Minggu, 30 Januari 2011

Rumah Puisi Taufiq Ismail Antara Singgalang dan Merapi

A.Rahim Qahhar

Tiga sastrawan Medan masing-masing A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud dan Hasan Al Banna diundang sebagai Sastrawan Tamu ‘Rumah Puisi’ Taufiq Ismail di Jalan Raya Padang Panjang - Bukittinggi pada13 - 19 Januari 2011. Tanpa alasan yang jelas, Damiri Mahmud urung memenuhi undangan, meskipun pihak Taufiq Ismail berharap sangat atas kehadirannya.

Ada apa gerangan di Rumah Puisi yang dibina sejak 19 Desember 2008 ini? Pertanyaan ini segera terjawab ketika penulis tiba di lokasi yang letaknya di areal perbukitan, persisnya di Jalan Raya Padang Panjang - Bukittinggi km 6 Sumatera Barat. Di areal seluas sekitar 3.000 meter ini terdapat bangunan induk ‘Rumah Puisi’, berisi perpustakaan dan ruangan untuk pertemuan/diskusi.

Pada sisi lain, ramai dihiasi beragam jenis bunga, terdapat bangunan rumah untuk Sastrawan Tamu, bangunan surau dan lapau (kantin) yang dilengkapi dengan bermacam-macam materi suvenir. Bahkan semakin unik dan menarik, di sekeliling halaman terpajang puluhan poster puisi dari berbagai penyair nasional. Antara lain karya penyair Chairil Anwar, Asrul Sani, Ajip Rosidi, Sutan Takdir Alisyahbana, Sutardji Calzoum Bachri sampai kepada penyair yang telah pernah menjadi sastrawan tamu di Rumah Puisi.

Taufiq Ismail dan istrinya Ati Ismail dalam perbincangan dengan penulis menyebutkan, ide awal proyek megah ini sebenarnya amat sederhana. Suatu ketika di rumah mereka Jakarta, istri Taufiq berucap pada suaminya, begini: “Uda, buku nan banyak ini, nanti kalau Uda meninggal dunia akan diletakkan di mana?” Dari pertanyaan bersahaja inilah muncul ide-ide maupun rencana untuk membuat sebuah rumah atau bangunan yang dapat menghimpun buku-buku yang jumlahnya semakin bertumpuk itu.

Lokasi pun dipikirkan, dipertimbangkan, apakah di Jakarta atau tempat lain yang akhirnya terpilih di Nagari Aie Angek, persis di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Lokasi berudara dingin ini pun tak jauh dari kawasasn Pandai Sikek yakni kampung halaman Taufiq.

Nama Rumah Puisi tidak berarti kegiatannya semata-mata berhubungan hanya dengan puisi belaka. Rumah ini sebagai pusat aktivitas yang berkaitan dengan literatur, karya sastra, pembacaan dan latihan penulisan dengan landasan yang puitik. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir telah lahir sanggar sastra yang terdiri dari siswa-siswi di antaranya ada yang sudah mencoba untuk menulis novel.

Paling mendasar dari kegiatan Rumah Puisi ini, pelatihan guru Bahasa dan Sastra Indonesia, membaca dan berlatih menulis bagi siswa melalui Sanggar Sastra, apresiasi sastra Indonesia dan Minangkabau, akses buku-buku perpustakaan, menghadirkan sastrawan tamu dari daerah lain, sekaligus melakukan interaksi antarsastrawan dengan guru dan siswa.

Taufiq menegaskan, tujuan utama Rumah Puisi ini dibangun, demi peningkatan mutu anak bangsa dalam budaya membaca buku dan kemampuan menulis, sehingga menjadi manusia terpelajar dan bermartabat. Tak heran, buku yang tersedia sekarang jumlahnya sekitar 7.000 judul termasuk buku-buku nonsastra.

Pelajaran Sastra

Taufiq didampingi dua sastrawan tamu dari Medan sekaligus dipandu oleh moderator Muhammad Subhan di depan puluhan siswa Pesantren Al Hira dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumbar memaparkan, bagaimana ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negara lain tentang pelajaran sastra. Taufiq menjelaskan tentang kewajiban membaca buku sastra di SMA di 13 negara antara lain Amerika Serikat, Belanda, Jepang yang siswanya mampu membaca buku sampai belasan dan puluhan judul, sementara Indonesia untuk periode 1950-1997 nol judul. Tragis memang!

Sebagai sastrawan tamu, A. Rahim Qahhar dan Hasan Al Banna diminta untuk menyampaikan proses kreatif maupun pengalamannya sebagai penulis. Sekaligus dalam kesempatan itu penulis juga menampilkan dua judul puisi dan Hasan Al Banna menyugukan fragmen monolognya Cublis. Sesi ini dilanjutkan dengan tanya jawab yang merupakan interaksi antarsastrawan dengan siswa, mahasiswa dan guru. Ada juga pertanyaan yang unik. Antara lain ada siswa setingkat SMP mempertanyakan bagaimana persiapan seseorang dalam membuat novel.

Taufiq yang tahun lalu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta, memaparkan tujuh konsep tentang pengembangan dan peningkatan karya sastra. Antara lain beliau memberi sugesti kepada para siswa, menulis dan mengarang itu nikmat, asyik dan menyenangkan.

Orasi Budaya

Sejak dibangunnya Rumah Puisi, Taufiq dan Ati Ismail terpaksa bolak-balik Jakarta-Padang. Artinya, meski hari dan tanggalnya tidak pasti, tapi Taufiq tetap menyisihkan sekian hari untuk berada di Rumah Puisi. Bulan Januari misalnya Taufiq diundang oleh YPI Raudhatul Jannah Payakumbuh untuk menyampaikan orasi budaya.

Ratusan siswa-siswi sekolah dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA yang terpisah dalam tiga lokasi, menyambut kedatangan Taufiq bersama sastrawan tamu. Pentas dan teratak yang sengaja dipersiapkan oleh panitia tampak begitu meriah, apalagi tampak hadir walikota Payakumbuh dan pejabat tinggi setempat.

Acara pokok hari itu, Haflatul Quran murid SD perguruan itu. Taufiq tampil dalam orasi budaya sekaligus membacakan empat judul puisi, disambut cukup antusias hadirin. Dua sastrawan tamu A. Rahim Qahhar dan Hasan Al Banna juga didaulat untuk baca puisi pada acara sehari penuh itu.

Sosok seorang Taufiq sebagai budayawan memang sangat diperhitungkan di kampung halamannya ini. Beliau bersama tokoh lainnya, termasuk pimpinan YPI Raudhatul Jannah bapak Thamrin Manan, didaulat untuk ikut meletakkan batu pertama pembangunan masjid di sekolah SPM Raudhatul Jannah.

Hal menarik lainnya di lokasi Rumah Puisi ini, persis bersebelahan dengan Rumah Budaya Fadli Zon dan Aie Angek Cottage, cukup megah dan artistik. Meski baru soft opening, tempat ini diharapkan kelak sebagai melengkapi obyek wisata visual dan ritual yang bernuansa Minangkabau.

Sastrawan Tamu yang telah tampil di Rumah Puisi antara lain, D. Zawawi Imron (Madura), Ahmad Tohari (Purwokerto), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Joni Ariadianata (Yogyakarta), Jamal D Rahman (Jakarta), Agus R Sarjono (Jakarta), Aspar Paturusi (Makassar), Iman Soleh (Bandung) dan secara terprogram Desember tahun 2010 lalu menghadirkan sekaligus tiga sastrawati, yakni Rayani Sriwidodo (Jakarta), Abidah el-Khalieqy (Yogya) dan Nenden Lilis A (Bandung).

Kamis, 27 Januari 2011

OMONG-OMONG SASTRA : MEMPERTAHANKAN TRADISI SILATURAHMI DAN BERKARYA

M. Raudah Jambak

Sastra tentu tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya. Kekayaan pengalaman referensial dan faktual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang dikandungnya.Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan kebangsaan: sastra yang mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan kemanusiaan. Sastra yang menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali ruh bangsa yang sekian lama belum terumuskan.Seperti yang pernah ditulis Irmansyah.
Berdasarkan persoalan itu kembali Omong-omong sastra (OOS) diaktifkan kembali. Mengingat usianya yang tidak bisa dikatakan muda lagi (beranjak 35 tahun), OOS merevitalisasi kembali persoalan-persoalan sastra yang memang tidak akan pernah selesai.
Saripuddin lubis pernah menyinggung bahwa Era sebelum tahun 1920-an, dunia sastra di Sumatera Utara dianggap sebagai tonggak dasar kesusastran di Tanah Air. Sebab, saat itu sastrawan Sumatera Utara bisa dikatakan sebagai barometer sastra di tanah air.
Pertama sekali dimulai dengan munculnya nama M. Kasim yang dianggap sebagai peletak dasar berdirinya cerita pendek di tanah air. Setelah itu muncullah nama Amir Hamzah, pemuda dari Langkat, yang dikenal sebagai motor puisi Angkatan Pujangga Baru.
Kemudian lahir pula Chairil Anwar yang merupakan orang yang paling populer namanya dalam wilayah sastra tahun 1945 hingga sekarang. Beliau bahkan masih dianggap sebagai ikon sastra di Indonesia bersama Amir Hamzah. Jika diadakan survei, tentunya nama merekalah yang menduduki peringkat pertama sastrawan di Tanah Air yang dikenal masyarakatnya.
Setelah itu, perhelatan sastra di Tanah Air mulai berpindah tangan kepada teman-teman sastrawan dari Pulau Jawa. Meskipun masih ada, namun nama-nama sastrawan dari Sumatera Utara mulai tenggelam ditelan zaman. Nama-nama yang masih bertahan hanyalah sebagian saja seperti Maulana Samsuri, A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud dan beberapa nama lain. Selebihnya banyak yang tak lagi dikenal di jagad sastra nasional. Dan akhirnya, Saripuddin lubis menuturkan bahwa duaribuan kebangkitan sastrawan terutama dari yang muda-muda, mulai merambah belantara sastra Indonesia.

35 Tahun Omong-Omong Sastra Sumatera Utara

Darwis Rifai Harahap ada menuliskan bahwa di abad serba digital ini, bahwa banyak penulis-penulis muda terus bermunculan dan tenggelam. Yang tenggelam karena tak mampu bersaing. A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud, Ali Sukardi, Maulana Samsuri, Aldian Arifin, masih terus bekarya walau usia mereka telah diatas enam puluh lima tahun.
Cerpenis Lahmuddin Mane telah tiada. Profesor sastra kita Ahmad Samin Siregar juga telah menghadap Khaliknya. Generasi sastra Sumatera Utara, dari angkatan Choking Susilo Sakeh, Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, mulai berangkat tua. Kini muncul nama-nama sastrawan muda seperti Hasan Albana, Raudah Jambak, Idris Siregar, Muram Batu, Rizlan Effendi dan banyak lagi yang lainnya, adalah nama-nama yang tak asing lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran budaya surat kabar yang ada di Sumatera Utara. Mampukah karya-karya mereka berbicara di khazanah sastra Indonesia?
Persis seperti yang diungkapkan Darwis Rifai Harahap, penulis menangkap sinyal-sinyal harapan. Bagaimana karya sastra sastrawan muda dapat bertahan menembus zaman. Tidak mudah berpuas diri dengan apa yang dihasilkan. Pun tidak langsung tinggi hati dengan satu dua karya yang dilahirkan.
Sastrawan harus terus menyimpan ‘kegelisahan’. Sastrawan harus melahirkan ‘kegelisahan’ itu. Oleh sebab itu, maka OOS yang beranjak 35 tahun ini harus dipertahankan. Ia hadir tidak hanya sebagai ‘rumah’ nostalgia masa lalu, tetapi juga tempat pembelajaran kualitas dan kuantitas karya, serta pengasahan mental. Hal ini penting, sebab seperti yang pernah tetulis bahwa karya menyatakan kita kita ada, rendah hati akan menjadikannya abadi, tetapi kesombongan akan menghancurkannya perlahan.
Terkadang ada yang berfikiran picik, mengatakan bahwa sastra bukan untuk diomongkan, dipertengkarkan, atau kesabaran menikmati segala hidangan nostalgia. Atau segelintir yang lain mengatakan bahwa belajar tidak harus di Komunitas OOS. Semua terserah kita. Kita adalah makhluk yang bebas. Tetapi, sebagai sebuah kekayaan OOS yang beranjak 35 tahun ini harus kita pertahankan, walaupun kekisruhan pernah terjadi beberapa kali kepemimpinan.
Jujur, bahwa sampai sekarang komunitas OOS Sumatera Utara yang masih bertahan sampai sekarang di Indonesia, bahkan dunia, mengingat usianya. Melahirkan banyak sastrawan kawakan, seperti yang pernah disinggung sebelumnya.
Sekarang, bagaimana kita menjadikan OOS adalah milik semua sastrawan, seniman, maupun budayawan Sumatera Utara, bukan milik segelintir orang yang memang kebetulan termasuk sebagai penggagas OOS ini sebelumnya.
Mengingat Herman Ks, NA. Hadian, Rusli A. Malem, Awaluddin Ahmad, Z. Pangaduan Lubis, dll, yang telah berjuang ikut mengharumkan kejayaan sastra Sumatera Utara, maka wajarlah kiranya kita sedikit rendah hati untuk sama-sama peduli sekaligus ikut andil dengan keberadaan OOS ini tanpa harus mengingat segelintir orang yang sempat ‘menodai’ OOS Sumatera Utara ini.
Dengan berbiaknya komunitas sastra saat ini, seperti KSI (komunitas sastra indonesia) medan, LABSAS, Komunitas Home Poetry, Komunitas Rumah Kata, KOMPAK, KONTAN, KOMISI, juga sebelumnya ada FKS, Kedai Sastra Kecil, dll, wajarlah kiranya yang kesemuanya itu saling berbagi ilmu, berbagi wawasan, termasuk saling bersilaturahmi di Omong-Omong Sastra Sumatera Utara.
Juga diakui, tidak ada yang baru di bawah matahari. Dan walaupun matahari mati berkali-kali ia akan tetap lahir esok pagi. Indah memang kalau kita saling berbagi. Seperti sebuah keluarga ada orangtua yang mengayomi, juga saudara-saudara saling berbagi kasihsayang, walau pertengkaran abang-adik, juga orang tua dan anak, maupun suami-istri, toh tetap tidak akan pernah berhenti, justru itu adalah kekayaan yang harus ada dalam setiap sisi kehidupan.

UNDANGAN OOS DI RUMAH IDRIS SIREGAR

Akhirnya, sebagai konsep pembelajaran, setelah ‘pertengkaran’ YS. Rat dan Wika, maka selanjutnya ‘perseteruan’ Hidayat Banjar dan Intan HS, juga ‘kecurigaan’ Yulhasni dengan Wahyu Wiji Astuti kita teruskan mungkin akan disusul oleh Rina mahfuzah dan Azhari untuk pertemuan OOS ke depan. Dan setelah di rumah Hasan Al Banna, maka ‘perseteruan’ Hidayat banjar dan Intan HS akan kita ‘rampungkan, di rumah Idris Siregar tanggal 6 Februari 2011, di tanjuung morawa. Sekaligus mengundang seluruh ninik-mamak, handai-taulan sastrawan, seniman, budayawan, mungkin juga wartawan sebagai saudara untuk ‘melerai’ segala ‘perseteruan’ itu.

Pementasan Pelestarian Seni Budaya

Agar Tak Lalai Menimbang Tradisi

Oleh: Hasan Al Banna

Di masa yang serba modern saat ini, apakah segala hal yang mengandung masa lalu (tradisi) masih diperlukan? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan yang demikian. Di satu sisi, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kondisi zaman yang senantiasa, bahkan begitu pesat pergerakannya. Di lain sisi, masyarakat tidak lahir dari budaya yang kosong.

Sulit untuk dipungkiri bahwa kenyataannya masyarakat (manusia) memang membutuhkan pijakan budaya. Mau tidak mau, budaya yang pernah tumbuh di belakang masyarakat, yakni masa lampau, harus ditoleh oleh masyarakat itu sendiri. Ya, semacam cermin untuk menata diri dalam menyikapi masa depan (masa kini).

Namun, tidak dapat pula dibantah bahwa kearifan tradisi kerap pula diabaikan masyarakat modern. Segala hal yang sangkut-menyangkut dengan tradisi dianggap sekedipan mata. Padahal, ibarat pakaian, tentu budaya masa lampau tidak serta merta harus dikenakan secara terus-menerus. Dengan kata lain, masa lampau (tradisi) adalah harus tetap dilestarikan.

Menjadi gaun yang tetap tergantung di lemari kemodernan, yang dapat dipakai sekali waktu. Namun, andai tiba masa mengenakan baju budaya masa lalu, sudah barang tentu tidak sekadar bertengger di tubuh, tetapi ruhnya menyusup juga sampai ke jiwa pemakainya. Inilah sebenarnya hakikat pelestarian!

Hampir dipastikan, hakikat pelestarian demikian yang menjadi pijakan Badan Kesbang Pol. dan Linmas Provinsi Sumatera Utara dalam menggelar Pementasan Pelestarian Seni Budaya di Lapangan Simpang Tiga, Perbaungan (3 Juli 2010) dan di Alun-alun Tengku Amir Hamzah, Stabat (10 Juli 2010).

Pementasan kolosal berjudul “Cinta Tanah Air” karya/sutradara M. Raudah Jambak hadir dalam wujud seni perunjukan kolaborasi, yang digelar untuk mengajak masyarakat (penonton) sejenak mengenakan pakaian masa lalu (tradisi). Melalui pertunjukan “Cinta Tanah Air”, masyarakat memiliki peluang untuk berkaca pada kearifan masa lampau.

Pertunjukan “Cinta Tanah Air” membentangkan kenyataan bahwa para leluhur Indonesia sejak zaman perjuangan, masa kemerdekaan dan zaman sesudahnya senantiasa menjunjung nilai-nilai keindonesiaan yang satu meskipun berangkat dari keberagaman. Seperti yang terungkap dalam narasi pertunjukan, bangsa Indonesia (dalam konteks lokal adalah Sumatera Utara) ditumbuhi ‘tanaman’ yang penuh ragam warna.

Tentu, ragam warna tersebut tidak boleh hilang begitu saja. “Indonesia memiliki keragaman budaya yang luar biasa. Semuanya merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Kita sebagai warga negara wajib memelihara keragaman budaya tersebut sebagai rasa cinta kita kepada tanah air.

Dari sekian banyak keragaman budaya itu, Sumatera Utara termasuk salah satu di antaranya. Rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan dalam berbagai cara, salah satunya melalui seni tradisi. Dan Sumatera Utara sangat terkenal dengan seni tradisinya...”

Pertunjukan “Cinta Tanah Air” melibatkan tiga dimensi seni pertunjukan sekaligus; teater, musik dan tari. Tidak mengherankan pula, pertunjukan ini melibatkan tiga kelompok yang mewakili dimensi tersebut. Komunitas Home Poetry (M. Raudah Jambak, dkk) menyumbangkan hasil cipta seni yang mewakili dimensi teater. Semula kelompok ini tekun berproses di ranah sastra, tetapi dalam perjalanan prosesnya, terlibat juga dalam dunia pertunjukan (teater).

Pada unsur musik, “Cinta Tanah Air” didukung Sumatra Insidental Music. Di bawah kreator musik Hendri Parangin-angin, Sumatra Insidental Music dikenal meramu hasil karya musik dari dua sumber yang berbeda lagi kaya, yaitu musik tradisional dan instrumen modern. Kelompok musik ini tidak hanya unjuk instrumen di Medan, tetapi kota-kota lain di Indonesia, bahkan sampai ke negara-negara Asia Tenggara dan Eropa.

Sumatera Incidental Music menampilkan eksplosari musik yang kadang ditopang unsur seni lain, terutama teater. Tentu, Sumatra Incidental Music tidak kaku lagi bersanding dengan unsur seni lain, terutama teater, apalagi seni tari.

Lantas, tari merupakan unsur yang termasuk penting dalam pementasan “Cinta Tanah Air”. Untuk urusan ini, Citra Budaya Production ikut andil menyebarkan hasil ciptanya ke atas panggung. Citra Budaya Production yang merupakan kelompok tari yang eksis melestarikan unsur tradisi dalam setiap penampilan. Di bawah koreografer Rahma, kelompok ini mengisi kegiatan-kegiatan seni bertaraf lokal maupun nasional. Selain itu, paduan suara Solfeggio Universitas Negeri Medan turut menyemerbakkan pertunjukan.

Ketiga kelompok kesenian ini hadir di atas panggung dalam kesatuan yang utuh demi membentangkan keragaman seni leluhur bangsa, khususnya Sumatera Utara. Sejak awal pertunjukan, “Cinta Tanah Air” mencoba menggambarkan kekayaan yang dikandung Sumatera Utara. Kekayaan Sumatera Utara yang ditopang berbagai etnis seperti Melayu, Batak Toba, Batak Angkola, Batak Mandailing, Karo, Simalungun, Phak-phak dan Nias hadir susul-menyusul di atas panggung. Tentu, kehadiran unsur tradisi harus ‘disesuaikan’ dengan selera modern, karena mau tidak mau, ‘penyesuaian’ inilah yang menjembatani budaya masa lampau dengan budaya zaman modern.

Sesungguhnya, pengabaian terhadap ‘penyesuaian’ tersebutlah yang kerap menggagalkan unsur tradisi untuk tetap diterima masyarakat. Tidak dapat dihindari, pelestari budaya harus pandai-pandai menarik-ulur keteguhan unsur leluhur dan tuntutan kemodernan. Tarik-ulur ini harus terus dilakukan. Namun, risiko bahwa keaslian tradisi bakal terkikis harus tetap diperhitungkan. Yang pasti, penyesuain semacam ini harus dieksplorasi dalam produk-produk pelestarian jati diri bangsa, termasuk produk kesenian.

Nah, melalui produk kesenian, pertunjukan “Cinta Tanah Air” di bawah event organizer Tito Sinar Production yang juga dibantu Jitu Production dan CV. Ratu Mandiri Perdana sudah terlibat dalam peristiwa eksplorasi tarik ulur yang dimaksud, sehingga jurang antara tradisi dengan modern tidak menganga panjang lagi dalam.

Inilah muara dari Pementasan Pelestarian Seni Budaya kali ini, seperti yang turungkap dalam selebaran pertunjukan, “Kesenian merupakan fitrah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Panggung merupakan jagad. Menjadi salah satu pilihan pemersatu, perekat elemen-elemen yang tumbuh dan berkembang pesat. Baik tradisional maupun kesenian yang bermotif modern.”

Lestari budaya Indonesia!

Penulis adalah sastrawan, staf Balai Bahasa Medan dan dosen luar biasa FBS Unimed.

Masih Bibir Umpama Buah Delima?

Hasan Al Banna

Kalau sekadar mempererat hubungan penyair ‘Melayu Serumpun’ antarnegara di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Kamboja dan Singapura), hajatan Pertemuan Penyair Nusantara IV (PPN IV) yang berlangsung di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 16-18 Juli lalu boleh dikatakan berhasil menunaikannya.

Namun, adakah PPN IV berfaedah langsung bagi perkembangan estetika hasil sastra (puisi) negara-negara kawasan Asia Tenggara tersebut? Agaknya harus menempuh jalan yang berliku, licin dan curam. Lantas, harapan untuk memuliakan bahasa (Melayu) melalui sastra masih akan berpusar pada tataran wacana yang keruh.

Selama tiga hari kegiatan tersebut berlangsung di Bangunan Persatuan Guru-guru Melayu Brunei, Radio Televisyen Brunei (RTB) dan Kompleks Bangunan Yayasan Sultan Haji Hassanal Bolqiah. PPN IV diikuti lebih dari 100 penyair dari kawasan Asia Tenggara. Indonesia mengirimkan penyair paling banyak, termasuk penulis dan A. Rahim Qahhar (Medan).

PPN IV dikawal oleh Asterwani Brunei Darussalam bekerja sama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam. Tidak banyak berubah dari kegiatan yang sebelumnya, PPN IV masih diisi dengan acara diskusi sastra, baca puisi dan temu ramah.

Kegiatan senapas ini bermula di Medan (Indonesia) dengan tajuk Pesta Penyair Nusantara I, 25-28 Mei 2007. Selanjutnya nyawa kegiatan ditiupkan ke Kediri (Indonesia) dengan membentangkan peristiwa Pesta Penyair Nusantara II, 29 Juni -3 Juli 2008. Lantas, tahun 2009 lalu, Pertemuan Penyair Nusantara III di Kuala Lumpur (Malaysia), 20-22 November.

Namun, sampai pada pelaksanaan PPN IV di Brunei, percakapan yang menukik kepada pendongkrakan kecemerlangan karya masih jauh dari jangkauan angan. Boleh jadi, forum PPN tidak lebih dari ritual reuni belaka.

Apa yang diungkapkan Ahmad Suyubbanuddin Alwi (penyair Indonesia) dalam forum diskusi patut direnungkan. Alwi menyarankan agar forum PPN menyediakan ruang yang lapang bagi keberlangsungan apresiasi karya, bukan semata berkutat pada wacana dangkal sekaligus pragmatis: mari mengangkat martabat sastra! Paling tidak, menurut Alwi, forum PPN harus berani mengusung karya-karya penyair yang dinilai mengundang, apalagi mengandung kemilau.

Namun bagaimana hendak meninggikan harkat karya, sementara kadar cita-rasa sastra mutakhir senantiasa luput dari sengit perbincangan. Memang, lazimnya, muara dari kegiatan ini tidak boleh membelot jauh dari kisaran: bagaimana caranya agar kualitas karya sastra makin berminyak. Apalagi PPN IV di Brunei mengelu-elukan nasihat, bahwa penyair tidak boleh mengasingkan diri, bahkan sebaliknya senantiasa bertemu, berbincang dan bertukar pandangan dalam meningkatkan mutu penulisan dan terus berusaha memberikan sumbangan kepada kemajuan bangsa dan negara. Nasihat ini menjadi begitu ‘megah’ jika merujuk kegiatan yang kering dari proses apresiasi hasil karya para penyair.

Mutu tulisan adalah kata kunci! Apalagi ketika kerumunan penyair di negara-negara Asia Tenggara sepaham untuk lebih mendekatkan sastra kepada khalayak, khususnya generasi muda. Namun, benturan budaya yang dialami generasi muda, mau tidak mau, telah menerbitkan keinginan-keinginan baru, yang kalau tidak disikapi dengan kedinamisan karya, tentu akan diterlantarkan.

Karya yang benderang adalah karya yang senantiasa bergerak, memantul dan bergumul dengan keberlangsungan zaman. Tentu, perjalanan estetika karya tidak boleh statis, atau bahkan merasa mapan pada letak duduk yang itu-itu juga.

Sebenarnya, apa yang dipaparkan Prof. Dr. Siti Zainon binti Ismail (Malaysia) dalam Tazkirah Puisi (semacam Orasi Puisi) layak disikapi dengan arif. Zainon mengungkapkan bahwa, “sastra menggerakkan manusia untuk berpikir dan seterusnya bertindak ke arah kesempurnaan.” Boleh jadi, pernyataan tersebut mengibaskan isyarat bahwa penyepuh karya (penyair) juga harus setia mengerek hasil ciptanya ke menara kesempurnaan.

Ya, kesempurnaan yang tentu menagih pergulatan tiada henti dari para penyair. Bukankah, seperti yang juga dinyatakan Zainon dalam Tazkirah-nya: “manusia diberi akal dan jiwa, ditambah lagi kemauan dan usaha”. Namun, ada hal yang ‘menarik’ pula di sela-sela Tazkirah Puisi Zainon. Beberapa baris pantun kerap dilontarkan Zainon sebagai penyela Tazkirah yang ‘anggun’, tetapi sarat pesan.

Bait-bait pantun, mesiu yang melimpah dalam sastra Melayu, mengalir lancar dari mulut Zainon. Namun, mengapa pantun masa ini adalah pantun yang tidak berani berganti gaun? Mengapa, misalnya, pantun yang melukiskan rekah bibir (seperti yang dipaparkan Zainon) masih juga menggunakan metafora “seperti buah delima”?

Tiadakkah metafora lain untuk bibir yang merekah sebagai wujud pergulatan dan usaha manusia (penyair) yang berpikir ke menara kesempurnaan. Dalam konteks yang lebih padat, kesempurnaan yang dimaksud adalah akumulasi dari proses penciptaan yang terus-menerus, juga dari kedinamisan zaman yang menggelinding begitu kencang.

Ini sekadar analogi liar atau cenderung dicocok-cocokkan, mungkin. Tentu boleh diabaikan siapapun, tetapi layak juga dibiarkan bernyawa dan hidup dalam pikiran yang kritis. Analogi demikian hanya untuk memudahkan penafsiran: betapa penting meninjau ulang geriak estetika karya yang hendak ditetaskan.

Bagaimana bahan baku (bahasa Melayu) diolah-dikupas secara tekun, hingga melahirkan karya yang segar dan menyusup diam-diam ke dunia modernlah yang seharusnya gencar dilakukan. Hasan Aspahani, penyair Indonesia, dapatlah didaulat sebagai contoh penyair yang mampu membangkitkan pendaman kekayaan bahasa Melayu dalam karya-karyanya. Aspahani dinilai banyak pengamat berhasil merevitalisasi pantun, gurindam, dan pernik bahasa Melayu lain ke dalam puisi-puisinya.

Jauh sebelumnya, Amir Hamzah dan Chairil Anwar juga dianggap berhasil ‘membiakkan’ bahasa Melayu dalam karya-karya keduanya. Abrar Yusra (editor) dalam Amir Hamzah sebagai Manusia dan Penyair (1996:18) mengutip pendapat Anthony H. Johns yang mengatakan bahwa Amir Hamzah adalah penyair yang paling berhasil (finest) yang muncul di dunia Melayu di tahun-tahun sebelum perang dunia, dan yang pertama yang sepenuhnya menggali potensi-potensi Bahasa Indonesia untuk menjadi medium bagi ekspresi puitika modern.

Semangat menggali tiada henti sekaligus keinginan melonjakkan derajat bahasa Melayu yang demikian yang seyogianya dianut oleh penyair-penyair kawasan Asia Tenggara (rumpun Melayu). Namun, kalau semangat ini hanya dibiarkan tergeletak pada lantai wacana pragmatis, maka impian agar generasi muda tetap ‘tergiur’ terhadap karya sastra hanya lambai angan-angan.

Bukankah salah satu maklumat forum PPN adalah menggiatkan puisi dalam konteks melahirkan generasi yang kreatif dan inovatif? Oleh sebab itu, generasi abad modern membutuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar “rekah bibir bak buah delima”.

Penulis adalah sastrawan, staf Balai Bahasa Medan dan dosen luar biasa di FBS (Unimed).

Pengarang Sumut, Pengabdi Sastra Indonesia

Sugeng Satya Dharma

Kerap berpeci, semasa hidupnya pria tua bertubuh kecil ini adalah figur lelaki dengan kesetiaan yang luar biasa. Bertahun-tahun menjadi guru bahasa di SMP Negeri IV Tebing Tinggi Sumatera Utara, lelaki ini adalah potret seorang pengabdi sejati sastra

Indonesia.

Murid, tetangga dan teman-temannya menaruh rasa hormat yang sangat

besar kepadanya. Tutur katanya lemah lembut, nyaris tak pernah bernada emosi. Ketaatannya sebagai hamba Allah pun ia wujudkan dalam khusyuk sholat yang nyaris tak pernah alpa.

Ristata Siradt, dialah salah seorang sastrawan besar Sumut yang sunyi dari publikasi. Sampai wafatnya pun, kecuali segelintir teman dekatnya sesama seniman, nyaris tak ada orang yang memberi penghargaan lebih pada apa yang dikerjakannya.

Bahkan pemerintah setempat (Pemkot Tebing Tinggi, Sumut), tak cukup peduli terhadap keberadaannya. Padahal, selain sebagai sastrawan yang produktif, Ristata Siradt adalah dokumentator sastra satu-satunya di kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Lahir di Laras, Simalungun, Sumut pada 9 Juli 1932 dalam lingkungan keluarga

buruh perkebunan tembakau, ayah dan ibunya berasal dari Jawa Timur. Saniman,

ayahnya, berasal dari Ponorogo sedang ibunya Giah, berasal dari Trenggalek.

Ayahnya adalah seorang yang gemar memainkan gamelan dan ibunya pandai pula

mengalunkan tembang-tembang Jawa.

Kekentalan darah seni kedua orangtua itulah yang kemudian mengaliri buluh-buluh nadi Ristata. Meski demikian, semasa kecil Ristata justru tidak tertarik pada seni gamelan dan tembang Jawa. Ia justru lebih menyukai sobekan-sobekan “Sumatera

Shimbun”, Koran lokal terbitan Pemerintah Pendudukan Jepang. “Saat itu saya masih duduk di kelas tiga sekolah rakyat,” tuturnya.

Bacaan-bacaan itulah yang kemudian mengasah kepekaannya pada sastra.

Sampai ia dewasa dan kemudian menjadi guru, kegemarannya pada sastra terus berlanjut. Tak sekadar menulis cerita pendek, novel ataupun drama, ia bahkan bergelut dengan

potongan-potongan guntingan koran yang dikumpulkannya dari hari ke hari.

Sampai wafatnya pun guntingan-guntingan koran dan majalah itu, yang berisi macam-macam esai, cerita pendek, cerita bersambung ataupun puisi, ia kumpulkan di lemari usang yang ada di sudut-sudut rumahnya yang tua.

“Cerpen kau yang pertama kali dipublikasi, juga ada tersimpan di sini, Geng. Lihat saja,” katanya suatu kali saat saya berkunjung ke rumahnya. Aku cuma tersenyum. Bangga. Sayang, hanya sedikit orang yang mau peduli dan menaruh penghormatan tinggi atas pengabdian yang dilakukannya itu.

Kini pak Ristata sudah tiada. Ia pergi dengan kesetiaan seorang pengabdi, bahkan sampai akhir usianya. Tapi apakah semangat dokumentasi karya sastra yang dilakukannya itu sudah mendapat apresiasi yang sepantasnya dari masyarakat dan pemerintah? Ataukah museum kecil sastra Indonesia di sebuah rumah sederhana di pojok kota Tebing Tinggi (kurang lebih 60 km sebelah Timur kota Medan) itu, pada akhirnya dilupakan begitu saja?

Harian Kompas edisi Rabu 18 September 2002 pernah menulis; Museum kecil sastra Indonesia itu memang tak sebesar Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin. Museum itu hanyalah sebuah rumah milik seorang pria tua berusia 70-an tahun bernama Ristata Siradt.

Sebuah rumah yang setelah kematian isterinya, ditinggalinya bersama dua

cucunya. Bangunan tersebut begitu sederhana. Sebagian atapnya terbuat dari

anyaman daun kelapa, berdinding bata dan berlantai Semen. Perabotannya

juga amat sederhana. Tak ada kompor, hanya tungku batu dan beberapa potong kayu

bakar untuk memasak. Secara keseluruhan kehidupan pak Ristata adalah potret buram

seorang pensiunan guru di republik yang telah puluhan tahun merdeka ini.

Namun di balik kesederhanaan itu, rumah yang terletak di jalan Tengku Hasyim tersebut memiliki begitu banyak rak buku. Empat lemari ia gunakan untuk menyimpan bundelan kliping koran dan majalah yang berjumlah kira-kira 550 buah. Ada lagi tiga lemari pakaian berisi koran yang masih utuh. Memang, telah sejak tahun 1950-an pak Ristata mengumpulkan aneka buku sastra dan guntingan koran tentang sastra.

Selain itu, dia sendiri juga menulis aneka karya sastra seperti cerita pendek maupun novel, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa. Berbagai pojok

kota ia datangi untuk mendapatkan aneka kliping itu. Dengan masa pengumpulan

sekitar 50 tahun tanpa henti, bisa dibayangkan berapa banyak koleksi buku dan

data sastra yang dimilikinya.

Kliping karya sastra itu ia kumpulkan dari berbagai media seperti Kompas, Republika, Waspada, Analisa dan majalah seperti Horison. Termasuk di dalam koleksinya adalah karya-karya Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis sampai Danarto. Ia juga mengoleksi beberapa buku tua seperti karya Pramoedya Ananta Toer berjudul “Panggil Aku Kartini Sadja” cetakan pertama.

Sampai menjelang akhir hayatnya, perjalanan waktu tetap tak bisa menyurutkan semangatnya untuk terus mencipta karya sastra dan mengumpulkan karya tulis siapa saja. Kesibukan itu bahkan menjadi pekerjaan sekaligus hiburan bagi Ristata setelah tak lagi

mengajar. Dengan pisau silet merek Goal yang sudah tinggal separuh, sebuah penggaris, satu set spidol aneka warna, serta sebotol lem kanji dan sebuah kuas, pak Ristata terlihat khusyuk menekuni dunia klipingnya itu.

Apapun jenis tulisan, baik itu sastra, kritik seni, sejarah sampai politik, dikumpulkannya. Sedangkan koran, majalah dan kertas diusahakannya sendiri dari menyisakan sedikit gajinya sebagai guru. Setelah pensiun, koran dan majalah itu ia beli dengan sisa uang pensiunnya yang tak seberapa.

Beberapa koran bahkan hanya ia beli jika ada rubrik budaya dan sastranya. Selebihnya ia hanya menunggu seseorang datang ke rumahnya membawakannya koran-koran atau majalah bekas.

Tulisan-tulisan itu kemudian ia tempel pada sehelai kertas buram, lalu ia jilid sendiri. Jilidan yang amat sederhana namun rapi itu kemudian ia simpan dalam tujuh

lemari kayu yang sudah mulai keropos, bahkan beberapa di antara lemari itu ada pintunya

uang telah copot. Untuk memelihara agar jilidan dan bundelan itu tidak rusak, iapun mengikatnya dengan tali rafia.

Dibawa kabur harta tak ternilai berupa aneka buku dan kliping sastra itu sempat mengundang banyak peneliti dari luar negeri. Pada awal September 2002 misalnya, seorang peneliti Malaysia, Abdur Razzaq dari Asian Public Intellectuals bahkan membutuhkan waktu berjam­jam mempelajari aneka kliping milik Ristata sebelum memutuskan untuk menfoto copy ratusan lembar naskah yang ada.

Tak hanya Abdur Razzaq, hasil ketekunan pak Ristata itu juga berguna bagi banyak kalangan seperti mahasiswa dan peneliti. Dalam seminggu rata-rata tiga mahasiswa datang ke rumahnya mencari bahan untuk menulis skripsi. Namun sayang, di antara mereka yang mendapatkan manfaat dari museum kecil sastra Indonesia itu, terselip pula orang yang mementingkan diri sendiri.

Beberapa tahun yang lalu ada seseorang yang meminjam koleksi kliping Ristata, namun tak mengembalikannya. Lebih dari 20 kilogram kumpulan tulisan itu dibawa kabur. Katanya untuk penelitian. Namun hingga pak Ristata wafat kliping-kliping itu tak juga dikembalikan. Pak Ristata sendiri sempat mengaku kapok meminjamkan dokumentasinya. “Sejak kejadian itu tak seorang pun saya bolehkan membawa kliping keluar dari rumah saya. Lebih baik saya membuatkan fotokopi dan saya sendiri yang akan mengantarkannya,” papar Ristata kala itu.

Atas dedikasinya pada dunia sastra itu, semasa hidupnya Dewan Kesenian Medan pada tahun 1982, menganugerahinya gelar Sastrawan Terbaik Sumatera Utara. Lalu pada tahun l984 naskah dramanya berjudul “Neraca” juga mendapat kesempatan untuk dipentaskan secara kolosal pada penutupan MTQ Nasional XVII di Tebing Tinggi.

Hebatnya, meski kesastrawanannya diakui secara nasional, sampai akhir hayatnya pak Ristata tetaplah pribadi yang bersahaja dan murah hati. Bahkan pengabdiannya

pada sastra dan dokumentasi tetap tak berkurang seperti kebiasaannya lari pagi

yang juga tak pernah berhenti. “Saya akan terus menulis dan membuat kliping sebagaimana saya terus berlari,” paparnya suatu kali. Ah….! (*)

*Penulis adalah Penyair dan Koordinator Gerakan Relawan Medan Hijau (Gerilya-Mu)

Rabu, 26 Januari 2011

Sejumlah Tokoh Ikuti Dialog Budaya Refleksi Akhir Tahun

Dengan cekatan kedua tangan Bang Yuliadi membagikan jagung, pisang dan kacang rebus kepada tetamu yang datang di Taman Budaya Sumatera Utara Kamis (30/12) malam. Rejeki ayah empat orang anak itu berubah seketika jika dibandingkan hari-hari sebelumnya. Bayangkan, dalam waktu dua jam sekitar 400 buah jagung dan pisang, 30 kg kacang tanah ludes diborong pengunjung.
"Kalau mangkal di depan Stadion Teladan bisa berjam-jam menghabiskan dagangan sebanyak itu. Ini rejeki akhir tahun melalui acara ini," ujar lelaki yang biasa disapa Yul.

Warga Helvetia itu memang sedang ketiban rejeki. Keberadaannya di Taman Budaya Sumut bukan tanpa sebab. Melalui panitia “Dialog Budaya Refleksi Akhir Tahun”, Bang Yul diminta menyediakan makanan ringan kepada tetamu undangan. Tentunya dengan menrima sejumlah imbalan.

"Saya terima Rp1,2 juta dari panitia untuk jagung, pisang dan kacang rebus itu," ujarnya polos. Memang bukan hanya Jagung, pisang dan kacang rebus yang tersaji. Ada Gorengan, cemil dan minuman susu panas yang disantap tetamu sambil lesehan di lantai. Ya, tidak seperti layaknya acara yang biasa dihadiri pejabat, acara malam itu para tetamu duduk di lantai sambil menikmati hidangan dan sajian acara baca puisi. Untuk baca puisi, beberapa pejabat seperti Wagubsu Gatot Pujo Nugroho, Kejatisu, Wakapoldasu, DPRD Sumut M Afan Lubis turut ambil bagian.

Mari tinggalkan soal hidangan dan baca puisi yang tentunya lebih mengedepankan sikap individualisme. Selanjutnya kita melangkah pada dialog budaya yang menjadi topik utama dari kegiatan refleksi akhir tahun.

Dalam dialog ini berkesempatan menjadi narasumber pemantik Wakil Gubernur Gatot Pujo Nugroho dan Rektor IAIN Sumut Prof Nur Ahmad Fadhil Lubis dan moderator mantan pejabat Walikota Afifuddin.

Rektor IAIN mengatakan budaya bukan untuk dipolemikkan tetapi untuk dinikmati. Seberapapun perbedaan seni dan kebudayaan yang ada bukan untuk dipersoalkan melainkan keragaman yang patut dihargai dan dipertahankan sebagai alat pemersatu.

"Refleksi akhir tahun ini saya ingin menyampaikan tidak pakai logika ilmiah ataupun tidak pakai penelitian. Saya melihatnya sebagai global paradoks. Seperti kondisi kekinian, lihat saja yang datang ke mesjid dan gereja semakin bertambah tetapi tingkat kriminalitas semakin tinggi. Korupsi, kolusi dan nepotisme semakin meningkat," ujarnya.

Sementara itu, Wagubsu Gatot Pujo Nugroho mengatakan persoalan seni budaya merupakan salah satu prioritas pemerintah. Oleh karenanya kegiatan seperti dialog budaya sangatlah diperlukan sebagai wadah menyampaikan uneg-uneg, sharing untuk kelestarian seni dan budaya di Sumatera Utara. Bahkan secara khusus Gatot menyampaikan kepada Sekda untuk memperhatikan kondisi Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) yang butuh sentuhan.

"Karena ciri-ciri negara maju adalah negara yang menghargai budaya, jasa para pendahulunya. Untuk itu even seperti ini sangatlah diperlukan langsung bertemu dengan para seniman dan budayaan ditaman budaya ini," ujar Gatot.

Tidak kalah serunya adalah kritik keras dilontarkan salah seorang seniman, Idris Pasaribu tentang tidak adanya kinerja Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU). Menurutnya sudah 14 tahun dewan kesenian berdiri namun tidak pernah memberikan kontribusi terhadap kesenian dan kebudayaan di Sumut. Selain itu Idris juga mengkritisi perhatian pemerintah yang minim.

"Bayangkan saja APBD Sumut sebesar Rp 4,2 triliun dana kesenian dan kebudayaan hanya Rp 480 Juta. Bandingkan dengan Sumbar yang APBD-nya Rp1,8 triliun dana keseniannya 8,3 miliar, Riau sekitar Rp 9,3 triliun dana kesenianya Rp 43 miliar. Bagaimana nasib seni dan kebudayaan kita ke depan. Pariwisata tanpa kesenian dan budaya pasti mati. Percayalah pasti mati," tegasnya.
Menanggapi hal tersebut Gatot merasa bersyukur karena mendapat masukan yang diberikan oleh peserta dialog.

Inilah sebenarnya yang kita harapan. Sehingga terkuaklah informasi-informasi yang kita tidak tau. Saya ingin ada optimalisasi kebangkitan di Taman Budaya ini. Mudahan-mudahn jika di- R (rencana) belum terealisasi di P (perubahan)-nya akan terakomodasi dan sudah dianggarkan," ujar Gatot, disaksikan sastrawan, seniman dan budayawan serta tokoh-tokoh yang hadir, seperti Idris Pasaribu, YS. Rat, Raudah Jambak, Teja Purnama, dll,. (irvan sugito)

Puisi dan Secangkir Teh di Sebuah Senja

Alex R Nainggolan seorang penyair dari Jakarta di dalam artikelnya yang berjudul Puisi sebagai Perang Filsafat menuliskan bahwa puisi merupakan sebuah permainan diri, dimana seluruh unsur tubuh bergerak. Sejumlah diksi yang tersusun, lebih layak disebut sebagai kesatuan yang unik. Puisi selalu berhadapan pula dengan filsafat, bagaimana penyair mengembalikan keyakinan, sikap, keraguan, kecemasan, kemarahan, kejengkelan, atau nuansa main-main terhadap hidup.
Lebih dahsyat lagi seorang Acep Zam Zam Noor mengatakan bahwa ukuran sebuah puisi adalah bulu kuduk. Wow, sebegitu dahsyatkah pengaruh menikmati puisi?.

Itulah sebabnya mengapa puisi tak"kan bisa hilang dari bumi seperti yang ditulis seorang pandai fiksi dan nonfiksi, Hasan Al Banna di dalam catatan pembukaan yang ada di buku antologi puisi yang sampul depannya didominasi warna biru ini, dan fenomena sepak terjang puisi ini juga dibuktikan dengan beberapa tahun belakangan ini khususnya di Sumatera Utara sendiri sangat gencar untuk menyebarkan aroma giat membaca dan menulis sehingga memunculkan banyak komunitas penulis muda. Intinya saat ini siapa saja bisa jadi penulis, pengarang dan penyair.

Dalam hal ini, FLP (Forum Lingkar Pena) wilayah Sumut sebagai salah satu wadah para penulis muda kembali turut menambah semarak warna kepenulisan fiksi di Sumut dengan menghadirkan karyanya berupa puisi tapi rasa nano alias dalam bentuk kumpulan puisi dari para anggotanya.
Ada terdapat 23 penyair dengan 129 puisi yang termaktub di dalam antologi ini, dengan berbagai ciri khas para penyairnya, seluruh puisi dalam antologi memiliki citra rasa yang berbeda-beda, bagi para pembaca yang senang dengan puisi bertema cinta dan romantisme mungkin Anda bisa menikmati puisi dari salah satu penyair muda bernama Fitri Amaliyah, berjudul "Mengeja Cinta" atau juga pada koleksi puisi dari penyair yang bernama lengkap Lailan Syafira, "Cinta", Rhoma bilang / hidup tanpa cinta / bagai taman tak berbunga / Gibran pernah berkata dalam syairnya / cinta tidak menyadari kedalamannya / sampai ada saat perpisahan/ …..

Tidak hanya itu, puisi religi juga cukup mendominasi antologi ini dan bisa membuat pembaca terdiam dan merenung sejenak, misalnya saja pada koleksi puisi Nihayah Rambe, penyair yang karya sudah banyak menghiasi lembaran kolom puisi di beberapa surat kabar yang ada di Medan ini, punya puisi andalan yang menceritakan dahsyatnya peristiwa Kiamat hanya dengan sekali tiupan. "Tiupan Dahsyat I dan Tiupan Dahsyat II", adalah judul puisi wanita yang juga sebelumnya pernah menerbitkan buku antologi puisinya yang pertama berjudul "Tinta ini Cinta Pertama".

Tema puisi lainnya yang turut mendominasi buku antologi puisi yang diterbitkan oleh Format Publishing ini adalah tema sosial, tak heran jika seorang penyair cukup memiliki rasa peka luar biasa terhadap sekitar sehingga dengan puisi, mereka bisa menyuarakan fenomena sosial dengan cara yang lebih elit namun sedikit menyentil nurani siapa saja yang membaca. Ada puisi karya Amrin Tambuse yang berjudul "Jangan Tanya, Adikku" dan "Di Lumbung Laparku", tentang kondisi negeri ini dan juga ada koleksi puisi bertema sosial dari Ratna Dwi, sejumlah puisinya diperoleh dari pengamatannya terhadap kondisi masyarakat yang menggedor-gedor saraf puisinya, seperti puisi yang berjudul "PKL" tentang pedagang kaki lima yang harus berurusan dengan Kamtibnas, "Emas di Negeri Orang" yang ide puisinya diperoleh dari pemberitaan seputar nasib buruk TKI di luar negeri dan masih banyak lagi.

Lalu bagaimana dengan judul antologi puisi FLP Sumut kali ini? Judul yang cukup unik dan itu adalah salah satu judul puisi yang ditulis oleh Amisha Shahidah serta terpilih menjadi judul sampul buku setebal 196 halaman ini, puisi tersebut cukup sederhana, sebuah pendeskripsian yang sangat indah terhadap salah satu huruf hijaiyah, bahkan huruf hijaiyah pun bisa dijadikan puisi. Nuun…huruf hijaiyah kedua lima /dibalik berbentuk bulan sabit / dengan bintang berjari lima / menambah terang di sudut langit / nuun…kutulis kau di dalam hati / mengobati hatiku yang sedang sakit.

Terkadang di tengah hiruk pikuk rutinitas kehidupan, bagi jiwa-jiwa yang dingin sangat baik adanya untuk duduk tenang sejenak sambil berteman secangkir teh hangat di sebuah senja dan membaca puisi khususnya puisi yang terdapat buku Antologi Puisi " Nuun" ini, sehingga dengan begitu perlahan demi perlahan ada kehangatan yang mengalir diam-diam ke dalam jiwa Anda.

Penulis adalah mahaiswa IAIN Fak Tarbiyah, dan Sekum FLP Sumut. (nurul fauziah)

Membaca Tongging

M. Raudah Jambak

Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun:
Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan. Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci:

Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati.
Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus
dimensi tempat kau terbiasa menari
Abadikan harum aroma tubuhmu:

Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali.
Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kakimu yang lembut,
bergesekan bilah kaca atau hunus duri
mereguk alir peluhmu:

Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut
memohon diri

Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba:

Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari
lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira
yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu,
di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam
hidangan dongeng dan legenda

Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk.
Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama:

Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar
pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari
kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan. Ruap asap jagung bakar,
yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan

Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan
Adat seolah memperkenan pemberian marga antara
kepentingan dan kebanggaan

Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu
Siang dan malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya
Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam

Pada bahuku yang aduh, engkau pun luruh. Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar. Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air. Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya.

Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian. Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku:
Mendengar debur ombak di dadaku. Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan.

Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia:
Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban
Pada bentangan langit paling luas

kuajak kau terbang sambil menyanyikan semesta.
menggugurkan berjuta irama dengan sempurna:

belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna, dan kita
arungi semesta, bersama

Medan, 08-10

Bintang Anak Tuhan; Novel Tidak Hanya Bercerita tentang Tokoh Saja

Suyadi San

Judul : Bintang Anak Tuhan
Penulis : Kirana Kejora
Tebal : x-266 halaman
Penerbit : Hi-Fest Publishing
Ukuran Buku : 13 x 19 cm
Jenis Buku : Sastra/novel
Certakan : I, Jakarta
ISBN : 978-602-8538-17-6

JIKA berbicara tentang HIV AIDS, banyak orang langsung mengaitkannya dengan masalah sex. Kemudian menyimpulkannya, kalau HIV AIDS, adalah terkutuk. Orang yang terkena AIDS, langsung dikucilkan bahkan dimusuhi. Semua ini, karena kurangnya informasi tentang apa itu AIDS, kemudian tersebarnya secara cepat virus informasi, kalau AIDS itu adalah penyakit yang tak boleh didekati.

Entah sadar atau tidak, entah hanya bersandar pada gencarnya isu dan informasi sekilas atau hanya bersandar pada pengetahuan yang didapat dari ‘kebenaran katanya’, sehingga sebagian besar masyarakat menganggap atau meyakini, HIV AID, penyakit paling iblis ini, bermula dari hubungan seks bebas. Padahal untuk kasus moral atau susila ini sama sekali bukan barang baru di dunia seks. Dari zaman ke zaman, bahkan pada jaman nabi pun, pergaulan seks bebas (sodomi), sex abuse dan sejenisnya sudah begitu purba. Pertanyaannya, kenapa HIV AID baru muncul pada paruh akhir abad 21?

Petaka Ethiopia

Lebih dari satu windu negeri gurun di Afrika (Ethiopia), embun pun nyaris tak turun – apalagi hujan. Kelaparan bagai gemuruh suara burung gagak menyeruakkan kematian dan kelaparan. Dari sini sesungguhnya virus yang menghancurkan system kekebalan tubuh itu berasal.

Dari hancurnya seluruh system biologi yang awalnya bermuara dari wabah hypocalemi alias wabah kelaparan – lantas virus iblis yang bernama HIV itu lahir dan migrasi ke seluruh dunia. Virus yang lebih dekat dengan fenomena sampah seks ini, bukan dari hubungan seks bebas itu sendiri. Penularannya memang lebih mengarah ke hubungan seks. Ciuman saling nelan ludah atau gigitan sampai berdarah, benar, virus momok itu menular.

Pengetahuan atau informasi lahirnya virus dan bukan system penularannya disampaikan secara benar, mungkin menganiayaan kemanusiaan terhadap penderita HIV tidak seganas dan semengerikan seperti yang kini terjadi, khususnya di negeri ini. Jika mau berbanding terbalik dengan keganasan penyakit yang juga sebenaranya sangat mematikan, Hepatitis-B sebuah misal, justru virus yang menyerang hati, jauh lebih mudah menular kepada orang lain. Tempat duduk penderita hepatitis saja bisa menginfeksi tubuh orang lain. Ini sebuah realita yang harus dicerdasi oleh siapa pun.

Beberapa tahun sebelum masehi, suatu penyakit dianggap sebagai setan. Penderitanya dikucilkan bahkan bisa dianiaya beramai-ramai dan tidak dianggap sebagai manusia lagi. Di samping sebagai suatu kutukan, penyakit itu dinamai lepra atau kusta. Untuk jenis penyakit ini selain tubuh penderitanya rusak, tulang-tulangnya bisa lepas, namun juga bersandar pada nilai-nilai mitos.

Bercakap-cakap Secara Langsung

Membaca Bintang Anak Tuhan, sesungguhnya novel ini tidak sedang berkisah tentang tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Bu Nur (pekerja kemanusiaan pada panti asuhan) Hanum (tokoh sentral), Bintang (anak Hanum), dokter Luhur, semua seperti sedang berbincang dengan pembaca. Ini salah satu pembeda dari enam buah novel Kirana sebelumnya. Meski naratif, tanpa sadar secara emosi (bukan empati), keterlibatan emosi itu cukup tandas, sehingga novel ini nyaris tidak memberi jarak antara pembaca dan penulisnya.

Rasa bahasa dan batin seorang anak dan ibu, bahasa seorang perempuan dalam berbagai problematika keluarga dan kemanusiaan (fitrah) perempuan (bukan hanya bertumpu pada penyakit yang mematikan, HIV). Lebih kepada perasaan dan sikap hidup secara general, umum, bahkan universal, ketika wanita harus dihadapkan pada jalan macet total, stagnasi, dalam memahami makna hidup dan kehidupan dan sejumlah masalah yang menggerus jiwa.

Hidup terasa terasing pada diri sendiri. Menjadi pengemis kasih sayang dan perhatian atau sedikit pengertian atas sebuah nilai harga diri kemanusiaan itu sendiri. Sesekali penulis coba menggali dan memadankan suatu peristiwa batin, termasuk daya yang hendak dipacu, menyemangati diri tanpa sesiapa, dia mengutip stigma-stigma bijak dari tokoh2 dunia, baik sosial, psikologi, politik serta napak tilas perjuangan para penderita HIV AID. Pengayaan pengetahuan referensip inilah yang makin mampu membangun suspensi pembaca (dengan tanpa merasa dipaksa untuk ikut terlibat dalam arus dinamika non mellow total).

Pergolakan seorang anak yang ingin mengatahui wajah kedua orang tuanya, adakah bisa kita bayangkan, bagaimana seorang buta yang ingin mengetahui wajahnya sendiri saja tak mampu ketika mau meraba wujud wajah dengan meraba – sedang si buta tak memiliki kedua tangan? Ruang kepedihan yang tak mampu diungkap dengan kalimat inilah – Kirana coba memberikan nuansa-nuansa prasa dan metafora dan diksi yang nyaris banjir di novelnya kali ini.

Novel yang prosais dan puitikal ini, memang bukan hal yang baru. Demikian pula, pergolakan demi pergolakan Kirana dalam memahami perjalanannya sendiri – dia mampu mengemas sejuimlah pertikaian batin kewanitaannya, sekaligus seorang ibu dari anak-anaknya. Dari sana kejujuran analisa termikal kehidupan tumpah ruah atau bahkan ditumpahkan seluruhnya.

Bukan Hanya Sekadar HIV

HIV AID memang mulai sunyi dalam bincang, bahkan nyaris tak tersentuh lagi oleh media apa saja. Petaka kemanusiaan ini telah tertelan oleh riuh politik dan korupsi. Novel Bintang Anak Tuhan ini sedikitnya telah mampui menggugah kesadaran, bagaimana sesungguhnya martabat seorang penderita HIV dalam menyelesaikan sisa hidupnya yang suatu saat akan merenggutnya? Sebut saja, penderita HIV adalah hakikatnya sudah mati sebelum ajal.

Di sisi lain, menyimak novel ini, sesungguhnya tidak hanya menyoal penderita HIV, namun menuturkan perjuangan wanita, perasaan wanita, integritas moral sosial, kepedulian dan kesadaran normatif kebersamaan tanpa menyaksikan bentuk dan wujud keberadaannya. Novel ini cukup menarik untuk dibaca oleh siapa saja – juga tak membatasi usia pembacanya.
Dari berbagai sumber.

Karya Sastra Berdimensional Tunggal

Damairi Mahmud

Apakah yang kita harapkan dari sebuah karya kritik? Dalam tradisi sastra lisan, peran itu dimainkan oleh dalang, pawang, pendidong atau awang batil. Dari tangan mereka sebuah karya tersampaikan kepada khalayak ramai. Bahkan, karena karya selalunya anonym, apa yang mereka mainkan itu seolah milik mereka.

Dengan demikian sebuah karya, walau bagaimanapun, sudah tidak murni lagi. Dia sangat tergantung kepada gaya dan bagaimana mereka memainkannya. Hal ini tentu saja, sedikit banyaknya, bergantung kepada observasi mereka terhadap calon penontonnya karena kehendak supaya apa yang disajikannya mudah dicerna oleh mereka. Bahkan tak jarang, mereka sengaja membuka celah, semacam kesempatan tanya-jawab, sehingga apresiasi menjadi tumbuh dan karya-karya bertunas dan menjadi buah bibir.

Dalam tradisi sastra tulis atau sastra modern kita yang usianya masih sangat muda, peran itu sebagian besar digantikan oleh kritikus. Karena kritikus itu masih dirasakan sebagai “barang baru”, dia dinggap sebagai “dewa penyelamat” yang harus dielu-elukan. Dia berperan ganda dan bermuka dua.

Pada satu sisi, oleh sebagian sastrawan kritikus dianggap dapat menaikkan harkat dan mutu karya sastra mereka. Para kritikus dikerubungi, didekati dengan berbagai cara. Seorang sastrawan merasa senang atau bangga kalau karyanya dibicarakan dan dipuji, sebaliknya menjadi terpuruk apabila dikerjai dan dicincang oleh kritikus.

Fenomena ini memberi celah kepada kritikus seolah dia “dihargai lebih”, sehingga memberikan kewenangan kepadanya untuk bertindak atau menilai secara leluasa. Sebaliknya, mungkin sekali dia menjadi “takut” menulis karena kemungkinan akan “dimusuhi” karena dia merasa bukan lagi terutama bersentuhan dengan karya, tetapi dengan “daging” pengarangnya.

Menurut hemat kita, sebenarnya hal ini tak perlu terjadi. Seorang sastrawan tak perlu begitu menghiraukan apa yang ditulis oleh para kritikus. Karena apa mereka tulis belum tentu telah menjadi sesuatu yang final. Lebih penting, peran kritikus itu, sebagaimana yang terjadi terhadap sastra lisan kita di atas, lebih sebagai dalang atau awang batil. Mereka berusaha memainkan dan menafsirkan karya yang disugukannya kepada penonton atau pembaca menurut versi dia.

Pada sisi inilah para kritikus seharusnya mengarahkan tulisannya. Hal ini karena hakikat karya sastra yang baik bentuk maupun isinya selalu tidak terdedahkan. Ada sesuatu tersirat dan tersembunyi yang harus dikuak oleh kritikus, sehingga makna karya itu dapat dinikmati oleh pembaca.

Meskipun demikian, peran kritikus pada sisi ini pun ada bahayanya atau sangat berbahaya. Sebagaimana dalang dan awang batil atau pendidong tadi yang menganggap seolah karya yang dimainkannya menjadi miliknya, dalam sastra modern pun apabila peran kritikus terlalu dominan terhadap pembaca, maka karya sastra yang berada dalam tangannya menjadi bermakna tunggal.

Apa yang mereka katakan atau tafsirkan terhadap sebuah karya, selalu diikuti dan disetujui oleh para pembaca bahkan secara fanatik. Pembaca selalu tidak mau lagi mencari sendiri akan makna sebuah karya yang dibacanya. Bertambah berwibawa seorang kritikus otomatis bertambah besar pengaruhnya terhadap pengarang dan pembaca. Fenomena semacam ini dialami oleh H. B. Jassin dan A. Teeuw. Mereka malang melintang selama lebih setengah abad dengan sangat leluasa.

H. B. Jassin misalnya, pernah diminta oleh Pramoedya Ananta Toer supaya bersedia membicarakan sajak-sajak penyair Lekra. Jassin menolak, karena perbedaan faham dan ideologi. Mungkin sekali di antara karya-karya penyair Lekra itu ada yang berbobot, tapi karena Jassin sudah menampik, mereka kemudian tenggelam dimakan masa.

Buku Jassin yang paling monumental adalah Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Berkat buku itu, nama Chairil menjulang serta diapreasi dan diterima oleh masyarakat. Sebaliknya, nama Jassin sebagai kritikus pun mengorbit dan tidak lagi tergoyahkan. Apa yang dia katakan dalam buku itu tentang Chairil, telah diikuti oleh semua orang yang membaca dan mempelajari Chairil dan telah dibakukan dalam kurikulum.

Seorang pelajar atau mahasiswa tak mungkin lagi atau tak diberi peluang untuk membuat jawaban yang menyimpang dari pendapat Jassin (dan Teeuw). Hal ini tentu tidak diharapkan dan jelas keliru. Sebagaimana sifatnya yang kodrati, karya sastra yang ambiguitas dan multipretabel tidaklah pernah selesai dan final untuk dibahas dan ditafsirkan.

Apabila Jassin dan Teeuw mengatakan bahwa karya-karya Chairil, terutama sajaknya Aku, sangat terpengaruh kepada vitalisme Barat, terutama Slauerhoof dan Marsman, hal itu belum tentu seratus persen benar. Bila mereka mengatakan ungkapan yang telah menjadi trade-mark Chairil, “Aku mau hidup seribu tahun lagi” mendapat inspirasi dari kedua penyair Belanda itu, kita tak perlu menelannya bulat-bulat. Masih ada celah untuk menepis tafsiran itu.

Misalnya kita tahu, Chairil lahir dan dewasa di Medan. Chairil sendiri mengaku, dalam suratnya kepada Jassin, dia telah mengambil sikap untuk berkesenian secara penuh ketika berusia 15 tahun. Ini berarti sikap itu diambilnya ketika masih di Medan dan masih lama tinggal di Medan. Kalau diingat, Chairil bertolak ke Jakarta baru pada usia 20 tahun!

Seseorang yang telah bersikap seperti itu, tentu telah mengisi dirinya dengan bekal dan segala macam piranti yang diperlukan. Kalau kita telisik seluruh karyanya yang tidak berapa banyak itu, lebih kurang 70 biji sajak asli, akan terlihat dengan gamblang seluruh sajaknya dipenuhi oleh kosakata khas Medan.

Ketika Chairil berkata, “Kami jalan sama” dalam sajaknya Kawan dan Aku yang membuat Teeuw kebingungan. A. Teeuw buru-buru mengatakan, itu adalah bahasa yang buruk sekali. Sekali gus A. Teeuw memuji keberanian Chairil sebagai pembaharu yang merusak bahasa. Kalau waktu itu dia mau datang ke Medan, filolog itu akan segera tahu, ungkapan itu sangat lazim di Medan.

Begitu juga dengan larik “Aku mau hidup seribu tahun lagi” yang sudah melegenda itu. Kedua kritikus itu tak perlu mencari-carinya jauh-jauh sampai ke Barat atu ke negeri Belanda sana, karena di Medan pun, bahkan ungkapan itu sudah klasik dan klise! Orang-orang Medan, apalagi pada jaman Chairil, biasa mengungkapkan itu dalam percakapan sehari-hari. “Mau hidup seribu tahun kau! Mau jadi tongkat dunia!” Atau: “Mampus kau! Seribu tahun pun kau hambus, aku tak perduli!” Ada pula lagu senandung Melayu, “Seribu tahun takkan lama. Hanya sekejap saja…”

Masalahnya apa yang telah dikukuhkan oleh para kritikus (yang berwibawa) umumnya sangat susah diungkai. Di tangan mereka karya sastra tidak lagi poly-interpretable, tapi sebaliknya bermakna tunggal. Ketika saya mengemukakan di berbagai perguruan tinggi, sajak Amir Hamzah yang sangat terkenal Padamu Jua sebagai sajak cinta yang gagal atau sajak patah hati, banyak mahasiswa yang dapat memahami penafsiran saya. Hal itu menjadi dilematis oleh karena mereka terikat kepada silabus yang telah membakukan pendapat para kritikus bahwa sajak itu adalah sajak relijius bahkan bernuansa tasawuf.

Kalau kita menyetujui hakikat karya sastra sebagaimana yang kita kemukakan di atas, maka otoritas para kritikus semacam ini tidak dapat dibiarkan. Kurikulum dan silabus hendaklah diubah sedemikian rupa, sehingga para siswa leluasa mengemukakan pendapat dan jawabannya selagi itu ditunjangi oleh argumentasi yang dapat diterima.

KRITIK SASTRA

SEPERTI dikatakan banyak orang, kritik sastra selain sebagai penghakiman terhadap sebuah karya sastra, namun dia sangat dibutuhkan. Kenapa? Karena kritikik sastra sebuah pembelajaran bagi penulisnya sendiri, juga sebagai pembelajaran bagi pembaca dan peminat sastra itu sendiri.

Chairil Anwar, tidak akan pernah dikenal jika H. B. Jassin tidak membedah dan mengkiritik puisi-puisinya. Aku-nya Chairil Anwar tidak akan pernah menjadi apa-apa, jika H. B. Jassin tak mengungkapkan bagaimana Chairil justru mengobrak-0brik Bahasa Indonesia.

Bukan berarti kritikus sastra justru menjadi hakim bagi penyair, cerpenis dan penulis karya sastra lainnya. Tidak. Ada juga kritikus sastra yang tidak objektif. Mereka justru membunuh si pesastra itu sendiri. Kenapa, karena apa yang ditulis oleh sang kirtikus, justru menjadi pegangan kuat bagi pembaca dan peminat sastra lainnya.

Bagaimana dengan Sumatera Utara? Dulu, almarhum Herman Ks, orang yang paling dekat dengan para penulis muda. Herman banyak mengapresiasi, mengkritik karya-karya orang muda. Selain itu, Herman memberikanmasukan yang berharga bagi para penulis pemula, membuat penulis pemula menjadi semakin bersemangat untuk menulis.

Dari kalangan muda, pernah ada Mihar Harahap dan Ikhwan AR (sekarang Dr. Ikhwan Azhari) yang sangat apresiatif terhadap penulis muda dan membakar semangat mereka untuk terus menulis. Ketika kaum tua -dulu ada kelompok kaum tua dan kelompok kaum muda- mengkirityk bahkan membunuh kaum muda, Ikhwan AR dan Mihar Harahap bangkit membela kaum muda. Bukan sampai di situ, Ikhwan AR dan Mihar Harahap sebaliknya justru mengeritikhabis-habisan karya-karya kaum muda. Bahkan ada seprang penyair senior yang tak berani lagi menulis, karena tajamnya kritik Ikhwan AR ketika itu.

Bagaimana sekarang?

Ada yang mengatakan, untuk apa lagi kritik sastra? Para redaktur adalah kritikus utama dan pertama, yang menentukan dimuat atau tidaknya karya sastra di koran/majalah. Kritikus kedua adalah pembaca. Apa yang dikatakan itu ada benarnya. Perlu diingat, kalau redaktur selain apa yang diangaponya baik, juga apa yang sesuai dengan warna media yang "dijaganya". Media tak terkelepas dari "jualan", karena media juga adalah
industri.

Bagaimana dengan pembaca? Benar, pembaca adalah kritikus tingkat akhir dari sebuah karya sastra. Hanya saja perlu diingat, apakah semua pembaca karya sastra mengerti akan sastra? Pembaca hanya membaca, kemudian dia dapat menikmatinya saja. Pembaca tentu tidak akan mengetahui sejauh mana seluk-beluk sastra.

Kemudian ada lagi yang mengatakan, untuk apa mengetahui seluk-beluk sastra dengan sejuta teori. Ketika membaca sastra, pembaca tidak perlu tahu tentang teori sastra. Bagi pembaca, karya itu bisa dia mengerti dan mampu dinikmatinya. Untuk apa teori-teori, tapi pembaca tidak mengerti apa yang dia baca?

Perlukah teori sastra atau tidak, kini sedang hangat dibicarakan, baik di Medan bahkan di berbagai kota di Jakarta dan kota-kota lain di Jawa. Sebenarnya, perlu tidaknya, tergantung siapa yang mengatakan. Jika para kaum akademiisi, terlebih para mahasiswa fakultas sastra, pasti mereka mengatakana perlu. Sejauh mana kepentinagan masing-masing.

Menurut hemat penulis, kritik sastra itu sangat perlu, agar penikmat sastra juga bisa memahami apa dan bagaimana karya sastra itu. Sementyara bagi para akademisi, terutama para mahasiswa fakultas sastra kritik sastra itu memang sangat penting, karena mereka mempelajarinya dei bangku kuliah.

Bagi penulis, kritik sastra di Sumatera Utara memang sangat kurang. Tidak seperti tahun 1970-an dan 1980-an. Maraknya sastra di dua dekade itu, karena maraknya kritik sastra, membuat para pekarya sastra juga menjadi dinamis. Dengan adanya "perlawanan" kaum tua dan kamum muda ketika itu, dinamika sastra di Sumatgera Utara khususnya Medan demikian hangat. Terlebih ada ungkapan dari kalangan kaum tua (baca senior) yuang mengatakan:" sastrawan muda itu sangat cengeng, karenanya dibunuh saja."

Membaca pernyataan itu, kaum muda menjadi "marah" dan bangkit. Penulis yakin, kalau ucapan itu bukan sebuah unsur kemarahan. Kitya anggap saja, ungkapan kaum tua ketika itu, sebagai sebuah campuk bagi kaum muda untuk bangkit. Ruang remaja & pelajar di berbagai koran pun serentak bangkit menulis, melakukan perlawanan terhadap kaum tua. Ada abrakadabra, ada ruang remaja Analisa dan berbagai koran memuat tulisan-tulisan yang intinya melawan kaum tua.

Almarhumm Herman Ks, tetap pada pendiriannya. Dia tetap netral dan sangat menghargai karya-karya anak muda. Sesekali, dia juga mengkritik karya teman-temannya seangkatan, kemudian membela kaum muda dan menyalahkan kaum tua. Herman Ks, kini telah tiada. Sebenarnya kita berharap untuk Medan (Sumatera Utara) ada Herman Ks yang lain yang mau dekat dan memberikan apresiasi terhadap kaum muda, untuk membakar semangat kaum muda untuk terus berkarya.

Dengan demikian, penulis mengatakan, kalau kritik sastra yang membangun dan netral itu sangat perlu, tentu juga dengan memakai teori kritk sastra, agar para penikmat sastra tidak tersesat di hutan sastra yang rimbun. Idris Pasaribu

Kritik Sastra Indonesia (Mutakhir); Antara Akademik dan Non Akademik

Sakinah Annisa Mariz

Sebelumnya penulis ingin menyatakan Bravo untuk langkah-langkah yang telah terjadi dalam perkembangan kritik sastra di Indonesia. Problematika kritik sastra, memang menarik untuk dibahas.

Terbukti, tulisan pada tanggal 19 Desember 2010 yang berjudul “Kritik Sastra Indonesia (Mutakhir), Benarkah di Ambang Kepunahan?” mendapat respons oleh akademisi sastra dengan tulisannya “Kritik Sastra (Lokal) Benarkah di Menara Gading” pada tanggal 2 Januari 2011, Bapak Yulhasni selaku Dosen Sastra FKIP UMSU.

Mengkritisi Kritik Sastra

Pengertian “kritik sastra” dari dahulu (500 S.M) sampai sekarang selalu berubah, menurut Ren? Wellek dalam (Purba, 2010: 28). Penggunaan istilah “kritik sastra” dapat meluas ataupun juga menyempit sebagaimana karya yang lahir pada zaman itu dan terkait konteks yang melatarbelakanginya (termasuk di dalamnya kritikus dan teori yang digunakan). Oleh sebab itu, kritik sastra dibagi menjadi kritik sastra ilmiah (Kritik Akademik) dan kritik sastra non-akademis (Kritik Populer).

K. M. Newton pada tahun 1994 dalam bukunya Interpreting The Text, telah mengkaji dan menganalisis kritik sastra sebagai bagian dari perkembangan sebuah karya. Dia menjelaskan bahwa dalam tataran kritik, seringkali orang-orang memusatkan perhatian pada penafsiran sebuah karya saja, sehingga mengabaikan pertimbangan lainnya, seperti kesepakatan tentang seharusnya seperti apa teks sastra akan ditafsirkan. Dengan pendapat ini, kita merasakan, situasi tentang kritik populer dan akademis dibedakan berdasarkan pelaku yang mengkritisinya dan keterkaitan ideologi umum.

Kita menyadari, saat ini, kehadiran teknologi membuat masyarakat penikmat sastra kita lebih “kritis” daripada kerja kritikus sastra (yang berwibawa dan muncul sesekali untuk membahas sebuah karya) dan -pastinya- menjadikan karya sastra lebih kontroversial.

Fungsi media massa, seperti koran, majalah, maupun internet serupa Twitter, Facebook, Blogger dan ruang bagi pembaca lainnya menunjukkan, telah terjadi semacam fenomena “kebebasan kritik yang baru” sebagai bagian dari kritik sastra populer. Masyarakat pecinta dan penikmat sastra lebih banyak mengambil kesempatan untuk berbuat dan mengambil-alih tugas kritikus dengan pendapat-pendapatnya yang lebih praktis dan up to date.

Sebenarnya, kesadaran mengkritik dan kemudahan akses untuk mengkritik adalah petanda, kritik terhadap karya sastra sangat marak bahkan sangat apresiatif. Akan tetapi, akibat yang paling kita khawatirkan adalah “cukup puasnya” kita dengan kondisi ini. Munculnya anggapan, tidak dibutuhkan lagi kritikus dengan pandangan teoritik dan pengkajian historik secara mendalam untuk membahas sebuah karya, sehingga menjerumuskan masyarakat kita untuk senantiasa berfikir dangkal dan simplitis.

Salah satu sifat yang paling mencolok dalam kritik sastra Indonesia di abad 20 adalah mengkritisi sebuah karya sastra berdasarkan asumsi umum. (Situmorang, 2009:14) mengatakan: Di Indonesia, ada semacam pendapat umum bahwa segala sesuatu yang berbicara tentang karya sastra, puisi misalnya, bisa dikatakan sebagai kritik sastra.[…] Memukul rata dalam generalisasi pemakaian istilah “kritik/kritikus sastra” seperti ini tentu sah-sah saja kalau diingat bagaimana pengertian istilah “kritik” dalam pemakaian sehari-hari di Indonesia.

Ada kritik membangun, ada pula kritik tak- membangun alias merusak. […] Tapi sudah tepatkah pemakaian istilah ini untuk merujuk kepada aktivitas pembacaan teks sastra yang bersifat sebagai sebuah studi kritis? Maksud saya, sudah tepatkah pemakaian istilah “kritik/kritikus” untuk menyebut tulisan-tulisan dan penulis kita yang menulis tentang sastra seperti yang dilakukan saat ini?

Pendapat Saut Situmorang tentu dapat kita pahami sebagai bagian dari kegelisahan atas fenomena yang terjadi pada karya sastra abad 20 yang mutakhir ini. Pada judul yang pertama, yaitu perihal tentang kritik sastra Indonesia (mutakhir), penulis mengemukakan kondisi dimana kritik-kritik dari akademisi dan sastrawan dipertanyakan keberadaannya.

Dalam tulisan yang lalu juga, penulis mengutarakan, perlu landasan teori-teori sastra yang relevan dan kontekstual dengan karya yang dikaji. Adanya pemahaman yang bisa dipertanggung-jawabkan mengenai historikal kesusastraan, yang -setidaknya- dapat membawa pencerahan bagi pembaca dan perkembangan dunia (termasuk sastra) itu sendiri. Pertanyaan tambahannya adalah, lantas selain melalui media massa dan internet, dengan apalagi kritikus dapat mengkritisi sebuah karya sastra?

Mengingat internet dan koran adalah sarana yang paling mudah menyita perhatian banyak orang dengan cepat dan komersial, kita seolah kehilangan waktu dan tenaga untuk merampungkan kritik dalam sebuah buku ataupun melakukan seminar-seminar yang makalahnya bermanfaat bagi perjalanan sebuah karya sastra dan regenerasi yang siap untuk menelurkan karya sastra.

Kehadiran kritik sastra pada abad ke 20, dalam buku “Theories of Literature in The Twentieth Century” karangan Fokkema dan Elrud, berkembang dan memunculkan berbagai aliran-aliran yang sebenarnya bersumber dari karya-karya yang lahir pada zamannya. Dalam penjelasannya ditarik pula simpulan, kritikus memang bukan satu-satunya sarana paling urgen untuk menghubungkan antara pembaca dan karya sastra.

Fungsi kritikus, memberi pencerahan dan arahan bagi keduanya untuk mengetahui dan membenarkan “yang baik” dan menyalahkan “yang salah”. Sekalipun kenyataannya kehidupan karya sastra tetap menjamur tanpa kritik/kritikus, tetap saja kita menganggap perkembangan itu belum sempurna, sebab dia berkembang tanpa ada yang memperhatikan.

Jika kita analogikan sebuah karya sastra adalah bunga, pembaca adalah penikmat/pecinta bunga. Kritikus orang yang bertugas untuk memupuk bunga supaya bunganya semakin bagus dan mekar. Menyirami bunga-bunga agar sehat dan tidak layu, juga menyiangi bunga-bunga itu dari gangguan rumput liar atau hama serangga yang bisa merusak bunga-bunga dan mematikan regenerasi bunga yang baru. Kritik yang akademik dan yang non-akademik? Kritik sastra akademik atau ilmiah, menyajikan pola-pola pemikiran yang serius dan terfokus pada teori maupun sejarah sastra.

“Kritik ini haruslah bersumber dari seorang sarjana atau guru besar di Universitas.[…] yang biasanya cenderung melakukan kritik sastra dengan metode “closereading” dan pendekatan filologi.” (Purba, 2010: 37-48).
Kritik non-akademik atau populer, sifatnya lebih “ringan” dari akademik, sebab tidak menuntut pengkajian terlalu dalam seperti pada kritik akademik. Meskipun kritikus harus memberikan argumen yang tepat, mengapa dia bisa sampai pada penilaian tertentu ketika mengulas karya itu. Kritik ini biasa dilakukan oleh sastrawan yang tidak mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam pendidikan formalnya.

Kalau begitu, bagaimana kita meletakkan posisi pembaca, sahabat atau pecinta sastra yang selama ini mengikuti perkembangan sastra Indonesia dan senantiasa menyumbangkan pendapat dan perhatiannya untuk membaca karya-karya sastra? Semua terpulang pada pribadi masing-masing, apakah dengan kemampuan kita yang kita miliki itu, kita masih dengan lantang menyebutkan, kita seorang kritikus.

Kesederhanaan kita dalam mendefenisikan kritik sastra,-sekali lagi- tidak boleh terjadi, sebab mengingat kelahiran karya-karya yang terus bermunculan dengan sangat cepat. Kehadiran penulis-penulis muda yang aktif-produktif dan perlu perhatian khusus, menjadikan kritik sastra dari orang berkapabilitas tinggi dalam dunia kesusastraan sangat diharapkan. Perbandingan karya yang lahir dan karya yang dikritisi oleh kritikus yang profesional, sangat jauh. Itulah sebabnya penulis menanyakan apakah era kesusastraan di Indonesia akan tetap statis seperti ini, atau sedang berjalan-jalan menuju kepunahan?

Kritik dari kritikus yang kompeten justru lebih banyak untuk karya-karya “penulis senior” yang notabenenya sudah punya “kritikus pribadi” yang siap menanti setiap kelahiran karyanya. Padahal masih banyak karya-karya penulis muda kita yang layak untuk mendapatkan perhatian. Untuk itu diharapkan adanya stabilitas dan objektifitas dalam mengkritik.

Mengkritisi terus-terusan karya penulis pemula saja, juga membuat posisi kritik sastra “hanya sekedar kritik buat pemula.” Artinya, kritik tidak hanya untuk proses pembelajaran, namun juga mampu menunjukkan karya-karya bermutu dengan metode analisis yang terpadu dan teori-teori dengan pendekatan ilmiah.

Beda antara kritik akademik dan non-akademik yang paling konkrit saat ini, ketika seorang kritikus dengan dasar-dasar keilmuannya di bidang sastra dan kesusastraan, bisa menemukan dan memposisikan karya sastra yang dikaji sebagai objek analisis yang benar-benar serius. Oleh sebab itu, perlu ditinjau faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya kritik sastra Indonesia ini, supaya dapat bermanfaat bagi perkembangan kritik sastra. Adapun faktor tersebut menurut A. Teeuw, dalam (Purba, 2010: 47) adalah:

a). Kurangnya majalah sastra (tetapi ini akibat, bukan sebab masalahnya).
b). Kritik sastra sebagai kritik kewartawanan, yaitu kritik melalui surat kabar. Hal ini ada baiknya, (dapat memancing minat yang luas) tetapi ada juga buruknya, mengakibatkan, bukan karyanya yang ditonjolkan, “heboh sastra”, sensasi dan lain-lain.
c). Kekurangan pendidikan sastra; baik di tingkat universitas, maupun di tingkat sekolah menengah.
d). Anggapan yang tersebar luas seakan-akan sastra hanya permainan, tidak perlu diminati secara sungguh-sungguh. Anggapan ini pun sering diperkuat atau ditimbulkan oleh sikap dan cara bekerja sastrawan sendiri.
e). Kekurangan kebiasaan membaca dan penilaian rendah terhadap buku dan majalah sastra.
f). Kekurangan terjemahan karya sastra dunia yang bermutu tinggi ke dalam bahasa Indonesia.
g). Kekurangan kemampuan bahasa asing (Inggris) dan kesukaran membeli buku sastra yang penting dalam bahasa Inggris. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap Bapak Yulhasni selaku akademisi (Dosen Sastra FKIP UMSU) merangkap sastrawan yang menunjukkan perhatian positif bagi perkembangan kritik sastra Indonesia, khususnya di Sumatera Utara.
Penulis; mahasisiwi Semester III, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan.

Kreatifitas Masyarakat Lewat Dialog Budaya

Darwis Rifai Harahap

Sebagai bangsa yang majemuk, bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku bangsa ini, memiliki kepentingan-kepentingannya sendiri, kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan dapat memenuhi hasrat yang diinginkan. Masing-masing suku bangsa yang jumlahnya sangat banyak itu, memiliki polah tingkah laku beda yang satu dengan yang lainnya.

Tingkah laku orang Batak, Minang, Ambon, Aceh, Bali dan lainnya tentu tidak sama. Masyarat majemuk kita mewujudkan perbedaan agama, adat istiadat dan pola hidup. Di samping perbedaan suku bangsa dan agama, masih ada perbedaan lain , yaitu perbedaan golongan-golongan. Perbedaan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan serta kedudukan. Perbedaan ini terus bertambah, terlebih-lebih hal ini banyak dijumpai dalam masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan jauh lebih banyak keanekaragaman dibanding dengan yang ada di masyarakat pedesaan.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk. Berbagai jenis orang akan berbeda pula pola pikir dan pola bertindaknya. Orang Batak tidak hanya akan berhadapan dengan sesama orang Batak saja, tapi juga akan berhadapan dengan orang-orang dari suku lain yang bahasa dan tingkah polahnya beda satu dengan yang lainnya.

Perbedaan membuat manusia saling berlomba untuk menciptakan perubahan-perubahan. Tidak cuma manusia tapi juga alam tempat manusia tinggal akan berubah. Sawah ladang yang dulunya ditanami padi, jagung dan sayuran, lahan perkebunan yang dulu ditanami tembakau, karet dan coklat, kini setelah sekian puluh tahun telah berubah menjadi tempat pemukiman manusia.

Dulunya dusun terpencil, kini telah berubah menjadi sebuah kota besar dengan hunian yang membuat nafas sesak karena kehidupan yang semakin terasa persaingannya. Begitu juga dengan dunia teknologi. Dari teknologi yang sederhana, menjadi semakin kompleks.

Perubahan itu juga merambah dunia kesenian. Kakek-nenek kita yang telah tiada, dizamannya hidup 100 tahun lalu, menikmati tontonan musik, tari dan nyanyi, langsung menontonnya di lapangan terbuka. Kini semua itu sudah berubah. Kita dapat menonton piala AFF langsung lewat siaran televisi di Kuala Lumpur dengan hasil telak Tim Garuda kalah telak 0-3. Kita dapat berbicara langsung kebelahan dunia lain melalui telepon seluler hasil kreatipitas manusia yang haus akan perubahan.

Kita juga dapat melihat hasil kreatifitas manusia yang dipancarkan kewajah pemain, yaitu sinar laser yang dapat membutakan mata sesaat. Apakah gara-gara sinar laser yang di tembakkan penonton itu membuat tim nasional kalah? Mungkin tidak juga. Kecepatan, kreatifitas mengatur strategi penyerangan adalah hal mutlak di samping faktor keberuntungan karena bola adalah bulat.

Masyarakat Indonesia memiliki banyak sistem budaya. Masing-masing sistem mengandung kepercayaan yang diwarisi dari nenek moyang para pendukung sistem budaya yang bersangkutan. Sistem budaya yang mengandung pengatahuan mengenai lingkungan alamiah, lingkungan sosial, pengatahuan tentang tumbuh-tumbuhan, jenis –jenis hewan, sifat-sifat manusia, keadaan jasmaniah manusia, teknologi digital seperti yang sedang kita hadapi, berdampak poistip dan bisa negatip seperti yang dialami tim Garuda saat bertanding di Kuala Lumpur.

Sistem budaya tertentu saling berhubungan satu dengan yang lain. Saling mempengaruhi. Negara kita mengutamakan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya negara menganggap agama adalah bahagian terpenting, walau negara kita tidak dikuasai oleh satu agama.

Perbedaan agama dalam masyarakat adalah perbedaan budaya yang mengakibatkan kreatifitas pembuahan silang dengan hasilnya sesuatu yang baru. Sesuatu yang dapat dirasakan hasilnya oleh banyak orang. Sekarang ini seseorang dapat saja menikmati nyanyian rohani sambil meluncur di atas kenderaannya. Seorang penikmat sastra, dapat mendengarkan puisi yang dibacakan melalui telepon seluler, menonton televisi dan melihat langsung teman ngobrolnya dari layar hp yang berukuran hanya sedikit lebih lebar dari ukuran korek api.

Hasil kreatifitas manusia di abad digital ini, tetap tidak terlepas dari sisi positif dan negatif. Keberadaan warung-warung online yang menebar kesempatan bagi masyarakat, untuk dapat saling berkomunikasi di dunia maya. Ternyata melahirkan kejahatan bentuk baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Kejahatan adalah perbuatan orang per-orang yang jelas tidak menguntungkan orang lain. Kejahatan jelas bukan budaya. Seperti halnya dengan pebuatan korupsi para pejabat negara, seperti walikota, gubernur dan bupati atau pungli dijalanan oleh oknum polisi dan sebagainya, adalah perbuatan tidak terpuji.

Dalam bidang usaha, sebagai hasil kreatifitas dari orang-orang yang bergerak di bidang penerbitan surat kabar, baik berbentuk harian, mingguan dan bulanan, terus bersaing dengan penampilan wajah dan isi yang benar-benar memikat pembacanya. Demikian juga halnya dengan dunia kesenian. Sebut saja seni sastra, musik maupun teater. Dengan hanya meng-klik salah satu situs yang ada, pembaca dapat dalam waktu yang tidak begitu lama menikmati karya-karya sastra penyair-penyair Indonesia seperti LK. Ara di blog yang sengaja dia hidangkan untuk peminat sastra dunia.

Kita tidak tahu sekarang LK. Ara berada dimana, tapi di belahan pelosok manapun kita berada, kita dapat membaca karya-karya penyair Indonesia yang kelahiran tanah Gayo itu. Begitu juga dengan tulisan-tulisan sastrawan Medan lainnya, baik yang telah diterbitkan disurat kabar lokal maupun nasional, dapat dibaca hanya dengan sekali klik saja.

Kreatifitas manusia memang sudah sedemikian majunya. Seniman dengan karya seninya. Pengusaha dengan kiat bisnis yang dapat menghidupi banyak karyawan dari usaha yang dijalankannya. Dinegeri yang berpenduduk 200 juta jiwa lebih, manusia dengan falsafah Pancasila yang salah satu sendinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kenapa masih memiliki Gubernur, Walikota, Bupati dan oknum Polisi yang korupsi? Hampir tiap bulan ada istiqosah, ceramah agama, pengajian yang bertujuan agar manusia tetap berada di jalan yang lurus, namun tawuran, pembunuhan dan pengrusakan dikarenakan masalah sepele terus terjadi mewarnai kehidupan.

Seolah manusia tak lagi mampu mengendalikan emosinya. Dimana-mana terjadi krisis hilangnya harga diri sebagai manusia. Nafsu hewaniah yang ada didalam diri manusia berhasil mengalahkan nafsu mutmainnah. Manusia adalah binatang berakal. Dengan akal manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Terkadang manusia alpa menggunakan akal fikirannya dikarenakan adanya keserakahan untuk mengambil yang bukan haknya. Mencuri, merampas harta orang lain, korupsi, membunuh dan mengerjakan pekerjaan tak terpuji lainnya, adalah warna buram sisi kehidupan kita sekarang ini.

Banyak orang yang frustrasi karena tidak mampu mewujudkan impiannya karena adanya persaingan tidak sehat dilingkungan tempatnya bekerja. Kreatifitas menjadi tumpul. Tidak perduli dengan keadaan menjadi penyebab utama. Kegiatan kesenian yang dikelola instansi terkait hanya kegiatan sebatas menghabiskan dana APBD yang memang harus dihabiskan. Begitu juga dengan kegiatan olah raga yang menghabiskan dana demikian besar. Kegagalan membuat banyak orang frustrasi, marah, benci dan akhirnya bertindak anarkis.

Untung saja team Nasional Garuda dapat menang di kandang sendiri dengan skor 2-1. Bila saja sempat kalah lagi dari tim Harimau Malaysia, tak dapat dibayangkan entah apa yang bakal terjadi di Senayan begitu pertandingan usai. Sesaat sepertinya ‘bola’ dapat menyatukan anak bangsa.

Rasa nasionalisme anak bangsa menyatu dalam satu kesatuan warna merah putih tanpa ada yang mengkomando. Penjahit seragam merah putih mendapat untung besar. Kreatifitas penata pakaian tim nasional Garuda membawa rejeki buat pedagang kaki lima dan penjahit. Harapan-harapan akan lahirnya cipta-ciptaan baru, sedikit banyaknya dapat dimanfaatkan oleh anggota masyarakat lainnya walau itu cuma dari hasil tiruan belaka.

Kreafitas masyarakat, apakah dia itu seorang seniman, penjahit pakaian, penjual bakso pinggir jalan, bukan tak mungkin dari segelintir orang yang tak pernah kita kenal namanya akan melahirkan karya-karya baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Kreafitas, milik semua golongan anak bangsa yang hidup di bumi persada tanah air yang bernama Indonesia.

Dialog Budaya yang menghadirkan para petinggi Sumatera Utara pada 30 Desember 2010 malam di pelataran parkir Taman Budaya Sumatera Utara, salah satu ujud kepedulian pejabat yang ada walau masih sebatas ‘cakap-cakap’ belaka.

Kepedulian pejabat sangat diperlukan untuk menunjang laju kegiatan seni budaya di Sumatera Utara. Baca puisi bareng seniman malam itu, salah satu bentuk kreatif mempertemukan seniman dengan pejabat. Ternyata di darah mereka juga mengalir darah seni yang tak disalurkan. Seperti Ir. Wan Hidayati saat membacakan puisi Amir Hamzah, semua yang hadir terbuai hanyut menikmati bacaan Ir. Wan Hidayati.

Menurut pengakuannya pernah malang melintang semasa remajanya di Taman Budaya Sumatera Utara. Begitu juga dengan Kajati Sumut. Pejabat nomor satu di kejaksaan ini mencipta spontan puisi yang dia bacakan. Sayang, penulis tak dapat mengikuti acara dialog budaya sebagai tanda tutup tahun sampai akhir. Acara malam itu, salah satu wujud kreatifitas sekelompok orang untuk mempertemukan pejabat dengan senimannya.

Mudah-mudahan saja, dengan hadirnya pejabat di Taman Budaya, besok lusa Taman Budaya yang menjadi kebanggaan seniman Medan, tidak akan “ditukar guling” seperti nasib Kebun Binatang, Taman Ria dan Medan Fair, yang sampai kini masih menyisakan perkara di pengadilan karena kreatifitas negatif dari orang per-orang. 2010drh

Sastra Melayu-Tionghoa dan Nasionalisme

Irwansyah

Kesusastraan Indonesia modern tetap dianggap baru muncul, setelah Perang Dunia I. berakhir dengan berdirinya Balai Pustaka pada tahun 1917. Balai Pustaka nama populer dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang sebelumnya bernama Komisi Bacaan Rakyat (Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan pada tahun 1908.

Awalnya Balai Pustaka menerbitkan buku-buku cerita rakyat berbahasa daerah, kemudian buku-buku terjemahan atau saduran cerita-cerita kepahlawanan orang Belanda dan cerita-cerita klasik Eropa, baru kemudian buku-buku karangan baru. Tahun 1914 terbitlah roman pertama dalam bahasa Sunda Baruang Ka Nu Ngarora (Ratjun Bagi Paramuda) karangan D.K. Ardiwinata.

Tahun 1918 terbitlah Tjerita Si Djamin dan Si Djohan karangan Merari Siregar. Tjerita Si Djamin dan Si Djohan yang disebut sebagai roman pertama dalam sastra Indonesia, sebetulnya disadur Merari Siregar dari Jan Smees karangan J. van Maurik. Oleh T. J. Lekkerkerker dikatakannya disadur dari novel Oliver Twist, karangan Charles Dickens. Baru pada tahun 1920 terbit roman asli pertama sastra Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis karangan Merari Siregar juga.

Balai Pustaka memang berhasil mendorong kegiatan menulis di kalangan orang Indonesia. Untuk dapat diterbitkan di Balai Pustaka, tulisan itu mereka saring. Ini dapat dimaklumi. Pendirian Balai Pustaka mempunyai latar belakang politis, untuk mengarahkan bacaan rakyat dan menyaingi buku-buku terbitan swasta atau partikulir. Mereka makin lama makin banyak tersebar dalam masyarakat. Buku-buku itu sebagian besar membangitkan rasa nasionalisme.

Tentu saja hal ini berbahaya bagi kelangsungan hidup penjajahan Belanda. Karena itu, syarat utama yang diterapkan oleh Balai Pustaka, karangan tidak boleh menyinggung-nyinggung soal politik. Karangan-karangan itu harus bebas dari nada menghasut. Buku-buku terbitan non-Balai Pustaka, yang sifat dan isinya menghasut rakyat mereka sebut dengan bacaan liar.

Roman-roman yang tidak bernada menghasut dan lebih bersifat hiburan, menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia (1969), banyak ditulis dan diterbitkan para pengarang Cina. Mereka menulis dalam bahasa Melayu yang dikenal dengan bahasa Melayu-Cina.

Di Indonesia sastra Melayu-Cina tumbuh dan berkembang sebelum muncul sastra Indonesia modern akhir abad ke-19. Nio Joe Lan menyebutnya dengan sastra Indonesia Tionghoa. Menurut Jakob Sumardjo dalam bukunya Dari Kasanah Sastra Dunia (1985, jenis sastra ini diawali dengan terjemahan-terjemahan.

Pada kurun awal perkembangannya, terbit karya-karya terjemahan sastra Cina dan Eropa yang dikerjakan oleh Lie Kim Hok, antara lain: Kapten Flamberge setebal 560 halaman, Kawanan Bangsat setebal 800 halaman, Pembalasan Baccarat setebal 960 halaman, Rocambole Binasa, dan Genevieve de Vadans setebal 1.250 halaman. Demikian tebalnya buku-bukuitu lantaran diterbitkan secara serial. Ada yang sampai empat puluh jilid. Setelah masa itu, masih dari Jakob Sumardjo, barulah berkembang karya Melayu Cina asli sampai akhir tahun 1942.

Kapankah kesusastraan Indonesia lahir?

Masalah itu menjadi persoalan, kata Ajip Rosidi, karena jika orang hendak membicarakan kesusastraan Indonesia secara historis, tentu pertama-tama akan berhadapan dengan pertanyaan itu. Kebanyakan penelaah sastra seakan sengaja menghindar. Dengan gampang saja mengatakan sejarah kesusastraan Indonesia bermula dari kesusastraan Melayu. Nurani mereka tidak tergugah dengan memasukkan dan mengakui Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, pengarang Singapura keturunan Tamil sahabat karib Raffles, sebagai tokoh pembaharu kesusastraan Indonesia.

Masalah itu diangkat dan dibahas oleh Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1988), yang cetakan pertamanya tahun 1964. Orang pertama dan serius membicarakannya adalah Umar Junus. Menurut dia, kesusastraan Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada karena sastra baru ada setelah bahasa ada. Bahasa Melayu berakhir pada tahun 1928, kemudian bertukar nama dengan bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Sebagai pegangan, titik mula bagi sastra Indonesia juga tahun 1928, yang dapat berubah sedikit.

Artinya, bisa mundur atau maju dari tahun itu. Tahun 1921 dengan terbitnya roman Azab Sengsara karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli tidak bisa diterima karena buku-buku terbitan Balai Pustaka itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang meleat pada nama Indonesia”. Lebih tepat karena “sastra Indonesia baru dengan tegas memperlihatkan dirinya pada tahun 1933”, tahun terbitnya majalah kebudayaan Poedjangga Baroe.

Tanggal 20 Mei 1908 merupakan tonggak sejarah kebangkitan nasional. Kaitannya dengan sejarah sastra Indonesia, Ajip Rosidi lebih cenderung rasa nasionalisme baru bangkit pada tahun 1920 atau 1921 karena pada tahun-tahun itu terbit dalam majalah Jong Sumatra sajak-sajak Muhammad Yamin, Moh. Hatta, Sanusi Pane dan lain-lain. Tahun 1922 saat terbitnya Tanah Air untaian sajak Muhammad Yamin.

Memang tanah air yang dilantunkan Muhammad Yamin belum lagi tanah air Indonesia dalam arti geografis seperti sekarang. Enam tahun kemudian dia turut memelopori pengakuan bangsa, tanah air dan bahasa Indonesia sebagai dasar persatuan Indonesia.

Jauh sebelum terbit roman-roman Balai Pustaka di Indonesia telah tumbuh dan berkembang sastra Melayu-Tionghoa. Kesusastraan Melayu-Tionghoa sudah ada sejak 1870, sedangkan kesusastraan Indonesia modern baru muncul belakangan. Masalahnya sekarang: di mana letak dan apa peranan sastra Melayu-Tionghoa itu dalam rangka kesejarahan sastra Indonesia?

Sejauh ini belum ada pengakuan atas kepeloporan masyarakat Peranakan Tionghoa dalam proses kebangsaan Indonesia melalui kesusastraan. Kurangnya pengakuan ini tidaklah adil. Secara kuantitatif, menurut perhitungan Claudine Salmon, selama kurun waktu hampir 100 tahun (1870-1960) kesusastraan Melayu-Tionghoa ada 806 penulis dengan 3.005 buah karya. Bandingkan catatan Prof. Dr. A. Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918-1967), kesusastraan modern Indonesia asli hanya ada 175 penulis dengan sekitar 400 buah karya. Kalau dihitung sampai tahun 1979, sebanyak 284 penulis dan 770 buah karya.

Sudah lama suara terpendam yang mengakui kepeloporan kesastraan Melayu-Tionghoa mulai terdengar sayup-sayup meskipun di bawah tekanan pendapat umum. Kembali menurut Claudine Salmon, pada 1930-an, Nio Joe Lan sudah menyerukan pentingnya peranan kesusastraan ini. Dinamainya dengan Kesusastraan Indo-Tionghoa (de Indo-Chineesche literatuur), yang berkembang sendiri di luar lembaga resmi.

Setelah merdeka, Pramoedya Ananta Toer berulang kali menyebut masa perkembangan kesastraan Melayu Tionghoa sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesusastraan lama ke kesusastraan baru. Tahun 1971, C.W. Watson menyebutnya pendahulu kesusastraan Indonesia modern. Tahun 1977, John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Auckland tentang apa yang disebutnya Kesastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay Literature).

Hal itu terungkap dalam “Sekapur Sirih” buku Kesastraan Melayu-Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, Jilid 1, cetakan ke-1 Februari 2000. Buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation jilid pertamanya memuat tujuh buah tulisan: 1. Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (1870) pengarangnya anonim, 2. Sya’ir Jalanan Kreta Api (1890) oleh Tan Teng Kie, 3. Kitab Eja A.B.C. (1884) oleh Lie Kim Hok, 4. Lo Fen Koei (1903) oleh Thio Tjin Boen, 6. Cerita Sie Po Giok (1912) oleh Tio Ie Soei, dan 7. Riwajatnja Sato Bokser “Tionghoa” (Tan Sie Tiat) (1928) Telah terkumpul dan terpilih tulisan sebanyak 15.000 halaman. Diperkirakan seluruhnya akan terbit dalam 25 jilid.

Menarik menyimak “Pengantar” yang dibuat oleh Myra Sidharta. Kaum peranakan Tionghoa adalah minoritas yang tidak berwilayah, tetapi tersebar di seluruh Indonesia. Mereka merupakan hasil kawin campur antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat setempat. Bahasa mereka sebelum kemerdekaan campuran bahasa Melayu dengan bahasa Tionghoa, umumnya dengan dialek darah Fujian atau Hokkian. Dalam sastra mereka, yang ditulis dalam bahasa lisan sehari-hari, terdapat juga kata-kata bahasa Jawa atau dialek setempat lainnya, seperti Sunda bahkan seringkali Belanda.

Mengutip tulisan Nio Joe Lan Sastra Indonesia-Tionghoa (1962), sastra kaumj peranakan Tionghoa yang ditulis dalam bahasa lisan sehari-hari tidak akan ditulis lagi. Menurut hokum Indonesia, tidak ada lagi kaum peranakan karena orang-orang etnis Tionghoa telah menjadi bangsa Indonesia atau bangsa Tionghoa sesuai dengan pilihan mereka.

Menurut Nio, karya-karya sastra kaum peranakan ini sangat kaya isinya, meskipun miskin dari sudut bahasa. Oleh karenanya, Nio menyarankan agar karya-karya itu dikaji dari sudut sejarah, sastra, dan psikologi. Karya-karya sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang keturunan Tionghoa berakhir tahun 1962. Tahun 70-an muncul nama Marga T. disusul oleh Mira W. pada tahun 80-an.

Kajian tentang genre sastra ini dilakukan dengan berbagai sudut pandang. Karya Claudine Salmon Literature in Malay by the Chinese in Indonesia lazim disebut sebagai “Katalog Karya-Karya Peranakan”. Dia membicarakan tentang penerbitan, perdagangan dan terjemahan karya-karya sastra. Thomas Rieger yang mengkaji naskah-naskah drama karya Kwee Tek Hoay, yang tulisannya dikutip oleh Katrin Bandel ketika menulis “Epilog” dalam novel Acek Botak (2009) karya Idris Pasaribu.

Koleksi buku sastra peranakan Tionghoa tersimpan, antara lain, di Perpustakaan Nasional di Jakarta, Koninlijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Rijksuniversiteit Leiden, di University of Wisconsin Madison, di Cornell University , Perpustakaan Yogyakarta, koleksi keluarga Ch. Damais di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, dan juga koleksi-koleksi pribadi.

