Jumat, 25 Oktober 2013

Komunitas Home Poetry Gelar Lomba Puisi 17 November 2013 di Taman Budaya Sumatera Utara



Di bidang sastra, tentu kita mengenal puisi. Bahasa adalah media yang dipergunakan ketika kita menulis maupun membaca puisi.
Peristiwa ini juga tidak terlepas dari sumbangan bahasa melayu yang mudah diterapkan dalam penulisan dan pembacaan.
Peristiwa membaca yang dimaksudkan bukanlah peristiwa membaca dalam hati.

Peristiwa membaca di depan umum ini, tentunya lebih kepada sebuah aksi pembacaan. Sebuah peristiwa pertunjukan.
Proses yang berhubungan dengan puisi, penonton dan tempat pembacaan puisi.

Mengapa orang-orang begitu takut untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifnya dalam bentuk kata-kata dan bahasa tulis?
Dari pemikiran inilah, kami mencoba untuk membuat sebuah kegiatan lomba baca puisi komunitas home poetry untuk usia 15 hingga 22 tahun.
Komunitas Home Poetry adalah sebuah komunitas non profit yang berorientasi membentuk dan mencerdaskan generasi baru melalui dunia literasi.
Sebagai sebuah madrasah kebudayaan, Komunitas Home Poetry selalu menjalin kerja sama dengan siapapun selama memiliki visi dan misi yang senada.

Mereka harus memilih puisi kemudian dibacakan di tengah-tengah publik agar semua orang tahu bahwa pemikiran kritis yang terlahir dalam bentuk puisi juga bisa dilakukan oleh siapa saja.

Kegiatan ini sebetulnya program kerja 2012, mengingat begitu banyak kegiatan, maka pada tahun ini baru bisa terealiasasi.
Persyaratan peserta dalam kali adalah warga yang berdomisili di Sumatera Utara. Syaratnya peserta berusia 15 hingga 22 tahun. Rencananya kegiatan ini akan berlangsung 17 November 2013, di Taman Budaya Sumatera Utara Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan.
Sebagai upaya ikut membentuk karakteristik bangsa yang kreatif, mencintai keindahan dalam karsa, cipta, dan karya puisi, juga untuk melahirkan seniman (penyair) dengan talenta baru yang diharapkan dapat menjadi agent of change (agen perubahan), Komunitas Home Poetry. (*)

Kamis, 25 April 2013

Macam-macam Karya Sastra



Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun , gurindam dan hikayat .

a. syair
Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak . Biasanya terdiri dari 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud).b. pantun
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan . Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), bersajak akhir dengan pola a-b-a-b (tidak boleh a-a-a-a, a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi . Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun “versi pendek” (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah “versi panjang” (enam baris atau lebih).
Peran pantun

Sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain.
Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata. Seringkali bercampur dengan bahasa-bahasa lain. Berikut contoh pantun (sebetulnya adalah karmina) dari kalangan pemuda:
Mawar merah tumbuh di dinding
Jangan marah, just kidding
Namun demikian, secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan.
Struktur Pantun

Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan.
Meskipun pada umumnya sampiran tak berhubungan dengan isi terkadang bentuk sampiran membayangkan isi. Sebagai contoh dalam pantun ini:
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh
Beberapa sarjana Eropa berusaha mencari aturan dalam pantun maupun puisi lama lainnya. Misalnya satu larik pantun biasanya terdiri atas 4-5 kata dan 8-12 suku kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku.
Pantun Adat

1.
Menanam kelapa di pulau Bukum
Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah
2.
Ikan berenang didalam lubuk
Ikan belida dadanya panjang
Adat pinang pulang ke tampuk
Adat sirih pulang ke gagang
3.
Lebat daun bunga tanjung
Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
Baru terpelihara adat pusaka
4.
Bukan lebah sebarang lebah
Lebah bersarang dibuku buluh
Bukan sembah sebarang sembah
Sembah bersarang jari sepuluh
5.
Pohon nangka berbuah lebat
Bilalah masak harum juga
Berumpun pusaka berupa adat
Daerah berluhak alam beraja
Pantun Agama

1.
Banyak bulan perkara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyak tuhan perkara tuhan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa
2.
Daun terap diatas dulang
Anak udang mati dituba
Dalam kitab ada terlarang
Yang haram jangan dicoba
3.
Bunga kenanga diatas kubur
Pucuk sari pandan Jawa
Apa guna sombong dan takabur
Rusak hati badan binasa
4.
Anak ayam turun sepuluh
Mati seekor tinggal sembilan
Bangun pagi sembahyang subuh
Minta ampun kepada Tuhan
5.
Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat dipintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
Pantun Budi

1.
Bunga cina diatas batu
Daunnya lepas kedalam ruang
Adat dunia memang begitu
Sebabnya emas budi terbuang
2.
Diantara padi dengan selasih
Yang mana satu tuan luruhkan
Diantara budi dengan kasih
Yang mana satu tuan turutkan
3.
Apa guna berkain batik
Kalau tidak dengan sujinya
Apa guna beristeri cantik
Kalau tidak dengan budinya
4.
Sarat perahu muat pinang
Singgah berlabuh di Kuala Daik
Jahat berlaku lagi dikenang
Inikan pula budi yang baik
5.
Anak angsa mati lemas
Mati lemas di air masin
Hilang bahasa karena emas
Hilang budi karena miskin
Pantun Jenaka

1.
Dimana kuang hendak bertelur
Diatas lata dirongga batu
Dimana tuan hendak tidur
Diatas dada dirongga susu
2.
Elok berjalan kota tua
Kiri kanan berbatang sepat
Elok berbini orang tua
Perut kenyang ajaran dapat
3.
Sakit kaki ditikam jeruju
Jeruju ada didalam paya
Sakit hati memandang susu
Susu ada dalam kebaya
4.
Naik kebukit membeli lada
Lada sebiji dibelah tujuh
Apanya sakit berbini janda
Anak tiri boleh disuruh
5.
Orang Sasak pergi ke Bali
Membawa pelita semuanya
Berbisik pekak dengan tuli
Tertawa si buta melihatnya
6.
Ada apa diseberang itu
Mentimun busuk dimakan kalong
Ada apa diseberang itu
Bujang bungkuk gadis belong
7.
Limau purut di tepi rawa,
buah dilanting belum masak
Sakit perut sebab tertawa,
melihat kucing duduk berbedak
Pantun Kepahlawanan

1.
Adakah perisai bertali rambut
Rambut dipintal akan cemara
Adakah misai tahu takut
Kamipun muda lagi perkasa
2.
Hang Jebat Hang Kesturi
Budak-budak raja Melaka
Jika hendak jangan dicuri
Mari kita bertentang mata
3.
Kalau orang menjaring ungka
Rebung seiris akan pengukusnya
Kalau arang tercorong kemuka
Ujung keris akan penghapusnya
4.
Redup bintang haripun subuh
Subuh tiba bintang tak nampak
Hidup pantang mencari musuh
Musuh tiba pantang ditolak
5.
Esa elang kedua belalang
Takkan kayu berbatang jerami
Esa hilang dua terbilang
Takkan Melayu hilang dibumi
Pantun Kias

1.
Ayam sabung jangan dipaut
Jika ditambat kalah laganya
Asam digunung ikan dilaut
Dalam belanga bertemu juga
2.
Berburu kepadang datar
Dapatkan rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagaikan bunga kembang tak jadi
3.
Anak Madras menggetah punai
Punai terbang mengirap bulu
Berapa deras arus sungai
Ditolak pasang balik kehulu
4.
Kayu tempinis dari kuala
Dibawa orang pergi Melaka
Berapa manis bernama nira
Simpan lama menjadi cuka
5.
Disangka nenas ditengah padang
Rupanya urat jawi-jawi
Disangka panas hingga petang
Kiranya hujan tengah hari
Pantun Nasihat

1.
Kayu cendana diatas batu
Sudah diikat dibawa pulang
Adat dunia memang begitu
Benda yang buruk memang terbuang
2.
Kemuning ditengah balai
Bertumbuh terus semakin tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagaikan alu pencungkil duri
3.
Parang ditetak kebatang sena
Belah buluh taruhlah temu
Barang dikerja takkan sempurna
Bila tak penuh menaruh ilmu
4.
Padang temu padang baiduri
Tempat raja membangun kota
Bijak bertemu dengan jauhari
Bagaikan cincin dengan permata
5.
Ngun Syah Betara Sakti
Panahnya bernama Nila Gandi
Bilanya emas banyak dipeti
Sembarang kerja boleh menjadi
Pantun Percintaan

1.
Coba-coba menanam mumbang
Moga-moga tumbuh kelapa
Coba-coba bertanam sayang
Moga-moga menjadi cinta
2.
Limau purut lebat dipangkal
Sayang selasih condong uratnya
Angin ribut dapat ditangkal
Hati yang kasih apa obatnya
3.
Ikan belanak hilir berenang
Burung dara membuat sarang
Makan tak enak tidur tak tenang
Hanya teringat dinda seorang
4.
Anak kera diatas bukit
Dipanah oleh Indera Sakti
Dipandang muka senyum sedikit
Karena sama menaruh hati
5.
Ikan sepat dimasak berlada
Kutunggu di gulai anak seberang
Jika tak dapat dimasa muda
Kutunggu sampai beranak seorang
6.
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Kirim saya sehelai baju
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi ranting kayu.
Kalau tuan pergi ke Tanjung
Belikan sahaya pisau lipat
Kalau tuan menjadi burung
Sahaya menjadi benang pengikat
Kalau tuan mencari buah
Sahaya pun mencari pandan
Jikalau tuan menjadi nyawa
Sahaya pun menjadi badan.
Pantun Peribahasa

1.
Berakit-rakit kehulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian
2.
Kehulu memotong pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Jangan jadi sesal kemudian
3.
Kerat kerat kayu diladang
Hendak dibuat hulu cangkul
Berapa berat mata memandang
Barat lagi bahu memikul
4.
Harapkan untung menggamit
Kain dibadan didedahkan
Harapkan guruh dilangit
Air tempayan dicurahkan
5.
Pohon pepaya didalam semak
Pohon manggis sebasar lengan
Kawan tertawa memang banyak
Kawan menangis diharap jangan
Pantun Perpisahan

1.
Pucuk pauh delima batu
Anak sembilang ditapak tangan
Biar jauh dinegeri satu
Hilang dimata dihati jangan
2.
Bagaimana tidak dikenang
Pucuknya pauh selasih Jambi
Bagaimana tidak terkenang
Dagang yang jauh kekasih hati
3.
Duhai selasih janganlah tinggi
Kalaupun tinggi berdaun jangan
Duhai kekasih janganlah pergi
Kalaupun pergi bertahun jangan
4.
Batang selasih mainan budak
Berdaun sehelai dimakan kuda
Bercerai kasih bertalak tidak
Seribu tahun kembali juga
5.
Bunga Cina bunga karangan
Tanamlah rapat tepi perigi
Adik dimana abang gerangan
Bilalah dapat bertemu lagi
6.
Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kita menumpang mandi
Kalau ada umurku panjang
Bolehlah kita bertemu lagi
Pantun Teka-teki

1.
Kalau tuan bawa keladi
Bawakan juga si pucuk rebung
Kalau tuan bijak bestari
Binatang apa tanduk dihidung ?
2.
Beras ladang sulung tahun
Malam malam memasak nasi
Dalam batang ada daun
Dalam daun ada isi
3.
Terendak bentan lalu dibeli
Untuk pakaian saya turun kesawah
Kalaulah tuan bijak bestari
Apa binatang kepala dibawah ?
4.
Kalau tuan muda teruna
Pakai seluar dengan gayanya
Kalau tuan bijak laksana
Biji diluar apa buahnya
5.
Tugal padi jangan bertangguh
Kunyit kebun siapa galinya
Kalau tuan cerdik sungguh
Langit tergantung mana talinya ?
c. gurindam
Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan irama akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama berisikan semacam soal , masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan jawaban nya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi.d. hikayat
Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.
Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang.
Daftar Hikayat Melayu

Maka, inilah daftar hikayat dalam bahasa Melayu yang sungguh indah-indah isi ceritanya dan elok-elok gaya bahasanya:
Hikayat Abdullah

Hikayat Abdullah bisa dikatakan merupakan sebuah otobiografi . Hal ini membuat hikayat ini istimewa dalam khazanahSastra Melayu . Karya sastra ini ditulis pada pertengahan abad ke-19.
Abdullah yang bernama lengkap Abdullah bin Abdulkadir Munsyi adalah seseorang dari keluarga terpelajar. Ia merupakan seorang keturunan Arab, dari Yaman . Leluhurnya adalah guru agama dan guru bahasa Arab yang menetap di India Selatan, lalu beristrikan seorang Tamil . Lalu mereka pindah ke Malaka .
Abdullah sendiri juga lahir dan tinggal di Malaka . Istrinya juga seorang keturunan Tamil . Ayah Abdullah adalah seorangnarasumber Marsden, pakar bahasa Melayu dari Britania Raya .
Abdullah banyak menceritakan hal-hal yang menarik dari paruh pertama abad ke 19. Misalkan mengenai kota Malaka danSingapura, beberapa tokoh seperti John Stamford Raffles, Lord Minto, Farquhar dan Timmerman Thijssen . Selain itu ia banyak sekali menceritakan tentang kehidupan sehari-hari bangsa Melayu kala itu.
Pengarang ini juga dikenal karena suka menulis karya sastra didaktis yang penuh dengan nasehat -nasehat.

Minggu, 03 Februari 2013

Sanggar (Sekolah) seni dan Budaya; Mendidik Multikulturalisme

Oleh: Sartika Sari.

Kemajemukan masyarakat merupakan sumber kekuatan dalam rangka membangun stabilitas dan ketahanan nasional, jika kepelbagaiannya mampu terintegrasi dengan baik. Sayangnya, perbedaan kultur masyarakat dari Sabang sampai Merauke yang dahulu membentuk Bangsa Indonesia sebagai sebuah negeri dengan falsafah hidup ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang termaktub dalam Pancasila seiring arus perubahan zaman mengalami distorsi pemahaman. Degradasi moral yang mengakibatkan kemunculan berbagai bentuk diskriminasi dan perpecahan. Modernisasi dan globalisasi yang menaruh kekuatan besar dalam perubahan tatanan sosial masyarakat, juga berdampak pada runtuhnya kearifan lokal. Modernitas dipahami sebagai sebuah mode karakteristik peradaban, bertentangan dengan tradisi. Dengan semua budaya awal lain atau budaya tradisional: berhadapan dengan keanekaragaman geografis dan simbolis yang baru, menentukan dirinya sendiri ke seluruh dunia sebagai kesatuan homogen, yang tersorot dari Occident (Baudrillard, 1987: halaman 63).
Pada siklus ini, iklim industri sengaja dibangun oleh kelompok tertentu, berbarengan dengan lahirnya kapitalis-kapitalis pasar. Kapitalisme menumbangkan semua aturan, nilai-nilai dan struktur-struktur tradisional yang membelenggu produksi, transaksi dan hasrat.

Hal ini diungkapkan Steven Best dalam Posmodern Theory: Critical Interrogations sebagai simultan "mengatur" segala sesuatu dalam logika abstrak kesepadanan (nilai transaksi), kembali "mewilayahkan (reterritorializing)"-nya ke dalam negara, keluarga, hukum, logika komoditas, sistem perbankan, konsumerisme, psikoanalisa dan intuisi-intuisi normalisasi lainnya. Kapitalisme menggantikan aturan hukum kualitatif yang mengatur "aksiomatis yang amat keras" dimana secara kuantitatif mengatur dan mengontrol semua aliran yang tertata.

Melalui Iptek, salah satu kendaraannya, hegemoni ini juga bertujuan menghancurkan mental masyarakat dalam berkebudayaan. Alhasil, kemajemukan seringkali malah menjadi sumber peperangan dan kekisruhan yang merujuk pada perpecahan.

Sebagai masyarakat yang berbudaya, kesadaran bersaudara adalah kunci utama membangun persatuan dan kesatuan untuk mempertahankan keberadaan budaya lokal dan integritas sebagai bangsa yang beradab. Terutama untuk menghadapi berbagai permainan kapitalis pasar yang menurut Jameson (professor di bidang kesusastraan dan kemanusiaan) juga dibawa oleh arus postmodern.

Sebelum terlalu jauh mempersoalkan bagaimana membentuk tatanan pendidikan yang ideal di tengah multikulturalisme, hal penting terlebih dahulu mesti dibenahi adalah pemikiran para pelaku pendidikan mengenai kebudayaan. Lantaran merupakan kajian ilmu humaniora yang cenderung dinamis dan kajiannya bersifat kondisional, kebudayaan seringkali dianggap sebagai elemen sekunder. Syahdan, pemikiran sebagian besar pelaku pendidikan terhadap kebudayaan cenderung mengerdilkan. Alhasil, kegiatan-kegiatan yang bernuansa kebudayaan dalam konteks kegiatan kemahasiswaan dinomorsekiankan penanganannya.

Terbukti ketika terselenggaranya acara temu sastrawan, penyair, teater, dan beberapa lainnya, pihak perguruan tinggi terkesan meremehkan dan menganggap acara semacam itu tidak penting. Padahal jika disadari benar, antara ilmu sosial dengan ilmu eksakta tentu memiliki perbedaan kemasan acara yang signifikan. Pada ilmu sosial, sebagian besar acara berbentuk diskusi, seminar, festival dan panggung pertunjukan. Berbeda dengan ilmu eksakta yang sebagian besar berupa perlombaan dan olimpiade ilmiah.

Seperti halnya olimpiade dan kejuaraan sains yang diselenggarakan sebagai salah satu upaya peningkatan mutu, dalam ilmu sosial pertemuan dan festival yang ada, lengkap dengan runut acara khas budaya dan seni merupakan salah satu bentuk upaya pembangkitan dan peningkatan mutu pula. Lantas mengapa masih berat sebelah?

Barangkali kita bisa mengingat yang dituturkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan mengenai lima karakter penting yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk melindungi kebudayaan. Kelima karakter tersebut adalah pembangunan karakter bangsa, pelestarian warisan budaya, diplomasi kebudayaan dan internalisasi nilai, pengembangan SDM kebudayaan, serta sarana dan prasarana regulasi kebudayaan. Mengawali upaya-upaya perlindungan tersebut, pendidikan sebagai sentral pergerakan generasi muda merupakan pihak yang sangat besar pengaruhnya dalam usaha menanamkan kecintaan terhadap kebudayaan.

Revitalisasi Sanggar Seni dan Budaya di Lingkungan Pendidikan

"Kesenian adalah segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan" Koentjaraningrat (1994). Sebagai bagian dari kebudayaan, seni merupakan salah satu elemen penting yang bermuatan budaya. Pada beberapa sisi, kesenian pun dapat dikatakan sebagai tangan kanan rakyat. Oleh sebab itu, mengajarkan seni dan budaya melalui sanggar-sanggar seni dan budaya di lingkungan pendidikan (baca: sekolah dan universitas) merupakan langkah solutif dalam rangka melestarikan kebudayaan lokal dengan menumbuhkan semangat dan kepedulian terhadap budaya lokal dari para peserta didik.

Jika selama ini keberadaan sanggar seni dan budaya baik yang dikelola oleh perseorangan ataupun Taman Budaya terkesan kurang diperhatikan, maka semestinya di lingkungan pendidikan keberadaan sanggar-sanggar serupa bisa mendapat perhatian lebih. Salah satunya dengan memenuhi kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan. Program semacam ini penting sebagai wadah bagi para pelajar dan mahasiswa untuk mengenal dan mempelajari serta melestarikan kebudayaan. Dimulai dengan pengkaderan seperti itu, dalam pembelajaran musik, seni tari dan artefak budaya lain yang dikemas lebih inovatif. Secara perlahan rasa kepedulian dan kecintaan para pelajar dan mahasiswa terhadap kebudayaan akan tumbuh. Mengingat memang, upaya pelestarian hanya bisa dilakukan atas dasar kepedulian dan kecintaan terhadap budaya lokal yang tidak diperoleh secara instan apalagi secara paksaan.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik perbedaan individual maupun perbedaan kelompok yang dilihat secara budaya. Ideologi ini merupakan sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terjadinya pluralisme budaya sebagai corak tatanan kehidupan masyarakat (Nieto dalam Suparlan (dalam Chryshnanda dan Syafri (ed.), 2008: 725-744).

Sebagai bangsa yang berkembang, memaknai multikulturalisme sebagai lumbung kekuatan. Latar belakang persatuan merupakan paradigma solutif yang mesti ditanamkan pada para generasi muda. Dalam hal ini, pendidikan sebagai medium sentral adalah pihak yang mempunyai tanggung jawab besar dan semestinya memiliki langkah-langkah kreatif, inovatif dan serius untuk membentuk mental para pelajar dan mahasiswa sebagai generasi muda agar memiliki kepedulian dan kecintaan terhadap budaya lokal sebagai wujud penyelenggaraan pendidikan berbasis multikulturalisme yang benar.

Usia Tua Buka Menjadi Rintangan untuk Menulis Sastra


Oleh: Syarbaini.

Pengarang terkemuka dalam usianya delapan puluh tahun ketegaran pikiran tak akan kendor dalam menulis sastra. Winston Churchil walaupun dia lumpuh tetap menulis kenangan-kenangan dalam hidupnya (memoar). Buku tersebut laris manis. Di Medan ada Ali Soekardi yang berusia 80 tahun sampai kini, juga masih tetap menulis.
Ada penulis yang mengatakan, usia merupakan sebuah hambatan bagi mereka untuk menulis. Orang yang bertugas untuk ketentaraan mengatakan, jika mereka akan dirintangi oleh pelbagi hambatan ketentaraan dia akan menghasilkan karya sastra yang di idam-idamkan. Orang yang menulis karyanya ketika menjalani latihan kemiliteran pada perang dunia kedua. Hasilnya juga memuaskan.

Penduduk yang tinggal di kota-kota besar, seperti Medan, akan mengatakan apabila mereka sudah mempunyai rumah yang cukup besar mereka pun akan menulis apa yang sedang dipikirkan. Mereka yang tinggal agak pedalaman mereka akan menulis sastra yang tengah dipikirkan.

Setiap orang yang profesinya menulis, membayangkan betapa nikmatnya dapat menulis yang berbobot, agar dinikmati masyarakat. Karyanya akan menjadi kebajikan kepada masyarakat. Di tengah-tengah masyarakat yang kalau begini dia berusaha menciptakan ketertiban. Ia selalu melihat keseluruh alam sejagad, dalam rangka pasang surutnya kehidupan itu dia menjadi tragik.

Penyair adalah penafsir masyarakat di dunia fana. Penyair seringkali dianggap sebagai filosofi dan juga sebagai pencipta. Penyair seperti halnya tukang kayu seharusnya menguasai umur panjang dan syarat-syarat penulisan sastra. Kalaulah mengabaikan syarat-syarat ini, maka yang akan dihasilkan ialah karya yang tidak bermakna. Kurang daya tariknya dan tidak menjernihkan pikiran.

Usia sekitar 60 tahun

Karena di usia tua, sudah barang tentu anda juga berusaha memahami dengan sebaik-baiknya sejarah dan perkembangan sastra terus diusahakan semampu mungkin. Tidak perlu meniru-niru masa penyair besar yang hidup pada masa lalu. Anda tahu bahwa kata-kata klise tak menarik. Larik-larik dan komplet puisi yang dibuat secara mekanis tidak mengena. Belakangan ini ada puisi modern dalam abad ke dua puluh satu ini bergeser ke arah bentuk puisi yang lebih berat dalam bentuknya. Itulah bentuk orang tua yang berjiwa seni yang patut di didengarkan kepada yang muda-muda.

Cobalah menekankan pada nilai seni, sebab jika Anda hanya mementingkan apa yang anda rasakan dalam diri sendiri semata, lebih baik anda menulis bentuk sastra prosa saja. Ide di dalam sebuah puisi amat penting, tetapi bentuknya itulah yang memberi wujud padanya, yang membuatnya puisi lebih menarik, bermakna dan memiliki arti. Serta membawa pembacanya berpikir jernih.

Untuk menambah bobot dan nada puisi anda harus rajin menulis dan belajar membaca karya-karya pengarang terkemuka dalam sastra dunia yang dikenal penyair kawakan pada usia tua. Jangan sekali-kali meniru mereka, tetapi jadikanlah karya-karya terbaik seperti karya mereka.

Pada hakikatnya sekarang hidup pada abad kedua puluh satu. Dunia sedang bergumul dengan berbagai masalah yang sangat penting. Perang dan damai, ilmu pengetahuan, tentang angkasa luar, kebebasan dan macam-macam lagi. Justru inilah yang menggerakkan hati kita untuk maju ke depan, terutama penyair-penyair tua yang banyak telah makan garam. Mana tahu bait-bait puisi yang anda goreskan akan mendatangkan ketentraman bagi setiap orang dan generasi berikutnya.

Mendidik Calon Penyair

Hampir semisal editor menginginkan naskah yang diterima, merupakan naskah yang baik dan bermutu. Barang kali para editor juga sependapat, bahwa dirinya juga tidak suka mengembalikan naskah penulis. Seringkali editor menahan naskah penulis, memang ia tidak punya pilihan lain, dia memerlukan artikel yang khusus untuk mempermasalah yang khusus pula. Disinilah bagaimana memeningkan mutu naskah kita?

Setiap bidang profesi mempunyai masalah khusus. Dia harus memberikan kritik berdasarkan pengetahuan, logika dan pandangan pribadi yang utuh. Pendapat orang lain tak boleh diremehkan, karena perbedaan pendapat sekalipun akan memperkaya perbendaraan bahasa dan pengetahuan. Karena orang lebih tahu dan banyak makan garam. Pengetahuan yang lebih luas.

Sikap apriari harus dihindarkan. Sastrawan tua harus selalu menaruh simpatik terhadap apa yang hendak di permasalahkan pengarang. Hasil karyanya sebelum dia menjatuhkan penilaian baik atau buruk. Ini menuntut seperangkat pengetahuan, metode, teori dan analisis.

Hasil Karya Cemerlang

Robert Prost beranggapan, seorang yang betul-betul tertarik dalam kesusastraan tak lebih dari seseorang yang dengan serius pula memperhatikan masalah-masalah dalam kehidupan. Sastra dan kehidupan, berada dalam satu wadah yang bermakna. Dari peleburan ini sering muncul visi yang berkilauan, sungguh bermakna bagi penulis.

Jika seorang telah menjadi penulis yang hendak membuktikan dari sebagai penyair, ingatlah kemampuan, merupakan kebajikan yang sangat mulia. Itu keahlian yang diakui sejak zaman dahulu.

Penulis-penulis kesusastraan, umum nya usia tua mengharapkan karya mereka untuk dibaca anak-anak muda. Kebanyakan penulis ini mengambil satu bentuk yang cacah dengan mereka. Karena itu mereka dapat penulisan dapat dimasukkan dalam bidang seni lain, umpamanya novelis, cerpen, esai, kritikan, penulis biografi, drama, naskah untuk film, TV, radio, penulis lirik untuk pertunjukkan.

Banyak sastrawan menggunakan lebih dari satu bentuk yang kita sebutkan. Misalnya Martina Kormin sekedar contoh berkata

"Saya mulai menulis puisi karena bentuknya yang singkat dan dapat dibawa kemana-mana dalam kepala setiap hari. Saya menulis cerita karena ingin masyarakat punya ide-ide yang tidak cocok dalam bentuk puisi. Martina Kormin juga menulis esai, novel dan yang lain-lain.

Mengajarkan sastra

Bagi sastrawan yang suka mengajar, jadi guru menulis sastra adalah berat. Disiplin waktu yang ketat dan usaha yang keras. Bahkan kadang-kadang melebihi jam yang dibutuhkan. Karena diperlukan kesabaran. Dan yang paling cocok adalah penyair berusia tua atau kurang lebih 60 tahun.

Di antara guru-guru di bidang karang-mengarang ini haruslah orang yang sudah banyak pengalaman. Selainnya harus punya buku hasil karangan yang diterbitkan. Karena banyak tamatan perguruan tinggi dengan gelar sarjana yang bercita-cita menjadi penulis atau penyair. Mengajar mengarang atau penulis bukanlah sekedar mengajarkan bahasa semata, tetapi harus bisa mejelaskan semua urusan kesusastraan.

