antara karya dengan penulisnya.

Di Medan, sikap seperti itu termasuk juga penyebab, mengapa sastra kita kehilangan gregetnya. Kehilangan identitasnya. Kehilangan kemanusiaannya, yang oleh Yulhasni disebut kehilangan tujuan politiknya.

Politik Sastra dalam Debat;
Adakah Semacam "Affair" Lekra vs Manikebu Jilid II?

Oleh: T. Agus Khaidir

IYA, terus terang, saat Yulhasni melempar wacana politik dalam sastra -yakni sastrawan yang tidak berhenti sekadar pada teks, muncul sebuah tanda tanya besar. Apakah dia hendak menganjurkan para sastrawan, para penulis (dan juga pemikir serta akademisi) sastra untuk masuk ke ranah politik?
Menjadi politikus? Menjadi anggota partai -entah itu kemudian melanjutkan langkah ke gedung DPR atau menempatkan diri sebagai sosial kontrol sejati. Peneriak dalam berbagai aksi unjukrasa seperti yang dilakukan Wiji Thukul untuk Partai Rakyat Demokratik (PRD)?

Sungguh kebetulan Yulhasni memang memiliki pengalaman itu. Selepas menekuni ranah jurnalistik, dia terjun ke politik sebagai anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Kemudian (meski ini tak selalu dia akui) menjadi bagian dari tim sukses untuk beberapa calon kepala daerah.

Jika wacana ini yang dimaksudkan Yulhasni, tentunya memang jelas bukan wacana baru. Jauh sebelum era Thukul, pada awal hingga pertengahan dekade 1960an, sastrawan (dan seniman secara keseluruhan) bahkan menjadi bagian utama dalam konstelasi politik.

Ada Lekra di satu sisi.

Merupakan underbow PKI, kubu ini mendapatkan ruang yang begitu luas untuk menyerang seluruh lawan politik mereka di surat kabar Bintang Timur. Rubriknya bernama Lentera, dijagai sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer.

Kubu yang berseberangan dengan PKI, kita tahu tak mendapatkan ruang "semewah" itu. Bintang Timur terbit tiga kali sepekan, kadangkala terbit enam bahkan tujuh kali layaknya surat kabar harian dewasa ini. Bagi para sastrawan yang berafiliasi ke kubu nasionalis dan agama (kelompok Islam dan Kristen), kemewahan serupa itu hanya diperoleh dari Sastera, majalah sastra yang tirasnya kalah besar dibanding Bintang Timur dan terbit bulanan pula.

Politik sastra tetap berjalan. Lewat majalah itulah lahir dan diperkenalkan sebuah petisi, pernyataan sikap yang dalam pemuatannya diberi judul menggetarkan: Manifestasi Kebudayaan. Kubu Lekra menyerang balik. Pertama-tama dengan memberinya kata juluk berbau hinaan, yang kemudian ternyata justru menjadikannya lebih sohor dan punya daya tohok dahsyat, Manikebu.

Imbasnyapun memang sama sekali tidak main-main. Dari petisi yang isinyapun tidaklah seberapa panjang itu, pemerintahan sempat guncang. Presiden Soekarno murka. Reaksi Soekarno dimanfaatkan kubu Lekra, terutama Pramoedya, untuk menyudutkan kubu HB Jassin dan penandatangan Manikebu lain, lewat opini-opininya yang senantiasa menusuk tajam di Lentera, antara lain menyebut petisi itu sebagai "kontra revolusioner" (sebuah tuduhan serius, bermakna hampir sama dengan "pengkhianat").

Kitapun tahu imbas lanjutan Manikebu adalah pemberangusan. Jassin dan Wiratmo Soekito, dipecat sebagai pegawai negeri. Sastrawan yang menekuni bidang tulis-menulis, tak bisa lagi menulis (setidaknya menggunakan nama asli mereka).

Apakah politik seperti ini yang dimaksudkan Yulhasni, (yang kemudian ditanggapi secara sangat serius oleh Budi P Hatees)? Atau dia punya maksud lain? Budi mencoba mengurai maksud Yulhasni lewat pendapatnya yang fokus kepada teks karya sastra. Yakni sebangsa politik yang "menyelinap" ke dalam sastra, layaknya novel Aleksandr Solzhenitsyn, One Day in the Life of Ivan Denisovich, atau karya yang lebih populis dari Boris Pasternak, Doctor Zhivago.

Layaknya Rusia atau China, Indonesia juga pernah mengalami masa kesuraman dalam kebebasan berpendapat, hingga membuat Seno Gumira Ajidarma (SGA) sampai perlu "berkhutbah": ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara. Ternyata dalam sastrapun pada waktu itu, hal bicara ini harus dilakukan dengan cara berbisik, bersimbol, bermetafor. Termasuk oleh SGA sendiri, yang mengkritik panjangnya kekuasaan rezim Soeharto lewat analogi bebek dari jagat Disney, Kematian Paman Gober (Republika, 30 Oktober 1994).

Masa-masa itu sudah lewat. Budi barangkali secara tak langsung ingin menyebut Yulhasni alpa. Sebagai akademisi sastra dia tak cermat menangkap keberadaan politik dalam karya, entah itu cerita pendek, puisi atau novel. Budi mencontohkan cerpen Hasan Al Banna, Sampan Zulaikha.

Agak sedikit memaksa sebenarnya, karena dalam cerpen itu politik hanya ada dalam takaran yang samar. Kurang "politis" jika dibandingkan misalnya dengan cerpen Agus Noor, Ada yang Menangis Sepanjang Hari (Kompas, 28 Maret 2010) atau hampir semua cerpen Linda Christanty dan Martin Aleida yang terbit pasca kejatuhan rezim orde baru.

Karenanya saya jadi curiga, sejak awal telah terjadi saling salah memahami di antara kedua kawan sastrawan ini. Yulhasni tidak memaksudkan esainya: Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik (Analisa, 21 Agustus 2011) sebagai sebuah telaah atas kelumit politik dalam sastra, melainkan memang betul-betul ingin mengajak berpolitik dalam arti sesungguhnya. Ide ini kemudian malah jadi kian tak terang sebab Yulhasni terkesan ikut pula terseret dalam kekeliruan Budi dalam memahami teks itu -meskipun di paragraf-paragraf akhir tulisan keduanya, Estetika dan Ranah Politik Sastra Sumut (Analisa, 4 September 2011), Yulhasni bisa membawa lagi dirinya ke jalur rel semula.

Lantas pertanyaannya, apakah dia memang menginginkan semua sastrawan mengikuti jalan Wiji Thukul? Atau jangan-jangan dia ingin menggiring perseteruan, hingga suasana Lekra versus Manikebu di era pertengahan 1965 hadir lagi di hari-hari yang memang penuh dengan kekonyolan politik seperti sekarang? Membaca dengan begitu hati-hati tiap jengkal kalimat Yulhasni, saya menduga agaknya gagasan yang coba dia apungkan tidaklah sebesar dan sekompleks itu.

Saya mengutip sekian baris kalimatnya dalam Estetika dan Ranah Politik Sastra Sumut. "Pergulatan tidak hanya sebatas pembacaan, melainkan masuk langsung ke dalam perkembangan sastra di daerah ini. Istilahnya, jadi pemain langsung, bukan penonton yang hanya bisa berteriak di bangku-bak kegelisahan. Apakah Budi P Hatees hadir dalam berbagai aktivitas kesusasteraan di daerah ini?"

Sampai di sini, apa boleh buat, kecurigaan saya makin mengerucut ke satu titik. Satu permasalahan yang sesungguhnya sudah agak sering "diributkan" sejumlah sastrawan "garis keras" di Medan. Yakni: "kemisteriusan" kerja Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU).

Yulhasni barangkali menginginkan agar para sastrawan tidak sekadar berani menggerutu di belakang, berbicara sampai tegang urat leher dalam konferensi di warung kopi Taman Budaya. Barangkali Yulhasni hendak mengimbau agar kiranya, sastrawan yang sudah melangkah lebih jauh daripada sekadar membusai mulut agar tak pula berhenti pada tulisan-tulisan. Sebab barangkali menurutnya, setajam apapun tulisan itu bukan lagi merupakan bentuk perlawanan efektif, lantaran barangkali orang- orang yang ditusuk sebenarnya tidak pernah membaca tulisan-tulisan tersebut.

Yulhasni barangkali hendak menganjurkan agar para sastrawan sesekali melakukan perlawanan dalam bentuk lebih konkret. Politik kecil-kecilan saja dulu. Turun ke jalan, misalnya. Mengadu ke DPR misalnya. Atau ada bentuk lain yang barangkali Yulhasni bisa menjelaskannya.

Benar atau tidak Yulhasni memaksudkan demikian, tentu saya tidak berani memastikan. Bagaimanapun ini sekadar dugaan, dari seseorang yang melihat sastra dari balik jendela.

Penulis; wartawan dan fotografer, sesekali ikut-ikutan menulis sastra.

"Guru Jabut", Sastra Sumut Berpihak
Budi P Hatees

1. LAKI-LAKI itu, Abraham Lincoln, tak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Seorang anak perempuan, Harriet Beecher Stowe, duduk di sana dengan sikap seorang anak-anak. Stowe tak tahu kalau dia sedang berhadapan dengan manusia terpenting bagi bangsa Amerika, meskipun saat itu ia sedang di Gedung Putih.
"Kamu perempuan kecil yang menyebabkan perang besar ini?" ujar Lincoln, Presiden AS.

Stowe, konon pemicu perang saudara yang melanda Amerika selama empat tahun. Gadis kecil itu tak pernah merencanakannya sampai novelnya, Uncle Tom’s Cabin, dibaca banyak orang. Novel itu kemudian membentuk peradaban baru Amerika, sebuah era dimana masalah perbudakan tak lagi mendapat tempat.

Tidak sedikit novel (karya sastra) yang mampu mengubah peradaban manusia. Uncle Tom’s Cabin (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pondok Paman Tom) salah satu contoh. Oliver Twist, Dokter Zhivago, La Peste, Madame Bouvarie, Ullyses, Aminal Farm dan lain sebagainya bisa jadi contoh lain. Di Indonesia, para ahli sastra berpendapat, sebagian sajak Chairil Anwar mampu mempengaruhi jalannya revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, konon juga bisa dimasukkan dalam kelompok sastra yang membawa perubahan pada peradaban manusia.

2

Dengan pembukaan seperti di atas, saya menduga sastra seperti itulah yang terlintas dalam bayangan Yulhasni saat menulis "Estetika dan Ranah Politik Sastra Sumut" di Analisa edisi 4 September 2011. Saya tak akan larut dalam arus pembicaraan yang berpusar keluar dari wilayah kreatif bersastra. Saya akan sampai pada satu simpul, jika kriteria kreativitas bersastra yang diinginkan Yulhasni seperti dampak yang dibawa Uncle Tom’s Cabin, percakapan kita akan mentok. Tradisi sastra di negeri ini sudah berhenti melahirkan Pramoedya Ananta Toer yang baru, konon pula tradisi bersastra di Sumatra Utara (Sumut).

Tradisi sastra kita hanya melahirkan sastrawan yang dipolitisir, karena kepentingan politik penandaan tertentu, dinaikkan citra pribadinya sebagai sastrawan yang luar biasa. Ayu Utami, penulis novel Saman -yang ketika menulis Larung maupun Bilangan Fu menjadi sangat tak berkelas- bisa dimasukkan di dalamnya. Nirwan Dewanto dengan kitab sajak Jantung Lebah Ratu -dari hukum berbahasa saja salah karena seharusnya Jatung Ratu Lebah- atau Sitok Srengenge yang sajaknya cuma perduli pada urusan rima -dan kebanyakan penyair kita mengikuti pola ini seolah sebagai penemuan baru- merupakan nama lain yang bisa diajukan sebagai contoh buruk.

Saya akan mengedepankan cerpen "Guru Jabut" karya Hasan Al Banna (Hasan), dipublikasikan di Koran Tempo edisi 21 Agustus 2011, sebagai bukti sinyalir Yulhasni tentang sastrawan dari Sumut yang teksnya tak memberi tanggungjawab bagi perubahan masyarakat dan sastrawannya tidak berpihak kepada masyarakatnya. Artinya, Yulhasni telah mengabaikan, sastra pada akhirnya merupakan sebentuk pesan dari komunikator (sastrawan) yang disampaikan kepada audience (masyarakat pembaca). Karena itu, seorang sastrawan tak perlu bertanggung jawab pada masyarakat yang membaca tetapi hanya bertanggung jawab pada "apa karya selanjutnya". Setidaknya, di era 1960-an, Iwan Simatupang pernah menyinggung perkara ini dalam esainya untuk menanggapi kritik Boen S. Oemarjati atas cerpen berjudul "Tegak Lurus dengan Garis".

Moral pengarang, tulis Iwan Simatupang dalam esai, T dari Tanggung Jawab, adalah memikirkan apa karya selanjutnya. Sebab itu, ada baiknya Yulhasni tidak usah mengungkit polemik-polemik lama dalam sastra Indonesia yang sesungguhnya sudah selesai dengan sebuah simpul, pengarang telah mati. Kebiasaan seperti ini acap dilakukan para akademisi sastra, yang terjebak dalam ruang-ruang sempit sejarah sastra, karena terlalu keras membanding-bandingkan dengan dinamika kesusastraan yang terjadi di luar negeri.

Sastra kita tidak seharusnya jalan di tempat seperti ini, hidup dalam diskontinuitas antar keinginan menolak teori barat dengan ketidaksanggupan menciptakan teori yang khas sastra Indonesia. Dalam pemikiran kebudayaan, kita (terutama akademisi sastra) adalah kaum cendekia yang sesungguhnya tak lebih bagus dari pasien rumah sakit jiwa. Mereka sesungguhnya kurang cendekia, tetapi menolak untuk dikatakan tidak cendekian. Pasien rumah sakit jiwa juga biasanya akan marah jika dikatakan dirinya seorang yang gila.

3

Di masa lalu, di lingkungan antropologi masyarakat tradisional Batak (Angkola dan Mandailing) -sebelum era mikrofon menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya masyarakat seperti saat ini- martariak adalah tradisi yang diwarisi untuk menyampaikan pengumuman penting kepada masyarakat luas.

Sekelompok orang, biasanya diperintah oleh para pemuka pendapat (opinion leader) kampung -baik dari kalangan elite tradisional (hatobangon, harajaon, suhut sihabolonan dan panusunan bulung) maupun wakil administrasi pemerintahan kampung- akan berjalan mengelilingi kampung sambil membacakan teks pengumuman agar masyarakat memaklumi. Guna menarik perhatian masyarakat, dipukul bunyi-bunyian dengan ritme bunyi tiga kali pukul. Alat itu berupa gong kecil yang disebut uning-uning, tetapi masyarakat yang direfresentasikan Hasan Al Banna dalam cerpen "Gu ru Jabut" alat itu disebut nio-nio.

"Bunyi nio-nio terdengar kuyup!" Dengan pembukaan seperti itu, ingatan pembaca cerpen "Guru Jabut" segera dibawa ke lingkungan tradisional masyarakat yang direfresentasikan dalam cerpen. Di beberapa tempat di wilayah antropologi Batak (Angkola dan Mandailing) yang secara geografis tinggal di bekas Kabupaten Tapanuli Selatan, uning-uning atau nio-nio ini sangat lekat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat. Benda ini selalu dibunyikan untuk menarik perhatian jika ada hal penting yang harus disampaikan kepada masyarakat.

Orang yang membunyikan uning-uning atau nio-nio itu biasanya menenteng gong kecil, sambil berkeliling kampung. Sepanjang berjalan, mereka meneriakkan pesan yang harus diketahui oleh masyarakat. Nada dari bunyi uning-uningan atau nio-nio itu berbeda untuk setiap jenis pesan. Kalau pesan berkaitan kematian (biasa disebut siluluton), bunyinya dipukul serentak tiga kali secara berdekatan. Sebaliknya jika pesan kabar gembira (biasa disebut siriaon), nadanya dipukul sekali secara cepat dan menghasilkan efek riang.

Uning-uning atau nio-nio dalam cerpen ini adalah tanda tentang sebuah masyarakat yang secara geografis ada di wilayah Kabupaten Tapsel. Semiotika, sebagaimana dijelaskan Ferdinand de Saussure, adalah ilmu tentang tanda, khususnya yang berkaitan dengan pembacaan tanda di dalam masyarakat. Tanda ini bukan tanpa alasan dibuat Hasan, karena dia menjadi bukti yang berkaitan dengan bukti-bukti lain di dalam cerpen.

Semua bukti itu dapat membentuk sebuah rangkaian berpola atau tatanan beraturan (order), yang unsur-unsurnya saling berkaitan satu sama lainnya sebagai sebuah kesatuan konsep, tema atau peristiwa, yang terbentuk berdasarkan sebuah rencana atau desain tertentu, sehingga makna atau logika di baliknya dapat dengan mudah dipahami. Ada tingkat keterdugaan yang tinggi, yang dapat mengarahkan pembacaan (reading) menjadi lebih jelas, terang, transparan dan eksplisit. Bukti itu merupakan sebuah rangkaian yang berpola, bersambung (continous) dan beraturan, yang unsur-unsurnya berkaitan satu sama lainnya, sehingga proses pembacaannya sangat jelas.