Membaca karya-karya itu diakui Myra Sidharta seperti membawa dia ke dunia yang dikenalnya yang hampir pupus dari ingatan. Gambaran yang tercermin adalah dunia kaum peranakan sebelum Perang Dunia II. Isinya sarat dengan ajaran moral dan peringatan terutama tertuju pada kaum perempuan seperti agar taat pada ajaran Konfusius yang mengharuskan para gadis mematuhi orang tuanya, para istri mematuhi suaminya, dan para janda mematuhi putranya.

Sastra Melayu-Tionghoa atau astra Indonesia-Tionghoa adalah sastra kaum minoritas. Nasibnya tampak lebih jelek dari roman picisan dan novel pop. Kedua yang disebut terakhir hanya dipandang dengan sebelah mata, sedangkan sastra Indonesia Tionghoa hanya dilirik sekilas. Ketiganya seakan-akan tidak punya andil dalam dunia sastra Indonesia.

Bernasib demikian, hemat saya, karena: 1.bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Melayu-Rendah, bukan bahasa Melayu-Tinggi; 2. diterbitkan oleh penerbit swasta, bukan Balai Pustaka; 3. bersifat politis karena cap yang melekat bahwa orang Tionghoa tidak punya rasa nasionalisme atau paling tidak nasionalismenya masih diragukan; dan 4. keberadaan orang Tionghoa masih diterima dengan setengah hati, mungkin juga disebabkan oleh orang Tionghoa sendiri juga masih setengah hati menjadi orang Indonesia. Itu saja!

TMI, 14 Februari 2010 (Imlek 2561)
Penulis; adalah Dosen Sejarah Sastra Indonesia Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU.

Empat Rahasia dari Empat Cerpen

YS. Rat

MEMBACA empat cerpen di Rebana 1 Harian Analisa terbitan Oktober 2010, dari keempatnya masing-masing ada suguhan rahasia, mungkin menurut pengarangnya dianggap sebagai daya tarik karyanya.

Rahasia, bisa merangsang pikir berolah imaji dan membuahkan kecerdasan baru. Dia juga bisa cuma menetaskan tanda tanya yang kecil kemungkinannya mampu merangsang banyak orang mencari jawab.

Keempat cerpen itu, Maumunah karya Nevatuhella terbitan Minggu, 3 Oktober, Mual karya Sakinah Annisa Mariz (Minggu, 10 Oktober), Balada Pengarang karya T. Sandi Situmorang (Minggu, 17 Oktober) dan Jejak Masa Lalu karya Rina Mahfuzah Nst (Minggu, 31 Oktober).

Maumunah karya Nevatuhella (setelah dibaca seluruhnya, kemungkinan terjadi salah ketik dari seharusnya Maimunah) berkisah tentang kehidupan Maimunah, janda karena suaminya wafat. Maimunah lantas menikah dengan Basrunsyah, lelaki pendatang dari kecamatan kecil di pedalaman terbarat Provoinsi Bengkulu mendapati kenyataan, suami nya tak lagi tinggal bersamanya melainkan di kampung halamannya, tak berkabar hingga kini.

Menghadapi getirnya hidup sebagai janda dengan tanggungan dua anak, seorang perempuan dari suami pertamanya dan satu laki-laki dari suaminya sekarang, Basrunsyah. Sehari-hari Maimunah kerja sebagai pengopek kerang dan penyusun ikan gembung rebus. Selain itu, dia termasuk barisan warga penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp 300 ribu per tiga bulan dari pemerintah.

Cerpen Mual karya Sakinah Annisa Mariz, berkisah tentang aku (Sandra) yang bersua dan akhirnya berkenalan dengan pemuda bernama Mual. Awal bersua ketika bus yang ditumpangi, hendak meneruskan perjalanan menuju Kota Parapat setelah sempat mogok di kawasan Bukit Sibaganding, berlanjut di kawasan wisata Tuktuk.

Berikutnya Balada Pengarang karya T. Sandi Situmorang, mengisahkan seorang pengarang bernama Harjono Siregar yang yakin suatu saat namanya melambung, hingga puncak tertinggi dan itu memang diraihnya. Hanya saja, untuk mempertahankannya dia harus membawa seorang wanita tua dan peot ke hadapan istrinya. Memohon pada sang istri untuk dimadu.

Cerpen terakhir, Jejak Masa Lalu karya Rina Mahfuzah Nst. Jejak Masa Lalu berisi kisah kehidupan seorang perempuan yang di tengah kedewasaan usianya, dikungkung kondisi yang membuatnya hanya bisa duduk dan diam laiknya anak kecil, sementara pikirannya kosong dan hampa. ketika ayahnya wafat, aku (Ida) yang tak tahu sejak kapan dirinya jadi seperti itu, tak merasakan sesuatu yang mampu menggelorakan pilu di hatinya.

Rahasia Keempat Cerpen

Pada cerpen Maumunah karya Nevatuhella, suguhan rahasia bisa disimak dari kejadian suatu sore ketika Maimunah dan temannya sesama pengopek kerang, Sofiah, duduk dan ngobrol di lokasi pengopekan kerang yang sedang tidak berproduksi, berikut ini:

Maimunah tersenyum membayangkan pertemuannya dengan Basrunsyah. Dibayangkannya juga, Tekor Slamat akan bahagia sekali bertemu ayahnya. Tekor Sibuah hati, diharapkan Maimunah menjadi si tawar si dingin untuk kelangsungan rumah tangganya.

Senyum Maimunah sore itu tak berlangsung lama. Temannya kebetulan lewat mendapati Maimunah dan Sofiah. Mengatakan dia baru mendapat cerita tentang nasib bantuan langsung pemerintah yang selama ini mereka terima. Bisa-bisa mereka bulan mendatang tidak lagi menerima bantuan itu.

Pemerintah mengalihkan bantuan ke sektor kesehatan dan pendidikan. Wajah Maimunah langsung pucat pasi mendengar kabar yang belum tentu benarnya. Mulut Maimunah ternganga dan tubuhnya lunglay terjatuh ke pangkaun Sofiah.

Orang ramai datang menggotong tubuh Maimunah sambil mencoba mengatupkan mulut Maimunah yang ternganga dengan sapu tangan dibarengi ucapan salawat nabi.
Maimunah takono, Maimunah takono! Semua orang saling mengabarkan dan menyalahkan. Mengapa waktu Sholat Maghrib sudah tiba, Maimunah dan Sofiah masih berada di tempat itu. Sebulan lalu ada juga kejang-kejang tubuh seorang wanita hamil muda di tempat itu.

Mual karya Sakinah Annisa Mariz, rahasia tergambar melalui kebingungan aku setelah bertemu dan melihat sosok Mual bergabung dengan kelompok penyanyi, yang dalam pelinghatannya jumlahnya sembilan orang berikut Mual. Aku tersentak ketika tiba-tiba matanya tak lagi melihat Mual di antara para penyanyi . Apalagi lagi, seorang inang yang menyapa aku di tengah keheranannya menjelastegaskan, sejak dulu kelompok penyanyi itu hanya berjumlah delapan orang.

Keheranan aku bertambah, setelah dia memberi tahu kepada Inang, temannya yang menurutnya bergabung di kelompok penyanyi itu tinggal di kawasan bukit selatan dari Tuktuk. Inang itu terkejut, kemudian memanggil dan berbisik pada seorang pegawai restoran. Selanjutnya menyerahkan koran terbitan dua hari lalu kepada aku. Koran itu memuat berita:

Kebakaran hutan yang terjadi di beberapa lokasi objek wisata memang perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Kobaran api yang tidak ditangani dengan cepat, membuat penduduk lokal serta merta kehilangan nyawa dan tempat tinggal.

Aktifitas illegal logging dan kasus pembakaran hutan terjadi setiap tahun di hutan wisata di Indonesia. Kemarin, di wilayah selatan dari Tuk-tuk, kebakaran hebat terjadi lagi. 54 keluarga terpaksa kehilangan tempat tinggal. Naasnya, tak ada korban yang selamat dari tragedi ini. Bulu kudukku meremang.

Dalam Balada Pengarang karya T. Sandi Situmorang, rahasia bermuasal saat aku (pengarang Harjono Siregar) dalam perjalanan menikmati indahnya alam tanah Tapanuli,
bingung mencari jalan kembali ke penginapan. Sampai akhirnya dia singgah di sebuah rumah yang dihuni seorang wanita tua. Tak cuma menyambut, wanita tua itu menyatakan memang sengaja menunggu si aku dan memintanya mengutarakan apa yang diinginkannya selama ini.

Seperti dikatakan aku, dia ingin menjadi penulis terkenal, banyak uang dan punya istri cantik, wanita tua itu pun dengan mudah menyanggupinya. Dia hanya perlu membuka sedikit aura si aku yang menurutnya selama ini tertutup. Selembar kertas buku tulis dilipat empat dan dibungkus kain hitam diberikan kepada si aku dengan pesan tidak boleh dibuka kecuali di malam pertamanya. Wanita tua itu juga memberi minum si aku semacam ramuan yang rasanya sangat asing di lidah.

Ketika pintu dibuka, si aku tercengang karena di depannya banyak orang hilir mudik dan ada pasar yang sangat riuh. Si aku pun ternyata sudah tiba di depan penginapan yang sebelumnya dia kebingungan mecari jalan kembali ke situ. Saat aku menoleh ke belakang, sama sekali tak ada perempuan tua dan rumah jeleknya.

Keinginan menjadi penulis terkenal, banyak uang dan punya istri cantik telah diraih si aku. Satu hal lagi yang harus dia penuhi sesuai janjinya pada perempuan tua yang telah memberinya semua kemilau itu. Jika ingin langgeng, si aku harus bercinta dengan perempuan tua itu setiap malam purnama.

Kalau tak ingin menjadi kerbau dia harus menikahinya setelah setahun dari pernikahan pertamanya. Akhirnya membuat si aku membawa seorang wanita tua dan peot ke hadapan istrinya, memohon pada sang istri untuk dimadu.

Sedangkan pada cerpen terakhir, Jejak Masa Lalu karya Rina Mahfuzah Nst, rahasia tergambar dari kondisi tokoh aku (Ida), menimbulkan debat antara emak dengan Lutfi, salah seorang dari lima saudara laki-laki si aku. Simaklah kutipan berikut: “Mak, sakit Ida bukan karena dibuat orang, tapi karena Ida tertekan dengan sikap ayah.” Tukas Lutfi.

“Tidak, Lutfi. Ayahmu sudah tenang di alam baka. Jangan kau menyalahkan ayahmu atas apa yang terjadi pada Ida.” “Mak, ada sifat ayah yang tidak bisa dia rubah. Keras dan temperamental. Tidak sedikit orang yang pernah tersinggung dibuatnya. Mak ingat, ayah juga pernah mengusir salah seorang sepupunya dari rumah kita, karena suatu hal yang sepele!”

“Mungkin ada hal yang tidak kita ketahui telah terjadi pada mereka, Nak.” “Mak salah! Itu karena ayah menuduh dia berbuat sesuatu yang tidak dia perbuat! Ketika dia membela diri, ayah malah mengusirnya!” “Cukup, Lutfi. Emak tidak mau mendengar lagi apa yang kau katakan!” suara emak terdengar parau disertai tangisnya. Emak berlari masuk ke dalam kamar.

"Mak, ini kenyataan! Emak tidak usah menutup-nutupinya. Sebagai anak sulung, setiap hari Kak Ida menyaksikan kekejaman ayah di rumah. Terhadap emak. Terhadap kami, lima anak laki-lakinya. Semua terekam dalam memori di otak Kak Ida. Dia tidak sanggup menerima perlakuan ayah, tapi seperti emak, dia juga tidak bisa protes! Akhirnya dia tertekan. Dia sakit. Jiwa Kak Ida sakit, Mak!” kata Lutfi dengan suara keras. Tubuhnya juga bergetar dan dia menangis.

Kecerdasan Baru

Rahasia bisa merangsang pikir berolah imaji dan membuahkan kecerdasan baru, bisa didapat dari cerpen Maumunah dan Jejak Masa Lalu. Di cerpen Maumunah, pengarang menyuguhkannya lewat gambaran betapa pada zaman serba modern, masih ada masyarakat di daerah masuk kategori kota berpandangan dangkal menanggapi suatu kejadian.

Pada cerpen Maumunah, dari dialek tokoh dan tempat penulisan bisa ditebak lokasi kejadian Kota Tanjung Balai, terhadap pingsannya Maimunah orang ramai menganggapnya takono (keteguran). Menurut pendapat mereka, Maimunah takono karena saat waktu salat Magrib sudah tiba dia dan Sofiah masih berada di tempat pengopekan kerang.

Sebenarnya, Maimunah pingsan bersebab mendengar kabar soal BLT yang kemungkinan bulan depan tak akan diterimanya karena pemerintah mengalihkannya untuk sektor kesehatan dan pendidikan.

Demikian pun halnya pada cerpen Jejak Masa Lalu, sebagaimana tampak dari debat emak dengan Lutfi tentang penyebab penyakit yang diderita tokoh Ida. Sosok Emak, bisa jadi mewakili tokoh tua yang masih berpadangan dangkal menanggapi suatu kejadian, sedangkan Lutfi gambaran tokoh muda yang menyikapi keadaan menggunakan akal dan pikiran.

Hal itu setidaknya memberi ingat sekaligus pengajaran, jangalah teramat mudah menyimpulkan hal di luar logika sebagai penyebab sesuatu kejadian tanpa terlebih dahulu menelisik rangkaian peristiwa yang mendasarinya dan merupakan penyebab sebenarnya dari kejadian itu.

Yang demikian, tak diperoleh dari cerpen Mual dan Balada Pengarang. Rahasia melalui peristiwa mistis di kedua cerpen ini, kebenarannya sangat jauh dari pengalaman dan logika umum. Kalaupun memang ada dan terjadi, pengakuan mungkin hanya akan didapat dari yang mengalaminya.

Selebihnya, di kesemua cerpen, kelemahan pengarang sangat nyata dalam hal pengetahuan dan pemahaman terhadap tata bahasa Indonesia. Dampak daripadanya, banyak terjadi kesalahan pemakaian tanda baca, serta penulisan kata yang harusnya dipisah dan yang mestinya disambung.

Termasuk, terjadi kerancuan pada kalimat, yang selain berakibat ketaksesuaian penuturan awal dengan berikutnya, juga tak logis. Sedikit contoh, pada cerpen Maumunah sebelumnya ada bagian kalimat, ....kedua anaknya Tekor Selamat dan Sulis .... Bagian berikut pada percakapan antara Sofiah dan Maimunah ditulis:

“Kudongar si Dani anak kau pun, pornah tapoluknyo! Botulnyo itu?” “Apo kau pikir tak botul. Memang nang Jahanam la si Basrunsyah tu!” Sebenarnya anak perempuan Maimunah bernama Sulis atau Dani? Di awal pengarang menjelaskan, Mainumah punya seorang anak perempuan dari suami pertamanya dan satu anak laki-laki dari Basrunsyah.

Di salah satu bagian cerpen Mual, pengarang menulis, .... kapal tiba tepat waktu di hotel. Pertanyaan, bagaimana mungkin kapal bisa tiba di hotel? Hal sama juga terjadi pada cerpen Jejak Masa Lalu. Pengarang menulis, .... perempuan itu menyodorkan aku sebuah baju berlengan panjang yang terus sampai ke mata kaki. Wah, seperti apa bentuknya baju yang lengannya mencapai mata kaki?