Memang adalah suatu pengalaman yang mungkin mengharumkan dan membimbing penulis-penulis muda untuk menemukan jati diri mereka. Suatu perasaan abadi didalamnya, mengajar orang berkarya seni sastra. Karya itu dibaca orang, sehingga membawa efek dalam hati mereka yang membacanya haru, waktu mengajarinya terasa sedih, tetapi juga ada gembiranya. Karena diantara mereka ada yang merasa dibesarkan.

Karena kalangan pengajarnya bisanya telah menjadi penyair-penyair tua yang sudah banyak makan garam, artinya sudah tahu seluk beluk kesusastraan secara jelas. Memiliki buku-buku terbitan karangan sendiri.

Penulis sastrawan tinggal di Medan

Seniman dan Gedung Kesenian

Fatmin Prihatin Malau.

Tidak diduga sebelumnya seorang rekan penulis bertanya. Apakah Taman Budaya Sumatera Utara di Jalan Perintis Kemerdekaan itu bukan gedung kesenian? Penulis yang belum tahu maksud dan arah pertanyaan rekan itu balik bertanya mengapa tiba-tiba menanyakan tentang Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) apakah bukan gedung kesenian.
Untungnya, rekan penulis itu bukan seniman, jadi pertanyaannya bisa penulis balik bertanya mengapa tiba-tiba menanyakan tentang apakah TBSU itu bukan gedung kesenian.

Ternyata pertanyaan itu muncul karena rekan penulis itu membaca baliho di pagar TBSU itu bertuliskan Yang Terhormat Gubernur dan Walikota Medan Kami Butuh Gedung Kesenian Panitia Musyawarah Seniman Medan. Celakanya, penulis belum melihat dan membaca baliho yang dimaksud rekan penulis itu maka tidak mengetahui kemana arah pertanyaan rekan penulis itu, sehingga rekan penulis itu mengatakan, katanya Anda seniman? Mengapa tidak update perkembangan seniman yang sedang terjadi.

Akhirnya penulis mengkhususkan diri melihat dan membaca baliho yang dimaksud rekan penulis itu. Benar. Terpampang baliho bertuliskan seperti yang dikatakan rekan penulis itu. Kini bukan saja melihat dan membaca baliho itu, tetapi mengabadikannya dan mendorong penulis untuk menulis tulisan ini.

Ya TBSU, dulu ketika tahun 1984-1990 penulis sering berlama-lama di TBSU yang namanya waktu itu Taman Budaya Medan (TBM) bersama sejumlah teman, alm. Bouy Hardjo, Idris Pasaribu, Darwis Rifai Harahap, Burhan Polka, Kuntara DM, alm. Gunawan Tampubolon, AM Rizal Sutomo, Teddy Witarta dan banyak lagi yang kini jarang bertemu.

Sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan yang dahulu, bangunannya masih yang dahulu. Berbeda dengan bangunan di sekitarnya yang telah mengalami perubahan hari ini dari yang dahulu.

Tidak salah rekan penulis yang bertanya tentang apakah TBSU itu bukan gedung kesenian dengan adanya baliho yang dipasang di pagar TBSU itu sebab masyarakat ternyata mengenalnya sebagai gedung kesenian.

Ada rasa bangga ternyata masyarakat mengenal TBSU sebagai gedung kesenian. Penulis tahun 80-an menilai TBM waktu itu, sebagai tempat ngumpul dengan sesama seniman, tempat menyalurkan bakat bermain teater dan gedung Utama TBM/TBSU yang dimaksud rekan penulis itu sebagai gedung kesenian memang pernah beberapakali penulis mentas dan sangat familier dahulu dengan kondisi gedung pertunjukan itu dan juga dengan gedung lainnya di TBM.

Dulu memang sangat bangga bila sudah dapat mentas di gedung Utama TBM itu sebab gedung itu dikenal masyarakat secara luas karena berbagai acara organisasi kemasyakatan (Ormas) acapkali menyewa gedung itu untuk melaksanakan acara, sehingga menjadi dikenal masyarakat.

Waktu itu memang bisa dikatakan TBM gedung yang bagus, sebab belum banyak pilihan gedung yang lebih bagus lagi, sehingga peminat untuk melangsungkan acara di gedung TBM menjadi pilihan. Hotel bintang lima yang kini ada di depan TBM belum ada dan gedung-gedung lain yang kini ada di Medan waktu itu juga belum ada.

Tidak Sesuai Lagi

Bagus. Baliho yang dipasang di pagar TBSU itu, sebab mengundang tanya bagi masyarakat yang membacanya. Contohnya rekan penulis itu, bertanya apakah TBSU itu bukan gedung kesenian? Dari pertanyaan ini nanti akan menggiring rasa ingin tahu masyarakat tentang TBSU, seperti apa sekarang ini. Jelas, kondisi TBSU bila dikatakan sebagai gedung kesenian bagi Sumatera Utara sangat memprihatinkan, sudah ketinggalan zaman dan bahkan tidak layak lagi melihat perkembangan ibukota propinsi Sumatera Utara memiliki gedung kesenian seperti itu.

Jika penulis tidak salah Walikota Medan Rahudman Haharap pernah mengatakan dalam kata sambutannya pada acara peluncuran buku "Ini Medan, Bung" Sabtu, 13 November 2011 di Medan Club Jalan Kartini Medan, bahwa permintaan beberapa seniman Medan agar Pemko Medan menyediakan tempat untuk berkumpul para seniman bukanlah permintaan yang sulit. Sekarang juga permintaan itu dapat dipenuhi.

Rahudman waktu itu mengatakan gedung bekas Kantor Walikota Medan di Jalan Balai Kota yang telah direnovasi tetapi bentuknya masih asli dapat digunakan para seniman untuk tempat berkumpul.

Setelah itu penulis tidak tahu lagi kelanjutannya, akan tetapi tempat berkumpul dengan gedung kesenian tidak sama. TBSU yang ada sekarang ini mempunyai fungsi ganda, sebagai tempat berkumpul dan juga gedung pertunjukan kesenian.

Tempat berkumpul sangat sederhana, dimana saja bisa asalkan ada kesepakatan bersama dengan yang berkumpul. Kini, café menjadi tempat berkumpul, bertemu berbagai komunitas. Dahulu (menurut cerita alm. Bouy Hardjo kepada penulis) kaum seniman berkumpul di warung kopi seperti di Jalan Merbabu simpang Jalan Sutomo. Ada juga yang kumpul di kedai kopi Jalan Surabaya. Tempat itu bukan gedung kesenian.

Medan Belum Punya Gedung Kesenian?

Baliho di pagar TBSU itu bertuliskan Yang Terhormat Gubernur dan Walikota Medan Kami Butuh Gedung Kesenian Panitia Musyawarah Seniman Medan. Gedung kesenian di kota Medan, timbul tenggelam. Mengapa dikatakan begitu sebab dahulu ada Gedung Kesenian di jalan Veteran dekat Titi Gantung dan di gedung itu pernah dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia II yang dibuka Presiden Soekarno.

Kemudian gedung kesenian ini berubah wujud, dibongkar dan kini berdiri bangunan baru yang bukan gedung kesenian lagi. Lantas Gubernur Marah Halim bersama Walikota Medan waktu itu Sjoerkani mendirikan pusat kesenian bernama Taman Pusat Kesenian dan Kebudayaan (Tapian Daya) yang kondisinya bagus, lengkap dengan panggung pertunjukan, ruang pameran, panggung terbuka, bioskop dan lainnya.

Waktu itu para seniman Medan dan Sumatera Utara aktif beraktivitas dan berkreasi kesenian. Entah mengapa Tapian Daya kemudian para seniman meninggalkannya dan sekarang menjadi Pekan Raya Sumut (Medan Fair) yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.

Beda dengan TBSU yang dahulu TBM, dibangun di atas lahan bekas kuburan Tionghoa itu sejak diresmikan 17 Maret 1977 oleh Menteri P dan K Indonesia, Prof. Dr. Sjarif Thajib dapat dikatakan terus ramai dengan para seniman. Penulis masih ingat ketika bernama TBM baru ada Gedung Utama dan gedung Sanggar Tari masih sering dijumpai ular di bongkahan tanah yang belum rata.

Jalanan di depan TBM masih sepi akan tetapi tidak sepi dari pertunjukan kesenian dan juga berbagai acara dari organisasi kemasyarakatan sering dilaksanakan dan juga kegiatan keagamaan dari organisasi kemasyarakatan seperti peringatan Israk Mikraj, Maulid Nabi, Hari Natal dan lainnya. Boleh jadi karena TBM waktu itu gedung yang bagus untuk melaksanakan berbagai acara.

Lebih dari 35 tahun sudah sejak diresmikan, bangunan di TBSU tidak melakukan perubahan yang berarti sehingga kurang layak untuk gedung kesenian bagi kota Medan yang terus berkembang pesat. Selama lebih 35 tahun itu para seniman dari generasi ke generasi telah berada di TBSU itu dan masyarakat kota Medan, Sumatera Utara telah menilainya sebagai gedung kesenian seperti halnya dengan rekan penulis itu maka sudah selayaknya TBSU berubah bentuk sesuai dengan kondisi yang ada sekarang ini.

Seharusnya Gubsu bersama Walikota Medan telah memiliki konsep lengkap membangun TBSU menjadi Gedung Kesenian yang representatif, bagus dan modern, sesuai dengan perkembangan zaman. Tidak seperti yang ada sekarang ini, sudah tidak layak lagi bila dilihat dari perkembangan kota Medan. TBSU harus memiliki tempat pagelaran kesenian yang berkualitas baik yang menjadi kebanggaan Medan dan Sumatera Utara.

Pengungkapan Moral dan Korupsi

Mihar Harahap.

Menarik memang. Inilah yang selalu saya sebut, tema (apa yang diceritakan) dan bentuk (bagaimana menceritakan), sama pentingnya. Sebab, cerpen tanpa tema adalah sia-sia, percuma saja, sedangkan cerpen tanpa bentuk menjadi tak menarik, tak mengesankan. Hanya, saya lebih dahulu melihat bentuk ketimbang tema. Artinya, bila cerpen itu menarik bentuknya, maka cerpen akan habis dibaca untuk mendapatkan temanya. Kecuali untuk kepentingan penelitian/bahan apresiasi, niscaya cerpen malah dibaca berkali-kali.
Begitulah kesan saya usai menelisik cerpen "Penghuni Kepala"(PK) karya Eka Handayani Ginting dan "Kisah Koruptor Menunggu Izrail"(KKMI) karya T. Agus Khai dir, yang terbit di ruang Rebana harian Analisa, edisi 10/11-2012. Bukan berarti cerpen lain tidak menarik, baik tema maupun bentuknya. Akan tetapi di samping kedua cerpen ini agak unik -katakanlah berbeda dengan cerpen lain itu- juga kedua pecerpen mem perlihatkan keunggulan bakat dan minat. Karena itu, perlu mendapat perhatian.

Penghuni Kepala

"Aku akan bercerita tentang orang-orang yang pernah tinggal di kepalaku. Orang-orang yang datang ketika aku kesepian" (begitulah Handayani memulai cerpennya). Kata ‘kesepian’ menunjukkan kalau ‘aku’ sedang duduk sendiri di teras rumah, ruang tamu atau dalam kamar, lalu merenungkan sesuatu. Sesuatu itu, tentu berbagai ragam peristiwa pengalaman kehidupan, biasanya yang tak terlupakan. Bisa peristiwa sehari-hari atau peristiwa yang jarang terjadi, tetapi tetap saja melingkar-lingkar di ruang kepala.

Dalam ‘aku’termenung, kenangan yang muncul sambung-menyambung bertahun-tahun. Pertama, masa kanak-kanak, teringat Rudi. Kawan kecil ini lebih memahami keadaan’ku’ dibanding kawan lain. Kedua, masa remaja, ingat Fariz. Kawan remaja yang tampan, pintar dan baik. Karena itu, Rudi pernah mencemburui. Ketiga, masa dewasa, teringat Om Danu. Kawan ibu’ku’ ini, juga baik dan tampan mirip pesonil Boyband Korea. Ibu tak menyukainya, namun keberadaan Om Danu sempat singgah di hati’ku.

Kemudian, dalam prosesi kenangan ini, ternyata ‘aku’, ibu dan Lolita (anakku) memiliki kesamaan pengalaman hidup layaknya turunan. Ibu berselingkuh, lahirlah ‘aku’ dan ‘aku’ berselingkuh lahirlah Lolita. Suami ibu meninggal, sedangkan suami’ku’ tak jelas juntrungannya. Lolita persis ‘aku’ semasa kecil, berprilaku over, lincah, berani dan usil, sehingga dijauhi para tetangga dan anak-anaknya. Bahkan ‘aku’ dan Lolita disebut anak autis, setengah gila oleh para tetangganya.

Kekacauan pikiran dan perasaan ‘aku’ menuju puncak. "Pergi," teriak’ ku’, tetapi Rudi, Fariz dan Danu malah mengejeknya.

"Rudi, Fariz, mari bermain dengan ibu". Aneh, apakah Rudi dan Fariz sudah berpindah ke ibu?

"Om Danu," panggil’ku’. Ibu marah. "… Danu itu suamiku, panggil dia Ayah,"bentak ibu.

Apa? Sejak itu, isi ruang kepala’ku tak ada lagi. Begitupun ‘aku’ masih saja menunggu ada lelaki lain yang dapat mengisi ruang kepala’ku’, supaya ada tempat mengadu bila ‘aku’ dimarahi sang ibu.

Kisah Koruptor Menunggu Izrail

Bermula cerpen, muncul malaikat Izrail pada kehidupan Zainuddin, tokoh cerita. Dalam pikiran sang tokoh, 1)."ia pulak, sejak kapan kematian dikabarkan? Jikapun ada kabar, bukanlah seperti ini", 2)."lagi pulak, alahai, manalah ada malaikat bicara dalam bahasa Indonesia dialek Arab Betawi… (sebab) sepengtahuan Zainuddin bahasa malaikat adalah bahasa Al-Qur’an" dan karena itu 3). "Seharusnya malaikat ini bicara dalam dia-lek Melayu… (soalnya) Ini tanah Deli" (paragraf awal).

"Ente tunggu di sini yah. Ane, ada urusan dikit. Gampang, dah, ente minum ane traktir," kata Izrail pada Zainuddin seraya pergi, tetap dalam bahasa Indonesia bahkan dialek Arab Melayu. Akan tetapi setakat ini, persoalan nyawa belum ditakdirkan, sehingga Zainuddin masih bisa singgah di kafe, menghirup secangkir irish coffee serta sepotong cinnamomun burmani. Dalam kesendirian, ketermenungan, dia kenang 30 tahun lalu, saat sepetak tanah warisan dan honda CB milik ayah, harus berpindah tangan.