4

"Cerpen", kata para ahli sastra, "representasi realitas manusia." Lantas, siapa manusia yang realitasnya menjadi refresentasi dalam sebuah cerpen "Guru Jabut"? Apakah realitas manusia dimana si pengarang hidup (dengan sendirinya juga realitas si pengarang itu sendiri) ataukah realitas dari pembaca yang dibayangkan si pengarang?

"Guru Jabut" merepresentasi realitas masyarakat yang dapat ditemukan di lingkungan Kabupaten Tapsel, walaupun secara umum dapat ditemukan di semua lingkungan masyarakat. Cerpen mengangkat realitas hidup Guru Jabut. Realitas hidup adalah rangkaian teka-teki, pertanyaan, atau enigma. Ketika realitas hidup itu diangkat sebagai tema di dalam sebuah karya sastra, upaya itu bukan tanpa alasan. Salah satu alasan itu untuk mencari jawaban yang disebut kebenaran (truth).

Kebenaran seperti apa yang hendak diungkap dan dikomunikasikan Hasan dengan menampilkan realitas hidup Guru Jabut? Apakah pembaca -bahkan yang paling awam sastra- mampu menangkap kebenaran itu dengan mudah. Apakah kebenaran itu memiliki relasi kausalitas dengan masyarakat yang direpresentasikan Hasan, sehingga sampai pada sebuah kesimpulan akhir (inference).

Nama Guru Jabut, seperti dijelaskan Hasan dalam cerpennya, nama olok-olokan. "Oya, sebentar, mengapa ia dipanggil Guru Jabut? Bukankah nama akikahnya Panangaran Bayo Angin? Dipanggil Guru, mungkin karena ia guru mengaji. Mmh, Jabut? Itu sabut kelapa! Lazimnya, tak akan ada orang kampung yang sudi digelari Jabut. Adapun jabut kerap dikaitkan dengan tahi ayam. Tiada benda yang paling dicari untuk menjumput unggun tahi ayam kecuali Jabut. Selain itu, kalau seseorang sudah diseru Jabut, tak lain untuk menyatakan bahwa seseorang itu tak berguna. Tapi Guru Jabut tak pernah mengeluh."

Kata "jabut" tak dipahami secara umum sebagai kata olok-olokan. Hanya masyarakat yang direpresentasikan Hasan yang mengerti makna kata "jabut" mengandung nilai negatif jika ditempelkan pada seseorang. Ketika Hasan mengangkat hal ini dalam karya sastra, tanpa sengaja dia telah memperkenalkan sebuah tradisi olok-olok kepada masyarakat luas. Dengan berusaha memahami makna kata "jabut", pembaca pun akan memahami makna apa yang diacu oleh tanda ini.

Makin jelas pula bagi pembaca, cerpen ini merupakan sebuah sikap dari sastrawan untuk menertawakan perilaku religius sebuah masyarakat. Perilaku religius yang kurang beriman, karena menganggap manusia lain berkedudukan secara religius lebih rendah dari dirinya, sehingga pantas dihukum untuk tidak mendapat perlakuan adil dalam hukum agama Islam. Perilaku religius yang tak religius ini, tumbuh subur dalam realitas masyarakat dimana pun. Masyarakat yang merasa dirinya paling religius dan paling beriman dibandingkan masyarakat lain, seolah-olah masalah religiusitas dan keimanan bukan urusan Sang Ilahi.

"Tapi, kenyataannya, surau tak berkawan kala menyongsong jenazah Guru Jabut. Dorlan terbenam dalam cenung, sampai-sampai tak sadar kalau dia sudah khatam menunaikan sembahyang zuhur berjemaah. Dorlan baru angkat kesadaran tatkala bilal mayit berseru-seru: siapa sanak yang sudi jadi imam? Tapi jemaah cuma sudi bertikai pandang, mengundak-undak gerik bahu."

Hasan tak sekedar mengudak-udak watak manusia yang konon mengaku religius dan beriman. Dia juga menawarkan solusi untuk mengatasi masalah sosial-religius semacam ini, lewat tokoh Dorlan, mantan murid mengaji Guru jabut. "Di sela senyap, Dorlan meninggalkan saf, melangkah ke bibir keranda. Dia sempurnakan tekuk kepala. Sedang sebagian besar jemaah di belakangnya masih berdongak-dongak kepala; siapa gerangan pemuda yang jadi imam itu? Tapi, Dorlan terlanjur khusyuk untuk meladeni keheranan tersebut."

5

Kembali pada persoalan yang dipersoalkan Yulhasni, maka jelas bahwa sastrawan Sumut tak sekedar menghasilkan karya sastra. Mereka juga menunjukkan moral dan tanggung jawab atas persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. ***

Sastra Serius, Riwayatmu Kini?

Ulfa Zaini

Sastra serius, sedikit sulit mendiskripsikannya, tapi mungkin bisa disimpulkan, sastra serius adalah sastra yang menggunakan bahasa dengan estetika tertentu. Tidak bersifat komersil dan sangat dalam membahas sisi kehidupan.
Karena sastra serius tidak bersifat komersial, sehingga tidak terlalu memperdulikan selera pasar. Hal ini tentu menjadikan sastra serius minim peminat baik pembaca maupun penulisnya.

Berbeda dengan sastra populer yang bersifat komersial. Kehadiran sastra populer ditandai pada tahun 70-an yang dikenal dengan munculnya novel "Karmila" yang mengangkat tema ringan dan menggunakan dialog yang cenderung easy dan sangat akrab di telinga umum hingga menjadikannya laris manis.

Yudiono K.S dalam bukunya "Pengantar Sejarah Sastra" menyebutkan, sastra populer adalah sastra yang di luar lingkungan majalah Horison, Sastra, Pusat Bahasa, fakultas sastra dan Dewan Kesenian Jakarta yang mengisyaratkan lingkungan "serius" atau resmi untuk kegiatan sastra yang berupa penciptaan (prosa, puisi, drama, kritik dan esei), penelitian dan pengembangan sastra. Karya-karya sastra yang muncul diharian-harian luar itu, seperti harian-harian yang muncul di daerah adalah sastra populer.

Bambang Soebondo (Sinar harapan) berpendapat, Koran diterbitkan untuk laku dijual, sehingga rubriknya harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar pembaca(Yudiono K.S: Pengantar sejarah Sastra Indonesia).

Dari deskripsi di atas, jelaslah karya sastra populer adalah karya sastra yang harus diminati pembaca secara umum dan tidak menggunakan bahasa yang berat-berat. Hal ini menyebabkan sastra populer memiliki kedudukan yang lebih rendah dibanding sastra serius karena bertema dangkal dan kebanyakan mengangkat cerita-cerita roman yang picisan.

Meskipun sebenarnya dalam sastra serius banyak juga yang mengangkat tema-tema cinta, namun hal itu hanya serupa selingan saja seperti bumbu penyedap. Misalnya kita kenal dengan karangan Buya HAMKA dalam buku "Tenggelamnya Kapal van der Wijck" yang di dalamnya terdapat kisah cinta antara Zainuddin dan Hayati. Biarpun demikian, tidak melulu bercerita tentang lika-liku kisah cinta, Zainuddin dan Hayati di sana hanya sebagai wadah untuk menujukan bagaimana adat dan budaya yang terkandung di bumi kelahiran HAMKA tersebut. Jelaslah yang ingin ditunjukkan HAMKA di sana adalah pertentangan adat antara kaum tua dan muda.

Berbeda halnya dengan sastra populer, di sini kita mungkin mengangkat contoh novel "Dea Lova" yang bercerita penuh tentang kisah cinta antara Dira, Kara, dan Ibel. Cerita yang diangkat full of cinta ala remaja yang kesannya tak pernah susah. Penggunaann bahasa yang begitu ringan dan sangat diminati membuat novel teenlit pertama Indonesia ini laris manis di pasaran. Mulai dari situ bermunculanlah novel-novel teenlit yang jelas merupakan sastra populer.

Keberadaan novel DeaLova dapat segera digantikan oleh novel-novel teenlit lainnya yang sesungguhnya memberikan warna serupa. Masih mencitrakan kehidupan remaja yang gak pernah susah.

Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya sastra populer begitu cepat habis masanya berganti dengan karya-karya lainnya. Seperti halnya gaya bahasa populer yang gak ada matinya. Kini muncul pula gaya bahasa Alay yang tentu turut menjamur pula dalam novel-novel populer. Setelah Alay entah apalagi selanjutnya? Biarpun demikian tetap tidak menyurutkan minat seseorang untuk menciptakan karya sastra yang berjenis populer tersebut. Walau demikian memang tak selamanya sastra popular itu buruk, hanya saja iming-iming pasar yang cenderung menggelapkan mata membuat banyak penulis menghasilkan karya yang membutakan mata pembacanya dari sisi kehidupan yang real.

Berbeda dengan sastra serius yang mampu melintasi zaman dan sangat melekat di hati pembacanya. Melihat hal itu seharusnya sastra serius lebih diminati sebab sifatnya lebih abadi. Tidak mencuri minat seseorang untuk beralih menjadi penulis-penulis karya sastra yang lebih serius. Agaknya iming-iming komersialisasi tetap yang utama.

Hal ini tetap mengkhawatirkan, sebab jika kita bicara tentang sastra serius dan tokoh-tokohnya otomatis yang bisa kita sebutkan adalah para pengarang yang melegenda dengan karya-karya angkatan-angkatan terdahulu.

Lantas akankah membuat orang bertanya-tamnya bagaimanakah karya sastra serius itu sesungguhnya yang dijadikan contoh karya-karya angkatan terdahulu? Apakah orang yang ingin membuat karya sastra serius harus cenderung mengikut-ikut gaya bahasa yang terkesan jadul (jaman dahulu) dan bersayap tersebut.?

Meskipun banyak juga yang mengatakan bahwa hal terpenting adalah berkarya, jangan terlalu perduli apakah itu sastra serius ataupun populer. Tetap saja hal ini perlahan akan menggerus keberadaan sastra serius. Sebab orang lebih memilih sastra yang sifatnya komersial. Kelak jika kita ditanya tentang sastra serius apakah kita akan menyebutkan karya-karya sastra milik para legendaris dan itu-itu saja?

Sketsa Kontan, Mei 2011

Jumat, 23 September 2011

Pengalaman Yang Tak Terlupakan Finna

Hari ini aku ingin menceritakan pengalaman pribadi yang tidak pernah terlupakan. Pada saat itu aku duduk di kelas enam (VI).Aku diajak guruku untuk ikut dalam Lomba baca puisi seKota Medan .

Pertama-tama ,aku menolak ..tetapi setelah dibujuk oleh teman teman , aku pun ikut dalam lomba itu..
Setiap hari , Kami Berlatih dan berlatih..sampai akhirnya kami mahir. Kelompok kami terdiri atas 5 orang yaitu : Ekasari Fortuna , Jimmy , Achmad Qaulan , Pendy , Dan aku tentunya.. :D

hari itu pada hari rabu , yaitu hari kami untuk mengikuti lomba.. kami tentunya sangat deg degan.. Karena saingan kami banyak..dari sekolah yang lain.

Kami berangkat dari sekolah jam 8 pagi..tempat lomba kita berada di Taman Budaya..

Setelah menunggu peserta lain membacakan puisi.. saatny kami untuk maju ke depan..

Kami Membacakan puisi karya Bapak M.Raudah Jambak yang berjudul " Masih Merdekakah Kau Indonesia "


Setelah kami tampil, kami menunggu sambil melahap makan siang..
Lalu saatnya pengumumuman..jantung kami nyaris copot.. setelah dimumkan sampai juara 3 , nama sekolah kami belum dipanggil juga.. kami khawatir sesaat , lalu juri menyebutkan juara ke 2 , kami semakin gemetar .. apakah kami akan juara atau malah tidak..


LALU , JUARA KE 2 DIMENANGKAN OLEEEEEEHHHHHH SD SUTOMO 1.. SELAMAT..

KAMI TERKEJUT SESAAT LALUU BERTERIAKK.. KAMI TIDAK PERCAYA BAHWA KAMI MENANG..

kami sampai di sekolah dengan wajah yang berseri-seri.. Leganya kamii..
Kami akan menerima hadiah pada hari jummat.. kami sangat senang..


SEKIAN
TERIMA KASIH

Nama : Finna
Jenis Kelamin : Perempuan
Sekolah : SMP Sutomo 1
Umur : 14 tahun
Tanggal lahir : 27 November 1997
Hobby : Baca novel
Cita-cita : Guru
Alamat : Jalan sejati no 74 A
Jumlah saudara : 1 orang
Makanan Kesukaan : pizza
minuman kesukaan : Jus
Nama aorang tua : Eddy Suwanto & Tjin Mei Leowardy

Meneruskan Generasi Sastra, Mencatat Perjalanan Waktu
Catatan Fadmin Prihatin Malau

Dalam kebingungan dan kesibukan rutinitas, tulisan ini ditulis. Bingung karena acapkali ditanya beberapa orang rekan kerja dan para pelajar terutama anak penulis yang suka dengan sastra, kepada penulis.

Apa pelajaran sastra di sekolah hanya mempelajari karya-karya sastra pujangga lama, sastra melayu lama, angkatan balai pustaka, pujangga baru, angkatan 45 dan angkatan 50-an saja? Apakah setelah itu tidak hadir lagi angkatan berikutnya dan bagaimana dengan para sastrawan yang ada sekarang ini?

Fakta yang ada kini, para pelajar masih mempelajari karya-karya para sastrawan itu. Belum lagi masuk kepada karya-karya sastra dari para sastrawan setelah itu. Pada hal logika berpikirnya tidak demikian, tidak mungkin terjadi stagnasi, tidak mungkin ada moratorium. Selagi dunia terkembang dan manusia ada pasti ada karya sastra.

Hal itu karena setiap manusia pasti berkomunikasi sesama manusia dan medianya adalah bahasa. Berbicara tentang bahasa tentu tidak bisa lepas dari karya sastra sebab setiap bahasa memiliki seni dalam bertutur kata.

Perjalanan hidup manusia ada waktu, ada periodesasi dan bahasa mengikuti itu termasuk bahasa Indonesia memiliki sejarah periode dan jenis karya sastra dan dikenal dengan periodesasi seperti angkatan pujangga lama yang merupakan bentuk karya sastra yang dihasilkan sebelum abad ke-20 di Indonesia.

Pada abad itu karya sastra dominasi adalah syair, pantun, gurindam dan hikayat. Perkembangan zaman lahir sastra melayu lama, lantas lahir pula angkatan balai pustaka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit seperti roman, novel, cerita pendek dan drama.

Pada masa ini kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat mulai digantikan dengan puisi. Setelah balai pustaka muncul, pujangga baru sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh balai pustaka terhadap karya tulis para sastrawan pada masa itu terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.

Perubahan zaman dan gejolak sosial, politik, budaya memengaruhi kehidupan dunia sastra di Indonesia dengan lahirnya karya sastrawan angkatan 45 yang lebih realistik bila dibandingkan dengan karya angkatan pujangga baru yang romantik dan idealistik. Lagi masalah sosial, politik dan budaya yang berkembang memengaruhi karya sastra, maka muncul angkatan 50-an yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi.

Pergolakan dan perubahan terus melahirkan angkatan 1966-1970-an yang ditandai dengan adanya majalah sastra yang menampilkan karya sastra sangat beragam dalam aliran, ada sastra aliran surealistik, arketip dan absurd.

Bagaimana setelah angkatan 1966-1970-an? Pertanyaan ini muncul karena perkembangan zaman dengan problematika yang berbeda. Suasana sosial, budaya dan politik berubah secara cepat dan karya sastra dari para sastrawan terus mengalir bagaikan air sungai yang tidak putus-putusnya terus mengalir menuju lautan lepas.

Pertanyaan setelah angkatan 1966-1970-an wajar muncul, bila disebut angkatan balai pustaka para pelajar dan masyarakat mengenal Merari Siregar dengan karyanya Azab dan Sengsara. Marah Rusli dengan Siti Nurbaya. Nur Sutan Iskandar dengan karyanya Katak Hendak Menjadi Lembu. Abdul Muis dengan Salah Asuhan, Tulis Sutan Sari dengan Sengsara Membawa Nikmat.

Aman Datuk Madjoindo dengan karyanya Si Tjebol Rindoekan Boelan. Suman Hs dengan Mentjari Pentjuri Anak Perawan. Adinegoro dengan Darah Muda. Sutan Takdir Alisjahbana dengan Anak Perawan Di Sarang Penjamun. Hamka dikenal dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan beberapa nama lainnya.

Begitu juga bila disebut pujangga baru teringat nama Armijn Pane dengan Belenggu. Tengku Amir Hamzah dengan karyanya Nyanyian Sunyi. Muhammad Yamin dengan Ken Arok dan Ken Dedes. Ada Roestam Effendi, Selasih, JE Tatengkeng dan lainnya.

Hal yang sama bila disebut angkatan ’45 teringat nama Chairil Anwar dengan Kerikil Tajam, Idrus dengan karyanya Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma. Prammoedya Ananta Toer dengan Keluarga Gerilja. Mochtar Lubis dengan Djalan Tak Ada Ujung. Achdiat K. Miharja dengan Atheis. Ada Trisno Sumardjo, M. Balfas, Utuy Tatang Sontani, Asrul Sani, Rivai Apin dan lainnya.

Bila menyebut sastrawan angkatan 50-an, nama Ajip Rosidi dengan Cari Muatan. Nh. Dini dengan Dua Dunia. Nugroho Notosusanto dengan Hujan Kepagian. Ramadhan KH dengan Api dan Si Rangka. WS. Rendra dengan Balada Orang-orang Tertjinta dan lainnya.

Meneruskan Generasi Sastra
Pertanyaan dengan mudah dapat dijawab, bila terus dilakukan penerusan generasi sastra sebagaimana yang ada sejak era pujangga lama. Caranya pengajaran sastra tidak hanya sebatas sampai angkatan 50-an saja. Referensi sastra terus dibuka, ulasan sastra terus dikembangkan dan hidup dari zaman ke zaman.

Pelajaran sastra atau kesusastraan di sekolah, di perguruan tinggi tidak hanya mempelajari karya-karya sastra dari para sastrawan pujangga lama, sastra melayu lama, angkatan balai pustaka, pujangga baru, angkatan 45, dan angkatan 50-an saja tetapi terus berkembang sampai sastra dan sastrawan era kini.

Bukankah sebuah teknologi terus berkembang dan masyarakat terus berburu teknologi terbaru tanpa harus melupakan teknologi yang lalu? Pada dasarnya teknologi terbaru adalah cikal bakalnya dari teknologi dahulu. Begitu juga dengan sastra dan sastrawan harus hadir angkatan berikutnya tanpa harus meninggalkan angkatan yang lalu, sehingga tidak muncul pertanyaan.

Sama halnya dengan teknologi ternyata sastra dan sastrawan mengalami perkembangan begitu pesat dan harus dicermati. Dipelajari sebagai satu khasanah berharga dalam dunia kesusastrawan. Bila ada angkatan 50-an tidak salah ada angkatan 70-an karena alam sosial, politik dan budaya terus berkembang.

Hal yang pasti, semangat era 50-an tidak mungkin sama dengan era 70-an. Harus diakui semangat avant-garde sangat menonjol dengan ditandai munculnya majalah-majalah sastra, majalah hiburan dan berbagai penerbit yang menerbitkan karya sastra.

Sederetan nama ada pada era 70-an ini seperti Motinggo Busye, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, HB. Jassin, Iwan Simatupang, Umar Kayam, Ikranegara, Leo Agusta, Arief Budiman, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Abdul Hadi WM, Arifin C. Noer dan banyak lagi nama-nama lainnya.

Begitu juga dengan dasawarsa 80-an, dikenal dengan karya sastra roman percintaan, dengan sastrawan menonjol Marga T, Remi Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, Tajuddin Noor Ganie, Mira W, Titie Said, La Rose dan yang sangat menonjol dengan karyanya serial Lupus milik Hilma Hariwijaya serta sederetan nama-nama lainnya.

Perkembangan perpolitikan, sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia bergejolak, melahirkan era reformasi dengan ditandai beralihnya kekuasaan yang memengaruhi karya sastra, puisi, cerpen, novel dengan tema sosial politik tentang reformasi. Berbagai media (surat kabar), penerbitan buku antologi puisi, cerpen hadir dengan tema sosial politik. Para sastrawan yang hadir era ini seperti Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, Ayu Utami, Seno Gumira Ajidarma dan banyak lagi nama-nama lainnya.

Dari Lokal ke Nasional

Meneruskan generasi sastra, mencatat perjalanan waktu harus dilakukan karena sesungguhnya para sastrawan adalah saksi sejarah pada zamannya. Bila ini yang dilakukan, pertanyaan tidak akan muncul karena dengan sendirinya sudah terjawab.

Idealnya para sastrawan menjadi saksi sejarah pada zamannya, pada daerahnya. Kondisi sekarang ini, para sastrawan baru berhasil dengan tertatih-tatih menjadi saksi sejarah pada zamannya di tingkat nasional. Di tingkat lokal masih tenggelam, belum mampu menjadi saksi sejarah pada zaman dan daerahnya.

Banyak para sastrawan di daerah sebut saja Sumatera Utara, berkiprah menjadi saksi sejarah pada zaman dan daerahnya belum diketahui oleh masyarakat daerahnya. Para mahasiswa fakultas sastra, para pelajar dan masyarakat umum di Sumatera Utara belum mengenal secara baik karya-karya sastra yang dihasilkan para sastrawan Sumatera Utara. Belum menjadi bahan pembelajaraan muatan lokal di berbagai bangku sekolah dan fakultas.

Seharusnya bila dilakukan penerusan generasi sastra sebagaimana yang ada sejak era pujangga lama maka referensi sastra terus dibuka, ulasan sastra terus dikembangkan dan hidup dari zaman ke zaman. Pelajaran sastra atau kesusastraan di sekolah, di perguruan tinggi tidak hanya mempelajari karya-karya sastra dari para sastrawan tingkat nasional tetapi karya sastra para sastrawan tingkal lokal terlebih dahulu dipelajari.

Cukup banyak sastrawan di Sumatera utara seperti Ali Soekardi, Maulana Samsuri, Damiri Mahmud, Mihar Harahap, D. Rivai Harahap, Idris Pasaribu, Lahmuddin Mane (alm), Ahmad Samin Siregar (alm), Gunawan Tampubolon (alm), Wirja Taupan, Laswiyati Pisca, Choking Susilo Sakeh, Afrion, AS. Atmadi, Sofyan Tanjung, Hidayat Banjar, Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, S. Ratman Suras, Idris Siregar, YS. Rat, Thompson HS, M. Raudah Jambak, Hasan Al Bana, Muram Batu dan banyak nama-nama lain yang kini tidak muncul lagi karyanya tetapi pernah berkarya untuk khasanah sastra di Sumatera utara pada zamannya. Seharusnya tercatat dan dicatat dalam meneruskan generasi sastra karena pernah ada dan berkarya. Hal ini menjadi tugas semua pihak termasuk para sastrawan itu sendiri.

Era Menulis Diregut Kekuasaan Kapital

Ria Ristiana Dewi

Sejatinya seorang penulis, meski harus terus menulis tetap memiliki kecenderungan akan melirik ke banyak hal, salah satunya soal berapa honor yang ia dapatkan. Memang hal ini bukan lagi hal baru, sejatinya memang seperti itu cerita yang banyak dibangun oleh pengamat sastra akhir-akhir ini. Bahkan pernah sedikit penulis berbicara dengan salah seorang sastrawan kota Medan. Raudah Jambak misalnya, mengatakan bahwa menulis itu jangan melihat berapa honor yang diberikan. Begitu pula dengan Hasan Al Banna mengatakan bahwa menulislah dengan hatimu, maka kau tak perlu mengejar uang. Ulfa Zaini, seorang penulis muda dalam artikelnya (Analisa Minggu, 12 Juni 2011) juga tak kalah berpendapat banyaknya karya yang justru dikomersilkan. Ini artinya bila memang kita menulis untuk pertama kalinya hanya bercita-cita menimbun uang sama dengan kita membunuh karya atau tulisan kita sendiri. Tetapi tolak ukur ini tentu tidak hanya dari si penulis sendiri, namun juga dari media massa akhir-akhir ini yang merasa perlu membuat satu cara jitu memenuhi konsumsi pembaca kita yang nakal dan haus akan globalisasi.
Bahkan penulis terperanjat dengan sebuah artikel yang dilayangkan Naufil Istikhari KR, penekun sastra Fishum UIN Yogyakarta (Seputar Indonesia, 24 Juli 2011) berjudul Kematian Sastra Indonesia (?). Dalam artikel tersebut, Naufil mengatakan bahwa kekuatan sastra secara diam-diam menjalin hubungan gelap dengan kekuasaan kapital. Memang berdasarkan artikel ini pula telah banyak karya-karya sastra yang beredar sekarang ini kurang greget dalam melumat kebobrokan moral. Akhir-akhir ini banyak sekali kita melihat karya-karya yang melejit justru karena memberi ruang surga bagi pihak-pihak yang mestinya kita kritik. Di sini Naufil seolah ingin mengabarkan perihal penulis-penulis yang lebih ke arah dunia perfilman modern, mengambil tema-tema percintaan yang tak habisnya dibahas di media. Lalu dengan iming-iming popularitas sekaligus banyaknya uang yang didapatkan, ikut pula penulis-penulis lainnya mengekor seperti semut yang hendak menggotong gula. Tak tampak pahitnya sastrawan-sastrawan itu selayaknya sastrawan tempo dulu.
Tentu kita masih ingat peristiwa berdirinya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di era tahun 1945-an yang mana harus bertarung melawan pemerintahan kolonial. Kala itu kolonial ingin menjadikan kebudayaan asing sebagai kebudayaan utama dan terdepan di Indonesia. Tentu saja mendapat penolakan dari sastrawan Indonesia. Apabila kala itu sastrawan hanya memikirkan masalah kapitalisme, mungkin sudah bisa kita tebak bahwa kebudayaan Indonesia perlahan lenyap. Maka, sekarang ini pula kita takkan menemukan karya-karya rakyat Indonesia di belantara kebudayaan bangsa kita sendiri. Hidupnya Lekra di era 1945-an ini tentu tak lepas dari usaha sastrawan untuk membantu usaha mencapai kemerdekaan dalam kebudayaan.
Arus yang Menyita Benak Bibit Penulis
Penulis merasa tertarik sekaligus tertantang dengan artikel yang diusung Yul Hasni, seorang dosen muda Medan yang mengangkat tentang kampus USU yang sepi kreativitas sastra (Analisa Minggu, 31 Juli 2011). Dalam hal ini penulis sedikit banyaknya menduga alasan-alasan yang menjadi tersendatnya kreativitas sastra di USU. Seperti halnya yang dikatakan dalam artikel tersebut bahwasannya dahulu memang banyak sekali sastrawan-sastrawan yang lahir dari kampus USU ini. Lalu mengapa jurusan Sastra Indonesia di USU seakan tak menunjukkan taringnya bila dibandingkan dengan penulis-penulis dari UNIMED ataupun UMSU?
Penulis sekadar menduga bahwa corak USU yang lebih ke arah masyarakat kota dibebani banyak kegiatan perkotaan pula seperti kebiasaan berbelanja dan sekadar melihat-lihat ramainya arus global turut membuat mereka tak hendak kembali menjadi pahlawan sastra bangsa Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Padahal bila mereka tidak terikut arus global sebagai masuknya budaya asing, tentu masih mampu menampung aspirasi rakyat dalam karya-karya terbaik mereka.
Sebenarnya di UNIMED dan UMSU sendiri juga mengalami hal semacam ini, namun atas gerakan beberapa orang mampu membawa mereka beranjak dari lubang yang itu-itu saja. Maka, harus ada yang melakukan itu di kampus USU, khususnya jurusan Sastra Indonesia.
Terpasung Kecurigaan Tak Mendasar
Selain itu, penulis terpaksa juga membeberkan persaingan-persaingan yang membelenggu penulis-penulis kita saat ini khususnya di kota Medan. Penulis ingin memberi sebuah percontohan sedikit bagi penulis-penulis muda Sumatera Utara yang berpusat di Medan. Sebuah keyakinan beberapa orang untuk menyatukan itikad baik dalam menulis inilah banyak mendapat sambutan yang justru kurang baik. Padahal sudah jelas apa tujuannya yaitu memajukan sastra di sumatera utara dengan menekan sebanyak mungkin antusias pemuda. Sejatinya sastrawan kita tak lupa akan semangat pemuda mencetuskan sumpah pemuda dan sudah selayaknya pemuda diberi tempat. Apalagi melihat begitu tingginya peran pemuda dalam pengembangan karya sastra. Bila sastrawan mampu melirik potensi ini, sebenarnya adalah ruang khusus diskusi sastra serius itu mulai digalakkan.
Penulis-penulis muda seperti halnya Ulfa Zaini, Sartika Sari, Robi Subrata, Rudiansyah Siregar, Wahyu Wiji Astuti, Sakinah Anisa Mariz, Febri Mira Rizki, Zuliana Ibrahim, Maulana Satrya Sinaga, Dani Sukma, dan masih banyak lagi bahkan begitu menyadari akan pentingnya menggalakkan sastra serius ini. Seperti yang terkutip dalam artikel Ulfa Zaini: ”Sastra serius tidak bersifat komersial, sehingga tidak terlalu memperdulikan selera pasar. Hal ini tentu menjadikan sastra serius minim peminat baik pembaca maupun penulisnya”.
Maka bila ada beberapa penulis yang beranjak dari penulis-penulis yang disebutkan di atas mengatakan bahwa ini sebuah regenerasi penulis dadakan yang dibuat-buat dan tak ada guna adalah sebuah kesalahan besar. Dan hal ini mampu memasung kepercayaan penulis-penulis muda kita bahwa memang ada ketakutan beberapa orang akan tersaing. Padahal mereka adalah potensi menumbuhkembangkan kepercayaan rakyat akan pentingnya sastra bagi kemajuan bangsa ini. Semoga saja apa yang penulis duga mengenai ketakutan-ketakutan ini hanya sebuah kabar miring. Dan pastinya kehidupan sastra kita lebih menunjukkan giginya di dunia internasional.
Bergeming pada Angka-Angka
Kita tak bisa menyangkal memang masih banyak kaum baik muda maupun tua yang memperhitungkan angka-angka. Misalnya saja, tentang berapa honor di media A kemudian berapa pula di media B. Tetapi tunggu! Mari melihat sedikit ke arah alasan-alasan yang masih dapat kita terima.
Di beberapa komunitas kepenulisan pemuda memang masih banyak sekali pertanyaan ini muncul. Berdasarkan pengalaman penulis, banyak penulis muda memang mempertanyakan dahulu apa untungnya kegiatan menulis ini? Sebagian memang ada. Apabila keuntungan yang didapatkan kecil, maka menjadi pertimbangan. Apalagi merintisnya penuh keluhan dan jatuh bangun. Namun kenyataannya tidak sedikit penulis muda yang mengaku setia menulis walaupun wadah untuk menampungnya belum mereka dapatkan bahkan harus bertahun-tahun belajar dan menghabiskan banyak waktu pun pikiran. Penulis-penulis ini juga sangat terbantu dengan banyaknya perlombaan-perlombaan yang diadakan sehingga mengetahui kualitas karya mereka. Namun tak sedikit yang mengetahui karyanya tidak layak langsung berbalik badan alias mundur seketika dari persaingan sehat. Lagi-lagi angka-angka menjadi tolak ukur.
Namun sebenarnya, penulis muda lebih banyak mengandalkan honor demi tetap mengembangkan dan melancarkan taringnya dalam menulis. Misalnya saja, untuk membeli koran, mengakses internet, menghadiri dan membuat acara sastra. Pastinya membutuhkan modal dan di sinilah honor-honor itu berputar. Sebab pada dasarnya penulis muda kita belum memiliki nominal lebih dari kantong sendiri demi memenuhi hal-hal ini.
Inilah sebabnya para penulis lagi-lagi perlu mengambil alih keyinan diri akan mencintai karya-karya mereka. Yaitu penulis memang harus menulis sesuai hati nuraninya. Memberi pesan-pesan berguna untuk masyarakat kita. Berani tampil mengkritik pemerintahan dan membela rakyat. Maka, sudah saatnya menjaga diri dari arus global yang menawarkan tontonan pun tulisan-tulisan berbau imperialisme modern. Marilah penulis-penulis!

Penulis adalah dewan ahli Komunitas Penulis Anak Kampus,
aktivis Laboratoriun Sastra (LABSAS) Medan,
dan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UNIMED.


