Rabu, 23 Februari 2011

Enam wajah yang berbeda

28 Oktober 1978

DENGAN duit besar berlangsunglah Pekan Teater 6 Kota di TIM, 10-17 Oktober lalu. Direktorat Pembinaan Kesenian Departemen P&K yang membiayai kegiatan ini, di samping mengharapkan peserta dapat menjadi etalase untuk menunjukkan perkembangan teater di daerah, menyediakan juga kesempatan diskusi. Menurut Kasim Akhmad, gagasan menyelenggarakan Pekan Teater Nasional yang diikuti seluruh daerah di Indonesia sudah terpikir sebelum 1962. Adalah yang disebut Musyawarah Teater Nasional di Yogyakarta yang masa itu membentuk Badan Pembina Teater Nanal untuk menjelmakan gagasan tersebut. 1971 diselenggarakan pekan teater yang diikuti Palembang, Ujung Pandang, Banjarmasin dan Surabaya. 1976 Pekan Teater 4 Kota: Medan, Padang, Ujung Pandang dan Bandung. Sekarang, 6 kota yang terpilih adalah Banjarmasin, Medan, Ujung Pandang, Palembang, Padang dan Bandung. Sinrilik Masing-masing daerah dibebaskan untuk memilih cerita. Hanya saja diberikan catatan agar kesempatan ini benar-benar diisi dengan cara memanfaatkan kekayaan daerah yang dimiliki. Kalau tidak menggali cerita tradisionil, setidak-tidaknya mempergunakan bentuk penyampaian teater tradisionil. Sementara itu Dewan Kesenian Jakarta -- lewat Komite Teater -- yang ikut andil dalam kerepotan ini, memperlebar lagi kemerdekaan itu dengan melapangkan dada peserta bahwa mereka tidak dituntut untuk menampilkan puncak prestasi daerahnya. "Kita harus menghindarkan kecenderungan anggapan bahwa ini adalah kelompok teater yang paling baik dari kota bersangkutan," tulis Komite Teater di dalam folder. Dengan keleluasaan yang rasanya amat diumbar itu muncullah di Teater Arena kelompok Banjarmasin dengan cerita Lambung Mangkurat Di Negara Dipa. Naskah ditulis dan langsung disutradarai Adjim Ariyadi. Dramawan ini merupakan tulang punggung kegiatan teater modern di Banjarmasin sampai saat ini. Ia pernah mengunyah pendidikan di Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) di Yogyakarta. Bergaul rapat dengan WS Rendra. Menulis banyak sandiwara dari perbendaharaan Kalimantan zaman dahulu. Tetapi pertunjukannya terlalu lamban untuk publik Jakarta. Ceritanya yang memberat, karena lebih merupakan perjalanan pikiran penulis, kadang tak mampu membatasi kata-kata apalagi karena tidak ditampung dengan ketangkasan para pemain. Meski mereka telah berusaha mengorek gaya penampilan teater Mamanda Banjarmasin, terasa amat lesu. Sejumlah kritik sosial, dagelan agak kasar yang rupanya dimaksud akan jadi daya pikat penampilan itu, tidak menolong. Hanya terasa bahwa Banjarmasin memiliki semangat, dan latar belakang, walau kekurangan bandingan. Pertunjukan kedua datang dari Medan dengan lakon Si Sarindan. Naskah ditulis oleh Z. Pangaduan berdasar ide Cek Rahman. Sutradaranya D. Rivai Harahap. Ini nama baru, karena sementara ini kita berkenalan dengan Teater Medan di bawah Djohan Nasution. Kita merasakan adanya kesegaran berbaur dengan usaha untuk memperhitungkan kekayaan daerah. Dengan sebaris gendang berjajar di belakang, pertunjukan penuh lagu dan tari. Tempo, gaya permainan, pengarahan cerita, menunjukkan adanya kehidupan teater modern yang cukup wajar. Tontonan menjadi dinamis dan atraktip. Apalagi dibantu banyak oleh seting dan lampu yang dikerjakan Rujito dengan baik sekali. Medan dengan penampilan kali ini menunjukkan perhatian dan kemajuan dibandingkan sebelumnya. Terutama sekali karena faktor lingkungan yang hendak mereka angkut sempat menyatu dalam pertunjukan sebagai ekspresi -- bukan hanya tempelan. Ujung Pandang membawakan cerita I Tolok -- ditulis oleh Rahman Arge dan disutradarai oleh Aspar. Hampir sama dengan Medan, kota ini mendapat dukungan kuat dari set Rujito yang amat sugestif. Didahului oleh seni bertutur yang disebut sinrilik, dikisahkanlah tokoh I Tolok, seorang penyamun sekaligus pahlawan yang sempat merepotkan Belanda. Pengarang mencoba untuk menempatkan tokoh ini sebagai manusia biasa. Penggarapannya sangat menitikberatkan tekanan pada penataan ruang dan bloking. Dari komposisi-komposisi yang kelihatan sekali hendak dijaga sutradara, terasa ada keinginan sadar untuk membuat pertunjukan atraktif Secara visuil. Mereka cenderung ke arah teater "kontemporer" -- sebagaimana yang dilakukan oleh banyak teater remaja sekarang di Jakarta. Palembang muncul dengan cerita Tambangan -- disutradarai oleh Nurhasan. Berbeda dengan pertunjukan terdahulu, Palembang mengetengahkan cerita sehari-hari tentang seorang tukang jukung yang lupa daratan. Ia menikahi dua orang perempuan yang melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan. Kedua anak yang hidup terpisah itu pada suatu kali bertemu, dan berpacaran. Pada akhir cerita terbukalah rahasia, dan tentu saja tukang jukung itu akhirnya menyesali tingkahnya. Cerita digarap dalam set sederhana yang dihuni meja kursi, balai-balai dan dua pintu. Set yang merupakan ciri khas teater tahun 50-an dan ciri khas sandiwara TV sekarang. Yang menarik adalah kemiskinan set itu menjadi mengharukan dan tiba-tiba terasa orisinil di antara pertunjukan lainnya. Namun bila kita pikirkan, terasa Palembang menyuguhkan sesuatu yang terlalu bersahaja -bukan sesuatu yang sederhana karena pertimbangan yang matang. Mereka tidak bisa berbuat lain. Jadi inilah sebuah potret yang baik untuk sebuah daerah yang teaternya terbengkalai. Dari Padang, sekali ini kita tidak berhadapan dengan Wisran Hadi -- penulis sandiwara dan sutradara yang merupakan tokoh di Padang masa ini. Entah oleh pertimbangan apa, muncul cerita Hari-hari Terakbir Datuk Katumanggungan yang disutradarai Chairul Harun. Pementasan didukung oleh 11 pemain ulu ambek. Kabarnya di antara para pemain terdapat petani. Proses penggarapannya pun unik: para pemain di kota terjun ke bawah untuk belajar bermain dari para petani itu. Yang lebih menarik adalah kemudian hasilnya, yang ternyata tidak penting. Di samping memang kita dapat melihat gaya penampilan dan bentuk teater tradisionil setempat, pertunjukannya lamban tidak dan tidak memikat. Mudah-mudahan untuk hal ini kemudian yang disalahkan bukan bentuk teater tradisionilnya. Kelemahan sebagian besar terletak pada naskah dan penyutradaraan, yang lebih bermaksud menggali -- bukan menjaga keutuhan penampilan. Di sini yang ditonjolkan bukan bobot artistik, tetapi penampilan warna lokal. Sebagai gong penutup muncul Bandung dengan cerita Pengadilan Anak Angkat karya Bertholt Brecht -- disutradarai oleh Suyatna Anirun. Inilah satu-satunya cerita terjemahan yang dipentaskan. Ada usaha memberinya warna lokal lewat kostum, ilustrasi dan pengadeganan. Seluruh pemain memakai topeng. Kecuali Yayat Hendayana, yang mula-mula bertindak sebagai dalang, rasanya tak ada pemain yang dapat menembus topeng dan menunjukkan permainan yang mengesankan. Suyatna yang pernah dengan lembut-kocak dan padu mementaskan karya Moliere berjudul Tabib Tetiron, sekali ini tak dapat mempettahankan kepantasan tempo permainan. Adegan terakhir di dalam pengadilan memang komunikatif dan kocak terutama karena permainan Yayat sebagai Hakim Asdak. Bandung, yang diakui oleh Saini KM -- dalam diskusi -- sebagai lebih berkiblat pada teater Barat daripada teater tradisionil, memang menjadi kikuk untuk dipas-paskan mengenakan gincu alam Priangan. Sementara busana dan pengadeganan dan mengingatkan kita pada ketoprak, tiba-tiba gerak-gerik pemain, stilisasi yang mereka lakukan, terasa seperti tingkah yang ingin jadi orang Barat. Kontradiksi ini merupakan problim yang seharusnya menjadi bahan garapan dalam diskusi. Sangat terasa kurangnya kebutuhan untuk tukar pengalaman. Para peserta dari keenam daerah lebih cenderung hanya untuk bermain. Maka peristiwa ini kehilangan kegairahannya sebagai pertemuan, dan menjadi peristiwa formil. Demikianlah diskusi-diskusi berlangsung dengan sepi -- ditiadakan pun rasanya tidak apa. Seandainya di masa yang akan datang masih sanggup lagi disediakan biaya untuk mengongkosi peristiwa semacam ini, kita doakan agar kebutuhan tersebut disulut. Tentu saja bukan untuk memancing supaya orang ramai berdebat saja. Tapi untuk menukar pengalaman secara tulus. Lalu memikirkan kemungkinan. Putu Wijaya

Selasa, 22 Februari 2011

PUISI PENYAIR

Y. S. Rat
MEDAN YANG HILANG

Sungaisungai mengalir tak memantul silau
menatapnya membangkit imaji indah gemulai
tarian air nuju muara dari
deli
babura
sikambing
denai
putih
badra
sulang saling
belawan
seluas tanah tiada sebekas langkah
terperangkap sesak menapakinya melintas penjuru
memesra perjalanan menemu kisah 171590
guru patimpus menyeruak rawa belukar
menetas kampung sebening udara tanpa
selintas bayang menghirupnya lapanglah dada
membersih pikir sejulang langit nol
awan hitam meruntuh hujan ngancam
detak jam menerawangnya meneguh sepenuh
yakin tak sesiapa secuil pun
rela berpesta luka membunuhkuburkan janji
purba menjaga kota tua bernama
medan

begitulah bertahuntahun lalu hingga tak
terhingga kenal pun tak kutampak
serombongan orang menyelinap serempak
menimbunkeruhkan
sungaisungai sekalian merebahtutupkan tembok
mengecilsempitkan
tanah sekaligus menghapuslenyapkan batas
mengumuhgersangkan
udara seraya memanasganaskan angin
memanahkoyakkan
langit serenta menyungkilbutakan matahari bulan
bintang

beginilah bertahuntahun sudah kini
menggeleparmatilah
ikanikan mengairlautlah jalanan pemukiman
menyempitsakitlah
napas mengaburasinglah jejak bangunan
bersejarah satusatu dirambah selebihnya menyisa
gundah titi gantung pun telah
limbung nasibnya lapangan semula merdeka
didaulat jadi lapangan mereka entah
kepada siapalah tempat mengadu sedangkan
guru patimpus cuma di catatan
berserak di sejengkal jalan di
seonggok tugu bisa disua
14 Oktober 2009, Medan

Doa Sebelum Usai

Allah, telah Kau ingatan. kami pun sempat mengingatnya.
Selebihnya entah apa. sekarang pastilah Kau saksikan beginilah kami.
gelimang darah banjiri sawah ladang yang Kau hampar
seluas ikhlas. diretas nyawa sesama tak sanggup kami menghitung jumlahnya suami menjadi duda.
istri dirundung pilu menjanda. Orang tua merindu anaknya. anak-anak meratapi kesendiriannya
adalah sesak yang tak ada habisnya. Allah, sebelum usai kami
percaya kerelaan-Mu. mohon ingatkan lagi kami tak berulang lupa semua adalah saudara tak ada lain
kecuali kepada-Mu. Allah, maka hari ini segala apa kami lakukan
Kaulah memberinya keindahan selamanya tanpa peluru mengganas tanpa darah membuncah kembali sawah ladang bertebar rezeki Allah
10 Januari 2011, Medan

PADA PINTU DAN JENDELA
M. Raudah Jambak

Pada pintu dan jendela angin kencang bertiup
seperti malam-malam sebelumnya
sebab pada setiap langkah bulan
pun telah ia sedekahkan cahaya di setiap
rumah temaram

pada pintu dan jendela malam menetas
seperti biasanya dalam kenduri diam
dan bulan pun menyulamkan bumi
sampai ke pagi

TATAP MATAMU TELAH BEBASKAN IMAJINASI
M. Raudah Jambak

Tatap matamu mempermain-mainkan
imajinasi yang paling birahi lalu merayap masuk
di setiap aliran getah pohon kamboja
dipucuknya daun-daun gemetaran
dalam dekap sepasang burung yang bertengger, manja
di puncak nisan, di antara makam-makam yang berebahan
sunyipun melahirkan bait-bait puisi kebebasan
dan aku mengayuh cintamu seirama detak nadi
oh, betapa kejantananku menghentak liat betinamu

SELAMAT MALAM, MALAM
M. Raudah Jambak

Selamat malam, malam
Dengan sebatang lilin ini
aku heningkan cipta untuk mengenang
jasa perusahaan listrik negara
semoga arwah mereka
diterima disisiNya
selamat malam, malam
semoga sebatang lilin ini
tidak cepat mencair sebelum
matahari beranjak ke pagi (07)