Dengan PNS harta orangtua harus pergi, dengan PNS itu pula harta orangtua harus pulang kembali. Itu tekad, meski dengan jalan korupsi. Begitu hendak dilaksanakan, begitu pula datang larangan orangtua. Seakan arwah ayah berbisik di telinga, 1)."ikhlasku setingginya ikhlas. Tak pernah kuharap tanah dan sepeda motorku kembali" dan 2)"dulu emakmu pernah bertengkar dengan tetangga kita. Kau ingat itu? Marah betul dia mendengar mereka menuduh kau mencuri mangga".

Rupanya, bisikan Awang, kawan kerja lebih menggoda. Dia korupsi, mula-mula penuh ketakutan, tetapi lama-lama menjadi kebiasaan. Hasilnya melimpah, beberapa mobil, rumah, tanah dan 8 rekening bank. Bukan main. Hanya, korupsi Awang ketahuan, ia di-adili dan dihukum 6 tahun penjara tambah denda 2 milyar. Sejak itu, Zainuddin berhenti korupsi. Bukan takut dihukum dan didenda, itu tak seberapa. Juga bukan karena bisikan ibu Maryati (guru SD), Tuk Ai, guru ngaji dan Sanusi, PNS rendahan yang jujur.

Melainkan karena malaikat Izrail sudah di hadapannya.

"Ente kelamaan nunggu, ya? Maaf, ane telat. Urusan ane rade ribut," kata Izrail enteng dan tetap bersahabat. Sementara Zainuddin mulai gelisah karena dalam pikirannya sang malaikat segera melaksanakan tugas mencabut nyawa.

"Tolonglah, Tuan. Bolehkah kematian saya ini ditunda barang setahun dua tahun lagi,?" tanya Zainuddin penuh harap."Ha… Bahlul ente. Bah luuulll," malaikat Izrail mentertawakan Zainuddin. Bagaimana takdir Zainuddin?

Persoalan Moral dan Korupsi

Ada kesamaan pengungkapan kedua cerpen ini. Pertama, kedua cerpen langsung bercerita dengan mengemukakan persoalannya. Cerpen PK persoalan moral dan diskriminasi, sedangkan cerpen KKMI persoalan korupsi. Kedua, kedua cerpen mengurai persoal-an melalui kesendirian, perenungan, kenangan, di rumah dan di kafe. Ketiga, kedua cerpen ini agak unik.Cerpen PK mengemukakan ‘perselingkuhan’, sedangkan cerpen KKMI menampilkan malaikat Izrail sebagai pencabut nyawa manusia.

Cerpen PK mengeksploitasi ‘perselingkuhan’ secara turun-temurun, dari ibu ke anak. Dalam kehidupan rumah tangga, jelas perbuatan ini disebut melanggar norma-norma (negara, agama, adat, sosial, budaya dan keluarga). Jangankan ‘perselingkuhan’ (biasanya sembunyi) persoalan ‘perawan’ saja (biasanya disembunyikan) dalam kehidupan rumah tangga, pun menjadi perbuatan tercela. Apalagi persoalan ‘perselingkuhan’ niscaya tingkat kecelaannya paling mendasar, bisa berakibat perceraian suami-istri.

Kalau hal ini merupakan deskripsi kehidupan rumah tangga dewasa ini, maka perlu diantisipasi oleh para suami-istri dengan menciptakan tatanan keluarga yang harmonis dan bahagia. Barangkali, di samping membuahi keluarga dengan kerukunan (saling percaya, pengertian, menghargai, mencintai) juga adalah keimanan dan implementasinya. Sebab, suami-istri yang penuh iman, biasanya akan terlindung dari perbuatan amoral seperti ‘perselingkuhan’ yang dapat merusak rumah tangga orang lain.

Selain itu, juga persoalan ‘anak autis’ atau boleh jadi rada setengah gila yang kerap didiskriminasi, pun dapat mengganggu keamanan lingkungan masyarakat. Apa lagi bila terjadi pada keluarga yang pas-pasan, perlu pemahaman (bukan salah paham) serta jalan keluar (bukan jalan ribut) yang netral dan dapat mengakomodasi semua kepentingan. Tidak ada intimidasi dan diskriminasi atas kaya-miskin. Pokoknya, kekurangan ‘anak au-tis’ atau rada setengah gila, pun dapat menciptakan kerukunan antar jiran tetangga.

Cerpen KKMI mengeksploitasi dampak negatif orang yang melakukan korupsi. Halnya Zainuddin, bukan takut menjadi ‘tersangka’ dan diadili. Karena di pengadilan dia bisa menangis, sakit, tidak tahu, sopan, koperatif agar dapat keringanan hukuman. Andai vonis 4 tahun denda 2 milyar, maka mungkin dijalani setengahnya sebab berbagai diskon kurungan. Kalau denda tak seberapa, dihitung-hitung masih jauh lebih untung. Lagian di penjara, bisa menulis buku, beribadah atau melancong ke luar negeri.

Pun tidak takut dipecat dari PNS sebab sudah menanti kerja yang lebih profeonal yakni pengusaha. Amat menjajikan untuk memulangkan kembali berjuta-juta sepetak ta-nah dan honda CB milik ayah. Juga sanksi moral, adat, sosial, budaya yang sekarang dapat dibeli, mudah, murah. Bentuk opini publik, hasil korupsi bukan hanya memperkaya diri, melainkan untuk kepentingan umum. Caranya, buat tim sukses pemberian dana ke berbagai tempat dan kegiatan masyarakat termasuk sponsor acara keagamaan.

Tak Cuma itu, bayar orang-orang untuk melakukan demo pembelaan, cuap-cuap di media, mengundang tamu-tamu penting masuk penjara hingga membuat penyambutan meriah bila keluar penjara. Semua itu dapat direkayasa sekaligus memulihkan nama baik agar nanti bisa menjadi calon DPRD atau walikota/bupati. Hanya, ada satu yang tak dapat dilakukan meski ada tim, rekayasa, pengacara dan apapun bentuknya yakni pengadilan Tuhan. Di pengadilan itu nanti, Zainuddin akan menerima azab atas korupsinya.

Azab ini sudah dibayangkan, apalagi setelah dilihatnya Awang (guru korupsi) masuk kubur, diinjak-injak tiada harga. Ketakutan menyelubungi jiwa dan raga. Itulah sebab ia minta ‘tunda kematian’ (sebagai prosesi ke pengadilan Tuhan) kepada malaikat Izrail (pencabut nyawa) barang setahun-dua. Maksudnya untuk melakukan pertobatan selagi nyawa di kandung badan. Lagi pula, bukankah pintu ampun masih terbuka? Demikian apresiasi kita terhadap kedua cerpen ini, terlepas dari segala kelemahannya.


Penulis Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UISU Medan

Lima Tahun Jurnal Boemipoetra

Ris Pasha.

Lima Tahun, Jurnal Boemipoetra lahjir di Indonesia yang memberikan perlawanan terhadap sastra kapitalis. Demikian Boemipoetra mengatakan.
Seperti apa yang ditulis oleh redaksi dalam buku Boemipotra yang terbit akhir 2012, hampir semua orang menertawakannya bahkan mengejeknya. Apa bisa jurnal Boemipoetra meneruskan penerbitannya walau hanya sekali sebulan, dengan biaya patungan? siapa yang membacanya dan siapa yang mau mendukung dananya?

Nyatanya Boemipotra terus terbit walau hanya beberapa halaman dan dalam bentuk format yang sengat sederhana. Dia dicetak offset dan beredar di seluruh Indonesia. Nyatanya lagi, termasuk di Sumatera Utara, Boemipoetra, menjadi bahan kajian, bagi beberapa komunitas dan para mahasiswa di bebrapa perguruan tinggi.

Boemipoetra hanya dibidani oleh dua orang tokoh, Wowok Hesti Prabowo dan Saut Situmorang dan sekretariatnya berada di Jalan Perum sekneg No. 46 Bona Sarana Indah Kebon Nanas Tangerang.

Hadirnya Jurnal Sastra Boemipoetra untuk mitra diskusi. menjadi lorongh baru di antar sekian lorong yang terbangun, hanya saja caranya berbeda. Kenapa? Karena Boemipoetra mengutamakan diskusi, bukan sastra yang harus diwarnai estetika sastra.

Redaksi Boemipoetra sadar, kalau sebenarnya yang sering terjadi "kekerasana kebudayaan" dan sasarannya adalah kaum Boemipoetra dan mereka terlempar dari ruang-ruang di media, tersingkirkan dari festival-festival satu warna.

Djoernal Boemipoetra, memang tidak disentuh oleh dana asing, membuktikan djoernal ini benar-benar mandiri. Dia boekan milik antek imperialis. Tidak bisa didikte. Benar-benar memnbela kepentingan kaoem boemipoetra. Kau yang sering diolecehkan bangsanya sendiri.

Sampai sekarang orang Boemipoetra orang boemiputra, masih tetap ada, walau tidak banyak. Mereka yang buruk dan menindas bangsanya sendiri tak lebih dari 20 persen,. Sayangnya mereka cenderung mendapat kepercayaan, hingga 80% yang baik hilang ditelan awan.

Dengan kesadaran, kesusastraan adalah keberagaman, Boemipoetra mengelinding deras. Tak perduli umurnya diperkirakan cuma beberapa bulan. Di dalamnya ada yang nasionalis, ada yang marxis, Islam tradisional, Islam garis keras. Ada bakul gudeg, wartawan, teaterawan, buruh, fesbooker, pegawai negeri. Ada pula yang di Jakarta, Yogya, tangerang, Banten, Kudus, Ngawi, Medan dan sebagainya. sangat plural. Boemiupoetra tetap menjunjung semangat yang sama. tetap bisa berdiskusi untuk memutuskan kesepakatan yang dijadikan pedoman bersastra. Setelah Boemipoetra mencapai lima tahun, ada baiknya djoenar-djoernal itu dibukukan menjadi satu agar tidak bertebaran kemana-mana. Hadirnya pembukuan (bundel) itu sebagai pembelajaran bagi kesusastraan kita, bahwa dimana tumbuh rezim sastra, disitu akan lahir pejuang-pejuang yang menantangnya. Setiap pejuang tak pernah berpikir jadi pahlawan atau pecundang. Yang penting bendera diangkat tinggi-tinggi. Pena dilesatkan.

Teriak

Djoernal Boemipoetra, berteriak lantang menentang politikisasi sastra di Indonesia. Sahkah djoernal Boemipoetra dalam tradisi jurnalisme di Indonesia? Jurnalisme pamflet - yang berpihak, berteriak keras, bahkan tak jarang memaki-memiliki leluhur yang absah dalam sejarah jurnalistik di Indonesia. Ketika Tirto Adhi Soerjo disandera hingga tak berkutik pada tahun 1913, jurnalis dijadikannya dari Blora. Mas Marco Kartodikromo tampil dengan trengginas saat mendirikan organ pers Indiandsche Journalisten Bond (IJB) tahun 1914. bersamaan dengan itu muncul koran Doenia Bergerak yang jauh dengan Koran pergerakan Syarikat Islam (SI), semasa sepertio Oetoesan Hindia yang dipimpin oleh Hadji Oemar Said Tjokroaminoto di Surabaya.

Banyak yang mencibir bahasa yang digunakan Boemipoetra urakan, liar dan jalanan. Bahkan penuh fitnah. Kata-kata "sampah", "monyet" dan sederet kata-yang-menuding dengan mudah kita temukan. Banyak pula yang melihatnya sebagai cambuk api di tengah kelesuan dunia kesusastraan yang mengarah pada monolitisme.

Sikap Boemipoetra jelas, seperti jargon mereka: boekan milik antek imperialis. Ini djoernal yang dikelola orang-orang melarat, dengan enteng menyebut nama personal dan komunitas lawan yang mereka harus tinju karena menjadi dominator, manipulatif, agen liberalisme di lapangan kebudayaan.

Marco adalah pengurus Syarekat Islam Surakarta karena mandat dari Tirto Adhi Soerjo dan bersama Sosrokoernio berpayah-payah menghidupkan koran Saratomo yang limbung. Marco justru berseberangan dengan Tjokroaminoto. Apalagi, saat sikap Tjokroaminoto dianggap lembek, Marco dengan Doenia Bergerak masuk gelanggang dengan sikap yang keras kepada pemerintah. Apalagi ia bersekutu dengan salah satu dokter keras kepala bernama Tjipto Mangoenkoesoemo di mana keduanya membikin koran Goentoer Bergerak.

Goentoer Bergerak, kemudian Doenia Bergerak menggunakan bahasa Melayu pasar, meledak-ledak dan bahkan urakan. Kata "kowe", "pantat" meluncur begitu saja untuk memaki (priyayi) bangsa Jawa. "Ja bangsakoe! Perloe apa kowe bangoen? Kaloe kowe bangoen nanti kowe dapet taoe sebabnja kowe dipoedji lemah-lemboet boedi pekertimoe karena kowe tida poenja akal sama sama sekali. Kowe diisap darahmoe, dimakan dagingmoe sampe tinggal koelit dan toelang tida bersoeara ba! atawa boe! Tjuma kerbo sapi jang begitoe…" (DB No 1 Th 1, 28 Maret 1914)

Menghantam seorang priyayi yang menjabat Assisten Wedana, Doenia Bergerak enteng memakai frase "pantat": "Tjis, tra maloe! Siapakah kiranja itoe? Si Djilat pantat. Djilat pantat itoe doea perkataan djilat+pantat. Djilat=mengesoetkan lidah; pantat= je weet wel. Brrrr, afschuwelijk, he! Boeat bangsa Djawa (jilat pantat, red) paling banjak: prijaji. Lain bangsa ampir semoea taoe, jang Prijaji-Djawa, ada banjak jang soeka likken. Dari itoe maka njata sekali, jang sebagian besar dari bangsa kita beloem taoe adjinja (de waarde) bekerdja soenggoeh2 dan ta pertjaja pada pekerdjaan sendiri. Kalaoe mereka itoe harganja pekerdjaan diri sendiri moesti maloe mendjilat-djilat begitoe." (DB, No 2, 4 April 1914, h 3).

Doenia Bergerak lahir saat Regeering menoetoep semoea moeloetnja kaoem Journalist (DB, No 3, 11 April 1914, h 1). Bacalah pengantar kelahiran Doenia Bergerak di No 1 bertitel "Hidoep Doenia Bergerak": "Kita bisa mengeloearkan Doenia Bergerak itoe tiada lantaran mempoenjai oeang, tetapi lantaran oesahanja IJB kepada sekalian toean-toean Boemipoetra. Djadi terang sekali Doenia Bergerak memang tiada berdjoeang setjoekoepnja alias melarat."

Pernyataan itu sudah cukup bagi kita bagaimana "garis api" ditabalkan Mas Marco bahwa ini bukan koran untuk mencari uang. "Boekan milik antek imperialis," kata boemipoetra. Nyaris tak ada iklan di Doenia Bergerak. Koran ini diterbitkan dengan semangat tanpa batas untuk melawan kebebalan feodalisme priyayi dan penghisapan abadi pemerintah kolonial.

Marco bukan berasal dari kaum terpelajar akademik lulusan ELS, HBS, OSVIA atau STOVIA, di mana mereka mampu membaca, menulis, serta berbicara dalam bahasa Belanda. Marco cuma lulusan sekolah boemipoetra Ongko Loro. Penulis yang lahir di Cepu pada 1890 ini justru belajar tentang masyarakat kolonial dan jurnalisme secara otodidak dengan cara mengangsur dan mengakumulasi semua pengetahuan dari senior-seniornya di pergerakan.

Tirto Adhi Soerjo, dia belajar segalanya: mulai dari layout hingga manajemen organisasi koran. Dari Tirto -juga Tjipto- belajar tentang penulis cum redacteur yang punya keberanian bersikap sebagai manusia tertindas. Dari pengalaman sebagai orang bawah dia belajar bersikap keras.

Marco mengkritik kaum priyayi yang menjilat. Dia memaki pengusaha Tionghoa yang membunuh usaha kaum bumiputra di lapangan ekonomi. Juga menghajar pemerintah. Karena itu, dia langsung digelandang ke bui. Pasalnya, Marco memuat artikel, memaki Dr Rinkes, Penasehat Gubernur Jenderal untuk Urusan Boemipoetra. Marco tahu, Rinkes ini juga sosok utama yang menghancurkan karir guru jurnalistiknya, Tirto Adhi Soerjo, lewat gerakan arsip yang rapi.

Dari Desember 1914 itulah Marco mengecap "royalti" tulisan-tulisannya: karnaval dari penjara ke penjara. Tahun 1915 di penjara di Semarang. Gara-gara puisi "Sama Rata Sama Rasa" dia dijebloskan lagi di penjara pada 1917. Karena dituduh bersekongkol dengan "si Raja Mogok van Jogja" Soerjopranoto, SJ., membela kaum buruh, dia dihantam lagi persdelict tahun 1920 dan menginap beberapa bulan di penjara Yogyakarta. Tahun 1921 dia di penjara lagi di Weltervreden, Batavia. Selanjutnya pada 1927 ia ditangkapi, dibuang, dan mati di Boven Digul ketika perlawanan kaum kiri menghembalang di Jawa dan Sumatera.

Marco sejenis aktivis yang kesetanan menulis. Dia lahirkan begitu banyak karya pamflet yang dia persembahkan untuk kejatuhan kolonialisme dari tanah Hindia. Tak ayal lagi, tulisan-tulisannya pun langsung masuk kotak "Bacaan Liar" oleh Balai Poestaka. Kalau kita daftar, hingga 1920 paling tidak Marco sudah mengeluarkan 7 buku (esei-prosa-puisi, jurnalistik), yakni Sair rempah-rempah, Mata Gelap, Sairnya Sentot, Student Hidjo, Doenia Bergerak, Regent Bergerak dan Maanblad Soero-Tamtomo.

Doenia Bergerak yang usianya tak genap 2 tahun dan menjadi tonggak jurnalisme pamflet memang telah mengabadikan nama Marco. Segelintir anak muda yang menulis dengan sikap yang jelas, terus-terang dan berapi-api. Cara dan penulisan yang diperlihatkan Marco menjadi genre sendiri dalam penulisan jurnalistik dengan memindahkan seutuhnya mimbar pidato berapi di hadapan massa yang beringas ke atas kertas tercetak.

Marco melawan pola penulisan yang ragu, ambivalen, memoles kata-kata indah untuk menutupi kelembekan sikap. Marco dan Doenia Bergerak memberi garis tegas siapa kawan yang harus kena tinju dan siapa lawan yang diajak bersekutu.

Doenia Bergerak dan Boemipoetra, keduanya masih satu pohon keluarga di dua masa yang berpaut hampir seratus tahun. Pohon yang bernama jurnalisme pamflet.

(Dari berbagai sumber)

Tubuh yang tak Lagi berbudaya

Jones Gultom.

Akhir-akhir ini pelecehan terhadap (tubuh) perempuan, semakin marak terjadi. Belum lekang ingatan itu kita akan kasus Bupati Garut, Aceng Fikri, yang mengawini Fany Octora, hanya dalam hitungan hari. Hati publik, terutama Kaum Hawa, kembali tersakiti lagi. Di antaranya dengan diberlakukannya perda di NAD yang melarang perempuan "ngangkang" (bahkan) termasuk ketika sedang dibonceng di atas sepeda motor.
Tak sampai di situ, kejutan lainnya juga datang dari Calon Hakim Agung, Daming Sunusi. Ketika mengikuti fit and proper test beberapa waktu lalu, Daming mengungkap pernyataan yang menyakitkan. Dia menyebut bahwa; pelaku dan korban pemerkosaan sama-sama "menikmati". Fenomena-fenomena ini kian membuktikan betapa redahnya penghargaan terhadap (tubuh) perempuan. Dengan kata lain, tubuh sudah tak lagi dihormati sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Singkatnya tubuh telah kehilangan kebudayaannya.

Dalam tulisannya yang berjudul "Tubuh, Melankoli, Proyek" di Jurnal Kalam edisi 15 Tahun 2000, Goenawan Mohamad pernah menulis; kematian oleh sebagian besar orang masih ditempatkan sebagai anak tiri oleh kisah tubuhnya sendiri. Goenawan meminjam pemikiran Marxis yang menyebut, tubuh hanyalah benda yang diproyekkan dalam keseharian. Karenanya, sama seperti tubuh, kematian sama sekali tidak bernilai apa-apa selain kesudahan yang profan. Boleh jadi, Marxisme yang dipahami itu telah membentuk persepsi massif yang mengesankan kematian hanya sebatas cerita dari tubuh-tubuh manusia.

Tubuh yang kehilangan kebudayaannya dapat dibaca dengan terang benderang dari karya-karya sastrawan, Marquis De Sade. Dalam romannya yang berjudul Justine ou les Maheurs de la Vertu, Malah Sade pernah menulis; kematian oleh kejahatan adalah wajar dan merupakan bagian penting untuk bertahan hidup. Tubuh sekedar dimaknai sebagai media yang menopang kehidupan ruh. Seperti kita tahu, De Sade, termasuk yang paling sering membicarakan keteraniayaan tubuh dalam karya-karyanya.

Jauh sebelumnya, Heraclitus dari Ephesus (540- 480 SM) telah lebih dulu skpetis terhadap kelompok-kelompok humanis. Dia mencontohkan perang. Baginya, perang adalah sesuatu yang harus berlangsung demi tercapainya keadilan. Kematian tak lain puncak kompetisi dan sebuah kewajaran. Dengan kata lain, tak ada kematian yang tak sia-sia. Bukankah dalam kehidupannya, manusia justru mengejar-ngejar maut?

Buruknya penghargaan terhadap tubuh manusia sebenarnya telah terjadi sepanjang perjalanan kehidupan manusia itu sendiri. Bentuknya pun berbeda-beda sesuai dengan motif yang mendasarinya. Sejarah pernah mencatat, bagaimana kekejaman ras kulit putih di Eropa dan Amerika membantai kelompok masyarakat kulit hitam. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara sistem dan hak-hak mereka sebagai manusia. Di antaranya, Perang Salib di abad pertengahan serta Perang Dunia I, II yang dianggap paling populer di zaman modren. Di Indonesia sendiri, penistaan terhadap tubuh adalah kotak hitam sejarah yang tak seorang pun berani membukanya secara gamblang.

Ada Apa dengan Tubuh Kita

Pernyataan Daming patut dicurigai, terlepas kemudian dia menyela bahwa itu hanyalah candaan. Masyarakat terlanjur memaknainya sebagai bentuk "kejahatan verbal". Apalagi dalam kapasitasnya sebagai orang yang mencalonkan diri sebagai Hakim Agung, yang berperan sebagai penegak keadilan dengan hukum sebagai panglima.

Pada saat bangsa ini tengah berbenah mengatasi persoalan-persoalan menyangkut HAM, pernyataan Daming justru kontraproduktif. Daming tidak peka melihat sensitivitas masyarakat terkait hal itu. Apalagi Mahfud MD belakangan juga telah menyinggung soal gratifikasi seks, yang menurutnya semakin marak terjadi di negeri ini.

Demikian juga dengan perda pelarangan ngangkang di NAD. Bagi sebagaian orang, terutama aktivitas perempuan, pelarangan itu tak lain adalah bentuk penistaan terhadap perempuan itu sendiri. Jika sebelumnya Gubernur NAD, Zaini Abdullah, menganggap pemberlakuan pelarangan itu sebagai upaya perlindungan bagi perempuan, menurut saya, hal itu merupakan sesuatu yang keliru dan sekedar prasangka. Apalagi bertentangan dengan spirit undang-undang lalu lintas. Justru mereka yang berpikiran piciklah yang menganggap ngangkang (apalagi di atas sepeda motor) sesuatu yang amoral.

Sepertinya, sebagian besar penguasa bangsa ini, sedang mengidap krisis kemanusiaan akut. Hal itu ditandai dengan degrdasi moral dalam menilai arti tubuh. Apa yang pernah disingung Sade semakin terbukti. Tubuh tak lagi dinilai sebagai suatu wujud real abstraksi kosmos, melainkan hanya sebuah benda ekonomis yang boleh diperjualbelikan. Tak heran, jika tubuh-tubuh masyarakat modern cenderung kehilangan esensi; kehilangan nilai religiusitasnya.

Dalam pandangan berbagai agama, tubuh sama pentingnya dengan jiwa. Kristen mengajarkan, tubuh adalah manifestasi Bait Suci. "Tubuhmu adalah Bait Sucimu" Penafisiran kalimat ini setidaknya mengandung dua hal. Pertama, tubuh sebagai materi (Bait Suci). Kedua, tubuh sebagai jiwa. Tubuh sebagai materi diperlambangkan sebagai jiwa yang suci. Pengertian ini diperlihatkan dalam Perayaan Misa oleh umat Katolik. Tubuh dimetaforkan sebagai roti yang tak lain adalah Roh Allah itu sendiri.

Kesatuan tubuh dan jiwa juga terlihat jelas dalam ajaran Buddha. Hubungan ini ditunjukkan lewat pemahaman Karma serta Reinkarnasi. Jiwa buruk di masa lalu akan berpengaruh bagi tubuh fisik di masa datang. "Sikap yang diperlihatkan di masa lalu akan berpengaruh terhadap wujud ketika reinkarnasi." (Brahmajala Sutta, Digha, Nikaya). Tubuh adalah konsekuensi langsung dari pengembaraan jiwa di masa lalu. Ajaran ini menelanjangi sikap religius sekaligus menghukum dan memberi rahmat secara langsung.

Dalam ajaran Islam, "pensakralan" tubuh diperlihatkan secara tegas. Larangan mempertontonkan aurat kepada yang bukan muhrimnya, merupakan penghormatan nilai-nilai yang melekat dalam tubuh. Sikap yang ditonjolkan dalam ajaran Islam menunjukkan betapa sucinya tubuh itu. Karenanya saya sangat tak percaya, jika aksi-aksi teroris itu semata-mata didasarkan atas doktrin agama. Bagaimana mungkin seorang umat beragama diperkenankan membunuh, jika terhadap tubuhnya sendiri saja, dia mesti menjaga dan mempertahankan kedaulatannya.

Industrialisasi Tubuh

Bukti lain rendahnya penghargaan akan tubuh, terlihat dari bagaimana tubuh itu dikomersilkan. Tubuh-tubuh diproyekkan secara massif. Lihatlah iklan-iklan yang ditayangkan di media massa. Tubuh yang diperjualbelikan dalam iklan itu, semata-mata hanya bicara soal bentuk. Tubuh tak lagi memiliki simbol. Belakangan, pembicaraan tubuh pun hanya berkisar pada soal seks dan reproduksi.

Mestinya sebagai metafor, tubuh terikat pada nilai-nilai luhur. Nilai-nilai inilah yang memberinya esensi. Karenanya tubuh tanpa metafor adalah tubuh yang telanjang, tubuh yang terlalu gampang diartikan. Tubuh yang hanya bernilai fisik. Itulah yang terjadi dewasa ini, khususnya di Indonesia. Tubuh hanya dipandang sebagai tubuh. Tubuh tidak berbeda dengan benda-benda lainnya yang berkemungkinan digali sebagai proyek industri. Tubuh hanya sebatas tubuh. Tidak lebih!

Lihatlah betapa gampangnya negara mengirimkan para TKI-nya, tanpa kepastian perlindungan hukum yang jelas. Bahkan ke negara yang sudah berulangkali mengeksekusi tubuh-tubuh TKI. Pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan yang ditayangkan media massa merupakan gambaran degradasi tubuh itu.

Jangankan tubuh sesama, bahkan tubuh sendiri saja tidak lagi dihargai. Itu sebabnya pernyataan Daming maupun pelarangan ngangkang harus dilawan dengan cara mengembalikan kebudayaan atas tubuh itu sendiri.

Menelurusi Kecintaan Remaja pada Budaya Sendiri

Djamal.

Dimasa serba modern saat ini, apakah segala yang mengandung masa lalu (tradisi) masih diperlukan? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan demikian. Di satu sisi, masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi zaman yang senantiasa, bahkan begitu pesat pergerakannya. Di lain sisi, masyarakat tidak lahir dari budaya yang kosong.
Sulit rasanya dipungkiri, kenyataannya masyarakat (manusia) memang membutukan pijakan budaya. Mau tidak mau, budaya yang pernah tumbuh di belakang masyarakat, yakni masa lampau, harus di lihat oleh masyarakat itu sendiri. Ya, semacam cermin untuk menata diri dalam menyikapi masa depan (masa kini).