Ma Hyang
Cerpen Ria Ristiana Dewi

Dengan celana pendek dan kaus ablong bapak duduk di depan TV. Seperti biasa, bapak menahan mata hingga pagi menonton wayang kulit. Terkadang bapak mematikan lampu ruang TV agar ibu tidak terganggu dengan sinarnya hingga membuat suasana malam semakin gulita. Hanya sinar kelap kelip saja yang membuat bapak terlihat dari sorotan mata.
Di sampingnya, selagi menonton bapak berkata, “ini namanya Wayang Kulit Gragag Yogyakarta”
“ Owh…,” gumamnya dengan bingung yang masih tergambar di wajah.
Di depan sorotan lampu TV, ia dan bapak berseteru tajam, terkadang menguap namun biasa. Biasa karena ia dan bapak selalu nonton bersama. Biasanya pula ia tertidur dan bapak akan membiarkan atau malah menggendong tubuh kecilnya ke dalam kamar.
Namanya Ma Hyang. Hmm…begini, ibunya bilang bapak suka menonton wayang maka bapak memberikannya nama Ma Hyang. Katanya nama itu asal kata dari kata wayang, tapi ia sendiri tak mengerti apa artinya.
Dan, Jika ada yang membuat pertanyaan maupun peryataan, mereka bilang Ma Hyang itu gadis berdarah jepang. Masalahnya mata Ma Hyang tidak bermata cipit, jadi mana mungkin memiliki keturunan Jepang. Terkadang ada pula yang menyebutnya gadis tersohor bernama klasik. Ah… ada-ada saja!
Yang lain bertanya, “Ma Hyang, Bapakmu dulu apa pernah tinggal di Jepang, Cina, atau Korea?”
Dan, Ma Hyang akan tertunduk, bukan malu namun heran. Heran kenapa banyak yang bertanya tentang namanya. Padahal sewaktu ia baru pandai berjalan dan pandai berkata-kata dulu, bapak dan ibu tidak pernah merasa ngeri memanggil nama itu. Begitulah Ma Hyang yang biasanya dipanggil Hyang tidak tahu jika saat usianya kini menjemput delapan tahun akan ada yang bertanya-tanya perihal nama Ma Hyang.
Di sekolah, Ma Hyang seperti anak-anak di sekelilingnya, bercanda serta bercengkrama. Belajar dengan tertib bahkan ia salah satu siswa berprestasi di kelas. Kadangkala ia berdiam di perpustakaan, menumpahkan konsentrasinya untuk membolak-balik berbagai jenis buku mulai dari novel, komik, majalah juga tak luput dari sentuhan jemarinya dan olesan jiwa nan pikiran. Hmm…barangkali inilah yang membedakan Ma Hyang dengan anak-anak lainnya.
Ma Hyang memang anak keturunan Klaten campur Solo namun ia tak pernah meminjak kaki di wilayah itu. Bapaknya dari Klaten, kalau begitu ibunya berasal dari Solo. Ia sendiri saat ini bermukim di kota terbesar ketiga Indonesia, Medan. Ma Hyang memang tak dapat berbahasa Jawa, tapi Entah kenapa setiap bapak menonton Wayang Kulit ia seakan mengerti ceritanya. Tidak ada yang tahu bahwa dalam tubuh mungilnya Ma Hyang memiliki kemuliaan mimpi, serta tiap ia bercerita akan ada sela kala ia memungut jatinya tentang asal muasal bapak dan ibu.
Mimpi itu adalah mimpi si mata belia. Kerap Ma Hyang suka membaca buku-buku berbau budaya Jawa. Sekedar ingin tahu tentang wayang kulit yang selama ini hanya ia lihat di TV.
Di dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter, diantara lemari pakaian dan meja belajar, Ma Hyang masih terlihat lelap terbawa mimpi di atas ranjang. Sayup – sayup ia kerahkan kelopak mata hingga terbuka. Terlihatlah mata merahnya melanglang buana mencari arah suara yang membangunkan. Yah…, ada suara berisik dari luar kamarnya. Ma Hyang langsung meloncat dari ranjang dan bergegas ke arah suara itu. Ia tak tahu lagi ketakutan apa yang telah terjerat di benaknya setelah mendengar suara terisak-isak itu. Bening kali ini sirna, keruh bersama tangis. Ma Hyang melihat bapak terbujur kaku di atas ranjang, ibu meraung menangis teriris-iris jiwanya, terpukul dengan bapak tanpa napas hingga ibu kerap mengoyang-goyangkan tubuh bapak, mana tahu bapak hanya bercanda. Di samping kanan dan kiri ibu ada dua orang ibu-ibu tetangga yang berusaha menenangkan suasana. Tapi ibu terus menangis dan menangis. Inilah yang ibu takutkan, Ayah dengan penyakit jantungnya yang selama ini ia derita. Dan Ma Hyang hanya terdiam di sebelah pintu dengan takut sambil bertanya-tanya sendiri dalam hati, apakah yang telah membuat bapak tertidur dan kenapa ibu harus meraung sambil diberi ketenangan oleh ibu-ibu di sampingnya.
“Masih bernapas!,” kata salah seorang dari tentangga yang juga Pak RT di gang rumah Ma Hyang sontak mengagetkan orang-orang yang tengah berduka saat itu termasuk Ma Hyang dan ibunya.
Mereka menelpon ambulan, menyelimuti bapak dengan kain, merebahkan tubuhnya di atas tilam kapuk dan menaikkannya beramai-ramai memasuki ambulan. Ma Hyang dan Ibu ikut berada di samping bapak dalam perjalanan menuju rumah sakit. bapak langsung diperiksa oleh kerumunan perawat dengan satu orang dokter umum. Setelah itu, bapak dimasukkan ke dalam ruang ICU. Ruangan itu pula dipenuhi pasien dengan kondisi rata-rata koma (tidak sadarkan diri).
Ma Hyang tidak ke sekolah hari ini. Ia tak ingin meninggalkan ibu sendiri berjuang melawan perih menunggu bapak yang sedang berada di ruang ICU. Mereka hanya diberi satu buah sofa untuk tidur selama bermalam-malam. Hmm…begitulah, Ma Hyang dan ibu telah lama menunggu bapak bangun dari tidurnya.
“Maaf bu, Apakah ibu istri bapak ini?,” tanya seorang dokter spesialis yang tengah memeriksa bapak saat ibu juga sedang menemani bapak pada jam berkunjung.
“Ya…, bagaimana kondisi suami saya, Dok?”
“Saya tidak bisa memastikan sekarang ini, jantungnya mulai lemah bahkan ini sudah kronis tapi saya ingin menanyakan pada ibu apakah bapak pernah memiliki semacam benda keramat?”
“Tidak, tapi…setahu saya bapak dulu punya keris namun hilang dicuri temannya. Kenapa Dok? Apa ada hubungannya dengan kondisi suami saya?”
“Ah…tidak. Sebaiknya segala urusan bapak dibereskan dan ibu tinggal berdoa apakah ingin mengikhlaskan bapak karena kondisinya sudah semakin tidak mungkin.”
Dan,
Ibu kembali terduduk dalam diam, disamping Ma Hyang yang semakin bimbang. Lalu ibu mengajak Ma Hyang shalat lantas ibu mendoakan bapak seperti yang dipesankan dokter.
***
Ma Hyang namanya. Ia telah beranjak remaja kini, setelah dahulu ayahnya meninggal di usianya yang masih belia. Dengan kulitnya yang putih, tubuhnya yang tinggi, matanya berbinar dan rambutnya tergerai panjang Ma Hyang berjalan menyusuri sekolahnya, Menengah Atas. Dengan rasa tak menyerah, Ma Hyang menjadi gadis mandiri disukai banyak laki-laki.
Hari ini, Ma Hyang telah menahan ngantuk. Tadi malam ia menghafal naskah panjang untuk memerankan salah satu tokoh Mahabrata. Ia sendiri yang membuah naskah itu dan ia pula yang merangkul teman-teman sekolahnya untuk memberikan persembahan terakhir pada sekolah yang akan ditinggalkan setelah mereka dinyatakan lulus SMA. Entah kenapa ia selalu mendapat sambutan paling mengesankan dan kenapa pula ia menjadi dambaan setiap orang.
Setelah tepuk tangan yang riuh terus terngiang hingga malam tiba Ma Hyang tersenyum-senyum geli sambil berbaring di atas ranjangnya. Dan ia mulai mencari benda kesayangannya sepeninggal bapak. Di dalam laci tangganya merogoh benda keramat yang selama ini dicari-cari bapaknya. Hmm…mungkin bapak Ma Hyang lupa sewaktu malam sebelum menonton wayang Ma Hyang kerap bermain-main dalam gelap bersama kelam yang dibawakan keris tersebut.
*) Wayang Kulit Gragag Yogyakarta: Wayang Kulit Gaya Yogyakarta
*) Ma Hyang: asal kata wayang yang artinya menuju Yang Maha Esa.
*) Mahabharata adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. (sumber: www.wikipedia.org)

Ide, Mengawali Proses Kreatif Penulis
Oleh: Ria Ristiana Dewi. Saat saya bertanya kepada beberapa orang penulis muda mengenai kondisi apa yang paling memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan ide, ternyata memiliki jawaban yang beragam. B ila kita membicarakan masalah ide sendiri memang tak lepas dari proses kreatif seseorang terutama bagi seorang penulis. Inipula yang terjadi pada beberapa sastrawan kita. Menulis ibarat menyelupkan ide sebagai bahan terbentuknya sebuah karya. Seperti apa keluaran dari hasil pencelupan ide?
Ide sebagai bahan tulisan ternyata awal sebuah proses kreatif yang dapat diperoleh secara beragam. Kelahiran ide sebagai proses kreatif, sebenarnya mendapat tempat utama yaitu adanya situasi yang menjadikan kita berpendapat atas sesuatu hal kemudian menjadi gagasan. Gagasan inilah merupakan ide yang kemudian disalurkan dalam bentuk tulisan dan tulisan ini tentunya memerlukan editing, sehingga hasilnya memuaskan. Jadi, seperti apa proses lengkapnya?

Tahapan Proses Kreatif dalam Menulis

Williem Miller dalam kutipan Jakob Sumarjo memaparkan, berdasarkan berbagai pengalaman penulis terkenal, proses kreatif seorang penulis mengalami beberapa tahap. Pada dasarnya terdapat empat tahap proses kreatif menulis.

Pertama, tahap persiapan. Tahapan ini adalah gagasan yang pertama kali mulai dipikirkan oleh seorang penulis dan akan siap untuk kemudian dikembangkan. Kedua, tahap inkubasi. Tahap ini akan menyimpan gagasan tadi dan dipikirkannya matang-matang. Proses ini dinamakan pula pengendapan yang nantinya akan terus dipikirkan oleh penulis untuk kemudian dimatangkan gagasan itu. Ketiga, saat inspirasi. Tahapan inilah tahap yang menggelisahkan. Saat ini gagasan ingin dilahirkan dan dimantapkan di mesin tulis, sehingga kehadirannya harus disambut sesegera mungkin jika tidak ingin hilang begitu saja. Keempat, tahap penulisan. Saat ini dianjurkan membuka kran jiwa sebesar-besarnya. Jangan tunda lagi. Lakukan itu baik dalam bentuk catatan kecil maupun langsung mengetiknya di komputer. Tetapi ini masih sebuah tulisan kasar yang belum bisa final. Maka akan ada tahap akhir yaitu tahap revisi. Pada tahap inilah tulisan benar-benar dibaca kembali. Setelah menjadi sebuah tulisan pada tahap keempat dan diendapkan lagi beberapa waktu barulah dilakukan tahap revisi ini. Yang melakukan revisi bisa saja diri sendiri dan bisa pula orang lain.

Sastrawan Mengawalinya dengan Ide

Beberapa sastrawan yang juga membeberkan pengalamannya mengenai hal ini, tertuang dalam buku Siswanto Wahyudi (2008: 24) yaitu: Arswendo Atmowiloto suka berpetualang untuk mendapatkan ide; A. A. Navis banyak membaca buku atau karya sastra lain, melihat film, mendengar cerita atau mengamati tingkah laku orang di sekelilingnya; N. H. Dini tidak mau diganggu kesibukan-kesibukan sehari-harinya, hingga dia meminta izin keluarganya untuk menyendiri; Budi Darma bisa menulis dalam keadaan yang enak untuk menulis; Abdul Hadi W. M., lebih suka mengarang pada saat hujan atau di tepi kolam.

Beberapa contoh di atas adalah sastrawan yang banyak kita kenal. Bagaimana dengan proses kelahiran ide dari penulis muda Sumatera Utara?

Sebenarnya, penulis muda Sumatera Utara yang kebanyakan menulis puisi, cerpen dan artikel ini memiliki pengalaman yang serupa dengan beberapa sastrawan yang dipaparkan di atas. Melalui SMS, penulis muda mengutarakannya pada saya, yaitu: Ari Azhari Nasution melahirkan ide tergantung mood atau suasana hatinya; Winda Prihartini yang gemar menulis puisi ini lebih suka menyendiri saat menelurkan ide; Sartika Sari lebih suka mencarinya daripada menunggu suasana dan akan menuliskannya bila dalam kondisi sendirian bila memungkinkan; Febri Mira Rizki mengungkapkan itu tergantung suasana hati, sehingga biasanya dia menyiapkan note kecil yang dibawanya untuk menuliskan ide yang tiba-tiba saja muncul, namun tidak menutup kemungkinan dalam kondisi menyendiri kualitas karya akan lebih baik; Zuliana Ibrahim lebih menyukai pula suasana keramaian yang kerap memunculkan beragam inspirasi; begitupula Ulfa Zaini yang juga menyukai keramaian.

Ssesungguhnya berhubungan dengan hal ini, Koentjaraningrat dalam Siswanto (2008: 25) menjelaskan ada tujuh macam dorongan menjadi penulis yaitu: untuk mempertahankan hidup, seksual, untuk mencari makan, untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia, untuk meniru tingkah laku sesamanya, untuk berbakti, dan keindahan. Apapula hubungannya dengan ide menulis tadi?

Ketujuh dorongan itu sebenarnya merupakan unsur yang mengikat dan benar adanya dalam jati diri setiap penulis. Tergantung berapa besar pengaruh dari masing-masingnya. Misalnya saja Ari Azhari Nasution dan Febri Mira Rizki yang mengatakan, ide menulis timbul berdasarkan suasana hati artinya menulis bukan sesuatu yang dipaksa dan prosesnya juga lahir dengan alami. Hal ini sejalan dengan lima tahapan proses kreatif menulis yang terjalin dengan banyak pertimbangan atau kehati-hatian serta mementingkan kualitas yang benar, jujur.

Ketujuh dorongan itupula yang turut mempengaruhi suasana hati. Bila saya melihat hal ini sejalan. Pertama, untuk mempertahankan hidup berarti kita ingin benar-benar menjadi hidup dan berguna, maka menulislah. Contohnya puisi-puisi yang mengkritik sesuatu hal tentu saja bertujuan untuk mempertahankan opini si penulis. Ini alasan yang tidak salah. Kedua, berdasarkan seksual. Tentu saja kisah percintaan begitu sederhana untuk kita kenali sebagai dorongan seksual kita dalam membuahkan pikiran, perasaan lalu menuliskannya. Atau bisa pula akibat keinginan menunjukkan rasa cinta pada pasangan dan membuatnya menuliskan puisi atau cerpen. Hal ini juga sudah tidak asing lagi. Bahkan tidak sedikit penulis yang meletakkan nama orang yang ditujunya dalam puisi atau cerpen baik yang telah terbit di media massa ataupun belum.

Ketiga, mencari makan biasanya akibat tuntutan ekonomi dan kebetulan mampu menulis. Hal ini walaupun banyak yang beranggapan tidak dapat dikatakan penulis sejati, namun keberadaannya tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi banyak pula yang tadinya menulis demi uang akhirnya menjadi terbiasa dan jatuh hati bahkan lupa akan tujuan awal. Dia begitu menikmatinya. Keempat, untuk bergaul juga sudah tidak asing lagi. Bahkan beberapa penulis muda yang saya sebutkan di atas juga berkenalan dalam dunia kepenulisan. Kelima, untuk meniru atau biasanya ada yang ia kagumi dari seorang penulis dan ini sering terjadi antara kawan dengan kawan. Keenam, untuk berbakti bisa saja berbakti pada dunia kepenulisan ataupun akibat perjanjian di masa dahulu untuk tetap menulis. Ketujuh, demi keindahan dari kegiatan menulis itu sendiri. Demi menunjukkan adanya ruang seni yang pantasnya ditampilkan dalam sebuah karya tulisan seperti halnya keindahan dunia sastra.

Doronglah diri anda dengan dasar apapun, namun temukan jati diri seorang penulis. Buatlah dia menjadi alasan yang melahirkan ide-ide kuat dan terbaik.