Harta Pinem
Madah Perempuan

berjalan saja hai engkau perempuan yang setia
membajak sawah-ladang mengenakan mantel hujan
hadapi gerimis tahun, hadapi musim kelu kelabu
di antara awan retak, kacamata pecah
berjalan terus menelusuri hutan berkabut

harapan haru biru dengan tangan sekeras baja
langkah meniti badai, tubuhmu disapu gerimis panas serta hujan
berjalanlah terus mencangkuli panas dalam hidupmu
di tengah ladang yang semakin kurus krontang

engkah adalah galah mengacung-acungkan pijar api
melewati kehancuran hati yang gerah diselangkangan pelacur
beban utang menumpuk dibuang sanak keluarga
tiada hasil panen sawit

harga sawah-ladang jatuh di bawah termometer
di seberang sana harga-harga keperluan penduduk melambung
ingin mengatasi matahari
kepala puyeng, saudara, harapan jatuh ke bawah wc
disiram bau busuk setiap

engkau perempuan, jangan pernah berhenti
berjalan menantang badai kehidupan
meski tenagamu semakin berkurang, pikiran bergerak macet
tantanglah kemarau dengan kuat hatimu

tetap memelihata bianglala, burung bernyanyi di atap-atap rumah
sekalipun hasil sawah ladang merosot setiap tahun
sekalipun hidupmu semakin miskin melarat diperbudak keadaan
tetaplah memelihara rembulan di rumahmu

tgetaplah berharap pada bintang-bintang
hanya engkau satu-satunya harapan mempertahankan keluarga
jangan menyerah pada hujan, pada setiap bunyi cercaan
engkaulah matahari, masa depan setiap suami
2009


DI TITIK AMBANG

lalui jalanmu, katanya pada kutilang
burung kutilang terbang ke tempat jauh
menembus bulan separuh di atas ranting bambu
tiada dapat dia ucapkan pertimbangan kepada penyuruhnya
pergi untuk meneruskan perjalanan
dia sudah merindukan jalan pulang, jalan ke arah sangkar
terjebak di daerah perbatasan, memandang banyak persimpangan
menawarkan banyak godaan menggiurkan
burung kutilang kehilangan arah pulang
semua menahannya untuk berada di titik ambang
lupa jalan pulang
2010

Alex R Nainggolan
SEBUAH RUANG DENGAN KOMPUTER YANG KERAP MENYALA
- penyair ikha b. sutrawhana

kubayangkan engkau menepuk kesunyian
di malam-malam yang jauh
mengingat segenap percakapan
lalu komputer itu terus saja menyala
kalimat-kalimat merangkak
menelusup di tengah kepalamu
dunia terbentang luas
barisan pohon mahoni juga angsana
rindang dan teduh
membuatmu ingin singgah dan rebah di sana

tapi jarum jam terus berputar
ketika kau sadar, jika di luar begitu banyak terjal batu
orang-orang berteriak cemas
beriringan penuh amarah
sembari membakar ban-ban bekas
kota penuh dengan kepulan asap hitam
napas yang memburu marathon berlari
ketakutan melayang seperti selembar daun kering
terjatuh remuk dan menyatuh tanah

komputer belum kaumatikan;
rangkaian peristiwa acap menyergap
tak bisa kausingkirkan
Jakarta, 2008

Rumah Perempuan
- rina

perempuan itu setia menunggu di rumah
hingga suami tiba pulang dengan lelah
dihantam genangan malam
diseduhnya secangkir susu
“jika masih kurang, cucup jugalah susuku,”
perempuan itu menawarkan dengan manja

selalu dia menata rumah dengan apik
begitu sabar merajut waktu yang berlalu
itu saja; tak lebih
dia cuma ingin suaminya lekas sampai di rumah
Jakarta, 2008

Gus Susilo Pengkor
Negeri Yang Dikoyak

suara menggerutu, mendekapku ngilu
silaumu pencar jadi balutan mendung
aku terhuyung memacu ragu
tak kubiarkan lenguhmu masuk ke senyapku
aku sepi yang menyusup ke riuh kotamu
biarkan aku terbang membuat gelombang
asal kau tahu, nusantara itu membentuk rumahrumah kayu.
takkan layu diriku memandumu jadu kemilau.
cerita ini akan mekar
jadi jangan terus menggerutu.
waktu akan terus bergumul dalam sisa-sisa gelisah.
dalam foto-foto yang dipajang
tanpa asa
wajah mereka murka
wajah mereka susah
wajah mereka pongah
wajah mereka koma
dan kau jadi sembilu
Agustus 2010

Amrin Tambuse
BABALAN

kusinggahi ke setiap pelosok kotamu
tempat dimana aku dilahirkan puluhan tahun lalu
dengan kekayaan alam bawah tanahnya
minyak serta gas bumi

babalan
kini, kemana kau sembunyikan semua?
sebab aku tak mencium aroma gas dan minyakmu

merajukkah engkau duhai bumi Babalan?

tidak-tidak, katamu setengah malu-malu
sebentar lagi minyakku menyembur
gasku menggembus ke seantero bumi

ah, Babalan
jangan biarkan kami pergi meninggalkanmu
dengan dongeng-dongeng usangmu
Cempaka Ujung, Desember 2010

Jaya Arjuna
Puisiku

puisiku bukan puisi panjang
karena kata tak mampu
ungkap betapa derita lelah tak bertara
anak bangsa yang dikhianati pemegang amanahnya

puisiku bukan puisi lantang
hanya semilir kata yang mampu dikumandang
dalam gemuruh sorai suara para pedagang
transaksi mereka telah menang
atas kekuasaan yang dipertaruhkan
demi nama rakyat dan janji kesejahteraan

puisiku jadi puisi lirih.
ketidak adilan tak bisa lagi disapih.
dari jalan hidup yang tak berujung penuh halang rintang
tak mampu ditentang

puisiku bukan puisi temberang
bukan kata merajut seribu mimpi
melayangkan angan anak negeri tak pernah tahu apa terjadi
negara kaya raya hanya mampu membagi derita
bangsa paling berbudaya dengan kerusuhan merajalela
padahal dosa jadi bencana
ketidakberdayaan melawan kemungkaran.
diam dan pasrah menerima penindasan.

puisiku jadi puisi rintih atas sekumpulan para pemilih
menggadai masa depan hidupnya
dengan imbalan janji yang dia juga tahu
takkan mungkin dituntutnya

puisiku jadi puisi diam karena sekelilingku juga diam
walau diamku bukan berarti diam
puisiku tetap puisi diam
Medan, 2010

YS Rat
Seseorang yang Mencari

seperti tak menemui pintu pun
tiada jendela ketika mata menutup
hati sehingga di lapas zikir
suara mengiba tanpa mengerti segaris
pun ke mana dilabuhkan. Maka
sia-sialah mengurasbanjirkan air mata
sedangkan ruang dihuni mati cahaya
tinggal kebisingan ‘tah dari mana
bermuasal semakin memekakbutakan segala seruan
dan kehadiran. begitulah seseorang mencari
air di tengah laut, menyulut api pada matahari, berharap teduh
berpijak bumi bernaung langit, yang memendam rindu diri sendiri
18 Agustus 2005, Medan

Balada Aliminah indah namanya

tak lelaki bukan perempuan. amat
sangat dibutuhkan tapi malah jadi
berulang meresahkan. jangan kira bersebab
keonaran yang diperbuatnya karena bukanlah
dia manusia tak pula makhluk
bernyawa lainnya

indah namanya
sudah jatuh tertimpa tangga. sakit
teramat sakit tentunya namun tak
bisa menjerit karenanya kecuali mengelus
dada menelan suara demikianlah akibat
kelakuannya pada manusia telah berpanjang
waktu melanda

indah namanya
buah persetubuhan tiga keluarga. Satunya
bernama air berikutnya listrik dan
terakhir minyak tanah maka dirangkumlah
menjadi aliminah

indah namanya
aliminah, tak seindah yang diberinya
telah sejak lama air berlabel
minum datang jelang tengah malam
cuma menetes tes pun hitam
menyisakan lumpur telah berulang listrik
beli pada negara mati bersebab
membunuh dirinya sendiri begitu pun
minyak tanah jadi rebutan menguatkan
alasan mengganti dengan saudara kembarnya
bernama gas tanpa peduli tak
setiap orang menyukainya tapi yang
namanya rakyat mau bilang apa
kecuali mengelus dada menelan suara
4 Juni 2006, Medan

KEPADA TAHUN-TAHUN YANG TERLEWATI
Irwan Effendi
Detik-detik berguguran
bagai dedaunan kering
terlepas dari dahan
tanpa bisa kembali
begitulah waktu
terus melesat jauh
tanpa pernah tahu
kapan kaki akan merapuh
sedang usia yang tersisa
hanya meninggalkan kecemasan
bersama tik-tok jam
yang semakin berdetak tajam.
Medan, Desember 2010

DI PENGHUJUNG TAHUN
Irwan Effendi
Rentang waktu makin berdebu
sebentar lagi satu tahun
dari jejak perjalanan akan berlalu
bayang-bayang cemas itu pun
mulai menghantu
banyak hal yang terlupa
sedang hari-hari yang tersisa esok hari
hanya menyisakan desah perih
bersama usia yang kian memutih
entah kemana langkah akan berlari.
Medan, Desember 2010

DUA RIBU SEPULUH
Irwan Effendi
Dengan berat hati terpaksa kulipat
almanak yang sudah kusam dan berdebu ini
sebab tanggalnya sudah tak bersisa lagi
dengan berat hati harus kutinggalkan
segala yang bernama kegagalan
kusambut hari esok yang lebih menjanjikan
ku tak ingin tercebur ke dalam lubang yang sama
ku ingin bangkit dan menatapnya
dengan sebuah harapan yang pasti.
Medan, Desember 2010

DUA RIBU SEBELAS
Irwan Effendi
Masih terbentang tanya
pada kelokan mana akan melangkah
akankah terjatuh lagi
ke lembah-lembah derita
atau hanyut ke sungai-sungai
berarus air mata
atau seulas senyum akan kembali mekar
di ujung jalan sana
mungkinkah?
Medan, Desember 2010

MENELUSUR JEJAK-JEJAK WAKTU
Hendra Darmawan
Telah kutelusuri jejak-jejak waktu
di musim-musim yang membentangkan rindu
dan kutenteng senja di ujung pergantian tahun
mencoba menumbuhkan harapan-harapan baru
sebelum mati terkulai layu
di jalanan yang panjang nan berliku
sambil menghitung desah nafas yang mengalirkan peluh
tak kutahu kemana kaki akan berlabuh
perjuangan akan terus berlanjut
tak ada kata menyerah sebelum titik darah terhenti
sebab hidup memang selalu membentangkan rahasia
adakalanya bahagia
adakalanya duka
tertulis di lembaran nasib yang berdebu
bersama hari-hari esok yang tersisa
semoga matahari masih menyinari mimpi
dari tahun-tahun yang terlewati
sebelum langkah kaki terhenti
di bumi yang kian meletih.
Medan, AkhirDesember 2010

TAHUN-TAHUN YANG LEBAM
Hendra Darmawan
Tahun lalu kita gagal menafsirkan waktu
jalanan licin dan curam
membenamkan kita
pada lubang-lubang ketidakberdayaan
kita pun terbungkuk-bungkuk
memunguti kekalahan
tahun lalu kita tergagap-gagap
dihantam badai cobaan
air mata terus berjatuhan
kita merengek dan mengaduh lagi
di hadapan Tuhan
betapa negeri ini tak pernah lelah
menyimpan kepedihan
esok, akankah tahun-tahun yang sama
akan kembali terulang?
Medan, Akhir Desember 2010

BANGUNLAH DARI TIDURMU, NAK
Hendra Darmawan
Bangunlah dari tidurmu anakku
sebentar lagi kalender waktu akan berganti
sebentar lagi kita sulam lembaran hari
jangan terpukau oleh tiupan terompet
dan percikan kembang api di langit
tahukah kau
semua itu hanya akan melelapkan malammu
lebih baik kau duduk dan merenung
di depan cermin
lihatlah usiamu kian bertambah
dan waktu terus melaju
sibak gerimis di wajahmu itu
melangkahlah dengan hati-hati
agar kau tak terjatuh lagi
ke lubang-lubang yang menyandingkan perih
bangunlah dari tidurmu nak
tataplah hari esok
dengan sejumput mimpi yang kau miliki.
Medan, Akhir Desember 2010

Di Pelepah Langit
Win R.G.
Di pelepah langit
sudah kuukir namamu
meski angin memburu
hujan menghantu
tetap akan tergantung namamu
di pelepah itu
sebab kutahu sangat
bahwa kau juga tahu
arti menunggu

Mengapa Tak Meminta?
Win R.G
Kau harap agar pantai tak berpasang
kau doa agar langit tak berhujan
kau ingin malam tak berembulan
tapi mengapa kau tak meminta
agar bumi segera binasa?