Hampir dipastikan, hakikat pelestarian kebudayaan demikian yang menjadi acuan Bupati Langkat Drs. H. Ngogesa Sitepu, SH. Dengan menggandeng Seluruh SKPD yang ada untuk menggelar Lomba Lagu Pop Melayu se-Kabupaten Langkat ditunaikan pada Rabu, 9 Januari 2013. Penyelenggaraan lomba di Gedung MABMI Langakat, agenda ini dilaksanakan dalam rangka menyambut hari jadi Kabupaten Langkat yang ke-263. kegiatan ini diikuti puluhan pelajar se tanah langkat. Dengan persiapan yang sangat singkat, sekitar sepuluh hari sampai menuju hari pelaksanaan lomba.

Dari dua puluh tiga kecamatan yang ada di Kabupaten Langkat, hanya dua belas kecamatan yang mengirimkan peserta untuk diikut sertakan dalam lomba lagu pop melayu tingkat pelajar/umum dengan batasan usia maksimal 25 tahun.

Rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa di wujudkan dalam berbagai cara, salah satunya melalui seni tradisi. Dan Kabupaten langkat sangat terkenal dengan tradisi Melayunya. Dengan itu, untuk mewujudkan rasa syukur mendalam, Bupati Langkat, melalui SKPD yang ada, menggelar lomba lagu pop Melayu. Percayakan pelaksanaannya pada Drs. T. Auzai selaku ketua penyelenggara dan grup Jamal Ce Es selaku penyelenggara sekaligus pembawa acara.

Mamapukah melalaui Lomba lagu pop Melayu merupakan unsur untuk menanamkan kecintaan budaya di kalangan generasi muda? Grup Jamal Ce Es merasa tertantang untuk mewujudkan ini semua. Alunan indah dan lenggagak-lenggok peserta lakukan di atas panggung, bukan hanya sekedarnya saja. Semua memiliki penilain dan member makna pengajaran budaya kita sendiri. Di tangan Grup Jamal Ce Es merupakan kelompok lawak yang tak pernah meninggalkan budayanya ini telah bertaraf nasional. Selain itu, mereka juga menggandeng dewan juri dan pemusik yang setaraf dengan mereka. Siang itu Gedung MABMI Langkat semarak dengan lomba lagu pop Melayu.

Hajatan pun digelar, disambut hangat oleh seluruh kalangan, mulai dari kalangan pemerintahan, hingga masyarakat kelas menengah ke bawah, lomba ini memang telah memberi corak baru dari perayaan-perayaan HUT Langkat terdahulu.

Dibuka dengan khidmat oleh Sekda Kab. Langkat Drs. H. Surya Djahisa, Msi. Dalam sambutannya, dia menyambut hangat dan mendukung kegitan semacam ini, sebab nilai-nilai budaya melayu sudah saatnya ditanamkan sejak dini pada para pelajar. Dan untuk menghindari kepunahan dan menghempang masuknya budaya barat yang sangat drastis, serta menanamkan kebudayaan tanah kelahirannya sendiri sebagai sebuah kebanggaan pada tiap jati diri anak Langkat.

Langkah awal perlombaan memang telah dilaksanakan sehari sebelumya, yakni cakap-cakap tentang aturan main perlombaan hingga pengambilan nada dasar dari tiap-tiap peserta yang mengikuti perlombaan tersebut. Alhasil, setelah seremoni pembukaan pada 9 Januari 2013 pukul 10.00 Wib, acara pun dimulai.

Tak disangka, setelah membuka acara Sekda. Langkat tak beranjak dari tempat duduknya. Alunan lagu pop Melayu, rupanya mampu menawan hati H. Surya Djanisa, untuk lebih lama lagi menikmati alunan dari para penyanyi pemula (pelajar), bukan hanya Sekda Kab Langkat saja yang terpana, seluruh undangan dan penonton merasakan nikmatnya alunan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh para pelajar berusia belia tersebut.

Ada banyak bakat, semangat dan benih-benih kecintaan terhadap budaya melayu di diri para peserta yang tampak dari cara mereka menghidangkan alunan lagu yang diiringi live music oleh grup yang berasal dari gabungan seniman asal langkat yang kabarnya telah menasional.

Dengan kata lain, Perlombaan tersebut berjalan hangat dan semarak. Pantas menjadi contoh untuk menghidupkan kembali budaya Langkat dalam menyelenggarakan lomba-lomba sejenisnya di waktu mendatang. Menyikapi keseriusan panitia, peserta hingga penikmat yang hadir, Sekda. Kabupaten Langkat Drs. H. Surya Djahisa. Msi; Memberikan angin segar bagi masyarakat Langkat. Khususnya para pelajar bahwa Lomba ini akan menjadi agenda tahunan Kabupaten Langkat. Angin segar ini disambut dengan sebuah aplaus yang hangat oleh seluruh peserta dan undangan yang hadir, sebab Pemkab Langkat telah ambil peduli dengan keberadaan kebudayaan langkat dan bakat serta kecintaan generasi mudanya terhadap budaya tanah kelahirannya sendiri.

Banyaknya suara dari kalangan pelajar yang sebenarnya ingin mengikuti acara-acara lomba semacam ini, bahkan dari kalangan umum juga banyak yang ingin mengikuti lomba lagu pop Melayu. Usia mereka telah melampaui dari batas usia yang ditetapkan panitia penyelenggara. Panitia penyelenggara hanya menerima peserta yang berusia pelajar dan mahasiswa dan maksimal umur 25 tahun.

Sebuah saran bolehlah di ungkapkan buat segenap kepanitian lomba semacam ini. Agar ke depan lomba semacam ini dipersiapkan lebih matang lagi dan tiap kecamatan mampu mempersiapkan utusannya yang lebih berkualitas lagi.

Akhirnya acara pun terselenggara dengan lancar dan meriah. Walapun dengan dana patungan para SKPD Kabupaten Langkat. Lomba ini tidak menggunakan Anggaran APBD Kab. Langkat. Even yang sama akan di gelar dalam waktu dekat, seperti lomba lagu Karo, lomba lagu Batak, lomba lagu Mandailing serta lomba lagu Jawa.

Untuk para pemenang lomba lagu pop Melayu, hadiah diserahkan pada 17 Januari 2013 bertepatan pada acara puncak Hari Ulang Tahun Kabupaten Langkat yang ke 263. Mereka akan diberikan kesempatan satu panggung dengan Victor Hutabarat. Kemungkinan di acara puncak, akan di pandu oleh Grup Jamal CeEs.

Karena citra kebudayaan tanahLangkat tercermin juga dari lomba-lomba semacam ini. Boleh jadi, ada penikmat-penikmat ataupun pengamat dari tanah lain datang dan menilik hidangan alunan lagu-lagu Melayu di tanah langkat, lalu timbul niatan baik bagi bakat dan semangat berkebudayaan anak-anak muda Langkat. Menyusul senior mereka ketingkat Nasional seperti Grup lawak Jamal CeEs. Semoga!

Lomba Lagu Pop Melayu ataupun kegiatan sejenis lainnya tidak sepenuhnya hadir sebagai peristiwa "perayaan" budaya (lomba lagu pop melayu) semata, tetapi sedang mengingatkan khalayak bahwa setiap budaya memiliki filosofi yang sarat makna. Paling tidak, generasi penerus bangsa ini menjadi sadar dan yakin; betapa pintarnya para leluhur bangsa ini. Kepintaran yang pantas di asah dan dimiliki penerus bangsanya.

Komunitas dan Entitas Sastra

Sakinah Annisa Mariz.

Sering kali karya sastra dipandang sebagai kerja mandiri yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan kreatifitas dan keahlian individualis. Hal ini benar adanya, namun perjalanan karir seorang sastrawan juga tidak bisa dilepaskan dengan interaksinya kepada sastrawan lain.
Antara satu penulis dengan penulis lain, misalnya. Baik secara ikatan emosional, maupun melalui aktivitas kepenulisan, seorang penulis membutuhkan penulis lain untuk membaca dan dibaca karyanya. Penulis membutuhkan kritik dan masukan, demi menemukan ide-ide dan teori baru. Inovasi akan berlanjut apabila ada sesuatu yang terbarukan, sedangkan "baru" akan muncul, kalau ada yang kita sebut dengan "lama". Dalam konteks ini, saya maksudkan ada semacam proses berkesinambungan antara karya yang lahir dan yang akan lahir.

Ada Apa Dengan Komunitas?

Memaknai kehidupan seorang penulis, tentu akan melihat seluk-beluk antropologi manusia, kehidupan masyarakat sosial, hingga merambat ke dalam psikologi pribadi pengarangnya. Kemudian daripada itu, penulis tidak hanya sekedar memproduksi, namun juga mengonsumsi sebanyak-banyaknya ide dari sumber di luar dirinya sendiri.

Reseptif-Produktif menjadi bagian dari diri penulis sebelum menerjemahkannya pada karya. Gejala ini menunjukkan keterikatan penulis dengan nilai-nilai humanis serta mengakhirinya pada harapan dan tujuan tertentu.

Komunitas sastra selaku pelindung yang saling memberikan kekuatan bagi penulis-penulis untuk aktif berkarya juga memperhatikan perkembangan karya sastra bersama-sama. Fungsi komunitas ini akan nampak bila ikatan emosional, empati dan kebersamaan terjalin di antara personel komunitas. Sesederhananya komunitas sastra, tak selalu berbentuk organisasi yang mengatur dengan jelas fungsi-fungsi personelnya secara formal.

Ada kelonggaran yang membuat komunitas sastra berbeda dengan komunitas lainnya, sebab kehadirannya bersumber dari inisiatif, kepekaan masing-masing orang akan sastra melalui minat, misi dan tujuan tertentu. Tidak ada batasan maksimal dan minimal dalam menetapkan anggota komunitas. Kebebasan juga berlaku pada status, usia dan hal-hal lain, sesuai kesepakatan komunitas dan prinsip bersama.

Bersatunya penulis dan komunitas, bukanlah hal baru. Catatan perjalanan sejarah sastra Indonesia telah menunjukkannya. Hakikat komunitas seumpama muara bagi aliran ide dan tujuan-tujuan sejenis yang dimiliki oleh pengayom-penikmat-penggiat sastra.

Kemunculannya secara sadar, terjadi perlahan pada kesamaan asa dan lokus konsentrasi penulis, embrio awalnya di tahun 1920-an dengan sebutan Angkatan Balai Pustaka. Keseriusan kajian topik-topik lokal dengan pemikiran universal, usaha pembebasan, hingga kritik terhadap budaya, adat istiadat dan pemerintah oleh Marah Rusli, Muhammad Yamin serta Sanusi Pane, yang di’komunitas’kan menjadi Angkatan Balai Pustaka.

Tidak hanya sampai disana. Pada tahun 1940-an muncul lagi komunitas dengan julukan Angkatan Pujangga Baru yang dipelopori oleh Chairil Anwar, dan kawan-kawan. Pada tahun 1960-an yang disebut dengan Angkatan ’66 dengan banyak tokoh sentral seperti Taufik Ismail, WS. Rendra, Toto Sudarto Bachtiar dan lain-lainnya.

Memasuki era 90-an, pelabelan "komunitas" semakin spesifik digunakan. Keseriusan komunitas tak cuma penanda angkatan tertentu, namun hampir menyerupa kesatuan organisatoris yang disusun secara tersistem, mempunyai tendens dan visi bersama ataupun untuk kepentingan umum. Pada akhirnya di konteks ini komunitas menjadi sarana penulis dalam menggerilyawankan karya dan misi-misi kepenulisannya.

Banyaknya pemikiran yang terus bersinggungan dalam suatu komunitas, menimbulkan gairah dan semangat untuk selalu berbuat selangkah lebih maju pada diri penulis. Dibukanya forum diskusi untuk saling belajar dan berbagi wawasan, membangun komunikasi asertif, penyebaran arus informasi dan berpartisipasi aktif melaksanakan seminar, workshop serta apresiasi dalam rangka menambah perhatian masyarakat sastra, adalah manfaat berkomunitas. Manfaat ini akan terus terasa bila aktifitas berkomunitas berjalan dengan maksimal oleh seluruh personel.

Yang menjadi kendala yakni jika komunitas sudah tidak sanggup lagi membendung gesekan pemikiran yang terus terjadi di dalamnya. Komunitas sastra bukan lagi sebagai ladang penyemai benih-benih ide pembaruan, namun bisa menjadi medan pertempuran bagi para penulis ataupun merebak menjadi konflik antar komunitas. Kecenderungan mematikan karir penulis dari pihak tertentu dengan kritik-kritik tajam oleh oknum atau media tertentu, misalnya, kerap menjadi masalah. Ini tentu membawa iklim yang tidak baik bagi perkembangan sastra.

Komunitas Ikut Mewarnai

Pendapat kolektif menjadi ciri sebuah komunitas. Setiap komunitas, pasti memiliki landasan, arah dan maksud-maksud demi mewujudkan tekadnya. Kendatipun dalam komunitas, masing-masing penulis tetap memiliki keleluasaan melahirkan karya, namun pola dan pandangan tersebut akan mempengaruhi mind-set karya yang terlahir.

Memang agak tergesa-gesa bila kita lantas menuding komunitas sastra sebagai agen pengatur kiblat sastra, genre sastra, kajian sastra dan sebagainya, karena tidak semua penulis pada kenyataannya bergiat ataupun bergabung dalam suatu komunitas. Ada juga penulis yang berkarya secara indie (independent) dan tidak bergabung dengan komunitas manapun, toh tetap punya banyak ide untuk mewarnai khazanah sastra. Namun demikian, bukankah perlu dicermati bahwa perbandingan penulis-penulis yang terhimpun dalam komunitas akan lebih besar kuantitasnya bila disejajarkan dengan penulis-penulis yang memilih "sendiri".