NASIB RAKYAT DI ATAS PENA MAHASISWA
Islam, Momentum Ideologis Mahasiswa Era Pascareformasi

Mahasiswa di sini dianggap sebagai pengawal yang membentuk sekelompok orang kemudian bergerak, berkoordinasi, membentuk suatu bangunan yang utuh dan memiliki tujuan bersama dan sistem peraturan sama menuju tujuan yang ingin dicapai. Sebagai mahasiswa memang sudah selayaknya memiliki talenta ideologis tinggi daripada kita mengukurnya dari masyarakat awam yang hanya mengetahui perihal harga naik, namun tidak mengerti harus bergerak dengan cara apa demi memperjuangkan nasib. Inilah gunanya mahasiswa untuk mengawal masyarakat awam dan membantu mereka yang tidak tahu berpikir ke arah hal-hal yang sifatnya kritis. Kemudian, siapa dan untuk apa pergerakan ini, sesungguhnya telah terbukti dari waktu ke waktu terutama dalam menentukan masa depan bangsa dan Negara Indonesia.
Sejak zaman pergerakan dan kebangkitan nasional, orang-orang muda yang berani dan intelektual adalah rohnya. Mulai Soekarno, Hatta, Kartini, Soetomo, Ki Hajar Dewantara dan sebagainya. Mereka memperjuangkan apa yang dianggapnya benar dan untuk kepentingan bangsanya sampai titik darah penghabisan. Hingga Indonesia merdeka sekarang ini.
Penulis sepakat pula dengan yang dikatakan Aziz Fauzi dalam artikelnya mengenai mahasiswa di salah satu situs internet bahwa orang intelektual (mahasiswa, pelajar, serta orang terpelajar) dianggap tokoh yang membawa perubahan (agent of change). Pada artikel ini akan dibahas sedikit gerakan mahasiswa dari masa ke masa. Secara umum pergerakan mahasiswa selalu membawa suara rakyat yang ingin perubahan. Aksi mereka murni dari dalam hati atas tidak stabilnya kondisi yang ada mulai dari politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain.
Angkatan 66, faktor penggeraknya karena keadaan politik dan ekonomi yang carut marut pada saat itu. Terjadi kudeta berdarah oleh PKI yang menyebabkan timbulnya korban dari perwira-perwira AD. Mahasiswa, pelajar, serta rakyat yang didukung AD pun bergerak dan bersatu dengan suara yang sama yang terkenal dengan TRITURA. Aksi gabungan massa ini terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Dan menimbulkan jatuhnya korban jiwa dari mahasiswa dan rakyat.
Angkatan 98, atau yang lebih dikenal dengan gerakan reformasi. Aksi ini menuntut turunnya Soeharto sebagai presiden yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun. Dalam reformasi ini pergerakan mahasiswa berbeda dengan tahun 66. Mahasiswa, LSM, dan rakyat bersatu melawan Soeharto dan AD sebagai pendukung kelenggengan Orba (Orde Baru). Dan kemenangan pun kembali ke tangan mahasiswa dan rakyat. Dari dua dekade yang berbeda dapat kita simpulkan bahwa kalangan mahasiswa adalah agent of change. Selalu bergerak serta bersatu atas hati nurani dan keinginan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara.

Gerakan Mahasiswa Dalam Reformasi
Reformasi dapat diartikan sebagai suatu gerakan yang ingin mengubah tatanan masyarakat secara damai. Oleh bangsa kita era sekarang merupakan suatu history of the making (sejarah yang sedang dibuat). Dimana pada pasca lengsernya Soeharto, bangsa Indonesia mengalami disintregrasi, munculnya konflik horizontal, dan masalah-masalah yang ditinggalkan rezim terdahulu.
Saat kita (mahasiswa) melawan rezim Orla dan Orba, kita dan rakyat bersatu dengan satu tekad yang menginginkan pembaharuan dan perubahan dalam arti luas. Seperti tahun 66 dan 98, orang-orang intelektual kembali kedalam lingkungan semula yaitu kampus dan sekolah. Kita kembali belajar dan juga bertindak sebagai moral force, agent of change, dan agent of social control.
Dapat kita lihat bagaimana aksi mahasiswa menolak RUU BHP, aksi solidaritas kemanusiaan, dan mengkritik kebijaksanaan pemerintah. Semuanya murni dari kesadaran mahasiswa sendiri, yang diperjuangkan atas nama rakyat secara umum. Pada kondisi yang lain dibeberapa daerah, belakangan para mahasiswa kurang kompak dan bersatu seperti yang terlihat awal Orba dan Reformasi. Malah memperlihatkan seperti bukan orang intelektual lagi (primitive).
Kita lihat dibeberapa tayangan TV, bagaimana antar universitas saling serang, antar fakultas dalam satu kampus, mahasiswa dengan masyarakat umum. Sebab persoalannya hanya soal sepele yaitu ejek-mengejek. Dimana budaya intelektual mereka, mahasiswa bukan jagonya soal main fisik. Tetapi bagaimana saling perang pendapat, argumentasi, opini dan sebagainya yang sejenis.
Dan yang paling parah lagi ada segolongan mahasiswa dalam melakukan aksinya bukan karena hati nurani, melainkan karena sejumlah uang, misal dalam kasus DPRD Sumut. Sebagai orang-orang yang berpendidikan janganlah dan jaga supaya gerakan kita tidak diikuti oleh kepentingan politik suatu golongan. Yang paling penting dan utamakan jika sedang mengelar aksi masa, terjebak hal-hal yang tidak perlu, jangan berbuat anarkis serta terprokasi oleh orang yang tak bertanggung-jawab yang bisa merusak citra mahasiswa itu sendiri.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa masyarakat kampus sebagai masyarakat ilmiah harus benar-benar mengamalkan budaya akademik, terutama untuk tidak terjebak pada politik praktis dalam arti terjebak pada legimitasi kepentingan penguasa. Oleh karena itu sikap masyarakat kampus tidak boleh tercemar oleh kepentingan-kepentingan politik penguasa sehingga benar-benar luhur dan mulia. Dasar kebenaran masyarakat kampus adalah kebenaran yang bersumber pada hati nurani serta sikap moral yang luhur yang bersumber pada Ketuhanan dan kemanusiaan.

Islam, Menumbuhkan Moralitas Mahasiswa
Presiden SBY dalam kuliah umum yang diberikan di tribun Grha ITS juga menyebutkan bahwa memang suara mahasiswa adalah suara hati dan presiden selalu berupaya agar suara itu tersalurkan (Waspada, rabu, 15 Desember 2010). Namun, pada akhirnya pasca reformasi seperti halnya masa kepemimpinan SBY adalah tonggak perlunya moralitas di kalangan mahasiswa. Yang pada akhirnya akan menyalurkan ide-ide dan suara rakyat lebih dengan cara yang dianggap benar serta tidak membuat tindakan kriminalitas. Implementasinya telah real dalam beberapa demonstrasi akhir-akhir ini seperti bentuk kekecewaan Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM) terhadap kinerja DPRD kota Medan (Analisa, 2010). Serta beberapa suara yang dilancarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang berlangsung damai. Jika ada beberapa yang sifatnya kriminalitas, penulis menanggapinya sebagai bangunan moralitas yang gagal dihidupkan oleh mahasiswa itu sendiri ataupun adanya campur tangan yang sifatnya pribadi dan merugikan golongan.
Lalu bagaimana pula peran Islam? Inilah momentum para mahasiswa ideologis. Momentum untuk menyadarkan ke masyarakat tentang kebobrokan system kapitalis. Momentum untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang system islam yang kaffah yang justru akan mensejahterakan mereka. Gempur dan warnai opini kampus dengan system ideology dan solusi yang anda tawarkan. Pahamkan kepada masyarakat tentang syariah dan khilafah.
Maka perpaduan masyarakat atau rakyat kecil dan anda sebagai pengawal bahkan sebagai pemimpin akan menjadikan kekuatan menjadi solid dan tidak bisa terbendung lagi. Maka, dengan sendiri jika opini sudah berubah dan mengarah untuk menolak, mencampakkan dan menghancurkan kapitalisme dan mengganti serta menjadikan ideology islam sebagai solusi maka tegaknya islam di bawah naungan khilafah tinggal menunggu waktu sebentar lagi. Dan itu tidak perlu dengan senjata dan perumpahan darah yang hanya membuat dendam baru ketika system sudah berdiri, tetapi dengan keinginan dan kehendak masyarakat itu sendiri.

Serambi KOMPAK, 26 Maret 2011


BULAN
Cerpen Ria Ristiana Dewi

Belakangan ini Bulan itu terus saja berbicara padaku. Terkadang saat aku berjalan pulang sehabis kerja seharian ataupun saat aku tak sengaja memilih berjalan-jalan bersama istriku bahkan sewaktu aku duduk dengan teh hangat di halaman rumah. Bulan itu memanggil-manggil namaku, meminta agar aku menemaninya.
”Satu malam saja,” katanya kepadaku turut merayu. Kala itu aku sedang malas berbicara pada langit. Aku hendak bergegas masuk, namun ia merintih dan sempat meneteskan air mata. Aku tak tega, maka kutemani ia satu malam ini. Bulan yang cantik, dagunya runcing, matanya berkedip-kedip, dan senyumnya memukau membuat aku tak mampu berpaling. Agar aku tak turut dibuai malam, kuputuskan meminum secangkir kopi. Kutemani ia berbicara dan ya... memang sudah kuduga sebelumnya, ia akan mengobrol panjang lebar sementara aku mulai tak kukuh dengan suaranya yang merayu.
”Kumohon beri aku kesempatan,” katanya memulai itu dan itu lagi. Dan aku mulai berpura-pura menguap. Aku anggap ia tak pernah mengatakan apapun padaku.
”Jangan begitu! Aku tahu kau masih begitu sayang padaku,” katanya sembari sedikit meninggikan suara. Mendengarnya aku mulai semakin gerah dan kuputuskan mengucapkan selamat malam.
”Aku tak mau. Tetaplah mendengarkanku. Tetaplah di situ,” katanya lagi dan lagi. Ah... aku mulai muak dengan singkat kukatakan, ”Cari Bintang yang lain!”
Lalu aku masuk ke dalam rumah. Istriku sudah menunggu dengan senyum khas membuat raut wajahnya bertambah manis. Langsung kudekap, tak kulepas.
***
Aku tak bisa menyangkal, suara-suara di gerimis senja menimang-nimang penantianku pada malam. Aku merindukan Bulan. Kali ini aku yang mengaku ingin melihatnya walau hanya satu malam. Mendengar suaranya yang manja di antara desir angin malam dan menyambangi kepiluanku. Barangkali sedikit aku merasa bangga atasnya. Ia terlalu mengagumiku, padahal sudah selayaknya ia dikagumi sebagaimana dagunya yang runcing ataupun matanya yang menyala-nyala memukau setiap yang memandang.
Kali ini aku berdiri di halaman rumahku yang diapit pagar tanaman tinggi dan lebat. Di bawah langit dengan bintang terserak cerah dan seunggu bunga anggrek. Kira-kira sepuluh meter luas rumput halaman ini ditanami juga dengan beraneka bunga. Yang di ujungnya, tepat dibalik tembok adalah kolam ikan koi. Setiap malam suara gemericik airnya menemaniku sendiri menunggu datangnya Bulan.
”Bulan! Oh... Bulan,” kataku memanggil-manggil Bulan. Tapi, tak ada jawaban. Justru suara jangkrik yang semakin lantang dan sesekali lompatan ikan koi membuatku bergidik lantas kembali kuseruput secangkir kopi buatan istriku. Dekat dengan bunga kesayangan istriku. Di situlah belalang hijau bertahta. Di atas setangkainya berdiri tiga kuntum bunga cempaka. Bersembunyi malu-malu dalam semak daun. Kelopak memanjang-manjang pipih berwarna putih disertai putik berbentuk cengkeh. Lantas kupetik sekuntum dan mencium harumnya.
”Aku tahu Bulan, kau begitu menyukai bunga ini,” kataku lagi dan lagi-lagi masih bersembunyi dengan malam yang menyendiri. Sementara tatapanku kemudian tak lepas dari langit. Ah... sebentar lagi aku menyakini Bulan akan hadir. Tak dapat disangkal lagi kalau Bulan menyukai cempaka dan aku yakin ia akan datang tidak hanya karenaku, namun juga karena cempaka yang sedang aku genggam. Ia adalah malamku, berkeliaran dalam mimpi-mimpiku, menjadi putri dalam dunia khayanganku.
Di malam yang berjalan dengan mendogma ribuan pujaan kepada langit, memang tak lama setelahnya cahaya berduyun-duyun. Bulan menampakkan wajahnya, ruang sekelilingku cerah dan rupanya bagaikan sorotan lampu merah. Sejenak ia memberhenti lamunanku. Merah...
Aku mendongak ke arahnya. Warnanya memang sudah tak biasa. Sebelumnya lebih lembut dari ini, namun kali ini lebih merah dan sesekali ada kilatan yang menyambar.
”Oh... Bulan! Kau kenapa?”
Ia tak menjawab. Lantas tak lama kemudian kilatan itu menyambar bunga cempaka yang masih ditangkai. Tepat di sebelah aku duduk dengan wajah lugu terperangah. Bunga itu terbakar amarah.
”Awas kau...” katanya sungguh marah.
Aku langsung masuk ke dalam rumah. Namun ia menyambarku lagi dan ah... kalau aku kehilangan sedetik saja, mungkin lenyaplah. Sebagai korbannya bunga jarum yang manis berdiri di seberang teras hangus sudah.
”Itu bunga kesayangan istriku,” kataku padanya dengan melotot. Namun, sekali lagi ia akan menyambarku. Merahnya semakin menyala. Maka aku terus berlari ke dalam rumah.
Aman. Aku merasa dia pasti sudah pergi. Cahayanya juga mulai redup. Lantas dari dalam jendela rumah, aku menatap keluar sana. Halamanku yang sudah tidak seperti beberapa menit yang lalu. Kini cempaka itu sudah tak dapat dikenali, rumput jepang yang tertata hasil kerja keras tukang kebun kami juga terbakar, hanya tinggal tanah yang merana berwarna hitam. Sementara heuforbia kesayangan ibu mertuaku yang terletak tak jauh dari cempaka juga terbelah dua dan warna bunganya telah koyak dua hitam, begitu lekat. Air di kolam sebelah pagar juga seluruhnya naik berikut isi-isinya. Terlihatlah koi-koi melompat-lompat tak berdaya.
Setelah aku merasa tidak ada lagi tanda ia akan muncul, aku mencoba keluar. Mana tahu aku bisa mengamankan ikan-ikan yang melompat terus di halaman. Aku melangkah dengan pasti, pelan, begitu pelan. Sampai juga aku di teras dan aku mendongak lagi ke atas.
Hening....
”Aman,” kataku menyakinkan diri sendiri.
Aku merasa akan bisa menyelamatkan ikan-ikan itu, tapi itu sebelum aku menengadahkan kembali ke atas langit dan melihat Bulan di situ dengan senyumnya. Siap menyerang kembali.
Duarrrr....
Ops! Selangkah lagi kena. Kali ini yang menjadi korban adalah pohon antik berbentuk tubuh istriku. Hasil tempahan istriku pada penjual bunga terkenal. Sontak saja aku kembali masuk ke dalam rumah. Namun tiba-tiba saja...
Duarrr....
Tidak, ini tidak mungkin! Rumahku terbakar. Tanpa memperhitungkan harta benda lagi aku lekas keluar rumah dengan cemas yang menjadi-jadi. Kulewati saja ikan-ikan yang tadinya akan kuselamatkan. Tanganku mengayun bersiap memompa tubuh agar lekas aku sampai. Entah... akupun tak tahu mau sampai mana. Tapi aku harus terus berlari. Sembari berlari aku terus tak percaya. Akankah ini Bulan yang kukenal?
Ia masih murka. Lalu sekejap menyambarku lagi. Pohon beringin sepanjang jalan yang kulalui menjadi korban selanjutnya. Dahan-dahannya terbelah dan satu persatu rantingnya juga berguguran, berjatuhan dan tampak terserak. Ada bekas bakaran kecil mencederai daun-daunnya. Aku merasa efek terbakarnya tidak terlalu fatal. Rumahku yang berada dekat taman depan kompleks perumahan membuat aku berlari ke arah pohon besar, namun lekas saja terbakar. Di jalan, aku terus berkoak meminta pertolongan, namun entahlah, tak ada satu orangpun di sepanjang jalan. Aku melongok ke salah satu rumah yang berada tak jauh dari tempat kuberdiri dan berlari ke arahnya. Napasku terasa menyangkut di tenggorokan. Pada kaca jendela rumah itu aku sempat memperhatikan wajah kering yang merana. Oh... itukah wajahku?
Lalu aku ketuk pintunya. Aku engkol-engkol pegangan pintunya, tak bisa dibuka dan masih belum ada jawaban dari dalam. Aku melihat Bulan perlahan terus mencari-cari keberadaanku. Dan lengkaplah, ia telah melihatku. Bertepatan dengan itu, pemilik rumah telah tampak di depan mata.
”Ya?”
”Awas Pak! Ada Bulan yang menyambar,” kataku buru-buru padanya. Dan ia menatapku dengan sedikit mengerlingkan mata ke arah dalam rumah. Ya! Akupun masuk sesuai perintahnya. Tapi, bukankah dengan sekejap Bulan akan membakar rumah ini seperti dia membakar rumahku tadi?
Bodohnya aku. Sementara nyawa Bapak ini juga akan terancam. Tapi tunggu! Kenapa Bapak ini dengan mudahnya menyuruhku masuk. Padahal ia belum mengenalku betul. Aku menatapnya seraya mengerenyitkan kening. Tapi yang tampak olehku ia justru ke dapur seperti sedang sibuk mengambil secangkir teh. Tak lama ia kembali dan aku masih terus berdiri dengan tak percaya.
“Duduklah dan minumlah teh bersamaku,” katanya dengan wajah santai dan tersenyum lembut.
Aku tak mengerti. Tak ada tanda-tanda serangan ke rumah ini. Bukankah tadi Bulan telah menjangkau keberadaanku dan seharusnya kami sudah terbakar di dalam sini. Atau setidaknya ia membuat semacam ancaman di luar sana dengan membakar beberapa bunga di halaman. Ya... itupun kalau Bulan agaknya segan membakar rumah orang yang tak bersalah ini.
“Oke. Kau katakan tadi kalau diluar ada Bulan yang menyambarmu. Ya kan?” Ia mencondongkan sedikit tubuhnya ke arahku sambil terus duduk dan menikmati teh di tangannya. Sementara aku yang duduk berjarak setengah meter di depannya masih terus mengetes pikiran-pikiran positif. Setidaknya aku harus tahu mengapa bapak yang usianya kira-kira lima puluh tahun ini terlihat santai. Usia yang terpaut dua puluh tahun di atasku. Memang wajar bila ia terlihat lebih berwibawa di depanku.
”Saya masih tak mengerti kenapa Bapak tidak merasa takut. Kenapa pula Bapak seakan tahu kegelisahan saya?”
”Itu tidak sulit. Aku sudah pernah mengalaminya,” katanya sambil meletakkan teh itu ke atas meja. Dan sekarang ia menyilangkan kakinya. Benar-benar terlihat lebih santai kali ini.
”Ayo... minumlah dulu!” katanya sambil mengerlingkan mata ke arah secangkir teh yang masih penuh di sebelah teh miliknya. Tanpa ragu aku langsung menyeruput teh itu. Hangat dan manis.
”Begini, saya tinggal di kompleks ini juga,” kataku memulai pembicaraan sembari usai meletakkan teh kembali ke atas meja.
”Ya... aku tahu. Hmmm... aku tahu semua tentangmu. Hanya mungkin selama ini kau yang tidak mengetahui tentang aku,” katanya menyakinkanku.
”Maksud Bapak?” Tanyaku kembali dengan tanda tanya besar di wajahku yang mulai mencair dari kondisi menegangkan tadi.
”Aku tahu kau menyukai Bulan, iya kan? Dan ya... dahulu akupun menyukai Bulan. Bahkan aku memujanya dengan segudang pujaan. Wajahnya cerah, dagunya runcing, matanya begitu berbinar. Membuatku tak mampu berpaling darinya,” katanya seraya menatap lurus di sebelahku. Seperti sedang melewati lorong-lorong. Ia jauh, begitu jauh membawa pikirannya.
”Jangan heran. Kau laki-laki normal. Jadi wajar menyukai Bulan,” katanya kembali melihat ke arahku dengan senyum lembut.
”Jadi bagaimana? Aku harus membuat ia pergi dari kehidupanku!”
”Itu gampang,” katanya padaku dan sepertinya kali ini ia ingin lebih menyakinkanku. Seakan sejak tadi ia tahu dari mana akan memulai dan sampai kapan akan mengakhiri.
”Bagaimana?”
”Berpuasalah...”
”Maksudmu?”
”Ya... kau harus menimpai kegiatan-kegiatanmu di siang hari dengan terus berpuasa,” katanya padaku dan aku masih tak mengerti.
”Bulan itu akan berhenti bila kau berpuasa,” katanya lagi lalu melanjutkan, ”Aku pernah berbuat seperti yang kau buat. Kau tinggal meminta maap pada istrimu dan anak-anakmu. Kau jauhi kegiatan berbohongmu dan kau tinggalkan fitnah serta pergi mencarinya, Bulan. Tetaplah dijalan-Nya,” katanya sambil tersenyum lagi dan kali ini lebih lembut.
”Itu saja?” kataku membalasnya dengan masih terperangah sembari mengerenyitkan kening.
”Ya! Semua itu,” katanya.
***
Puasa membawa batinku benar-benar lahir dengan kesucian yang berlimpah. Maka aku tak pernah menatap bulan lagi di malam hari sembari berharap. Bulan yang kukenal di sebuah simpang empat dan menumpangiku setiap malam akan sirna. Pergi meninggalkanku dengan istri dan anak-anakku.

