Selasa, 05 Juli 2011

NOMINASI LOMBA CIPTA PUISI BENTARA NASIONAL 2011

Akulah Waktu, Kaulah Masa, Kita Catat Sejarah

/1/ Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging

Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan Sebab ia adalah cermin buat berdandan Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah. Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak

/2/ Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi. perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara. mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta! Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba

Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!

/3/ Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian. di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak

Komunitas Home Poetry, 2008-2010

1215
ANAK NEGERI MALIN KUNDANG

Ku tatap tubuh bersujud membatu Teringat cerita durhakamu yang membuat tubuhmu beku Sore ini, Malin Kundang Di Pantai Aia Manih, Padang Sumatera Barat Selamat sore, Malin Kundang Ku ingat ceritamu yang memberi janji manis pada ibumu Berjanji akan kembali dari rantau untuk membahagiakan ibumu Berjanji kalau kau tak kan melupakan ibumu Tapi itu hanya janjimu Malin Kundang, hanya janji Sama dengan anak negeri ini Berjanji akan memberikan yang terbaik untuk negeri ini Berjanji akan memberikan kesejahteraan untuk rakyat ini Tapi itu hanya janji mereka, hanya janji Selamat sore, Malin Kundang Setelah keinginan dan cita-citamu terpenuhi Kau tega tak mengakui ibumu! Kau tega dustakan pengorbanan ibumu! Kau tega campakkan ibumu tanpa rasa iba! Kau lupa Malin Kundang, kau lupa Sama dengan anak negeri ini Setelah keinginan mereka terpenuhi Mereka tidak lagi peduli dengan janji-janji! Mereka tega menyakiti hati rakyat yang telah menjadikan mereka bisa mengenakan dasi! Mereka tega mengkebiri hati rakyat yang telah menjadikan mereka bisa berdiri di atas kesenangan pribadi duniawi ! Mereka hantam pedagang kaki lima dan hancurkan lapak-lapak mereka tanpa rasa iba Mereka lupa, mereka lupa Selamat sore, Malin Kundang Durhakamu telah menjadikanmu terkutuk Badai kutukan menghantam bahteramu yang gagah hingga tak berdaya Dirimu dikutuk menjadi batu oleh ibumu Hingga kini tetap membatu, bersujud membatu Sama dengan anak negeri ini Durhaka mereka telah menjadikan negeriku dikutuk Bencana mengutuk negeriku tiada henti Badai topan menghantam, banjir menghadang, gempa bumi mengguncang, gunung muntahkan panas, tsunami menerjang dengan garang Silih berganti laksana murka tak terampuni Selamat sore, Malin Kundang Tubuhmu telah membeku, keras membatu
Tak bergerak tak teranjak Tak bergeming tetap terdiam Sama dengan hati anak negeri ini Hati mereka telah membeku membatu Hati mereka tak peka lagi terhadap senandung rakyat yang sekarat Hati mereka tak tergerak lagi mendengar tangisan rakyat yang menyayat Hati mereka tak bergeming lagi mendengar jeritan rakyat yang hanya ingin secercah harap Aku berdiri dan berucap Selamat sore, Malin Kundang, Selamat sore, Anak Negeri. Selamat sore, anak negeri Malin Kundang.

1284
APHRODITE

sudah kau temukan partikel matahari di perut buntingku yang tak berbumi?
semenjak persetubuhan malam dan embun tiada mencapai puncaknya
sebelum benda-benda terbang ke poros dinding (katamu, kita telah bertukar kelamin)
dimana Hephaistos ditubuhku benar-benar kehilangan kedua kakinya
kukatakan, ada doa pada senja tentang perhitungan gundu di putingmu
diantara bedak, parfum, dan manik-manik yang meledak di lemari
tingkap gairah juga meredam menahan angkat telunjuk pada jarum jam kerja
dewi Aphrodite membakar mawar merah juga membuang batu safir, mutiara, anggur
dari tubuhmu, sambil keluar pintu meninggalkan bayi pada lelaki di kursi
melupakan seduhan kopi dan berkata “tepuk saja nyamuk-nyamuk
yang berdenging semalam tadi!” dan kusaksikan dewi Aphrodite tersesat
merindukan pulau krypros dan buih lautnya yang dihuni iringan merpati putih
2011
*Aphrodite: dewi kecantikan mitologi Yunani yang lahir dari dalam kerang. Disebut sebagai dewi cinta yang menyebarkan kegembiraan di dunia dan menjadi simbol sensualitas perempuan. Dewi Aphrodite memiliki sifat feminitas dan menebarkan pribadi kepada perempuan untuk membangun kelembutan, kasih sayang, keindahan, serta menghormati laki-laki.

102
apologi malin kundang

ibu, tak perlu kau mengutukku
kutuk saja aku menjadi anakmu
maka jadilah aku batu
di sini, aku pulang hanya memenuhi janji
sebagai anak yang akan diceritakan menolak takdirnya
tapi, inilah takdirku ibu
tak beda dengan rama, gatotkaca maupun bandungbondowoso,
aku tak ingin jadi sengkuni yang membawa keluarganya masuk dalam lingkaran ambisi
jika kau tahu ceritaku di seberang, alasan kenapa aku malu menemuimu,
kau tak akan tega mengutuk anakmu
kapal ini, perhiasan ini, istri ini hanyalah bukti ambisiku membawamu ke singgasana
maka aku menghisap darah rakyatku
namun di tengah laut, istriku menasehati
bahwa kekayaan yang aku dapat tak mungkin aku serahkan kepadamu
jadilah kutuk ini
apa yang diceritakan orang, bahwa di seberang banyak anjing yang selalu menjilat pantat tuannya, itu benar adanya
aku menghias kamarku dengan dosa
darah rakyatku
jadi kutuk saja aku jadi anakmu, daripada kau kutuk aku jadi tumang*
kendal, 2011*Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang

1482
BALADA SI KUNDANG

i
Inilah sesungguhnya jejak yang tak berdusta
Ketika waktu menggerus masa
Dintara luka yang tak berkelu
’’maaf nak’’, bukan maksudku sengaja membuatmu membatu
Ini hanya sekedar tentang cinta yang tak kau tahu
Maka tak ada sesal yang harus kueja
Karena waktu mengajariku untuk tak menangisi sejarah
Akan kuceritakan sebuah hikyat
Tentang selaksa peristiwa
Ketika asa mencipta harapan
’’Ijinkn aku bu, mengangkat sauh’’, katamu dulu
Kan kuhirup aroma dikedalaman laut
Menaklukkan segala curam batu karang
Kelak kan kubawakan segenggam pualam
Untukmu yang telah membagi air kehidupan
Duh, Inilah sesungguhnya keberangkatan
Tak harus ada seduh sedan
Kupupuskan segala resah yang menggoyah
Kugenggamkan hatiku pada ceracau tetua
Biarlah bujang pergi kenegeri seberang
Karena laut akan membawanya pulang
Pada nyiur dan jelaga hitam
Maka kehilangan adalah kematian bagiku
Duh,anakku
Kau yang telah sematkan bunga api
Dari mulut sumbingmu
Setelah berbilang waktu
Kau rengkuh kenikmatan di rahimku
Lalu kepada siapa lagi rindu ini harus kupasung, duhai sayang
Sungguh, aku hanyalah wanita tua yang tak berdaya menggenggam bara
Maka disini aku akan menemanimu setiap subuh
Untuk hapuskan segala resah
Kan kudendangkan lagu –lagu perindu
Agar hilang segala kelu
Kan kubacakan syair tua-tua dahulu
Agar kau tak melulu diserbu sesal yang gaduh
ii
Kupasrahkan segala yang tersisa
Di negeri yang kini telah luluh
Lihat, lihatlah perempuan-perempuan yang berjalan setengah telanjang
Dengan tuak ditangan
Dan mata yang menggelinjang
Lalu mereka campakkan benih-benih tak bertuan
Oh, negeri ini telah menjelma menjadi sarang durjana
Dengar,dengarlah nak!
Seduh sedan para tetua
Telah hilang bujang-bujang kecintaan mereka
Sebab dikutuk peradaban
Untukkmu yang berhidmat dalam bisu
Kan kubingkai keikhlasan dalam pilu
Bila itu mengembalikanmu pada yang dulu
Agar aku bisa memelukkmu setiap subuh
iii
Ibu, Rasanya aku tak perlu lagi mengingatmu
Mengingatmu adalah mengingat kesakitan masa lalu
Sungguh bu, hasrat telah menenggelamkanku pada lautan dendam
Dendam atas segala peristiwa yang tak kau rasa
Dendam atas segala kemiskinan yang membuatku tak berharga
Dendam atas segala kebodohan yang tak terbantahkan
Bagiku kau hanyalah perempuan renta pengunyah sirih
Tak seharusnya kau ada ditepian dermaga
Menantiku degan sejumput rindu
Ibu, katamu dulu kau akan menungguku
Pada nyiur dan jelaga hitam
Lalu mengapa kau memanggilku sang durjana laknat
Maka seduh sedan tak ada guna
Karena laut telah mengekalkanku dalam diam
Karena laut telah melahirkan petaka
Bagi si anak durhaka
Duhai ibu, kabarkan pada setiap yang bernyawa
Sebelum laut kembali murka
Biarlah tubuh bekuku menjelma prasasti
Bila durhaka telah meraga dalam jiwa
Bila harus kutumpangkan sang pendosa di tubuh perawan
Hingga tercipta benih-benih tak bertuan
Kau tahu bu, aku hanyalah lelaki rapuh
Yang tak berdaya akan hasrat perindu
Bukankah perempuan itu juga yang telah melahirkan sumpah serapah
Dari bibir bergincumu ?
Bu, dari cadasnya karang
Kutitipkan salam
Demi kerinduan yang terpendam
Sungguh, akulah si celaka itu
Yang telah memerah habis air susumu
Kutuk saja menjadi batu
Agara lunas hutang sangsiku
Agar tak ada lagi keberangkatan
Agar tak ada lagi seduh sedan
Agar tak ada lagi benih-benih yang tercampakkan
Karena aku dilahirkan sebagai lelaki kundang

270
BATU-BATU MALINKUNDANG

Laut bergetar berirama bersama gelombang
Suaranya yang mengelegar mengingatkan kita akan sebuah cerita
Tentang nelayan sederhana menjadi jutawan
Tentang kasih sayang bunda yang di lupakan
Tentang ombak dan kapal pesiar
Tentang cinta dan kedustaan
Awan yang berjajar di angkasa bercerita
Akan sebuah penghianatan seorang anak
Yang telah mendapat kasih sayang begitu lamanya
Dari teduhan hutan yang lebat
Dari sengatan matahari yang membakar
Dari lebatnya hujan yang mendera
Malinkundang tak lagi ada
Tapi sifatnya masih kau simpan dalam dada
Malinkundang telah menjadi batu
Tapi sifatnya masih membatukan hatimu
Malinkundang adalah kita-kita
Yang tak lagi taat pada orang tuanya
Malinkundang adalah kita-kita
Yang senantiasa menyombongkan diri
Malinkundang adalah kita-kita
Yang selalu terlena dengan kecantikan dan harta benda
Dari dinginnya musim yang mengigil
Batu-batu di laut itu malinkundang
Leburkanlah dengan tetesan hujan
Batu-batu di hati kita itu malinkundang
Leburkanlah dengan tetesan kesucian hati
Batu-batu kesombongan kita itu malin kundang
Leburkanlah dengan kemurnian pikiran
Batu-batu itu malin malin
Sucikan dengan cahaya ilahi
Agar lenyap dari hati
Gresik, 12 Maret 2011

120
BIARKAN ALAM BERCENGKRAMA DENGAN CARANYA

Saat peradaban begulir
Alam pun ikut bercerita
Tentang dewa Candra yang berbisik pada sang bintang
Tentang dewa Surya yang merayu sang pelangi
Tentang dewa Wayu yang iringi sang hujan
Bersama nyanyikan nada kemesraan
Berpadu lantunkan syair para pujangga baladewa
Kala itu…….
Lontar-lontar yang menjadi saksi
Kidung-kidung yang menjadi bukti
Prasasti-prasasti yang dihormati
Pahatan-pahatan yang tercipta
Menjadi sejarah yang sarat makna
Dan sejak saat itu……….
Dongeng yang telah tercipta
Bagai lingkaran rantai yang tak berujung
Menjadi sejarah bagi dunia
Menjadi memori dalam ingatan manusia
Semua yang telah tertulis nyata
Takkan terhempas oleh badai
Takkan terkikis oleh waktu
Takkan tergerus oleh jaman
Segala yang ada karna cipta
Segala yang indah karna rasa
Segala yang terjadi karna karsa
Segala yang sengsara karna karma
Segala yang menjelma karna moksa
Semua itu…..
Adalah temuan akan masa lalu
Semua itu…..
Adalah sejarah tentang jaman dulu
Semua itu…..
Adalah bagian perjalanan jaman kini
Semua itu….
Adalah filsafat yang teristimewa
Dan kini.....biarkanlah
Sejarah kan menjadi sejarah
Bukti nyata tlah di depan mata
Dongeng tlah jadi bagian tak terpisahkan
Antara dulu dan kini
Bagai rama dan shinta
Tak kan terhapus meski prahara

1596
BLACKBERRY TAWAR TAWAR ASIN, TERTUMPAH HIKAYAT AIR TOBA

menakar ahad tak seperti semudah mencenung umur lahad. seketika aku layaknya
terdampar di milenium antah-berantah. kota kota seolah tergubah dengan imagisme
kosong sehabis petaka bah. oh aku ingat, ini minggu hiphop kenang darah! di mana
cerita tumpah dari nama ke nama. lantas bagaimana mungkin ada ikan mas berkerayap
megap di pinggir pinggir layar blackberryku. ikan mas kutuk. ikan mas itu beramis kutuk.
ikan mas itu wanita. wanita yang ibu, kekasih toba. aku percaya, blackberry
sekarang sebenarnya menyimpan banyak danau, ikan, seorang anak, dan kekasih kekasih
yang lain. sebab seorang anak itu adalah sekumpul begundal, mengatakan peristiwa kekal
adalah kenang yang bebal. ini milenium kesekian, blackberry kesekian, danau kesekian,
hikayat kesekian. tulah telah dijatuhkan. hujan. hujan menyambar nyambar di keypad.
tanganku dingin basah. ada bilangan tawar di pesan masuk. huruf huruf rasa asin seperti
baru saja tiba dari danau yang menjorok ke lautan. huruf dan bilangan berenang renang.
lalu wanita, lalu lelaki, lalu anak. aih, ada kiriman sebungkus nasi sedang menuju ke sini.
anak serakah, menangis. lelaki menghujat. Wanita kembali kepada sisik dan sirip siripnya, lelaki tak lagi sampai melihat langit. hanya kepulan air. lelagu hiphop wanita melepas
mantra. bah. matahari tenggelam tak ada bulan. anak sendiri di pulau kecil. oh, ini minggu.
minggu ini gigil. malam sudah tengah. pupilku mengecil. blackberryku bergetar. lampu mengedip kedip. ada sms. ada yang tumpah. tawar tawar asin rasanya, pun serasa ada ucapan “jangan ganggu ikrar, jangan hujat anakmu, jangan hujat masa lalu.”
blackberry berlari menjauh. menjauh. sebelum bantal kembali menemu rindu isi kepalaku.

2011
876
CERITA TIGA RUPA

Si Tumang
akulah pemilik tetubuh jelita, pemenang
taruh dan pertarungan, tanpa mengalirkan dendam
tanpa menggaligali luka, menumpahkan nanah amarah
akulah pemenang, bukan raja, bukan penguasa, bukan juga manusia
dengan sehelai torak aku melamarnya
darah, cinta, kasih dan nafsu yang kujejakkan di rahimnya
adalah keutuhan janinjanin cinta kami
dirajut sepanjang malam bulan purnama, akulah situmang
seekor anjing jantan
karena akulah segala yang tiada menjadi nyata
segala yang mustahil menjadi hidup
tapi karena dia pulalah aku menjadi kenangan
yang hanya bisa dijejak cerita
diraba airmata yang memata airkan usia
Dayang Sumbi
hamba dayang sumbi
pada hamba kesempurnaan dianugerahkan
karena hamba taruh dan pertarungan pecah
memadati sungaisungai dendam
mengombak, menerjang siapa saja
karena hamba pulalah kebencian menganga
raja mengangkat pedang
saling menikam, bersaing demi keinginan
karena hamba darah menjelma airbah
menenggelamkan mimpi
siapa punya doa berenanglah sekuat mampu
sebelum semuanya menjelma kenangan
mengapung bersama hampa nafsu
Sangkuriang
Sebelum fajar tumpah
telah kurapal timur jalanmu
kugenapkan barat sebagai detak kerinduan
hulu layar-layar perahu
dalam rahimku kecemasan tuntas ditebus
sungguh, musimlah yang telah mengawinkan kita
menjadi sedarah, serasa dan sejiwa
bolehlah kiranya aku meminjam sebaris perjalanan
dari hidupmu untuk usiaku, sebelum maut
memagut, melemparkan nasib
pada tebing-tebing kesunyian
sebab perangku adalah kau
yang berhianat di puncak batas
Kereta subuh, Maret 2011
Keterangan:
Si Tumang: Seekor anjing jantan yang menjadi teman sekaligus suami Dayang Sumbi dalam pengasingan.
Dayang Sumbi:Putri raja tanah Parahyangan
Sangkuriang: Anak kandung Dayang Sumbi dan Si Tumang yang telah membunuh bapaknya Si Tumang, sekaligus yang mencintai ibunya Dayang Sumbi.

408
Cinderella

Cinderella masa kini
Tak lagi hidup dalam fiksi
Dan bukan sekadar imajinasi
Bukan pula kisah fantasi
Cinderella tak lagi pulang
Pada jam dua belas malam
Cinderella pulang pagi
Selepas pesta usai
Cinderella era media
Tak ingin hidup di dongeng bahagia
Tak ingin pula sepatu yang sama
Tapi ingin sepatu Prada

16
DURGA DI VENESIA

seperti ringkik suara kuda aku menatah wajahmu sebagai kota, sebgai venesia sebagai bahtera yang selalu bergoyang aku kembali mereka-reka, menyusun sejarah dari batu tanpa nama saat itu, nafsu purba begitu lekat dosa-dosa belum tercatat sebagian orang bernama Syiwa, sebagian lagi Uma mereka belajar menafsir pesta tapi dia yang satu ini menyelinap di balik semua mimpi meminta yang ada dan membuat kita rebah di gegaris tangannya sebab ia adalah durga, singgah diantara kesenyapan perahu-perahu kota bagai birahi yang tertanaman dipunggung senja hingga pahi itu kau datang ingin merengkuhnya pada senyap yang tak terjawab pada patung-patung berwajah sama seperti blitz kamera warna biru muda tak ada apa-apa hanya papan iklan pinggir jalan “untuk 17 tahun ke atas.”

766 Hikayat Malin Kundang

Ia hendak berlabuh menempuh paluh-paluh terjauh. Biarlah mimpi menjadi sauh yang mengendali laju, sebab resmilah ia menjadi perjaka yang dipersila mengembara bersama cita dan cinta. Maka bicaralah ia dengan bara asa di kantung mata. “Ibu...ibu... Hendak mengadu nasib anakmu. Ijinkan berlabuh ke perantau tuk meninjau seberang pulau, kalau kalau ada lumbung yang dapat di usung dan untung yang dapat dikalung. “ Kiramat ibu ialah pesangu restu yang mesti diburu dan dituju sebelum membangun kubu, kiamatlah pabila tak sujud menmpuh tapak kakinya. “Janganlah muram durja oleh gulana, ibu. Pabila mujur nasib, anakmu kan menimang pulang selentang ladang subur makmur” Akhirnya nasib yang meneruskan bicara dengan bahasa tak terduga, hanya dapat diterka : apakah suatu ketika kan berbuntut prahara? Dan wanita renta yang peka rasa dan senantiasa dijunjung namanya meski tak lagi muda itu hanya dapat mengangguki
pinta sang anak. Turunlah tangan tirusnya yang berjemari keriput ke pangkal anaknya, seperti hendak mencabut akar-akar rambut dengan hati gusar dan kalut. Bertimpuh sang anak menelut muara kaki ibunya dengan bakti sesaat yang berpulu tahun kemudian berujung sesat. “Anakku, kan kuhantar engkau hingga ke tepi tempat berlayar.” Bakti pada ibu seharusnya adalah bukti dari ribuan janji, sayang pada waktu ia kembali segalanya telah termungkari, sebab anak lelaki itu hilang kendali. Bak sekar mekar lupa akar, ikrar yang terucap berujung ingkar. Ia sangkal takdir mula dan segala muasal. Dengan istrinya yang seorang dara kaya raya, dan seonggok kapal pesiar pusaka, ia yang telah punya rimba raya membakar ingatan tentang gubuk reot tempatnya bersangkar di desa. Pula dihujatnya wanita renta yang dulu senantiasa dijunjung tinggi namanya meski tak lagi muda. Tapi wanita itu perkasa dengan linang duka yang membanjiri hatinya, ia kutuk sang anak jadi batu berdebu dan namanya yang malin kundang kini telanjang oleh karma kecewa ibunya.

766
Hikayat Malin Kundang

Ia hendak berlabuh menempuh paluh-paluh terjauh. Biarlah mimpi menjadi sauh yang mengendali laju, sebab resmilah ia menjadi perjaka yang dipersila mengembara bersama cita dan cinta. Maka bicaralah ia dengan bara asa di kantung mata. “Ibu...ibu... Hendak mengadu nasib anakmu. Ijinkan berlabuh ke perantau tuk meninjau seberang pulau, kalau kalau ada lumbung yang dapat di usung dan untung yang dapat dikalung. “ Kiramat ibu ialah pesangu restu yang mesti diburu dan dituju sebelum membangun kubu, kiamatlah pabila tak sujud menmpuh tapak kakinya. “Janganlah muram durja oleh gulana, ibu. Pabila mujur nasib, anakmu kan menimang pulang selentang ladang subur makmur” Akhirnya nasib yang meneruskan bicara dengan bahasa tak terduga, hanya dapat diterka : apakah suatu ketika kan berbuntut prahara? Dan wanita renta yang peka rasa dan senantiasa dijunjung namanya meski tak lagi muda itu hanya dapat mengangguki pinta sang anak. Turunlah tangan tirusnya yang berjemari keriput ke pangkal anaknya, seperti hendak mencabut akar-akar rambut dengan hati gusar dan kalut. Bertimpuh sang anak menelut muara kaki ibunya dengan bakti sesaat yang berpulu tahun kemudian berujung sesat. “Anakku, kan kuhantar engkau hingga ke tepi tempat berlayar.” Bakti pada ibu seharusnya adalah bukti dari ribuan janji, sayang pada waktu ia kembali segalanya telah termungkari, sebab anak lelaki itu hilang kendali. Bak sekar mekar lupa akar, ikrar yang terucap berujung ingkar. Ia sangkal takdir mula dan segala muasal. Dengan istrinya yang seorang dara kaya raya, dan seonggok kapal pesiar pusaka, ia yang telah punya rimba raya membakar ingatan tentang gubuk reot tempatnya bersangkar di desa. Pula dihujatnya wanita renta yang dulu senantiasa dijunjung tinggi namanya meski tak lagi muda. Tapi wanita itu perkasa dengan linang duka yang membanjiri hatinya, ia kutuk sang anak jadi batu berdebu dan namanya yang malin kundang kini telanjang oleh karma kecewa ibunya.

314
JAKA INGKAR JANJI

Tarub
Tarub
Tarub
Jaka Tarub
Jaka di Tarub berburu burung
Berkawan sumpit menyusur hutan
Pohon, perdu, semak terlewati
Mengejar burung lincah menari
Hingga tawa memecah kesunyian
Ah, rupanya Jaka bertemu bidadari
Asyik mandi seraya membersihkan diri
Jaka memandang
Jaka tercengang
Jaka
Jaka
Jaka
Jaka menginginkan wanita
Cantik jelita menemani hidup berkeluarga
Seperti bidadari yang sedang riang tertawa
Dengan sembunyi jaka berlaku tidak satria
Mengambil selendang untuk membuat berpulang padanya
Jaka
Jaka
Jaka
Jaka meminang bidadari
Hidup berkeluarga dengan bahagia
Limpah ruah tiada kira
Namun Jaka lupa pada janjinya
Pada pesan bidadari jelita
Maka hidup kini berubah lara
Siang malam selalu bekerja
Hingga selendang bertemu empunya
Jaka
Jaka
Jaka
Hilang sudah bahagia hidup berkeluarga
Tersisa penyesalan tiada guna
Karena bidadari kembali ke surga
Meninggalkan Jaka dengan segera

550
KANIBAL

Raksasa jahat berwujud angan-angan Mahir berkamulase Membias pekat...memuakkan Membuat muntah siapapun yang menatap...meski hanya sekelebat Raksasa jahat itu berwujud fantasi Fantasi yang keruh...coklat kopi Alurnya merasuk dan menusuk jauh ke dalam sukma Terjun ke dalam jeram dan ngarai nurani Terperosok dan bermutasi menjadi virus ganas... mematikan Raksasa jahat itu menyelinap di raga-raga petinggi bumi Berevolusi menjadi makhluk super keji...makhluk kanibal Sangat bengis...gila upeti...mabuk korupsi... Mereka bereinkarnasi mirip Rahwana...kurawa atau Dewi Durga...rakus...haus...tak bermuara... Mangsa ditelannya mentah-mentah tanpa dikunyah Sang kanibal lupa bahwa ia punya gigi...punya taring Korban berjatuhan... Pedagang kaki lima...tukang bakso...penjual siomay...guru...tukang parkir...petani... Buruh bangunan...pemulung...nasabah...rakyat jelata...dan tak terhitung lagi... Raksasa kanibal itu tak peduli lagi...mana daging...mana tulang...mana darah... mana nanah... Lidahnya telah mati rasa... Otaknya beku...lebih beku dari es antariksa Hingga mereka tak mengerti...untuk apa otak itu ada... Otaknya penuh fatamorgana bangkai...membusuk... Mereka lebih nista daripada carnivora Aku lihat lebih seksama...ternyata matanya buta warna... Bahkan buta warna total Ia tak lagi peka pada warna warni kehidupan yang semestinya ia jaga Mereka tega bertahta di istana megah menjulang Sementara tak terhitung lagi jutaan kasta sudra tuna wisma...merana... Ia tak tahu lagi...kapan lahir dan kapan mesti mati Yang ia ingat hanya satu...setiap detak jantung harus ada tumbal untuk keserakahannya Ia ingin hidup kekal selamanya...tak pernah mati Wajahnya bertopeng dinding beton...tak ada malu Bergerak...seperti amuba...dengan spionase kaki semu... Di lalap tuntas tubuh mangsanya... Tak peduli korbannya termutilasi jiwa dan harga diri... Ia telah kehilangan roh nan putih dan sewangi melati
Jiwanya kanibal...sungguh kanibal...sungguh vampire...sungguh drakula... Mereka penuh rasa iri...dengki...benci yang menggigit...ambisi pribadi... Ia tega mencaplok sesamanya...demi harta dan kekuasaan Ia nyaman dan bangga sebagai makhluk tak berharga diri Sebagai petinggi kanibal mereka hanya mahir berteori Duduk di tahta kekuasaan yang nyaman sembari bergoyang kaki Tanpa perlu mengerti bagaimana lalat dari tumpukan sampah yang menggunung harus dibasmi Tanpa mau memahami mengapa banyak warganya melakukan hararki... Tanpa peduli mengapa napi bisa leluasa pergi ke negeri antah berantah... Dan tak perlu tahu mengapa banyak pemulung cilik lalu lalang di jalanan... Masa bodoh dengan ribuan sahabat yang berbalik menohoknya... Mereka belum juga memaklumi ada banyak mata membidik dari langit... Mata sang ratu adil Sang ratu adil yang telah mendaulat malaikat-malaikat bersayap pencabut nyawa Menjemput roh sang kanibal yang telah mati rasa pada sesama dan lingkungannya Tiada yang tahu...akan dibawa kemana jiwa-jiwa itu Karena yang tahu hanyalah Sang Ratu Adil pemihak bumi dan jagat raya ini Kutabumi Tangerang, Maret 2011

550
KANIBAL

Raksasa jahat berwujud angan-angan Mahir berkamulase Membias pekat...memuakkan Membuat muntah siapapun yang menatap...meski hanya sekelebat Raksasa jahat itu berwujud fantasi Fantasi yang keruh...coklat kopi Alurnya merasuk dan menusuk jauh ke dalam sukma Terjun ke dalam jeram dan ngarai nurani Terperosok dan bermutasi menjadi virus ganas... mematikan Raksasa jahat itu menyelinap di raga-raga petinggi bumi Berevolusi menjadi makhluk super keji...makhluk kanibal Sangat bengis...gila upeti...mabuk korupsi... Mereka bereinkarnasi mirip Rahwana...kurawa atau Dewi Durga...rakus...haus...tak bermuara... Mangsa ditelannya mentah-mentah tanpa dikunyah Sang kanibal lupa bahwa ia punya gigi...punya taring Korban berjatuhan... Pedagang kaki lima...tukang bakso...penjual siomay...guru...tukang parkir...petani... Buruh bangunan...pemulung...nasabah...rakyat jelata...dan tak terhitung lagi... Raksasa kanibal itu tak peduli lagi...mana daging...mana tulang...mana darah... mana nanah... Lidahnya telah mati rasa... Otaknya beku...lebih beku dari es antariksa Hingga mereka tak mengerti...untuk apa otak itu ada... Otaknya penuh fatamorgana bangkai...membusuk... Mereka lebih nista daripada carnivora Aku lihat lebih seksama...ternyata matanya buta warna... Bahkan buta warna total Ia tak lagi peka pada warna warni kehidupan yang semestinya ia jaga Mereka tega bertahta di istana megah menjulang Sementara tak terhitung lagi jutaan kasta sudra tuna wisma...merana... Ia tak tahu lagi...kapan lahir dan kapan mesti mati Yang ia ingat hanya satu...setiap detak jantung harus ada tumbal untuk keserakahannya Ia ingin hidup kekal selamanya...tak pernah mati Wajahnya bertopeng dinding beton...tak ada malu Bergerak...seperti amuba...dengan spionase kaki semu... Di lalap tuntas tubuh mangsanya... Tak peduli korbannya termutilasi jiwa dan harga diri... Ia telah kehilangan roh nan putih dan sewangi melati Jiwanya kanibal...sungguh kanibal...sungguh vampire...sungguh drakula... Mereka penuh rasa iri...dengki...benci yang menggigit...ambisi pribadi... Ia tega mencaplok sesamanya...demi harta dan kekuasaan Ia nyaman dan bangga sebagai makhluk tak berharga diri Sebagai petinggi kanibal mereka hanya mahir berteori Duduk di tahta kekuasaan yang nyaman sembari bergoyang kaki Tanpa perlu mengerti bagaimana lalat dari tumpukan sampah yang menggunung harus dibasmi Tanpa mau memahami mengapa banyak warganya melakukan hararki...
Tanpa peduli mengapa napi bisa leluasa pergi ke negeri antah berantah... Dan tak perlu tahu mengapa banyak pemulung cilik lalu lalang di jalanan... Masa bodoh dengan ribuan sahabat yang berbalik menohoknya... Mereka belum juga memaklumi ada banyak mata membidik dari langit... Mata sang ratu adil Sang ratu adil yang telah mendaulat malaikat-malaikat bersayap pencabut nyawa Menjemput roh sang kanibal yang telah mati rasa pada sesama dan lingkungannya Tiada yang tahu...akan dibawa kemana jiwa-jiwa itu Karena yang tahu hanyalah Sang Ratu Adil pemihak bumi dan jagat raya ini Kutabumi Tangerang, Maret 2011

