Minggu, 18 Maret 2012

Menilik Kegelisahan pada Penulis Muda

Sartika Sari

"saya merasa diri saya benar-benar seorang penyair: asyik bermain-main kata sampai di dalamnya tersusun dunia yang bermakna." (Sapardi Djoko Darmono, Eneste 1984:134)
Begitu beragamnya kepuasan yang ditemukan ketika menjelmakan emosi dalam sebentuk puisi. Ya, salah satu karya sastra ini memang kerap menjadi wadah pelipur. Tentu saja, di baliknya setiap penulis memiliki dorongan psikologis yang tidak sama. Berbagai dorongan tersebut bisa saja muncul dari kondisi kejiwaan ataupun keadaan lingkungan yang kemudian menjadi inspirasi pada proses kreatifnya.

Bicara tentang proses kreatif kelahiran sebuah karya puisi, agaknya banyak keunikan yang ditemukan ketika membaca puisi-puisi yang ditulis oleh para penulis muda-rentang usia 17- 20 tahun. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri jika akhirnya hal ini menjadi sebuah kejenuhan. Wajar saja, itu merupakan asumsi pribadi pembaca yang secara psikologis juga berada pada level yang berbeda-beda.

Membaca puisi-puisi remaja, seperti melihat kepolosan, kejujuran, bara emosi dan kesederhanaan yang menurut hemat saya sekali lagi sebagai suatu keunikan. Keadaan ini sejalan memang dengan kondisi psikis penulis muda yang cenderung berada dalam titik kegalauan dan masih labil. Di sana terdapat suatu keresahan lain yang muncul ketika secara pribadi menjadi penikmatnya. Ini berkaitan dengan motivasi dan imbasnya adalah pada keberlanjutan karya. Mengapa?

Dalam suatu pengamatan mini pada sesama rekan, saya mendapati kejujuran ikhwal latar belakang kemunculan sebuah puisi dan sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru lagi.

"Menulis jika mood saja." Anggapan demikian rasanya sudah tenar dan pada beberapa kalangan, menjadi sebuah kebiasaan. Hal ini juga kerap melanda para penulis muda berbakat. Empat dari lima penulis yang memberi keterangan, mengaku masih cenderung mengikut pada mood. Seperti jika pada situasi sunyi dan saat-saat sedih, bahagia dan kondisi hati yang terenyuh, barulah bisa mengalirkan sebuah puisi. Hal ini mengakibatkan intensitas menulis kerap terganggu karena mengalami kesulitan dalam menemukan ide untuk menulis. Tidak ada yang salah memang, karena menulis kapanpun, dimanapun adalah hak pribadi seorang penulis. Apa jadinya jika ketergantungan pada mood pada akhirnya akan menghambat kreatifitas?

Berlanjut pada wujud puisi. Secara sederhana, ketika diidentifikasi dengan berpijak pada pernyataan J. Ellema dalam petica (Noor, 2005:45). Tema-tema cinta birahi dan luapan emosi dalam puisi-puisi penulis muda (rentang usia 17-20 tahun) cenderung berada pada tingkatan kejiwaan anorganis yang merupakan tingkatan kejiwaan terendah. Pada tingkatan ini, bila tercipta dalam karya sastra berupa pola bunyi, irama, baris sajak, mengutamakan permainan diksi dan pemikiran ke depan tentang karya yang akan dibaca di depan panggung atau sekedar dibaca di dalam kamar.

Kemudian pada tingkatan kejiwaan vegetative yang merupakan tingkat kedua. Dalam karya sastra berupa rangkaian kata yang membentuk suasana mesra, senang, sedih dan sebagainya. Permainan bunyi kurang, tetapi sentuhan menggebu-gebu sering terjadi.

Masih dalam konteks membaca kegelisahan pada penulis muda. Dalam suatu kesempatan, Acep Zamzam Noor memberikan pandangan perihal kondisi penulis. Dia menyatakan, ada dua kondisi penulis. Penulis yang rajin dan penulis yang kreatif. Penulis yang rajin tentu sangat mengutamakan intensitas menulis. Berbeda halnya dengan penulis kreatif yang belum tentu rajin. Kondisi ini tentu berkaitan dengan kepribadian penulisnya. Dari suatu penelitian tentang pendapat para ahli psikologi Indonesia mengenai ciri-ciri kepribadian kreatif (Munandar, 1977) diperoleh urutan ciri-ciri sebagai berikut: (a) Imajinatif, (b) berprakasra (dapat memulai sesuatu sendiri), (c) mempunyai minat yang luas, (d) mandiri (bebas dalam berpikir), (e) rasa ingin tahu yang kuat, (f) kepetualangan, (g) penuh semangat, (h) percaya diri, (i) bersedia mengambil resiko, (j) berani dalam keyakinan.

Penulis muda adalah kantung-kantung imajinasi yang sangat potensial. Tentu jika benar-benar serius memasaknya. Sangat disayangkan jika kepotensialan itu dibiarkan terbenam. Kiranya kita butuh keseriusan berlatih dan kesungguhan dalam menulis.

Masalah mood, sebagai pribadi yang beranjak dewasa sepertinya kemampuan mengatur diri sudah mesti kita miliki. Termasuk dalam menulis. Lebih baik jika perlahan kita belajar menyadari bahwa segala sesuatu dapat dijadikan sebuah ide dan inspirasi untuk ditulis.

Jika hanya berdiam diri dan menanti ide datang, bahkan yang lebih parahnya tidak menyadari kedatangannya, tentu masing-masing kita merasakan kesukaran. Semua ini bertujuan agar nantinya, perjalanan menulis menemui hasil yang maksimal dan tidak menjadi musiman. Ya, bukan tidak mungkin pencapaian kekhusukan dalam puisi juga akan kita miliki.

Kembali lagi, semua punya pilihan. Menulis adalah kebebasan. Menjadi penulis yang rajin adalah hal yang sangat bagus. Penulis kreatif juga pilihan yang baik. Tetapi, bagaimana dengan penulis kreatif yag rajin? Luar biasa bukan?

Parade Budaya dalam Sastra

Hasan Al Banna

Hampir tak dapat dianulir, sastra hadir sebagai wujud pendokumentasian sejarah perjalanan panjang manusia - dengan segala unsur yang melingkupinya. Bukankah sejak dahulu, sastra menunaikan tugas dalam memotret perjalanan manusia dan segenap budaya yang meliputinya? Agus R. Sarjono (2003:1) mengungkapkan, sastra dilahirkan -dan tak jarang melahirkan- lingkungannya. Hal ini makin menegaskan, jika sastra tidak lekang dari pengaruh lingkungan. Karena itu, sejauh-jauh sastra berkelena, tetap bertolak dari dan akan kembali ke lingkungannya berada. Lingkungan beserta langit dan bumi yang menengahkan nya menjadi inti inspirasi bagi sastra.
Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya! Dengan demikian, hampir dapat dipastikan, jika karya sastra menyajikan segenap hal yang berkaitan dengan kebudayaan. Tak dapat dibantah, manusia adalah makhluk berbudaya. Budaya lahir dan dikembangkan oleh manusia (secara invidual maupun berkelompok) melalui akal dan pikiran, kebiasaan dan tradisi.

Kebudayan merupakan hasil urun rembug manusia yang sangat bergantung pada pengembangan kemampuan yang unik dalam memanfatkan segenap simbol, tanda-tanda atau isyarat alam. Dengan demikian, manusia dapat mengembangkan kebudayaan sesuai dengan cipta, rasa dan karsa masing-masing.

Indonesia dikenal sebagai bangsa dengan harta karun budaya melimpah. Dapat dibayangkan, betapa karya sastra Indonesia tersusun dari sulur-sulur kebudayaan Indonesia yang perkembangan waktu, tentu, berlangsung dinamis.

Apa saja yang terkandung dalam kebudayaan? Secara garis besar, Koentjaraningrat (1974:83) membedakan tiga wujud kebudayaan, yaitu: a) kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan, b) kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat, dan c) kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dua poin pertama mencuat sebagai bahan dasar yang paling banyak mewarnai karya sastra Indonesia.

Mengapa karya sastra ditengarai sarat dengan hasil daur ulang tentang kebudayaan? Karena sastra secara wujud terdiri dari deretan kata-kata, dalam konteks ini adalah bahasa. Kekayaan bahasa dengan segala kekhasannya dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan peristiwa budaya. Terlebih-lebih dalam bentuk karya sastra, yang semacam ruangan besar untuk menginformasikan segala sesuatu yang bersinggungan dengan budaya. Dengan bahasa yang unik, pengarang sastra sebagai manusia yang pada dasarnya tergabung dalam aktivitas kebudayaan menciptakan karya berdasarkan pengalamannya dalam masyarakat. Bentuk penyajian yang berbeda dari narasi nonsastra bertujuan agar peristiwa budaya yang beragam dapat dimaknai lebih mendalam.

Nyoman Kutha Ratna (2007:15) membeberkan, karya sastra membangun dunia melalui kata-kata, sebab kata-kata memiliki energi. Melalui energi, terbentuk citra tentang dunia tertentu, sebagai dunia baru. Melalui kualitas hubungan pragmatisme, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain di luar dirinya, sehingga peristiwa baru hadir secara terus-menerus.

Kata itupun memiliki aspek dokumenter yang dapat menembus ruang dan waktu, melebihi kemampuan aspek-aspek kebudayan lain. Pengetahuan mengenai masa lampau dapat diketahui melalui kata-kata. Informasi kekayaan alam, dengan keanekaragaman kebudayaannya, dapat disebarluaskan dari individu ke individu lain, dari satu masyarakat ke yang lain, dan sebagainya.

Seterusnya, Ratna berpendapat, karya sastra melalui medium bahasa metamorfosis konotatifnya, berfungsi untuk menampilkan kembali berbagai peristiwa kehidupan manusia. Tujuannya, agar manusia dapat mengidentifikasikan dirinya dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang lebih bermakna.

Dari uraian Ratna di atas, masyarakat Indonesia berkesempatan luas melakukan wisata budaya melalui sastra Indonesia. Kepentingan apa yang dikejar, sehingga masyarakat Indonesia seolah diharuskan mengenal keanekaan budaya di Indonesia? Jawaban sederhana dapat dilontarkan: agar khalayak mencapai pemahaman masif tentang masing-masing budaya yang terhampar dari Aceh sampai Papua. Ada hal yang jauh lebih berharga ketimbang sekadar mengenal deretan budaya.

Begini, bukankah keragaman budaya kerap dielu-elukan sebagai anugerah tiada tanding? Faktanya, terlebih akhir-akhir ini, aneka budaya tak jarang muncul sebagai alasan primer perpecahan. Jika ditilik, kelemahan (atau ketidakpedulian) memahami sesama menjadi indikasi kuat mengapa Bangsa Indonesia lengah memaknai persatuan. Identitas budaya masing-masing diusung sebagai keegoan. Padahal, teramat naif menempatkan budaya dalam konteks menang kalah. Bukankah harus dipahami secara masif, tidak arif menyeret budaya ke ranah tarung hidup mati? Karenanya, perlu memanfaatkan segala kemungkinan, kecil maupun besar, agar masyarakat Indonesia sudi bertukar pengetahuan tentang budaya yang tersebar di nusantara.

Salah satu kemungkinan itu adalah melalui sastra. Mengapa? Seperti yang telang disinggung sebelumya, sastra merupakan bagian hasil kebudayaan. Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra mempunyai fungsi untuk merekam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia yang selanjutnya akan menumbuhkan rasa kenasionalan dan menumbuhkan solidaritas kemanusiaan. Sastra melalui media bahasa dan dengan segenap perilaku estetiknya dinilai mampu memberikan informasi terkait adat istiadat, pola-pola kehidupan, sejarah, bahkan konflik sosial masing-masing dari keanekaan budaya lokal yang terdapat di Indonesia.

Karena itu, sastra dengan konsep kearifan lokal (local genius) sudah sejak lama kerap didengung-dengungkan pengarang karya sastra. Kearifan lokal yang terkandung dalam sastra diharapkan mampu menetralkan perbedaan, sehingga bermuara pada terbentuknya pemahaman terhadap sesama. Wujud warisan budaya lokal yang bermacam-rupa membuka peluang untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu.

Akhirnya, keberhasilan sastra mengungkapkan kekayaan budaya lokal yang tumbuh di sebuah tempat merupakan puncak pencapaian multikulturalisme - penghargaan dan pengakuan terhadap kemajemukan.

Jika disinggungkan dengan pembangunan nilai persatuan berbangsa dan bernegara, nilai-nilai yang termaktub dalam multikuluturalisme harus tetap dielus-dipelihara.

Penulis; pandai fiksi-nonfiksi.

Bila Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin?
Oleh: Hasan Al Banna. Bahagia mendapatkan kenyataan atas kemunculan penulis-penulis (fiksi) muda di Medan (Sumut). Kemeriahan karya kreator fiksi muda di beberapa media cetak lokal bahkan nasional bisa ditodongkan sebagai salah satu indikator. Iklim kemeriahan sedemikian ini patut ditukar dengan rasa syukur.
Oleh karena itu, dapat dimaklumi pula mengapa YS. Rat boleh dibilang turut bahagia, terlebih dalam tulisannya (Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula) yang dimuat rubrik ini beberapa waktu lalu. Dalam tulisannya, YS. Rat juga tidak lalai bernasihat agar para sastrawan pemula (katakanlah sastrawan muda, meski bukan dalam konteks usia). YS. Rat menghimbau sastrawan muda - di masa awal kepenulisan, untuk bersegera memilih "kelamin" yang jelas: penyair atau cerpenis!

Agaknya, YS. Rat khawatir kalau tunas-tunas sastrawan di Medan (Sumut) akan menerima sejumlah dampak apabila di masa awal kepenulisan rangkap pekerjaan, yaitu mencipta puisi sekaligus mencipta cerpen. Boleh jadi YS. Rat tidak sudi menyaksikan sastrawan muda rabun fokus tatkala menelurkan karya fiksi, sehingga kuantitas karya tidak sebaya dengan kualitasnya. Lebih ironis lagi, sastrawan muda bisa-bisa terjerumus pada lembah keserakahan. Serakah demi pengakuan label diri, juga serakah demi keuntungan materi. Kesarakahan yang diam-diam menodai taji karya.

Kegelisahan YS. Rat muncul -mungkin- setelah secara tekun mengamati karya-karya para sastrawan muda yang semarak secara kuantitas, tetapi dinilai sunyi secara kualitas. Tentu YS. Rat, meskipun tidak membeberkan dalam tulisannya, memendam alasan yang kuat, sehingga harus perlu memberi nasihat kepada sastrawan muda agar lebih dulu fokus pada satu genre saja. Sebuah nasihat yang arif, tentunya. YS. Rat tentu berkehendak para sastrawan muda telaten menapaki proses kreatif.

Ada celah pertanyaan dari anjuran YS. Rat di atas; apakah sastrawan muda baru boleh menunaikan kreativitas menulis puisi dan cerpen sekaligus kalau masa awal kepenulisan sudah berlalu? Ah, bagaimana menentukan ukuran waktu yang dibutuhkan sastrawan muda untuk dikatakan sudah melampaui batas masa awal kepenulisan? Apakah ‘segerombolan’ sastrawan muda tersebut memiliki kemampuan yang sama masif dalam menentukan kecenderungan diri sedini mungkin: penyair atau cerpenis?

Sesungguhnya, masing-masing genre dalam sastra, khususnya puisi dan cerpen menyimpan perangainya sendiri-sendiri. Keduanya berada dalam posisi ‘berdiri sama rendah berdiri sama tinggi’! Lantas, sangat terbuka kemungkinan bagi seorang kreator fiksi untuk menunaikan salah satu atau keduanya sekaligus. Tidak mudah menyodorkan bukti bahwa seorang kreator fiksi yang di masa awal kepenulisannya memilih "berkelamin tunggal" akan lebih baik ketimbang kreator fiksi yang membiarkan dirinya "berkelamin ganda". Pun sebaliknya. Intinya, proses kreatif pengarang mustahi serupa.

Memang, merujuk pada berbagai proses kreatif sejumlah sastrawan, banyak yang melalui peristiwa berkarya secara berjenjang, satu demi satu. Bukan tidak ada sastrawan yang sukses menjalani status "kelamin ganda" sejak masa awal kepenulisannya. Paling tidak, pilihan "berkelamin ganda" sejak masa awal kepenulisan malah memberinya jalan untuk pada akhirnya menentukan "kelamin" mana yang paling dibanggakan dan seterusnya dipelihara setekun-tekunnya.

Selain itu, sebuah hasil karya turun dari ide. Hamparan ide terbentang di haribaan alam. Tidak setiap ide dapat ‘diselesaikan’ dengan puisi, misalnya. Adakalanya sebuah ide baru cocok jika dikenakan ke tubuh cerpen. Atau tidak untuk keduanya. Seno Gumira Ajidarma pernah menulis esai tentang sebuah ide yang menurutnya akan diwujudkan menjadi cerpen.

Dalam esai itu Seno mengeluhkan betapa sulit dia menyelesaikan cerpen dari ide tersebut. Pada akhirnya, ide yang gagal dikonversi menjadi cerpen malah menjadi ‘jatung pisang’ esai Seno. Seno kemudian menulisan bahwa ide cerpennya cuma punya takdir untuk ‘dikisahkan’ dalam esai, tidak (atau belum) dalam cerpen. Setidaknya, esai Seno tentang kesulitannya menggarap ide cerpen lebih dulu rampung ketimbang cerpennya sendiri.

Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua ide serta-merta dapat divonis untuk menyandang puisi atau cerpen. Tidak tertutup kemungkinan seorang kreator yang semula hendak ‘menyulap’ ide menjadi cerpen, eh, malah perjalanan penggarapan menggiringya menyelesaikan sebuah puisi. Oleh karena itu, saran agar sastrawan muda fokus pada satu genre saja di masa awal kepenulisannya tidak bersifat mutlak. Semodel itulah memang tabiat nasihat; tawaran yang boleh diterima, boleh juga tidak.

Di sisi lain, bisa jadi kalau anjuran di atas dibikin terbalik. Maksudnya, sastrawan muda di masa awal kepenulisannya boleh melakukan keduanya sekaligus, lantas seterusnya khalayak penikmat dengan segala ragam apresiasi kelak turlibat memilih "kelamin" yang jelas bagi kreator muda. Para pengapresiasi, baik itu pembaca awam, kritikus dan redaktur media akan secara alami bertindak sebagai filter. Dengan kata lain, seorang kreator berkesempatan menyediakan dua pilihan bagi khalayak. Tentu khalayak mempunyai hak untuk menjatuhkan pilihan atau bahkan memilih keduanya.

Ya, cara ini bukan berarti nihil konsekuensi. Konsekuensi yang bahkan boleh jadi merupakan rentetan alasan YS. Rat mengajurkan sastrawan muda untuk selektif memilih. Memang, sangat bagus kiranya kalau seorang penulis muda sudah mampu terlebih dulu menentukan kecenderungannya.

Kalau tidak, jangan khawatir, karena perjalanan proses kreatif selalu membuka diri dalam memberikan pertolongan. Yang penting, pertarungan untuk mengilapkan kualitas karya harus dicamkan. Soal hasilnya bagaimana, toh itu sudah ada yang mengurus.

Akhirnya, tulisan ini tidak sedang menyanggah anjuran YS. Rat, tetapi lebih kepada menyodorkan kemungkinan-kemungkinan lain dalam kerja kreatif di dunia fiksi yang bersifat serba mungkin ini. Bukankah pada akhirnya, tetap terbuka pintu bagi siapa saja yang hendak diseru penyair, cerpenis atau ‘rangkap jabatan’, di mana pun posisi usia kepenulisannya?

Penulis; pandai fiksi/nonfiksi.

Siapa Melarang Sastrawan "Berkelamin" Ganda?
n YS Rat. DUA tulisan, Bila Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna dan Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees, dimuat bersamaan di Rubrik Rebana (Analisa, Minggu, 26 Februari 2012). Sebagai pemicu jelas, tulisan saya berjudul, Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula di rubrik dan surat kabar sama (Minggu, 12 Februari 2012).
Bermula dari niat sekadar mengabarkan sejumlah perbedaan kondisi yang mempengaruhi dan kebiasaan antara para pemilik bakat sastrawan dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an. Demikian pula mereka yang mulai bergiat pada tahun 2000-an serta sekadar saran yang sebaiknya dilakukan, dugaan akan munculnya reaksi tak pernah melintas di benak penulis. Terutama yang diarahkan terhadap sepenggal saran, para pemilik bakat sastrawan hendaknya juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, dalam artian pada masa-masa awal berkarya tak sekaligus merangkap mencipta puisi dan cerpen misalnya.

Baik terhadap tulisan Bila Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna, maupun Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees. Berkenaan dengan tanggapan dan pendapat mereka mengenai saran penulis hendaknya para pemilik bakat sastrawan merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, sama sekali tak sepatutnya penulis tak membenarkannya.

Sekadar jawaban dan penjelasanlah yang hendak penulis torehkan dalam kesempatan ini. Pada tulisan Hasan Al Banna, dia mengajukan pertanyaan di antaranya; apakah sastrawan muda baru boleh menunaikan kreativitas menulis puisi dan cerpen sekaligus kalau masa awal kepenulisan sudah berlalu? Ah, bagaimana menentukan ukuran waktu yang dibutuhkan sastrawan muda untuk dikatakan sudah melampaui batas masa awal kepenulisan?

Jawan terhadap pertanyaan pertama sebenarnya telah tergambar dalam bagian akhir dari tulisan, Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula, pada kalimat; ..., selain semangat berkarya, hendaknya mereka juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas.

Penggunaan kata hendaknya, bukan hendaklah, memperlihatkan apa yang penulis kemukakan sekadar saran. Sama sekali tak dimaksudkan hanya membolehkan sastrawan muda menulis puisi dan cerpen sekaligus setelah masa awal kepenulisannya berlalu.

Oleh karena tak dimaksudkan hanya membolehkan sastrawan muda menulis puisi dan cerpen sekaligus setelah masa awal kepenulisannya berlalu, terhadap pertanyaan bagaimana menentukan ukuran waktu yang dibutuhkan sastrawan muda untuk dikatakan sudah melampaui batas masa awal kepenulisan, tak perlulah penulis menjawabnya.

Budi P Hatees dalam tulisannya berjudul, Sastrawan tak Ditentukan Usia, antara lain menulis; Setelah membaca tulisan YS Rat, saya tak menangkap adanya variabel tentang konsep pemula itu. Apakah pemula yang dimaksud berkaitan dengan variabel usia seseorang atau usia keterlibatan seseorang dalam dunia kreativitas berkesusastraan. Tentu, YS Rat perlu membuat uraian perihal ini.

Jika yang dimaksud adalah usia keterlibatan dalam berkreativitas di dunia kesusastraan, maka kita bisa mengelompokkan YS Rat ke dalam pengagum cara berpikir usang atau konservatif dalam melihat kreativitas berkesusastraan. Sampai awal dekade 2000-an, para pendatang baru di dunia kreativitas berkesusastraan diremehkan dengan menyebut mereka sebagai pemula.

Pada alinea kesebelas tulisan Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula, penulis memaparkan; Sakadar data selintas, tercatat sedikitnya ada puluhan nama pengisi rubrik budaya/seni surat kabar, yang rata-rata kelahiran Sumut tahun 1980 ke atas dan karyanya mulai dipublikasikan tahun 2000-an. Di antaranya masih terus berkarya, sebagian lagi hanya beberapa kali karyanya dimuat di surat kabar.

Di bagian itu sangat benderang penulis mendahulukan, ...rata-rata kelahiran Sumut tahun 1980-an ke atas... daripada, ...karyanya mulai dipublikasikan tahun 2000-an. Ini menggambarkan, di antara mereka ada yang karyanya pertama kali dipublikasikan malah bukan tahun 2000, tapi sangat mungkin baru dalam tahun 2011. Dengan demikian, jelaslah sama sekali penulis tak mempermasalahkan usia keterlibatan seseorang dalam dunia kreativitas berkesusastraan sebagaimana dugaan Budi P Hatees.

Dalam tulisan itu pun jelas tak penulis ada menyatakan, sampai awal dekade 2000-an, melainkan tahun 2000-an. Makna daripadanya jelas berbeda dengan sampai awal dekade 2000-an yang dikemukakan Budi P Hatees.

Tahun 2000-an merupakan rentang waktu bermula dari tahun 2000 hingga 2099, sedangkan sampai awal dekade 2000-an berarti cuma sebatas tahun 2000, hingga 2001. Jadi, tak benar ada peremehan terhadap para pendatang baru di dunia kreativitas sastra karena tak sekali pun penulis membuat pembatasan sampai awal dekade 2000-an.

Lantas, siapa melarang sastrawan "berkelamin" ganda? *

Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula
Oleh: YS Rat. DIDUKUNG Medan sebagai ibukotanya, yang penduduknya multi etnis, Sumatera Utara (Sumut) sejatinya merupakan ladang kreativitas bagi banyak hal. Sastra, tak terkecuali tentunya. Dalam bidang ini, merujuklekatkan pada pengalaman menggelutinya sejak tahun 1980-an, Sumut tak pernah sepi dari munculnya para pemilik bakat sastrawan.
Pada dekade itu hingga menjelang akhir 1990-an, mereka -sebut sajalah para sastrawan pemula- dihadapkan sebuah kenyataan yang menyikapinya tak cukup sekadar bermodalkan semangat mencipta. Hasrat mencipta mereka yang menggebu, harus dilengkapi kegigihan berupaya menghasilkan ciptaan yang tak cuma memenuhi kriteria sebagai karya sastra pada segi bentuk.

Minimnya jumlah media massa cetak di Sumut ketika itu -dalam hal ini surat kabar- memunculkan dampak terbatasnya wadah penyalur karya para sastrawan, termasuk karya para sastrawan pemula. Karenanya, pada masa itu berlaku persaingan ketat dalam segi kualitas, sebelum akhirnya sebuah karya sastra terbit di surat kabar. Hal yang sama juga berlaku terhadap karya para sastrawan pemula.

Menariknya, ada semacam kesadaran di kalangan para sastrawan pemula pada masa itu, untuk tak langsung mengirim karya awalnya ke rubrik khusus budaya/seni. Karena selain rubrik khusus budaya/seni, di antara surat kabar juga menyediakan rubrik remaja, ke rubrik itulah biasanya mereka mengirim karya awalnya.

Tak cuma menarik, sekaligus memicu semangat berkaya di kalangan para sastrawan pemula, pada beberapa surat kabar sangat mungkin ada kerja sama antara redaktur rubrik budaya/seni dengan redaktur rubrik remaja atau bisa jadi redaktur kedua rubrik itu orang yang sama. Kemungkinan ini dilihat dari adanya beberapa karya para sastrawan pemula yang dikirim ke rubrik remaja ternyata muncul di rubrik budaya/seni. Sastrawan pemula yang memperoleh kesempatan demikian, biasanya terpicu semangat dan percaya dirinya untuk berikutnya sengaja mengirim karya-karyanya ke rubrik budaya/seni.

Semakin Berjibun

Sumut tak pernah sepi dari munculnya para pemilik bakat sastrawan tetap berlangsung, hingga kini. Bahkan, bisa dibilang jumlahnya semakin berjibun, mewarnai media massa cetak yang jumlahnya juga tambah membludak.

Tak bisa dipungkiri, kedua hal saling mendukung itu buah dari "tsunami" reformasi yang puncaknya 21 Mei 1998 ditandai lengsernya Soeharto dari tampuk kepresidenan setelah lebih 30 tahun seolah tak mau ditinggalkannya.

Jika di dunia politik selepas reformasi diwarnai terbukanya peluang bagi siapa pun untuk ambil bagian di dalamnya, kondisi semacam ini juga terjadi dalam dunia sastra. Peluang untuk memajang karya di media massa cetak -utamanya surat kabar- semakin terbuka dan sangat nyata memicu hadirnya sastrawan-sastrawan pemula dengan beragam karyanya.

Maklum saja, sebab pasca reformasi pertumbuhan surat kabar baik harian maupun mingguan teramat melejit. Di Sumut saja, dari di antaranya Harian Analisa, Waspada, Bukit Barisan, Mimbar Umum, Sinar Indonesia Baru, Medan Pos, Garuda, Mercu Suar, Sinar Pembangunan, Mingguan Taruna Baru, Dobrak, Bintang Sport Film, Demi Masa dan Persada, plus Majalah Dunia Wanita, sesudah reformasi jumlahnya pernah mencapai 50-an.

Tentu ada iklim berbeda mewarnai munculnya para sastrawan pemula di Sumut antara dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an dengan masa awal pasca reformasi. Dalam hal jumlah, sastrawan pemula yang muncul di masa awal pasca reformasi, bahkan hingga kini, sangat jauh melebihi dekade sebelumnya.

Sakadar data selintas, tercatat sedikitnya ada puluhan nama pengisi rubrik budaya/seni surat kabar, yang rata-rata kelahiran Sumut tahun 1980 ke atas dan karyanya mulai dipublikasikan tahun 2000-an. Di antaranya masih terus berkarya, sebagian lagi hanya beberapa kali karyanya dimuat di surat kabar.

Mereka, antara lain Miftah Fadhli (Deli Serdang, 29 Februari 1992), Muhammad Nur (Simalungun, 12 Oktober 1991), Anugrah Roby Syahputra (Binjai, 13 Maret 1988), Abdillah Putra Siregar (Pematang Siantar, 1986), Fridolin ML Tobing (Balige, 24 Januari 1987), Rama Andriawan (Madina, 28 Juli 1986), Adwan MP (Sidikalang, 22 Januari 1986), Muhammad Pical Nasution (Medan, 3 Januari 1986), Sukma (Medan, 13 November 1985), Muhammad Nurul Fadhli (Medan, 14 Juli 1985), Januari Sihotang (Samosir, 1 Januari 1984), Ilham Wahyudi (Medan, 22 November 1983), Djamal (Medan, 9 September 1982), Irwan Effendi (Medan, 21 Mei 1981), Bono Emiry (Medan, 6 Mei 1981) dan Sihar Sitompul (Medan, 6 Mei 1981). Sebenarnya Bono emiuri dan Sihar Sitompul orangnya adalah sama.

Berikutnya, Rahmadyah Kusuma Putri (Medan, 7 November 1993), Tiflatul Husna (Tanjung Balai, 12 Agustus 1992), Sakinah Annisa Mariz (Medan, 2 Mei 1991), Wika Fitriana (Sibolga, 19 Oktober 1990), Riska H Akmal (Medan, 15 Juni 1990), Fitri AB (Pagaranbira, 26 Desember 1988), Wahyu Wiji Astuti (Medan, 8 November 1988), Tis’a Muharrani (Medan, 22 Agustus 1988), Selvi Rani (Deli Serdang, 10 September 1987), Budiah Sari Siregar (Kisaran, 12 Juni 1987), Sri Rizki Handayani (Deli Serdang, 10 Juli 1986), Ester P (Batuphat, 2 Juni 1986), Nur Astifa (Petumbukan, 10 April 1986), Yusnita H (Balige, 22 Maret 1986), Intan Hs (Medan, 28 September 1981) dan Andani Fiza (Medan, 30 Mei 1980).

Melalui deretan nama itu juga, terlihat perbedaan teramat nyata dalam hal jumlah antara pria sastrawan pemula dengan wanita. Jika pada dekade 1980-an hingga menjelang akhir 1990-an -sebenarnya telah sejak lama dan bukan saja pemula- wanita sastrawan terbilang langka, taklah demikian sejak awal pasca reformasi hingga kini, terutama di kalangan sastrawan pemula. Jumlah wanita sastrawan pemula kini bukan saja banyak, bahkan berimbang dengan yang pria.

Banyaknya sastrawan pemula di Sumut berlatar pendidikan tinggi dengan bidang keilmuan bahasa dan sastra yang muncul sejak awal pasca reformasi, juga merupakan kondisi yang sangat jauh berbeda dibanding dengan dekade 1980-an, hingga menjelang akhir 1990-an. Pada dekade itu, bukannya tak ada sastrawan pemula di Sumut dari lingkungan perguruan tinggi, fakultas sastra misalnya. Selain jumlahnya tak banyak, dalam pergaulan sastrawan di luar kampus pun hanya satu-dua orang yang menampakkan diri.

Kondisi itu jelas jauh berbeda dengan sekarang. Taman Budaya Sumut di Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan yang sebelumnya dikenal sebagai tempat mangkalnya seniman non-kampus, kini sehari-hari nyaris "dikuasai" para sastrawan pemula berlatar pendidikan tinggi.

Sumut tak pernah sepi dari munculnya pemilik bakat sastrawan, tak bisa dipungkiri. Hanya saja, selain semangat berkarya, hendaknya mereka juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas. Artinya, pada masa-masa awal berkarya tak sekaligus merangkap mencipta puisi dan cerpen misalnya. Fokuskan pilihan pada salah satunya. Dengan begitu, berikutnya "kelamin" sebagai sastrawan akan jelas: penyair atau cerpenis!

Minimnya Teori Kritis terhadap Karya Sastra Sumut

Yulhasni

Studi sastra dalam perkembangannya di tanah air selalu melahirkan berbagai wacana dan polemik yang menarik untuk dicermati. Pada dekade 80-an dan 90-an, studi sastra dalam pendekatannya pernah dihebohkan dengan munculnya gerakan postmodernisme atau sering disebut sebagai pascastrukturalisme. Pada masa itu kemudian teori dekonstruksi Derrida jadi wacana yang menghangatkan diskursus sastra di Indonesia. Sebelumnya A. Teeuw menyentakkan dunia akademisi di Indonesia dengan esainya ‘’Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi’’. Dalam esainya itu profesor Belanda ini menyatakan ketidakpuasannya atas hasil analisis dosen sastra terhadap dua sajak modern Indonesia.
Begitulah, dunia akademisi dengan seperangkat teori yang dikunyah lewat rak-rak buku hanya akan jadi bentangan kesia-sian belaka. Barangkali memang ada kesalahan pemahaman ketika berhadapan dengan teks sastra. Di Sumatera Utara, nyaris tidak dapat ditemukan studi kritis yang lebih menukik saat berhadapan dengan karya sastra di daerah ini. Bahkan saat membaca beberapa tulisan di rubrik Rebana ini, baik berupa ulasan terhadap cerpen, puisi, maupu novel, hampir semuanya terperangkap pada pendekatan yang mengabaikan proses pembacaan yang kritis.

Mungkin telah terjadi kekeliruan yang menahun di bangku perkuliahan ketika mahasiswa disodorkan seperangkat teori sastra. Lebih memprihatinkan teori yang disodorkan sama sekali keluar dari realita teks itu sendiri. Alhasil, dalam model pendekatan struktural, teks hanya dimaknai sebagai satu yang otonom tanpa ada faktor luar yang mempengaruhinya. Inilah faktor penyebab mengapa kemudian sastra menjadi kering saat dibedah oleh kaum akademisi. Di lain pihak, tema dan gagasan tentang karya sastra di Sumut masih bicara tentang kelamin, sesuatu yang sebenarnya adalah cerita lama dalam khazanah sastra Indonesia.

Beberapa karya sastra yang lahir di Sumatera Utara, terutama yang terbit di media cetak, diyakini tidak pernah mampu dikritisi secara cermat. Bahkan dalam praktik pendekatannya, tiga bentuk pertanyaan yakni (1) bagaimana cara menafsirkan isi karya sastra, (2) bagaimana dan kenapa suatu karya sastra diciptakan, dan (3) apa implikasi sosial budaya dari karya itu, pada kenyataannya tidak mampu terjamah kaum akademisi sastra itu sendiri. Pada bagian inilah kemudian muncul pendekatan Teori Kritis untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut.

Teori Kritis diperkenalkan oleh Jurgen Habermas. Menurutnya Teori kritis merupakan sebuah metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori kritis tidak hanya berhenti pada data-data atau fakta-fakta obyektif seperti yang dianut positifisme, akan tetapi menembus di balik realitas sosial untuk menemukan kondisi-kondisi yang timpang. Teori kritis tidak melayang-layang pada metafisika dan meninggalkan data empiris, tapi berdialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang bersifat empiris.

Telaah atas teks sastra hanya berhenti pada struktur karya itu sendiri. Meski dalam pendekatan sosiologi sastra ada upaya yang memungkinkan menjawab setidaknya bagaimana dan kenapa suatu karya diciptakan, tapi ruang lingkupnya tidak seluas cakupan teori kritis.

Saat membaca novel Amang Parsinuan karya Lucya Chriz, misalnya, pendekatannya seharusnya tidak berhenti pada karya sebagai hal yang otonom. Pengarang tidak bisa dilepaskan dengan cerita yang digarapnya. Meminjam pemikiran Jurgen Habermas. Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif luas dan beragam. Dia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita dan dunia. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya dia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia. Dengan demikian, ada faktor-faktor di luar teks yang memungkinkan pengarang seperti Lucya Chriz, misalnya, melahirkan Amang Parsinuan.

Tentu pertanyaan mendasar yang penting digarisbawahi adalah seberapa pentingkah Teori Kritis digunakan pada karya sastra di daerah ini? Memahami teks sastra tidak bisa digeneralisasi. Dalam metode critical discouses analysis (CDA) atau analisis wacana kritis, sebagai bagian dari Teori Kritis tersebut, disebutkan bahwa sikap critical bukan untuk menentang melainkan membuka jalan yang lebih terang terhadap sesuatu yang disembunyikan di dalam teks.

Membaca puisi Raudah Jambak berjudul Indonesia Merah Putihku, misalnya, teks tertulis Indonesia, Indonesia/di negeri ini aku dilahirkan/di negeri ini aku dibesarkan/di negeri ini aku menggapai//, penelitian tidak serta merta menyatakan, puisi-nya itu menceritakan tentang rasa cinta tanah air. Dalam CDA akan banyak temuan-temuan terhadap teks yang ditulis.

Beberapa ulasan terhadap karya sastra di rubrik ini, misalnya, tidak menyentuh kepada substansi teks yang hendak dikritik. Tulisan Jones Gultom berjudul Sastra Medan Krisis Estetika, (Analisa, 26 Februari 2012) menarik dicermati, karena sebenarnya ada ruang untuk mengatakan, proses kreativitas anak Medan hanya berhenti pada katarsis. Lebih jelas jika teks-teks puisi dipaparkan dan dilihat pada bagian mana sebuah puisi dikatakan berhenti pada katarsis. Sejumlah tulisan Mihar Harahap dalam kaitan bedah cerpen Rebana, mestinya harus meletakkan teks secara mandiri. Dalam dekonstruksi, pemahaman terhadap sebuah teks lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat.

Pada tulisan Mihar Harahap berjudul Membaca Cerpen Rebana April 2011 (Analisa, 8 Mei 2011), misalnya, sejumlah cerpen yang dikritisi tidak memiliki kekuatan konflik dan perwatakan yang jelas. Dalam dogma strukturalis, kajian seperti ini memang diarahkan ke pembangunan struktur karya. Sejatinya dalam kajian Teori Kritis, tidak perlu sekali dilihat strukturnya melainkan apa di balik teks-teks yang tertulis.

Kelemahan mendasar dalam pendekatan terhadap karya sastra di Sumut tentu saja tidak karena faktor pembacaan yang tidak intensif. Ada bangunan besar dalam studi sastra di daerah ini yang salah, karena terlalu lama menuhankan strukturalisme sebagai nabi teori sastra.

Literatur terkait Teori Kritis sama sekali jarang diajarkan di perguruan tinggi karena faktor ketiadaan bahan, tenaga pengajar yang tidak memahami dan tentu saja karena ketidakbutuhan kita pada hal-hal yang baru.

Penulis; Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU dan mahasiswa pascasarjana Linguistik USU.

Sastra Medan Krisis Estetika

Jones Gultom

SELAIN pada kandungan nilai, karya sastra khususnya puisi juga terikat estetika. Bahkan tak sedikit di antaranya yang berhasil, karena semata-mata keanggunan estetisnya, baik bentuk maupun isinya. Estetika yang saya maksud di sini adalah kemampuan sastrawan mengeksplorasi imajinasinya untuk mengangkat makna melalui pilihan-pilihan kata yang terkesan eksperimentatif. Apa yang dilakukan Sutardji empat dekade lalu, termasuk salah satunya.
Sampai saat ini puisi-puisinya masih memiliki tempat tersendiri karena eksplorasi unik yang dia lakukan itu. Harus diakui, di Medan karya-karya semacam itu, agaknya tidak terlalu diminati. Wajar saja, mengingat watak sastrawan maupun pembaca sastra Medan cenderung lebih pragmatis. Karya sastra yang dibutuhkan di kota ini sepertinya lebih masih bersifat konvensional, yakni karya-karya yang alur dan ide ceritanya jelas. Boleh jadi karena keragaman kultur, masyarakatnya jadi membutuhkan semacam kesepahaman bersama dan mudah dimengerti.

Kesempatan untuk menonjolkan identitas tertentu dalam sebuah karya sastra, terutama puisi, sangat minim dan malah sering dianggap "gangguan" yang mengusik bahkan membebani pikiran pembacanya. Alhasil para para penulis puisi di Medan lebih memilih tunduk pada idiom-idiom yang berlaku universal.

Beda halnya dengan prosa, seperti cerita pendek ataupun novel. Karena ruang kreativitasnya yang luas dan fleksibel telah memberinya kesempatan yang lebih besar untuk bermain-main dalam tataran estetis. Pembaca tetap mampu mengikuti alur dan ide cerita meski diungkapkan dengan ciri khas identitas tertentu. Tidak seperti puisi. Selain karakteristiknya yang lebih padat, pengungkapannya juga sangat terbatas dibanding prosa. Keterbatasan itu tak jarang membuat sastrawan dan pembaca kita saling kehilangan, khususnya ketika dihadapkan dengan puisi yang khas identitas tertentu. Pada akhirnya, wilayah eksplorasi puisi menjadi kian sempit, miskin estetika dan dangkal.

Secara umum yang terjadi dalam dunia perpuisian di Medan dewasa ini adalah terjebak pada perulangan-perulangan dengan wilayah kreativitas yang sama dengan para penulis puisi terdahulu.

Puisi Dairy

Mari kita amati puisi-puisi yang terbit di koran-koran Medan yang terbit setiap hari Minggu. Rata-rata puisi itu mengisahkan tentang suasana hati dengan diksi yang itu-itu saja. Akibatnya puisi-puisi itu tampak seragam, baik dari pilihan kata maupun nilai yang ada padanya. Jarang sekali ditemukan puisi yang berangkat dari sebuah gagasan yang matang. Dari idenya, kebanyakan semangat yang mendasari penulis semata-mata sekedar memenuhi kebutuhan katarsis, tak ubahnya menulis sebuah diary.

Selain krisis estetika, secara umum sastra di Medan juga tumbuh tanpa identitas. Identitas yang saya maksud menyangkut gagasan dengan warna pengungkapan yang khas oleh sastrawannya. Apa jadinya jika sebuah produk kebudayaan, yang konon diolah melalui pengalaman batin dan impresi yang cukup dalam, dilahirkan tanpa arah tujuan. Tak heran jika puisi-puisi itu tampil dengan begitu "sederhana"nya.

Menurut saya, selain tuntutan pembaca Medan yang pragmatis, hal lain yang membuat puisi itu tampak "sederhana" karena penulis kita tak terbiasa dengan kerja eksperimentasi. Pertama, boleh jadi karena kemiskinan wacana penulisnya sendiri maupun pembatasan yang dilakukan oleh media massa. Tidak bisa dipungkiri media massa memiliki peran penting dalam hal ini. Media massa memiliki dua peran, baik sebagai "pencipta" iklim maupun sekedar "pemelihara".

Sebagai "pencipta" iklim media punya posisi penting untuk membentuk iklim baru dalam dunia sastra. Sebagai "pemelihara" iklim, kadang tanpa disadari, media sendiri yang membunuh daya kreativitas karena membiarkan karya-karya sastra itu tumbuh begitu saja, meski dengan apa adanya.

Kedua, motivasi menulis puisi belum dihayati sebagai cara penulis mewujudkan diri dalam kehidupan masyarakatnya. Rata-rata penulis Medan belum mampu melepaskan diri, sehingga tak merasa berkepentingan bagi orang banyak. Kepekaan penulis masih terbatas pada hal-hal yang menyangkut pribadinya. Boleh jadi hal ini disebabkan karena penulis kita tidak mengambil peran yang jelas dalam kehidupan bermasyarakat. Tak heran jika dalam kehidupannya ada jarak bahkan kontradiksi antara idealisme karyanya dengan perilaku keseharian. Pemurtadan terhadap karya inilah yang sering menjadikan sastrawan kehilangan keutuhan dirinya sendiri sekaligus berdampak buruk bagi iklim bersastra itu sendiri.

Mestinya, sentralisme yang ada pada seorang sastrawan dijadikan energi untuk kepentingan yang lebih besar, sehingga visi-misi itu selalu terlihat dalam karya-karyanya. Misi kemanusiaan yang memang belum populer di kalangan sastrawan kita ini, menurut saya juga hal penting yang sering diabaikan sastrawan. Sastra sebagai alat pencerahan masih belum dimaksimalkan dengan baik. Karenanya wajar jika karya sastra di Medan sering tak memuaskan kemanusiaan kita. Sepanjang sastrawan tak kembali pulang pada tugas "politik"nya itu, keragaman itu tak akan pernah tercipta.

Ketiga, dasar filsafat rata-rata penulis yang tak mapan. Bagaimanapun pendekatan filsafat dalam menulis puisi mutlak diperlukan.

Filsafat menjadikan puisi tak seperti menara gading, meski dengan kedalaman makna yang dia miliki. Kekuatan filsafat dalam puisi menjadikannya bernilai universal meski ditulis berdasarkan pengalaman empiris masing-masing pribadi yang beragam. Filsafat akan membantu seseorang mengapresiasi puisi yang ditulis dengan latar belakang psikologi dan budaya yang berbeda.

Dengan filsafat pula sebuah puisi bisa mengakomodir perasaan, persoalan dan kenyataan bersama yang dirasakan oleh orang-orang sekalipun dari berbagai belahan bumi. Pada akhirnya filsafat akan menjadikan seorang sastrawan tidak tercerabut dari kebudayaan global dengan lokalitas yang dimilikinya. Dalam kapasitas saya sebagai salah satu penjaga halaman sastra di salah satu koran Medan, saya sering mendapati puisi yang muatannya tak memiliki pijakan filsafat. Bagaimana mungkin ia akan berguna bagi orang lain?

Tak Mampu Beranalogi

Faktor lain yang membuat karya sastra Medan jadi seragam karena ketidakmampuan sastrawannya beranalogi yakni mengolah isu-isu dengan cara yang estetis. Harus diakui kegagalan para sastrawan Medan terutama terletak pada ketakberhasilan memindahkan realita ke dalam teks. Ditambah lagi dengan keengganan sastrawan Medan berkecimpung dalam dunia diskusi dan dialektika. Alhasil tak jarang suatu isu baru diangkat ketika sudah berlalu jauh. Dibanding dinamika sosial politik yang begitu progresif, karya sastra seakan tak mampu berbuat apa-apa. Isu-isu yang sedang berkembang seringkali luput dari apresiasi para sastrawan Medan. Ketika terjadi gejolak sosial di negeri ini, misalnya, para sastrawan Medan masih saja bicara soal "hujan" "malam" "airmata".

Jikapun ada yang menuliskan realita itu ke dalam bentuk puisi namun dengan analogi yang "terang-benderang". Sontak sastrawan kita kehilangan daya puitisnya. Berbeda ketika dia menulis puisi berdasarkan suasana hatinya itu.

Sudah waktunya sastrawan Medan kembali ke realita hidup masyarakatnya untuk mengungkap serta menjawab persoalan demi persoalan tidak hanya secara etis tapi juga bermakna.