Serambi KOMPAK, 24-27 Juli 2011.

Puisi Tahun Baru
Cerpen Ria Ristiana Dewi

Dalam deretan tahun ini aku menerima titipan puisi yang begitu panjang. Anggap saja deretan peristiwa yang menggenang dibekuk dalam satu tahun.
Tahun ini, aku banyak mendapat pengalaman. Setelah satu tahun menunda ibu akhirnya memutuskan untuk berjualan mie. Sepertinya ia merasa bersalah akibat berhutang banyak kepada pihak bank demi menyekolahkanku. Ibu sampai harus menjadikan rumah sebagai jaminannya. Tahun ini, aku harus tamat kuliah karena tahun esok aku akan menikah, memenuhi amanah ibu dan bapak. Tahun ini, aku harus mendapat gelar dokterku. Dan tahun ini pula aku harus bekerja. Ibu kerap menasehati agar aku tidak lekas memikirkan uang karena ibu yang akan memikirkan. Namun, akhir tahun ini pula hutang-hutang ibu harus segera dibayarkan. Sayangnya, ibu hanya mampu berjualan karena selama ini ayah-lah andalan kami.
“Puisi merupakan apa yang kau rasakan, lalu kecup dan reguk-lah dalam segala situasi. “ Itulah sedikit potongan kata-kata saat jiwa kutumpahkan dalam secakup buku penebar diksi. Barangkali itu hanya kata-kata, namun didalamnya aku paham banyak nafas kehidupan. Ternyata kehidupan harus dinikmati. Begitulah yang kucoba raba maknanya.
Aku bukan penulis! Aku calon dokter. Mungkin aku hanya saudagar kata-kata, penyimpan makna, penebar jiwa. Dokter pun mampu berpuisi. Ia akan berpuisi melalui caranya mengobati pasien. Keselamatan pasien adalah segalanya, begitu pun kualitas metafor dan diksi pada puisi menjadi tanggung jawab seorang penyair. Aku berpuisi lewat selaksana cita-cita. Pernah satu kali ibuku memberikan aku satu buah puisi semacam sutil dipasang dengan wajan yang tak kan pernah menjadi hidangan, bila tak tersedia keduanya. Lalu bawang, cabai, minyak makan, telur, dan lainnya sebagai langkah lanjutan bahwa aku sedang mencoba memasang kerangka, semacam aba-aba siap sebelum berpuisi. Namun, aku tidak sedang berpuisi bersebab aku bukan seorang penyair. Aku adalah seorang anak penjual mie, temaku adalah penjual mie, iramaku adalah wajah ibuku, syairku adalah tangan ibuku, bait-baitnya adalah kaki ibuku. Karena ibuku adalah tubuh puisiku.
Banyak orang suka berpuisi, cinta pada puisi. Kalau begitu, aku sungguh suka, sayang, cinta pada ibuku. Aku kerap menemani ibu bertempur dengan rempah-rempah, dan wajan, sutil, kompor adalah alat perangnya. Jiwanya difokuskan tercebur menyelam bersama rasa, nikmat telah diramu dan jelas akan memuaskan lidah saat pelanggan ibuku membelinya. Perlahan ia membuang keringat dengan lengannya, sambil merajang bawang, meracik bumbu, ibu terkadang menyanyikan lagu-lagu Ebiet G. Ade. Tentunya dengan volume yang cukup kecil sehingga takkan banyak yang tahu. Terkadang ia bernyanyi pula dari dalam hati.
Ibuku berkata, “rasa adalah kunci sukses bisnis, pelanggan pula adalah raja. Jadi, kau betul-betul-lah melayani. Jangan kecewakan pelanggan kita. Kau dengar itu, Cahya!”
“Ya…, Bu!” jawabku jelas sambil masih tertegun membaca deretan kata-kata di salah satu majalah fiksi. Ini yang selalu kulakukan saat akan menemani ibu berjualan. Ibu berjualan tepat di depan gang. Rumahku sendiri berada di dalam gang. Kami menyewa sebuah warung berukuran empat kali empat meter. Setidaknya cukup untuk mencari nafkah setelah ayah meninggal beberapa tahun yang lalu. Syukurlah, dibalik gang ini ada sebuah universitas yang mahasiswanya kerap melongok jajanan di sepanjang jalan sekitar universitas. Jalanannya tidak terlalu luas juga tak terlalu sempit. Cukup ramai pula apabila mahasiswa mulai berganti jam mata kuliah.
Jika pelanggan sudah mulai ramai barulah aku beranjak dari duduk, menyimpan majalah sembari terhenyak dalam melayani para pelanggan. Ibu akan sangat sibuk memasak mie, lalu aku akan membungkuskan mie tersebut. Kadangkala bila ada yang makan di warung, maka aku bersiap-siap menyediakan minuman. Mulai dari air kosong sampai dengan teh manis dingin, serta berbagai macam jus.
Ini akan selalu terjadi sepulang kuliah jam satu siang. Lalu, setelah rehat sejenak, mengisi perut di rumah barulah aku membantu ibu berjualan. Dari situ aku belajar banyak racikan dengan ibu. Barangkali ibu mulai mengajarkan ilmunya padaku sedikit demi sedikit. Yah…,resep istimewa ibu benar-benar tak tertandingi.
Jika kau melihat ada seorang pemain sepak bola berposisi sebagai penyerang, ibuku-lah itu dan aku adalah posisi pertahanannya. Sedangkan wasitnya adalah para pelanggan. Jika taktik yang ibu dan aku siapkan di lapangan cukup matang, maka wasit akan meniupkan peluit kemenangannya. Jadi, aku dan ibu adalah satu tim.
Suasan warung kembali lenggang. Aku dan ibu kali ini beristirahat sejenak duduk di kursi pelanggan. Sementara aku membuka-buka majalah.
“Cahya…bagaimana kuliahmu, Nak! Lancar, kan!”
“Iya…, ibu tenang saja. Cahya akan banyak belajar.”
“Ah…Nak, ibu bersalah. Kenapa kau harus berada disini sementara kau harus belajar di rumah,” kata ibu dengan wajah mendung.
“Sudahlah, Bu…! Cahya bisa belajar sepulang jualan,” tegasku menyakinkan ibu terlebih untuk menenangkan.
Jalanan terlihat ramai. Gelap mulai jatuh ke badan bumi sementara burung-burung di langit gelisah. Hujan rintik-rintik menyeret aku kembali termenung tumpah pada majalah fiksi di atas meja. Setelah itu, aku mulai sibuk melayani pelanggan yang satu per satu berdatangan. Mempersiapkan meja agar tetap bersih, mengambil gelas dan piring kotor segera setelah pelanggan selesai makan. lalu membawanya ke cucian piring.
“Sudah sana kau pulang-lah, shalat sebentar nanti biar gantian dengan ibu,” sambar ibu sewaktu aku sedang mencuci piring di samping warung, dekat dengan bawah pohon yang terletak persis di samping badan jalan pula, parit yang melintang memisahkan tempatku berdiri dengan jalan menjadi wadah pembuangan air kotor bekas cuci piring lantas sampahnya akan dimasukkan ke dalam plastik untuk kemudian di buang ke tempat sampah di pinggiran kota. Biasanya aku dan ibu akan mengendari kereta selama lima menit untuk sampai ke lokasi pembuangan sampah itu. Dan itu baru dapat kami lakukan setelah selesai berjualan tepat jam sebelas malam.
Suara adzan bergema hebat mengantarkan burung-burung ke sangkarnya, menyerang pula jenakku tuk rehat sementara para pelanggan pula akan menunggu sembari ibu bergantian shalat denganku. Malam tak berarti hambar, justru para awak jualanan ibu mulai berdatangan.
“Mbak, mie tiaw satu.”
“Sebentar ya… Mbak, ibu saya sedang shalat,” kataku padanya, salah satu pelanggan.
Kerumunan jangkrik mulai melantangkan suara, suara motor yang lalu lalang pula semakin semarak, sesekali kilau dari arah badan motor menyentak benakku. Aku menunggu ibu yang belum hadir hingga satu jam lamanya. Seharusnya waktu sudah tidak wajar lagi. Malam mulai gelisah.
“Mbak, saya bisa nitip warung saya sebentar, mau memanggil ibu saya,” kataku agak ragu-ragu padanya.
“Baiklah. Jangan lama-lama ya, Mbak!” Katanya ramah hingga membuatku sedikit nyaman.
Tergopoh-gopoh ku bawa tubuh, kepanikan terjerat di benakku. Seakan malam kian mengancam, jantungku berdegup, batinku terhentak oleh semilir angin yang mengekori langkah kaki. Ku perhatikan rumahku yang tak jauh lagi. Lampu di seluruh ruangan menyala. Pintu tertutup rapat, saat kubuka ternyata tidak terkunci. Ibu pasti di dalam, batinku menyakinkan.
“Bu…bu…!”
Tidak ada jawaban. Sunyi senyap pun semakin perkasa, pada ruang tamu aku tak menemukan ibu, kupercepat menuju dapur juga tidak ada. Ah…seharusnya di dalam kamar jika shalat, tapi sudah sejam yang lalu. Aku putar tubuhku ke arah kamar ibu arah ruang depan rumah. Pintu kamar tertutup setengah.
Krieekkk.
“Bu…!”
Tepat. Mataku tepat melihat tubuh ibu sedang bersujud, namun tak ada gerakan lagi. Aku menuju ke tubuhnya.
“Bu…!” Panggilku pelan seraya mencoba mengoyangkan tubuh ibu.
Bruukkk.
Tubuh ibu jatuh tak berdaya, begitu ringkih, rapuh tanpa tanda-tanda kehidupan. Kupasang telunjuk tangan tepat di depan hidungnya. Tidak ada nafas disana.
Aku berlari, berlari, dan terus berlari menuju keluar rumah. Langkahku berbelok ke rumah Pak Sawiji, tetangga kami. Sampai di depan terasnya aku memencet bel lantas memanggil-manggil penghuni rumah. Nafasku menggantung di tenggorokan, perlahan kuperbaiki hingga menghirup kembali rasa tenang itu.
“Ada apa Cahya?”
“Ibu tidak bernafas Pak?
“Apa? Dimana?”
“Di rumah. Selesai shalat, dalam keadaan sedang sujud,” kataku sambil terisak-isak. Ibu Sawiji turut menenangkan dengan merangkulku dan mengelus-elus kepalaku.
“Sabar, Cahya!”
Aku tak sanggup lagi. Kubiarkan Pak Sawiji yang mengurusnya. Tak sanggup lagi batinku melihat Ibu dalam keadaan seperti itu.
***
Setelah ibu pergi. Hutang-hutang masih satu bulan lagi harus dibayar. Sedangkan uang sewa warung juga harus dibayarkan. Syukurnya, uang duka sepeninggalan ibu cukup untuk memenuhi semua itu. Tapi, aku tak tahu apakah akan melanjutkan kuliah dan apakah aku dapat menikah tahun esok.
Tanpa pikir panjang, kuputuskan untuk berjualan sendirian. Tidak kusangka, alangkah sulitnya mendapatkan rasa seperti rasa yang ibuku buat. Aku tak pandai meramu, meracik seperti ibu. Aku tak lihai selihai ibu, dan tentu saja aku tak dapat bernyanyi seperti ibu bernyanyi di kala lelah merubung tubuh dan pikirannya. Aku begitu lelah. Baris hidupku jadi semakin runyam, iramanya sudah tak seindah irama yang ibu ciptakan, bait-baitnya telah banyak amburadul.
Puisi itu telah lenyap.
Tapi aku pula bukan seorang calon dokter lagi, entah bagaimana aku menyambung nafas sementara di tanganku hanya ada alat perang tanpa awaknya. Hanya ada kertas tanpa penanya. Hanya ada kata-kata namun tanpa ilmu, tanpa semangat lagi.
Tahun Baru tiba.
Suara petasan ada dimana-mana. Aku terdiam beku dalam angin yang terasa angin, dingin. Di bawah bulan dan bintang, diantara pepohonan rindang, kusambut ibu terpatri di langit-langit.
Ah…semakin malam saja. “Keterlaluan! Aku tak boleh menyerah”
Aku beranjak ke dalam rumah setelah lama berada di halaman. Lantas aku masuk ke kamar ibu, kosong. Sewaktu aku meremas kenangan ibu di dalam kamar, malam sebelum esok akan dimakamkan, aku melihat secarik kertas berisi resep masakan ibu. Resep rahasia yang dahulu pernah ibu pesankan agar aku bawa dan kupelajari setelah ia meninggal nanti. Kelak, ia ingin aku meneruskan perjuangannya. Aku simpan, aku siap meneruskan perjuangannya.
Bila seorang penyair mengatakan bahwa dalam puisi harus ada makna yang dibuahkan, maka ibuku adalah sosok sarat makna itu. Melalui mata katupnya ibu berpesan semangat juang kepadaku, melalu pipi dinginnya saat aku menyentuh untuk terakhir kali, ia menggenggam cita-citaku, melalui senyum terakhirnya pula ibu seakan mengajarkan hidupku baru dimulai. Dan melanjutkan bait-bait kehidupan yang kelak dititipkannya.
Di ruang tamu, aku termenung lagi, membaca berkali-kali puisi tentang ibu di salah satu majalah. Itu puisiku, judulnya ‘Ibu’. Aku buatkan untuk ibu khusus di hari ibu, tapi belum sempat ibu membacanya. Sengaja kurenggangkan waktu mengirimnya ke majalah yang selama ini selalu kubaca. Entahlah…,mungkin hanya untuk mencari bait-bait kehidupan di wajahnya.
Kriiiinggg.
Masih di ruang tamu, pukul 08.15.
“Hallo!”
“Cahya…, ini Abang. Abang mau bilang tahun esok tepat empat puluh hari ibumu. Tanggal 23 januari 2011 ibu telah menyetujui pernikahan kita.
“Benarkah?” Tanyaku tentu dengan rasa senang, kebahagiaan yang menjadi-jadi.
“Cahya…, abang mau kau tak menganggap kalau kau sendiri sekarang ini. Nanti kita pikirkan lagi kuliahmu. Tenanglah…!”
“Jadi…”
“Jadi, kau hanya perlu mempersiapkan mental sebagai istriku.”
Telpon tertutup. Pembicaraan selesai. Aku bahagia. Puisi tahun baruku telah hadir, calon suamiku. Ia akan menjadi temaku, ia adalah irama hidupku, ia juga yang akan menyambung tiap bait-baitnya.

Serambi KOMPAK, lepas Tahun 2010


YATHRIB BIN MAHLAEIL
Oleh : Ria Ristiana Dewi

Seorang anak yang hidup tanpa ayah dan ibu─yang mampu bertahan hidup dan menjadi anak ajaib. Seorang anak yang tak pernah mengeluh dan bertanya pada Tuhannya kenapa aku dilahirkan menjadi seorang anak namun tanpa ayah dan ibu.
Ini perihal kehidupan anak manusia. Tentang pesan-pesan abadi yang ingin Allah tuturkan. Ia, seorang anak yang membisu di sudut rintik-rintik, yang berjalan menyusuri gerimis─menembus cahaya matahari. Ia adalah titipan Ilahi. Di sana batinnya termangu menatap langit sembari tidur-tiduran mencari rasi bintang berwajah ayah dan ibunya. Ia, Muhammad dan bila di deretan padang Masyar−namanya dipanggil untuk urutan awal dengan wajah berbinar-binar sebab hatinya putih karena telah dicuci bersih kemarin di bumi Allah.
“Lalu… ibu, apakah Rasulullah selalu menangis?”
“Anakku, Rasulullah bahkan tak pernah mengeluhkan hal itu.”
***
Yatrib Bin Mahleil. Nama itu diberikan abinya yang berasal dari Mesir─buah persinggahan ayah dan ibunya saat berada di Madinah. Entahlah… apakah karena kota penuh sejarah cinta terhadap Rasulullah sebab ayah dan ibunya begitu mencintai Rasulullah. Begitulah sang bibi bercerita padanya. Namun, abinya itu telah meninggal bersama ibunya saat kecelakaan pesawat menuju Indonesia. Saat itu usianya masih delapan tahun. Dan tangisnya terdengar hingga surga.
Ia kini tinggal bersama bibinya, namun sehari-hari ia memanggil sang bibi dengan sebutan ibu. Ia merasakan bahwa bibinya itu seperti ibu kandungnya sendiri. Sang bibi itulah yang selalu memperkenalkan Muhammad kepadanya agar ia tak larut dalam kesedihan karena sesungguhnya kehidupan Nabi Muhammad juga tanpa ayah dan ibu.
Ia merindukan ibunya, abinya. Ia selalu menatap langit itu, selalu setiap malam dipenuhi bintang dan dikatakannya bintang-bintang itu salah satunya adalah ayah dan ibu yang mana mereka mengelilingi bintang terbesar, Muhammad SAW.
Mahlaeil! Begitulah ia dipanggil. Beranjak matahari yang mulai menggagahi bumi, hujan gerimis di semesta sang fajar perlahan tidur di angkasa. Sinar mengalahkan sejuta rintik hujan. Dan di balik jendela kayu jati, air merembes pelan beserta bulir-bulir bagai linangan air mata langit tumpah membasahi. Hamparan sawah terlihat oleh Mahleil di balik jendela itu. hijau memenuhi daratan hingga mengindahkan air sungai mengalir lembut, genangan pula di beberapa waduk pendesaan.
Mahleil dilahirkan di Mesir, namun kini ia diasuh bibinya di sebuah desa mungil dengan penduduk hanya sekitar dua ribu orang. Usianya mulai beranjak tiga belas tahun, namun sikapnya sehari-hari sudah seperti usia dewasa. Ini karena setiap hari ia harus berdagang membantu bibinya. Mereka hanya tinggal berdua. Sang bibi adalah seorang penjual kue keliling yang selalu mensyukuri kehidupannya. Begitupun ia juga menyempatkan diri menyantuni Mahlaeil hingga sekarang. Namun, belakangan bibi sering sakit-sakitan dan Mahlaeil rela bolos sekolah demi membantu bibinya menjual kue bahkan di usianya yang masih belia.
Pagi sekali ia berangkat dari rumah. Bibi akan memasak dua jenis kue di rumah dan jenis yang lainnya akan diambil dari beberapa tetangga yang juga menjual kue, namun enggan berkeliling. Dengan penuh keikhlasan, Mahlaeil berkeliling desa menjual kue-kue tersebut. Tak ia pikirkan lagi bagaimana masa depannya. Yang ia tahu bibi kesayangannya sedang sakit, satu-satunya orang tua yang ia miliki saat ini. Setiap berjualan ia selalu ingat nasihat-nasihat sang bibi agar apapun yang terjadi harus tetap bersabar dan bersyukur. Begitulah Mahlaeil tumbuh menjadi anak yang dewasa lebih dini.
Begitulah….
Madinah juga pernah tak luput dengan kondisi kering-kerontang. Debu berterbangan di setiap tempat, seperti kabut tipis yang dimainkan angin. Butirannya panas serupa bara ketika memercik wajah, ngilu serta perih ketika bersarang pada sudut mata. Pelepah kurma beranggas-ranggas dengan buahnya berjuntai-juntai mendekati ranum. Sumur-sumur dan kolam air tinggal di kubangan tanah merekah yang merana dan sepi. Namun, Madinah tetap dikatakan tanah yang penuh catatan cinta. Karena seberapapun kesulitan yang dialami wilayah itu akan menjadi subur kala Rasulullah selalu diingat dan ditiru akhlak baiknya.
Di sinilah tanah Mahlaeil, tanah penuh kesuburan itu. Bukan Madinah, namun seakan cinta justru kering-kerontang di tempat ini. Namun, Mahlaeil ingin membuktikan hal lain. Hari ini wajah langit pucat pasi. Menghentikan langkah Mahlaeil untuk terus berkeliling. Ia berteduh di bawah beranda rumah ataupun toko kecil sekitar desa. Selama menunggu hujan reda, Mahlaeil mengambil buku yang selalu dibawanya dan sela itulah ia mulai membaca. Kemauannya membuat ia tak kalah ketinggalan informasi pelajaran, selalu dibuatnya situasi memungkinkan. Hari ini ia membaca buku tentang Muhammad. Buku itu dihadiahkan salah seorang gurunya. Matanya bergerak-gerak dengan serius, wajahnya jatuh ke permukaan kata-kata dan pikirannya tumpah pada kisah perjuangan Muhammad. Air berbulir-bulir jatuh menggenang di kelopak mata, sayup-sayup berkecamuk pada dada seakan Muhammad begitu dekat pada dirinya. Muhammad selalu berdagang dengan kejujuran, tak pernah ia mengakali pembeli dagangannya dan selalu didoakannya para pembeli pula senantiasa mensyukuri pemberian Allah.
“Muhammad…,” serunya pelan ditemani suara rintik hujan yang perlahan berduyun-duyun deras. Air matanya tak terbendung lagi, jatuh bercampur pada air yang menggenang di sepanjang jalanan.
“Muhammad tak pernah mengkhawatirkan kemiskinan, ia sungguh sayang pada setiap orang bahkan pada yang telah mencacinya ataupun melancarkan fitnah dan adu domba. Ia selalu percaya akhirnya kebaikan akan menampakkan diri ke permukaan. Muhammad memiliki ayah seorang pedagang yang giat, ibunya seorang wanita santun, dan kakeknya adalah orang yang dihormati serta memiliki kedudukan cukup tinggi di kalangan bangsa Quraisy. Namun, setelah orang-orang yang dicintainya itu meninggal Muhammad selalu mendapatkan pula kasih sayang dari pamannya. Ia adalah seorang anak yang tak ingin mengukur seberapa kasih sayang untuk dirinya, namun ia selalu ingin memberikan kasih sayang pada orang lain. Jadi, demikian cinta Muhammad bahkan melebihi cinta manusia yang lain.”
Masih di beranda toko, Mahlaeil yang masih merenungkan kata-kata bibinya akibat hujan mengguyur, kini tersentak kagum lalu menyimpan buku di tangan ke dalam tas yang dibawanya. Air satu-satu habis dimakan cahaya, langit masih malu-malu bersinar. Saatnya bagi Mahlaeil melanjutkan perjalanan menjual kue.
“Kue… kue… kue….”
Dalam perjalanan, tampak dengan sorotan dari jauh tas ransel masih dipikulnya berisi buku-buku, minuman, makanan untuk menu istirahatnya di tengah perjalanan. Setelah membaca buku tadi, kini wajahnya bersinar-sinar, hatinya cemerlang dan semangat membara bagai api meluap-luap siap memberi energi.
“Kue!”
Mahlaeil berhenti mendengar suara itu. Ia melihat lambaian tangan. Ah… pelanggan, begitulah langkahnya berjalan senang berkecipak pada becek air bercampur Lumpur. Pelan-pelan ia mengangkat kaki agar tak mengotori pakaiannya.
“Berapa satu kuenya, dek!”
“Lima ratus, Mbak!”
“Wah… murah ya padahal besar-besar, kamu ambil untung berapa?”
“Begini Mbak, kue ini sudah cacat sedikit karena saya tidak sengaja menekannya dengan tangan sewaktu duduk di beranda menunggu hujan reda. Jadi, saya jual lebih murah.”
“Masyaallah…. Ya sudah gak apa Dek, biar Mbak bayar seperti harga semula saja. Kasian kamu sudah lelah seharian, kan?”
“Alhamdulillah, Mbak! Mbak baik sekali. Semoga dibalas oleh Allah SWT.”
“Tidak apa, lagian kamu sudah jujur pada Mbak. Jagalah kejujuran itu ya….”
Mahlaeil menyalami pelanggannya dan mengucapkan terimakasih. Ia ingat kejujuran Nabi Muhammad dalam berdagang seperti yang selama ini diceritakan bibinya. Perasaannya semakin damai, jantungnya berdetak kencang dan hati pun berbunga-bunga. Tak lupa ia mendoakan pelanggannya agar mendapat kenikmatan pada kue-kue itu. Kali ini ia melihat lagi dagangannya. Tinggal beberapa kue. Hari masih setengah sore dan jika ia terus berjalan di sepanjang desa, ia yakin akan menghabiskan kue-kue itu. Namun, sebelumnya adzan pertanda shalat ahsar telah tiba. Mahlaeil memutar haluan ke surau dekat situ. Surau yang sudah sangat tua, penyangga di sekelilingnya tak tahu sampai berapa lama akan bertahan. Di dalamnya Mahlaeil hanya melihat satu orang sedang khusyuk menjalankan perintah Ilahi, dengan gerakan-gerakan mahir, masih kuat. Padahal, seperti yang Mahlaeil amati usia orang itu sudah cukup tua dan layaknya dipanggil kakek.
Mahlaeil langsung saja mengambil wudhu, tapi sebelumnya ia tak melihat kamar mandi ataupun air pancuran di sekitar surau. Dengan bingung, ditunggunya sang kakek selesai shalat.
“Assalamualaikum, Kek!”
“A… ya… walaikumsalam,” jawab sang kakek heran dan ragu-ragu. Dipandanginya terus Mahlaeil, lalu tiba-tiba ia tersenyum lembut.
“Ada apa, Nak?”
“Begini, saya mau tanya di mana tempat untuk berwudhu?”
“Oh… ya… pergilah ke balik surau ini, di belakangnya ada sebuah sungai yang mengalir.”
“Baiklah, Kek. Terima kasih.”
Mahlaeil paham dan ia langsung menyalami, mengucapkan salam pada sang kakek lalu beranjak cepat ke belakang surau. Pepohonan rimbun mengelilingi Surau itu, tubuhnya besar-besar memberi udara sejuk. Masih ada tetes air satu-satu di antara daun-daun. Mahleil mulai mengekori arah jalan dan ia mulai melihat anak sungai jernih, bersih.
“Wah… bersih…,” katanya masih sendirian.
Setelah sedikit merasakan dingin jernihnya air sungai, Mahlaeil kembali ke surau itu, namun ia tak melihat sang kakek lagi. Dibiarkannya saja, mungkin batinnya mewajari hal itu.
Selesai shalat, entah mengapa Mahlaeil tergesa-gesa kembali ke belakang surau dan diambilnya sedikit air sungai ke tempat air yang dibawanya. Lalu ia melanjutkan perjalanan menjual kue sampai senja telah padam pada malam. Dalam senja itu Mahlaeil mengisi pikirannya lagi-lagi dengan kisah Rasulullah yang diceritakan sang bibi.
“Nak, tahukah…. Rasulullah pernah menghadapi perang. Namanya perang uhud. Ini kisah tujuh puluh luka tanda cinta, Nak! Rasulullah pernah sangat terluka pada perang uhud. Lawannya mengira Rasulullah telah mati. Mereka menganggap bahwa takkan ada lagi yang menolong Rasulullah saat dalam kondisi terhimpit. Sang lawan mengira bahwa para sahabat Rasulullah akan berlari sesuai nurani kemanusiaannya meninggalkan Rasulullah dalam keadaan sekarat. Namun, mereka salah besar. Inilah ia cinta itu. Para sahabat rela berpuluh panah menembus tubuhnya hingga tak dikenali akibat terlalu banyak luka, bahkan ada yang mengobati luka Rasulullah dengan mulutnya menghisap darah yang mengalir di tubuh Rasulullah. Ada lagi yang berjalan memampangkan tubuhnya untuk diguyur pedang dan panah demi keselamatan Rasulullah yang dengan akal sehat sudah tak mungkin lagi terselamatkan. Namun, kecintaan sahabat lebih besar. Mereka bahu membahu menolong Rasulullah hingga akhirnya Rasulullah selamat untuk kemudian masih dapat berjuang kembali di jalan Allah.”
Laeil menangis lagi. Kali ini ini tertunduk menekan perutnya dan meminggirkan tubuh di samping jalan. Sementara ia melihat langit yang begitu luas. Begitu luar biasa Rasulullah, kekasih Allah. Itulah hasil tatapannya kepada langit itu. dan kini dengan hamdallah ia pulang dalam tenang.
“Bagaimana Laeil, pasti capek ya, Nak?” Tanya bibi menyambut Mahlaeil pulang. Dipeluknya Mahlaeil dengan tangis dan diciumnya pipi Mahlaeil.
“Gak, Bu! Oya… Laeil bawa air tadi, gak tahu kenapa Laeil merasa segar setelah meminumnya, jadi Laeil ingat ibu dan mau ibu meminumnya.”
“Air sungai? Dimana?”
“Di belakang surau dekat sekeliling pohon jati arah mau ke desa sebelah, pas di patahan jalannya.”
“Setahu ibu, disitu tidak ada surau, Laeil!”
Sepontan Mahlaeil dan bibi saling pandang memandang. Tak jelas siapa yang salah, tapi Mahlaeil yakin ia melaksanakan shalat di surau itu sekaligus mengambil wudhu di sungai dekat surau.
“Jadi…,” sambung Mahlaeil lagi. “Sang kakek?”
“Kakek katamu, Laeil?”
Mahlaeil langsung terdiam dan bertanya-tanya dalam dirinya, namun ia tak menghiraukan lagi. Baginya yang paling penting adalah pesan kebaikan itu. Ia masih ingat pengorbanan sahabat Rasulullah demi keselamatan Rasulullah dan ia ingin menjadi seperti para sahabat pun seperti yang diajarkan Rasulullah yaitu cinta diluar dugaan. Dan ia mencintai bibinya. Ia adalah harapan bagi kesembuhan bahkan tawa pada bibinya. Ia semakin yakin tentang pesan itu, pesan yang ia tuliskan di salah satu cerpennya tentang sebuah suaru, tentang kakek, tentang sungai jernih yang mengalir di belakang surau. Inilah bukti kecintaannya pada bibi. Semoga cerpen ini mampu memenangkan perlombaan dan uangnya akan dibelikan obat untuk bibi. Amin.