1515
---Kata Sangkuriang---

(1) Seorang pertapa diutus semesta Selamatkanku dari sirna meski ku bayar dengan ingatan, hilang terlupa Segala duka memanis, setelah hidup menempa Berkelana ikuti langkah kaki Terus berjalan ditemani matahari Ditemani malam, terus mencari Rasa resah ganggu, gelisah ingin terobati

(2) Hidup bawaku padamu Dayang sumbi, kaulh rasa cinta itu Terus hantui, kasih sayang lama, terus ku rindu Kaupun dapatkan rasamu dulu Sampai kau sadar, akan luka dikepalaku Ciptaanmu, kutukanku Seperti kutukan Adam, sepanjang waktu Takkan ku persalahkan anjing, seperti ular dulu Usia tak mengajarkan apa-apa Kau tetap takut, kenyataan tlah tercipta Benang hidup berkaitan, membentang di pelupuk mata Ya, kau mengingkarinya, kata tlah mengalir, pasang Berserakan dilahan gersang Malu menjilat ludah, siasat kau pasang Syarat kau berikan, kau cemas Sumbi, semesta beriku ruang

(3) Perahupun tercipta terwujud pula telaga Tempat kau dan aku kan bersama Arungi riak waktu yang tersisa Hanya karena bekas luka di kepala Kau bersiasat hancurkan segala usaha Segala pengorbanan cinta Karna ketakutanmu untuk jujur pada semesta Aku temukan kasih didirimu Kasih sayang yang selalu kurindu Pernah kuterima, sebelum hilang tak berbekas Lenyap bersama ingatan, terhanyut sungai deras Kenapa kau tak jujur padaku?
Jujur pada dirimu? Jika aku anakmu, kenapa kau membuangku? Salahkah jika aku inginkan kasihmu? Rasa itu terus menghantui, memaksa terus mencari menjelajahi alam raya Hingga aku temukanmu, rasa yang kucari sepanjang masa Ibu, kenapa kau tak jujur saat pertama kau menyadari bekas luka ciptaanmu? Kebohongamu, siasatmu membakarku “perahu bisu terbang jadi korban amarah, mendarat menangkup segala cinta kasih”

1462

KAU TERUS BERLARI DIKEJAR BAB DEMI BAB INI :Timun Emas -Tak ada yang lebih raksasa dari kaki mimpiku Yang berkeras untuk terus memburu ribuan senyap sayap Kupu-kupu yang berterbangan menuju kebun matamu Mata yang ditumbuhi barangkali demi barangkali, Yang membuat jejak perih ketika aku menyibak -Tiba-tiba jalan menjadi tak begitu penting Ketika bagiku engkau tujuan dari apa yang Disebut orang-orang yang tersesat oleh persimpangan Sebagai kesalahan -Satu-satunya cara melawan kesediahn adalah tertawa, Satu-satunya perihal yang mampu melengkapi kebahagian adalah airmata. Itu kubisikkan pada mataku sendiri berulangkali, Sebab tanpa keduanya Usia mata tak akan sanggup bertahan lebih lama -Jarak sengaja telah menjuhkan aku Sebagai laut yang liat, memandang engkau yang langit Agar tak bisa aku panjat, -Kelak kau akan mengerti mengapa Tiap kali bermimpi Tak juga henti aku merakit tangga-tangga ini, Sebab usiaku semakin buta dan tak ada yang bisa ditemui sebelah mataku selain dendam yang batu untuk menyebut keinginankmu sementara separuh penglihatanku yang lain bertahan dalam kepalan yang air yang akan kau lihat sewaktu aku mencapai hilir, sewaktu kau memilih tergelincir. -kapan? Ketika kau meyakini cinta adalah ibu Dari seluruh perihal yang menyakitkan (*catatan: Puisi ini terinsiprasi dongeng Timun Emas yang berkembang di Pulau Jawa)

313
KEABADIAN DEWI SRI

Kehidupan hadir bersama tubuhmu
Kesuburan datang dari jiwamu
Kau beri kesejukan dari pribadimu, Membawa kedamaian dan keselarasan
Darimu kami belajar menjaga dan menyayangi,
Darimu pribadi anggun menghadirkan ketenangan
Meski engkau hadir sejak masa kerajaan di pulau Jawa…. Majapahit dan Padjajaran
Keabadian, kisah dan cerita melekat dalam pribadi….
Pribadi kami…. yang sepatutnya menjaga kehadiran dan kemakmuran
Dalam kemuning padi sumber penghidupan
Lambaian dalam kehijauan….
Menjadi keemasan tanpa keangkuhan, merunduk dalam kekayaan
Tetaplah kami dalam penjagaan dan tetapkanlah kami dalam kasih dan sayang
Bersama keindahan dalam kebersamaan, hingga dijadikan pedoman
Pedoman rasa kebersyukuran mengiringi Sekaten atau Grebeg Mulud
Bukan maksud mencampurkan, tetapi darah ini mengalir dari alam
Darah ini mengalir bersama masa lampau, mengingatkan untuk selalu bersyukur
Atas kehadiran engkau sebagai Dewi Kesuburan dan Penghidupan
Sumber informasi dan bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Dewi_Sri

462
KESOMBONGAN PERJALANAN

i
pada rahim subuh yang ungu
cahaya menjelma janinjanin matahari
didihkan harapan matangkan keberangkatan
merapal tangis ombak mengeja arah mata angin
dari jejak jarak perantauan
anakku malin jika sudah menjadi keputusanmu
maka berangkatlah
restu sudah diraih
airmata dikemas dibungkus erat doadoa
lambaian tangan tanda perpisahan
tak lupa dipancangkan
dalam barisan sajaksajak kerinduan
ii
anakku malin jika sudah menjadi keputusanmu
maka berangkatlah
sebab di tengah lautan kehidupan
banyak anak tak lagi hafal masa depan
harihari rata diterjang basabasi mengerikan
dongengdongeng purba memabukkan
mengajarkan lupa hanyut belaian janjijanji keji
serupa malam mengombak di mata
terdampar pada pulaupulau tak berdaya
penuh penyesalan jadi biduk sunyi batubatu
iii
anakku malin jika sudah menjadi keputusanmu
maka berangkatlah
tapi jika kau memenangkan pertaruhan
jangan lupa ibu
pada gubuk reok yang pernah
memiara masa kecil membesarkan harapan
menjadi alamat paling tuju dari labuh pelayaran
Kereta subuh, Maret 2011

1625
Konon

Hebat benar si Malin Kundang
ilmu kedurhakaannya itu berhasil dia wariskan turun-temurun
pada anak rantau masa kini yang tak kunjung pulang ke rumah ibunya
Elok sekali rupa si Bagendit
keserakahannya akan harta sukses dia tularkan ke anak-cucu
sehingga jumlah penderma pada masa kini tak kunjung bertambah
Amboi indahnya Tangkuban Perahu
kebesarannya tak mampu sembunyikan pesona racun kisah cinta terlarang
tak heran kini rajutan kasih antara ibu dan anak tak lagi tabu
Para pendongeng, tukang cerita, tersudut bisu
mereka tak lagi kuasa memulai dongeng-dongeng tersebut
dengan awalan “Katanya” atau “Konon”
- karena, sayangnya, ada banyak dongeng yang tak lagi konon di masa kini..

Minomartani, 18 Mei 2011

493
KUPU-KUPU KUNING
DALAM CERITA PENDEK PUTU ARYA TIRTAWIRYA

ia sentuhkan tanganku yang kering
ke dadanya
yang paru-parunya basah oleh getah tembakau
sembari minta doa: “ sengatkan naga dati tubuhmu
hingga menggigit luka hatiku……..”
lelaki yang terbaring di atas jalan cerita,
yang ditulisnya diseantero Lombok
tubuhnya menyimpan demam, yang dideritanya seumur hidup
tak ada yang ditutup-tutupinya, tak ada yang tidak dituturkannya:
“lihatlah, sindu, kupu-kupu kuning
yang hinggap di potret masa muda saya……….”
kupu-kupu yang menyeberangi selat Lombok
menemukan taman bunga bawah laut,
dengan sungai-sungai apinya yang menyala
menemukan taman rahasia, tempat Sita disembunyikan
kupu-kupu yang menemukan nektar bunga perdu,
yang lebih manis dari susu ibu
ia sentuhkan lagi tangannya yang kering
ke dadanya, yang biru oleh batu rindu:
“ciumlah bau tuak, sindu
yang menenggelamkan bulan di Cakranegara
dengarlah kokok ayam jantan,
yang menggiring penangkar kupu-kupu
ke goa-goa di pinggiran kota.
saya ini, seorang urban di kampung halaman……”
kupu-kupu yang tua Putu Arya Tirtawirya
dalam cerita-cerita pendeknya yang getir.
kupu-kupu getas yang kehilangan sehektar taman bunga
kupu-kupu garam yang kehilangan bunga padi yang wangi,
kupu-kupu yang tua itu, kini hinggap di potret masa lalumu
dalam kamar, tanpa sungai-sungai api
tanpa pohon-pohon sungsang
kupu-kupu yang ditinggalkan malam, kupu-kupu yang ditinggalkan pagi
tapi, Putu Arya Tirtawirya
terimakasih
telah kau contohkan
bagaimana menceritakan diri sendiri
Mataram 2011

534
LIMA CATATAN HARIAN MALIN

1. Badai yang gila, ajari aku Melecuti tubuh sendiri Suwir-suwir dagingnya kau rontokkan Diceruk-ceruk karang Tempat suatu saat disinggahi camar Merindu celoteh anaknya berebut makan Disela-sela gigir karang yang kasar

2. Ombak yang buta, seretlah aku Ke dasar palungmu seperti nahkoda yang berdendang Digeladak kapal yang oleng menuju karam Seperti langkah pemabuk menyusur malam Meninggalkan kekasih di pengkol jalan Setelah mencumbunya dalam gairah samodra Membekukan waktu yang meronta-ronta dalam pelukan

3. Laut yang sunyi, ajari aku merangkum segala bunyi Seperti bahasa batu karang yang menjelmakan kenangan Pada setiap patah kata yang terlahir dari sepasang mata Yang menghamili sepi seperti kelopak daun yang diam-diam gugur Dalam kebun para petani yang sabar mengkhikmati musim Merawat pohon perlahan-lahan berbuah Sesaat sebelum melupakannya Dalam denting yang tak terduga

