Sabtu, 09 Oktober 2010

“Cinta Tanah Air” karya/sutradara M. Raudah Jambak

Agar Tak Lalai Menimbang Tradisi

Oleh: Hasan Al Banna

Di masa yang serba modern saat ini, apakah segala hal yang mengandung masa lalu (tradisi) masih diperlukan? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan yang demikian. Di satu sisi, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kondisi zaman yang senantiasa, bahkan begitu pesat pergerakannya. Di lain sisi, masyarakat tidak lahir dari budaya yang kosong.

Sulit untuk dipungkiri bahwa kenyataannya masyarakat (manusia) memang membutuhkan pijakan budaya. Mau tidak mau, budaya yang pernah tumbuh di belakang masyarakat, yakni masa lampau, harus ditoleh oleh masyarakat itu sendiri. Ya, semacam cermin untuk menata diri dalam menyikapi masa depan (masa kini).

Namun, tidak dapat pula dibantah bahwa kearifan tradisi kerap pula diabaikan masyarakat modern. Segala hal yang sangkut-menyangkut dengan tradisi dianggap sekedipan mata. Padahal, ibarat pakaian, tentu budaya masa lampau tidak serta merta harus dikenakan secara terus-menerus. Dengan kata lain, masa lampau (tradisi) adalah harus tetap dilestarikan.

Menjadi gaun yang tetap tergantung di lemari kemodernan, yang dapat dipakai sekali waktu. Namun, andai tiba masa mengenakan baju budaya masa lalu, sudah barang tentu tidak sekadar bertengger di tubuh, tetapi ruhnya menyusup juga sampai ke jiwa pemakainya. Inilah sebenarnya hakikat pelestarian!

Hampir dipastikan, hakikat pelestarian demikian yang menjadi pijakan Badan Kesbang Pol. dan Linmas Provinsi Sumatera Utara dalam menggelar Pementasan Pelestarian Seni Budaya di Lapangan Simpang Tiga, Perbaungan (3 Juli 2010) dan di Alun-alun Tengku Amir Hamzah, Stabat (10 Juli 2010).

Pementasan kolosal berjudul “Cinta Tanah Air” karya/sutradara M. Raudah Jambak hadir dalam wujud seni perunjukan kolaborasi, yang digelar untuk mengajak masyarakat (penonton) sejenak mengenakan pakaian masa lalu (tradisi). Melalui pertunjukan “Cinta Tanah Air”, masyarakat memiliki peluang untuk berkaca pada kearifan masa lampau.

Pertunjukan “Cinta Tanah Air” membentangkan kenyataan bahwa para leluhur Indonesia sejak zaman perjuangan, masa kemerdekaan dan zaman sesudahnya senantiasa menjunjung nilai-nilai keindonesiaan yang satu meskipun berangkat dari keberagaman. Seperti yang terungkap dalam narasi pertunjukan, bangsa Indonesia (dalam konteks lokal adalah Sumatera Utara) ditumbuhi ‘tanaman’ yang penuh ragam warna.

Tentu, ragam warna tersebut tidak boleh hilang begitu saja. “Indonesia memiliki keragaman budaya yang luar biasa. Semuanya merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Kita sebagai warga negara wajib memelihara keragaman budaya tersebut sebagai rasa cinta kita kepada tanah air.

Dari sekian banyak keragaman budaya itu, Sumatera Utara termasuk salah satu di antaranya. Rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan dalam berbagai cara, salah satunya melalui seni tradisi. Dan Sumatera Utara sangat terkenal dengan seni tradisinya...”

Pertunjukan “Cinta Tanah Air” melibatkan tiga dimensi seni pertunjukan sekaligus; teater, musik dan tari. Tidak mengherankan pula, pertunjukan ini melibatkan tiga kelompok yang mewakili dimensi tersebut. Komunitas Home Poetry (M. Raudah Jambak, dkk) menyumbangkan hasil cipta seni yang mewakili dimensi teater. Semula kelompok ini tekun berproses di ranah sastra, tetapi dalam perjalanan prosesnya, terlibat juga dalam dunia pertunjukan (teater).