Serambi KOMPAK, Februari 2011


PANGGIL AKU VIRGA!
Oleh: Ria Ristiana Dewi

Virga. Itulah namaku. Lahir saat hujan panas, saat rintih air berbentuk lidi-lidi kemudian menguap menjadi awan yang bias cerah oleh matahari yang kerap menggagahi. Sewaktu udara subur di garis tropis gugur satu-satu tersantap danau, sungai, dan lautan. Itulah rumahku. Seharusnya, hampir semua menyukaiku. Tapi, ada pula yang katakan aku ini pembawa mistis. Hmm…, biarlah…!
Aku perkenalkan teman-temanku: rumput, jangkrik, katak, daun, dan tentu saja aerosol. Terkadang yang lain menyebut aerosol dengan julukan embun ataupun kabut. Bagiku aerosol itu teman baikku walau sering ruang udara memisahkan kami, jadi jarang dibawah langit kami bertemu. Banyak yang berkata aku dan ia sebagai saudara kembar. Teman-teman akan sulit membedakan saat kami hadir bersama. Mereka katakan aerosol akan menjelma dingin dan aku menjelma hangat. Mungkin itulah sebabnya kami akan saling memenuhi ruang udara yang mempertemukan malam dan siang.
Aku suka bermain pada ombak di lautan, terkadang itu rintangan. Aku suka bermain pasir di sungai-sungai dangkal, terkadang mengasyikkan. Aku suka pula berendam di danau, terkadang itu lembut hingga menenangkan. Jadi, itulah aku.
Tunggu!
Perlu satu lagi ciriku yaitu aku menyukai hujan. Hujan mengingatkan aku pada ibuku. Hujan mengingatkan aku pada ayahku. Hujan mengingatkan aku pada kekasihku. Hujan mengingatkan aku pada saudara-saudaraku. Hujan mengingatkan aku pada teman-temanku. Hujan kerap adalah aku. Itulah kenapa aku lahir bernama Virga. Saat hujan panas, rintih air berbentuk lidi-lidi kemudian menguap menjadi awan yang bias cerah oleh matahari yang kerap menggagahi.
“Virga!” Rumput, jangkrik, katak, daun, dan aerosol menoleh mendengar dengung hujan memanggilku. Tidak ada siapa-siapa, tidak ada sosok yang berdiri dibalik rintik-rintik apalagi yang merantingkan suara menyusuri cahaya siang ini. Tidak ada mendung, tidak ada gerimis, apalagi hujan. Lalu siapa yang memekak telinga memanggil ‘Virga’. Siapa?
“Virga!” Suara itu kembali dan mulai membuat gerah teman-temanku. Mereka kembali menoleh, kembali menyoroti jejalanan kosong yang hanya dipenuhi cahaya. Tapi tidak ada siapa-siapa?
Biarlah…biarlah mereka memanggilku Virga.
Aku terlahir untuk memberi sejuk kala kulit-kulit tersayat oleh sengat panas, untuk memberi hangat pada sekuntum mawar yang berharap, untuk suara serangga menyayap senja, demi cahaya, demi prahara, demi rahasia turunnya dahaga surga. Jadi, itulah aku.
Biarlah…biarlah mereka memanggilku Virga. Aku turun dari arah badan langit, berjalan menggumuli rerumputan.
“Katamu, kau memanggil aku Virga. Katamu nama itu terlampau asing. Kenapa teman?” tanyaku suatu fajar kepada rerumputan yang masih disetubuhi basah.
“Virga! Kau tak pernah berniat membuatku gila, kan!”
“Ada-ada saja kau ini rumput. Apa maksudmu?”
“Tanya katak, jangkrik, daun, dan aerosol. Kau itu mati, Virga!”
“Kumohon rumput, aku ini Virga. Aku hidup dan aku ada untuk menghangatkan kalian.”
“Kau hantu, Virga!”
Kemudian aku termenung disudut ujung rintik-rintik. Aku Virga, aku hidup, tidak mati. Aku ingat saat kelahiranku dan aku tak pernah ingat saat kematianku. Aku ini Virga. Panggil aku Virga!
Tunggu!
Ibu. Aku ingat ibu. Ia adalah bulan. Pernahkah kau memperhatikan siang dengan rembulan mengintip di balik awan abu-abu? Saat hujan malu-malu menghujam bumi, itulah ibuku. Bagimu memang tak penting. Tapi bagiku itu penting karena dia-lah ibuku.
“Teman, aku tak pernah bertemu ibuku. Percayakah?” kataku saat aerosol memanjakan jangkrik hingga menjebak aku dan mereka berkumpul pagi itu. Tapi kenapa mereka diam saja tidak meresponku. Mereka beradu di bawah daun-daun mengaliri aerosol menangkap jangkrik pada tubuhnya, bermain hujan yang kian deras. Lalu aku pergi mencebur diri pada cahaya yang hadir kala hujan mereda.
Aku bingung. Bingung dengan teman-temanku yang diam. Aku hanya berbicara pada rumput hari ini. Begitu pun rumput bilang aku mati.
Aku berjalan terus melewati beberapa jalanan yang becek bekas hujan yang tadi menghujam. Dari situ aku bertemu aerosol lagi.
“Ah…aerosol, kau ini ada dimana-mana?”
“Virga!”
“Ya…aku Virga. Panggil aku Virga!” jelasku padanya bahkan benar-benar menjelaskan dari nadaku yang menekan.
“Mustahil. Kau itu mati. Kau hanyalah cerita dongeng.”
“Aerosol. Kita mirip. Apa kau tak ingat bahwa banyak orang yang bilang kita ini mirip.”
“Virga, kau itu hanya dongeng. Dengar ya, dahulu orang pernah bilang bahwa saat orang meninggal pasti ada virga. Jadi, sudah pasti kau itu hantu yang menyedot para arwah.”
“Hah!” Aku bingung, aku semakin bingung. Apa yang mereka katakan. Benar! Aku saja bingung. Ini benar-benar gila. Aku menyedot para arwah? Padahal aku akan memberikan kehangatan, kesejukan, hingga kedamaian pada siapa pun.
Aku berjalan lagi. Dua tiga kali ilalang tak ku perduli. Segala geli tadi itu kuanggap lelucon. Aku tak percaya bahwa itu aku. Jadi, sudah pasti itu bukan aku. Cahaya mengekor memenuhi ruang udara, lantas aku kembali tercebur hangatnya dan pergi ke atas langit. Aku terdiam bermain awan. Dari balik awan aku melihat tumpukan air menghujani bumi. Aku berang, kesal dengan sikap teman-temanku tadi. Aku melihat ke arah angkasa. Ada banyak bintang yang jauh terlihat oleh mata manusia. Tempatnya tak begitu jauh dari tempatku, berada di atmosfer paling luar, namun kala siang menggilir malam mereka seakan redup. Lihat! Bintang terbesar itulah ayahku. Ia raja segala bintang. Ya…Matahari. Aku sering diberi nasihat olehnya agar jangan terlalu banyak bermimpi selalu memberi kehangatan dan kesejukan pada bumi. Ia katakan bahwa manusia selalu tak mensyukuri cahaya, hujan, maupun kesejukan. Bagaimana tidak? Saat cahaya hadir mereka bertengkar dan menghina angkasa menyuruh menurunkan hujan. Lalu, saat hujan turun mereka mengeluh karena banjir, padahal mereka yang menutup tanah dengan aspal, mereka yang menutup sungai dengan sampah dan mereka pula yang menebang pepohonan beserta makhluk yang hidup didalamnya. Hingga tak ada kehijauan lagi apalagi kesejukan.
Setelah aku memahaminya. Aku duduk saja di atas awan tanpa perlu memikirkan peristiwa tadi. Teman-temanku saja katakan aku ini hantu. Menyedihkan. Oh…hujan. Hari ini bumi dipenuhi hujan. Taukah, hujan itulah kekasihku. Jumlahnya lebih banyak dariku. Dan akan turun saat matahari bergeser dibenam awan hitam. Jangan katakan bahwa kami adalah sepasang saling mencintai. Tidak! Untukku kami semua saling membutuhkan dan berada pada tugas masing-masing. Lebih kepada maksudku bahwa kami pasti memiliki kasih sayang satu sama lain. Tapi, kami sudah pasti tidak akan saling memusuhi. Walau hujan lebih banyak jumlahnya, aku tak protes. Walau matahari lebih besar dan begitu panasnya, aku tak protes, dan walau bulan begitu indahnya saat menghiasi malam, aku juga tak protes. Biarlah aku menjadi aku dan biarlah mereka seperti apa adanya mereka. Kami sudah memiliki tempat kami masing-masing.
Namaku Virga. Hari ini dan dalam waktu yang lama aku tidak turun ke bumi. Tapi aku merindukan bumi. Aku mulai gelisah. Aku rindu teman-temanku. Aku rindu danau, lautan, dan sungai. Lalu, setelah kekasihku memenuhi tugasnya, kini giliran aku turun ke bumi saat hujan panas, saat rintih air berbentuk lidi-lidi kemudian menguap menjadi awan yang bias cerah oleh matahari yang kerap menggagahi.
Aku takkan menunjukkan wajah kusut nanti, saat akan bertemu teman-temanku. Walaupun entah apa mereka mengenalku dan menganggapku teman atau justru mengatakan aku ini hantu. Mereka tetap temanku. Dalam kehidupan angkasa, aku belajar arti sebuah pertemanan, dalam kehidupan angkasa, aku belajar pula tentang arti kesetiaan, dalam kehidupan angkasa aku belajar tentang proses kesabaran. Jadi, bukan manusia saja yang belajar itu semua. Kami lebih melekat pada hal itu karena kami tidak memiliki rasa benci. Kami justru senantiasa mensyukuri tugas-tugas yang diberikan kepada kami.
Aku pun kembali cepat turun melintasi terik. Sebelum pudar oleh awan yang menutupi. Tidak seperti semula, semuanya sirna. Aku tak melihat teman-temanku. Yang aku lihat, pohon-pohon berjatuhan, sungai meluap, lautan mengacung-acungkan ombak ke atas daratan, dan danau resah bergoyang akibat bumi yang marah. Air merendam mereka. Rumput, Jangkrik, katak, daun, dan aerosol telah tiada hari itu. Aku sedih karena tak menemukan mereka lagi. Kemana mereka, apakah benar bahwa aku penyedot arwah. Jadi, saat aku turun mereka semua mati. Tidak, mereka tak boleh mati.
“Kawan-kawan jika kalian disini, panggil aku Virga! Aku akan menghangatkan.”
Mereka tidak menjawab dan aku hanya menyaksikan genangan itu. Aku tak mampu menghalangi air yang mengamuk, aku tak mampu menyelamatkan teman-temanku. Aku tak mampu!
Virga merupakan air yang jatuh dari badan langit kemudian menguap ketika melalui udara kering lalu kembali ke langit, maka tak pernah jatuh ke permukaan bumi. Jadi, bagaimana ia bisa mengenal rumput, jangkrik, katak, daun, dan aerosol. Jawabnya adalah bagaimana ia selalu dirindukan memberi kehangatan, berharap hujan senantiasa menjadi sahabat musim. Jadi panggil saja hujan itu Virga! Agar musim kian dirindukan sebagaimana Virga dirindukan.
Aku mati. Aku hantu. Mereka benar aku ini hantu. Berarti teman-temanku berkata benar bahwa aku hanya hantu. Aku Virga. Aku ini hanya kayangan berada di awan-awan. Hujan, ya…ini karena hujan kerap memenuhi bumi hingga aku mati. Aku bingung. Aku heran pada bumi yang terlanjur gerah pada ruang udara. Saat air daratan terguncang hebat, deras air mengalir memenuhi. Oh…teman-temanku, jangkrik, katak, daun, rumput, aerosol tenggelam oleh hujan. Teman-teman, walau aku ini mati. Kumohon rindukanlah aku dari negeri kedua kalian. Surga…teman-teman saat ada hujan di negeri surga maka aku ada disitu untuk kalian.
Namun, bila saat ini kau telah sangat merindukan aku karena ternyata kini kau tahu aku tak pernah ada di muka bumi. Melihatlah ke langit. Cari aku pada bulan pertama, aku menunggumu disitu teman.
Dan, teriaklah!
Kemudian,
Panggil aku, Virga!

Serambi KOMPAK, Lepas Tahun 2010
Dibukukan dalam buku Hujan dan Fiksi yang Kuciptakan,
KELUARGA KOMPAK BERPRESTASI
KOMPAK yang berprestasi sejak 23 Desember- 4 februari

Lomba Cipta cerpen Disbudpar (21 Des. 2010)

Ria Ristiana Dewi (Juara 1)
Wahyu Wiji Astuti (Juara 2)
Zuliana Ibrahim (Juara 3)
Rudi H. Saragih (Juara Harapan 3)

Lomba Baca Puisi Dewan Kesenian(23 Desember 2010)

Zuliana Ibrahim- Juara II tingkat Mahasiswa

Lomba Fiksi 100 kata (6 Des 2010)

Zuliana Ibrahim-juara II

Lomba Cerpen tentang hujan (Januari 2011)

Ria Ristiana Dewi (20 besar) dari 250 peserta.
Wahyu Wiji Astuti (50 besar) dari 250 peserta

Lomba baca puisi rumah kata (14 Januari 2011)

Ertina Br. Barus (Juara Berbakat)

Lomba KAMMI UMSU

Juara I (Zuliana Ibrahim)
Juara II (Ayu Harahap)
Juara III (Winda Prihartini)


KOMPAK yang berprestasi sejak 4 februari – 31Mei 2011

Rudi H. Saragih dan Rika Febriyanti – Juara 1 lomba baca puisi berpasangan-kipas
Febri Mira Rizki - Juara 2 lomba cipta puisi di Jakarta timur
Winda Prihartini – Menang dua besar lomba cipta puisi tentang mesir oleh hasfapublisher
Dara Syahadah – Menang lomba di YIMBO sebagai kata-kata indah yang masuk ke dalam Novel Ifa Avianty oleh Leutika Prio.
Ade Syahputra - Juara 1 Lomba Baca Puisi di Universitas Sumatera Utara
Febri Mira Rizki - Juara 1 Lomba Baca dan Cipta Puisi di IAIN SUMUT.
Ria Ristiana Dewi - Juara 1 Lomba Menulis Artikel KAMMI Unimed
Wahyu Wiji Astuti - Juara 1 Lomba Cipta Puisi KAMMI Unimed
Ertina Br. Barus - Juara III lomba baca puisi di Ajak UNIMED
Wahyu Wiji Astuti - Juara II Lomba Cipta Cerpen di Ajak UNIMED
Ria Ristiana Dewi - Juara 1 Lomba Cipta Cerpen di AMUK LKK-TEATER ke X UNIMED
Ade Syahputra - Juara 2 Lomba Baca Puisi di Fakultas Pertanian USU
Ria Ristiana Dewi - Juara Harapan III lomba cerpen kecil-kecilan oleh Okti Li di FB. untuk memperbaiki Indonesia
Ria Ristiana Dewi - 20 besar lomba cipta cerpen tentang Nabi Muhammad oleh Kun Ghea-www.maribershalawat.multiply.com.

KOMPAK yang berprestasi sejak 1 Juni – 30 Desember 2011

Wahyu Wiji Astuti, Juara I Lomba Naskah Buku KUMCER Oleh Tiga Maha dan akan diterbitkan
Ria Ristiana Dewi, Juara III Lomba Naskah Buku KUMCER oleh Tiga Maha dan akan diterbitkan


KOMPAK yang masuk media massa

Minggu, 27 Februari 2011:
- Medan Bisnis:
Rentak: Wahyu Wiji Astuti (Cerpen)
Febri Mira Rizki (Puisi)
- Waspada:
Cemerlang: Dani Sukma A. S. (Puisi)
Ria Ristiana Dewi (Puisi)

Rabu, 2 Maret 2011:
- Analisa: Iis Aprianti (puisi)

Minggu, 6 Maret 2011
- Medan Bisnis:
B’Gaul: Wahyu Wiji Astuti (Cerpen)
Ria Ristiana Dewi (Puisi)
Dara Syahadah (Puisi)

- Waspada:
Ria Ristiana Dewi (puisi)
Ayu Harahap (Puisi)

Rabu, 9 Maret 2011
- Analisa: Erni W. Ningsih (Cerpen)
Dani Sukma A. S. (Puisi)
Ayu Harahap (Puisi)

Minggu, 13 Maret 2011
- Waspada: Ayu Harahap (Puisi)

- Medan Bisnis: Wahyu Wiji Astuti (Artikel, Rentak)
Dara Syahadah (Puisi, B'Gaul)

Rabu, 16 Maret 2011
- Analisa: Dani Sukma A. S. (Cerpen)
Wahyu Wiji Astuti (Puisi)
Iis Aprianti (Puisi)

Rabu, 23 Maret 2011
-Analisa: Ria Ristiana Dewi (Puisi)

Minggu, 27 Maret 2011
-Medan Bisnis : Winda Prihartini (Puisi di B'Gaul)
-Waspada: Dani Sukma (Cerpen)
Dara Syahadah (Puisi)