4. Hujan yang kelam, selimuti aku dalam mantel kelabumu Mengintai camar menyambar ikan tanpa suara, tanpa jeritan Menyaksikan kapal-kapal berlayar berangkat pulang atau karam Menyimpan segala raung menjadi bisu Seperti angin yang kalem merajang-rajang awan Dalam goa garba langit sebelum matahari menitipkan cahayanya Pada cabang-cabang pohon yang juga menjalar diam-diam

5. Dalam samadi arcaku kubangkitkan kapal-kapal yang pecah Bersama karang-karang yang pernah dibenamkan taufan Semua bangit perlahan seperti langkah kanak-kanak Meninggalkan tapak-tapak dipasir yang basah Membangun kelahiran baru tanpa kutukan

1883
MALAM BELUM BERAKHIR

“ Malam belum berakhir, Dayang Sumbi!” Sangkuriang sendirian mengitari telaga. Api membakar sisa kayu dalam jejak perahu di pasir Langit masih hitam, udara masih dingin. Riuh telah luruh. Khianat ataukah isyarat. Tak ada ranjang dan bulan madu,Selendang Mengoyak malam, Kehendak tinggal bayang-bayang yang rebah di tanah Hutan masih gigil, embun masih beku. Siut telah susut. Tapi tak ada siapa-siapa.Hanya langit yang sehitam kenangan Membunuh ayah, birahi masih didih.Hidup telah redup. “Tak ada siapa-siapa di langit, Dayang Sumbi!” Sangkuriang menyendiri Matahari telah mati dihantam perahu amarah yang berlabuh terbalik Menjelma gunung.Kesumat tumbuh ketika segala lenyap,segala senyap Tak akan ada pagi. Kabut turun membungkus seluruh luput yang direnggut perlahan memasuki kubur waktu.Dunia serupa nisan tempat awal dan akhir ditulis di bawah sebuah nama: Cinta!

485
Malem Diwa

Betapa sulit kutelusuri riwayatmu dalam hikayat-hikayat lampau
kusibak terawang sampai gua-gua, rimba-rimba
agar kutemui secuil saja prasasti, di situ namamu tertulis
tak hanya kudengar dari mulut kaku menceritakan tentangmu,
sembari telunjuk kerut si empu hikayat itu diacung-acungkan,
agar kuyakini bahwa engkau telah ada
sebelum Indatu-ku; indocina, ziarah pertama kali.
Aku hanya mendengar bahwa engkaulah yang bernama Malem Diwa
di sana, di lembah gunung bukit barisan, Tuhan telah mengutuk
seekor ular menjadi batu, yang ingin mematukmu dalam sembahyang.
batu ular itulah yang berliku-liku sepanjang Krueng Keureutoe
pusarnya amis, lalat berkerumun;
Di waktu lain, kudengar lagi engkau mencuri selendang Putri Bungsu
agar ia tak bisa kembali ke khayangan, sebab ingin kau peristrikan.
kemudian perkawinanmu lahirlah Banta Amat; sang empu petuah dan nubuat Indatu-ku.
Dalam sebuah riwayat engkau disebut wali paling dipuji
doamu tanpa hijab menuju langit;
di mana hajat dan pinta mesti pula bergantung pada engkau,
biar makbul segala doa.
Catatan:
Malem Diwa : Seorang tokoh dalam legenda Aceh. Pada era 80-an dan sebelumnya, hikayatnya sangat populer dan dianggap keramat, yang sering dibacakan pada acara perkawinan dan hajatan hidup lainnya.
Krueng Keureutoe: Sungai yang terletak di pinggir kota Lhoksukon, kabupaten Aceh Utara, berhulu ke pegunungan Bukit Barisan.
Indatu : Nenek moyang
(Tanah Luas, 1 April 2011)

563
Menanti Nyi Pohaci

Kembali Tatar ini dulu berselimut cinta dan harmoni Setiap membuka pagi, padi hijau berseri Seperti bayi di pelukan ibu petani Sembari mengagunggan gadis yang turun dari titian dewa-dewi Nyi Pohaci,ijinkan kusebut namamu kembali Detik ternyata sangat cepat berlari Rasanya baru kemarin bapakku memanen hasil bumi Kini lumbung telah kosong lagi Kata orang terrpelajar, lumbung itu habis karena korupsi Bahkan kearian nurani pun telah dicuri Nyi Pohaci... Nyi Pohaci... Negeri ini terlalu berduri untuk kau jejaki lagi Atau menonton sang surya yang bersenggama dengan bumi Tanpa peduli pada kehancuran ekologi Nyi Pohaci... kami di tanah jawa memanggilmu Dewi Sri Duniamu, buana atas yang suci Pengorbananmu untuk setiap bulir padi menjadi hampa kini Negeriku lebih senang berperang sendiri Beradu cemeti, lapar dan sebentar lagi mati Aku berjalan lebih dari selaksa jatuhnya Bertemu Naga Anta di hutan bambu, tepi nirwana Dia katakana kau sedang semadi Nyi Pohaci, yang tercium hanya kisahmu yang wangi Sri... Sri... kembalilah kau ke bumi

939
Narsisus

beri aku sebuah kamera,
di pagi yang jenuh penuh dengan keluh
maka kupotret dirimu
menggambar tubuhmu yang coklat
hati-hati dengan tubuh!
akan rapuh jika meluku dikayuh
bisa-bisa engkau yang dikhianati
cuma sketsa wajah
yang bertanda
mengenali masalalu
terasa galau dan payau
di sana yang ada cuma
seberkas harap
jika engkau seorang putri
dan aku pangeran
menipu tubuh
tumbuh dan melepuh
di istana yang asing
duh...
2010

456
NEGERI PERJAMUAN DADU

-3-
Inilah sebuah negeri yang celaka, teriak bima
entah tak mendengar sama sekali himbauan kakeknya
sesepuh yang jati diri dalam pelaminan tak jelas
Bisma tak berkata-kata
dalam teka teki tak terjawab
Bukan!
yang celaka adalah sekuni
dalam permainan sihirnya mengulum mata dadu
Yudhistira yang malang
mata dadu mengubah negeri jadi rancu
Dritarastra dan Pandu
gagu

414
Nyanyian Kodok

ada kodok tek kotek te kotek
di pinggir century
mencari makan
lewat korupsi
ada kodok tek kotek tek kotek
jadi pansus
mengungkap kasus
di lubang kakus
ada kodok tek kotek tek kotek
jadi saksi
ternyata pencuri
lepas kembali
ada kodok tek kotek tek kotek
jadi tersangka
salah sendiri
tidak bagi rata
ada kodok tek kotek tek kotek
jadi ratu
punya hotel
di pondok bambu
ada rakyat cit cuit ci cuit
kelaparan
karena kodok
keluyuran
ini hukum
dalam negara
ada kodok
main mata
ini kisah
budaya bangsa
kodok berjasa
karena penguasa
Serang, 2010

823
Odipus dan Dewi Sri

Senyap sorot memeluk sosok
Dalam ukiran berlapis kapur
Ia tahu, Sang diri
Yang membilas darah asal sulbinya
Yang mengisi rahim asal tumbuhnya
Ia segera, Sang diri
Melanglang buana
Perangi karangan si Tua rupa
Ia tergesa, Sang diri
Mencecar kerasukan
Lupa diri, lupa daratan
Itulah Odipus purba
Putra dari negeri Yunani
Riuh cahaya mengawasi kota
Langgam-langgam tak berbatu
Menjulang rinai kian sepi
Para muda menggeliat ramai
Dan pojok waktu terus membayang
Gempita berantah tanpa risaukan sesama
Acuh dengan isakan dekil nan papa
Tidak tahu dengan desah si Kecil
Enggan dengan renta bumi
Berpaling dengan kerusakan demi kerusakan
Laksana Odipus kerasukan
Menelan renyah harta, wanita dan kedudukan
Kala tampak merunduk
Dewi Sri bersemu merah, rapat-rapat malu
Dulunya, demi harga diri, kutukan lapang dada
Dan hingar bingar menghapus kisah
Gejolak pemanggul bangsa, serentak melukis air
Mengikuti hembusan, berkidung tren tanpa pijakan
Bersujud takzim pada keabu-abuan, nilai agung terlantar
Fana semakin menggiurkan, gurih meledak, manis membius
Bak Odipus lupa daratan, menyesak penjuru angin
Asyik bercanda pada dunia, menyisakan tawa sesaat
Inikah Odipus matrix, canggih tetapi kosong
Melompong, menyulut bala
Tatap Odipus yang terlahir mulia
Tapi tangannya membasuh kebejatan
Begitu suci penerus tanah berkah Indonesia
Dibekali kebenaran dari Sang Maha Agung
Tapi langkahnya, hari berlanjut kian menakutkan
Pertiwi kaya bermimpi lara
Dan Dewi Sri menekuk sedih

1422
OPERA RAMA SINTA

di hadapan api penyucian, Sinta nampak tegar, tanpa setitikpun butiran air mata
namun ia tak segera menceburkan dirinya
“masuklah!” Ujar Rama, tenang seakan tanpa dosa
“bila engkau belum terjamah Rahwana api akan menyelamatkanmu!”
mendengar perintah itu, Sinta menatap tajam wajah suaminya dan balik berkata
“jika api benar-benar menyelamatkanku, aku justru ragu atas kesucian
dan kejujuran kuasamu, maka sebaiknya masuklah terlebih dahulu
atau kita masuk sama-sama merasakan panasnya dosa, sebab aku tak mau lagi
tertipu untuk kedua kalinya
dan aib dunia hanya dipikulkan di pundak Hawa!”
Rama terperangah tak mampu berbuat apa
sambil menatap wajah Sinta,
penuh tanda tanya?
Yogyakarta., 2009

622
PADA SEBUAH CERUK KAYON

Pada sebuah ceruk kayon Pertapa yang lapar dosa Menangkis mantra aksara jubah latah Wahyu-wahyu rebah tengadah pada entah Bola-bola matahari mengulum Ke liang hingga yoni Dan tets mani Rayapi apsara yang menghisap nektar Bunga pelangi bergetar Tak bermoyang Pun Jaka Tarub dan ekor lahir Menancap tombak manggir Menyibak rempah-rempah Dengan barter mata sayu Menumis feminis Bengis matang tangis Di batu di banyu di abu di buku Nawang Wulan sengsara Nawang Wulan malang Sumber ladang sumber loyang negeri orang Bunga pelangi bergetar Tak bermoyang
Tabanan,12 Mei 2011

614
Para Ekalawya

Aku tersenyum melihat tekad yang diperjuangkannya Meniti harapan demi cita-cita yang dipeluknya Meski derasnya arus mentari Meski dalamnya badai menggerus Tangismu tak hentikan mimpi dan anganmu Berlari melewati setiap kerikil tajam Membangun rerumputan hijau pada tanah gersang Dunia mimpiku selalu menjadi nyata Saat kau gapai setiap embun yang menutupi langit Kaki mungil melangkah di atas batu karang Kau lewati setiap celah tersempit Kau lalui setiap bukit yang menghalangimu Kau jinjing alas kakimu demi sebuah tujuan Hutan tertawa melihat canda gurau Yang menelaah setiap ilmu pengetahuan Membuka setiap jendela yang menutupi lentera ilmu Meski sang guru tak mampu mendidikmu Meski sang alam terdiam membisu menatapmu Namun, kau terus berlari mencari setiap pembuktian Menemukan setiap ilmu yang terpendam Menemukan setiap pengetahuan yang tertimbun dalam Tanpa sang guru, kau mampu melihat besarnya dunia Tanpa sang guru, kau mampu menuai bibit ilmu kaulah para Ekalawya negeri ini pencari ilmu, pembuka jendela dunia

1334
Penyesalan #03

masih teringat kuat bagaimana aku mengendap dulu
diam-diam mengambil selendangmu ditelaga
berjingkat-jingkat ku atur langkah
agar kau kehilangan sayap dan tak ada pilihan lain kecuali hinggap di peraduanku
sampai kemudian musim berganti musim
hujan di susul hujan
kalender tanggal satu-satu
dan jarum jam di ruang kamar kita sudah terganti puluhan kali
namun aku tetap merasa bahwa kau adalah musim panenku
sungguh aku tak menyesal kenapa aku mengendap
dan mencuri kesucianmu
biarlah itu menjadi dosaku
sebagai neraka yang aku syukuri
dan aku hangat dalam apimu yang menyambar-nyambar
kau mematangkan beras lumbung padiku
kau adalah air yang menghidupkan kebunku
kau pula yang menjadi damar penerang
yang membantuku mengeja huruf-huruf kuno dari masa silam
…..
namun satu hal yang membuat telagaku mengering
sungaiku tak lagi sejernih dulu
benih tunasku gagal tumbuh
setelah tak sengaja kau temukan sayapmu yang kusimpan rapat-rapat
kau menuduhku sebagai pendusta, sebagai setan berkepala lima
dengan mudahnya kau lupakan kembang gula
yang sering kita nikmati berdua

1526
PERANGTOLOGI

Perang..
Bukan karena sekedar perangai pelaku
Perang..
Kewajiban manusia
Perang..
Kesenangan para dewa
Perang..
Bukan sekedar mitos
Perang..
Pelengkap cerita
Perang..
Memisahkan ibu dan anak-anaknya
Perang..
Menyatukan negara
Perang..
Cuma di kepala

164
PEREMPUAN YANG MENYULAP KUPU KUPU

Mana yang memilih tersesat
perempuan duka atau lelaki luka
atau tidak dua-duanya
ketika wajah muram telah membentuk café-café,lorong bilik karaoke dan pergumulan
mencari kehidupan
perempuan itu sebagian menyulap diri menjadi kupu kupu yang menumpah habis tanpa sisa
tamu tamu iseng
Siapa sesungguhnya tersesat
lelaki linglung luka yang bingung menumpahkan antibiotik di malam hari
atau perempuan hingar duka yang sesak mengadopsi malam sebagai kebutuhan hidup
Malam yang iseng memiliki jalannya masing masing, membuat napas tersengal genit
ketika tidak harus di bilik yang sama dalam mengadu peruntungan
kupu kupu menjalani nasibnya sendiri beterbangan malam malam
sebagai perempuan penyulap mimpi
sebagai lelaki penyadap anggur
atau dua duanya
menghabiskan malam tanpa sisa
Gubukbatu, nop’10

281
Pesan dari Bebatuan Tuan

Nak,
Sampaikan salamku pada zamanmu
Salam dari batu tua yang hidup abadi
Nak,
Sampaikan penyesalanku pada zamanmu
Sesal karena berprilaku buruk di masa lalu
Nak,
Zamanmu begitu sempurna
Kau sampai terbuai dibuatnya
Terbuai oleh dunia mu yang sementara
Aku telah usang Nak
Bahkan tidak semua orang mengetahui kisahku
Andai saja kisahku adalah kisah dari negeri Korea favoritmu
Aku pasti jadi aktris terkenal tak terlupakan
Aku pernah bersalah Nak
Aku abaikan Dia yang melahirkanku dengan peluh dan pilu
Aku telah pergi Nak
Bahkan tanahpun tak sudi menampungku
Aku usang
Dan kini aku hanya menanti batu-batu ini tertelan zaman
Lihatlah aku Nak
Aku yang tetap akan terlihat hingga kapanpun
Tapi ingatlah aku Nak
Apa zamanmu mampu ?
Maafkan aku telah berlaku buruk
Maafkan aku melukai hati ibuku , Tuhan
Maafkan aku karena zaman setelahku mengikuti kedurhakaanku
Maafkan aku Tuhan
Nak
Jangan ikuti aku yang terkenal karena kedurhakaanku
Jangan menjadi sepertiku
Karena kelak tanahpun akan enggan menerimamu
Nak
Sampaikan salamku pada generasimu
Salam dari bebatuan tua yang akan hidup selamanya
Sampaikan salamku pada ibu generasimu
Salam dari anak durhaka di masa lalu

12
Putri Hijau Versi Batak Karo

Wahai Putri nan hijau kemilau. Bapak bermarga Meliala konon berdarah Hundustan. Ibu bermarga Barus berleluhur tanah kamper. Berparas cantik disukai para perempuan dan lelaki dari delapan penjuru angin. Terlahir dari janda kampung Sebaraya,Tanah Karo di Sumatera,Putri Hijau ditimang dibesarkan para kurcaci dalam gua sungai Lau Biang Bersama dua saudara kembar yang menyerupai naga dan mariam,menghisap udara sejagad. Putri Hijau Dewasa dipinang Maharaja Haru Sicapah. Berkalang tahun tak punya keturunan Putri Hijau dicerai Bermodal tanah sekepa; putri menunggang Naga dikawal Mariam saudaranya Sampailah mereka di Tanah Deli yang subur nan permai. Berkat bantuan saudara tua san ayah Meliala,Putri mendirikan Kerajaan Haru Deli Tuah. Walau digoda Sultan Aliuddin Ryat Alkahar di abad limabelas ceritranya, ia tetap dalam Keyakinan.Setiap sampai mati pada suami Manang Ginting Suka. Kerajaan Haru Lingga Timur Raja, Kutabuluh,Wampu, Sicapah boleh tunduk pada Sultan Putri Hijau, srikandi ratu penguasa Kerajaan Haru Deli Tua, karena pembangkangnnya diserang berkali-kali agar ia menyerahkan kekuasaan dan mengubah keyakinan, Tapi Haru Deli Tua berthan sampai tubuh berkalang tanah Terjun ke Laut Selat Malaka pilihannya dengan berikrar,erbelawan. “Lebih baik menjaga harga diri daripada kekuasan”. Brahma dan adat junjungannya

1409
Reinkarnasi Malin Kundang

Sumpah ibumu…
Setajam pedang yang menikam jantungmu
Lidah ibumu…
Setajam duri yang menusuk urat nadimu
Doa ibumu…
Setajam belati yang mencabik dagingmu
Air mata ibumu…
Setajam air raksa yang menghancurkan bongkahan besimu
Luka ibumu…
Sepanas bara api yang melelehkan ubun-ubunmu
Tapi …
Kau tak peduli
Kau larut dimakan maraknya modernisasi
Kau hanyut ditelan gemerlapnya globalisasi
Kau tenggelam dibuai trend tanpa norma
Kau terlena dibuai budaya tanpa susila
Kau coreng wajah keriputnya dengan tinta sarjanamu
Kau ludahi tubuh bungkuknya dengan jampi-jampi kepandaianmu
Kau lukai hati tulusnya dengan komat-kamit bau busuk mulutmu
Kau nodai peluh di dahinya dengan kotoran kepicikanmu
Kau langkahi rambut putihnya dengan langkah keangkuhanmu
Kau dibutakan harta
Kau dibutakan jabatan
Kau dibutakan nafsu
Ah…
Sungguh kau kacang yang lupa kulitnya
Sanggupkah kau kembalikan air susu yang mengalir ditubuhmu?
Sanggupkah kau ganti darah yang mengucur saat melahirkanmu?
Sanggupkah kau bersihkan tangannya saat mencebokimu?
Sanggupkah kau tebus nyawa yang ia pertaruhkan untukmu?
Sungguh…
Kau hanya Malin Kundang yang bereinkarnasi
Dari zaman ke zaman


172
Roro Jonggrang Menggigil

Dingin batu candi menyerap waktu, menawarkan keheningan,
tak tergoyahkan oleh kemarau dan penghujan sepanjang tahunnya
Satu buah arca begitu mendekam ratusan makna yang begitu keras untuk dipahat,
Dengan gayanya berkacak pinggang yang begitu beku, inilah Roro Jonggrang
bibirnya tak mungkin berbicara, hanya berbahasa diam dalam abadi
banyak yang bertanya, khususnya para ahli arkeologi yang lajang,
tentang dua payudaranya yang mengkal,
yang dipanasi hangat cahaya matahari saat pagi
yang didinginkan bulan saat purnama,
yang mengingatkannya pada tangis bayi-bayi lapar.
Oh Durga yang bertangan delapan, seperti laba-laba merayap
apakah kau contoh sesungguhnya untuk emansipasi wanita masa kini,
tangan satu memegang cakra, yang sekarang menjelma setir mobil
tangan kiri menghunus tombak, yang sekarang menjelma pena
tangan atas memegang bara api, terasa membakar perlawanan untuk memilih bebas
dua betis padat menginjak sapi, apakah ini juga yang diartikan mobil,
Aku tahu kau sesungguhnya kedinginan,
mengigil dalam batu,
terkunci pada waktu yang terus memenjara.

1864
Sajak Daun __di pantai air manis

Ia lepas dari tampuk serupa anak yang lepas dari induk. Tak pernah ia membenci angin sebagai biang kepergian meskipun terombang-ambing antara arah dan tujuan. Hidup di rantau ia lebih gemar membayangkannya sebagai tanah terjauh sebagai tanah tempat ia jatuh. Tak pernah ia mengukur jarak berapa jauh dari induk Pun tak pernah ia berpikir kapan akan kembali krena setiap kepergian tak pernah menjanjikan kepulangan. Terombang-ambing oleh angin Serupa terombang-ambing di tengan lautan. Hanya kapal. Tak pernah ia belajar bagaimana garam bisa lesap ke dalam air. Tak pernah ia belajar kepada ikan yang tak pernah sedikitpun terasa asin meskipun berenang di lautan garam. Ia lepas dari tampuk serupa anak yang lepas dari induk. Ibukku tampuk, ayahku angin. Benarkah aku ini Malin? Berlayar jauh ke dalam malam. Terombang-ambing antara cahaya bulan dan mata perempuan. Hanya gelombang dan pasang mengepung kapal sedangkan embun tak pernah membasahi layar. Jika benar aku ini Malin,
sampai kapankah embun sanggup menetesiku tubuhku yang batu? Ia lepas,ia lepas melayang jauh di pantai itu.

695
Sang Malin Jalan berjalan

Seorang anak dalam rantauan Pergi harap timba ilmu tinggalkan sang telapak surga Berat rasa namun suratan berkata Pulang kini pulang si malin Pulang dalam rantauan penuh ria Ingin berbagi cerita ia si lama Lihat asal datang ia si malin Senang riang hati sang telapak surga Terdengar-terdengar seorang anak telah kembali Haru sedih tak berbendung lagi Hangat pelukan harap ia ingat asal Sayang seribu sayang Surga telapak surga kau beri telapak neraka Hancur hati kutuk terucap Hancur-hancur ia si malin Terseganilah engkau wahai sang telapak surga Muliamu tak kan terganti Keringat yang kau kucurkan Tak kan sebanding bergunung-gunung emas Namun kini, ia para si malin telah kembali Ia yang telah lupa sang telapak surga Caci hina kau beri, namun hanya kasih yang ia beri Tanpa rasa dendam di hati Wahai para malin, Cukuplah ia hanya sebuah jalan dalam hidup Jalan sesat yang kau harus resapi Sang tepak surga ia lah malaikat hati

1647
Sangkuriang

“sebelum mencari luka dan jelajah dunia
aku masih membalut kepalaku dengan kain kafan
yang tinggal hanya congkak, kepalang bengkak
apa kepalaku mirip piring tembaga kilapanmu
Dayang, seraut wajahmu masih serupa pucuk
aku ingin memetikmu sekali saja
sebelum pagi, sebelum lupa berdiri
sebab aku datang dari timur
dan mantra-mantramu menandai takdir
inikah pertemuan
dari bisikan hati anjing
tertuduhlah pemenggal Tumang
yang kau makan sendiri
setelah aku menyayat suamimu
maka aku tak mengira ada yang menanam dalam tubuhmu
dan kecantikan yang mengubur dalam-dalam usiamu
sehingga wajahmu tetap sayu dimakan rindu
bagi para lelaki yang tumbuh sepertiku
aku tak mengira jika kau telah janda
sesegar air kelapa muda
diam-diam aku mencuci mukaku di sungai itu
dan gairahku serupa hantaman ombak
tetapi kau masih mengenal lukaku
ketika kau pukul dengan sendokmu”
Cekung Bandung, tangan do’a yang melengkung
Manusia meliuk mencari serba suara dari mulut ke mulut
Sangkuriang kaca pembesar pikiran manusia
Dan bumi dengan segala kekosongan makna
Sungguh ada yang lebih tinggi dari gunung everest
Gunung-gunung yang diciptakan dari egoisme
Ia tumbuh dalam hati dan meledak melingkari
Laharnya menjalar pada tubuh-tubuh manusia
Dalam kalimat do’a, Dayang sumbi melumat rasa
Hendak kemana aku menancapkan jangkar ini
Sedang perahu selalu dihantamkan ombak-ombak
Yang lautnya kehidupan dunia tak pasti
O, nafsu-nafsu birahi yang jual diri
Aku tak mengira
Sangkuriang kini muncul lagi
di tivi-tivi
Banten, 2011

762
Sangkuriang Melinda Dee

Sangkuriang sangkuriang cepat peluk ibu Rindu untukmu anakku rintih melinda dee Kau tak pernah buat perahu untukku Nanti kubelikan ferrari merah kesukaanmu Sisanya kusimpan di showroom kalpores terdekat Senyum terkulum runtuhkan jiwa putramu Kecantikkan bunda lupakan asalmu Silikon tambah paras wajah ayuku Guci guci nasabahku siap membahagiakanmu Hutan-hutan serakah menelanku dalam gelap Tumang tak perlu kau bunuh dengan panahmu Akta cerai telah membungkusnya pergi Mari bercumbu di sudut apartemen Pinggir hutan tiga rumah mewahku
Bandung,3 mei 2011

1760
SEORANG BUJANG DOA BERKANDUNG DENGAN MANUSIA KATAK

/ i /
gubukmu itu surga penuh bunga
penuh doa--sarat rahasia.
bahwasanya kaki bukit mencatat,
di tidurmu tak ada rumput tumbuh
hanya bunga hitam dan ricik hujan.
engkau tetaplah memiliki tempat
di mana seseorang datang
lantas membawakan payung
juga anyaman bunga bakung.
gubukmu itu mimpimu--
dan seseorang yang mati kemudian
menyisakan bau uban
tentang gigil keriput
tentang tikung perjalanan
yang sama sekali tak pernah
serupa,
selupa.
/ ii /
ini desa penyepian bagi orang orang,
tak demikian denganmu--
ini petikan hari raya masa depan
penuh arak nyala obor
bunyi kentungan
seruling bambu
bende yang bertalu talu
pun nyanyian ladang
-- sebuah perayaan tualang
pengabulan yang datang.
/ iii /
bujang si bujang
ia datang dari rahim uzurmu
dari asap kedua telapak tanganmu
menyatu tengadah suatu pagi
seraya mencipta wajah batu
kepada dunia yang menguji;
sebab di atas dewata melihat
tak ada permohonan yang terlihat,
segalanya telah pekat bersama
angin dupa
bujang si bujang
ia katak, ia manusia
di tubuhnya telah tertanam
temaram mantra bertahun tahun
bersikeras mendamaikan
risalah anak cucu
/ iv /
di kemudian hari
cinta bermekar seperti putik
yang diburu kekupu
cinta bertumbuh dengan jujur
dengan isyarat muka
yang ingin menciptakan nur
dari darah daging mantra leluhur
siapa sangka
bahwa penampilan tak lebih mulia
dari lelakumu dari cinta yang hidup
o, bujang
cinta memang sedemikian bentang
/ v /
dunia tak akan dikaratkan oleh tiga syarat
semata, dunia ini paham tentang manusia
yang belum mau bersimpuh
yang masih menempuh lenguh lenguh
di perasaan dan waktu setubuh
lewat jalan sama
bujang, kau yang hidup dalam karma
niscaya taring harimau tak lebih tajam
dari nazar lelaku tapa rajam
tanpa dendam
--maka simpanlah tanah hutan
beserta peranakan hewan hewan
yang menyertaimu kepada
kesetiaan kepada api
di katup belanga kedua
langit tengadah tanganmu,
simpanlah bersama berahi
kepulan doa tak tersudahi
/ vi /
bagimu puteri raja;
melalui pintu rumah hingga istana
jalanan emas: jembatan yang berkabung
lambang gemah upacara persuntingan
perangai tampan dan maha katak
yang bukan lahir sedari sihir
sedari pelir. sungguh
“dunia ini bergerak semudah gunung berpindah
--kepada nenek lampat, darah badan bujang
waktu selalu berderak-detak
berkandung dengan segala kemujurannya
atas malapetaka yang ditasbihkannya
bahagia”
2011
Puisi terinspirasi dari pembacaan cerita rakyat: Si Bujang Katak

405
Shinta dan Nirwana

Rama dan Rahwana menawarkan nirwana
Mereka berdua memuja surga
Mereka mengajakku ke sana
Mereka ingin bersamaku moksa
Tapi…
Kata Rama, aku harus memakai penutup kepala
Kata Rahwana, aku harus mengucap mantra
Kata Rama, aku harus membunuh Rahwana
Kata Rahwana, aku harus melupakan Rama
Tapi…
Aku ingat kata Anoman
Untuk apa ke surga jika kita bisa membuatnya di dunia
Untuk apa ke nirwana jika ia ada di dunia
Untuk apa ingin ke sana kalau surga ada di dunia
Untuk apa ke nirwana kalau lebih indah dunia
Ah…
Untuk apa moksa jika di dunia sudah mulia

763
Siapa Golonganmu Malin?

Malin kundang kau dikutuk jadi batu
kau tak mengakui ibumu
Malin kundang sekarang banjak ibu
tak mengakui anaknya
apa itu golonganmu?
Malin kundang menjawab
aku bukan anak haram
kehadiranku diharapkan
memang aku menikah tanpa restu ibu
Malin kundang kau dikutuk jadi batu
kau tak mengakui bapakmu
Malin kundang sekarang banjak anak
tak mengakui bapaknya
apa itu golonganmu?
Malin kundang menjawab
aku bukan anak durhaka seperti itu
tak pernah kukenal figur bapak
ibu yang melahirkanpun malas ku akui
dia tidak trendi seperti ibu pejabat negara
selalu rajin manicure dan pedicure,
creambath di salon, facial setiap bulan,
ke butik cari baju baru, ke mall dan cafe,
pakai model sepatu terbaru
padahal hutang masih menumpuk di warung
uang belanja hasil menyunat dana dapur
mungkin bapakku Cuma PNS golongan dua
lebih baik aku punya ibu trendi dan gaul
walau hutang menumpuk di mana-mana
Bandung, 15 mei 2011

173
Sketsa Nyi Loro Kidul

Rambutmu begitu masai dipermainkan angin, begitu tak berdaya dihempas ombak namun, kain jarik kembenmu begitu menyembunyikan kepadatan dan kekuatan, yang kabarnya mampu menguatkan batu karang, menggoda mata-mata nakal, Adakah perempuan sepertimu selain dirimu, aku segera menyangsikannya sendiri Kan kuartikan apa, dua mata yang menatap kaku itu bila yang kurasakan hanya beku Kan kuterjemahkan apa, dua lengan tangan yang terbuka itu bila yang tampak hanya nilai kepasrahanmu Kini kau harus bangga Nyi, perempuan saat ini, tak pernah bisa dihempas ombak, rambutnya tak pernah masai dilecehkan angin, bahkan tak hanya bisa berbaring untuk berlaku inkonstitusional. Kini mereka tangguh Nyi..

