Senin, 13 Juni 2011

Pagelaran Teater dan Sastra: Secuil Perang di Ubun-ubun,

Suasana mistis terbangun setelah kalimat "Secuil Perang di Ubun-ubun," diucapkan berulang kali selama pertunjukan Teater Merdeka berlangsung di Taman Budaya Sumatera Utara belum lama ini. Kalimat tersebut seperti sengaja mengetengahkan sebuah fakta perang yang hanya terjadi di ubun-ubun yang menjadi salah satu bagian anatomi tubuh yang dijadikan simbolisasi yang paling paripurna tentang kondisi emosional individu. "Seperti kemarahan sudah di ubun-ubun, memuncak, tapi itu belum tentu akan diwujudkan dalam bentuk yang setimpal, seperti dengan memotong rambut sendiri secara acak atau mengata-ngatai orang lain," ujar Sunaryo, salah seorang penikmat teater kepada MedanBisnis (28/5) seusai pertunjukan. Aroma mistis seperti terbangun sendiri karena hampir semua orang yang mnyaksikan acara tidak berucap apapun. Hanya suara pembaca puisi "Secuil Perang Di Ubun-ubun," sayup-sayup terdengar masif.
Menurutnya, kompleksitas tak melulu melahirkan respon lahiriah yang bisa mengatasi kerumitan yang ada. Hampir seluruh fenomena kehidupan selalu bersentuhan sama lain. Fenomena yang dimaksud adalah semacam peranca-peranca atau penyangga sistem kehidupan yang sering dikategorikan dalam aspek sosial, ekonomi, politik, agama dan budaya. "Kategorisasi ini juga sering membuat kita kesulitan merespon secara cepat dan tepat, kita akan cenderung menyingkirkan ketimbang mengatasinya, akibatnya ya hanya di ubun-ubun saja," katanya menambahkan.

Sunaryo menggambarkan, seperti yang dibeberakan pembaca puisi bahwa Lapangan Merdeka yang merupakan situs bersejarah milik warga Medan kini menjadi Lapangan Mereka yang menyebarkan aura hedonisme ketimbang spirit kemerdekaan dari apa yang disebut bujukan-bujukan advertorial dan desepsif. "Tak mungkin kita berteriak di Titi Gantung yang kini hanya menyisakan semata romantisme, minta perhatian, tapi kita bisa memulainya dengan mencintai kesenian, kebudayaan dan menghargai sejarah, satu lagi, mengerti soal politik," ujarnya menambahkan.

Menurutnya, bangunan politik negeri ini justru memisahkan manusia dari kemanusiaan menuju mekanis yang menghamba kepada sistem ekonomi. "Penyelesaian korupsi bergantung kepada fluktuasi nilai saham, pemberantasam terorisme nampak sekadar penyelamatan muka kepada kepentingan global," jelasnya.

Setelah pementasan dari Teater Merdeka, Teater Alif dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) mengetengahkan karya Darwis Rifai Harahap yang mengangkat cerita rakyat Asahan berjudul “Nandung Mengail Petaka Cinta” dengan tokoh sentral Nandung, Mayang Ma" Inal, Dato" Garang, dan Dato" Jabat.

Bagian ini berkisah tentang percintaan antara Nandung dan Mayang yang tidak disetujui oleh ayahnya, Dato" Garang sehingga mengakibatkan Mayang gila. Kemudian disebuhkan Nandung, tapi Dato" Jabat tidak terima lalu membunuh Nandung. Namun, kemudian kisah ini berakhir tragis karena Mayang akhirnya bunuh diri.

Menurut Darwis Rifai Harahap, penulis sekaligus sutradara pementasan tersebut, cerita ini pada masa revolusi dijadikan alat kepentingan politik untuk menyebarkan ideologi komunis dengan menunjukkan simbol-simbol dan slogan-slogan partai tertentu. "Saya masih ingat betul suasana masa itu," ujarnya.
Komedi Opera Raja & Ratu Air
BEKERJASAMA dengan Rumah Kata, Sanggar Generasi Medan, akan menampilkan lakon Opera Raja & Ratu Air karya Idris Siregar, pada Jumat, 13 Mei 2011 mendatang di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan. Naskah yang disutradarai oleh Suyadi San ini, mengangkat kisah tentang perseteruan dua kerajaan yang masing-masing dipimpin seorang raja dan ratu. Keduanya memperebutkan sumber mata air yang terletak di kerajaan sang ratu yang diklaim milik kerajaan tetangga. Perselisihan pun tak terhindarkan. Demi mengorek informasi sedalam-dalamnya, baik raja maupun ratu, akhirnya mengirimkan utusannya untuk menyusup ke masing-masing kerajaan lawan. Tapi siapa yang menyangka, jika kedua utusan yang berbeda jenis kelamin itu justru saling jatuh cinta. Hati pun tertambat ketika keduanya bertemu pada saat menjalankan tugas dari pemimpin masing-masing. Keadaan itu, membuat perseteruan semakin rumit. Apalagi beredar kabar, perselisihan itu hanyalah intrik sang raja dalam rangka untuk mendekati sang ratu yang memang berstatus jomblo. Bagaimanakah akhir perseteruan itu? Siapakah yang tampil jadi pemenang dan berhak atas sumber mata air itu? Jika Anda penasaran, ayo silahkan datang beramai-ramai dan saksikan langsung pertunjukan bergaya komedian ini.
Opera Raja & Ratu Air, rencananya akan digelar selama dua kali di hari dan tempat yang sama yakni pada pukul 15. 30 WIB dan 19. 30 WIB. Untuk tiket masuk dikenakan biaya Rp 10. 000 bagi kategori pelajar dan mahasiswa. Tiket sudah dapat dipesan melalui Yunus Rangkuti di Taman Budaya Sumatera Utara. Atau dapat dibeli langsung pada saat pagelaran berlangsung.

Pertunjukan ini nantinya akan dimainkan oleh aktor/aktris muda yang tergabung dalam Sanggar Generasi Medan yang bersekretariat di Taman Budaya Sumatera Utara, di antaranya Niena Winata, S. Yadhie, Cut Aida dan lain-lain. Kepada MedanBisnis, Idris Siregar selaku pengarang naskah menjelaskan, pagelaran ini diharapkan akan membawa suasana segar perteateran di Medan yang dalam beberapa tahun terakhir terasa sepi. "Mudah-mudahan nuansa komedi yang diusung naskah ini menghadirkan suasana yang lebih segar bagi dunia perteateran, khususnya di Medan, yang kesannya biasa dianggap awam sebagai suatu pertunjukan seni yang cukup "rumit", "jelasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar