Rabu, 06 Juni 2012

Kritik Kemauan dan Aksi

Lea Willsen Bantu mengeritik karya? Hmm... Tidak, tidak..., saya tak pernah menyenangi peran sebagai seorang kritikus. Beberapa penulis pemula pernah meng-inbox untuk menanyakan kesediaan tersebut. Sesuai etika kepenulisan, tak perlulah menyebut siapa-siapa saja nama mereka. Jelasnya, biasanya penulis tidak menyanggupi mereka. Tentu ini bukan masalah pelit ilmu, egois, atau sombong. Justru karena menyadari kita sama-sama pelajar, rasanya tak perlulah kritik mengeritik. Apa lagi, saya juga bukan seorang redaktur/editor. Tentunya terhadap media mana pun yang nantinya akan dituju, telah ada redaktur/editor profesional yang mengambil peran itu. Bagi saya secara pribadi, kritik juga tidak selamanya mutlak. Ada kritik yang memang berdasarkan logika, ada lagi kritik yang ternyata hanya opini dari si pemberi kritik -namun kurang disadarinya-kemudian dilontarkan sebagai ‘kritik’. Contoh, terhadap gaya tulisan, tentu beda penulis beda juga cara penyampaiannya. Bahkan hingga seorang motivator handal pun, tetap ada segelintir orang yang tak dapat menerima apa yang disampaikannya. Kalau sudah begitu, lantas kita menyalahkan sang motivator? Tentu tidak. Beda cerita bila ada yang tanya; Bagaimana mencari ide? Masuk akalkah anak usia 6 tahun jatuh cinta? Tanda baca yang benar seperti apa? Sebisa mungkin saya akan memberi jawaban terbaik, berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Ini berbeda dengan kritik, tetapi lebih pada memberi solusi, masukan atau katakanlah diskusi. Penulis memaklumi hal ini, mengingat penulis dulunya juga sering bertanya-tanya dengan seorang penulis lain. Ketika kita belum pernah mendatangi sebuah negara, tentu kita tak tahu banyak tentang negara itu dan kadang kita berharap akan ada sedikit bocoran dari orang lain. Seorang penulis tentunya harus mandiri. Setelah mendapat sedikit bocoran, untuk berikutnya ‘berjalanlah’ sendiri, tanpa harus melibatkan orang lain. Perkembangan seorang penulis utamanya ditentukan oleh diri sendiri dalam menciptakan sebuah karya. Pentingkah Kritik? Bila bertanya pentingkah sebuah kritik? Sebagian dari kita pasti akan menjawab kritik itu penting, tak perduli jawaban itu sebenarnya melawan hati atau tidak. Kalau berkata terlalu jujur, oh, takutnya dicap sebagai orang berhati kecil yang tak bisa menerima kritik. Sebenarnya tak perlu memusingkan kritik itu penting atau tidak. Lebih penting adalah kamauan memperdalam ilmu serta aksi nyata untuk menciptakan karya. Cobalah bayangkan, ketika seseorang terus-menerus menerima kritik, sementara fondasi kemauannya kurang kuat, bukannya maju, tapi justru putus asa dan aksi pun turut dihentikan! Tanpa kemauan dan aksi, seberapa bermanfaat pun sebuah kritik tetap saja bohong. Selain kritik kalah penting dari kemauan dan aksi, tak jarang kritik justru menyebabkan terjadinya adu argumentasi. Seperti yang pernah diceritakan oleh editor Majalah Story pada suatu kesempatan, dia pernah diminta seseorang untuk menjadi pengeritik. Setelah dikritik, bukannya menghargai kritik itu, justru mereka menjadi terlibat adu argumentasi. Melelahkan tentunya. Ketika seseorang meminta karyanya dikritik, kita tak menjamin orang tersebut dapat menerimanya atau tidak. Daripada salah-salah, terjadi adu argumentasi lagi, lebih baik tidak menyanggupi permintaan itu. Pada dasarnya semua kritikan ada efek buruknya, sekalipun dengan tujuan baik dan mungkin bermanfaat. Tahun pertama menulis, sering juga terbersit di pikiran; Kira-kira bagaimana kualitas karya saya di mata pembaca? Penulis pernah memberanikan diri untuk meminta batuan seorang penulis untuk menilai karya-karya itu. Itulah sebuah tindakan konyol. Karena terlalu ramah, saya mungkin segan menolak. Beberapa karya yang telah pernah dimuat pun dikirim via email untuk kemudian dinilai. Satu minggu berlalu, satu bulan, dua bulan, hingga berbulan-bulan, kok belum ada jawaban? Saya bukan melupakan karya itu, tetapi setiap sempat ngobrol, dia seolah menjadi serba salah. Berulang kali dia mengatakan maaf, karena dia belum sempat membacanya. Dia akan mencari waktu membacanya. Setelah dipikir-pikir, saya mengambil satu kesimpulan, kita tak perlu meminta seseorang untuk menilai karya kita. Kalaupun karya kita buruk, tak semua orang dapat menjadi ‘orang jahat’ untuk ‘membantai’ karya itu. Bisa jadi orang itu menghargai kita, sehingga hal tersebut menjadi sebuah tekanan tersendiri untuknya. Kalau benar-benar ingin berkembang, fokus saja dengan kemauan dan aksi. Seiring waktu akan semakin baik pastinya, dengan catatan harus bersungguh-sungguh. Sama halnya juga dengan jam terbang para pilot. Tak perlu terlalu memusingkan penilaian orang lain yang kemungkinan berbeda-beda satu sama lain. Menanggapi Kritik Tak masalah ketika kita siap dikritik, tetapi tak ada yang bersedia mengeritik. Bagaimana ketika kita tak siap dikritik tetapi justru dikritik? Jangan gentar! Berkecimpung di dunia sastra, tak pernah luput dari hal demikian. Kritik adalah obat, kalimat yang pernah digunakan oleh Presiden. Perlu diingat, kita harus memfilter segala kritik yang datang kepada kita secara cermat, karena beberapa kritik sebenarnya adalah kedok dari aksi menjatuhkan atau mengangkat derajat si pemberi kritik itu. Kita hanya perlu menggunakan dua opsi; menerima bila benar, dan mengabaikan bila tidak benar. Kita tak perlu membantah, jika tak ingin dianggap -seperti yang dikatan sebelumnya- orang berhati kecil yang tak bisa menerima kritik. dinihari, akhir Mei 2012

Perempuan Sumbi Lelaki Keith

Sumardi di Petumbak Keith di Samosir Mihar Harahap. REBANA edisi April 2012 siaran minggu Analisa, menyuguhkan empat cerpen. Lelaki yang Dulu Kupanggil Paman karya Eka Handayani Ginting, Romlan karya Ester Pandiangan, Sumbi pada Suatu Hari, karya M. Raudah Jambak dan Amok karya S. Satya Darma. Dengan kejelian memilih persoalan dan gaya menceritakan, maka masing-masing pecerpen berhasil menggugah rasa pembaca untuk turut merenungkan permasalahan. Bila mungkin dapat menarik jalan keluar dan manfaat dari permasalahan yang ada. Janji Lelaki itu Isapan Jempol Memang bukan Eka Handayani Ginting namanya, kalau tidak memilih persoalan cerpen yang sensitif dengan gaya bercerita yang atraktif, walau terkadang agak emotif dan menjadi kurang tertib.Begitupun, cerpen kali ini menjadi menarik, karena janji oknum setelah menjabat (apakah sebagai Kepala Daerah Kabupaten/Kota ataukah Wakil Rakyat) sering dikeluhkan masyarakat bagai isapan jempol belaka. Entah apa dalam pikiran para pejabat, sehingga dia tak sanggup memenuhi janjinya ketika sebagai kandidat. Contohnya, Lelaki yang Dulu Kupanggil Paman, sebut Eka. Ada 2 persoalan yang dikemukakannya. Pertama, dulu, sekitar lima tahun lalu, ayahku merupakan tim sukses. "Bersama ayahku kalian mulai menyusun buah program yang akan mengantarkanmu menuju sebuah kursi yang kalian sebut ‘masa depan’. Siang-malam kau dan ayah mengumpulkan rupiah, mencari kolega, mengadakan pertemuan untuk menyatukan pendukungmu, kerja keras itu benar-benar menjadikanmu tokoh sentral…" (kutipan cerpen). Sekarang, ayahku kau campakkan. "Kau sedang jaya-jayanya ketika ayahku jatuh kelelahan di kantormu. Kau menyuruh pengawal-pengawal bodoh itu menyingkirkannya. Satu kalipun kau belum pernah menjenguknya sampai dia sadar dari koma dan sekarang terbujur seperti mayat hidup". "Ibuku, yang dulu kau panggil kakak, mendatangimu berkali-kali dan kau usir berkali-kali. Dia menangis berhari-hari, hingga suatu pagi dia menabrak dinding rumah karena kehilangan cahaya mata." (kutipan cerpen). Lebih khusus, sayangnya pecerpen tidak menjelaskan perjanjian secara konkrit, semacam surat berisikan poin balas jasa misalnya. Tidak juga menjelaskan, mengapa sang ayah terusir dari kantor (walau karena sakit) tanpa ada perhitungannya secara normatif. Bahkan secara kekeluargaan, bagaimana bisa terjadi hubungan menjadi bertolakbelakang setelah ayah jatuh sakit. Bila hal-hal semacam ini diungkap dalam cerpen dan ternyata dipungkiri, maka setidaknya dapat digugat haknya secara hukum dan kemanusiaan. Persoalan kedua, pembohongan publik, terutama kepada masyarakat pemilih dan simpatisan yang justru memenangkannya. Kini, terdengar suara publik: "… kami kira janji janji itu benar, kami bisa bersekolah dengan murah, makan tiga kali sehari, menjadi pesakitan tanpa takut mati…" (kutipan cerpen). Barangkali saja ada perubahan, tetapi karena tidak terpublikasi atau malah tidak kentara dirasakan masyarakat, maka ungkapan rakyat tidak lapar, sekolah murah dan jaminan kesehatan menjadi isapan jempol. Terbukti, berita di koran atau televisi, menunjukkan pembohongan di mana para pejabat telah menukar mobil mewahnya dengan hak-hak orang lain."…hak anak-anak yang menggelandang. Hak para guru honorer yang air ludahnya hampir mengering serta uang yang seharusnya menjadi jatah bayi-bayi kurang asam flot…" (kutipan cerpen). Duh, betapa memilukan andai benar mobil mewah para pejabat dibeli dengan uang yang semestinya menjadi hak anak gelandangan, guru honor dan bayi kepala besar. Barangkali cerpen monolog Eka Handayani Ginting ini memerlukan data akurat dan ilustrasi yang lebih spesifik, sehingga dapat memperkuat isi cerita bahkan siap untuk dipertanggungjawabkan bila diperlukan.Sebab, meskipun cerpen sekedar cerita, bukan berarti tempat mempropagandai pembaca sesuka hati, apalagi meledak-ledak tanpa bukti, melainkan wahana untuk melahirkan gagasan yang didukung fakta, agar dapat diterima oleh akal dan rasa. Justru disinilah manfaat membaca cerpen itu. Sumardi Tewaskan Preman Kebon Sebagaimana cerpen-cerpen sebelumnya, ibarat memikat burung, pecerpen amat lihai menabur umpan. Meskipun umpan biasa-biasa saja, malah hasil olahan sendiri, tapi lantaran disajikan dengan hangat bahkan tahu menempatkan, maka burung-burung pun dapat terpikat. Seperti cerpen kali ini, Amok, pecerpen hanya ceritakan perkelahian yang berujung kematian. Perkelahian itu sendiri terjadi karena ketidakjelasan per-soalan yang berakibat rakyat kecil menjadi korban dari ketidakadilan. Harus diakui, sejak reformasi atau setelah PTP IX dilikuidasi ke PTP II, lahan tidurnya banyak digarap masyarakat setempat, bahkan ada pula yang dibeli orang berduit. Anehnya, bila digarap masyarakat pasti digusur PTP (lengkap pakai alat, aparat dan centeng), sedangkan bila dibeli orang berduit pasti aman karena dipagar dan dijaga. Adapun masyarakat yang tinggal di lokasi itu dipindahkan setelah ganti rugi. Contohnya, kata S. Satya Darma di perkebunan Sampali dan Helvetia. Di perkebunan Patumbak tanaman palawija masyarakat, termasuk ladang jagung Sumardi, telah rata dengan tanah. Padahal lahan dekat rumah yang digarap tahunan dengan keringat dan modal itu, hanya sekedar mencukupi kebutuhan hidup anak-istri. Paling menyakitkan, di lokasi itu akan dibangun fasilitas umum. Itu artinya, orang berduit telah membeli lahan jagung Sumardi, sementara itu tak ada kompromi atau ganti rugi atas jasanya dan bapaknya sebagai kuli dan centeng perkebunan. Pantaslah amarahnya memuncak. "Maafkan aku, Bapak. Dulu golok ini kau guna-kan untuk menebas leher PKI di Pagar Merbau. Kini ijinkan aku menggunakannya untuk menebas batang leher preman kebon biadab itu" (kutipan cerpen). Golok pusaka zaman Belanda (warisan bapaknya, Kasandikrimo) bila digunakan, bak singa terluka, garang dan buas. Benar saja, Sumardi tanpa pikir panjang lagi, tak menghirau anak istri lagi. Dia maju, membabat plang pengumuman dan berseteru dengan preman yang memegang senapan. "...Dengan hanya satu lompatan dia menerkam sipembawa senapan dan menghantamkam goloknya tepat ke leher sipembawa senapan. Lelaki pembawa senapan itu untuk sekejap kejang-kejang lalu diam tak bergerak Mati" (kutipan cerpen). Itu nyawa kedua. Tak cuma itu, dia bakar pondok persinggahan preman bahkan buldozer yang meratakan ladang jagungnya. Orang-orang hilir-mudik, kaget. Lek Mardi begaduh! Pakde mem-bunuh! Gempar. Sumardi merasa lega, amat lega. Ah, entahlah. Rupanya, rasa kelegaan itulah yang mengantarkan langkah tegapnya ke kantor polisi tanpa gentar, siap mengaku perbuatan dan tentu rela menanggung resikonya. Apakah anak, istri dan keluarga juga siap menerima keadaan itu? Barangkali orang-orang menga-takan dia pahlawan, karena berani membantai preman seorang diri. Bagi anak, istri dan keluarga, mungkin dialah pengecut yang ciut menghadapi kenyataan hidup. Dia terbawa rendong ankara murka yang membuat pikirannya gelap gulita. Semestinya, pemerintah segera menangani persoalan ini secara adil (antara atasan dan bawahan) pada perusahaan besar ini. Sebab, masalah lahan tidur di masayarakat kelas bawah (dalam/luar perusahaan) sangat rentan dengan penipuan, tindak kekerasan bahkan kematian. Hindarkan kesan, gara-gara reformasi atau likuidasi (PTP IX ke PTP II) justru merugikan karyawan PTP IX itu sendiri. PTP II pun harus dapat memanfaatkan lahan tidur PTP IX untuk kepentingan karyawan dan bukan konglomerat. Perempuan Sumbi Lelaki Keith Perempuan litak itu bernama Sumbi. Kasihan, dia korban budak nafsu lelaki liar. Sebenarnya, Sumbi dan lelaki liar itu adalah orang-orang yang terjebak dalam hingar-bingar keindividualan dan kekerasan kehidupan sosial masyarakat kota. Atas nama cinta, dia tinggalkan mewah ayah-ibu untuk kumpul kebo dengan kekasih. Begitu anak lahir, kekasih pun mungkir. Tanpa merasa salah, lelaki liar itu pindah ke wanita sebelah. Tinggallah Sumbi dengan bayi mungilnya yang sakit-sakitan. Tak ada kerja lain, selain menjadi mama (manusia malam). "Malam pekat... Perempuan itu masih bersandar di tiang traffic light. Suara orang mengaji dari menara mesjid, masih terdengar samar ditingkahi laju kenderaan satu-satu" (kutipan cerpen). Tatkala itu, sekelompok lelaki liar, brutal, malah memperkosanya. Tak ada pembelaan, kecuali lelaki liar berikut membawanya ke satu kamar hotel untuk menjadi santapan lelaki liar lain lagi. Ternyata, lelaki liar lain separuh baya itu adalah ayahnya sendiri. Tragis memang.Gara-gara cinta berbulu domba lelaki liar (tak sepadan, usil, merugikan) hidup perempuan litak dan anak haram itu menjadi terlunta-lunta. Menurut kita, kefanaan hidup Sumbi, selain akibat permainan cinta dan fakta sosial masyarakat kota, juga karena kekeliruan menafsirkan makna hidup. Dia melupakan Tuhannya. Sayangnya, M. Raudah Jambak hanya menceritakan tokohnya saja dan hanya sedikit memberi ruang pada tokoh itu untuk mengekpresikan dirinya secara lebih mendalam. Teknik ungkap mimpi (kenangan atau khayalan) dalam penceritaan sudah biasa dilakukan penulis, namun bukan berarti sudah kuno atau ketinggalan zaman. Jauh lebih penting, apa dan bagaimana cerita itu bisa masuk ke dalam teknik tersebut. Sampai sejauhmana kekuatan atau kelemahan hubungan antar bagian cerita bila menggunakan teknik ini. Hanya secara kebetulan saja, hubungan bagian itu dalam cerpen Ester Pandingan kali ini, sedikit menunjukkan kelemahan. Begitupun, kita dapat menangkap apa sebenarya yang ingin dicapai. Menyindir diri dan orang-orang yang memang acuh dengan potensi alam daerah sendiri, baik latar belakang, nilai-nilai budaya, maupun menjadi rujukan pariwisata. Misalnya Maria, meski katanya: "Jangan salahkan aku Keith… aku hanya tahu Tuk-Tuk" Rupanya disindir Keith, Maria (orang Batak) hanya tinggal di Medan tak tahu seluk-beluk Samosir, sementara dia (orang Australia) menetap di Australia sangat mengenal detilnya Samosir. Ada pelajaran yang menarik dari Keith, kontroversi, membuat kita telak. Cinta dan kekaguman pada keunikan alam merupakan harga tak ternilai. Dia susuri liku ujung dunia, meski tanpa saudara. Sebaliknya kita, menganggap semua itu tak bermakna, lalu ramai-ramai meninggalkan dan melupakannya. Kitapun bangga menjadi masyarakat kota, sibuk dan bahagia. Padahal di kota kitapun tak berarti apa-apa. Sayangnya, pecerpen kurang menggali nilai keunikan pasir putih, air terjun dan desa tinggi sebagai dasar cerita. Penulis; Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UISU Medan)

Selasa, 17 April 2012

Kemameleda, Karya Wahyu Wiji Astuti

Mihar Harahap.

Terus terang, saya mengenal karya Wahyu Wiji Astuti (disingkat WWA) baru ini. Tatkala, komunitas Omong-Omong Sastra membuat Buku Puisi (antologi bersama) dan Buku Cerpen (antologi bersama). Kebetulan saya dipercaya menjadi editor khusus menulis Kata Pengantar kedua buku itu. Dari puluhan penyair, pecerpen dan karyanya, terbacalah nama WWA yang mengirimkan puisi dan cerpennya. Dalam Kata Pengantar itu, saya katakan, WWA adalah penyair dan cerpenis masa depan Indonesia.
Tak lama berselang-dari saya menyelesaikan Kata Pengantar kedua buku Omong-Omong Sastra itu-bahkan tak ada selang, tiba-tiba WWA menghubungi saya, meminta dan lalu menyerahkan bukunya untuk dibicarakan. Sebuah buku antologi cerpen berjudul "Ketika Malam Merayap Lebih Dalam" (disingkat Kemameleda). Cetak perdana tahun 2012 oleh penerbit Tiga Maha Subang Jawa barat. Sayang, tak ada kata pengantar dari penerbit apalagi editor, kecuali Sekapur Sirih dari penulis sendiri. Menurut penulis (dalam sekapur sirih), Kemameleda ini, berfungsi 1). sebagai 'saksi sejarah' perjalanan hidup pribadi dan 2). merupakan 'saksi perjuangan' dalam meniti karir kepenulisan. Sungguh, saya merasa bangga karena penyair sekaligus cerpenis masa depan Indonesia ini, telah berani bersaksi. Saya sedikit kecewa karena sekapur sirih kurang merahnya atau tak menjelaskan proses kreatif, konsep kepengarangan dan unsur lain yang mendudukkan eksistensinya. Cinta Dalam Bayang Kematian Kemameleda, mengambil 23 cerpen yang ditulis dalam 3 tahun (2009-2011). Tahun 2009 ada 8 cerpen, Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Cinta dan persabatan, Lara, Pesan Tengah Malam, Rindu, ruwet, Sehelai Saputangan Hitam dan Untaian Mutiara Yang Lepas. Tahun 2010 ada 8 cerpen, Membaca Buku Kemameleda Karya Wahyu Wiji Astuti, Jejak sahabat yang Berkarat, Ketika Fajar beringsut Malu, Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja, Qiyamul-lail, Rahasia Hujan, Rumah Awan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear. Tahun 2011 termassuk tahun 2010-2011 ada 7 cerpen, Difined, Helena, Humai rah, Merakit Seperangkat Cinta, Kado Untuk lelakiku, Karya Kematian dan Pesan Diantara Gerbong Kereta. Melihat fakta ini saya menduga, kalau WWA telah memiliki disiplin menulis / mengarang antara 1-2 bulan sekali menghasilkan 1 cerpen. Hemat saya, cepat atau lambat menghasilkan cerpen tak masalah, yang penting disiplin menulis telah dimiliki dan itu merupakan awal yang baik dalam mempertahankan eksistensi. Dari 23 cerpen, terhimpun 11 cerpen yang bertema, subtema atau curahan perasaan tentang cinta; Cinta dan Persahabatan, Lara, pesan Tengah Malam, Rindu, Sehelai SaputanganHitam, Untaian Mutiara yang Lepas, Defined, Merakit Seperangkat Cinta, Helena, Kado Untuk lelakiku dan Pesan Di Antara Gerbong Kereta. Sebelas cerpen ditulis tahun 2009 dan 2011, tidak termasuk tahun 2010. Mengapa? Hanya pengaranglah yang tahu. Begitupun terkadang inspirasi, intuisi dan sensitivitas datangnya tak terduga. Dapatkah kita menulis cinta? Masihkah disebut karya sastra? Kenapa tidak! Sebab cinta antar manusia pun adalah wilayah kepengarangan, malah justru paling sensitif. Lagi pula keberhasilan cerpen, bukan tergantung berat-ringan atau apakah tema / subtema itu, melainkan sangat tergantung pada ada dan bagaimana cinta itu diungkapkan. Jadi, meski 50 persen buku ini berisi cinta dengan segala persoalan dan akibatnya, akan tetapi tetap merupakan karya sastra. Apakah karya sastra pop (umum, mudah dan ringan)? Memang, cinta yang ditampilkan melulu keluhan jiwa. Betapa tidak, hanya cerpen Cinta dan Persahabatan, Cinta, Helena dan Kado Untuk lelakiku, tokohnya masih terlihat stabil. Setelah itu, cinta (kontra dijodohkan bahkan lebih dominan diputuskan) membuat tokoh tidak stabil lagi. Jiwanya terguncang, lalu jatuh sakit, lalu mati. Pasrah. Atau tokohnya menjadi sakit hati, lalu marah, lalu dendam, lalu terbunuh, lalu mati. Bukan pasrah, melainkan perlawanan pasif, tetapi itupun juga tak berarti. Contoh cerpen cinta yang dianggap berhasil (dan menunjukkan ketakberdayaan bahkan kematian) adalah Lara (berangka tahun 2009). Kekuatan cerpen ini terletak pada plot, narasi pelukisan karakter pelaku dan bahasa yang digunakan. Perasaan memilukan terekspresi di hadapan pembaca. Kelemahannya, terletak pada detil cerita (alasan putus cinta, jenis penyakit dan akibat yang ditimbulkan), terlebih-lebih pemasungan karakter pelaku serta pemakaian akhiran 'nya' yang berlebihan. Menurut catatan, ada 7 cerpen yang mengekploitir ketakberdayaan dan 6 cerpen yang mengundang kematian. Ada apa dengan ketakberdayaan dan kematian dalam cerpen WWA? Apakah karena konsekuensi logis dari kualitas cinta yang mendasar di luluk hati? Ataukah karena ingin menampilkan sosok manusia, terutama perempuan, yang pesimistis dalam kehidupan bercinta? Atau karena penulis secara pribadi pernah gagal sampai merasa sakit hati pada setiap laki-laki? Pasti WWA yang bisa menjawab ini. Kemanusiaan Dalam Desing Peluru Selain menguak cinta, 12 cerpen lagi bertema, subtema atau curahan pikiran campur sari, persoalan keluarga dan kehidupan sosial. Meminati kerumahtanggaan, ada 9 cerpen yang disajikan penulis, antara lain terkait kemiskinan; Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Ketika Fajar beringsut Malu, Rumah Awan. Lagi-lagi tentang kematian; Jejak sabahat yang Berkarat, Karya Kematian dan hal kesabaran, anak, hutang dan penipuan ruwet, Qiyamullail, Rahasia Hujan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear. Menyoroti kehidupan sosial, disajikan penulis 3 cerpen yakni Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja dan Humairah. Berbicara kemiskinan, ada 'aku', seorang 'mama' (manusia malam) yang mampu menghidupi diri dan 5 bintang kejora walau bukan anaknya. Untuk-'ku' 'mama' bukan pekerjaan haram, apalagi bak sampah, melainkan pahlawan karena berjuang menghidupi bintang. Jadilah, bintang kejora sebagai alasan pembenaran untuk menghalalkan yang haram bahkan disebut pahlawan. Tampaknya, tidak hanya cerita Ketika Malam Merayap Lebih Dalam pada saja penulis menafikan logika dan etika dalam menyelesaikan persoalan cinta, kemiskinan, juga persoalan lain seperti kematian yang banyak diceritakan. Bahkan dalam cerpen Karya Kematian, tiba-tiba pelakunya mengalami kehilangan dan kematian. Satu hal, meski cerita mengalir terus dan mungkin tak dapat dibendung, namun keseimbangan logika dan etika dibutuhkan agar efek cerpen lebih realistis dan moralistik. Meskipun begitu, cerpen Ketika Fajar beringsut Malu, (berangka tahun 2010) dianggap berhasil, walau tak menjadi judul antologi ini . Kekuatannya (untuk unsur plot, pelukisan karakter pelaku dan bahasa) menunjukkan peningkatan, bila dibandingkan dengan cerpen Lara. Begitu pula dengan kelemahannya (untuk unsur detil cerita, pemasungan karakter dan pemakaian akhiran 'nya') mulai diperhalus / hilang. Karakter tiap pelaku (Suci, ibu Ali, Ali) mulai terlihat berdiri sendiri tanpa harus dipicu penulis. Dalam penelitian saya, aspek penokohan ini mengalami perkembangan. Kalau pada cerpen Lara (dan kebanyakan cerpen lainnya) tokoh cerita masih seputar diri dan jajaran, maka pada cerpen Ketika Fajar beringsut Malu, tokoh cerita berkembang ke orang di luar diri dan jajaran. Karena itu, aspek penceritaan pun makin meluas. Tidak lagi soal percintaan dan kematian, tetapi sudah meluas ke soal kemiskinan dan sentuhan kemanusiaan, meskipun masih dalam lingkungan sosial kehidupan penulis. Bagaimana pertanyaan logika dan etika? Pada cerpen Ketika Fajar beringsut Malu terasa mulai tertib. Kegigihan penulis memperjuangkan sub estetika demi kepentingan cerita, rupanya mendapat perimbangan juga dengan masuknya persoalan logika dan etika. Tuntutan realistis dan moralistik dalam cerpen tetap menjadi perhatian. Jelaslah kehadiran Suci, ibu Ali dan Ali dalam cerpen itu tidak dipaksakan, melainkan utuh sebagai tokoh (antara mengasihi dan dikasihi) dalam lingkungan sosialnya. Pada cerpen Humairah (berangka tahun 2011) unsur kemanusiaan justru mengalahkan ancaman keamanan diri. Memang, terkadang profesi menantang sikap dan keberanian seseorang. Tokoh 'aku'dalam cerpen itu telah membuktikannya. Dia berani ada di tengah-tengah konflik senjata (Israel-Palestina), beri perlindungan sekaligus membawa pulang Ummu Hanie ke Indonesia, menikahinya, lahirlah Humairah (kini berusia 4 tahun) dan dia berani kembali ke pergolakan Palestina-Israel dalan tugas yang sama. Harus diakui, terlihat dalam cerpen Humairah ini, kekuatan itu semakin lama semakin meningkat. Termasuk ide penceritaan pun semakin meluas dan bahkan amat spesifik.Bayangkan, di tengah-tengah gejolak perang, antara hidup (membunuh) dan mati (dibunuh), tokoh aku sebagai reporter tidak hanya melakukan tugas meliput berita, tapi dapat menyempatkan diri untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Pengarang menghendaki, kemanusiaan itu merupakan panggilan hati nurani. Terlepas dari relung kemanusiaan, ada hal yang menjadi perhatian saya. Pertama, ketika Humairah tertidur, ayahnya masuk ke kamar. Setelah bangun, terjadi dialog. Kata Humairah: "Ayah, Ira sudah pandai menulis ..." Seakan Ira baru saja bertemu ayahnya dan memberitahukan kepandaiannya. Padahal mereka bertemu sejak 4 tahun lalu. Kedua, pada dialog-dialog berikutnya, terlihat Ira (Humairah) seperti orang dewasa kecil. Dialog orang dewasa yang cerdas dan komitmen. Padahal Ira baru berusia 4 tahun. Kesimpulan saya, satu, buku Kemameleda, merupakan saksi sejarah / saksi perjuangan WWA sebagai cerpenis masa depan Indonesia. Dua, banyak cerpen tentang cinta manusia, di samping masalah keluarga dan lingkungan sosial. Semuanya menjurus pada kegagalan cinta, kematian, kemiskinan dan kemanusiaan. Tiga, tiap cerpen memiliki kekuatan (plot, narasi pelaku, bahasa) dan kelemahan (detil, pemasungan tokoh, pemakaian kata). Kekuatan estetika harus diimbangi unsur logika, etika, hukum, agama, dan sebagainya. Empat, saya bangga kalau WWA punya antologi. Apalagi kalau isinya bermutu. Saya suka baca cerpen Lara, Ketika Fajar beringsut Malu dan Humairah.

Penulis; Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UISU Medan.

MEMBACA SEKILAS JEJAK PETA KEPENYAIRAN WANITA SUMATERA UTARA

S. RATMAN Suras

Dibanding dengan pria, wanita lebih sedikit yang terjun kedunia sastra, apalagi puisi. Selama satu setengah dasawarsa ini saya melihat perkembangan sastra Sumatera-Utara banyak didominasi kaum pria. Memang satu dua muncul kepermukaan, tapi mungkin karena sesuatu mereka berguguran di tengah jalan. Sesuatu itu bisa

jadi, karena keluarga, cita-cita, karir, dan pekerjaan.
Dalam wacana ini saya tidak akan menyeret kita untuk berdebat tentang puisi atau penyair wanita / pria. Saya hanya mengingatkan kita bersama tentang semangat emansipasi wanita kita lewat sastra. Apalagi kini bulan april sudah mencapai pertengahan.
Perkembangan sastra Indonesia pun sudah mengabarkan kepada kita tentang miskinya penyair wanita. Hanya berapa yang bisa kita catat. Sebut saja, Isma Safitri, Rayani Sriwidodo, Toeti Heraty Noerhadi, Popy Hutagalung, Rita Oetoro, Diah Hadaning, Omi Intan Naomi, Dorothea Rosa Herliany, Azwina Aziz Miraza, Medy Lukito, Ulfathin Ch., Abidah el Khalieqy, dan Helvi Tiana Rosa. Dari nama-nama tersebut di atas hanya beberapa saja yang masih aktif sampai sekarang puisi-puisinya bisa kita nikmati.
Untuk peta kepenyairan wanita Sumatera-Utara sendiri sepertinya nyaris sama, sedikit sekali wanita yang menghiasi blantika sastra khususnya puisi. Dulu kita kenal nama-nama seperti, Murni Aryanti Pakpahan, Laswiayati Pisca, Susi Aga Putra, lalu ada Rosliani, Jerni Martina erita Napitupulu, Rosmaeli Siregar. Ada Aishah Basar, Nur Hilmi Daulay dan Sumiati. Sekilas nama-nama itu mungkin sudah menemukan dunia lain yang dianggap lebih menjanjikan dari dunia kepenyairan.
Memang ada kabar yang menyegarkan bahwa ada regenerasi di kancah perpuisian wanita di sini. Fenomena ini muncul pasca reformasi, banyak bermunculan kelompok-kelompok sastra dari sunia kampus. Nyaris setiap minggu kita bisa membaca puisi-puisi karya wanita kita di media massa cetak. Buku antologi puisi baik tunggal maupun bersama diterbitkan.
Dari hitungan tahun 1995 sampai kini ada beberapa antologi yang bisa dicatat. Antologi puisi Rentang (1995) penerbit Studio Seni Indonesia mengambil 10 puisi terbaik Sumatera Utara, dua diantaranya adalah wanita yaitu, Jerni Martina erita Napitupulu dan Rosmaeli Siregar. Antologi Bumi (1996) penerbit Studio Seni Indonesia bekerja sama dengan Forum Kreasi Sastra Medan mengambil puisi-puisi 18 penyair Sumatera Utara. Hanya ada dua penyair wanita yang mewakili di dalamnya, yaitu Rosliani dan Jerni Martina erita Napitupulu. Lalu antologi serial Tengok (2000) Arisan Sastra Medan (Arsas) yang konon hanya sampai 4 dari 5 rencana terbit. Hanya satu penyair wanita yaitu Aishah Basar. Untuk antologi puisi tunggal hanya dua buku yang sempat saya punya, yaitu Kemuruh Nur Hilmi Daulay Penerbit Laboratorium Medan (2007) dan Benih Rindu karya Sri Yuliani diterbitkan oleh Pustaka Pemuda Medan (2011).
Walau nampak samar-samar namun perjuangan penyair wanita Sumatera Utara masih bisa kita baca. Mereka berjuang tidak hanya berjuang untuk menyuarakan kaumnya, tapi juga secara umum berusaha memotret dan mengkritisi kondisi sosial di sekitarnya.
Aku Tetap Menunggumu
.................................
walau entah berapa kali sudah
bulan purnama hadir
dikala padi kembali berkali-kali di panen
kapalpun sudah berlayar entah beberapa negeri
dan rambut hitamku jadi kelabu
tapi harapku padamu tak pernah luluh dan beku
...............................
Penjelasan wanita setia dan patuh terhadap kekasihnya dituangkan oleh Rosmaeli Siregar dalam puisinya Aku Tetap Menunggumu (Rentang , 1995). Sedang Aishas Basar dalam 12 puisinya yang dimuat dalam tenggok 3 banyak mengangkat tema-tema "Pemberontak" yang disampaikan dengan sangat halus namun nyelekit. Kita baca puisi pendeknya
Yang Tak Sampai
Selembar amarah
tersobek sia-sia
tak siapa membaca
Puisi ini mengandung majas personifikasi berusaha melukiskan kondisi rasa ngilu hati melihat situasi yang sering terjadi di masyarakat kita. Contoh paling baru adalah demo besar-besaran mahasiswa dan rakyat umum tentang harga BBM, toh tetap naik juga walau ditunda. Jadi terasa sia-sia saja apa yang dilakukan para pendemo. Disamping melukiskan pemberontakan kaumnya yang tertindas, Aishah juga menulis puisi balada yang memelas kepada Sri. Rasa putus asa dan nasib yang menimpa kaum wanita hanya bisa dilakoni dengan kata pasrah. Puisi-puisi pendek Aishah terasa padat dengan pilihan diksi yang kuat menciptakan renungan kehidupan yang dalam.
Pencarian jati diri sebagai manusia juga banyak diangkat ke puisi Nur Hilmi Daulay dalam antologi tunggalnya Gemuruh: Pada Pemilik Teduh. Ia sadar bahwa manusia Cuma bisa berencana, Allah SWT yang menentukan segalanya.
........................
padahal sudah membaur lafal namamu menyatu riuhku
sudah kujeritkan cintaku hatiku penuh suara hanya padamu
dan kornea ini tak kenal wajah, tak kenal arah
tangis telah jelma lentera
............................
Nur Hilmi Daulay, dalam antologi ini menulis 68 puisi dengan beragam tema. Lain lagi Benih Rindunya Sri Yuliani, penyair wanita yang satu ini banyak mengangkat tema cinta, rindu, mimpi, dan benci. Cinta tidak hanya percintaan kaum remaja namun cinta yang lebih luas jangkauannya. Kita terasa dihanyutkan alam fitrah manusia.
Ada rindu, sunyi, sepi dan kehampaan. Namun ada juga harapan dan impian karena arus global pada era yang canggih ini alam dieksploitasi sedemikian kejam oleh manusia. Sri merasa miris saat melihat kondisi yang demikian. Cinta kepada ibundanya juga berkali-kali diangkat dalam puisi-puisinya. Salah satunya adalah Bunda.
...............................
menjadi tak sempurna aku
ketika bercermin
kesabaranmu
tak mampu
Kukalahkan dalam
wujud apa pun
saat ini!
aku mencoba belajar sepertimu
sebelum kutempuh kodratmu
menjadi pendamping ksatria
..................... ............
Seiring dengan dinamika kehidupan, penyair-penyair wanita Sumatera Utara pasti akan tetap bermunculan. Kita masih menunggu karya-karya dari Intan HS, Budiah Sari Siregar, Sartika Sari, Sakinah Anissa Maris, Wahyu Wiji Astuti, Ria Ristiana Dewi, Ayu Harahap, Adlya Eka Putri, Winda Sriana, Ulfa Zaini, Febri Mirah Rizky, Zuliana Ibrahim, Dara syahadah, Erni Wirdianingsih, Nur Wida Sari Lubis serta nama-nama lain yang masih terus bekerja keras melahirkan karya-karyanya dalam puisi.
Hal mereka mandek setelah menuju pelaminan itu soal pribadi mereka masing-masing. Kata orang tua kita dulu, wanita apapun profesinya ia tetap berkutat dengan segitiga sama sisi; dapur kasur dan sumur.

Disampaikan Pada Diskusi Omong-Omong Sastra di Uisu 15 April 2012


S. RATMAN Suras lahir di desa Wringin Harjo Kec. Gandrung Mangu Cilacap Jawa Tengah tanggal 8 oktober 1965. Belajar sastra secara otodidak. Buku kumpulan puisinya Gugur Gunung (1996) diterbitkan oleh sanggar Toko Sastra Kecil (ksk) Deliserdang.

Menggugat Kembali Peran Sosial - Politik Sastrawan

Jones Gultom.

BAGIAN klasik dari diskursus sastra adalah menyangkut perannya di tengah gejolak sosial. Bukan soal kontekstual atau tidak, tetapi apakah sebuah karya sastra masih cukup mampu memberi harapan di saat kehidupan sosial-politik sebuah bangsa berantakan, seperti yang terjadi pada negeri ini? Dimanakah sastra kita tempatkan, ketika mendapati masyarakat yang sudah putus asa dengan hidupnya? Saya kira, pertanyaan dan keprihatinan inilah yang mendasari perdebatan tentang politik sastra di Rebana, beberapa waktu lalu. Kini, patut direnungkan lagi, sambil kita menghadapi kenaikan harga BBM, April 2012 ini.
Sayang, tak ada penelitian menjelaskan, seperti apa sebenarnya pengaruh sastra terhadap pembacanya. Tak seperti survey politik yang lazim dilakukan, terutama menjelang pemilu. Mungkin ini yang membuat banyak sastrawan kita gamang, tak percaya diri, lantas tak berani bicara sosial-politik. Lantas berapologi, sastra harus tak berpihak. Dengan sikap seperti ini, wajarlah jika kemudian sebagian besar akhirnya beralih profesi, walau tetap mengaku sebagai sastrawan.

Sejarah perkembangan sastra di Indonesia, setidaknya diklasifikasikan atas beberapa bagian, antara lain; Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 2000 dan Angkatan Reformasi. Pengelompokan ini lebih didasari fokus garapan dan kurun waktu yang berlangsung. Ada juga versi yang memilah berdasarkan ketokohan sastrawannya. Sebut saja Angkatan 45 dan 66 yang populer karena kehadiran Chairil Anwar dan Taufik Ismail. Masing-masing angkatan menyuguhkan ciri khasnya sendiri. Angkatan Pujangga Lama misalnya, lahir untuk memberontaki mitos-mitos yang berlaku dalam sistem masyarakat tradisi. Seperti yang diangkat dalam novel Siti Nurbaya, oleh Marah Rusli. Fungsinya kemudian berkembang di masa Angkatan Balai Pustaka. Seiring mulai terbentuknya konsep negara kesatuan, rasa nasionalisme pun mulai tumbuh di kalangan cendikiawan.

Di fase itu sastra mengambil peran ganda, karena juga dijadikan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Meski ada berpendapat sebaliknya; angkatan ini merupakan underbow Belanda, sehingga memunculkan Angkatan Pujangga Baru sebagai tandingan, yang kemunculannya sekurun waktu dengan Angkatan Balai Pustaka.

Selanjutnya, seiring masuknya peradaban millennium yang dirayakan di segala penjuru dunia, menandai kelahiran Angkatan 2000 dengan cirinya yang postmo, walau sebagian sastrawannya adalah Angkatan Pujangga Baru. Di masa ini, karya-karya sastra bermunculan dengan ragam warna dan corak. Babakan masing-masing angkatan ini bukanlah rentang waktu proses kreatif sastrawannya, namun setidaknya boleh dianggap sebagai fase "puncak" kemunculan mereka.

Dari perjalanan sejarah ini, setidaknya kita menemukan beberapa hal. Pertama, bersastra juga merupakan cara untuk melibatkan diri dalam situasi sosial perpolitikan. Dengan begitu sastrawan juga adalah seorang sosiolog bahkan politikus. Kedua, karena memadukan realita dengan kedalaman insight yang dimiliki, sastrawan bahkan setingkat lebih tinggi dari seorang ilmuwan. Ketiga, karena kebiasaannya yang reflektif, sastrawan pun dianggap sebagai "ahli nujum" yang tahu membaca masa depan. Syarat-syarat inilah yang menjadikan karya seorang sastrawan menjadi penting untuk dibaca. Sejarah Indonesia juga membuktikan, para sastrawanlah yang membangun bangsa ini. Atau setidaknya dia juga melakukan kerja-kerja politis.

Sejak Ronggowarsito sampai M. Yamin. Dari AA. Navis sampai Mukhtar Lubis. Pramoedia, Goenawan Muhammad, Rendra, Arief Budiman, Fuad Hassan, bahkan Gusdur. Tokoh-tokoh ini didengar bukan semata-mata karena karya sastranya, tapi juga kerja politiknya yang didasari atas karakter kesastrawanannya. Tak heran jika Soekarno pernah menyitir; "jika fakultas kedokteran ditutup, maka 3-5 tahun ke depan kita akan kekurangan dokter. Begitu juga jika fakultas hukum ditutup, maka 3-5 tahun lagi kita akan kekuranagn hakim dan pengacara. Jika fakultas sastra ditutup, bahkan di seluruh universitas dunia, sastrawan tetap akan muncul dengan sendirinya." Karena seorang sastrawan bisa saja lahir dari gejolak sosial, ekonomi, budaya, terutama politik.

Angkatan Reformasi (?)

Sama dengan angkatan-angkatan sebelumnya, Angkatan Reformasi lahir juga mengusung semangatnya sendiri. Terbukanya kran berkreativitas sebebas-bebasnya, disambut para sastrawan di penjuru nusantara. Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkan istilah ini. Angkatan ini digawangi oleh sejumlah sastrawan yang mencuat serta didasari oleh semangat reformasi. Sayangnya Angkatan Reformasi ini tidak setangguh angkatan-angkatan sebelumnya, terutama jika dikaitkan dengan moment yang melahirkan mereka. Bahkan angkatan ini nyaris tak memunculkan satupun sastrawannya, kecuali Wiji Thukul. Momentum reformasi gagal membesarkan angkatan ini. Dia kalah progresif dengan dunia sosial dan politik yang sukses besar melahirkan tokoh-tokoh politik yang kini menjadi icon. Tak heran, hampir tak ada karya sastra yang terbilang penting, bagi keindonesiaan, lahir di fase ini. Sampai kemudian tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata pun berkibar.

Dalam kaitannya dengan sosial-politik, dunia sastra di masa sekarang ini, boleh dibilang gagal, karena tak memberi sumbangan yang cukup berarti. Ketika korupsi dimana-mana, harga-harga melambung tinggi, konspirasi yang merajalela, masyarakat yang berubah anarkis, kemiskinan, pembohongan publik, seperti yang berlangsung sekarang, dimanakah suara sastrawan?

Saya termasuk rajin mengamati opini-opini yang dimuat di media massa lokal dan nasional. Hanya ada 1-2 sastrawan yang rajin memberikan pemikirannya, termasuk sekedar menunjukkan simpati. Padahal ketika kongres sastrawan diadakan, pesertanya bisa sampai membludak.

Menurut saya, banyak hal yang menyebabkan ketimpangan ini. Pertama, para sastrawan kita tak mampu dan tak terbiasa mengangkat isu-isu sosial-politik dalam karyanya. Ketika reformasi meletus, para sastrawan gagal menangkap momentum itu. Dinamika sosial-politik bergerak ibarat bola salju, dunia sastra kita masih terjebak dengan indetitas angkatan sebelum-sebelumnya. Akhirnya sastrawan kita tak mampu mengejar isu dengan perwujudannya yang kontekstual. Wajar jika kemudian masyarakat yang sempat betah membaca karya sastra, pergi menjauh. Ditambah lagi dengan bergesernya perhatian industri penerbitan dari karya sastra.

Saya kira, inilah efek dari kebiasaan para sastrawan yang terdogma dengan sentralisme media. Para sastrawan "mati-matian" bermanuver, membahas bahkan menduga-duga seperti apa ciri yang diminati media yang dinilai prestius itu. Alhasil, proses kreatifitasnya hanya sekedar ambisi-publikasi. "Semangat" itupula yang membuatnya lupa dengan dunia di luar sastra yang semakin "panas" itu.

Kedua, eforia Angkatan 2000 yang belum selesai. Seperti disinggung sebelumnya, keanekaragaman karya sastra kita memuncak di Angkatan 2000. Afrizal Malna muncul dengan puisi instalasi urbannya. Joko Pinurbo menyuguhkan puisi filsafat eksitensi yang mengkontruksi benda-benda keseharian. Pada cerpen ada Seno Gumira Aji Darma, yang gemar mendramatisir sesuatu yang realita maupun fiksi dengan penekanan pskilogis. Begitu juga Hudan Hidayat yang sukses mendekonstruksi teori-teori psikologi, termasuk pewayangan. Di novel yang cenderung didasari semangat feminis, berhasil melahirkan novelis-novelis bermutu semisal Ayu Utami, Djenar, Dewi Lestari yang menghadirkan "keharuman" karyanya masing-masing.

Pengaruh para sastrawan ini masih cukup kuat sekaligus menghipnotis para sastrawan Angkatan Reformasi. Alhasil Angkatan Reformasi sampai ini belum menemukan jati diri di zamannya sendiri.

Kalah Langkah

Tulisan ini tidak hendak mendiskreditkan para sastrawan Angkatan Reformasi maupun karya-karyanya. Kenyataannya, sastra kita sekarang ini tak mampu berbuat apa-apa bagi masyarakat, khususnya pembaca, adalah hal penting yang harus dijawab.

Sebagai perbandingan, ketika gejolak sosial-politik melanda Bangsa Indonesia, setidaknya satu dekade ini, hampir tak didapati karya-karya sastra yang mengangkat situasi ini. Justru kiblat sastra semakin liar, bahkan, mengutip istilah Yulhasni- konteks-teksnya makin semu. Bilapun kearifan lokal yang coba digagas kembali sebagai alternatif postmodrenisme, justru terperangkap pada kedangkalan tafsirnya sendiri.

Kemampuan dialektis sastrawan yang dangkal menjerumuskan sastrawan ke dalam mahzab yang sempit; sekedar penanda identitas kelompok-kelompok masyarakat. Sebaliknya, agresivitas sosial-politik yang makin tak terbendung itu, kini makin merangsek ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Saya khawatir, adakah situasi ini menjadi kekhawatiran para sastrawan?

Kritikus Sastra di Sumut Ketinggalan Zaman

Yulhasni.

Akhirnya, posisi dan kebutuhan mengkritisi karya tidaklah seburam gumaman Yulhasni. Biarkan dia mengalir seirama zaman. Mengapresiasi atau mengkritisi kembali apakah dengan atau tanpa teori, selama kita memahami, kritik dimaksudkan untuk menemukan solusi bukan menambah konflik, silahkan saja. Toh, tanpa kritikus sastrawan tetap lahir. Lantas bagaimana sebaliknya? Terserah kita menafsirkannya. Salam.
Sengaja saya mengutip tulisan M Raudah Jambak berjudul ‘’Tanpa Kritikus Sastrawan tetap Lahir’’ di rubrik Rebana harian ini (1/4) untuk membuka sebuah tahapan pemahaman kita tentang kritik dan cara pendekatannya, terutama jika dikaitkan dengan sastra di Sumatera Utara. Tulisan itu muncul sebagai respon atas tulisan saya berjudul ‘’Minimnya Teori Kritis terhadap Karya Sastra Sumut’’ yang dimuat harian ini pada 18 Maret 2012.

Sejarah panjang kritik sastra Indonesia tentu melahirkan bermacam pendekatan. Pada level tertentu di beberapa perguruan tinggi, pendekatan karya sastra masih melekat dalam satu konsep ‘’sastra yang otonom’’. Cara pandang ini sebenarnya telah lama ditinggalkan oleh kaum akademisi di beberapa daerah, terutama Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Bali. Cara pandang seperti itu, meminjam Faruk HT, erat kaitannya dengan bagian integral dari kritik sastra Indonesia modern yang bermetamorfosis dari cara pandang sastra modern yang berkisar pada soal oposisi hierarkis antara kebenaran dengan kesemuan; kenyataan dengan representasi; dan kedalaman dengan permukaan.

Konsep bahwa sastra adalah dunia yang otonom mengakibatkan tidak terjadinya proses dialektika dalam kritik sastra di daerah ini. Saya kemudian harus memberi catatan penting soal betapa tertinggalnya daerah ini dalam hal kritik sastra itu sendiri.

Cara pandang kita terhadap sastra, terutama yang dimuat di media cetak di daerah ini, seringkali alergi dengan perkembangan teori sosial yang berkembang di dunia. Bahkan lebih ironisnya, di perguruan tinggi pun, teori-teori sosial baru yang kemudian bermuara kepada pendekatan karya sastra, ternyata tidak mendapat tempat. Alhasil, studi mahasiswa pun akhirnya terpola kepada model teori struktural yang sebenarnya telah jadi fosil tersebut.

Model pendekatan karya sastra di daerah ini sudah semestinya diarahkan kepada bentuk-bentuk baru dalam teori ilmu sosial. Sastra tidak lagi harus berdiri di menara gading yang dengan sendirinya harus dipahami dalam teks tertulis saja. Memahami beberapa novel sejarah seperti Berjuta-juta dari Deli karangan Emil W Aulia atau Acek Botak karya Idris Pasaribu, semestinya harus didekati dengan model teori postkolonial. Jika teks dalam kedua karya ini didekati dengan model struktural, maka esensi utama dari keduanya tidak akan tercapai. Teori postkolonial memungkinkan teks dalam kedua novel, dipahami sebagai pesan penting tentang penindasan model Barat atas Timur. Satu konsep yang sejak lama sudah diperkenalkan oleh Edward Said.

Beberapa puisi, cerpen, naskah drama dan novel telah lahir di daerah ini. Selalu saja penilaian atas karya tersebut berhenti pada struktur karya, tanpa mampu memberi ruang pemikiran yang lebih luas tentang apa di balik teks karya tersebut.

Bangku perkuliahan semestinya cepat keluar dari kungkungan teori-teori klasik yang telah usang. Dalam sejarah pendekatan karya sastra, perkembangannya begitu cepat. Kita mengenal urutan teori sastra, yakni teori moral, teori ekspresif, biographical criticism, new criticism, psikoanalisis, marxisme, reader response (resepsi), strukturalisme, postrukturalisme dan dekonstruksi, posmodernisme, feminisme, new historicism, poskolonialisme dan cultural studies.

Pada saat sekarang, ketika berbagai ilmu sosial berkembang, teori pun mengikutinya lewat seperangkat metode yang digunakan. Makanya, konsep Critical Analysis Discourse (CDA) atau Analisis Wacana Kritis menjadi relevan dikembangkan untuk melihat kesejatian karya sastra di daerah ini. Widyastuti Purbani dalam tulisan berjudul ‘’Metode Penelitian Sastra’’ menulis kata kritis (critical) dalam CDA membawa konsekuensi yang tidak ringan.

Pengertian kritis di sini bukan untuk diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis menurut Ruth Wodak -seorang pemikir neo-marxis yang banyak dipengaruhi Mazhab Frankfurt model Jurgen Habermas- hendaknya dimaknai sebagai sikap tidak menggeneralisir persoalan melainkan memperlihatkan kompleksitasnya; menentang penciutan, penyempitan atau penyederhanaan, dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna refleksi diri melalui proses dan membuat struktur relasi kekuasaan dan ideologi yang pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang. Kritis juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatif.

Dengan menggunakan metodologi seperti ini, kita mampu menangkap pesan-pesan penting adanya relasi kekuasaan pada novel Berjuta-juta dari Deli dan Acek Botak. Kungkungan struktur yang membangun kedua novel tersebut tidak lagi sebagai hal yang harus diributkan, ataupun kemudian ditarik berbagai cara untuk mengkaji dalam konsep sastra yang otonom tersebut.

Karya-karya sastra di daerah ini mungkin terlalu banyak yang berbicara tentang protes sosial atas ketidakadilan majikan (tuan) terhadap buruh, terutama jika mencermati praktik dehumanisasi di perkebunan. Sayangnya, dalam studi-studi sastra kontemporer di daerah ini, terlalu sedikit yang mencoba melirik karya tersebut lewat pendekatan baru dalam ilmu sosial. Selain itu karya-karya sejenis ini telah lama dikubur oleh rezim Orde Baru karena dinilai bagian dari sebuah model gerakan politik, seperti apa yang terjadi pada karya-karya pengarang pengikut Lekra. Hal yang sama juga terjadi terhadap karya sastra etnis Tionghoa yang hilang tak berbekas sebagai akibat praktik ‘kasar’ Orde Baru.

Sastra Melayu-Tionghoa atau Sastra Indonesia-Tionghoa, seperti ditulis Irwansyah, adalah sastra kaum minoritas. Nasibnya tampak lebih jelek dari roman picisan dan novel pop. Kedua yang disebut terakhir, hanya dipandang dengan sebelah mata, sedangkan sastra Indonesia Tionghoa hanya dilirik sekilas. Ketiganya seakan-akan tidak punya andil dalam dunia sastra Indonesia.

Patut disayangkan, karena model pendekatan dalam kritik sastra di daerah ini masih percaya kepada struktur karya yang mengakibatkan banyak karya sastra yang tidak mendapatkan apresiasi dari pembaca. Kritikus sastra -entah ada atau tidak di daerah ini- terperangkap kepada satu model yang keliru, yakni melihat karya hanya dalam batasan karya sebagai bentuk yang otonom. Kekeliruan ini akibat studi sastra yang juga keliru dalam menerjemahkan perkembangan teori sastra di Indonesia.

Penilaian karya sastra tidak berhenti hanya pada persoalan layak atau tidaknya seorang redaktur media cetak menilai sebuah karya. Sayangnya tulisan Raudah Jambak keliru menafsirkan pemikiran saya tentang apa itu ‘teori kritis’ dan ‘kritik teoritis’. Teori kritis memandang sastra dengan konsep antiotonom, sedangkan kritik teoritis merupakan model kritik terhadap karya sastra dengan menggunakan metode-metode tertentu. Tidak ada hal yang krusial ketika seorang redaktur media cetak menjadi penilai karya sastra, akan tetapi konsep yang saya maksud adalah peranan ‘orang luar’ terutama mereka yang selalu mengaku sebagai kritikus sastra di daerah ini untuk tidak terkungkung dengan metode pendekatan yang sudah kadaluarsa alias ketinggalan zaman.

Penulis; Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik USU

Tanpa Kritikus Sastrawan akan Tetap Lahir

M. Raudah Jambak.

Terlalu banyak persoalan yang berhubungan dengan sastra atau kritik sastra yang menarik untuk dibicarakan. Lebih menariknya lagi, persoalan yang mengemuka selalu itu ke itu saja. Tak pernah selesai. Tak jelas ujung-pangkalnya. Setiap kali diulang masih selalu saja mencuri perhatian kita. Masih tetap menarik untuk disimak.
Setiap tahun persoalannya selalu sama. Bahkan tawaran penyelesaiannya juga tak jauh beda. Terhitung tahun, bulan, minggu, hari, maupun detik. Tak ada yang berbeda. Decak kagum selalu mencuat ke permukaan. Persoalannya, apakah kita sudah terbiasa mengulang-ulang yang sudah ada? Justru kita memang tumpul untuk menciptakan sesuatu yang baru. Apakah kita sudah imun dengan yang namanya kemajuan, sehingga tidak mampu lagi menjadi seorang penemu, pemikir atau penggali yang jenius terhadap karya-karya yang hadir.

Kita maklum, produktivitas (kreativitas) karya jauh melesat kuantitasnya. Ratusan bahkan ribuan karya tak terbendung lagi kehadirannya. Untuk hal itu kita mau tidak mau harus angkat jempol sekaligus angkat topi.

Pun, termasuk berbagai ulasan yang hadir. Baik itu sebatas apresiasi, bahkan kritik. Apresiasi karya atau apresiasi hasil apresiasi. Kritik karya atau kritik hasil kritik. Kita pernah membaca tulisan Sitor Situmorang tentang, Krisis HB Jasin dalam Mimbar Indonesia Th. IX No. 2-3; sastra di Indonesia sedang mengalami krisis ukuran.

Pengukuran pencapaian estetika karya menentukan seberapa pentingnya (berpengaruhnya) seorang sastrawan. Baginya, setiap sastrawan dan karyanya harus dikaji dengan ide-ide yang melingkupinya. Dalam hal ini, lantas tentu tidak meletakkan karya sastra di atas timbangan atau dipeluk penggaris. Kita tidak terjebak dengan pemerkosaan ide dalam sebuah karya sastra. Memang batasan antara struktural, estetika dan ide sangat tipis. Ruskin melihat hal ini mengatakan, keindahan karya ditentukan oleh keluhuran perasaan yang diungkapkannya.

Kemampuan merasakan atau kepekaan tidak lepas dari selera. Seperti halnya Hazlitt, seorang kritikus, menilai tidak lebih dari selera (taste)-nya, tapi dengan sejumlah alasan dan data dari karya sastra. Selera baginya, "kepekaan rasa terhadap berbagai macam tingkatan dan jenis kejeniusan dalam karya-karya seni…" Penilaian, tambahnya, seperti halnya memberi penghormatan pada karya sastra.

Seperti apa yang telah digumamkan oleh Yulhasni, studi sastra dalam perkembangannya di tanah air selalu melahirkan berbagai wacana dan polemik yang menarik untuk dicermati. Pada dekade 80-an dan 90-an, studi sastra dalam pendekatannya pernah dihebohkan dengan munculnya gerakan postmodernisme atau sering disebut sebagai pascastrukturalisme. Pada masa itu kemudian teori dekonstruksi Derrida jadi wacana yang menghangatkan diskursus sastra di Indonesia. Sebelumnya A. Teeuw menyentakkan dunia akademisi di Indonesia dengan esainya ‘’Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi’’. Dalam esainya, profesor Belanda ini menyatakan ketidakpuasannya atas hasil analisis dosen sastra terhadap dua sajak modern Indonesia.

Begitulah, dunia akademisi dengan seperangkat teori yang dikunyah lewat rak-rak buku, jadi bentangan kesia-sian belaka. Barangkali memang ada kesalahan pemahaman ketika berhadapan dengan teks sastra.

Di Sumatera Utara, nyaris tidak dapat ditemukan studi kritis yang lebih menukik saat berhadapan dengan karya sastra di daerah ini. Bahkan saat membaca beberapa tulisan di rubrik Rebana ini, baik berupa ulasan terhadap cerpen, puisi, maupu novel, hampir semuanya terperangkap pada pendekatan yang mengabaikan proses pembacaan yang kritis.

Mungkin telah terjadi kekeliruan yang menahun di bangku perkuliahan ketika mahasiswa disodorkan seperangkat teori sastra. Lebih memprihatinkan teori yang disodorkan, sama sekali keluar dari realita teks itu sendiri. Alhasil, dalam model pendekatan struktural, teks hanya dimaknai sebagai satu yang otonom tanpa ada faktor luar yang mempengaruhinya. Inilah faktor penyebab mengapa kemudian sastra menjadi kering saat dibedah oleh kaum akademisi. Di lain pihak, tema dan gagasan tentang karya sastra di Sumut masih bicara tentang kelamin, sesuatu yang sebenarnya adalah cerita lama dalam khazanah sastra Indonesia.

Beberapa karya sastra yang lahir di Sumatera Utara, terutama yang terbit di media cetak, diyakini tidak pernah mampu dikritisi secara cermat. Bahkan dalam praktik pendekatannya, tiga bentuk pertanyaan yakni (1) bagaimana cara menafsirkan isi karya sastra, (2) bagaimana dan kenapa suatu karya sastra diciptakan, dan (3) apa implikasi sosial budaya dari karya itu, pada kenyataannya tidak mampu terjamah kaum akademisi sastra. Pada bagian inilah kemudian muncul pendekatan Teori Kritis untuk menjawab tiga pertanyaandi atas.

Gumaman itu, tetap menarik dicermati, apalagi beberapa waktu lalu, juga acap kita membaca apresiasi plus kritik yang mengemuka. Misalnya persoalan politik dan kritik, jenis kelamin sastrawan dan sebagainya.

Saya pernah menulis dalam bentuk kertas kerja Omong-Omong Sastra beberapa waktu lalu tentang "Kritikus dan Sastrawan saling kehilangan" dan "Dimana keberadaan Kritikus ketika Sastrawan tidak lagi berkarya", serta "Masih perlukah kritik?".

Ketika kita berbicara persoalan zaman, mungkin kritikus masih layak mendapatkan posisi terhormat, jika kita bicara masa lalu. Zaman sekarang dengan media yang cukup menjanjikan misalnya, selain surat kabar dan majalah, kita bisa mengirimkan ke media-media online.

Masuk ke persoalan gumaman Yulhasni, apakah masih perlu kritik ketika redaktur sudah bertindak sebagai kritikus terhadap karya yang masuk. Ketika kita bicara tentang kritik teoritis terhadap karya, maka dimanakah posisi skripsi atau thesis yang lahir selama ini? Berharap kritik teoritis masuk dalam surat kabar atau majalah, yang perlu kita pertanyakan, apakah kualitasnya tercapai? Bagaimana dengan buku?

Minimnya teori kritis terhadap karya sastra Sumut disinyalir oleh Yulhasni tentang, beberapa ulasan terhadap karya sastra di rubrik ini, misalnya, tidak menyentuh kepada substansi teks yang hendak dikritik. Tulisan Jones Gultom berjudul Sastra Medan Krisis Estetika, (Analisa, 26 Februari 2012) menarik dicermati, karena sebenarnya ada ruang untuk mengatakan, proses kreativitas anak Medan hanya berhenti pada katarsis. Lebih jelas jika teks-teks puisi dipaparkan dan dilihat pada bagian mana sebuah puisi dikatakan berhenti pada katarsis. Sejumlah tulisan Mihar Harahap dalam kaitan bedah cerpen Rebana, mestinya harus meletakkan teks secara mandiri. Dalam dekonstruksi, pemahaman terhadap sebuah teks lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat.

Pada tulisan Mihar Harahap berjudul Membaca Cerpen Rebana April 2011 (Analisa, 8 Mei 2011), misalnya, sejumlah cerpen yang dikritisi tidak memiliki kekuatan konflik dan perwatakan yang jelas. Dalam dogma strukturalis, kajian seperti ini memang diarahkan ke pembangunan struktur karya. Sejatinya dalam kajian Teori Kritis, tidak perlu sekali dilihat strukturnya melainkan apa di balik teks-teks yang tertulis.

Kelemahan mendasar dalam pendekatan terhadap karya sastra di Sumut, tidak karena faktor pembacaan yang tidak intensif. Ada bangunan besar dalam studi sastra di daerah ini yang salah, karena terlalu lama menuhankan strukturalisme sebagai nabi teori sastra.

Literatur terkait Teori Kritis sama sekali jarang diajarkan di perguruan tinggi karena faktor ketiadaan bahan, tenaga pengajar yang tidak memahami dan tentu saja karena ketidakbutuhan kita pada hal-hal yang baru.

Akhirnya, posisi dan kebutuhan mengkritisi karya tidaklah seburam gumaman Yulhasni. Biarkan dia mengalir seirama zaman. Mengapresiasi atau mengkritisi kembali apakah dengan atau tanpa teori, selama kita memahami, kritik dimaksudkan untuk menemukan solusi bukan menambah konflik, silahkan saja. Toh, tanpa kritikus sastrawan tetap lahir. Lantas bagaimana sebaliknya? Terserah kita menafsirkannya. Salam.

Penulis; Direktur Komuntias Home Poetry dan Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan.

MEMILIH TIDAK MEMILIH ADALAH PILIHAN

M. Raudah Jambak.

Kita adalah makhluk cerdas yang porsi fisik dan psikisnya, berbeda dengan makhluk yang lain. Kecerdasan itulah membuat manusia mampu menjadi seorang kreator. Sebagai seorang kreator, manusia mampu menjadikan peristiwa di sekitarnya menjadi kata, menjadi makna, menjadi sesuatu. Termasuk menjadi ruh karya seni maupun KARAYA budaya. Kita bisa menafsirkan 'seuatu' itu menjadi apa dan siapa saja. Tentu masing-masing punya dasar pemikiran berbeda.
Dasar pemikiran yang kita maksudkan adalah kejujuran berkarya. Dengan kata lain, motivasi apa yang melatarbelakangi seseorang itu berkarya. Bisa karena uang, bisa karena ingin terus mengasah ketajamannya berkarya dan lain sebagainya. Apapun dia, kreator itulah yang tahu. Kita tidak berhak langsung memvonisnya harus begini dan begitu. Seperti yang pernah disinggung oleh Hang Kafrawi. Peristiwa yang terhampar di alam ini, merupakan ruh karya seni. Bukankah seniman 'pembajak' yang handal menjadikan hamparan peristiwa 'taman bunga' tempat pikiran manusia lainnya bermain? Di taman bunga itulah manusia diharapkan menafsirkan peristiwa yang terjadi dengan hati nurani, sehingga bermunculan bunga kesadaran untuk mengenal diri lebih dekat lagi. Inilah hakikat karya seni; dapat menjadi penyuluh bagi manusia. Pada hari ini, seniman seakan kehilangan ruh untuk menukangi karya seni dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Bermunculanlah karya seni yang 'menjauh' dari kondisi masyarakat. Dalam karya seni, seniman hanya bercerita tentang keluh-kesah pribadi; tersebab putus cinta (sebagai salah satu contoh). Karya seni bukan menjadi keluh-kesah universal, tapi lebih banyak kegelisahan individu sang seniman. Karya seni tak menyentuh hati orang banyak, dia berjalan sendiri dengan 'kelukaan' yang maha sunyi. Mungkinkah peristiwa yang terjadi di negeri kita pada hari ini melebihi perasaan sensitif para seniman? Kita setiap hari disuguhi peristiwa yang mengiris hati nurani; seorang nenek mencuri kakau diganjar hukuman lima tahun penjara. Seorang anak mengambil sandal jepit 'dipelasah' dengan hukum penjara. Penegak hukum dengan perkasanya menghabisi nyawa tahanan yang tergolong muda. Pihak keamanan yang tidak berpihak kepada rakyat dengan leluasa melepaskan tembakan ke rakyat kecil. Seorang ibu dituduh mencuri enam buah piring majikannya dan dihukum penjara selama 140 hari. Peristiwa perih ini, nyata adanya dan orang banyak tidak membutuhkan interpretasi seperti menafsirkan karya seni. Hati nurani manusia mendiami negeri ini senantiasa diusik dengan kejadian perih yang terus menikam keibaan. Gelombang kelukaan semakin besar menghempas ke tepi hati, namun kita tetap berdiri dengan kesedihan yang datang sesaat saja. Semakin jauh peristiwa perih itu berlalu, semakin lupa kita dengan peristiwa itu. Kita pun dihadapkan dengan peristiwa nyata yang lain pula. Sebagai seniman, yang katanya diberi perasaan lebih dibandingkan dengan manusia lainnya, seharusnya peristiwa nyata itu diabadikan dalam karya seni. Karya seni yang mampu terus menggoyang hati nurani manusia negeri ini untuk selalu ingat dengan peristiwa nyata itu. Dengan demikian, rasa kasih sayang sesama manusia negeri ini terus menyala, sehingga sedikit banyak karya seni dapat membakar perasaan manusia untuk mengenal akan dirinya. Penyebab dari segala peristiwa di muka bumi ini, berawal dari diri manusia itu sendiri. Raja Ali Haji dalam Gurindam 12, Pasal 1, bait 4 mengatakan,'' Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal Tuhan yang bahari.'' Begitupun Budi P. Hatees ada menyinggung, jika seseorang memperbaiki kemampuannya mengolah karakter, lalu menghasilkan bukan saja sajak, juga cerpen, novel, esai atau naskah drama, tentu saja bukan hal mustahil dilakukan. Orang itu pada dasarnya bekerja dengan ide juga pengalaman, maka ide dan pengalaman tinggal diolah agar menjadi bagian yang organis dengan karya sastra. Sangat mungkin jika hasil olahan itu justru memunculkan hal-hal baru, seperti strategi-strategi baru teks sastra. Tidak heran bila akhir-akhir ini dunia kreativitas cerpen mengalami perubahan dengan masuknya strategi teks puisi ke dalam pola penulisan cerpen. Artinya, kepiawaian seseorang dalam menulis sajak, cerpen, esai dan naskah drama akan saling mendukung hingga tercipta karya-karya sastra yang lebih andal. Seniman melalui karya seninya, membawa kebenaran-kebenaran untuk kepentingan orang banyak. Karya seni tidak berpihak kepada siapapun, tetapi karya seni berpihak kepada kesadaran akan pentingnya kemaslahatan manusia. Dengan kesadaran, manusia saling mengerti satu dengan lainnya, maka terciptalah keharmonisan, keseimbangan hidup manusia. Nilai keindahan dalam karya seni adalah ketika karya seni itu memiliki manfaat atau keuntungan bagi setiap manusia. Dengan demikian, karya seni mengambil posisi sebagai penetral kondisi. Karya seni tidak berpihak pada kaum tertindas dan tidak juga menyebelah kepada yang menindas. Untuk kaum tertindas, karya seni menjadi pembangkit semangat untuk tetap berusaha lepas dari penindasan. Menyadarkan diri bahwa ketertindasan harus tetap dilawan; hidup adalah perjuangan yang tak pernah usai. Karya seni memberikan cahaya ke hati tertindas sementara untuk kaum penindas karya seni dapat dijadikan indikator jalan untuk tidak melakukan penindasan. Bukankah manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta sama di mata-Nya? Karya sastra membongkar kesadaran kebersamaan itu. Senada juga dengan apa yang disampaikan oleh Hasan Al Banna, sesungguhnya, masing-masing aliran dalam sastra, khususnya puisi dan cerpen menyimpan perangainya sendiri-sendiri. Keduanya berada dalam posisi 'berdiri sama rendah berdiri sama tinggi'! Lantas, sangat terbuka kemungkinan untuk seorang kreator fiksi untuk menunaikan salah satu atau keduanya sekaligus. Tidak mudah menyodorkan bukti, seorang kreator fiksi yang di masa awal kepenulisannya memilih "berkelamin tunggal" akan lebih baik ketimbang kreator fiksi yang membiarkan dirinya "berkelamin ganda". Pun sebaliknya. Intinya, proses kreatif penulis mustahil serupa. Memang, mengacu pada berbagai proses kreatif sejumlah sastrawan, banyak yang melalui peristiwa berkarya secara berjenjang, satu demi satu. Bukan tidak ada sastrawan yang sukses menjalani status "kelamin ganda" sejak masa awal kepenulisannya. Paling tidak, pilihan "berkelamin ganda" sejak masa awal kepenulisan malah memberinya jalan untuk pada akhirnya menentukan "kelamin" mana yang paling dibanggakan dan seterusnya dipelihara setekun-tekunnya. Inilah permasalahan yang dihadapi dunia seni di negeri ini. Selalu menganggap kehidupan nyata yang berhubungan dengan orang banyak tidak penting lagi dirangkai menjadi karya seni yang berkualitas. Padahal seniman selalu ditunggu untuk menghasilkan karya yang mampu 'membaca' peristiwa yang terjadi dengan mengedepankan kejernihan. Dari kejernihan inilah, manusia meneguk kesegaran untuk berbuat lebih baik lagi. Kalaulah dapat diibaratkan, karya seni itu seperti baut, penting di sebuah mesin, tanpa baut itu, mesin tidak bisa dihidupkan. Mungkin saja disebabkan faktor globalisasi membuat seniman 'membanting setir'; seniman harus menghasilkan karya seni yang instan dan berbau pop. Dari penyair menjadi cerpenis dan sebagainya. Mereka tak mampu bertahan dari godaan kaum kapitalisme yang hanya mengedepankan keuntungan. Seniman juga dipaksa untuk memproduksi karya seni hanya untuk hiburan, tanpa memikirkan makna yang lebih dalam. Karya seni diukur seberapa banyak orang senang dan berapa duit yang diperoleh dari karya seni itu. Masalah sosial dikesampingkan karena tidak menarik untuk dijual. Bukan 'mengharamkan' budaya populer, tetapi kemaslahatan orang banyak harus dikedepankan. Apalah arti sebuah karya seni ketika hanya sesaat karya seni itu berarti. Seharusnya karya seni itu bertahan dari segala waktu, berbuah di sembarang musim, bermanfaat kapan saja. Inilah karya seni seharusnya. Kembali pada peristiwa yang terjadi di negeri ini, memang terasa berat rasanya seniman mengokah realitas tersebut menjadi karya seni yang mampu melantas ke hati setiap orang. Demikian, bukan berarti seniman harus menyerah dan menyelewengkan hati nurani dengan membiarkan realitas itu terkapar tak berdaya. Akhirnya, Ys. Rat memberi garis lurus permasalahan yang dikemukakan, pada dua tulisan sebelumnya, Kapan Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna dan Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees, di bersamaan di Rubrik Rebana (Analisa, Minggu, 26 Februari 2012). Sebagai pemicu jelas, tulisan saya berjudul, Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula di rubrik dan surat kabar sama (Minggu, 12 Februari 2012). Bermula dari niat sekadar mengabarkan sejumlah perbedaan kondisi yang mempengaruhi dan kebiasaan antara para pemilik bakat sastrawan dekade 1980-an , sampai menjelang akhir 1990-an. Demikian pula mereka yang mulai bergiat pada tahun 2000-an dan sekedar saran yang sebaiknya dilakukan, dugaan akan munculnya reaksi tak pernah melintas di benak penulis. Terutama yang diarahkan terhadap sepenggal saran, para pemilik bakat sastrawan hendaknya juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, dalam artian pada masa-masa awal berkarya tak sekaligus merangkap menciptakan puisi dan cerpen misalnya. Baik terhadap tulisan Kapan Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna, maupun Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees. Berkenaan dengan tanggapan dan pendapat mereka tentang saran penulis hendaknya para pemilik bakat sastrawan merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, sama sekali tak sepatutnya penulis tak membenarkannya. Salam.

Minggu, 18 Maret 2012

Menilik Kegelisahan pada Penulis Muda

Sartika Sari

"saya merasa diri saya benar-benar seorang penyair: asyik bermain-main kata sampai di dalamnya tersusun dunia yang bermakna." (Sapardi Djoko Darmono, Eneste 1984:134)
Begitu beragamnya kepuasan yang ditemukan ketika menjelmakan emosi dalam sebentuk puisi. Ya, salah satu karya sastra ini memang kerap menjadi wadah pelipur. Tentu saja, di baliknya setiap penulis memiliki dorongan psikologis yang tidak sama. Berbagai dorongan tersebut bisa saja muncul dari kondisi kejiwaan ataupun keadaan lingkungan yang kemudian menjadi inspirasi pada proses kreatifnya.

Bicara tentang proses kreatif kelahiran sebuah karya puisi, agaknya banyak keunikan yang ditemukan ketika membaca puisi-puisi yang ditulis oleh para penulis muda-rentang usia 17- 20 tahun. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri jika akhirnya hal ini menjadi sebuah kejenuhan. Wajar saja, itu merupakan asumsi pribadi pembaca yang secara psikologis juga berada pada level yang berbeda-beda.

Membaca puisi-puisi remaja, seperti melihat kepolosan, kejujuran, bara emosi dan kesederhanaan yang menurut hemat saya sekali lagi sebagai suatu keunikan. Keadaan ini sejalan memang dengan kondisi psikis penulis muda yang cenderung berada dalam titik kegalauan dan masih labil. Di sana terdapat suatu keresahan lain yang muncul ketika secara pribadi menjadi penikmatnya. Ini berkaitan dengan motivasi dan imbasnya adalah pada keberlanjutan karya. Mengapa?

Dalam suatu pengamatan mini pada sesama rekan, saya mendapati kejujuran ikhwal latar belakang kemunculan sebuah puisi dan sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru lagi.

"Menulis jika mood saja." Anggapan demikian rasanya sudah tenar dan pada beberapa kalangan, menjadi sebuah kebiasaan. Hal ini juga kerap melanda para penulis muda berbakat. Empat dari lima penulis yang memberi keterangan, mengaku masih cenderung mengikut pada mood. Seperti jika pada situasi sunyi dan saat-saat sedih, bahagia dan kondisi hati yang terenyuh, barulah bisa mengalirkan sebuah puisi. Hal ini mengakibatkan intensitas menulis kerap terganggu karena mengalami kesulitan dalam menemukan ide untuk menulis. Tidak ada yang salah memang, karena menulis kapanpun, dimanapun adalah hak pribadi seorang penulis. Apa jadinya jika ketergantungan pada mood pada akhirnya akan menghambat kreatifitas?

Berlanjut pada wujud puisi. Secara sederhana, ketika diidentifikasi dengan berpijak pada pernyataan J. Ellema dalam petica (Noor, 2005:45). Tema-tema cinta birahi dan luapan emosi dalam puisi-puisi penulis muda (rentang usia 17-20 tahun) cenderung berada pada tingkatan kejiwaan anorganis yang merupakan tingkatan kejiwaan terendah. Pada tingkatan ini, bila tercipta dalam karya sastra berupa pola bunyi, irama, baris sajak, mengutamakan permainan diksi dan pemikiran ke depan tentang karya yang akan dibaca di depan panggung atau sekedar dibaca di dalam kamar.

Kemudian pada tingkatan kejiwaan vegetative yang merupakan tingkat kedua. Dalam karya sastra berupa rangkaian kata yang membentuk suasana mesra, senang, sedih dan sebagainya. Permainan bunyi kurang, tetapi sentuhan menggebu-gebu sering terjadi.

Masih dalam konteks membaca kegelisahan pada penulis muda. Dalam suatu kesempatan, Acep Zamzam Noor memberikan pandangan perihal kondisi penulis. Dia menyatakan, ada dua kondisi penulis. Penulis yang rajin dan penulis yang kreatif. Penulis yang rajin tentu sangat mengutamakan intensitas menulis. Berbeda halnya dengan penulis kreatif yang belum tentu rajin. Kondisi ini tentu berkaitan dengan kepribadian penulisnya. Dari suatu penelitian tentang pendapat para ahli psikologi Indonesia mengenai ciri-ciri kepribadian kreatif (Munandar, 1977) diperoleh urutan ciri-ciri sebagai berikut: (a) Imajinatif, (b) berprakasra (dapat memulai sesuatu sendiri), (c) mempunyai minat yang luas, (d) mandiri (bebas dalam berpikir), (e) rasa ingin tahu yang kuat, (f) kepetualangan, (g) penuh semangat, (h) percaya diri, (i) bersedia mengambil resiko, (j) berani dalam keyakinan.

Penulis muda adalah kantung-kantung imajinasi yang sangat potensial. Tentu jika benar-benar serius memasaknya. Sangat disayangkan jika kepotensialan itu dibiarkan terbenam. Kiranya kita butuh keseriusan berlatih dan kesungguhan dalam menulis.

Masalah mood, sebagai pribadi yang beranjak dewasa sepertinya kemampuan mengatur diri sudah mesti kita miliki. Termasuk dalam menulis. Lebih baik jika perlahan kita belajar menyadari bahwa segala sesuatu dapat dijadikan sebuah ide dan inspirasi untuk ditulis.

Jika hanya berdiam diri dan menanti ide datang, bahkan yang lebih parahnya tidak menyadari kedatangannya, tentu masing-masing kita merasakan kesukaran. Semua ini bertujuan agar nantinya, perjalanan menulis menemui hasil yang maksimal dan tidak menjadi musiman. Ya, bukan tidak mungkin pencapaian kekhusukan dalam puisi juga akan kita miliki.

Kembali lagi, semua punya pilihan. Menulis adalah kebebasan. Menjadi penulis yang rajin adalah hal yang sangat bagus. Penulis kreatif juga pilihan yang baik. Tetapi, bagaimana dengan penulis kreatif yag rajin? Luar biasa bukan?

Parade Budaya dalam Sastra

Hasan Al Banna

Hampir tak dapat dianulir, sastra hadir sebagai wujud pendokumentasian sejarah perjalanan panjang manusia - dengan segala unsur yang melingkupinya. Bukankah sejak dahulu, sastra menunaikan tugas dalam memotret perjalanan manusia dan segenap budaya yang meliputinya? Agus R. Sarjono (2003:1) mengungkapkan, sastra dilahirkan -dan tak jarang melahirkan- lingkungannya. Hal ini makin menegaskan, jika sastra tidak lekang dari pengaruh lingkungan. Karena itu, sejauh-jauh sastra berkelena, tetap bertolak dari dan akan kembali ke lingkungannya berada. Lingkungan beserta langit dan bumi yang menengahkan nya menjadi inti inspirasi bagi sastra.
Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya! Dengan demikian, hampir dapat dipastikan, jika karya sastra menyajikan segenap hal yang berkaitan dengan kebudayaan. Tak dapat dibantah, manusia adalah makhluk berbudaya. Budaya lahir dan dikembangkan oleh manusia (secara invidual maupun berkelompok) melalui akal dan pikiran, kebiasaan dan tradisi.

Kebudayan merupakan hasil urun rembug manusia yang sangat bergantung pada pengembangan kemampuan yang unik dalam memanfatkan segenap simbol, tanda-tanda atau isyarat alam. Dengan demikian, manusia dapat mengembangkan kebudayaan sesuai dengan cipta, rasa dan karsa masing-masing.

Indonesia dikenal sebagai bangsa dengan harta karun budaya melimpah. Dapat dibayangkan, betapa karya sastra Indonesia tersusun dari sulur-sulur kebudayaan Indonesia yang perkembangan waktu, tentu, berlangsung dinamis.

Apa saja yang terkandung dalam kebudayaan? Secara garis besar, Koentjaraningrat (1974:83) membedakan tiga wujud kebudayaan, yaitu: a) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan, b) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat, dan c) kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dua poin pertama mencuat sebagai bahan dasar yang paling banyak mewarnai karya sastra Indonesia.

Mengapa karya sastra ditengarai sarat dengan hasil daur ulang tentang kebudayaan? Karena sastra secara wujud terdiri dari deretan kata-kata, dalam konteks ini adalah bahasa. Kekayaan bahasa dengan segala kekhasannya dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan peristiwa budaya. Terlebih-lebih dalam bentuk karya sastra, yang semacam ruangan besar untuk menginformasikan segala sesuatu yang bersinggungan dengan budaya. Dengan bahasa yang unik, pengarang sastra sebagai manusia yang pada dasarnya tergabung dalam aktivitas kebudayaan menciptakan karya berdasarkan pengalamannya dalam masyarakat. Bentuk penyajian yang berbeda dari narasi nonsastra bertujuan agar peristiwa budaya yang beragam dapat dimaknai lebih mendalam.

Nyoman Kutha Ratna (2007:15) membeberkan, karya sastra membangun dunia melalui kata-kata, sebab kata-kata memiliki energi. Melalui energi, terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia baru. Melalui kualitas hubungan pragmatisme, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus-menerus.

Kata itupun memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu, melebihi kemampuan aspek-aspek kebudayan lain. Pengetahuan mengenai masa lampau dapat diketahui melalui kata-kata. Informasi kekayaan alam, dengan keanekaragaman kebudayaannya, dapat disebarluaskan dari individu ke individu lain, dari satu masyarakat ke yang lain, dan sebagainya.

Seterusnya, Ratna berpendapat, karya sastra melalui medium bahasa metamorfosis konotatifnya, berfungsi untuk menampilkan kembali berbagai peristiwa kehidupan manusia. Tujuannya, agar manusia dapat mengidentifikasikan dirinya dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang lebih bermakna.

Dari uraian Ratna di atas, masyarakat Indonesia berkesempatan luas melakukan wisata budaya melalui sastra Indonesia. Kepentingan apa yang dikejar, sehingga masyarakat Indonesia seolah diharuskan mengenal keanekaan budaya di Indonesia? Jawaban sederhana dapat dilontarkan: agar khalayak mencapai pemahaman masif tentang masing-masing budaya yang terhampar dari Aceh sampai Papua. Ada hal yang jauh lebih berharga ketimbang sekadar mengenal deretan budaya.

Begini, bukankah keragaman budaya kerap dielu-elukan sebagai anugerah tiada tanding? Faktanya, terlebih akhir-akhir ini, aneka budaya tak jarang muncul sebagai alasan primer perpecahan. Jika ditilik, kelemahan (atau ketidakpedulian) memahami sesama menjadi indikasi kuat mengapa Bangsa Indonesia lengah memaknai persatuan. Identitas budaya masing-masing diusung sebagai keegoan. Padahal, teramat naif menempatkan budaya dalam konteks menang kalah. Bukankah harus dipahami secara masif, tidak arif menyeret budaya ke ranah tarung hidup mati? Karenanya, perlu memanfaatkan segala kemungkinan, kecil maupun besar, agar masyarakat Indonesia sudi bertukar pengetahuan tentang budaya yang tersebar di nusantara.

Salah satu kemungkinan itu adalah melalui sastra. Mengapa? Seperti yang telang disinggung sebelumya, sastra merupakan bagian hasil kebudayaan. Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra mempunyai fungsi untuk merekam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia yang selanjutnya akan menumbuhkan rasa kenasionalan dan menumbuhkan solidaritas kemanusiaan. Sastra melalui media bahasa dan dengan segenap perilaku estetiknya dinilai mampu memberikan informasi terkait adat istiadat, pola-pola kehidupan, sejarah, bahkan konflik sosial masing-masing dari keanekaan budaya lokal yang terdapat di Indonesia.

Karena itu, sastra dengan konsep kearifan lokal (local genius) sudah sejak lama kerap didengung-dengungkan pengarang karya sastra. Kearifan lokal yang terkandung dalam sastra diharapkan mampu menetralkan perbedaan, sehingga bermuara pada terbentuknya pemahaman terhadap sesama. Wujud warisan budaya lokal yang bermacam-rupa membuka peluang untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu.

Akhirnya, keberhasilan sastra mengungkapkan kekayaan budaya lokal yang tumbuh di sebuah tempat merupakan puncak pencapaian multikulturalisme - penghargaan dan pengakuan terhadap kemajemukan.

Jika disinggungkan dengan pembangunan nilai persatuan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai yang termaktub dalam multikuluturalisme harus tetap dielus-dipelihara.

Penulis; pandai fiksi-nonfiksi.

Bila Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin?
Oleh: Hasan Al Banna. Bahagia mendapatkan kenyataan atas kemunculan penulis-penulis (fiksi) muda di Medan (Sumut). Kemeriahan karya kreator fiksi muda di beberapa media cetak lokal bahkan nasional bisa ditodongkan sebagai salah satu indikator. Iklim kemeriahan sedemikian ini patut ditukar dengan rasa syukur.
Oleh karena itu, dapat dimaklumi pula mengapa YS. Rat boleh dibilang turut bahagia, terlebih dalam tulisannya (Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula) yang dimuat rubrik ini beberapa waktu lalu. Dalam tulisannya, YS. Rat juga tidak lalai bernasihat agar para sastrawan pemula (katakanlah sastrawan muda, meski bukan dalam konteks usia). YS. Rat menghimbau sastrawan muda - di masa awal kepenulisan, untuk bersegera memilih "kelamin" yang jelas: penyair atau cerpenis!

Agaknya, YS. Rat khawatir kalau tunas-tunas sastrawan di Medan (Sumut) akan menerima sejumlah dampak apabila di masa awal kepenulisan rangkap pekerjaan, yaitu mencipta puisi sekaligus mencipta cerpen. Boleh jadi YS. Rat tidak sudi menyaksikan sastrawan muda rabun fokus tatkala menelurkan karya fiksi, sehingga kuantitas karya tidak sebaya dengan kualitasnya. Lebih ironis lagi, sastrawan muda bisa-bisa terjerumus pada lembah keserakahan. Serakah demi pengakuan label diri, juga serakah demi keuntungan materi. Kesarakahan yang diam-diam menodai taji karya.

Kegelisahan YS. Rat muncul -mungkin- setelah secara tekun mengamati karya-karya para sastrawan muda yang semarak secara kuantitas, tetapi dinilai sunyi secara kualitas. Tentu YS. Rat, meskipun tidak membeberkan dalam tulisannya, memendam alasan yang kuat, sehingga harus perlu memberi nasihat kepada sastrawan muda agar lebih dulu fokus pada satu genre saja. Sebuah nasihat yang arif, tentunya. YS. Rat tentu berkehendak para sastrawan muda telaten menapaki proses kreatif.

Ada celah pertanyaan dari anjuran YS. Rat di atas; apakah sastrawan muda baru boleh menunaikan kreativitas menulis puisi dan cerpen sekaligus kalau masa awal kepenulisan sudah berlalu? Ah, bagaimana menentukan ukuran waktu yang dibutuhkan sastrawan muda untuk dikatakan sudah melampaui batas masa awal kepenulisan? Apakah ‘segerombolan’ sastrawan muda tersebut memiliki kemampuan yang sama masif dalam menentukan kecenderungan diri sedini mungkin: penyair atau cerpenis?

Sesungguhnya, masing-masing genre dalam sastra, khususnya puisi dan cerpen menyimpan perangainya sendiri-sendiri. Keduanya berada dalam posisi ‘berdiri sama rendah berdiri sama tinggi’! Lantas, sangat terbuka kemungkinan bagi seorang kreator fiksi untuk menunaikan salah satu atau keduanya sekaligus. Tidak mudah menyodorkan bukti bahwa seorang kreator fiksi yang di masa awal kepenulisannya memilih "berkelamin tunggal" akan lebih baik ketimbang kreator fiksi yang membiarkan dirinya "berkelamin ganda". Pun sebaliknya. Intinya, proses kreatif pengarang mustahi serupa.

Memang, merujuk pada berbagai proses kreatif sejumlah sastrawan, banyak yang melalui peristiwa berkarya secara berjenjang, satu demi satu. Bukan tidak ada sastrawan yang sukses menjalani status "kelamin ganda" sejak masa awal kepenulisannya. Paling tidak, pilihan "berkelamin ganda" sejak masa awal kepenulisan malah memberinya jalan untuk pada akhirnya menentukan "kelamin" mana yang paling dibanggakan dan seterusnya dipelihara setekun-tekunnya.

Selain itu, sebuah hasil karya turun dari ide. Hamparan ide terbentang di haribaan alam. Tidak setiap ide dapat ‘diselesaikan’ dengan puisi, misalnya. Adakalanya sebuah ide baru cocok jika dikenakan ke tubuh cerpen. Atau tidak untuk keduanya. Seno Gumira Ajidarma pernah menulis esai tentang sebuah ide yang menurutnya akan diwujudkan menjadi cerpen.

Dalam esai itu Seno mengeluhkan betapa sulit dia menyelesaikan cerpen dari ide tersebut. Pada akhirnya, ide yang gagal dikonversi menjadi cerpen malah menjadi ‘jatung pisang’ esai Seno. Seno kemudian menulisan bahwa ide cerpennya cuma punya takdir untuk ‘dikisahkan’ dalam esai, tidak (atau belum) dalam cerpen. Setidaknya, esai Seno tentang kesulitannya menggarap ide cerpen lebih dulu rampung ketimbang cerpennya sendiri.

Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua ide serta-merta dapat divonis untuk menyandang puisi atau cerpen. Tidak tertutup kemungkinan seorang kreator yang semula hendak ‘menyulap’ ide menjadi cerpen, eh, malah perjalanan penggarapan menggiringya menyelesaikan sebuah puisi. Oleh karena itu, saran agar sastrawan muda fokus pada satu genre saja di masa awal kepenulisannya tidak bersifat mutlak. Semodel itulah memang tabiat nasihat; tawaran yang boleh diterima, boleh juga tidak.

Di sisi lain, bisa jadi kalau anjuran di atas dibikin terbalik. Maksudnya, sastrawan muda di masa awal kepenulisannya boleh melakukan keduanya sekaligus, lantas seterusnya khalayak penikmat dengan segala ragam apresiasi kelak turlibat memilih "kelamin" yang jelas bagi kreator muda. Para pengapresiasi, baik itu pembaca awam, kritikus dan redaktur media akan secara alami bertindak sebagai filter. Dengan kata lain, seorang kreator berkesempatan menyediakan dua pilihan bagi khalayak. Tentu khalayak mempunyai hak untuk menjatuhkan pilihan atau bahkan memilih keduanya.

Ya, cara ini bukan berarti nihil konsekuensi. Konsekuensi yang bahkan boleh jadi merupakan rentetan alasan YS. Rat mengajurkan sastrawan muda untuk selektif memilih. Memang, sangat bagus kiranya kalau seorang penulis muda sudah mampu terlebih dulu menentukan kecenderungannya.

Kalau tidak, jangan khawatir, karena perjalanan proses kreatif selalu membuka diri dalam memberikan pertolongan. Yang penting, pertarungan untuk mengilapkan kualitas karya harus dicamkan. Soal hasilnya bagaimana, toh itu sudah ada yang mengurus.

Akhirnya, tulisan ini tidak sedang menyanggah anjuran YS. Rat, tetapi lebih kepada menyodorkan kemungkinan-kemungkinan lain dalam kerja kreatif di dunia fiksi yang bersifat serba mungkin ini. Bukankah pada akhirnya, tetap terbuka pintu bagi siapa saja yang hendak diseru penyair, cerpenis atau ‘rangkap jabatan’, di mana pun posisi usia kepenulisannya?

Penulis; pandai fiksi/nonfiksi.

Siapa Melarang Sastrawan "Berkelamin" Ganda?
n YS Rat. DUA tulisan, Bila Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna dan Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees, dimuat bersamaan di Rubrik Rebana (Analisa, Minggu, 26 Februari 2012). Sebagai pemicu jelas, tulisan saya berjudul, Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula di rubrik dan surat kabar sama (Minggu, 12 Februari 2012).
Bermula dari niat sekadar mengabarkan sejumlah perbedaan kondisi yang mempengaruhi dan kebiasaan antara para pemilik bakat sastrawan dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an. Demikian pula mereka yang mulai bergiat pada tahun 2000-an serta sekadar saran yang sebaiknya dilakukan, dugaan akan munculnya reaksi tak pernah melintas di benak penulis. Terutama yang diarahkan terhadap sepenggal saran, para pemilik bakat sastrawan hendaknya juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, dalam artian pada masa-masa awal berkarya tak sekaligus merangkap mencipta puisi dan cerpen misalnya.

Baik terhadap tulisan Bila Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna, maupun Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees. Berkenaan dengan tanggapan dan pendapat mereka mengenai saran penulis hendaknya para pemilik bakat sastrawan merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, sama sekali tak sepatutnya penulis tak membenarkannya.

Sekadar jawaban dan penjelasanlah yang hendak penulis torehkan dalam kesempatan ini. Pada tulisan Hasan Al Banna, dia mengajukan pertanyaan di antaranya; apakah sastrawan muda baru boleh menunaikan kreativitas menulis puisi dan cerpen sekaligus kalau masa awal kepenulisan sudah berlalu? Ah, bagaimana menentukan ukuran waktu yang dibutuhkan sastrawan muda untuk dikatakan sudah melampaui batas masa awal kepenulisan?

Jawan terhadap pertanyaan pertama sebenarnya telah tergambar dalam bagian akhir dari tulisan, Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula, pada kalimat; ..., selain semangat berkarya, hendaknya mereka juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas.

Penggunaan kata hendaknya, bukan hendaklah, memperlihatkan apa yang penulis kemukakan sekadar saran. Sama sekali tak dimaksudkan hanya membolehkan sastrawan muda menulis puisi dan cerpen sekaligus setelah masa awal kepenulisannya berlalu.

Oleh karena tak dimaksudkan hanya membolehkan sastrawan muda menulis puisi dan cerpen sekaligus setelah masa awal kepenulisannya berlalu, terhadap pertanyaan bagaimana menentukan ukuran waktu yang dibutuhkan sastrawan muda untuk dikatakan sudah melampaui batas masa awal kepenulisan, tak perlulah penulis menjawabnya.

Budi P Hatees dalam tulisannya berjudul, Sastrawan tak Ditentukan Usia, antara lain menulis; Setelah membaca tulisan YS Rat, saya tak menangkap adanya variabel tentang konsep pemula itu. Apakah pemula yang dimaksud berkaitan dengan variabel usia seseorang atau usia keterlibatan seseorang dalam dunia kreativitas berkesusastraan. Tentu, YS Rat perlu membuat uraian perihal ini.

Jika yang dimaksud adalah usia keterlibatan dalam berkreativitas di dunia kesusastraan, maka kita bisa mengelompokkan YS Rat ke dalam pengagum cara berpikir usang atau konservatif dalam melihat kreativitas berkesusastraan. Sampai awal dekade 2000-an, para pendatang baru di dunia kreativitas berkesusastraan diremehkan dengan menyebut mereka sebagai pemula.

Pada alinea kesebelas tulisan Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula, penulis memaparkan; Sakadar data selintas, tercatat sedikitnya ada puluhan nama pengisi rubrik budaya/seni surat kabar, yang rata-rata kelahiran Sumut tahun 1980 ke atas dan karyanya mulai dipublikasikan tahun 2000-an. Di antaranya masih terus berkarya, sebagian lagi hanya beberapa kali karyanya dimuat di surat kabar.

Di bagian itu sangat benderang penulis mendahulukan, ...rata-rata kelahiran Sumut tahun 1980-an ke atas... daripada, ...karyanya mulai dipublikasikan tahun 2000-an. Ini menggambarkan, di antara mereka ada yang karyanya pertama kali dipublikasikan malah bukan tahun 2000, tapi sangat mungkin baru dalam tahun 2011. Dengan demikian, jelaslah sama sekali penulis tak mempermasalahkan usia keterlibatan seseorang dalam dunia kreativitas berkesusastraan sebagaimana dugaan Budi P Hatees.

Dalam tulisan itu pun jelas tak penulis ada menyatakan, sampai awal dekade 2000-an, melainkan tahun 2000-an. Makna daripadanya jelas berbeda dengan sampai awal dekade 2000-an yang dikemukakan Budi P Hatees.

Tahun 2000-an merupakan rentang waktu bermula dari tahun 2000 hingga 2099, sedangkan sampai awal dekade 2000-an berarti cuma sebatas tahun 2000, hingga 2001. Jadi, tak benar ada peremehan terhadap para pendatang baru di dunia kreativitas sastra karena tak sekali pun penulis membuat pembatasan sampai awal dekade 2000-an.

Lantas, siapa melarang sastrawan "berkelamin" ganda? *

Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula
Oleh: YS Rat. DIDUKUNG Medan sebagai ibukotanya, yang penduduknya multi etnis, Sumatera Utara (Sumut) sejatinya merupakan ladang kreativitas bagi banyak hal. Sastra, tak terkecuali tentunya. Dalam bidang ini, merujuklekatkan pada pengalaman menggelutinya sejak tahun 1980-an, Sumut tak pernah sepi dari munculnya para pemilik bakat sastrawan.
Pada dekade itu hingga menjelang akhir 1990-an, mereka -sebut sajalah para sastrawan pemula- dihadapkan sebuah kenyataan yang menyikapinya tak cukup sekadar bermodalkan semangat mencipta. Hasrat mencipta mereka yang menggebu, harus dilengkapi kegigihan berupaya menghasilkan ciptaan yang tak cuma memenuhi kriteria sebagai karya sastra pada segi bentuk.

Minimnya jumlah media massa cetak di Sumut ketika itu -dalam hal ini surat kabar- memunculkan dampak terbatasnya wadah penyalur karya para sastrawan, termasuk karya para sastrawan pemula. Karenanya, pada masa itu berlaku persaingan ketat dalam segi kualitas, sebelum akhirnya sebuah karya sastra terbit di surat kabar. Hal yang sama juga berlaku terhadap karya para sastrawan pemula.

Menariknya, ada semacam kesadaran di kalangan para sastrawan pemula pada masa itu, untuk tak langsung mengirim karya awalnya ke rubrik khusus budaya/seni. Karena selain rubrik khusus budaya/seni, di antara surat kabar juga menyediakan rubrik remaja, ke rubrik itulah biasanya mereka mengirim karya awalnya.

Tak cuma menarik, sekaligus memicu semangat berkaya di kalangan para sastrawan pemula, pada beberapa surat kabar sangat mungkin ada kerja sama antara redaktur rubrik budaya/seni dengan redaktur rubrik remaja atau bisa jadi redaktur kedua rubrik itu orang yang sama. Kemungkinan ini dilihat dari adanya beberapa karya para sastrawan pemula yang dikirim ke rubrik remaja ternyata muncul di rubrik budaya/seni. Sastrawan pemula yang memperoleh kesempatan demikian, biasanya terpicu semangat dan percaya dirinya untuk berikutnya sengaja mengirim karya-karyanya ke rubrik budaya/seni.

Semakin Berjibun

Sumut tak pernah sepi dari munculnya para pemilik bakat sastrawan tetap berlangsung, hingga kini. Bahkan, bisa dibilang jumlahnya semakin berjibun, mewarnai media massa cetak yang jumlahnya juga tambah membludak.

Tak bisa dipungkiri, kedua hal saling mendukung itu buah dari "tsunami" reformasi yang puncaknya 21 Mei 1998 ditandai lengsernya Soeharto dari tampuk kepresidenan setelah lebih 30 tahun seolah tak mau ditinggalkannya.

Jika di dunia politik selepas reformasi diwarnai terbukanya peluang bagi siapa pun untuk ambil bagian di dalamnya, kondisi semacam ini juga terjadi dalam dunia sastra. Peluang untuk memajang karya di media massa cetak -utamanya surat kabar- semakin terbuka dan sangat nyata memicu hadirnya sastrawan-sastrawan pemula dengan beragam karyanya.

Maklum saja, sebab pasca reformasi pertumbuhan surat kabar baik harian maupun mingguan teramat melejit. Di Sumut saja, dari di antaranya Harian Analisa, Waspada, Bukit Barisan, Mimbar Umum, Sinar Indonesia Baru, Medan Pos, Garuda, Mercu Suar, Sinar Pembangunan, Mingguan Taruna Baru, Dobrak, Bintang Sport Film, Demi Masa dan Persada, plus Majalah Dunia Wanita, sesudah reformasi jumlahnya pernah mencapai 50-an.

Tentu ada iklim berbeda mewarnai munculnya para sastrawan pemula di Sumut antara dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an dengan masa awal pasca reformasi. Dalam hal jumlah, sastrawan pemula yang muncul di masa awal pasca reformasi, bahkan hingga kini, sangat jauh melebihi dekade sebelumnya.

Sakadar data selintas, tercatat sedikitnya ada puluhan nama pengisi rubrik budaya/seni surat kabar, yang rata-rata kelahiran Sumut tahun 1980 ke atas dan karyanya mulai dipublikasikan tahun 2000-an. Di antaranya masih terus berkarya, sebagian lagi hanya beberapa kali karyanya dimuat di surat kabar.

Mereka, antara lain Miftah Fadhli (Deli Serdang, 29 Februari 1992), Muhammad Nur (Simalungun, 12 Oktober 1991), Anugrah Roby Syahputra (Binjai, 13 Maret 1988), Abdillah Putra Siregar (Pematang Siantar, 1986), Fridolin ML Tobing (Balige, 24 Januari 1987), Rama Andriawan (Madina, 28 Juli 1986), Adwan MP (Sidikalang, 22 Januari 1986), Muhammad Pical Nasution (Medan, 3 Januari 1986), Sukma (Medan, 13 November 1985), Muhammad Nurul Fadhli (Medan, 14 Juli 1985), Januari Sihotang (Samosir, 1 Januari 1984), Ilham Wahyudi (Medan, 22 November 1983), Djamal (Medan, 9 September 1982), Irwan Effendi (Medan, 21 Mei 1981), Bono Emiry (Medan, 6 Mei 1981) dan Sihar Sitompul (Medan, 6 Mei 1981). Sebenarnya Bono emiuri dan Sihar Sitompul orangnya adalah sama.

Berikutnya, Rahmadyah Kusuma Putri (Medan, 7 November 1993), Tiflatul Husna (Tanjung Balai, 12 Agustus 1992), Sakinah Annisa Mariz (Medan, 2 Mei 1991), Wika Fitriana (Sibolga, 19 Oktober 1990), Riska H Akmal (Medan, 15 Juni 1990), Fitri AB (Pagaranbira, 26 Desember 1988), Wahyu Wiji Astuti (Medan, 8 November 1988), Tis’a Muharrani (Medan, 22 Agustus 1988), Selvi Rani (Deli Serdang, 10 September 1987), Budiah Sari Siregar (Kisaran, 12 Juni 1987), Sri Rizki Handayani (Deli Serdang, 10 Juli 1986), Ester P (Batuphat, 2 Juni 1986), Nur Astifa (Petumbukan, 10 April 1986), Yusnita H (Balige, 22 Maret 1986), Intan Hs (Medan, 28 September 1981) dan Andani Fiza (Medan, 30 Mei 1980).

Melalui deretan nama itu juga, terlihat perbedaan teramat nyata dalam hal jumlah antara pria sastrawan pemula dengan wanita. Jika pada dekade 1980-an hingga menjelang akhir 1990-an -sebenarnya telah sejak lama dan bukan saja pemula- wanita sastrawan terbilang langka, taklah demikian sejak awal pasca reformasi hingga kini, terutama di kalangan sastrawan pemula. Jumlah wanita sastrawan pemula kini bukan saja banyak, bahkan berimbang dengan yang pria.

Banyaknya sastrawan pemula di Sumut berlatar pendidikan tinggi dengan bidang keilmuan bahasa dan sastra yang muncul sejak awal pasca reformasi, juga merupakan kondisi yang sangat jauh berbeda dibanding dengan dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an. Pada dekade itu, bukannya tak ada sastrawan pemula di Sumut dari lingkungan perguruan tinggi, fakultas sastra misalnya. Selain jumlahnya tak banyak, dalam pergaulan sastrawan di luar kampus pun hanya satu-dua orang yang menampakkan diri.

Kondisi itu jelas jauh berbeda dengan sekarang. Taman Budaya Sumut di Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan yang sebelumnya dikenal sebagai tempat mangkalnya seniman non-kampus, kini sehari-hari nyaris "dikuasai" para sastrawan pemula berlatar pendidikan tinggi.

Sumut tak pernah sepi dari munculnya pemilik bakat sastrawan, tak bisa dipungkiri. Hanya saja, selain semangat berkarya, hendaknya mereka juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas. Artinya, pada masa-masa awal berkarya tak sekaligus merangkap mencipta puisi dan cerpen misalnya. Fokuskan pilihan pada salah satunya. Dengan begitu, berikutnya "kelamin" sebagai sastrawan akan jelas: penyair atau cerpenis!

Minimnya Teori Kritis terhadap Karya Sastra Sumut

Yulhasni

Studi sastra dalam perkembangannya di tanah air selalu melahirkan berbagai wacana dan polemik yang menarik untuk dicermati. Pada dekade 80-an dan 90-an, studi sastra dalam pendekatannya pernah dihebohkan dengan munculnya gerakan postmodernisme atau sering disebut sebagai pascastrukturalisme. Pada masa itu kemudian teori dekonstruksi Derrida jadi wacana yang menghangatkan diskursus sastra di Indonesia. Sebelumnya A. Teeuw menyentakkan dunia akademisi di Indonesia dengan esainya ‘’Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi’’. Dalam esainya itu profesor Belanda ini menyatakan ketidakpuasannya atas hasil analisis dosen sastra terhadap dua sajak modern Indonesia.
Begitulah, dunia akademisi dengan seperangkat teori yang dikunyah lewat rak-rak buku hanya akan jadi bentangan kesia-sian belaka. Barangkali memang ada kesalahan pemahaman ketika berhadapan dengan teks sastra. Di Sumatera Utara, nyaris tidak dapat ditemukan studi kritis yang lebih menukik saat berhadapan dengan karya sastra di daerah ini. Bahkan saat membaca beberapa tulisan di rubrik Rebana ini, baik berupa ulasan terhadap cerpen, puisi, maupu novel, hampir semuanya terperangkap pada pendekatan yang mengabaikan proses pembacaan yang kritis.

Mungkin telah terjadi kekeliruan yang menahun di bangku perkuliahan ketika mahasiswa disodorkan seperangkat teori sastra. Lebih memprihatinkan teori yang disodorkan sama sekali keluar dari realita teks itu sendiri. Alhasil, dalam model pendekatan struktural, teks hanya dimaknai sebagai satu yang otonom tanpa ada faktor luar yang mempengaruhinya. Inilah faktor penyebab mengapa kemudian sastra menjadi kering saat dibedah oleh kaum akademisi. Di lain pihak, tema dan gagasan tentang karya sastra di Sumut masih bicara tentang kelamin, sesuatu yang sebenarnya adalah cerita lama dalam khazanah sastra Indonesia.

Beberapa karya sastra yang lahir di Sumatera Utara, terutama yang terbit di media cetak, diyakini tidak pernah mampu dikritisi secara cermat. Bahkan dalam praktik pendekatannya, tiga bentuk pertanyaan yakni (1) bagaimana cara menafsirkan isi karya sastra, (2) bagaimana dan kenapa suatu karya sastra diciptakan, dan (3) apa implikasi sosial budaya dari karya itu, pada kenyataannya tidak mampu terjamah kaum akademisi sastra itu sendiri. Pada bagian inilah kemudian muncul pendekatan Teori Kritis untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut.

Teori Kritis diperkenalkan oleh Jurgen Habermas. Menurutnya Teori kritis merupakan sebuah metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori kritis tidak hanya berhenti pada data-data atau fakta-fakta obyektif seperti yang dianut positifisme, akan tetapi menembus di balik realitas sosial untuk menemukan kondisi-kondisi yang timpang. Teori kritis tidak melayang-layang pada metafisika dan meninggalkan data empiris, tapi berdialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang bersifat empiris.

Telaah atas teks sastra hanya berhenti pada struktur karya itu sendiri. Meski dalam pendekatan sosiologi sastra ada upaya yang memungkinkan menjawab setidaknya bagaimana dan kenapa suatu karya diciptakan, tapi ruang lingkupnya tidak seluas cakupan teori kritis.

Saat membaca novel Amang Parsinuan karya Lucya Chriz, misalnya, pendekatannya seharusnya tidak berhenti pada karya sebagai hal yang otonom. Pengarang tidak bisa dilepaskan dengan cerita yang digarapnya. Meminjam pemikiran Jurgen Habermas. Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif luas dan beragam. Dia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita dan dunia. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya dia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia. Dengan demikian, ada faktor-faktor di luar teks yang memungkinkan pengarang seperti Lucya Chriz, misalnya, melahirkan Amang Parsinuan.

Tentu pertanyaan mendasar yang penting digarisbawahi adalah seberapa pentingkah Teori Kritis digunakan pada karya sastra di daerah ini? Memahami teks sastra tidak bisa digeneralisasi. Dalam metode critical discouses analysis (CDA) atau analisis wacana kritis, sebagai bagian dari Teori Kritis tersebut, disebutkan bahwa sikap critical bukan untuk menentang melainkan membuka jalan yang lebih terang terhadap sesuatu yang disembunyikan di dalam teks.

Membaca puisi Raudah Jambak berjudul Indonesia Merah Putihku, misalnya, teks tertulis Indonesia, Indonesia/di negeri ini aku dilahirkan/di negeri ini aku dibesarkan/di negeri ini aku menggapai//, penelitian tidak serta merta menyatakan, puisi-nya itu menceritakan tentang rasa cinta tanah air. Dalam CDA akan banyak temuan-temuan terhadap teks yang ditulis.

Beberapa ulasan terhadap karya sastra di rubrik ini, misalnya, tidak menyentuh kepada substansi teks yang hendak dikritik. Tulisan Jones Gultom berjudul Sastra Medan Krisis Estetika, (Analisa, 26 Februari 2012) menarik dicermati, karena sebenarnya ada ruang untuk mengatakan, proses kreativitas anak Medan hanya berhenti pada katarsis. Lebih jelas jika teks-teks puisi dipaparkan dan dilihat pada bagian mana sebuah puisi dikatakan berhenti pada katarsis. Sejumlah tulisan Mihar Harahap dalam kaitan bedah cerpen Rebana, mestinya harus meletakkan teks secara mandiri. Dalam dekonstruksi, pemahaman terhadap sebuah teks lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat.

Pada tulisan Mihar Harahap berjudul Membaca Cerpen Rebana April 2011 (Analisa, 8 Mei 2011), misalnya, sejumlah cerpen yang dikritisi tidak memiliki kekuatan konflik dan perwatakan yang jelas. Dalam dogma strukturalis, kajian seperti ini memang diarahkan ke pembangunan struktur karya. Sejatinya dalam kajian Teori Kritis, tidak perlu sekali dilihat strukturnya melainkan apa di balik teks-teks yang tertulis.

Kelemahan mendasar dalam pendekatan terhadap karya sastra di Sumut tentu saja tidak karena faktor pembacaan yang tidak intensif. Ada bangunan besar dalam studi sastra di daerah ini yang salah, karena terlalu lama menuhankan strukturalisme sebagai nabi teori sastra.

Literatur terkait Teori Kritis sama sekali jarang diajarkan di perguruan tinggi karena faktor ketiadaan bahan, tenaga pengajar yang tidak memahami dan tentu saja karena ketidakbutuhan kita pada hal-hal yang baru.

Penulis; Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU dan mahasiswa pascasarjana Linguistik USU.

Sastra Medan Krisis Estetika

Jones Gultom

SELAIN pada kandungan nilai, karya sastra khususnya puisi juga terikat estetika. Bahkan tak sedikit di antaranya yang berhasil, karena semata-mata keanggunan estetisnya, baik bentuk maupun isinya. Estetika yang saya maksud di sini adalah kemampuan sastrawan mengeksplorasi imajinasinya untuk mengangkat makna melalui pilihan-pilihan kata yang terkesan eksperimentatif. Apa yang dilakukan Sutardji empat dekade lalu, termasuk salah satunya.
Sampai saat ini puisi-puisinya masih memiliki tempat tersendiri karena eksplorasi unik yang dia lakukan itu. Harus diakui, di Medan karya-karya semacam itu, agaknya tidak terlalu diminati. Wajar saja, mengingat watak sastrawan maupun pembaca sastra Medan cenderung lebih pragmatis. Karya sastra yang dibutuhkan di kota ini sepertinya lebih masih bersifat konvensional, yakni karya-karya yang alur dan ide ceritanya jelas. Boleh jadi karena keragaman kultur, masyarakatnya jadi membutuhkan semacam kesepahaman bersama dan mudah dimengerti.

Kesempatan untuk menonjolkan identitas tertentu dalam sebuah karya sastra, terutama puisi, sangat minim dan malah sering dianggap "gangguan" yang mengusik bahkan membebani pikiran pembacanya. Alhasil para para penulis puisi di Medan lebih memilih tunduk pada idiom-idiom yang berlaku universal.

Beda halnya dengan prosa, seperti cerita pendek ataupun novel. Karena ruang kreativitasnya yang luas dan fleksibel telah memberinya kesempatan yang lebih besar untuk bermain-main dalam tataran estetis. Pembaca tetap mampu mengikuti alur dan ide cerita meski diungkapkan dengan ciri khas identitas tertentu. Tidak seperti puisi. Selain karakteristiknya yang lebih padat, pengungkapannya juga sangat terbatas dibanding prosa. Keterbatasan itu tak jarang membuat sastrawan dan pembaca kita saling kehilangan, khususnya ketika dihadapkan dengan puisi yang khas identitas tertentu. Pada akhirnya, wilayah eksplorasi puisi menjadi kian sempit, miskin estetika dan dangkal.

Secara umum yang terjadi dalam dunia perpuisian di Medan dewasa ini adalah terjebak pada perulangan-perulangan dengan wilayah kreativitas yang sama dengan para penulis puisi terdahulu.

Puisi Dairy

Mari kita amati puisi-puisi yang terbit di koran-koran Medan yang terbit setiap hari Minggu. Rata-rata puisi itu mengisahkan tentang suasana hati dengan diksi yang itu-itu saja. Akibatnya puisi-puisi itu tampak seragam, baik dari pilihan kata maupun nilai yang ada padanya. Jarang sekali ditemukan puisi yang berangkat dari sebuah gagasan yang matang. Dari idenya, kebanyakan semangat yang mendasari penulis semata-mata sekedar memenuhi kebutuhan katarsis, tak ubahnya menulis sebuah diary.

Selain krisis estetika, secara umum sastra di Medan juga tumbuh tanpa identitas. Identitas yang saya maksud menyangkut gagasan dengan warna pengungkapan yang khas oleh sastrawannya. Apa jadinya jika sebuah produk kebudayaan, yang konon diolah melalui pengalaman batin dan impresi yang cukup dalam, dilahirkan tanpa arah tujuan. Tak heran jika puisi-puisi itu tampil dengan begitu "sederhana"nya.

Menurut saya, selain tuntutan pembaca Medan yang pragmatis, hal lain yang membuat puisi itu tampak "sederhana" karena penulis kita tak terbiasa dengan kerja eksperimentasi. Pertama, boleh jadi karena kemiskinan wacana penulisnya sendiri maupun pembatasan yang dilakukan oleh media massa. Tidak bisa dipungkiri media massa memiliki peran penting dalam hal ini. Media massa memiliki dua peran, baik sebagai "pencipta" iklim maupun sekedar "pemelihara".

Sebagai "pencipta" iklim media punya posisi penting untuk membentuk iklim baru dalam dunia sastra. Sebagai "pemelihara" iklim, kadang tanpa disadari, media sendiri yang membunuh daya kreativitas karena membiarkan karya-karya sastra itu tumbuh begitu saja, meski dengan apa adanya.

Kedua, motivasi menulis puisi belum dihayati sebagai cara penulis mewujudkan diri dalam kehidupan masyarakatnya. Rata-rata penulis Medan belum mampu melepaskan diri, sehingga tak merasa berkepentingan bagi orang banyak. Kepekaan penulis masih terbatas pada hal-hal yang menyangkut pribadinya. Boleh jadi hal ini disebabkan karena penulis kita tidak mengambil peran yang jelas dalam kehidupan bermasyarakat. Tak heran jika dalam kehidupannya ada jarak bahkan kontradiksi antara idealisme karyanya dengan perilaku keseharian. Pemurtadan terhadap karya inilah yang sering menjadikan sastrawan kehilangan keutuhan dirinya sendiri sekaligus berdampak buruk bagi iklim bersastra itu sendiri.

Mestinya, sentralisme yang ada pada seorang sastrawan dijadikan energi untuk kepentingan yang lebih besar, sehingga visi-misi itu selalu terlihat dalam karya-karyanya. Misi kemanusiaan yang memang belum populer di kalangan sastrawan kita ini, menurut saya juga hal penting yang sering diabaikan sastrawan. Sastra sebagai alat pencerahan masih belum dimaksimalkan dengan baik. Karenanya wajar jika karya sastra di Medan sering tak memuaskan kemanusiaan kita. Sepanjang sastrawan tak kembali pulang pada tugas "politik"nya itu, keragaman itu tak akan pernah tercipta.

Ketiga, dasar filsafat rata-rata penulis yang tak mapan. Bagaimanapun pendekatan filsafat dalam menulis puisi mutlak diperlukan.

Filsafat menjadikan puisi tak seperti menara gading, meski dengan kedalaman makna yang dia miliki. Kekuatan filsafat dalam puisi menjadikannya bernilai universal meski ditulis berdasarkan pengalaman empiris masing-masing pribadi yang beragam. Filsafat akan membantu seseorang mengapresiasi puisi yang ditulis dengan latar belakang psikologi dan budaya yang berbeda.

Dengan filsafat pula sebuah puisi bisa mengakomodir perasaan, persoalan dan kenyataan bersama yang dirasakan oleh orang-orang sekalipun dari berbagai belahan bumi. Pada akhirnya filsafat akan menjadikan seorang sastrawan tidak tercerabut dari kebudayaan global dengan lokalitas yang dimilikinya. Dalam kapasitas saya sebagai salah satu penjaga halaman sastra di salah satu koran Medan, saya sering mendapati puisi yang muatannya tak memiliki pijakan filsafat. Bagaimana mungkin ia akan berguna bagi orang lain?

Tak Mampu Beranalogi

Faktor lain yang membuat karya sastra Medan jadi seragam karena ketidakmampuan sastrawannya beranalogi yakni mengolah isu-isu dengan cara yang estetis. Harus diakui kegagalan para sastrawan Medan terutama terletak pada ketakberhasilan memindahkan realita ke dalam teks. Ditambah lagi dengan keengganan sastrawan Medan berkecimpung dalam dunia diskusi dan dialektika. Alhasil tak jarang suatu isu baru diangkat ketika sudah berlalu jauh. Dibanding dinamika sosial politik yang begitu progresif, karya sastra seakan tak mampu berbuat apa-apa. Isu-isu yang sedang berkembang seringkali luput dari apresiasi para sastrawan Medan. Ketika terjadi gejolak sosial di negeri ini, misalnya, para sastrawan Medan masih saja bicara soal "hujan" "malam" "airmata".

Jikapun ada yang menuliskan realita itu ke dalam bentuk puisi namun dengan analogi yang "terang-benderang". Sontak sastrawan kita kehilangan daya puitisnya. Berbeda ketika dia menulis puisi berdasarkan suasana hatinya itu.

Sudah waktunya sastrawan Medan kembali ke realita hidup masyarakatnya untuk mengungkap serta menjawab persoalan demi persoalan tidak hanya secara etis tapi juga bermakna.