Senin, 20 Februari 2012

BERSIN

Cerpen M.Yunus Rangkuti

“Hatsyim! Hatsyim!”

Bersin menyalak mengoyak keheningan dinihari. Mengusik inspirasi; membuyar mimpi. Kebisuan menjalari pecah seketika .
“He! Siapa yang bersin? Mengganggu ketenangan saja.” Satu Tanya terdengar dari pojokan kiri ruangan.
“Siapa lagi, jika bukan si Anwar!” Satu jawab menimpali dari sisi kiri. “Memang sudah bawaannya, Kawan!”
“Jangan selalu berprasangka, Bung.” Satu bicara bernada rendah mencampuri.
“Bukan prasangka, ini kenyataan, Kawan!”
“Anwarkan bersin, mengapa dipermasalahkan?”
“Bersin sekalipun, ada etikanya. Menjauh dulu, menutup bagian hidung dan mulut, lalu minta maaf. Jangan diledakkan sesukanya. Selain terlihat kurang sopan, bias menularkan penyakit.”
“Bersin itu bawaannya spontan, Bung. Mendesak untuk segera dilepaskan. Jika ditahan-tahan, malah menjadikan perasaan tak nyaman. Tersiksa, atau bikin stress. Seperti desakan ingin buang angin, jika ditahan-tahan bisa mulas dibuatnya.”
“Anda membelanya?”
“Bukan soal bela-membela,Bung. Itu tendensius! Jangan menggiring pembicaraan kea rah pertentangan.”
“Aduh, mengapa pada bertengkar? Tak kenal waktu dan tempat pula.”
“Ah, bukan bertengkar Pak Ali. Persoalan beda pendapat saja.”
“Beda pendapat apa saling debat? Hentikanlah dulu. Kita perlu istirahat, supaya wajah kita tampak segar dipenampilan berikutnya.”
***
Waktu terus bergulir menjalari malam bersama gairah nyamuk-nyamuk mencium aroma darah. Dengingnya mengusik kuping-kuping. Seekor nyamuk terperosok ke lubang hidung terperangkap bulu-bulu berlumur cairan. Geliatnya terasa menggelitik.
“Hatsyim! Hatsyim!”
Bersin kembali menyalak, mengoyak hening mulai mendekap. Inspirasi dan mimpi-
Mimpi kembali henti.
“Nyamuk sialan! Mengganggu saja bisanya.” Satu suara setengah senggak seketika menyeruak.
“Bah! Ketularan bersin pulak kau, tolong agak diredam, jangan mengarah ke kami
nanti terkontaminasi. “ Satu suara hadir menyindir.
“Aku minta maaf. Sesuatu yang spontan, sulit untuk kutahan.”
“Jangan jadikan hal-hal spontan sebagai alasan, Kawan. Itu memperlihatkan sisi kelemahan.”
“Anda mulai memancing perdebatan, Bung?”
“Terserah menanggapinya.”
“Aduh, kenapa kembali bertengkar lagi? Kalian seperti api dalam sekam, selalu saja ada hal menyulut pertengkaran.”
“Bukan begitu Pak Ali. Si Syam sama saja dengan Anwar, bersin seenaknya.”
“Sudah kukatakan, itu spontan saja.”
“Sering kita melakukan kesalahan tanpa kita menyadarinya. Kita anggap sebagai hal yang wajar saja, karena kebetulan atau kebiasaan.”
“Anda mengarah ke hal-hal pribadi, Bung.”
“ Ada orang yang bawaannya marah melulu.Jika tidak marah, malah pusing rasanya. Ada yang banyak cerita, memamksa orang terus mendengar, meski orang lain telah merasa jemu dan tersiksa. Itu kebiasaan tidak baik, Kawan.”
“Bersinku spontan, Bung! Bukan kebiasaan.”
“Sudah, sudahlah bapak mau meneruskan tidur. Kita harus memanfaatkan waktu istirahat malam ini. Besok penutupan pameran, pengunjung akan banyak menyaksikan. Apa kita mau menyambut mereka dengan gurat kantuk dan lelah di wajah?”
“Nyamuk-nyamuk terus mengganggu Pak Ali. Bagaimana jika kipas angin dihidupkan?”
“Terserah.”
*****
Waktu terus bergulir bersama desir angin. Jam di dinding berdenting tiga kali. Suasana senyap kian mendekap. Kipas terus berputar dan angin menyebar menampar wajah-wajah lelah dipeluk kantuk.
“Hatsyim!Hatsyim!”
Bersin kembali menyalak menyeruak kesenyapan suasana. Melengking di dinding-dinding kuping dan memantul dalam bentuk ruang.
“Bersin lagi! Bersin lagi! Mengganggu tidur saja.” Satu tegur meluncur dari geliat tidur.
“Siapa yang mengganggu ? Justru aku terganggu, karena hidungku kemasukan debu. Matikan saja kipas itu!”
“Hidungmu yang menyalah, War. Kau salahkan pulak kipas angin.”
“Menyalah apanya?”
“Sama kau semua salah, tidak ada yang cocok.”
“Aduh. Bertengkar lagi, rebut lagi. Tidak pernah usai.”
“Maaf Pak Ali, Kitakan perlu istirahat, tapi baru sesaat bersin lagi mengganggu. Mulanya Anwar, lalu si Syam, balik lagi sama Anwar. Keduanya meyalahkan kipas angin dan nyamuk. Itukan hanya alasan. Betulkan Pak Ali?”
“Seharusnya bukan soal betul atau salah yang kita ributkan. Itu tak akan pernah selesai. Yang penting bagaimana cara kita menyikapinya. Bersin sesungguhnya satu anugrah. Bersin adalah reaksi tubuh mengantisipasi, menolak, bahkan mengeluarkan virus penyakit. Tapi ketika bersin , kita harus bersikap sopan,. Ada tata karma, juga do’a mengaturnya. Ini yang selalu kita sepelekan. Kita sering meras bertindfak benar berdasar alasan atau kebiasaan . Padahal, bagi yang lainnya belum tentu, juga berdasar alasan. Masing-masing kita memiliki perasaan dalam memandang persoalan. Yang utama adalah menjaga perasaan, sehingga terkesan kewajaran bukan pemaksaan.”
*****
Waktu terus merayap di malam menggelap. Suasana kembali senyap. Angin menusuk memperberat rasa kantuk. Di luar terdengar langkah dan ketuk sepatu. Kilau cahaya senter menerobos pintu kaca menyorot isi ruangan. Mengarah ke kursi dan meja, lalu berpindah ke dinding. Poto wajah-wajah beserta puisinya tergantung di dinding dalam bingkainya masing-masing.
“Sudah kubilang, itu perasaanmu saja.”
“Aku yakin dan tidak salah mendengar. Ada salak bersin, orang bicara, rebut dan tengkar dari ruangan ini.”
“Ah! Kau hanya mengada-ada. Mari kita ke pos jaga. Aku sangat mengantuk.” Kedua penjaga malam serentak beranjak.
“Hatsyim! Hatsyim!”
Bersin kembali menyalak. Kedua penjaga malam spontan menoleh kea rah ruang pameran. Di hati mereka ada detak menyentak. Keduanya bak sosok patung terpacak tak bergerak.

Sampali, 06

M.Yunus Rangkuti

Selalu Merindu

sejumput kabut memutih di matamu
adalah segumpal rindu. entah berapa lama
setia kau jaga hingga senja tiba di beranda
vas dengan bunga berganti warna
menemani dalam penantian tak pasti
selalu kau simpan rindu, walau
dera gelisah pun gairah mengecamuki
kabut di matamu memutih hatimu
memasrah tanpa pernah paling arah
meski angin senja terus menjulur
dalam balur goda memenuhi beranda
setiamu merindu
selalu merindu


Luka

ini luka menyeri dalam siksa sepi menjalari
hari ke hari. gairah tumpah diburu angan cumbu
dendam menikam dalam diam angin lalu
memasung ragu
apalagi kan dituangkan? gemuruh rindu
bak ombak menghentak karang tegak
apalagi kan ditumpah? amarah aku tak punya
hanya kata merangkai memuisi di sanubari

:luka itu tak kan sembuh
walau air mata terus membasuh
percuma engkau mengeluh
hapus semua
lupakan saja!

sampali,2006


Serenada dalam Bingkai Doa

selalu aku terjatuh mengeluh tak jua simpuh
luka duka dan tangisku hanya kukobar
dalam kata-kata belum doa
selalu aku gemetar dalam debar dan nanar
cerita puisiku masih sekedar khabar
belum doa-doa menggelepar
malam ini di penghujung tahun aku masih melantun
puisi-puisi lamun melenyap ditelan sepi gurun
belum doa-doa mengalun
esok di tahun berganti mungkin aku masih menangis
Tuhan, jangan biarkan aku menjadi penyair pesimis
merangkai kata-kata miris
Tuhan, alirkan puisi-puisiku menuju muara doa-doa
sepenuh simpuh



Kemarilah Menumpah Rindu hingga Memisah Ruang Waktu

sebegitu jauh bentang ruang ditempuh
waktu berlalu dalam deru rindu
wajahmu membayang setiap kali kukenang
hari-hari kita lalui

jangan menghindar dan menatap samar
kemarilah menumpah rindu dalam pelukku
hingga ruang waktu kembali memisah

sampali, 2006

Gemuruh Waktu Menyergap tak Berjawab

tiada lagi tersisa bersama waktu berlalu
hanya gemuruh rindu terpendam dalam diam
kecamuknya menyiksa, ketika apa saja
menjelma jadi cerita pernah dirasa
aku menyendiri terperangkap senyap
sejuta kata merangkai bertubi tanya
menyergap tak terjawab, sebab selalu saja
diawali andai demi andai tak pasti

Mungkin Sebatas Ini Waktumu

bukan pagiku hilang dan sesal membayang
seperti para petani kusambut pagi semai asa diri
selalu kugeluti hari hingga tahun berganti
tiada kucari , hanya menjalani
“pergilah” aku tak akan menghalang
mungkin sebatas ini waktumu bersamaku
air mata, atau resah marah sama saja
jangan mendrama di keikhlasanku ini

sampali,2006

HAJATAN HUJAN

jelang hajatan awan menebal menggumpal
mendung menggelayut menyaput cerah
tuan rumah henyak murung dibalut resah
bawang dan cabai ditusuk lidi di pojokan halaman
untuk tangkal supaya jangan turun hujan
sang pawang membentang sehelai selendang
menaruh tujuh rupa kembang dan ayam panggang
tiga kepal nasi melengkapi sesaji
selepas semedi pawang berdiri lalu menari
mulut komat kamit menatapi langit
memepermain keris ingin menangkis gerimis
tubuh bergetar saat mantranya terdengar

“hooi penunggu penjuru alam
yang semayam di arakan awan
yang terpejam di dingin angin
yang mendekam di hati bumi
yang membenam di perut laut
hari ini kami hajatan jangan biarkan diguyur hujan
nah,nah,puih!
nah,nah,puih!
hooi segala penjaga mayapada
penjaga pintu jendela cuaca
tutupkan pintu jendela hujanmu
hujan di hari ini janganlah di sini
nah,nah,puih!
nah,nah,puih!”

saat hajatan digelar kilat sambar-menyambar
petir seketika menggelegar hingar
tuan rumah tersentak sang pawang terpacak
hujan turun kian tak tertahan
di halaman bocah-bocah telanjang menari riang
main kejaran bermandikan hujan

“kuluk kuluk hujan turun
kuluk kuluk hujan deras
kuluk kuluk hujan turun
kuluk kuluk hujan deras
horre horre horre!”

2006



PESTA PENYAIR

satu ketika penyair bersua pesta sejuta kata
berbunga sajak menebar nuansa estetika
merebak bak bianglala memancar pesona tiga warna
hujan henti tengah hari matahari menginspirasi
penyair menari imaji mengekspresi diri
seribu untai puisi berbingkai antologi

pesta tiba bertema mesra
tanpa curiga, ambisi sensasi semata
tak fenomena tak fatamorgana
ini pesta aspirasi nurani
mengapresiasi nilai hakiki
jangan usik kemesraan ini!

(Sampali, 2007)

TORSA NI NAMORA PANDE BOSI - sajak-sajak Raudah Jambak

Alunan sordam berlayar bersama kesiur angin
Menelusuri persawahan di antara padi-padi
Sepanjang hamparan sigalangan membakar dingin
Dan burung-burung yang sibuk memetiki hasapi

“oi, sahala na mar tondi
dan para penguasa huta ni humang
aku kawini si jelita dari kubu
yang menitiskan si langkitang
yang menitiskan si baitang”

beribu pustaha memerciki ceracau kemarau
meratapi pepohonan yang hibuk menghitung usia huta-huta
daun-daun berguguran di atas hamparan surat tulak-tulak
dan ruas-ruas bambu yang melantunkan andung-andung

“oi, tondi na marsahala
aku penuhi janjian di sopo sio rancang magodang
aku nikahi nan tuan layan bulan
yang melahirkan sutan borayun
yang melahirkan sutan bugis”

tetabuh gondang mengaduh bersama hentakan ogung
menggebuki langit yang menahan beribu jerit

“oi begu na mar sahala dohot mar tondi
akulah namora pande bosi
yang kehilangan makam sendiri “

medan,taman budaya 06

SEBAB PAHLAWAN NAMAKU

Di dalam negeri yang penuh rahasia, aku terlahir
Dari seorang ibu yang tak henti mengumpulkan
Segala tetes air mata di pualam pipinya
Tumbuh besar sampai sekarang menjaga usia
Setua misteri yang beralis segala teka teki
Dan memberi namaku Pahlawan

Bukan aku yang meminta nama segagah itu
Bukan aku yang memaksa untuk ditabalkan
Bukan aku yang terpaksa atau bahkan rela
Merengek-rengek agar semua orang tahu
Tidak ada Pahlawan selain aku

Aku tidak harus mati dulu
Apalagi mengumpulkan kartu tanda penduduk
Atau mengumpulkan kartu keluarga sekian ribu
Bahkan harus PEMILU agar ibu menuliskan
Kata Pahlawan di keningku

Ooi, Aku bangun jiwa raga ini
Aku bangun cita-cita ini
Aku bangun negeri ini
Dengan nurani
sebab pahlawan namaku

Ooi, Tak harus kutempuh cara yang sama
Tak harus kutempuh jalan membabi buta
Tak harus kutempuh menikung suka-suka
Tapi kususuri cara yang sesederhana jiwa
sebab pahlawan namaku


Ooi, Sebab aku terlahir
di dalam negeri penuh rahasia dari seorang ibu
yang tak henti mengumpulkan segala tetes air mata
di pualam pipinya,
Maka pahlawan namaku

Bogor, 2008


MEDAN PUTRI

Dan
kepadamu aku bercerita
kepadamu segalanya kukisahkan
akulah si Guru Patimpus itu
mewariskan si Kolok
bermatapencaharian si Sepuluh dua kuta
bertani dan menanam lada
akulah si Guru Patimpus itu
mewariskan si Kecik
menenun ilmu berguru ke Datuk kota bangun

maka,
kepadamu aku serahkan
kepadamu sebuah kota didirikan
antara sungai Deli
sampai sungai Babura
sebuah benteng bersisa dinding
lapis bentuk bundaran, cikal bakal
si kampung medan

Oooi,
Akulah si Guru Patimpus
semua duri kubuat hambus
semua onak kubuat mampus

dan
kepadamu aku bercerita
di tanah deli ini medan putri berdiri
maka,
kepadamu aku serahkan
sebagai catatan dalam ingatan


medan, 2009


SERATUS UNTAI BUJI TASBIH

Telah kurangkai seratus untai biji tasbih
Mengurai asmamu dalam amalan dalam ilahi
Anta maksudi waridhoka matlubi

Telah kuangkai seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai tapi gejolak jiwa ini
Tak mampu jua menampung tumpahan kerinduan
Yang membanjir air mata
Padahal telah kuarungi keluasan laut semestamu
Padahal telah kukayuh sampan sajadahku
Menuju rahmatmu

Telah kurangkai seratus untai biji tasbih
Telah kurangkai
Bersama takbir
Bersama zikir
Bersama air
Bersama semilir
Bersama musafir
Bersama fakir
Bersama ALLAH.........


INDONESIA, MERAH-PUTIHKU

Indonesia, Indonesia
di negeri ini aku dilahirkan
di negeri ini aku dibesarkan
di negeri ini aku menggapai
segala impian
segala harapan
segala cita
dan cinta

Indonesia, Indonesia
engkau adalah taman terindah
ibu yang paling ramah, penuh
kasih dan sayang
dalam suka
maupun duka

Indonesia, Indonesia
adalah do’a-do’a hikmat sebelum tidur,
adalah gula dalam setiap makanan maupun manisan
adalah cahaya penerang segala terang maupun yang kabur
adalah puncak segala warna dalam lukisan dan racik tenunan

Indonesia, Indonesia
laksana obat penghilang perih luka-luka
tilam paling nyaman setiap ketentraman berdiam
danau tempat membasuh tumpukan-tumpukan duka
dan senyuman dalam mata paling nyalang atau sebenam pejam

Indonesia, Indonesia
barisan semangat sepanjang carnaval
anak-anak yang berlari riang sepanjang jermal
kekasih segala pujaan, membenam segala gombal

Indonesia, Indonesia
merah darahku
putih tulangku
di tubuhku
kita menyatu
padu

medan, 2010

DO’A SEORANG GURU UNTUK MURID-MURIDNYA

Tuhan,
Dengan bias sebatang lilin ini
Aku hanya berharap jangan padamkan
Cahaya dalam hati kami
Walau rekening sujud belum sempat
Terbayarkan

Tuhan,
aku berharap
Jangan putus aliran rahman dan rahim-Mu
Di rumah cinta kami
Atau jangan bebankan bea denda dosa
Yang berlebih pada tagihan karat hati kami
Sebab, kami masih punya generasi penerus negri ini
Yang perlu disuguhi saluran kasih jiwa
Pada televisi pencerahan
Atau rice-cooker ketabahan
serta rekening ilmu tak berkesudahan

Tuhan ,
Dengan bias sebatang lilin ini
Terangkanlah jiwa-jiwa yang gelisah
Dari hati dan pikiran yang disumbat kegelapan.

Perkenankanlah
Keinginan kami

Akulah Waktu, Kaulah Masa, Kita Catat Sejarah

/1/
Akulah waktu menggaungkan takbir bersama titik embun
yang jatuh dari ujung daun-daun dan angin yang gagal menangkapnya
serta seekor ayam jantan di bubungan yang lepas satu bulunya
sesungging senyum Tongging

Akulah Waktu yang kehilangan makna beban
Sebab ia adalah jalan menuju Tuhan
Sebab ia adalah cermin buat berdandan

Akulah waktu penguasa segala musim basah maupun kering
panas dan juga dingin. Gemuruh maupun sunyi. Tapi tetap sujudku
tapi tetap zikirku tak hilang dari sajadah sepanjang sejarah.

Akulah waktu yang menyimpan lengking tangisan pertama
sampai pada halaman-halaman kehidupan yang tenggelam
sepanjang aliran sungai darah dan degup detak jantung berderak

/2/
Akulah waktu, maka kaulah masa dari puncak gunung tertinggi.
perlahan menurun, perlahan mendaki lalu memutar memungut lara.
mengitari perjalanan batu dan pepohonan alip ba ta segala cinta!
Dengarlah angin yang berhembus! Dengarlah! Siulannya meninabobokkan
Elusannya begitu melenakan menyulam mimpi sewarna udara
bertawaflah! Ber-Sa'ilah! mencari jiwamu yang terus menari
di seputar wajah danau toba

Akulah waktu, maka kaulah masa laksana Musa yang membelah laut.
Seperti Musa yang berjumpa Tuhan di bukit Tursina. Seperti Musa
yang berburu zikir bersama Khaidir
lalu Batu, lalu waktu, lalu lara, lalu masa!
Lalu adam, lalu Ibrahim, lalu Muhammad!
Laa ilaa hailallah, Muhammadurasulullah!

/3/
Akulah waktu, kaulah masa kita catat sejarah
Kerikil-kerikil tajam tafsiran-tafsiran kelam
yang tercatat di baris-baris halaman kitab keabadian.
di aliran waktu
di aliran rindu
di aliran cemburu
sederas sipiso-piso
sedingin sidompak

Komunitas Home Poetry, 2008-2010


EPISODE

1/
selamat kuucapkan bagi angin yang terlanjur membuncah
dari lorong yang paling sempit, sebab jika kau menetap
derita yang ke sekian takkan pernah lelah dari kesengsaraan

selamat kuucapkan bagi air yang akhirnya mengental
dan mengalir begitu saja, walau terkadang tumpah menyembur
kemana-mana, sebab jika kau tetap berdiam maka bukan hanya dada
yang terlanjur sesak. Tetapi hidup akan segera mengembara

selamat kuucapkan bagi kalian yang mengunyah-kunyah bahagia
seperti hari ini tidak ada derita seperti angin atau juga air. tetapi,
ia juga bukan api yang terlalu membara. Ia adalah si pengembara
sukacita yang kita tidak pernah tahu dimana berumah

2/
senyum adalah sambutan pertama sebelum kuulurkan tangan ini
dalam detik waktu yang lupa kita hitung. Karena memang kita tak
akan pernah punya waktu untuk menghitungnya.

salam adalah ucapan yang paling berkah sambil mengulurkan tangan ini
seperti waktu sebelumnya kita pernah saling mengepalkan tangan dan
menjunjungnya ke udara, tenang kisah yang sebenarnya harus dilupakan

maka, masuklah sebelum segalanya seperti tanpa kesan dan hambar dari senyum
yang pura-pura atau erat jabat tangan yang masih menyimpan bara api di dada
dan masuklah dalam lingkaran seorang raja

3/
sudahlah tak usah kau ingat lagi tentang luka yang
sampai saat ini belum mengering di dadamu. Lepaskan
ia bersama kesiur angin. biarkan ia dibawa ke negeri entah

hapuslah catatan-catatan hitam di buku pikiranmu. Biarkan
ia terhapus hujan yang senantias mengguyurnya dalam setiap
kesempatan. Lalu, menguburnya ke dalam tanah yang

mari, kita duduk satu meja. Menikmati hidangan yang tersedia
sesuai selera yang pernah kau catatakan dalam buku keinginanmu
di halaman pertengahan. Dan teguklah segelas air beraroma
sukacita jika memang kita sudah merdeka

4/
seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
rasanya terlalu cepat, terlalu ringkas perjumpaan ini
padahal dada ini masih penuh dengan ungkapan rindu
masih penuh pesan-pesan harap untuk-Mu

berapa gunung yang didaki, berapa lembah yang dituruni
berapa samudra yang direnangi, rasanya baru inilah
perjumpaan kita yang pertama kali

seperti angin yang menyisir gunung, lembah dan samudra
sampai juga percakapan kita, walau seperti meneguk embun
dari gelas sebesar angan yang telah lama terletak di atas
meja perjamuan sekian lama sempat tertinggal

TENTANG MATAHARI, EMBUN DAN KAU

apalah arti matahari pagi bagimu yang menyembul seketika
dari detik jarum jam yang berdetak pada dinding rumah kita
apalagi yang kau tunggu? Matahari telah pun meninggalkan jejak biasnya
pada sisa tangis debu-debu di jendela matamu
malam mengintip diam-diam. Gerimis berguguran di rerumputan.

apalah arti butiran embun di daun yang menetes di ujung tahun
kecipak air comberan dan tarian dedaunan di kejauhan
pada halaman samping rumah kita, usah kau hanyut
atau kau telah terjerumus dalam limbah berbau? Matahari telah membenam
di antara isak tangis menuju peraduan. Meninggalkan sisa biasnya
lantas layaknya terminal walau tempat persinggahan
Ia datang dan pergi sepanjang kurun yang tak pernah
Ditentukan. Tapi, ingatannya kuat. Maka, di sisa-sisa
Malam ini aku hanya berdo’a semoga kau tidak
Pernah lupa
dengan segala riwayat cerita
segala derita!
Medan, 2011


TUGU GURU PATIMPUS

ada lembaran sejarah, sahdan, tentang catatan
yang terlepas hurup-hurupnya dari paragraf-paragraf usang
sebuah pundamen yang melapuk, yang tergerus
membentuk debu-debu, menebal menjadi cerita lain
dalam keniscayaan sebuah perobahan mengekalkan perjalanan,
mengekalkan peradaban urban

di sini pedagang kaki lima menjadwalkan singgah
di sini orang-orang jalananmenetapkan segala istirah
di sini keteraturan adalah sekadar alas kaki mengikis daki-daki

bulan dan matahari hanyalah jam langit yang mengisyaratkan
kapan datang dan pergi. lalu, lampu taman yang kadang redup
menarikan iramanya sendiri menuju keabadian para pemimpi
yang sesekali usil mencuri bias-bias matahari dan menitipkannya
diam-diam pada bulan


ada lembaran sejarah, sahdan, terbang entah kemana
bersamaan keterpukauan gerbong-gerbong tua
langsirkan gelisah perempuan-perempuan penari
menghibur para petualang yang sejenak datang
mencatatkan liar pandang, kemudian pergi menembus
bilah-bilah sunyi, mencatatkan sejarah lain menjadi cerita lain
membenam teriak segala pongah, mencampak derak suara
ke langit terbelah

di sini pernah ada kobaran api berabad silam membara
percik riwayat kisah-kisah semangat juang
di sini pernah ada gegap sejarah mencatatkan awal mula
pemancakan gedung-gedung nan gagah
dan di sini Guru Patimpus berdiri abadi meratapi kisah lain
dari cerita lain tentang anak-anak jalanan, deru knalpot tua
dan perempuan-perempuan berrok mini yang entah kapan datang,
yang entah kapan pergi


Komunitas HP, Medan, 10-11

Syair Perang Sunggal



Bismillah itu permulaan kalam
dengan nama Allah Kholikul Alam
di permulaan kitab diperbuat nazam
supaya diingat sejarah yang tersulam

Tahun 1872 dalam kitab dicatatkan
sejarah perang Sunggal mulai dimulakan
tahun 1895 Batak Oorlog lain sebutan
akhir perang besar memakan banyak korban

Datuk Kecil pahlawan yang disebutkan
mempertahankan prinsip dan keyakinan
Datuk Jalil dan Sulong Barat menyambut sahutan
menjaga Sunggal dari kejahatan dan keserakahan

Datuk Kecil menyerang menerjang
bersama Datuk Jalil dan Sulong Barat berjuang
rakyat kecil menjadi semakin senang
jaga Serbanyaman dari amukan perang

Sultan Deli penyebab pertama
Tuanku Mahmud Perkasa Alam namanya
berhubungan dengan pemerintah Belanda
menyerahkan tanah sebagai cinderamata

Maka, perangpun telah dimulai
Korps ekspedisi lalu dipersenjatai
tiga kali pengiriman Sunggal dibantai
khianat Van Stuwe, pahlawan kita terkulai

Perjuangan tidaklah sampai di situ
Datuk Sri Diraja ikut menjadi pemersatu
bersama adiknya, Datuk Alang, terus menyerbu
menghancurkan Belanda, menjadikannya abu

Perlawanan rakyat semakin berapi-api
gerilya Langkat di Gunung Tinggi, jadilah bukti
perang Tuan Rondahain, di Bedagai, semakin berani
gerilya Pak Netek, di Asahan, juga menjadi saksi


Seperti Datuk Kecil dan Datuk Jalil sebelumnya
Datuk Sri Diraja dan Datuk Alang bernasib sama
di bawah rongrongan Belanda dan antek-anteknya
akhirnya, wilayah Datuk Sunggal porak-poranda

Bersungut dawai, berkapan cindai
sifat pahlawan Datuk Kecil telah tersemai
Datuk Sri Diraja Sunggal kemenakan pandai
ikut bersungut dawai, berkapan cindai

Semangat juang pahlawan Sunggal mari dikenang
tidak hanya di mulut tapi ikut berjuang
membangun bangsa yang bercabang-cabang
akibat korupsi yang terus berkembang

Alhamdulillah kami haturkan
puji kepada Allah kami sertakan
segala khilaf dan salah mohon maafkan
niat baik dari kami tolong fahamkan

KOMUNITAS HOME POETRY,96

TORSA NI NAMORA PANDE BOSI

Alunan sordam berlayar bersama kesiur angin
Menelusuri persawahan di antara padi-padi
Sepanjang hamparan sigalangan membakar dingin
Dan burung-burung yang sibuk memetiki hasapi

“oi, sahala na mar tondi
dan para penguasa huta ni humang
aku kawini si jelita dari kubu
yang menitiskan si langkitang
yang menitiskan si baitang”

beribu pustaha memerciki ceracau kemarau
meratapi pepohonan yang hibuk menghitung usia huta-huta
daun-daun berguguran di atas hamparan surat tulak-tulak
dan ruas-ruas bambu yang melantunkan andung-andung

“oi, tondi na marsahala
aku penuhi janjian di sopo sio rancang magodang
aku nikahi nan tuan layan bulan
yang melahirkan sutan borayun
yang melahirkan sutan bugis”

tetabuh gondang mengaduh bersama hentakan ogung
menggebuki langit yang menahan beribu jerit

“oi begu na mar sahala dohot mar tondi
akulah namora pande bosi
yang kehilangan makam sendiri “

medan,taman budaya 06