Perbandingan dalam jumlah kuantitas ini dirasa membutuhkan data yang lebih relevan, untuk itu perlu penelitian lebih mendalam mengenai hal tersebut. Akan tetapi, saya akan membatasi penalaran ini dengan analogi sebagai berikut :

Bila dalam sebuah komunitas, terdiri dari (sekurang-kurangnya) tiga orang. Ketiga orang tersebut melahirkan satu karya setiap minggunya, maka akan ada duabelas karya yang terlahir dalam waktu satu bulan. Mari kita bandingkan dengan seorang penulis yang berkarya independen, (mandiri) dan padanya dapat terlahir satu karya per minggunya, maka dalam sebulan dia akan dapat menghasilkan empat karya. Dari segi intensitas kelahiran karya yang bermuatan tendens tertentu, jumlah ini pasti tidak seimbang.

Perubahan dan perkembangan kiblat sastra bergantung pada aktifitas mayarakat sastra itu sendiri, bisa dari golongan akademisi, kritikus, sastrawan, hingga ke ranah pembaca yang senantiasa mengapresiasi karya sastra. Begitupun, pasti ada peran tertentu yang membentuk dan mewarnai lebih kuat, dalam hal ini kita sebut saja mereka dengan istilah komunitas.

Medan, 2013


Penulis mahasiswi Semester VIII, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan.

Membaca Gerakan Sastra Sumatera Merdeka: Hegemoni dan Dominasi

Hesti Sartika.

Hegemoni dalam Bahasa Yunani diartikan sebagai bentuk kekuasaan terpusat dengan cara mengendalikan daerah-daerah di bawah kekuasaannya suatu negara. Secara politik dimaksudkan untuk mencapai maksud-maksud tertentu dengan persepsi memaksakan kehendak, hingga tercapainya tujuan.
Dalam hubungan ketatanegaraan, hegemoni bisa berarti suatu sistim kekuasaan yang terpusat atau kepemimpinan terpusat yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan bawahannya.

Secara umum, hegemoni merupakan suatu dominasi kekuasaan terhadap kehidupan sosial masyarakat kelas bawah. Melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang dibantu dengan penindasan atau kekerasan. Bisa juga didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominasi terhadap kelompok yang didominasi atau dikuasai, diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tidak mengekang pikiran.

Seiring dengan perkembangan teknologi, dominan budaya, politik dan ekonomi bisa menguasai dari satuan yang besar hingga satuan yang kecil. Satuan besar yaitu negara, satuan kecil hingga perorangan. Perlu disadari hegemoni sekarang bisa dipahami sebagai dominansi dari budaya negara maju terhadap negara berkembang. Jadi hegemoni tidak semata-mata dalam bentuk penindasan/penguasaan secara fisik, tetapi bisa penguasaan secara wacana. Hegemoni wacana inilah yang berbahaya, karena manusia tidak sadar bahwa dia telah dihegemoni.

Sebaliknya, dalam Black’s Law Dictionary, dominasi (dominate) diartikan sebagai to master (someone or something) or to control (someone or something), Bryan A Garner: 502. Suatu keadaan tertentu yang dikuasai oleh orang tertentu. Seseorang menguasai seseorang atau suatu, faham politik yang menguasai suatu daerah dengan melakukan penaklukan. Dalam hal ini bisa terjadi melalui eksploitasi terhadap ideologi dan kebudayaan dengan maksud agar mendapatkan keuntungan,

Mengkritisi sistem pemerintahan dalam strata kehidupan sosial masyarakat, baik dalam dunia kesusasteraan dan pengembangan seni budaya lainnya di Sumatera Utara, hegemoni dan dominasi pusat (baca; Jakarta) telah sampai pada sisi yang cukup mengkuatirkan. Sebagaimana disebut Yulhasni dan Afrion dalam tulisan-tulisannya di Rebana Analisa.

Mengamati fenomena yang terjadi di Sumatera Utara (Medan), ada hal-hal yang menarik untuk perbincangkan. Salah satunya muncul gerakan Sastra Sumatera Merdeka yang sedang rame-ramenya dibicarakan para sastrawan, baik dalam diskusi di Taman Budaya secara face to face, personal dan kelompok, maupun di media-media massa.

Sebagai mahasiswa pembelajar sastra, saya merasa gerakan Sastra Sumatera Merdeka perlu disikapi dengan pemikiran yang jernih, hati-hati dan kesadaran untuk tidak terjebak kepada keretakan hubungan dengan sesama sastrawan, baik yang ada didaerah maupun di pusat (Jakarta) yang secara politik sebagai ibukota Negara dan pemerintahan. Dalam hal ini diharapkan juga bersikap toleran dengan memperhatikan suatu keadaan dan kemampuan masyarakat di daerah.

Sebagaimana yang dikemukan Yulhasni pada tulisannya di Rebana Analisa Minggu, 9 Desember 2012, perihal memerdekakan diri dari rasa curiga. Menurut saya apakah diperlukan rasa curiga dalam menyikapi munculnya gerakan memerdekakan diri dari hegemoni Jakarta? Hegemoni estetika karya dalam pengembangan kesusasteraan dengan cara mengontrol atau mempengaruhi pemikiran estetika karya sastrawan daerah, tentu sangatlah tidak diharapkan.

Gerakan Sastra Sumatera Merdeka sebagai satu bentuk kesadaran kolektif maupun individu tentunya diletakkan sebagai keinginan untuk keluar dari gejala ‘penindasan’ sistematis atas nama apapun. Berfikir untuk memerdeka diri pada akhirnya memang tidak perlu dicuragai, demi mewujudkan pencapaian estetika karya sastra Sumatera Utara dihargai oleh penerbit Jakarta.

Dominasi pusat (baca; Jakarta) sebagaimana disebut Afrion telah mempengaruhi estetika karya sastra di Sumatera Utara. Gugatan terhadap sisitim dominasi ini misalnya disebut Afrion dengan memonopoli pemasaran buku-buku pelajaran sejarah sastra di sekolah maupun perguruan tinggi dengan mengabaikan perkembangan sejarah kesusasteraan yang mucul di daerah.

Dengan demikian sudah semestinya kehadiran Sastra Sumatera Merdeka yang mengkritisi hegemoni dan dominasi sejarah kesusatraan Indonesia oleh Jakarta dengan mengabaikan apa yang terjadi di daerah, perlu didukung oleh semua pihak.

Dalam bidang penerbitan buku-buku disebut Idris Pasaribu, penerbit Jakarta telah mematikan penerbit di daerah. Pertjetakan Tapanoeli di Jalan Mesjid Medan salah satu percetakan yang melahirkan banyak karya sastra kini tutup. Ada penerbit dan percetakan Bin Harun di Jalan Perdana, Firma Hasmar di Jalan Serdang dan CV Madju di jalan Amaliun yang kini telah bangkrut dan tutup karena buku-bukunya tidak menjadi rujukan oleh pemerintah pusat karena telah digantikan oleh buku-buku terbitan Jakarta.

Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa maksud dan tujuan gerakan Sastra Sumatera Merdeka agar terbentuk kesadaran kolektif masyarakat terhadap sistem monopoli pemasaran dan penerbitan buku di Jakarta yang menghancurkan penerbit buku di daerah. Khususnya di dunia pendidikan dan perguruan tinggi yang sekarang menggunakan buku terbitan Jakarta.

Seperti yang diungkapkan Afrion dalam tulisannya di Rebana Analisa Minggu, 9 Desember 2012. Gerakan Sastra Sumatera Merdeka mestinya diartikan sebagai spirit menumbuhkan kebersamaan sebagai suatu gerakan membendung monopoli penerbit buku Jakarta memasuki wilayah pangsa pasar daerah. Apalagi cenderung menguasai pemakaian buku pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi.

Usaha membendung monopoli penerbitan buku Jakarta memasuki wilayah pasar daerah agar tak semakin meluas. Sehingga penerbit-penerbit buku daerah dapat hidup kembali sesuai alur dan porsi yang telah ditetapkan oleh masing-masing daerah. Sehingga tidak ada lagi dominasi penerbit Jakarta menguasai pemasaran buku di daerah.

Akibat lain yang muncul dari beredarnya buku-buku terbitan Jakarta, nyatanya dampak pula dengan penggunaan bahasa oleh masyarakat di daerah. Kita menemukan banyak penggunaan bahasa Jakarta (Betawi) dikalangan anak-anak muda seperti "banget, sih, dong, gue, lo," dan lain sebagainya.

Sastrawan, Pembaharu Sastra Keilmuan

Fatmin Prihatin Malau.

SASTRA Indonesia perlu dianalisa ulang, untuk apa? Dianalisa ulang untuk eksistensi (keberadaan) sastra keilmuan atau sastra yang menjadi pelajaran di bangku sekolah dan perguruan tinggi. Sastra keilmuan ada dari jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas dan pendidikan tinggi. Buktinya ada Fakultas Sastra dan selain Fakultas Sastra, seperti Fakultas Ilmu Sosial, Ekonomi, Hukum, Kedokteran, Pertanian dan lainnya ada Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) yakni Ilmu Budaya Dasar.
Artinya, sastra sebagai keilmuan terintregrasi dengan semua disiplin ilmu yang ada maka sastrawan memiliki tanggungjawab moral dalam pembaharu dari sastra keilmuan. Bagus bila ada sekelompok sastrawan berteriak merdeka dalam makna luas dan menginginkan adanya pembaharuan secara alami serta menempatkan sastra itu sebagai keilmuan.

Tuntutan dari keilmuan adalah merdeka, tidak terbelenggu, berkembang secara terus menerus, tidak statis (stagnasi) apa lagi berhenti. Semua keilmuam terus berkembang sesuai dengan pemikiran dan tuntutan zaman. Keilmuan itu dalam perkembangannya ada yang cepat dan ada yang lambat akan tetapi terus berkembang.

Keilmuan kedokteran, fisika, kimia kini mengalami perkembangan yang cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Sastra sebagai keilmuan juga harus berkembang selaras dengan eksistensi para sastrawan yang merdeka, berdaulat dan sejahtera lahir bathin.

Bila dibandingkan dengan keilmuan lain sastra sebagai keilmuan seperti berjalan ditempat, terbelenggu dan dibelenggu sehingga hampir tidak berkembang. Dari masa ke masa hanya itu saja materi yang menjadi keilmuan. Buktinya, dua puluh lima tahun lalu, penulis ketika di sekolah menengah atas mempelajari sastra dan kesusastraan tentang Mara Rusli dengan Siti Nurbaya, Chairil Anwar dengan "aku ingin hidup seribu tahun lagi." Buya Hamka dengan Merantau ke Deli dan sastrawan lainnya dengan karyanya.

Kini para siswa sekolah menengah atas juga mempelajari apa yang dua puluh lima tahun lalu penulis pelajari. Teman penulis satu sekolah kini menjadi guru pelajaran Bahasa Indonesia dan ketika bertemu mengatakan hal yang sama dan menilai penulis yang pantas menjadi guru pelajaran Bahasa Indonesia karena penulis banyak menulis tentang sastra yakni cerita pendek (cerpen), cerita bersambung (cerbung), puisi dan esai sastra.

Apa maksud teman penulis yang guru Bahasa Indonesia itu? Maksudnya sastra sebagai keilmuan belum seperti disiplin ilmu yang lain. Mengapa karya-karya sastrawan sekarang ini belum menjadi materi keilmuan pelajaran sastra.

Sastawan Menjadi Pelopor

Sastra sebagai keilmuan setara dengan disiplin keilmuan lainnya. Mengapa disiplin keilmuan lainnya terus berkembang dari waktu ke waktu, mengapa sastra sebagai keilmuan sangat sulit berkembang, tetap itu saja dari masa ke masa.

Fenomena ini perlu dianalisa tentang keberadaan (eksistensi) sastra itu sendiri. Pertanyaannya, apakah dari dahulu, dari zaman Siti Nurbaya sampai zaman sekarang ini karya Sastra Indonesia memang hanya itu saja? Jika benar sastra sebagai keilmuan sudah pasti tidak mungkin karya Sastra Indonesia hanya itu saja.

Teman penulis satu alumni SMA yang kini menjadi guru pelajaran Bahasa Indonesia mengakui karya Sastra Indonesia bukan itu saja dan menyebutkan sederetan nama sastrawan di Sumatera Utara yang karya sastra para sastrawan itu dibaca dan diikutinya pada berbagai suratkabar meskipun tidak mengenal orangnya secara langsung dan dengan penulis juga karena dahulu teman satu kelas di bangku SMA. Seandainya tidak satu kelas, maka tidak juga mengenal orangnya, hanya nama dan karyanya saja.

Menarik pengakuan teman satu kelas penulis ini yang kini menjadi guru Bahasa Indonesia untuk mencermati Sastra Indonesia sebagai keilmuan. Semakin menarik lagi ketika hampir semua Perguruan Tinggi (Universitas) memiliki Fakultas Sastra dan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Kesusastraan terus dipelajari mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Bukan itu saja akan tetapi Indonesia juga memiliki lembaga Pusat Bahasa yang Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) bertanggungjawab untuk pengembangan bahasa dan kesusastraan sebagai keilmuan.

Perlu dianalisa ulang Sastra Indonesia sebagai keilmuan karena karya sastra dan sastrawan yang ada dalam sastra keilmuan belum ada perkembangan, masih tetap seperti lima puluh tahun yang lalu. Pada hal beberapa nama seperti Taufiq Ismail, Putu Wijaya, NH Dini dan lainnya melahirkan karya sastra.

Begitu banyak sastrawan Indonesia yang memiliki karya sastra yang bagus dan mewakili perkembangan zaman tetapi mengapa tidak menjadi materi sastra sebagai keilmuan dan mengapa tidak masuk dalam materi pelajaran Bahasa Indonesia dan Kesusastraan.

Sastrawan harus menjadi pembaharu sastra sebagai keilmuan dengan berinteraksi dengan lingkungan daerahnya, sehingga karya karya sastra lokal menjadi kajian dan penelitian pada Fakultas Sastra.

Sama dengan disiplin keilmuan lain, sastra sebagai keilmuan juga harus menjadi materi penelitian di Fakultas Sastra seiring dengan berkembangnya manusia di Indonesia. Sastra Indonesia sebagai keilmuan harus dianalisa ulang, sehingga sastra sebagai sebuah disiplin ilmu tidak stagnasi atau berhenti dalam pemikiran, akan tetapi berkembang dalam peradapan.

Pelopor utama harus datang dari para sastrawan Indonesia yang ada sekarang ini pada semua daerah di Indonesia. Bila ini dilakukan para sastrawan pada daerahnya masing-masing maka budaya, sastra Indonesia bukan saja merupakan jati diri Bangsa Indonesia juga berkembang menjadi satu disiplin keilmuan yang merdeka, berdaulat dalam berkarya.

Penulis pemerhati masalah kesusastraan, pernah menjadi dosen matakuliah Ilmu Budaya Dasar di Medan

Ketika Kebudayaan Menjadi Komoditi Politik

Fadmin Prihatin Malau.

Ketika kebudayaan menjadi komoditi (barang) politik maka nilai-nilai kebudayaan itu menjadi tidak sakral karena telah terjadi transaksi (jual beli) untuk kepentingan sesaat. Acapkali penulis diminta atas nama kesenian, kebudayaan dari para politikus yang berebut kekuasaan mengelus-ngelus kebudayaan sebagai orang yang peduli terhadap kebudayaan. Sesungguhnya bukan perduli kepada kebudayaan itu sendiri akan tetapi ingin menjadikan kebudayaan itu sebagai jembatan, perahu untuk menuju pulau kekuasaan yang diinginkannya.
Bila bertemu dengan sosok politisi seperti ini memang memusingkan, serba salah. Sulit untuk memosisikan diri, sebab ketika diminta menjadi serba sulit. Alasannya yang meminta itu adalah teman, tetapi mengapa teman itu tiba-tiba menjadi sosok yang begitu perduli dengan kebudayaan. Anehkan? Padahal perduli dengan kebudayaan tidak bisa tiba-tiba. Ada proses panjang yang terus-menerus, menyatu dalam jiwa dan raga.

Kebudayaan memang milik semua orang. Ada pada jiwa dan raga semua orang, tetapi tidak harus muncul tiba-tiba, peduli dengan kebudayaan itu. Kebudayaan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kebudayaan yang kata dasarnya budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya pikiran; akal budi. Sedangkan kebudayaan artinya hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, adat istiadat, kesenian atau antara keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Politik yang Berbudaya

Budaya milik semua orang, berarti ada komunitas di dalamnya dan inilah yang ingin dijadikan oleh para calon gubernur. Kondisi ini bukan barang baru, sebab tahun 1990-1995 ketika R. Lubis Zamakhsyari menjadi Ketua Majelis Kebudayaan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara dan penulis menjadi sekretaris pendekatan para politisi kepada kelompok budayawan sudah sering dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan simpatik para budayawan.

Pendekatan kepada para budayawan tidak salah, sah-sah saja akan tetapi bukan berarti akan memperbaiki kebudayaan itu sendiri. Sesungguhnya kebudayaan itu ada di dalam setiap diri manusia dan kepemimpinan yang diinginkan adalah kepemimpinan yang berbudaya, politik yang berbudaya bukan kebudayawan yang menjadi komuniti politik.

Dari sisi antropologis dijelaskan yang termasuk dalam kebudayaan adalah norma, pandangan hidup atau sistem nilai, apa yang dihasilkan dari manusia, dari para pemimpin untuk menegakkan satu keadilan dan berkeadilan juga ada dalam budaya. Pemahaman ini perlu sebab politik yang berbudaya sudah mewakili para budayawan bukan harus budayawan yang mendukung para politikus untuk mendapatkan tempat sebagai pemimpin.

Contoh kongkrit bila calon gubernur, melakukan politik yang berbudaya tidak akan berani berjanji sebab janji itu adalah hutang dan hutang harus dibayar. Para calon gubernur tidak berani menabur janji kemana-mana, termasuk kepada para budayawan bahwa akan peduli dengan kebudayaan. Kepedulian kepada kebudayaan tidak perlu diucapkan akan tetapi diwujudkan sebab setiap manusia sesungguhnya harus berbudaya apa lagi bagi pemimpin.

Harkat dan martabat seseorang itu akan memiliki nilai tinggi bila pribadi yang berbudaya, memiliki akal budi yang luhur, budiman dalam berkelakuan, luhur dengan hati nurani dalam bertindak, sopan santun dalam berbuat, rendah hati, tulus ikhlas dalam berinteraksi dengan semua manusia dan semua makhluk Tuhan. Bila ini sosok yang dimiliki calom pemimpin, gubernur agaknya tidak perlu susah-susah mendekati para budayawan untuk mendukungnya menjadi calon gubernur.

Nilai-nilai budaya yang luhur dalam diri calon gubernur itu akan membuat semua orang akan mendukungnya tanpa diminta, tanpa pendekatan dengan janji-janji angin surga. Semua akan mendukungnya, semua akan mencalonkannya tanpa reserve, termasuk para budayawan sebab nilai-nilai budaya luhur sudah ada dalam jiwa dan raga calon gubernur itu. Tidak perlu berjanji dengan bermacam janji termasuk janji akan memajukan kebudayaan dan macam-macam janji lainnya yang tidak masuk akal.

Perlu diingat, sesungguhnya kebudayaan itu tidak bisa menjadi komuniti apa pun juga, termasuk komuniti politik. Kebudayaan itu harus berada pada garda terdepan sebagai penuntun arah berpikir (akal) yang sehat dan jiwa yang tulus (budi) dalam bertindak sebagai (calon) pemimpin apa pun itu, termasuk sebagai (calon) pemimpin daerah atau gubernur.

Penulis pemerhati masalah kebudayaan dan mantan sekretaris Majelis Kebudayaan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara

Kotak Hitam Sejarah vs Sastra

Jones Gultom.

PASCA digelarnya Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2012 akhir Oktober 2012 di Yogyakarta lalu, muncul diskursus menarik di kalangan sastrawan, sejarawan dan juga budayawan. Temanya memang bukan sesuatu yang baru, tetapi masih tetap menarik untuk didiskusikan. Bagaimana sejarah yang kemudian disebut Binhad Nurrohmat dan maupun Ahda Imran (Kompas 11 dan 18 November 2012) sebagai "kotak hitam", dijadikan modal karya sastra.
BWCF berhasil memancing perbincangan menarik, karena menganggap sastrawan Indonesia belum melirik sejarah sebagai amunisi kreativitasnya. Kelompok sastrawan memiliki argumentasi sendiri yang patut dipertimbangkan.

Sastra jenis ini, bukanlah sesuatu yang baru di Tanah Air. Saya lebih suka menyebutnya sebagai sastra berlatarbelakang sejarah. Kehadiran genre ini sejak awal-awal perkembangan sastra di Tanah Air, ikut meramaikan perkembangan sastra. Malah sebagian di antaranya memelopori gagasan sastra pada fase berikutnya. Melongok ke belakang, sastra yang berlatarbelakang sejarah sudah diawali dengan bentuk kitab maupun babad. Contohnya Kitab Negarakertagama oleh Mpu Prapanca dan Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit awal abad ke-14. Juga ada pula karya sastra Pujangga Ronggowasito dan Jayabaya.

Selain itu ada juga Babad Serat Chentini dan Babad Tanah Jawa. Begitupula dengan catatan sejarah berbagai kerajaan Nusantara yang biasanya menuliskan dinamika kerajaan, titah raja maupun hal-hal yang berkaitan dengan dunia spiritual. Sumber-sumber tertulis ini, dianggap sebagai karya sastra, karena corak penulisannya. Di sisi lain, berdasarkan substansinya, dia adalah dokumen sejarah.

Pada era modern, novel sejarah terus bermunculan. Di antaranya; Rara Mandut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri karya Mangunwijaya. Juga karya-karya Pram, seperti Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah. Adapula karya-karya Suparto Brata yang menulis novel November Merah, Gadis Tangsi dan Surabaya Tumpah Darahku. Selain itu sejarah Bali juga dituliskan dalam Trilogi sastra, Puputan Badung, masing-masing Biyar-Biyur ring Pesisi Sanur, Kulkul Bulus dan Tyaga Wani Mati karya Nyoman Manda, menceritakan perang antara rakyat yang dipimpin rajanya melawan penjajah Belanda.

Termasuk pula novel yang berlatarbelakang sejarah Sumatera Utara. Sebagian besar novel ini mengulas tentang kehidupan di perkebunan Deli, Sumatera Timur pada masa kolonial. Di antaranya, Rubber (1931) dan Koeli (1932) karya Madelon Hermina Szekely-Lulofs. Novel ini menjadi penting, karena Lulofs tak hanya menggunakan teknik bersastra. Lebih dari itu, dia memanfaatkan data-data sejarah dalam novelnya. Tercatat novel Koelie (Kuli) menggunakan sejumlah refrensi di antaranya, Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, karangan Karl J. Pelzer (1985), Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera buah pena Anthony Reid (1987). Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera karangan Ann Laura Stoler (1870-1979). Data-data ini kemudian dikembangkan lagi oleh Emil W Aulia dalam novelnya yang berjudul, Berjuta-juta dari Deli (2006).

Terlepas dari kebenaran data-faktanya, penulis asal Sumatera Utara turut menyumbangkan novel sejarah daerahnya, antara lain; Penakluk Ujung Dunia (1964) karya Bokor Hutasuhut. Tuanku Rao (1964 dan terbit kembali 2006) karya Onggang Parlindungan Siregar. Acek Botak (2009) dan Pincalang (2012) karya Idris Pasaribu. Minimnya novel sejarah di daerah ini, boleh jadi dikarenakan penulis di Sumatera Utara masih lebih tertarik menulis buku sejarah atau sekedar medokumentasikan peristiwa-peristiwa sejarah lokal. Nama-nama seperti Z Pangaduan Lubis, Muhammad TWHM, As Atmadi, S. Satya Dharma, WB Sijabat, Bungaran Simanjuntak termasuk cukup populer di bidang itu.

Sastrawan Sejarah

Hal klasik yang sering muncul ketika seorang sastrawan mengambil peristiwa sejarah sebagai bahan kreasinya, adalah soal keakuratan data-fakta serta peran imajinatif sastrawannya. Apalagi sumber-sumber tertulis, semisal buku-buku sejarah pada bangsa ini, masih banyak yang dipertanyakan kebenarannya. Contoh klasik adalah buku Tuanku Rao karya Onggang Parlindungan Siregar. Buku ini sempat menuai konflik, karena isinya dianggap sekedar imajinasi penulisnya yang diduga sarat kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh sebagian besar, buku ini kemudian dikategorikan sebagai novel yang berlatarbelakang sejarah Batak pada abad 18.

Boleh jadi, karena buku ini dinilai kontradiksi dengan buku-buku sejarah Batak yang terlanjur dianggap mapan, misalnya, Ahu Sisingamangaraja karya WB Sijabat. Siapa yang paling tepat memberi penilaian akan hal itu? Menurut saya, secara akademis hal itu merupakan tanggungjawab sejarawan. Pertanggungjawaban moral ada pada sastrawannya.

Dalam sejarah, data-fakta merupakan bukti konkrit yang tak boleh dimain-mainkan. Sebagaimana sastra adalah media, seorang sastrawan boleh saja memanfaatkan data-fakta itu, tetapi untuk tujuan penulisan buku sejarah, bukan karya sastra. Selama ini latah sastrawan yang menyamakan diri sebagai pengarang, menjadikan pemakluman, bahwa ruang sastra memiliki batas yang tak terbatas. Padahal sastra itu hanyalah salah satu media komunikasi yang mestinya mengakui otoritas disiplin ilmu lainnya.

Dalam hubungannya dengan sejarah, Hans Robert Jauss menyebut, karya sastra membawa semangat zamannya. Semangat zaman ini sering memengaruhi faktualitas sejarah ketika dituangkan dalam bentuk karya sastra (novel). Inilah yang sering terjadi kemudian. Ketika sastra memasuki wilayah sejarah, seringkali menjadi bias dan tak terkendali. Pada peristiwa tertentu, dimana data-data sejarah itu masih kabur, seorang sastrawan boleh saja mengambil peran itu.

Untuk sejarah yang telah terbukti data-faktanya, karya itu menjadi semacam karya sejarah yang disastrakan, layaknya sebuah bibliografi. Celakanya, seperti disinggung di atas, banyak peristiwa sejarah yang masih diragukan termasuk oleh sejarawan sendiri yang kemudian semakin rancu manakala coba digarap seorang sastrawan.

Seperti dicontohnya Ahda Imran di Kompas 18 November 2012 lalu. Dia menukik Namun serial Gajah Mada (Langit Kresna Hariadi) dan Dyah Pitaloka: Senja di Langit Majapahit (Hermawan Aksan) yang sumber datanya masih sangat kabur. Sebagian sejarawan sendiri masih mempertanyakan kebenaran sosok Gajah Mada. Demikian juga Dyah Pitaloka yang disebut-sebut putri Kerajaan Padjajaran yang terzalimi. Dalam kasus ini, kotak hitam yang coba diterjemahkan sastrawan yang oleh Wolfgang Iser disebut "realitas ekstratekstual" (dengan tanda petik), justru merupakan tantangan tersendiri bagi sastrawan. Dalam konteks ini, dia bukan lagi menjadi pengarang, namun sejarawan.

Pengkultusan

Masyarakat Indonesia seringkali menjadi korban dari sejarah. Hal ini seringkali disebabkan karena campur tangan penguasa yang tak mau menerima takdir sejarahnya di masa lalu. Lebih dari itu, kelompok ini secara barbar biasa merubah masa lalu dengan harapan akan memperoleh keuntungan dari intervensi itu. Sebut saja sejarah 30 September 1965.

Dapat kita bayangkan bagaimana stigma buruk itu membudaya terhadap keluarga-keluarga yang diduga terlibat. Ada ketidakrelaan untuk mengakui sejarah masa lalu, karena dianggap sebagai ancaman. Segala akses dibumihanguskan. Sejarah sekedar hanya bersumber dari pengkultusan. Semakin parah, manakala masyarakat kita memang tidak bergairah membuktikan suatu fenomena. Alhasil masyarakat tidak terbiasa menggugat. Kemapanan pola pikir terjadi dimana-mana. Daya kritik tidak tumbuh. Sejarah pun menjadi kotam hitam yang tak pernah dibuka. Dia layaknya mirip harta karun dalam mimpi masyarakat.

Dalam konteks ini, terlepas dari pesanan pasar seperti yang ditengarai Ahda Imran, apa yang dilakukan Langit Kresna Hariadi dan Hermawan Aksan, merupakan pukulan bagi sejarawan sekaligus tantangan bagi sastrawan untuk memasuki wilayah lain dalam proses kreativitasnya, dengan tidak terjebak sekedar eforia semata.

Penulis penyair dan esais