Pada unsur musik, “Cinta Tanah Air” didukung Sumatra Insidental Music. Di bawah kreator musik Hendri Parangin-angin, Sumatra Insidental Music dikenal meramu hasil karya musik dari dua sumber yang berbeda lagi kaya, yaitu musik tradisional dan instrumen modern. Kelompok musik ini tidak hanya unjuk instrumen di Medan, tetapi kota-kota lain di Indonesia, bahkan sampai ke negara-negara Asia Tenggara dan Eropa.

Sumatera Incidental Music menampilkan eksplosari musik yang kadang ditopang unsur seni lain, terutama teater. Tentu, Sumatra Incidental Music tidak kaku lagi bersanding dengan unsur seni lain, terutama teater, apalagi seni tari.

Lantas, tari merupakan unsur yang termasuk penting dalam pementasan “Cinta Tanah Air”. Untuk urusan ini, Citra Budaya Production ikut andil menyebarkan hasil ciptanya ke atas panggung. Citra Budaya Production yang merupakan kelompok tari yang eksis melestarikan unsur tradisi dalam setiap penampilan. Di bawah koreografer Rahma, kelompok ini mengisi kegiatan-kegiatan seni bertaraf lokal maupun nasional. Selain itu, paduan suara Solfeggio Universitas Negeri Medan turut menyemerbakkan pertunjukan.

Ketiga kelompok kesenian ini hadir di atas panggung dalam kesatuan yang utuh demi membentangkan keragaman seni leluhur bangsa, khususnya Sumatera Utara. Sejak awal pertunjukan, “Cinta Tanah Air” mencoba menggambarkan kekayaan yang dikandung Sumatera Utara. Kekayaan Sumatera Utara yang ditopang berbagai etnis seperti Melayu, Batak Toba, Batak Angkola, Batak Mandailing, Karo, Simalungun, Phak-phak dan Nias hadir susul-menyusul di atas panggung. Tentu, kehadiran unsur tradisi harus ‘disesuaikan’ dengan selera modern, karena mau tidak mau, ‘penyesuaian’ inilah yang menjembatani budaya masa lampau dengan budaya zaman modern.

Sesungguhnya, pengabaian terhadap ‘penyesuaian’ tersebutlah yang kerap menggagalkan unsur tradisi untuk tetap diterima masyarakat. Tidak dapat dihindari, pelestari budaya harus pandai-pandai menarik-ulur keteguhan unsur leluhur dan tuntutan kemodernan. Tarik-ulur ini harus terus dilakukan. Namun, risiko bahwa keaslian tradisi bakal terkikis harus tetap diperhitungkan. Yang pasti, penyesuain semacam ini harus dieksplorasi dalam produk-produk pelestarian jati diri bangsa, termasuk produk kesenian.

Nah, melalui produk kesenian, pertunjukan “Cinta Tanah Air” di bawah event organizer Tito Sinar Production yang juga dibantu Jitu Production dan CV. Ratu Mandiri Perdana sudah terlibat dalam peristiwa eksplorasi tarik ulur yang dimaksud, sehingga jurang antara tradisi dengan modern tidak menganga panjang lagi dalam.

Inilah muara dari Pementasan Pelestarian Seni Budaya kali ini, seperti yang turungkap dalam selebaran pertunjukan, “Kesenian merupakan fitrah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Panggung merupakan jagad. Menjadi salah satu pilihan pemersatu, perekat elemen-elemen yang tumbuh dan berkembang pesat. Baik tradisional maupun kesenian yang bermotif modern.”

Lestari budaya Indonesia!

Penulis adalah sastrawan, staf Balai Bahasa Medan dan dosen luar biasa FBS Unimed.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar