Rabu, 06 Juni 2012

Kritik Kemauan dan Aksi

Lea Willsen Bantu mengeritik karya? Hmm... Tidak, tidak..., saya tak pernah menyenangi peran sebagai seorang kritikus. Beberapa penulis pemula pernah meng-inbox untuk menanyakan kesediaan tersebut. Sesuai etika kepenulisan, tak perlulah menyebut siapa-siapa saja nama mereka. Jelasnya, biasanya penulis tidak menyanggupi mereka. Tentu ini bukan masalah pelit ilmu, egois, atau sombong. Justru karena menyadari kita sama-sama pelajar, rasanya tak perlulah kritik mengeritik. Apa lagi, saya juga bukan seorang redaktur/editor. Tentunya terhadap media mana pun yang nantinya akan dituju, telah ada redaktur/editor profesional yang mengambil peran itu. Bagi saya secara pribadi, kritik juga tidak selamanya mutlak. Ada kritik yang memang berdasarkan logika, ada lagi kritik yang ternyata hanya opini dari si pemberi kritik -namun kurang disadarinya-kemudian dilontarkan sebagai ‘kritik’. Contoh, terhadap gaya tulisan, tentu beda penulis beda juga cara penyampaiannya. Bahkan hingga seorang motivator handal pun, tetap ada segelintir orang yang tak dapat menerima apa yang disampaikannya. Kalau sudah begitu, lantas kita menyalahkan sang motivator? Tentu tidak. Beda cerita bila ada yang tanya; Bagaimana mencari ide? Masuk akalkah anak usia 6 tahun jatuh cinta? Tanda baca yang benar seperti apa? Sebisa mungkin saya akan memberi jawaban terbaik, berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Ini berbeda dengan kritik, tetapi lebih pada memberi solusi, masukan atau katakanlah diskusi. Penulis memaklumi hal ini, mengingat penulis dulunya juga sering bertanya-tanya dengan seorang penulis lain. Ketika kita belum pernah mendatangi sebuah negara, tentu kita tak tahu banyak tentang negara itu dan kadang kita berharap akan ada sedikit bocoran dari orang lain. Seorang penulis tentunya harus mandiri. Setelah mendapat sedikit bocoran, untuk berikutnya ‘berjalanlah’ sendiri, tanpa harus melibatkan orang lain. Perkembangan seorang penulis utamanya ditentukan oleh diri sendiri dalam menciptakan sebuah karya. Pentingkah Kritik? Bila bertanya pentingkah sebuah kritik? Sebagian dari kita pasti akan menjawab kritik itu penting, tak perduli jawaban itu sebenarnya melawan hati atau tidak. Kalau berkata terlalu jujur, oh, takutnya dicap sebagai orang berhati kecil yang tak bisa menerima kritik. Sebenarnya tak perlu memusingkan kritik itu penting atau tidak. Lebih penting adalah kamauan memperdalam ilmu serta aksi nyata untuk menciptakan karya. Cobalah bayangkan, ketika seseorang terus-menerus menerima kritik, sementara fondasi kemauannya kurang kuat, bukannya maju, tapi justru putus asa dan aksi pun turut dihentikan! Tanpa kemauan dan aksi, seberapa bermanfaat pun sebuah kritik tetap saja bohong. Selain kritik kalah penting dari kemauan dan aksi, tak jarang kritik justru menyebabkan terjadinya adu argumentasi. Seperti yang pernah diceritakan oleh editor Majalah Story pada suatu kesempatan, dia pernah diminta seseorang untuk menjadi pengeritik. Setelah dikritik, bukannya menghargai kritik itu, justru mereka menjadi terlibat adu argumentasi. Melelahkan tentunya. Ketika seseorang meminta karyanya dikritik, kita tak menjamin orang tersebut dapat menerimanya atau tidak. Daripada salah-salah, terjadi adu argumentasi lagi, lebih baik tidak menyanggupi permintaan itu. Pada dasarnya semua kritikan ada efek buruknya, sekalipun dengan tujuan baik dan mungkin bermanfaat. Tahun pertama menulis, sering juga terbersit di pikiran; Kira-kira bagaimana kualitas karya saya di mata pembaca? Penulis pernah memberanikan diri untuk meminta batuan seorang penulis untuk menilai karya-karya itu. Itulah sebuah tindakan konyol. Karena terlalu ramah, saya mungkin segan menolak. Beberapa karya yang telah pernah dimuat pun dikirim via email untuk kemudian dinilai. Satu minggu berlalu, satu bulan, dua bulan, hingga berbulan-bulan, kok belum ada jawaban? Saya bukan melupakan karya itu, tetapi setiap sempat ngobrol, dia seolah menjadi serba salah. Berulang kali dia mengatakan maaf, karena dia belum sempat membacanya. Dia akan mencari waktu membacanya. Setelah dipikir-pikir, saya mengambil satu kesimpulan, kita tak perlu meminta seseorang untuk menilai karya kita. Kalaupun karya kita buruk, tak semua orang dapat menjadi ‘orang jahat’ untuk ‘membantai’ karya itu. Bisa jadi orang itu menghargai kita, sehingga hal tersebut menjadi sebuah tekanan tersendiri untuknya. Kalau benar-benar ingin berkembang, fokus saja dengan kemauan dan aksi. Seiring waktu akan semakin baik pastinya, dengan catatan harus bersungguh-sungguh. Sama halnya juga dengan jam terbang para pilot. Tak perlu terlalu memusingkan penilaian orang lain yang kemungkinan berbeda-beda satu sama lain. Menanggapi Kritik Tak masalah ketika kita siap dikritik, tetapi tak ada yang bersedia mengeritik. Bagaimana ketika kita tak siap dikritik tetapi justru dikritik? Jangan gentar! Berkecimpung di dunia sastra, tak pernah luput dari hal demikian. Kritik adalah obat, kalimat yang pernah digunakan oleh Presiden. Perlu diingat, kita harus memfilter segala kritik yang datang kepada kita secara cermat, karena beberapa kritik sebenarnya adalah kedok dari aksi menjatuhkan atau mengangkat derajat si pemberi kritik itu. Kita hanya perlu menggunakan dua opsi; menerima bila benar, dan mengabaikan bila tidak benar. Kita tak perlu membantah, jika tak ingin dianggap -seperti yang dikatan sebelumnya- orang berhati kecil yang tak bisa menerima kritik. dinihari, akhir Mei 2012

Perempuan Sumbi Lelaki Keith

Sumardi di Petumbak Keith di Samosir Mihar Harahap. REBANA edisi April 2012 siaran minggu Analisa, menyuguhkan empat cerpen. Lelaki yang Dulu Kupanggil Paman karya Eka Handayani Ginting, Romlan karya Ester Pandiangan, Sumbi pada Suatu Hari, karya M. Raudah Jambak dan Amok karya S. Satya Darma. Dengan kejelian memilih persoalan dan gaya menceritakan, maka masing-masing pecerpen berhasil menggugah rasa pembaca untuk turut merenungkan permasalahan. Bila mungkin dapat menarik jalan keluar dan manfaat dari permasalahan yang ada. Janji Lelaki itu Isapan Jempol Memang bukan Eka Handayani Ginting namanya, kalau tidak memilih persoalan cerpen yang sensitif dengan gaya bercerita yang atraktif, walau terkadang agak emotif dan menjadi kurang tertib.Begitupun, cerpen kali ini menjadi menarik, karena janji oknum setelah menjabat (apakah sebagai Kepala Daerah Kabupaten/Kota ataukah Wakil Rakyat) sering dikeluhkan masyarakat bagai isapan jempol belaka. Entah apa dalam pikiran para pejabat, sehingga dia tak sanggup memenuhi janjinya ketika sebagai kandidat. Contohnya, Lelaki yang Dulu Kupanggil Paman, sebut Eka. Ada 2 persoalan yang dikemukakannya. Pertama, dulu, sekitar lima tahun lalu, ayahku merupakan tim sukses. "Bersama ayahku kalian mulai menyusun buah program yang akan mengantarkanmu menuju sebuah kursi yang kalian sebut ‘masa depan’. Siang-malam kau dan ayah mengumpulkan rupiah, mencari kolega, mengadakan pertemuan untuk menyatukan pendukungmu, kerja keras itu benar-benar menjadikanmu tokoh sentral…" (kutipan cerpen). Sekarang, ayahku kau campakkan. "Kau sedang jaya-jayanya ketika ayahku jatuh kelelahan di kantormu. Kau menyuruh pengawal-pengawal bodoh itu menyingkirkannya. Satu kalipun kau belum pernah menjenguknya sampai dia sadar dari koma dan sekarang terbujur seperti mayat hidup". "Ibuku, yang dulu kau panggil kakak, mendatangimu berkali-kali dan kau usir berkali-kali. Dia menangis berhari-hari, hingga suatu pagi dia menabrak dinding rumah karena kehilangan cahaya mata." (kutipan cerpen). Lebih khusus, sayangnya pecerpen tidak menjelaskan perjanjian secara konkrit, semacam surat berisikan poin balas jasa misalnya. Tidak juga menjelaskan, mengapa sang ayah terusir dari kantor (walau karena sakit) tanpa ada perhitungannya secara normatif. Bahkan secara kekeluargaan, bagaimana bisa terjadi hubungan menjadi bertolakbelakang setelah ayah jatuh sakit. Bila hal-hal semacam ini diungkap dalam cerpen dan ternyata dipungkiri, maka setidaknya dapat digugat haknya secara hukum dan kemanusiaan. Persoalan kedua, pembohongan publik, terutama kepada masyarakat pemilih dan simpatisan yang justru memenangkannya. Kini, terdengar suara publik: "… kami kira janji janji itu benar, kami bisa bersekolah dengan murah, makan tiga kali sehari, menjadi pesakitan tanpa takut mati…" (kutipan cerpen). Barangkali saja ada perubahan, tetapi karena tidak terpublikasi atau malah tidak kentara dirasakan masyarakat, maka ungkapan rakyat tidak lapar, sekolah murah dan jaminan kesehatan menjadi isapan jempol. Terbukti, berita di koran atau televisi, menunjukkan pembohongan di mana para pejabat telah menukar mobil mewahnya dengan hak-hak orang lain."…hak anak-anak yang menggelandang. Hak para guru honorer yang air ludahnya hampir mengering serta uang yang seharusnya menjadi jatah bayi-bayi kurang asam flot…" (kutipan cerpen). Duh, betapa memilukan andai benar mobil mewah para pejabat dibeli dengan uang yang semestinya menjadi hak anak gelandangan, guru honor dan bayi kepala besar. Barangkali cerpen monolog Eka Handayani Ginting ini memerlukan data akurat dan ilustrasi yang lebih spesifik, sehingga dapat memperkuat isi cerita bahkan siap untuk dipertanggungjawabkan bila diperlukan.Sebab, meskipun cerpen sekedar cerita, bukan berarti tempat mempropagandai pembaca sesuka hati, apalagi meledak-ledak tanpa bukti, melainkan wahana untuk melahirkan gagasan yang didukung fakta, agar dapat diterima oleh akal dan rasa. Justru disinilah manfaat membaca cerpen itu. Sumardi Tewaskan Preman Kebon Sebagaimana cerpen-cerpen sebelumnya, ibarat memikat burung, pecerpen amat lihai menabur umpan. Meskipun umpan biasa-biasa saja, malah hasil olahan sendiri, tapi lantaran disajikan dengan hangat bahkan tahu menempatkan, maka burung-burung pun dapat terpikat. Seperti cerpen kali ini, Amok, pecerpen hanya ceritakan perkelahian yang berujung kematian. Perkelahian itu sendiri terjadi karena ketidakjelasan per-soalan yang berakibat rakyat kecil menjadi korban dari ketidakadilan. Harus diakui, sejak reformasi atau setelah PTP IX dilikuidasi ke PTP II, lahan tidurnya banyak digarap masyarakat setempat, bahkan ada pula yang dibeli orang berduit. Anehnya, bila digarap masyarakat pasti digusur PTP (lengkap pakai alat, aparat dan centeng), sedangkan bila dibeli orang berduit pasti aman karena dipagar dan dijaga. Adapun masyarakat yang tinggal di lokasi itu dipindahkan setelah ganti rugi. Contohnya, kata S. Satya Darma di perkebunan Sampali dan Helvetia. Di perkebunan Patumbak tanaman palawija masyarakat, termasuk ladang jagung Sumardi, telah rata dengan tanah. Padahal lahan dekat rumah yang digarap tahunan dengan keringat dan modal itu, hanya sekedar mencukupi kebutuhan hidup anak-istri. Paling menyakitkan, di lokasi itu akan dibangun fasilitas umum. Itu artinya, orang berduit telah membeli lahan jagung Sumardi, sementara itu tak ada kompromi atau ganti rugi atas jasanya dan bapaknya sebagai kuli dan centeng perkebunan. Pantaslah amarahnya memuncak. "Maafkan aku, Bapak. Dulu golok ini kau guna-kan untuk menebas leher PKI di Pagar Merbau. Kini ijinkan aku menggunakannya untuk menebas batang leher preman kebon biadab itu" (kutipan cerpen). Golok pusaka zaman Belanda (warisan bapaknya, Kasandikrimo) bila digunakan, bak singa terluka, garang dan buas. Benar saja, Sumardi tanpa pikir panjang lagi, tak menghirau anak istri lagi. Dia maju, membabat plang pengumuman dan berseteru dengan preman yang memegang senapan. "...Dengan hanya satu lompatan dia menerkam sipembawa senapan dan menghantamkam goloknya tepat ke leher sipembawa senapan. Lelaki pembawa senapan itu untuk sekejap kejang-kejang lalu diam tak bergerak Mati" (kutipan cerpen). Itu nyawa kedua. Tak cuma itu, dia bakar pondok persinggahan preman bahkan buldozer yang meratakan ladang jagungnya. Orang-orang hilir-mudik, kaget. Lek Mardi begaduh! Pakde mem-bunuh! Gempar. Sumardi merasa lega, amat lega. Ah, entahlah. Rupanya, rasa kelegaan itulah yang mengantarkan langkah tegapnya ke kantor polisi tanpa gentar, siap mengaku perbuatan dan tentu rela menanggung resikonya. Apakah anak, istri dan keluarga juga siap menerima keadaan itu? Barangkali orang-orang menga-takan dia pahlawan, karena berani membantai preman seorang diri. Bagi anak, istri dan keluarga, mungkin dialah pengecut yang ciut menghadapi kenyataan hidup. Dia terbawa rendong ankara murka yang membuat pikirannya gelap gulita. Semestinya, pemerintah segera menangani persoalan ini secara adil (antara atasan dan bawahan) pada perusahaan besar ini. Sebab, masalah lahan tidur di masayarakat kelas bawah (dalam/luar perusahaan) sangat rentan dengan penipuan, tindak kekerasan bahkan kematian. Hindarkan kesan, gara-gara reformasi atau likuidasi (PTP IX ke PTP II) justru merugikan karyawan PTP IX itu sendiri. PTP II pun harus dapat memanfaatkan lahan tidur PTP IX untuk kepentingan karyawan dan bukan konglomerat. Perempuan Sumbi Lelaki Keith Perempuan litak itu bernama Sumbi. Kasihan, dia korban budak nafsu lelaki liar. Sebenarnya, Sumbi dan lelaki liar itu adalah orang-orang yang terjebak dalam hingar-bingar keindividualan dan kekerasan kehidupan sosial masyarakat kota. Atas nama cinta, dia tinggalkan mewah ayah-ibu untuk kumpul kebo dengan kekasih. Begitu anak lahir, kekasih pun mungkir. Tanpa merasa salah, lelaki liar itu pindah ke wanita sebelah. Tinggallah Sumbi dengan bayi mungilnya yang sakit-sakitan. Tak ada kerja lain, selain menjadi mama (manusia malam). "Malam pekat... Perempuan itu masih bersandar di tiang traffic light. Suara orang mengaji dari menara mesjid, masih terdengar samar ditingkahi laju kenderaan satu-satu" (kutipan cerpen). Tatkala itu, sekelompok lelaki liar, brutal, malah memperkosanya. Tak ada pembelaan, kecuali lelaki liar berikut membawanya ke satu kamar hotel untuk menjadi santapan lelaki liar lain lagi. Ternyata, lelaki liar lain separuh baya itu adalah ayahnya sendiri. Tragis memang.Gara-gara cinta berbulu domba lelaki liar (tak sepadan, usil, merugikan) hidup perempuan litak dan anak haram itu menjadi terlunta-lunta. Menurut kita, kefanaan hidup Sumbi, selain akibat permainan cinta dan fakta sosial masyarakat kota, juga karena kekeliruan menafsirkan makna hidup. Dia melupakan Tuhannya. Sayangnya, M. Raudah Jambak hanya menceritakan tokohnya saja dan hanya sedikit memberi ruang pada tokoh itu untuk mengekpresikan dirinya secara lebih mendalam. Teknik ungkap mimpi (kenangan atau khayalan) dalam penceritaan sudah biasa dilakukan penulis, namun bukan berarti sudah kuno atau ketinggalan zaman. Jauh lebih penting, apa dan bagaimana cerita itu bisa masuk ke dalam teknik tersebut. Sampai sejauhmana kekuatan atau kelemahan hubungan antar bagian cerita bila menggunakan teknik ini. Hanya secara kebetulan saja, hubungan bagian itu dalam cerpen Ester Pandingan kali ini, sedikit menunjukkan kelemahan. Begitupun, kita dapat menangkap apa sebenarya yang ingin dicapai. Menyindir diri dan orang-orang yang memang acuh dengan potensi alam daerah sendiri, baik latar belakang, nilai-nilai budaya, maupun menjadi rujukan pariwisata. Misalnya Maria, meski katanya: "Jangan salahkan aku Keith… aku hanya tahu Tuk-Tuk" Rupanya disindir Keith, Maria (orang Batak) hanya tinggal di Medan tak tahu seluk-beluk Samosir, sementara dia (orang Australia) menetap di Australia sangat mengenal detilnya Samosir. Ada pelajaran yang menarik dari Keith, kontroversi, membuat kita telak. Cinta dan kekaguman pada keunikan alam merupakan harga tak ternilai. Dia susuri liku ujung dunia, meski tanpa saudara. Sebaliknya kita, menganggap semua itu tak bermakna, lalu ramai-ramai meninggalkan dan melupakannya. Kitapun bangga menjadi masyarakat kota, sibuk dan bahagia. Padahal di kota kitapun tak berarti apa-apa. Sayangnya, pecerpen kurang menggali nilai keunikan pasir putih, air terjun dan desa tinggi sebagai dasar cerita. Penulis; Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UISU Medan)