Menangislah!
Win R.G
Ia sedang lara
tapi ia enggan menetes airmata
katanya sebab ia lelaki
apa lelaki tak boleh punya hati?
tak boleh bersisi sensi?
menangislah!
sebab menangis bagian dari kerja hati
yang kan menegarkan lara

Arti Sepi
Win R.G
Sepi mengelambui sisi hidupku
serasa dingin sebab tak berkawan
kupinta agar ada yang menebalkannya
dari cuaca yang selalu meraja
tapi sepi tetap belum ramai
meski sudah kunyanyikan hati
ternyata aku memang harus berkarib dengan sepi
sebab dengan sepi1`
aku merajut arti tangguh

Melepas Kerinduan
Seftiana Harisatul Hamamah
Hening rindu mencipta ketika aku terjaga
gemuruh nafas menumpuk di satu kenang
menghantam keras kedalam jiwa yang meradang
membakar lara menjadi serpihan arang

Tinggalkan Kisah Perih
Seftiana Harisatul Hamamah
Kutelah tegar melebihi kokoh yang karang dihantam gelora
dan telah lebih kuat dari dinding kokoh benteng sebuah kerajaan
namun perih ini telah mampu menyapai celah sempit diruang hati
setidaknya sebelum harapanku punah untuk detik henti kuingin tinggalkan kisah perih ini untuk mata kalian sebuah jaya akan tetap runtuh bila sang takdir telah diberi kuasa
memilikimu dan semua yang pernah termiliki akan tetap menjadi kenang bila saat menjelang

KITA YANG RAKUS
Irfan Alma
Bual sang bulan pada bintang
bulan bilang bumi tlah rapuh
kerut di wajahnya .dan kering kerontang
lihat suhunya yang tinggi tandakan demam
kicau pipit dan hembusan lembut angin
tak mampu buatnya terrsenyum

ia kini sekarat ,,, kritis
penuh luka disana-sini
airnya dijual
tanahnya digadaikan
sedang para penompang itu tetap rakus
yang bahkan tak sisakan sebatang ilalang untuk tumbuh

Sudut Kota Mati
Seftiana Harisatul Hamamah
Disudut kota yang gemerlapan
ada sebuah sudut kecil juga mencekam
angin musim dingin bertiup kencang
tumpukan debu bersimbah dijalan setapak
pada alir sungai yang mengalirkan jerit keheningan
Nyanyian Nada Daun
Seftiana Harisatul Hamamah
Romantika embun dedaun
setetes air jiwa di padang gersang
bibir ini begitu kelu
hingga kata tak bisa kuayat
dan hanya sebagian kerikil kecil
menghiasi jalan hidup
angan membelai pohon itu hingga
dedaunnya menyeka luka
PISAU KRITIK YANG MENYAYAT-NYAYAT “NUUN”

“DAN penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)? Kecuali orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal saleh serta mengingat Allah dengan banyak dan mereka bangkit membela, sesudah mereka dizalami. Dan orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS Asy-Syu’ara’[26]: 224-227).
* * *
Kutipan Firman Allah SWT di dalam Al Qur’an yang mengawali tulisan ini adalah peringatan-Nya kepada para penyair yang mengaku-ngaku nabi pada masa awal Al Qur’an diturunkan. Mereka beranggapan isi Al Qur’an adalah puisi dan Muhammad SAW penciptanya (penyair).

Bermodalkan kepandaian menulis syair-syair (puisi), para penyair sesat itu berlomba-lomba menciptakan syair-syair tandingan untuk mengimbangi kedahsyatan estitis Al Qur’an. Namun, adakah manusia yang sanggup mengimbangi kedahsyatan estetis, kedalaman makna dan kandungan hikmah yang ada dalam Al Qur’an? Sungguh, penyair-penyair sesat itu takkan sanggup. Lagipula, apa yang mereka katakan (tulis) tidaklah sesuai dengan yang mereka lakukan.

Selain berisi peringatan, ayat itu juga memberikan pengecualian terhadap penyair-penyair yang beriman, beramal saleh, serta mengingat Allah SWT. Penyair-penyair yang tidak terjebak hidup dalam alam khayal belaka.

Itulah sebagian ceramah Ustaz Latief Khan dalam acara peluncuran dan bedah buku antologi puisi “Nuun” karya sastrawan yang bergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) Sumut, 14 November 2010, di Sanggar Teater Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan Medan.

“Nuun”— salah satu judul puisi dalam antologi itu — dipilih sebagai judul antologi puisi FLP kali ini. Antologi puisi “Nuun” merangkum karya 23 sastrawan, di antaranya Amrin Tambuse, Intan Hs, M.N. Fadhli, Ratna Dwi, Sukma, Thilal Fajri, dan Win R.G.

Dibuka dengan pembacaan puisi oleh M. Raudah Jambak dan dilanjutkan musikalisasi puisi oleh Sanggar Teater Generasi, peluncuran dan bedah buku antologi puisi “Nuun” yang seharusnya dilangsungkan pukul 09.00 WIB, akhirnya dimulai pukul 10.00.

Didaulat sebagai pembedah bersama sastrawan Hasan Al Banna, Ustaz Latief Khan lebih memfokuskan ulasannya pada pandangan Islam terhadap puisi. Menurutnya, dalam Islam puisi tidak haram. Ini dibuktikan dari hadis Nabi Muhammad SAW ketika mempersilakan Ibn Rawanah membacakan syair-syairnya setelah Umar Ibn al-Khatahthab menegurnya.

Selanjutnya, ia menambahkan, puisi yang bagus seharusnyalah sanggup menembus sekat-sekat yang ada pada manusia, sehingga pesan universal sebuah puisi mampu menyentuh seluruh umat manusia. Seperti halnya puisi-puisi Jalaluddin Rumi - salah satu penyair Islam termasyhur - yang disukai bermacam suku bangsa dan agama.

Setelah memberikan ulasannya tentang puisi menurut Islam, Ustaz Latief Khan berbagi kesempatan kepada Hasan Al Banna, yang kemudian pelan-pelan menguliti dan menyayat-nyayat beberapa puisi dalam antologi “Nuun” dengan pisau kritiknya.

Menurut Hasan Al Banna, menulis puisi tak ubahnya membonsai sebuah pohon besar menjadi pohon kecil. Namun tidak menghilangkan bentuk asli sebuah pohon, sehingga dibutuhkan keterampilan khusus dalam membonsai pohon agar terlihat cantik dan menarik.

Sebagai salah satu genre sastra yang dinilai paling ramping, puisi bukanlah sebuah karya sastra yang lahir tanpa kaidah-kaidah serta aturan-aturan tertentu. Hal inilah yang dirasa Hasan Al Banna kurang mendapat perhatian dari para pekarya dalam antologi “Nuun,” selain juga persoalan kesabaran dalam proses penemuan diksi dan lompatan-lompatan yang terlalu melambung jauh tanpa melihat runutan sebelumnya.

Hasan Al Banna juga mengingatkan para pekarya agar tidak menjadikan kritik yang ia sampaikan sebagai sebuah bentuk pematah semangat. Namun, jadikanlah kritikan-kritikan itu sebagai pematik gairah bagi pekarya dalam mengembangkan bakat serta kemampuan. Sebab, menurut Hasan Al Banna, kritikan ibarat berjalan dengan kedua kaki sendiri. Sedangkan pujian ibarat berjalan menggunakan tongkat sebagai penopang. Mana yang lebih nikmat? Andalah yang bebas menentukannya.

Agar acara tak berlangsung satu arah, moderator memberi kesempatan bertanya bagi para undangan. Maka, pertanyaan demi pertanyaan mengalir, sampai-sampai kesempatan dibuka jadi dua sesi. Namun, karena sempitnya waktu, pertanyaan-pertanyaan yang masih berpinak di pikiran para undangan tak seluruhnya bisa lahir ke forum.

Di akhir acara sebelum doorprize, panitia mendaulat sastrawan A. Rahim Qahhar untuk membaca beberapa puisi. Penampilan A. Rahim Qahhar ini pun mampu menghidupkan kembali gairah hadirin yang tampak mulai letih. Panitia kembali melanjutkan suguhan hiburan dengan musikalisasi puisi dari Sanggar Teater Generasi. (ilham wahyudi)

Selasa, 08 Februari 2011

Sastrawan di Antara Dilema

Damiri Mahmud

Sastrawan selalu berada di tengah-tengah kutub keterkenalan dan keterpencilan. Pada satu sisi dia adalah empu, karena karya-karyanya berisi ajaran dan pedoman hidup yang bahkan jauh ke depan melampaui zamannya. Di sisi lain dia kesepian karena merasa dirinya dan karya-karyanya tidak dihiraukan dan tak mendapat perhatian.

Dalam tradisi China, karya sastra terutama puisi, sangat dihargai dan dipandang tinggi. Sebagaimana yang dikatakan Lin Yu Tang, seorang raja yang bijaksana kalau ingin mengetahui degub jantung rakyatnya dia harus datang ke tengah-tengah mereka, mendengarkan larik-larik puisi yang mereka lantunkan yang telah diaransemen berupa nyanyian. Bahkan Confusius berujar, seseorang sama sekali tidak beradab dan berbudaya apabila tidak memahami puisi.

Di Arab pun, penghargaan masyarakat terhadap penyair sangat luar biasa. Bahkan pada suatu ketika, syair sudah dianggap sebagai keyakinan dan agama. Mereka memulai peperangan dengan mengumandang syair-syair, berhakim dengan syair, bermusyawarat dan memulai kehidupan dengan berpedoman kepada syair-syair. Syair merupakan arsip orang Arab.

Ketika Islam datang, keberadaan syair tidaklah terpinggirkan begitu saja. Syair-syair Jahiliyah misalnya, selalu diburu oleh para filolog dan penafsir Al-Qur-an. Oleh karena kata-kata dalam kitab suci itu banyak yang sulit difahami. Mereka selalu mencari syair-syair lama yang banyak berisi kata-kata arkais dan masih murni, banyak dipakai pula dalam Al-Qur-an.

Dalam tatakrama kehidapan modern, penghargaan terhadap sastra tiadalah berkurang. Banyak Negara dikenal melalui identitas para penyair. Orang menyebut Erasmus untuk negeri Belanda, Voltaire untuk Prancis dan Goethe lebih dikenal dan dihormati dari siapapun di Jerman.

Ada Walt Whitman yang nada puisinya begitu jernih dan sangat mencintai Amerika. Salah seorang presidennya, Kennedy, sempat berucap dalam pidatonya yang sangat terkenal dalam pembukaan Robert Frost Library di Amberst College, Massachusets: “Jika kekuasaan mengarahkan manusia kepada kesombongan, puisi mengingatkan keterbatasannya. Ketika kekuasaan menyempitkan wilayah pandang manusia, puisi meluaskan keberagaman dan ke kayaan jiwa. Ketika kekuasaan bergelimang korup, puisi membersihkannya!”

Dengan reputasi dan penghargaan yang bukan kepalang itu, mengapa banyak para sastrawan merasa kesepian dan terpencil dan bahkan banyak yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Di sinilah kita mendapatkan dilemma itu.

Barangkali apa yang diterakan di atas, adalah puncak-puncak kenyataan yang ideal. Mungkin puisi dilantunkan rakyat hanya sebatas nyanyian saja, tapi tidak dilaksanakan. Atau masyarakat memuja-muja para penyair sebagai tokoh atau pahlawan padahal tak pernah membaca karya-karyanya. Bisa jadi pada zamannya dia tidak diacuhkan, disingkirkan, baru setelah matinya, dia disanjung-sanjung dan karya-karyanya menjadi rebutan. Fenomena kemunafikan semacam ini memang kelihatan dan terjadi di mana-mana.

Demikianlah misalnya, oleh karena kesepian dan keterpencilan itu, banyak sastrawan yang mengakhiri hidupnya dengan tragis atau digelimangi oleh rasa tak bahagia yang menyiksa. Hemingway menembak kepalanya dengan senapan berburu. Yasunari Kawabata meracun dirinya dengan gas. Yukio Misima seppuku dengan pedang samurai. Akutagawa menelan obat bius. Kita juga membaca bahwa Jack London, Stephan Zweig, Sadeg Hihayat, Verginia Wolf, Nerbal, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Di negeri kita, Willem Iskandar, pelantun syair yang sangat popular di tanah Mandailing karena memotivasi masyarakat dengan tak henti-hentinya untuk menyekolahkan anak-anak mereka, juga mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dia merasa kesepian dan tak bahagia di negeri Belanda.

Banyak sastrawan kita yang di akhir hidupnya merasa tersiksa karena tidak dihargai. Ronggowarsito, pujangga “Zaman Edan” itu, di hari tuanya merasa terhina karena janji yang diberikan kepadanya diingkari. Sebagai pujangga dan pegawai istana, dia dijanjikan akan menduduki jabatan tinggi tapi diabaikan, sehingga dia merasa tertipu.

Dalam satu percakapan saya dengan Sapardi Djoko Damono, penyair itu mengatakan, Ronggowarsito tidak dikenal dan tidak dibaca pada zamannya. Lama setelah dia wafat, karya-karyanya dikaji ulang, dipelajari dan dibukukan. Sapardi pun meragukan keaslian karya-karya Ronggowarsito yang beredar sekarang ini. Dia menengarai ada campur tangan para pengedit yang mempelajari, membukukan dan menyebarkan karya-karya Ronggowarsito itu.

Chairil Anwar, mungkin bernasib lebih mengenaskan. Dalam masa hidupnya yang begitu singkat, 27 tahun dengan masa menulis selama 7 tahun, dia sampai ke puncak kepenyairannya. Chairil berjasa membuat bahasa Indonesia begitu hidup dan dinamis, sehingga dia dilambungkan sebagai tokoh yang setaraf dengan Soekarno, Hatta dan Syahrir.

Di masanya dia tidak dikenal, tidak difahami, bahkan diejek dan dibenci. Dia boleh dikatakan tidak mendapat imbalan apa-apa dari kerja keseniannya yang tidak tanggung-tanggung itu. Chairil dikenal sebagai bohemian, gelandangan, pencuri buku dan nebeng makan di rumah kawan-kawan. Di akhir hidupnya dia terusir dari rumah mertuanya. Terkapar di kamar tumpangan temannya sesama di Medan, bernama Suharto, di sebuah rumah Arab kaya di Salemba.

Begitu pula Amir Hamzah. Karya puisinya menjulang tinggi, tapi dia tidak hidup bahagia. Pada zamannya dia tidak dihargai. Cintanya hancur berkeping-keping. Studinya putus di tengah jalan. Aktifitasnya sebagai pemuda pejuang kemerdekaan dipatahkan oleh Belanda melalui tangan kekuasaan Sultan Langkat. Meskipun kemudian dia diangkat sebagai residen Langkat oleh Presiden Soekarno, tak urung dia dicurigai sebagai pengkhianat dan harus menebusnya di liang kubur. Dipancung di Kwala Begumit, pada revolusi sosial di Sumatera Timur.

“Sang Presiden” N.A. Hadian, tetap setia dengan dunianya, hingga ke akhir hidupnya. Di hari tuanya dia tetap mengapit puisi ke mana pergi. Dia dengan tabah keluar-masuk kantor dan rumah rekan dan sahabatnya sambil meninggalkan kepada mereka secarik puisi. Dengan sangat bersemangat dia berbicara tentang puisi, puisi, puisi. Tak peduli para rekan dan sahabat sedang dinas kantor.

Biasanya mereka senang, keluar dari kerutinan sebentar, tersenyum dan tertawa dengan “Sang Presiden” tak lupa menyelipkan selembar “kertas” ke sakunya ketika beranjak pulang. Di akhir hidupnya dia sangat kesepian. Ruang hidup seperti yang disebutnya “tanpa batas negara” itu seperti menolaknya. Ternyata puisi tak lebih berharga dari sebungkus nasi! Wiji Thukul, seorang penyair lugu, yang banyak membacakan puisi-puisi perlawannya di hadapan para buruh, jauh dari hidup aman. Dia dikejar-kejar oleh penguasa dengan laras senjata dan terpaksa melarikan diri, lalu hilang raib tak tentu rimbanya. Mungkin sekali dia sudah mati terbunuh.

Rendra? Si Burung Merak yang kelihatan gemerlapan tapi mungkin tidak hidup tenteram. Dia dicekal tidak boleh naik panggung, membacakan puisi-puisinya, dalam waktu yang cukup lama. Rendra masuk bui dan disiksa. Disuruh minum air kencingnya sendiri.

Sampai tahun 1992, ketika kami sama-sama baca puisi pada acara Bosnia di Teater Arena, TIM, di hadapan ribuan pengunjung dia masih mengeluhkan kebebasannya yang masih terkekang. Di hari tuanya, dia merasa tidak serasi dengan tingkah polah para politikus dan penguasa. Rendra tampak bingung dan serba salah dalam menempatkan suaranya di hiruk-pikuk era eufemisme politik di mana orang-orang seperti kesurupan mencari kursi dan kedudukan.

Mungkin keterpencilan dan rasa keterasingan adalah beban yang harus dipikul oleh para sastrawan, sebagaimana yang pernah disebut oleh Slauerhoff, penyair pengembara yang kesepian itu.
“Akan gila penyair memikul kesepian…” katanya.

Fenomena ini bukan hanya dirasakan oleh semacam Chairil yang serba kekurangan. Sapardi Djoko Damono dalam percakapan di atas, mengakui terus terang, dia sebagai penyair siap terpencil. Dia memprediksi karya sastra sebagai lebah tanpa sengat. Goenawan Mohamad juga merasakan itu. Hanya orang yang keras kepala saja yang masih mau menulis puisi, katanya.

Berbagai diskusi seni

Setiap kali dilaksanakan diskusi oleh seniman, selalu saja terjadi persinggungan yang tak sehat. Terutama antar kelompok yang sudah pasti merasakan kelompoknya yang paling hebat dan selalu menafikan keloimpok lainnya. Bahkan terkadang terkesan, bagaimana caranya menghancurkan kelompok lain.

Akibatnya, walau dalam undangan selalu dikatakan, untuk kebersamaan namun yang terjadi untuk eksistensi sebuah kelompok belaka. Hal seperti ini sudah lama terjadi, khususnya di Medan. Lantas kepentingan kelompok yang selalu lebih menonjol, akan membawa kehancuran bagi berbagai kelompok seni.

Hal ini terjadi disetiap cabang kesenian, baik sastra, tari, teater, rupa bahkan musik. Persaingan tak sehat yang selalu terjadi, bisa mempengaruhi perkembangan kreatifitas dan membuat orang-orang yang tidak bergerak di dunia kesenian menjadi bingung.

Jika kelompok A yang mengadakan kegiatan, maka dapat dipastikan beberapa dari kelompok lain tidak akan hadir dalam perhelatan yang diselenggarakan oleh kelompok A dan sebaliknya. Bukan itu saja, bahkan selalu terjadi sas-sus, antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, bukan hanya perbedaan pandangan dalam berkarya, tetapi sampai ke hal-hal pribadi.

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, seakan hanya sebuah slogan belaka yang tak diamalkan. Kondisi pertentangan antar kelompok memang selalu terjadi. Di satu sisi sangat mengagnggu kreatifitas, namun di sisi lain justru ada juga yang menjadikannya untuk meningkatkan kreatifitas.

Seorang kreator muda, Ojax Manalu, membuka sebuah kegiatan kecil yang besar manfaatnyha dengan nama Warung Diskusi Bersama setiap dua bulan sekali. Sebuah gebrakan yang boleh dikatakan sangat maju. Terlebioh lagi, ketika dalam Warfung ini, didiskusikan bukan hanya sastra saja, melainkan semua cabang kesenian dengan menghadirkan berbagai nara sumber.

Pada awalnya memang nara sumber itu, barfu dari kalangan sendiri dan tanpa honor. Bukan berarti, suatu saat nanti bisa saja berkembang mengundang nara sumber dari kalangan akademisi, bukan saja dari Sumatera Utara bahkan mungkin dari berbagai kota lain di Indonesia. Kenapa Tidak?

Lebih sepuluh tahun lalu, Sanggar Diskusi Pondok Gerimis, melakukan berbagai diskusi, sekali dalam sebulan. Nara sumbernya bahkan didatangkan dari berbagai kalangan. Seperti ahli ekonomi Dr. Polin Pospos, ahli Hukum Dr. M. Solly Lubis (ketika itu belum profesor), Dr. Usman Pelly dan sebagainya.

Diskusi dari nara sumber yang tidak bercerita tentang kesenian didatangkanke Taman Budaya dan untuk makanan ringan dan sekedar minum teh manis, dijalankan kotak dana. Sayang diskusi ini tidak berlangsung lama, karena banyak rekan-rekan seniman yang protes, kenapa nara sumber yang didatangkan bukan dari kalangan seniman. Gerakan-0gerakan halus mujlai digelar dan akhirnya pelaksanaan diskusi menjadi ekor tikut, semakin hari, semakin mengecil dan kemudian padam.

Seniman adalah saksi zaman. Selain saksi zaman, seniman juga memiliki spesialis generalis. Artinya, seorang seniman wajib mengetahui semua hal setidaknya secara umum. Kalau tidak, bagaimana seniman mampu berkarya tentang hal-hal yang faktual, jika dia tidak mengetahui banyak tentang hal yang baru saja terjadi sebagai sebuah kesaksiannya.

Kita ambil contoh seorang novelis terkenal Sidney Shildon, seorang sarjana filsafat yang menulis dalam novelnya tentang pembajakan sebuah pesawat terbang. Saat akita membaca novelnya, kita seperti terasa ikut berada di dalam pesawat yang sedang dibajak oleh tiga orang terroris. Sidney Shildon demikian detail bvercerita tentgang pesawat terbang boeing 747 yang terbang di atas lautan Atlantik. Sidney bercerita tentang kedalaman laut Atlantik dan kecepatan angin di luar pesawat yang berketinggian terbang 35.000 kaki di atas permukaan laut dengan kecepatan 600 mils per jam.

Bukan hanya itu, Sidney Shildon juga bercerita tentang berbagai kompoten pesawat yang fungsi-fungsinya. Kemampuan jelazah terbang pesawat, serta jumlah bahan bakar avtur yang dibawa sampai berapa jam bisa terbang. Kemujdian setelah sekian jam, beraopa lama pesawat harus istirahat di darat kemudian bisa terbang kembali. Semuja bisa diceritakan dengan detail, hingga pembaca memiliki pengetahuan yang bertambah.

Dengan dalih itulah, ketika itu Sanggar Diskusi Pondok Gerimis yang penulis motori bersama dengan Haris Nasution, juga dibantu oleh Yondik Tanto dan beberapa teman lainnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan Sanggar Diskusi Pondok Gerimis tgerhenti melakukan kegiatannya. Kemungkinan (sekali lagi kemungkinan), peserta diskusi tidak suka pada diskusi ini.

Kemungkinan kedua peserta diskusi tak mampu menangkap atau tak tertarik pada disiplin ilmu yang lain, di luar seni. Atau kemungkinan ketiga, memang merasa tak perlu untuk ikut diskusi, karean tidak memiliki banyak referensi disiplin ilmu walau secara umum.

Semoga Warung Diskusi Bersama yang digagas oleh Ojax Manalu, bisa lebih berkembang dan terus menghadirkan diskusi-diskusi yang bernas. Kepada Warung Diskusi penulis hanya menyarankan, hanya ada dua pilihan. Jadilah Kafilah, yang terus berjalan, walau anjing terus menggonggong bahkan menyalak sejadi-jadinaya.
Idris Pasaribu

M e s i r

M.Irsyad A. Sungkunan Lubis

“Bunda, kan kurindu senja kita ini. Kan kusimpan di saku hatiku.” ujar adik bungsuku sehari sebelum keberangkatannya melanjutkan studi ke Al Azhar University, Mesir.

Kulihat ia bersimpuh di pangkuan bunda, meramu rindu untuk bekalnya di negara orang. Membelai lembut rambutnya yang ikal dan berpesan, “anakku, hujan emas di Negara orang, hujan batu di Negara kita, pastilah orang memilih hujan batu.” Itu artinya sulit hidup diperantauan, pikirku.

Azan berkumandang dari mesjid yang tak jauh dari rumah kami. Semua beranjak, bergerak hendak menunaikannya.“Kita ke mesjid” ajakku pada adik bungsuku yang hanya satu. Kami hanya bertiga tinggal di rumah tua warisan ayah. Bunda, aku dan adik bungsuku. Usai shalat berjama’ah, tak langsung kuajak adikku pulang, tapi berdiskusi di joglo halaman mesjid.

“Anwar, bunda sudah tua, kuharap kau tak mengecewakannya. Ia mengharapkanmu seperti ayah yang sama kita cinta. Semoga Tuhan merahmatinya,” aku membuka cerita. “Ia bang, aku mengerti. Titipkan do’amu untuk kita disetiap hela nafas yang ada.”

“Kau juga tahu, bunda hanya guru honor di salah satu sekolah dasar di kampung kita. Gajinya hanya cukup untuk makan bertiga sebulan. Kami mengumpul uang untuk biayamu ke Mesir, sejak kau mengatakan ingin kesana pada bunda. Kau ingat itu? Saat kau kelas 1 Aliyah dulu.”

“Bang, saat aku pulang nanti, kan kubawa berjuta butir untaian ilmu untuk kita dan orang-orang, aku tak kan mengecewakan kalian, apalagi melukis tangis di pipi bunda. Jaga dia selama kepergianku bang! Jangan larut dalam kerjamu, jika kau pulang malam, berkabarlah padanya, agar ia tak khawatir.”

“Ya, aku mengerti. Pasti bunda telah menghidang makanan yang enak di meja makan kita. Mari menjamahnya.” Kami pulang beriringan, mencipta tawa disetiap langkah, agar ia tak terlalu gelisah dengan bekal rindu yang kan dibawanya. Kulihat temaram lampion kecil di dapur. Bunda pasti telah mempersiapkan makanan tuk disantap putera kecilnya.

“Bunda, harum aroma masakanmu pasti tercium ke kempung tetangga,” gurau adikku yang biasa ia lakukan pada bunda. Tanpa banyak bicara, ia langsung mengisi piringnya dengan sedikit nasi dan lauk yang memenuhinya. “Kalau itu namanya bukan makan nasi pakai lauk, tapi makan lauk pakai nasi,” kata bunda. Ia mengangguk, “sengaja bunda, aku hafal rasa nasi, dan tak hafal lauk masakan bunda.”

Seperti biasa, usai makan kami melihat berita-berita hangat di televisi, menunggu azan isa. Bergurau, bercanda-canda. Ia merebah di pangkuan bunda, bertanya-tanya segala hal. Tentang apa dan apa dan apa lalu bagaimana. Sesekali kukomentari berita di tv, dan mereka tak perduli. Masih asyik berdiskusi semua yang ada dalam pikirnya. Nazir mesjid melantunkan azan. “Kita sholat di rumah saja, Anwar imamnya,” ujarku.

Ia bangkit dari pangkuan bunda. Kubentang sajadah di ruang tamu, tempat biasa shalat berjama’ah. Raka’at pertama, ia membaca suroh al-Hijr, yang kutahu itu suroh kesukaannya, dengan nada Syeikh Hani Ar-Rifa’i. Raka’at kedua juga sama, ia membaca lanjutan surah yang cukup panjang untuk bunda yang sudah tua. Usai shalat, ia mencium tangan bunda dengan sahaja dan melukis cinta dengan airmatanya di tangan bunda. Bunda membelai kepalanya dan berkata, “baik-baiklah di Negeri orang Nak! Jangan pernah merindu rumah jika tak membawa apa-apa.”

Ia tersedu-sedu, kuseka airmatanya dan mencoba merenovasi gelisahnya menjadi semangat ayah. Digulungnya sajadah, menyimpannya dalam lipatan. Ia kembali bersimpuh lagi di pangkuan bunda, melanjutkan segala tanyanya. Sedang aku langsung masuk kamar dan membaca salah satu buku Khalil Gibran hingga lelap. Tak kuikuti lagi tanyanya pada bunda. Tiba-tiba kudengar suara di telinga, berbisik tuk bangunkanku dari rebahanku.

Ternyata Anwar membangunkanku tuk qiyamullail. Aku bangkit dan langsung mengambil air wudhu. Mengimami shalat malam itu. Cukup lama kami tegak dalam dua rakaat shalat, kurasa hampir dua jam dalam haluan khusuk. Sebab seusai shalat, kulihat jam yang melekat di pergelangan tanganku, ya, hampir dua jam. Selesai qiyam, kami tidur lagi dan bunda membangunkan saat subuh.

Sekitar pukul sembilan pagi, kutemani adikku itu berkeliling kampung, meminta restu dari tetangga, mengharap do’a mereka. Saat keberangkatannya telah tiba. Kami mengantarnya ke bandara dan bunda menitikkan airmata lalu disekanya. “Jangan lupa berkabar jika sampai di sana, temuilah Faisal teman dekatku, ia telah menantimu. Kutitipkan kau padanya.” “Ia bang, aku pasti kan merindu kalian.”

Ia menyalami dengan segala keteduhan, mencium tangan bunda cukup lama. Lambaian tangannya memahat rindu di hati kami yang hanya akan berdua saja menghuni rumah. Dalam perjalanan pulang, bunda tak henti membasahi jilbabnya dengan airmata. Kuseka dan kuseka, namun tak henti juga. “Bunda, ia akan baik-baik saja, do’akanlah ia agar dimudahkan urusannya.”

Bunda diam dan tak berkata-kata. Mungkin dalam hati ia berdo’a, pikirku. Kami terus meluncur mendekati rumah. Setiba di rumah, bunda langsung masuk kamar dan mengunci dari dalam. Isak tangisnya kudengar dari kamarku, tapi aku diam saja, mungkin ia sedang tak ingin diganggu.

Pagi menyapa, kulihat ada pesan masuk di handphon-ku, ternyata Faisal berkabar tentang adik bungsuku, ia telah tiba dan bersama Faisal. Kukabar pada bunda, tak henti ia mengucap syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa. “Sampaikanlah pada Faisal, anggap ia seperti adikmu sendiri,” kata bunda. Aku langsung menarikan ibu jariku di atas keypad handphonku, menjawab pesan Faisal.

Hari demi hari, bulan berlalu, almanak berganti baju. Bunda terus menyulam rindunya dalam sajak-sajak do’anya untuk adikku. Sesekali disuruhnya aku bertanya kabar pada Anwar, ia baik-baik saja dalam bimbingan Faisal yang kupercaya menitipkannya. Faisal karibku saat Aliyah dulu. Tak pernah ada masalah, Faisal bilang, adikku taat segala peraturan di sana. Bunda lega mendengarnya.

Tiba-tiba, kami dikagetkan berita di telavisi dalam episode “Mesir Berdarah”. Bunda linglung, diterpa bingung yang melambung. Ia memaksaku menghubungi Anwar atau Faisal, namun usaha kami sia-sia. Tak ada yang menjawab panggilan atau membalas pesan kami. Bunda terus mengikuti perkembangan berita di televisi, dari satu siaran ke siaran lain. Ternyata segala jaringan telah diputus pemerintah mesir. Amerika telah menarik warganya dari negara berdarah itu. Bunda mengharap pemerintah kami mengambil kebijakan yang sama.

Setelah mendengar kabar tersebut, setiap malam bunda membanjiri kamarnya dengan airmata dan airmata. Dalam do’a-do’a khusuknya tiap malam. Sepekan kemudian Anwar menghubungi kami dari handphone-nya. Mengabarkan bahwa ia aman di sana, namun hanya berlangsung sekira-kira dua menit saja. Bunda menangis bahagia. Mengkanvas sajak-sajaknya lewat do’a.

Bunda terus mengikuti berita yang ada, dan tersenyum lepas saat pemerintah kami mengambil kebijakan sama seperti Amerika dan Negara lainnya. Dalam teduh ia menggumam, semoga anakku kembali dengan selamat. Empat hari berlangsung setelah Anwar menghubungi kami, Faisal mengirim pesan singkat, “jam enam pagi di Indonesia kita chatting, aku ingin berkabar padamu kawan. ” Kubalas singkat “siip”.

Lalu aku berkabar pada bunda yang mengkhawatirkan anaknya disana. Ia ingin ikut menemeniku chatting dengan Faisal nanti. Aku terbangun saat azan subuh berkumandang. Aku shalat berjama’ah dengan bunda. Sekitar jam tujuh pagi, kuajak bunda ke warnet tempat langgananku mencari tugas kerja.

Faisal kembali mengirim pesan, “aku telah online” tulisnya. Secepat mungkin kucari nama Faisal Royhan di sepetak layar warnet itu. Lalu, aku bertanya dalam tulisan “bagaimana kabar kalian kawan?”
“Kami baik-baik saja” “Berapa pesawat yang sudah sampai ‘tuk mengevakuasi Sal?” “Baru satu, pemerintah kita terlalu santai menghadapinya, padahal negara tetangga kita tak satu pun tersisa.” “Kabar di sini pemerintah mengirimkan tiga pesawat”

“Ya, baru satu yang sampai, dan itu masih membawa anak-anak da wanita.” “Bukan sekalian tiga pesawat yang menjemput kesana? “Tidak kawan, itu bohong, sejauh ini baru satu yang sampai, dan tiga hari kemudian, baru menyusul lagi. Satu pesawat hanya bisa membawa 420 orang, sementara mahasiswa kita hampir 4000 lebih, kapan mau selesai. Opini dari mahasiswa sini, itu ulah KBRI.”

Bunda menitikkan airmata, jatuh kepangkuanku. Kuseka dan berkata padanya, “Bunda, mereka dengan jalan yang benar, Tuhan pasti melindungi mereka. Tenanglah bunda.” Ku lanjutkan chatting dengan Faisal setelah menenangkan bunda. “Bagaimana makanan di sana kawan?”

“Terlalu minim, kami tidak diperbolehkan keluar rumah, jadi bahan makanan makin menipis.” “Kawan, bagaimana adikku dan mu?” “Ia tenang dalam dekapku, tak usah khawatir akannya, kirim saja do’a lewat qiyam diselipan malam.” “Kawan, do’a kami tak kan henti ‘tuk kalian, sebelum jantung berhenti.”

“Ya sudah, sampaikan salamku pada bunda kita, katakan kami baik disini, tadi adik kita berpesan, jaga bunda, ia telah tua.” “Ia Sal, sampaikan juga bunda merindunya dan kami sayang dia.” Kami pulang membawa sedikit ketenangan, dan Anwar mengirim pesan saat kami dalam perjalanan pulang. “Aku rindu senja di kampung kita bunda” Bunda kembali mengokang senjatanya, tangis yang meringis.***

Puisi

Mesir /1/

M.Irsyad A. Sungkunan Lubis

Mendengar kabarmu di televisi
menderu, memecah telinga
memahat luka mengucur airmata bunda

anaknya terpuruk belenggu itu
takut menggetar
lapar menggelegar
desingan senjata bergemuruh
riuh rakyat bergaduh

bunda makin merintih
saat membaca pesan singkat
dari handphone-nya
“aku rindu senja di kampung kita bu”

Mesir /2/

Kulihat sajadah kuyup
airmata tiada henti
do’a tak putus
harap tak pupus
dalam sholat malam
sampai fajar menyingsing
tasbih masih mengintari jemarinya
dalam genangan airmata
memohon pada-Nya
puteranya dalam tangan Tuhan

Mesir /3/

Televisi masih bernyanyi
melagukan tangis
mengirim duka
dalam sajak-sajak berita
sesekali kuseka airmata bunda
bercerita tentang cinta
hingga temaram menyapa di ufuk timur
kulebur dukanya
lewat kata-kata manja
lalu berdo’a bersama

Poloria Sitorus

/1/ Masihol Mulak Tu Huta
;Rindu pulang kampung

*Arga do bona ni pinasa
diakka na burju marroha
sai ingot ma mulak tu huta
mulak tu bona ni pinasa..

senandung lagu itu menghiris kalbu
saat roda jaman mengantar ragaku
dari jalanan berliku di bawah kaki bukit barisan
Siantar— harangan ganjang menuju Parapat
sementara gulungan ombak danau Toba
dingin memeluk hati
dan rindu kian mendera
lindap di dada
padamu, inang..
--huta hatubuanhu
*diambil dari lirik lagu “Argado Bona Ni Pinasa”
(dalam perjalanan pulang ke Porsea)
Parapat, 23 Jan 2011, KSI-Medan

/2/ Di Tanah Tuktuk

sedang setiap asaku
‘tak lagi engkau peluk hangat
telah sedingin peluk danau Toba
tak lagi beriak!
pun mata tak lagi mampu melihat
sinarmu yang menggantung di antara singa-singa
ruma Batak, di atas tanah Tuktuk
arwahmu telah tinggalkanku, jauh..
*madekdek ma gambiri da hasian..
sai madekdek tu bonana da hasian..
*lirik lagu Batak, “Madekdek Ma Gambiri”
Tuktuk Siadong, 25 April 2010

/3/ Penantian Panjang

Pohon mangga udang
di persimpangan jalan itu
di bawahnya kau sering menunggu
sembari meniup seruling bambu buatan ‘opung doli’1]
setiap aku datang, kau sambut dengan ‘mengkel suping’2]
ah, mungkin itu senyummu yang terakhir dalam ingatan

itu dulu—terhitung lima belas tahun
kini berganti, sudah berapa lama aku duduk menunggu
sejak daun pohon ini pertama menguning
dan gugur ke tanah
lalu esok dan esok harinya lagi
besok dan besoknya lagi
tak ada jemu dalam penantianku
hingga ratusan dan kini ribuan daunnya menguning
layu lalu berguguran ke tanah yang kian kerontang
mungkin mereka faham kisah hatiku mulai meranggas
sebab tak satu pun kapal singgah di Tuktuk
membawa ragamu kembali pulang pada pelukku
sedang hatimu terpaut oleh ‘boru seleban’3]

Cattn : 1]Kakek, 2]Tersenyum, 3]Gadis lain di perantauan
(terinspirasi saat shooting film ‘PADAN’)
Karya Wisata, Tuktuk Siadong, P.Samosir

/4/ Sihol tu Tao Toba
; Rindu ke Danau Toba

Hanya pada serambi malam
berkisah aku tentang rindu
andai rembulan pun membisikimu
rinduku begitu mendudu
pada gemercik ombak yang memecah
batu-batu di tepian Tao Toba
rindu derap kaki-kaki menuruni kapal-kapal
perahu-perahu berlayar lalu lalang
suara-suara dengan banyak bahasa
ah, Tao Toba-saat ini sepi!
pelukmu kini terlalu dingin
tapi aku tak ingin berpaling
*lao pe au marhuta sada
sai tu pulo Samosir, masihol au..
Cattn : *lirik lagu dari “Pulo Samosir”

Syafrizal Sahrun

GADIS GAUN MERAH I

Kau perlihatkan gaun merah ini kali
saat senja
ketika malam dan siang bertemu
dipersimpangan walau sebentar
“gong xi fa chai”
kalimat yang merayap ketelinga
mengiring gaunmu menyusur
peradaban demi peradaban

GADIS GAUN MERAH II

Ini kali kutemui bercak sendu di wajahmu
lantas aku bertanya;
apa gerangan di hari bahagia terpahat
gundah diwajahmu
wahai gadis bermata sayu?
lalu dia tersenyum
namun senyumnya mengendap kedasar
hingga aku tak berdaya menafsirkan

GADIS GAUN MERAH III

Aku hanya gadis bagai angin
jadi penikmat di siang hari
dan menjelma penonton dimalam-malam sepi
ini kali saat senja berlalu
temanilah aku memetik nanas merah
dan mengambil pohon kambuat dikebun
diatas angin yang tak terjamah
lantas kita letakkan dialtar negeri ini
agar jati diri kembali yang belakangan ini
terkikis kasus-kasus korupsi yang menjadi-jadi

GADIS GAUN MERAH IV

Dalam seketika dia lenyap tanpa berita
sebelum aku sempat bertanya
lalu ku temui setangkai bunga merah
di tangan kanan yang gemetar
lalu aku bertanya;
ini untuk siapa?

I M L E K

Pipimu memerah untuk kali ke dua
saat malam itu
dan malam ini
ketika imlek mendekap
dan mencumbu dengan asa yang baru
KOMISI, 02 Februari 2011

TIGA KUE BAKUL

Kau hampiri aku setelah isya
dengan sepeda yang pernah membawa kita
menyusur angin dan samudera
di gubuk reot
bak gembala tua yang duduk termangu berkelu
terpahat sejarah panjang yang tinggal kenangan

kau hampiri aku setelah isya
saat kunang-kunang memperindah malam diantara cemara
kau mengetuk
aku membuka
ku saksikan senyum menyatu keindahan surga
kau berikan aku tiga kue bakul
dan dekap hangat beberapa saat
lantas kau pergi
dan aku menafsir teka-teki
KOMISI, 02 Februari 2011

Sri Ulina Hemalia Pelawi

KEPADA KORUPTOR (I)

Selamanya kita tak akan mampu
berdiri tegak
selalu terinjak
kau seperti racun
yang meluluh-lantak
kau juga seperti tikus-tikus
yang kelaparan

kita seperti budak yang dipermainkan tuan
habis keringat mengucur di badan
habis air mata basahi penderitaan
sedang kau mencurinya dari belakang.
Karya, 2011

KEPADA KORUPTOR (II)

Dimana nuranimu
dimana imanmu
kami tercampak di tepian jurang
merangkaki kepedihan

kau terus mencabik-cabik lumbung kami
dengan sebilah belati yang terhunus perih
kesetiaanmu pada negeri telah mati
di kepalamu, miliaran uang berlarian
membunuh semua keyakinan
hidupmu seperti racun
yang dipenuhi kepalsuan
masihkah Tuhan hidup di dadamu, tuan?
Karya, 2011

KEPADA KORUPTOR (III)

Camkanlah, tuan
hidup tak selamanya abadi
esok atau lusa
kita pun akan mati
apa yang kita kejar-kejar
dan kita cari-cari
tak lagi berarti

masihkah hari-harimu tersesat
di lorong panjang yang berduri
hingga tak ada waktu
untukmu membersihkan hati.
Karya, 2011

Adliya Eka Putri

Menemu Jawab

Senja ini tak kutemu luka
kuramu semacam bahagia
pada tawa yang tersungging dari bibir mereka
pun hati yang lapang menerima setiap kabar yang tertitip pada angin

lelakiku,
pernahkah kau tahu mengapa aku kemarin,semalam, atau fajar tadi?
disini ku jawab semua; sebab aku terlalu gelisah akan senyum yang menjelma jelaga rindu.
Sketsa KONTAN, Februari 2011

Kepada Senja

Senja, aku akan berkabar tentang perpisahan
sebab pohon mengajariku kesetiaan.
lalu senja menatapku, penuh kebingungan

lantas aku berbisik
dia mengajariku arti kesetiaan senyum di balik kenyataan perpisahan
; tak ada yang hilang!
Sketsa KONTAN, Februari 2011

Halim Mansyur Siregar

CINTA SEJATI TAK PERNAH PADAM

Lentera cinta sejati tidak akan pernah padam
meski ditiup angin berulang ulang
atau bahkan diguyur hujan

DALAM DEKAPAN IBU

Dalam dekapan ibu
badai tak mampu menyentuhku

TAK INGIN MENJADI SEMBILU

Inilah aku yang tumbuh dari serumpun bambu
namun tak ingin menjadi sembilu
hingga tak kusesali masa lalu
dan tak akan tercurah air mata
kecuali menetes ke akar bunga

GANJIL MENJADI GENAP

Di antara bimbang yang mengembang
ada harap yang menyelinap
ganjil berubah menjadi genap

RESAH

Kusadari sepenuhnya ini hanya kata-kata basi
tetapi bagaimana lagi mesti kutulis puisi
agar putik bunga di hati tiada resah lagi
oleh kemarau panjang yang ia jalani

Thilal Fajri

Tunjukkan jalanMu

Malam ini, kau ajarkan aku akan keberadaanMu
meski tiada sepatah kalam pun ku dengar
malam ini, kau tunjukkan segala kuasaMu
meski ku harus berdiri tuk tegar
dan malam, baru sesungguhnya ku sadari makna dari kehadirannya
hingga waktu telah berpacu
mengalihkan rasa dan sadarku
hingga galau puas menjamahku
saat sadar kembali merenggutku
ku mohon, tunjukkan jalan terbaik dariMu.

Apalah Daya

Ia sibuk mencari sebaris nama di kertas itu
surat kabar yang tlah ingin dibaca sejak kemarin
menumbuhkan setitik harapan
kan ada perubahan dalam kehidupan
tapi nihil, namanya kali ini pun tak ada
sama dengan tahun-tahun sebelumnya

akankah roda waktu terus membiarkannya pada titik yang sama
pengabdiannya hanya mendapat apresiasi sekadarnya
tapi apalah daya, ia yakin ilmu itu kan melindunginya
kelak saat ia kembali ke sisiNya

Bangkitlah Saudariku
teruntuk saudariku:

Sobat, yakinlah masa ini tak kan tersia
tlah banyak luka yg kau rasa
tapi pasti, ada arti di balik semua
saat mata hanya mampu menangkap nyata
makna zahirnya pasti kan menyapa

sobat, masa terindah pasti kan tiba
teriring doa, agar kau selalu tegar menghadapi semua
tunjukkan pada dunia
bahwa kau tak kan pernah bungkam dalam duka.

Saat Kau

Saat mata yg paling dapat melihat yang nyata
tapi ku ingin, hati yang lebih dpt melihat
saat telinga yang paling dpt mendengar
tapi ku ingin, jiwa yang lebih dapat mendengar
saat pikiran yang selalu menimbang salah dan benar
tapi ku ingin juga, hati laksana penasehat lahirnya bijaksana
saat waktu terus bertanya tentang segala
ku ingin hanya Kau yang membantu menjawab semua

Jumat, 04 Februari 2011

Periodisasi Sastra Indonesia

1. Periodisasi Sastra Indonesia

Menurut HB. Jassin
2. Periodisasi Sastra
* Pengertian:
o penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya.
* Periodisasi sastra, selain berdasarkan tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya.
3. Periodisasi Sastra
* Ada banyak periodisasi sastra yang disusun oleh para kritikus, antara lain oleh:
o HB. Jassin
o Ajip Rosidi
o A. Teeuw
o Rahmat Djoko Pradopo
* Yang akan dibahas dalam presentasi ini adalah Periodisasi Sastra menurut HB. Jassin.
HB. Jassin , kritikus Indonesia
4. Periodisasi Sastra Indonesia Menurut HB. Jassin
* Berikut ini adalah periodisasi sastra menurut HB. Jassin:
o Sastra Melayu Lama
o Sastra Indonesia Modern
+ Angkatan Balai Pustaka
+ Angkatan Pujangga Baru
+ Angkatan ’45
+ Angkatan ‘66
5. Sastra Melayu Lama
* Sastra Melayu Lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad 20.
* Ciri-ciri Sastra Melayu Lama:
o Masih menggunakan bahasa Melayu
o Umumnya bersifat anonim
o Berciri istanasentris
o Menceritakan hal-hal berbau mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dsb.
6. Sastra Melayu Lama
* Contoh sastra pada masa Sastra Melayu Lama:
+ Dongeng tentang arwah, hantu/setan, keajaiban alam, binatang jadi-jadian, dsb.
+ Berbagai macam hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma.
+ Syair Perahu dan Syair Si Burung Pingai oleh Hamzah Fansuri.
+ Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji
7. Angkatan Balai Pustaka
* Balai Pustaka merupakan titik tolak kesustraan Indonesia.
* Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah:
o Menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh bahasa Melayu
o Persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa
o Dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal
o Cerita yang diangkat seputar romantisme.
* Angkatan Balai Pustaka terkenal dengan sensornya yang ketat. Balai Pustaka berhak mengubah naskah apabila dipandang perlu.
* Contoh hasil sastra yang mengalami pen-sensoran adalah Salah Asuhan oleh Abdul Muis yang diubah bagian akhirnya dan Belenggu karya Armyn Pane yang ditolak oleh Balai Pustaka karena tidak boleh diubah.
8. Angkatan Balai Pustaka
* Contoh sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka:
o Roman
+ Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
+ Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
+ Muda Teruna (M. Kasim)
+ Salah Pilih (Nur St. Iskandar)
+ Dua Sejoli (M. Jassin, dkk.)
o Kumpulan Puisi
+ Percikan Permenungan (Rustam Effendi)
+ Puspa Aneka (Yogi)
9. Angkatan ‘45
* Angkatan ’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
* Ciri-ciri Angkatan ’45 adalah:
o Terbuka
o Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
o Corak isi lebih realis, naturalis
o Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
o Penghematan kata dalam karya
o Ekspresif
o Sinisme dan sarkasme
o Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
Chairil Anwar , sastrawan Angkatan ‘45
10. Angkatan ‘45
* Contoh sastra pada masa Angkatan ’45:
o Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin)
o Deru Campur Debu (Chairil Anwar)
o Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar)
o Pembebasan Pertama (Amal Hamzah)
o Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumarjo)
o Tandus (S. Rukiah)
o Puntung Berasap (Usmar Ismail)
o Suara (Toto Sudarto Bakhtiar)
o Surat Kertas Hijau (Sitor Situmorang)
o Dalam Sajak (Sitor Situmorang)
o Rekaman Tujuh Daerah (Mh. Rustandi Kartakusumah)
11. Angkatan ‘66
* Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini.
* Banyak karya sastra pada angkatan yang sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lainnya.
* Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
o Bercorak perjuangan anti tirani proses politik, anti kezaliman dan kebatilan
o Bercorak membela keadilan
o Mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan
o Berontak
o Pembelaan terhadap Pancasila
o Protes sosial dan politik
12. Angkatan ‘66
* Contoh sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
o Putu Wijaya
+ Pabrik
+ Telegram
+ Stasiun
o Iwan Simatupang
+ Ziarah
+ Kering
+ Merahnya Merah
o Djamil Suherman
+ Sarip Tambak-Oso
+ Perjalanan ke Akhirat
13. ANGKATAN PUJANGGA BARU
14. Angkatan Pujangga Baru
* Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
* Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
15. Angkatan Pujangga Baru
* Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
* Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
o Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
o Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
o Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
* Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
16. Angkatan Pujangga Baru
* Pada masa ini, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.
* Pada masa Angkatan Pujangga Baru, ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:
o Kelompok “Seni untuk Seni”
o Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat”
17. Angkatan Pujangga Baru
* Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sbb:
o Sudah menggunakan bahasa Indonesia
o Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)
o Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
o Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
18. Angkatan Pujangga Baru
* Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana.
* Layar Terkembang merupakan kisah roman antara 3 muda-mudi; Yusuf, Maria, dan Tuti.
o Yusuf adalah seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita.
o Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian.
o Tuti adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.
19. Angkatan Pujangga Baru
* Dalam kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu:
o Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
o Masalah yang datang harus dihadapi bukan dihindarkan dengan mencari pelarian. Seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya sosial.
20. Angkatan Pujangga Baru
* Selain Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana juga membuat sebuah puisi yang berjudul “Menuju ke Laut”.
* Puisi “Menuju ke Laut” karya Sutan Takdir Alisjahbana ini menggunakan laut untuk mengungkapkan h ubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
* Ada pula seorang sastrawan Pujangga Baru lainnya, Sanusi Pane yang menggunakan laut sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
* Karya Sanusi Pane ini tertuang dalam bentuk puisi yang berjudul “ Dalam Gelombang”.
Sanusi Pane , pengarang puisi “ Dalam Gelombang”
21. Angkatan Pujangga Baru
* Ditinjau dari segi struktural, ada persamaan struktur antara puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane yaitu pengulangan bait pertama pada bait terakhir.
* Sementara itu, ditinjau dari segi isi, tampak ada perbedaan penggambaran laut dalam puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane.
* Jika Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan laut sebagai sebuah medan perjuangan, Sanusi Pane menggambarkan laut sebagai suatu tempat yang penuh ketenangan.
22. Angkatan Pujangga Baru
* Kami telah meninggalkan engkau,
* Tasik yang tenang tiada beriak,
* diteduhi gunung yang rimbun,
* dari angin dan topan.
* Sebab sekali kami terbangun,
* dari mimpi yang nikmat.
* Ombak riak berkejar-kejaran
* di gelanggang biru di tepi langit.
* Pasir rata berulang di kecup,
* tebing curam ditentang diserang,
* dalam bergurau bersama angin,
* dalam berlomba bersama mega.
* …
… Aku bernyanyi dengan suara Seperti bisikan angin di daun Suaraku hilang dalam udara Dalam laut yang beralun-alun Alun membawa bidukku perlahan Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah kemana aku tak tahu Menuju ke Laut Oleh Sutan Takdir Alisjahbana Dibawa Gelombang Oleh Sanusi Pane
23. Angkatan Pujangga Baru
* Amir Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair” karena mampu menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah dan tak selalu berhasil, dia cukup berhasil menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi alasdasar dari Indonesia yang sedang dibayangkan bersama.
Selain Sutan Takdir Alisjahbana, ada pula tokoh lain yang terkenal dari Angkatan Pujangga Baru sebagai “Raja Penyair” yaitu Tengku Amir Hamzah .
24. Sastrawan dan Hasil Karya
* Sastrawan pada Angkatan Pujangga Baru beserta hasil karyanya antara lain sbb:
o Sultan Takdir Alisjahbana
+ Contoh: Di Kakimu, Bertemu
o Sutomo Djauhar Arifin
+ Contoh: Andang Teruna (fragmen)
o Rustam Effendi
+ Contoh: Bunda dan Anak, Lagu Waktu Kecil
o Asmoro Hadi
+ Contoh: Rindu, Hidup Baru
o Hamidah
+ Contoh: Berpisah, Kehilangan Mestika (fragmen)
25. Sastrawan dan Hasil Karya
o Amir Hamzah
+ Contoh: Sunyi, Dalam Matamu
o Hasjmy
+ Contoh: Ladang Petani, Sawah
o Lalanang
+ Contoh: Bunga Jelita
o O.R. Mandank
+ Contoh: Bagaimana Sebab Aku Terdiam
o Mozasa
+ Contoh: Amanat, Kupu-kupu

Sastra Indonesia

Asep Sambodja

Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:

Pujangga Lama

Sastra "Melayu Lama"

Angkatan Balai Pustaka

Pujangga Baru

Angkatan '45

Angkatan 50-an

Angkatan 66-70-an

Dasawarsa 80-an

Angkatan Reformasi

Secara metode penyampaian sastra Indonesia terbagi atas 2 bagian besar, yaitu:

lisan

tulisan

Pujangga Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat.



Karya Sastra Pujangga Lama
Sejarah Melayu

Hikayat Abdullah - Hikayat Andaken Penurat - Hikayat Bayan Budiman - Hikayat Djahidin - Hikayat Hang Tuah - Hikayat Kadirun - Hikayat Kalila dan Damina - Hikayat Masydulhak - Hikayat Pandja Tanderan - Hikayat Putri Djohar Manikam - Hikayat Tjendera Hasan - - Tsahibul Hikayat

Syair Bidasari - Syair Ken Tambuhan - Syair Raja Mambang Jauhari - Syair Raja Siak

dan berbagai Sejarah, Hikayat, dan Syair lainnya



Sastra "Melayu Lama"
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Padang dan daerah sumatera lainnya", Cina dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.



Karya Sastra "Melayu Lama"
Robinson Crusoe (terjemahan)

Lawan-lawan Merah

Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan)

Graaf de Monte Cristo (terjemahan)

Kapten Flamberger (terjemahan)

Rocambole (terjemahan)

Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo)

Bunga Rampai oleh A.F van Dewall

Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe

Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan

Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya

Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo)

Cerita Nyi Paina

Cerita Nyai Sarikem

Cerita Nyonya Kong Hong Nio

Nona Leonie

Warna Sari Melayu oleh Kat S.J

Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan

Cerita Rossina

Nyai Isah oleh F. Wiggers

Drama Raden Bei Surioretno

Syair Java Bank Dirampok

Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang

Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen

Tambahsia

Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo

Nyai Permana

Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo)

dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya



Angkatan Balai Pustaka
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 - 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.

Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.



Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka
Merari Siregar

Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921)

Binasa kerna gadis Priangan! (1931)

Tjinta dan Hawa Nafsu

Marah Roesli

Siti Nurbaya

La Hami

Anak dan Kemenakan

Nur Sutan Iskandar

Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan

Hulubalang Raja (1961)

Karena Mentua (1978)

Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)

Abdul Muis

Pertemuan Djodoh (1964)

Salah Asuhan

Surapati (1950)

Tulis Sutan Sati

Sengsara Membawa Nikmat (1928)

Tak Disangka

Tak Membalas Guna

Memutuskan Pertalian (1978)

Aman Datuk Madjoindo

Menebus Dosa (1964)

Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)

Sampaikan Salamku Kepadanya

Suman Hs.

Kasih Ta' Terlarai (1961)

Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)

Pertjobaan Setia (1940)

Adinegoro

Darah Muda

Asmara Jaya

Sutan Takdir Alisjahbana

Tak Putus Dirundung Malang

Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)

Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)

Hamka

Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)

Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)

Tuan Direktur (1950)

Didalam Lembah Kehidoepan (1940)

Anak Agung Pandji Tisna

Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1975)

Sukreni Gadis Bali (1965)

I Swasta Setahun di Bedahulu (1966)

Said Daeng Muntu

Pembalasan

Karena Kerendahan Boedi (1941)

Marius Ramis Dayoh

Pahlawan Minahasa (1957)

Putra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951)

Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada masa tersebut.



Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.

Pada masa itu, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.



Penulis dan karya sastra Pujangga Baru
Sutan Takdir Alisjahbana

Layar Terkembang (1948)

Tebaran Mega (1963)

Armijn Pane

Belenggu (1954)

Jiwa Berjiwa

Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)

Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)

Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)

Tengku Amir Hamzah

Nyanyi Sunyi (1954)

Buah Rindu (1950)

Setanggi Timur (1939)

Sanusi Pane

Pancaran Cinta (1926)

Puspa Mega (1971)

Madah Kelana (1931/1978)

Sandhyakala ning Majapahit (1971)

Kertadjaja (1971)

Muhammad Yamin

Indonesia, Toempah Darahkoe! (1928)

Kalau Dewi Tara Sudah Berkata

Ken Arok dan Ken Dedes (1951)

Tanah Air

Roestam Effendi

Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953)

Pertjikan Permenungan (1953)

Selasih

Kalau Ta' Oentoeng (1933)

Pengaruh Keadaan (1957)

J.E.Tatengkeng

Rindoe Dendam (1934)



Angkatan '45
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik - idealistik.



Penulis dan karya sastra Angkatan '45
Chairil Anwar

Kerikil Tadjam (1949)

Deru Tjampur Debu (1949)

Asrul Sani, Rivai Apin Chairil Anwar

Tiga Menguak Takdir (1950)

Idrus

Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)

Aki (1949)

Perempuan dan Kebangsaan

Pramoedya Ananta Toer

Bukan Pasar Malam (1951)

Ditepi Kali Bekasi (1951)

Gadis Pantai

Keluarga Gerilja (1951)

Mereka jang Dilumpuhkan (1951)

Perburuan (1950)

Tjerita dari Blora (1963)

Mochtar Lubis

Tidak Ada Esok (1982)

Djalan Tak Ada Udjung (1958)

Si Djamal (1964)

Achdiat K. Mihardja

Atheis - 1958

Trisno Sumardjo

Katahati dan Perbuatan (1952)

Terjemahan karya W. Shakespeare: Hamlet, Impian di tengah Musim, Macbeth, Raja Lear, Romeo dan Julia, Saudagar Venezia, dll.

M.Balfas

Lingkaran-lingkaran Retak, kumpulan cerpen (1978)

Utuy Tatang Sontani

Suling (1948)

Tambera (1952)

Awal dan Mira - drama satu babak (1962)



Angkatan 50-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.

Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.



Penulis dan karya sastra Angkatan 50-60-an
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada akhir dekade 80-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.

Ajip Rosidi

Cari Muatan

Ditengah Keluarga (1956)

Pertemuan Kembali (1960

Sebuah Rumah Buat Hari Tua

Tahun-tahun Kematian (1955)

Ali Akbar Navis

Bianglala: kumpulan tjerita pendek (1963)

Hudjan Panas (1963)

Robohnja Surau Kami: 8 tjerita pendek pilihan (1950)

Bokor Hutasuhut

Datang Malam (1963)

Enday Rasidin

Surat Cinta

Nh. Dini

Dua Dunia (1950)

Hati jang Damai (1960)

Nugroho Notosusanto

Hujan Kepagian (1958)

Rasa Sajangé (1961)

Tiga Kota (1959)

Ramadhan K.H

Api dan Si Rangka

Priangan si Djelita (1956)

Sitor Situmorang

Dalam Sadjak (1950)

Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)

Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)

Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)

Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)

Subagio Sastrowardojo

Simphoni (1957)

Titis Basino

Pelabuhan Hati (1978)

Dia, Hotel, Surat Keputusan (cerpen) (1963)

Lesbian (1976)

Bukan Rumahku (1976)

Pelabuhan Hati (1978)

Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983)

Trilogi: Dari Lembah Ke Coolibah (1997); Welas Asih Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998)

Aku Supiah Istri Wardian (1998)

Tersenyumpun Tidak Untukku Lagi (1998)

Terjalnya Gunung Batu (1998)

Aku Kendalikan Air, Api, Angin, dan Tanah (1998)

Rumah Kaki Seribu (1998)

Tangan-Tangan Kehidupan (1999)

Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999)

Mawar Hitam Milik Laras (1999)

Toto Sudarto Bachtiar

Suara : kumpulan sadjak 1950-1955 (1962)

Etsa, sadjak-sadjak (1958)

Trisnojuwono

Angin Laut (1958)

Dimedan Perang (1962)

Laki-laki dan Mesiu (1951)

W.S. Rendra

Balada Orang² Tertjinta (1957)

Empat Kumpulan Sajak (1961)

Ia Sudah Bertualang dan tjerita-tjerita pendek lainnja (1963)

dan banyak lagi karya sastra lainnya



Angkatan 66-70-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dll pada masa angkatan ini di Indonesia. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.

Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan kesalah-pahaman; ia lahir mendahului jamannya.

Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.



Karya Sastra Angkatan '66
Sutardji Calzoum Bachri

O

Amuk

Kapak

Abdul Hadi WM

Laut Belum Pasang – (kumpulan puisi)

Meditasi – (kumpulan puisi)

Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur – (kumpulan puisi)

Tergantung Pada Angin – (kumpulan puisi)

Anak Laut Anak Angin – (kumpulan puisi)

Sapardi Djoko Damono

Dukamu Abadi – (kumpulan puisi)

Mata Pisau dan Akuarium – (kumpulan puisi)

Perahu Kertas – (kumpulan puisi)

Sihir Hujan – (kumpulan puisi)

Hujan Bulan Juni – (kumpulan puisi)

Arloji – (kumpulan puisi)

Ayat-ayat Api – (kumpulan puisi)

Goenawan Mohamad

Interlude

Parikesit

Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang – (kumpulan esai)

Asmaradana

Misalkan Kita di Sarajevo

Umar Kayam

Seribu Kunang-kunang di Manhattan

Sri Sumarah dan Bawuk – (kumpulan cerita pendek)

Lebaran di Karet, di Karet - (kumpulan cerita pendek)

Pada Suatu Saat di Bandar Sangging -

Kelir Tanpa Batas

Para Priyayi

Jalan Menikung

Danarto

Godlob

Adam Makrifat

Berhala

Putu Wijaya

Telegram

Stasiun

Pabrik

Gres – Putu Wijaya

Bom

Aduh – (drama)

Edan – (drama)

Dag Dig Dug – (drama)

Iwan Simatupang

Ziarah

Kering

Merahnya Merah

Koong

RT Nol / RW Nol – (drama)

Tegak Lurus Dengan Langit

Arifin C. Noer

Tengul – (drama)

Sumur Tanpa Dasar – (drama)

Kapai Kapai – (drama)

Djamil Suherman

Sarip Tambak-Oso

Umi Kulsum – (kumpulan cerita pendek)

Perjalanan ke Akhirat

Sakerah

dan masih banyak lagi yang lainnya.



Dasawarsa 80-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Majalah Horison tidak ada lagi, karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.

Beberapa sastrawan yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi.



Karya Sastra Angkatan Dasawarsa 80-an
Antara lain adalah:

Badai Pasti Berlalu - Cintaku di Kampus Biru - Sajak Sikat Gigi - Arjuna Mencari Cinta - Manusia Kamar - Karmila

Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.

Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi), yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih "berat".

Budaya barat dan konflik-konfliknya sebagai tema utama cerita terus mempengaruhi sastra Indonesia sampai tahun 2000.



Sastrawan Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang Sastrawan Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar Reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.

Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam Noer, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.



Sastrawan Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki 'juru bicara', Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami, dan Dorothea Rosa Herliany.

Abidah el Khalieqy

Afrizal Malna

Ahmad Nurullah

Ahmad Syubanuddin Alwy

Ahmadun Yosi Herfanda adalah salah seorang penyair yang dimasukkan oleh Korrie Layun Rampan ke dalam Angkatan 2000, tapi ia sebenarnya telah banyak menulis sajak sejak awal 1980-an.

Ayu Utami dengan karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York. Karya ini menandai awal bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar, itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang yang lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung, lanjutan dari cerita Saman.

Dorothea Rosa Herliany

Seno Gumira Ajidarma



Cybersastra
Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya (internet)baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit maupun situs pribadi. Ada beberapa situs Sastra Indonesia di dunia maya

sumber:www.duniasastra.com
Diposkan oleh KOKO FHU di Senin, Juni 23, 2008 4 komentar Link ke posting ini
Selasa, 10 Juni 2008
TIPS MEMBUAT KARYA TULIS ESAI
Untuk membuat sebuah esai yang berkualitas, diperlukan kemampuan dasar menulis dan latihan yang terus menerus. Berikut ini panduan dasar dalam menulis sebuah esai.
Struktur Sebuah Esai
Pada dasarnya, sebuah esai terbagi minimum dalam lima paragraf:
1. Paragraf pertama
Dalam paragraf ini penulis memperkenalkan topik yang akan dikemukakan, berikut tesisnya. Tesis ini harus dikemukakan dalam kalimat yang singkat dan jelas, sedapat mungkin pada kalimat pertama. Selanjutnya pembaca diperkenalkan pada tiga paragraf berikutnya yang mengembangkan tesis tersebut dalam beberapa sub topik.
2. Paragraf kedua sampai kelima
Ketiga paragraf ini disebut tubuh dari sebuah esai yang memiliki struktur yang sama. Kalimat pendukung tesis dan argumen-argumennya dituliskan sebagai analisa dengan melihat relevansi dan relasinya dengan masing-masing sub topik.
3. Paragraf kelima (terakhir)
Paragraf kelima merupakan paragraf kesimpulan. Tuliskan kembali tesis dan sub topik yang telah dibahas dalam paragraf kedua sampai kelima sebagai sebuah sintesis untuk meyakinkan pembaca
Langkah-langkah membuat Esai
1. Tentukan topik
2. Buatlah outline atau garis besar ide-ide anda
3. Tuliskan tesis anda dalam kalimat yang singkat dan jelas
4. Tuliskan tubuh tesis anda:
5. Mulailah dengan poin-poin penting
6. kemudian buatlah beberapa sub topik
7. Kembangkan sub topik yang telah anda buat
8. Buatlah paragraf pertama (pendahuluan)
9. Tuliskan kesimpulan
10. Berikan sentuhan terakhir
Diposkan oleh KOKO FHU di Selasa, Juni 10, 2008 19 komentar Link ke posting ini
Senin, 26 Mei 2008
Rendra : Sajak Orang Lapar
Ditulis oleh Administrator
Thursday, 23 February 2006

kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam


o Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin


kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan


seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran


o Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin


o Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca


o Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam


{josquote}o Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu


sumber:wwwpuisi-indonesia.org
Diposkan oleh KOKO FHU di Senin, Mei 26, 2008 0 komentar Link ke posting ini
Rabu, 14 Mei 2008
TukangNgarang

Tahun 2008 ini, Taufiq Ismail genap 55 tahun berkiprah dalam panggung kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Melalui sastra dia ambil bagian dalam isu-isu penting negeri ini. Puisi-puisinya menggemakan respons terhadap situasi politik yang genting di tahun 1960-an dan 1990-an. Puisi-puisi Taufiq adalah saksi tentang situasi sosial-politik Indonesia. Namun demikian, Taufiq tak hanya terlibat dalam isu-isu politik tanah air. Ia juga berbicara tentang banyak tema lain, yaitu cinta, alam, kemanusiaan, agama, dan Tuhan.