1493
Surat untuk Sri

Terik
Matahari sedang ingin pamer
Legamkan saja kulit kami asal tanah ini tak kau buat mendidih
Gerimis
Rintik yang kami nanti kadang membuat gelisah hati
Tak apa dingin menusuk tulang asal jangan berubah menenggelamkan
Menguning
Berayun - ayun tertiup angin
Semoga angin tidak terlalu kencang dan menerbangkan jauh harapan kami
Dan tibalah saatnya
Hai Dewi Sri
Zaman ini, tak cukup lah padi kami subur
Subur sekarang tak bisa membuat makmur
Karena harga bengal tak bisa diatur
Maafkan kelancangan kami
Seharusnya kami memohon
Bukan mengeluh, memerintah, dan sedikit memaksa

1
TUKANG KAYU

Kupilih kayu untuk selembar pintu.
Kupilih jati ketimbang mahoni dan trembesi.
Sebab pada jati serat keteguhan merangkum diri.
Sebab pada jati segala janji sepi terberi.
Mungkin jati kenyang menyusu sungai.
Menggugurkan daun saat tanah pecah
dan padi-padi menundukkan kepala.
Sebab itu jati tumbuh sebagai pohon kuat.
Ketika dibuat pintu tak gampang dicungkil
pencuri laknat. Jati juga bisa jadi jendela
yang indah. Berbekal serat murni yang mirip
rajah di telapak tangan kita:
rajah yang memanggil sejuk angin timur
jika kita sedang susah tidur. Atau membawa
angin barat, jika pikiran kita sedang semburat.
Kadang ia juga membawa angin selatan
atau utara, seperti salam mesra yang diucap
bibir berkah. Begitulah. Begitu kayu-kayu
kupelajari rahasianya. Agar tak keliru saat kutebang
di hutan sana. Seperti kala kupilih kayu meranti
daripada mahoni, untuk kotak lemari dan lelaci.
Sebab meranti menyimpan serat lembut murni.
Meniru perempuan yang gemi dan primpan.
Mengamankan intan dan marjan dari pengintai.
Pernah kupilih kayu jangkang ketimbang
kampar rindang. Kayu jangkang yang pahit
namun wingit, nyaman untuk meja panjang,
kuda goyang, atau ranjang senggang
yang diukiri elang, kawanan kijang
dan tujuh dayang yang sedang mandi di sendang.
Kupilah juga kayu pilihan untuk podium besar.
Kuhadapkan kayu itu ke matahari agar ia bersih
dari jamur dan sisa hujan. Dan dengan segenap
kekuatan, kuhiaskan ukiran kembang, burung terbang
atau khat yang merawikan sholawat dan pujian.
Kubikin sedemikian nyaman. Sebab di sanalah
khotbah dan kitab suci kelak ditegakkan.
Di tanganku tergenggam tata ketam dan palu godam.
Dengan gergaji kutipiskan balok kayu jadi papan.
Kadang aku bertanya tentang takdir sang kayu:
apakah ia akan jadi tiang rumah, jadi meja, kursi
atau malah jadi peti yang menyimpan orang mati.
Kucipta mereka dengan teliti dan senang hati.
Seperti meramut anak-anak sendiri.
Dari hari ke hari. Dengan kecermatan penyawur benih.
Dengan ketulusan seorang ibu yang tak terbagi.
Kerap terpikir juga mencipta pola pintu dan jendela
yang sanggup mengantar orang ke gerbang mimpi.
Atau ke jalan landai yang membuat mereka damai.
Atau yang seperti bibir kekasih, terbuka dan terkatup
sendiri, mengucap doa-doa jika kita pulang atau pergi.
Pernah pintu dan jendela macam itu dicipta sang Yesus.
Dengan rasa paling halus. Dengan sepasang tangan tulus
dan kudus. Berkali-kali lelaki lembut gondrong itu datang
ke mimpiku. Memberi perkul landep dan palu antep padaku.
Ketika terbangun, perkul dan palu seolah masih terpegang.
Tapi kedua tanganku gemetar. Kesepuluh jarinya mengaduk diri seperti geruguk sepi. Terantuk dan tersaruk, mereka seolah
berkeras merayap dari sisiku. Merayap miring, menyamping
mirip prilaku kepiting. Membawa telapak tanganku pergi.
Satu ke kanan. Satunya lagi ke kiri. Mencari muara sungai
paling murni yang saban malam mengalir dari sebidang pipi:
sungai yang tak mungkin terjamah tanganku yang hanya
mengenal perkul, palu, dan gergaji.
2011

1392
Tutur Akhir Sang Parikesit

“Takdirmu adalah akhirmu,
Berlarilah ke tempat persembunyianmu!”
Gema raungan sang petapa
Membelah alam keheningan yang menutup sepi
Mengutuk Parikesit yang terengah berlari
Dengan senyum yang mampu membuat setiap dewa mengerang]
Begitulah negeri ini,
Dia yang telah mengoyak habis tulang rakyat
Hanya memberi senyum kebinasaan
Dia perlakukan setiap bawah sebagai pijakan
Dia perlakukan setiap sujud sebagai tempat ludah
Ular mampu kau permainkan untuk berdiri di atas kedudukan
Ular mampu kau gantung demi memuaskan hasrat kuasa-mu
“Seperti tumbuhnya matahari di ufuk timur,
Maka terbenamlah menuju arah barat dan akan berlangsung demikian”
Dharma ditegakkan oleh sang penguasa
Jatuhnya parikesit oleh kutukan sang petapa
Nafasnya terengah membelah hutan hitam
Mencari tempat untuk mengubur kenistaan
Begitulah juga negeri ini,
Telah digalinya lubang pada ibu pertiwi oleh para tikus tanah
Menanam sisa – sisa kotoran dan debu materi
Menutup mata, mulut, dan hati demi kemunafikan
Kau telah berlari dengan menyebut setiap nama
Kau tutupi setiap senyum licik yang melingkar di otakmu
Mengingat kau telah meminum darah rakyat ini
“Padi yang telah dituai maka akan tumbuh tinggi
hingga hasil nya akan jatuh ke tanah dan membusuk”
Sang naga Taksaka berlari menyembur api keadilan
Di mana pun parikesit telah berlari dan bersembunyi
Maka datanglah sang naga
Yang datang dengan keadilan telah mampu membunuhnya
Demikian akhir negeri ini,
Dulu kami menutup setiap kesadaran kami
Namun kini, berlarilah para tikus mencari lubang tanah
Kuasamu kau bawa ke dalam perut buncitmu
Kami telah mengutuk hidup dan alam kematianmu
Negeri ini temukan tikus terbesar yang mampu melubangi kubah persatuan
Berlarilah bak parikesit yang telah mati oleh kutukan sang petapa
Karena pada akhirnya begitulah takdir yang akan membawamu ke lubang kehancuran.

58
Variasi Atas Sangkuriang

karena asmara
segalanya nampak sia
hanya terpukau rupa
wangi tubuh dan birahi menyala
bertahun-tahun ia panggul kutuk itu
tapi tak mau jadi sisipus
meski tubuhnya tak kurus atau kelopak matanya tirus
sebab pertemuan kerap sisakan debar
ketika ia bergetar
pada setiap kesiut warna
"bagaimana aku tahu jika engkau ibuku;
sedangkan berpuluh tahun kita tak bertemu?"
ia mendesau sengau, juga permintaan yang panjang dari sumbi
sebab nyala birahi, membuatnya berulang ditikam sepi
"aku sudah jadi lelaki perkasa. kecuplah segala urat tubuhku
dan aku takjub pada siluet tubuhmu,"
*
saat itu pagi merekah tertinggal basah
pada bibir perempuan
meskipun hujan belum tiba
betapa perempuan itu kembali jadi dara
yang memecah mantra ketika bicara
kelopak bibirnya setengah terbuka
semacam tenung yang mengurung
bagi dada lelaki
sungguh! perempuan itu telah mencatat prasasti
di suatu pagi,
liuk tatapnya seperti panah yang menancap dada
tapi lelaki itu tak juga sakit
bahkan saat panah itu kembali menancap
berulangkali. toh, ia terbiasa menahannya sejak kecil dan mungil
kini,
ia yakin bila jodohnya tiba
*
apakah ia lupa menandai dulu;
saat terbungkus di rahim milik siapa?
hanya diingatnya hangat alir darah
desir sayat kesakitan menjerti
dan ia menangis saat bayi
ia mengingat hari kelahiran
dan merasa ada mimpi baru
yang tak pernah ditempuh
bertahun-tahun ia lupa pada ibu
tapi ibu bukan pendendam
tak semacam ibunya kundang
mengutuk jadi batu telanjang
ihwal anak durhaka
menandai bekas rahimnya yang pecah
berapa banyak engkau rendam;
kangen yang merajam pada anak lanang
ketika beratus malam tandang
lenyap di tengah gelap
lenyap ketika mengingat
engkau yang sendirian
setelah kelahiran
kutinggalkan dirimu, sangkuriang
*
di hari-hari yang kelabu
ia masuk keluar hutan
akrab dan bertahan di rindang dahan
tumbuh bersama tanah dan akar
tapi ia telah bermimpi basah
bayangan perempuan
lingga yang basah dan suara penuh desah
ia telah memanggul napas lelaki dewasa
di kepalanya penuh dengan lekuk bidadari
*
ketika ia tiba di sebuah rumah,
cuma ada perempuan itu--
yang beratus hari kemudian memanah dadanya.
dan ia merasa bahagia
ada yang bercambah
menyesaki tubuh
ia yang menyerah
pada harum tubuh
*
mereka bertemu pada tahun yang lembap
tembang asamara itupun bergeriap
dosakah satu kecupan bagimu, ibu?
dan burung-burung menyanyikan balada
hutan bergema penuh dengan desah akar
"semestinya aku tahu tanda itu. bukankah kulit jangat tubuh
begitu liat dan mengikat. aku ingat, kelahirannya yang dibisiki misteri.
ah, anak lanagnku; mengapa engkau jatuh cinta padaku?"
perempuan dengan tubuh wangi itu menyesali yang terjadi
ia paham, tak mungkin menolak birahi
dari perjaka muda itu
ia senang dengan pertemuan ini
bertahun-tahun kehilangan anak semata wayang
tapi segalanya terlanjur celaka
membuatnya limbung, jatuh di tahun-tahun ia masih muda
tapi kecantikan tak pernah sirna
seperti cahaya matahari yang abadi
tak bisa ditolak
meskipun malamnya dipenuhi dengan isak
*
"aku ingin sebuah perahu. tapi bukan nuh."
pagi yang tinggi
lesung yang menyanyi
ia tahu,
lelaki muda sakti itu bakal marah
dan ia menjadi abu
meskipun mencintainya sepenuh hati
sebagai anak lelaki semata wayangnya
2010-2011