Tidak itu saja, salah seorang pendiri majalah Horison (1966) ini, juga menulis cerpen, drama, esai serta kolom dengan lanskap tema yang cukup melimpah dan beragam. Taufiq juga menerjemahkan puisi, cerpen, dan buku Islam. Dia terbilang penulis dan editor produktif yang telah menerbitkan 14 judul buku. Dia juga penyair aktif membacakan puisi di berbagai festival sastra dan forum, di 24 kota Asia, Eropa, Amerika, Australia dan Afrika sejak 1970.

Menandai 55 tahun kiprahnya di panggung kesusastraan dan kebudayaan Indonesia ini, beberapa kegiatan apresiasi dan ilmiah diselenggarakan, antara lain: lomba karya tulis mahasiswa, seminar nasional, penerbitan buku, dan pembacaan puisi.

Lomba Karya Tulis Mahasiswa tentang Taufiq Ismail dalam sastra dan Kebudayaan Indonesia. Lomba yang memperebutkan total hadiah Rp 25 juta telah berakhir pengiriman naskahnya pada 30 Maret lalu.
Buku karya Taufiq Ismail yang diterbitkan adalah Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit , terdiri dari empat jilid; Jilid 1 (Himpunan Puisi 1953-2008), Jilid 2 & 3 (Himpunan Tulisan 1960-2008), dan Jilid 4 (Himpunan Lirik Lagu), serta buku Rerumputan Dedaunan (Antologi Puisi Terjemahan Penyair Amerika). Peluncuran buku-buku tersebut dilaksanakan di Aula Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada 14 Mei mendatang. Prosesi peluncuran buku ini dirangkai dengan Pidato Kebudayaan oleh Anies Baswedan PhD (Rektor Universitas Paramadina Jakarta) dan Emha Ainun Nadjib.

Seminar Nasional bertema Taufiq Ismail 55 Tahun dalam Sastra Indonesia diselenggarakan di Jakarta dan Padang. Di Jakarta, seminar dilaksanakan di Auditorium Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat, pada 17 Mei. Seminar ini akan dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional, Prof Dr Bambang Sudibyo MBA, sekaligus sebagai keynote speaker. Sebagai pembicara, antara lain: Prof Suminto A Sayuti (Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta), Prof Arief Rachman (Guru Besar Universitas Negeri Jakarta dan Ketua Harian Unesco Indonesia), Prof Budi Darma (Novelis dan Guru Besar Universitas Negeri Surabaya) dan Yudi Latief PhD (pengamat budaya).

Sementara di Padang, Seminar Internasional diselenggarakan di Studio TVRI, Padang, Sumatera Barat pada 28 Mei. Hadir sebagai keynote speaker Dr Fasli Jalal PhD (Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas). Sebagai pembicara antara lain: Dr Rebecca Fanany (Swinburne University Australia), Darman Moenir, Dr Ismet Fanany MA (Deakin University, Melbourne), Drs Yulizal Yunus MA (IAIN Imam Bonjol Padang), Dr Ir Raudha Thaib MP/Upita Agustine (Universitas Andalas, Padang). Seminar ini akan dibuka oleh Gubernur Sumatera Barat, H Gamawan Fauzi SH MH. Seminar ini gratis, bagi dosen dan guru disediakan sertifikat seminar.

Setelah seminar, khusus di Padang, acara dilanjutkan dengan Pembacaan Puisi-puisi Taufiq Ismail, pada 28 Mei. Selain sastrawan di Sumbar, pembacaan puisi karya Taufiq juga akan dilakukan oleh pejabat dan tokoh masyarakat, di antaranya Gubernur Sumbar, Rektor Unand, Rektor UNP dan Rektor IAIN. Malam pembacaan puisi ini dimeriahkan oleh pentas Grup Pentas Sakral dan Grup Awra Voice.

Informasi selanjutnya hubungi Panitia 55 Tahun Taufiq Ismail dalam Sastra Indonesia/Majalah Sastra Horison, Jl. Galur Sari II No. 54 Utan Kayu Selatan, Jakarta Timur 13120 telp. (021) 859.030.45 faks. (021) 858.3437. (*)

= = =

nb: ini rilis dari panitia yang diberikan oleh sastrawan bapak A Rahim Qahhar kepada saya.

foto Taufiq Ismail dari file A Rahim Qahhar
Diposkan oleh KOKO FHU di Rabu, Mei 14, 2008 0 komentar Link ke posting ini
Jumat, 02 Mei 2008
KONGRES
Pada tanggal 25 April 2008 Pusat Bahasa mengadakan rapim dan mengeluarkan informasi awal tentang Kongres IX Bahasa Indonesia. Pada intinya diharapkan masyarakat segera mengirimkan abstrak jika berminat menjadi pemakalah dalam kongres tersebut. Abstrak dapat dikirim hingga tanggal 20 Mei 2008. Adapun informasi awal tersebut sebagai berikut.
EDARAN UMUM
KONGRES IX BAHASA INDONESIA
Jakarta, 28 Oktober—1 November 2008

Apakah yang telah dilakukan dalam perjalanan waktu seabad kebangkitan bangsa ini? Lahirnya organisasi perjuangan kemerdekaan, Boedi Oetomo, tahun 1908 mampu menumbuhkan kesadaran berorganisasi dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dua puluh tahun kemudian lahirlah pernyataan sikap politik pemuda Indonesia berupa pengakuan terhadap satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sepuluh tahun kemudian, Kongres Bahasa Indonesia I diselenggarakan di Surakarta tahun 1938 yang salah satu rekomendasinya adalah perlunya penciptaan istilah dalam bahasa Indonesia. Tujuh tahun kemudian, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan dan sehari berikutnya ditetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Kongres Bahasa Indonesia II diselenggarakan pada tahun 1954 di Medan, selanjutnya Kongres Bahasa Indonesia III—VIII diselenggarakan setiap lima tahun.

Tahun 2008 Pusat Bahasa akan menyelenggarakan Kongres IX Bahasa Indonesia bertepatan dengan peringatan 60 tahun Pusat Bahasa, 80 tahun Sumpah Pemuda, 100 tahun Kebangkitan Nasional, dan Tahun Bahasa. Dalam kongres itu akan dibahas persoalan utama berkenaan dengan kedudukan, fungsi, dan ranah penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa asing, serta perkembangan sastra Indonesia; pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, termasuk bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA); tes bahasa; pengembangan bahasa Indonesia; dan Undang-Undang Kebahasaan.

Kongres IX Bahasa Indonesia akan diselenggarakan di Jakarta, pada tanggal 28 Oktober—1 November 2008. Peminat dapat mengirimkan abstrak makalah (sekitar 250 kata) selambat-lambatnya diterima oleh panitia pada tanggal 20 Mei 2008 untuk diseleksi. Abstrak yang terpilih untuk disajikan akan diumumkan akhir bulan Mei 2008, dan makalah lengkap dikirimkan kepada panitia selambat-lambatnya pada akhir bulan Juli 2008.

Kongres IX Bahasa Indonesia akan disemarakkan dengan peluncuran (1) peta bahasa-bahasa daerah di Indonesia, (2) Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV, (3) Tesaurus Bahasa Indonesia, (4) Ensiklopedia Sastra di Indonesia, (5) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi IV, (6) Tata Bahasa Indonesia untuk Guru. Di samping itu, akan digelar pentas sastra/seni dan pameran kebahasaan dan kesastraan.

Alamat:

Panitia Kongres IX Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional
Jalan Daksinapati Barat IV
Rawamangun, Jakarta 13220
Telepon (021) 4894564, 4750406, 4706288
Faksimile (021) 4750407; 4750405
Pos-el (e-mail): pb@diknas.go.id
PUSAT BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
Diposkan oleh KOKO FHU di Jumat, Mei 02, 2008 0 komentar Link ke posting ini
Kamis, 27 Maret 2008
EAGLEAWARD2008
Eagle Awards Documentary Competition 2008
“Hijau Indonesiaku”


LATAR BELAKANG

Sudah sejak lama manusia mengembangkan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup. Perkembangan kedua bidang ini begitu pesat, termasuk ketika manusia berusaha mengatasi batasan-batasan yang dibentuk oleh alam dan lingkungan sekitar. Dengan kemapanan yang telah dicapai oleh sekelompok manusia, gaya hidup manusia juga telah mengalami perubahan. Ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini juga dirancang untuk memberikan kenyamanan atau memenuhi kebutuhan sekunder bahkan tersier kepada manusia. Sayangnya hal ini seringkali dilakukan tanpa mempedulikan pola dan kecenderungan alam. Kecerobohan ini berakibat buruk bagi manusia, terbukti dengan banyaknya malapetaka yang terjadi akibat kecerobohan manusia sendiri.

Eagle Awards ingin mengajak para pemula pembuat film dokumenter untuk bersikap kritis dalam mengamati lingkungan di sekitar masing-masing dan menuangkannya ke dalam bentuk film dokumenter. Cerita tentang kearifan manusia yang hidup selaras dengan alam baik itu di perkotaan maupun pedesaan, ataupun kisah tentang mereka yang menjadi korban akibat kerusakan lingkungan, diharapkan menyadarkan kita untuk tidak selalu menyalahkan alam, menggugah kita bahwa ketidakseimbangan alam juga diakibatkan oleh tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan, menyadarkan kita untuk melakukan sesuatu yang lebih baik bagi lingkungan sebagai warisan kepada anak cucu kita. Mampu mengambil sudut pandang yang tegas dan kreatif dalam merangkai hubungan sebab-akibat terhadap tema besar ini adalah suatu keharusan, sehingga tidak pembuat film tidak menghasilkan karya yang ”stereoype” dalam menampilkan cerita tentang lingkungan. Sudut pandang yang diambil dalam melihat persoalan ini adalah sudut pandang yang dapat membangkitkan semangat dan menyadarkan kita pada sebuah Unknown quotes yang terkenal dikalangan organisasi lingkungan yaitu:

Jika pohon terakhir telah ditebang.... ..
Jika sungai terakhir telah tercemar.... .
Dan jika ikan terakhir telah ditangkap... .
Maka manusia akan sadar bahwa mereka tidak akan dapat makan uang


Topik-topik yang diharapkan masuk sebagai usulan untuk proposal adalah segala tindakan, karya ataupun kondisi dari kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan di sekitar mereka yang bernilai baik maupun buruk. Ruang lingkup persoalan yang akan diusulkan, bisa berkaitan dengan isu-isu seperti:

Hubungan antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan keberadaan lingkungan hutan (misalnya pemanfaatan hutan untuk produk kayu, hasil tambang serta konversi lahan hutan untuk kegiatan ekonomi, dll).
Hubungan antara penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen terhadap kesejahteraan petani atau nelayan di wilayah pertanian, perkebunan maupun kelautan (penggunaan pestisida dan pupuk serta bibit transgenetik, revitalisasi petani, dll).
Hubungan antara gaya hidup masyarakat perkotaan dengan kesimbangan alam (penggunaan alat-alat bantu berteknologi tinggi yang tidak ramah lingkungan, pengalihan fungsi lahan, teknologi atau gaya hidup yang membantu menjaga keseimbangan alam, dll).
Hubungan antara keberadaan kawasan industri dengan kualitas hidup masyarakat di sekitarnya.
Kebijakan instutusi adat, negara atau korporasi yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan.
Diposkan oleh KOKO FHU di Kamis, Maret 27, 2008 6 komentar Link ke posting ini
Kamis, 13 Maret 2008
Dua “Kiblat” dalam Sastra Indonesia
Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia
lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai
pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap. Tanpa mengulang kembali apa yang telah
disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan
Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah
sastra Indonesia di era reformasi ini.

Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan
Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan,
awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan
Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).

Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia
(empat jilid) yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad
ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak
dengan tegas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.

Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang
sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan kesadaran kita
mengenai bangsa dan negara Indonesia.

Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa
sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata
rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan
sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun.

Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu
sekaligus menjadi kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang senafas dengan
Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka
tidak silau dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan bangsanya sendiri.

Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu
saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang purba
dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane,
sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).

Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada
sejarah yang terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk Commissie voor de Indlandsche
School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada
1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka, kelahiran sastra
Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu
hanyalah babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian
kecil dari keindonesiaan kita.

Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk
Belanda. Dengan menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai titik
awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak
melalui sensor Balai Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai bacaan liar, yang
ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah terjadi”, adalah juga termasuk dalam khasanah sastra
Indonesia.

Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa.
Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa,
seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra
Indonesia yang berhasil diselamatkan.

Terbitnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada
2003) ini memiliki dua arti penting. Pertama, ada semacam pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang
menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa karena telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra
(dan juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.

Kedua, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan sebuah babak yang unik dalam sejarah sastra
Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang
tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap pendidikan “Barat” yang memiliki
kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan dan golongan ningrat.

Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran
berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada
masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya
Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada 1915 dan Wayang-liederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut
Dick Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena
memilih sikap kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu.

Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia, memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya
untuk tidak melupakan karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga zaman dulu, seperti
Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu, Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar
dari Bugis, I La Galigo (anonim, disusun Arung Pancana Toa).

Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan
sejarah sastra Indonesia. Hanya saja, perlu dilakukan upaya yang lebih radikal untuk kemajuan sastra Indonesia itu
sendiri.

Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, manusia yang mendiami
wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Salah satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah
karya sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah).

Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang
menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-
1035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu
dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan
Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.

Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang
modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin
menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-
musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan
hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik,
dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.”

Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat telah memberi warna baru yang memperkaya dan
mematangkan kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya khazanah sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di
ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh
saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa,
memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin
Sutasoma karya Empu Tantular, misalnya.

Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua “kiblat” dalam sastra Indonesia,
yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa dan
sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua
“kiblat” itu bisa menjadi runutan dan rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini
diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa
(52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.*