Selasa, 17 April 2012

Kemameleda, Karya Wahyu Wiji Astuti

Mihar Harahap.

Terus terang, saya mengenal karya Wahyu Wiji Astuti (disingkat WWA) baru ini. Tatkala, komunitas Omong-Omong Sastra membuat Buku Puisi (antologi bersama) dan Buku Cerpen (antologi bersama). Kebetulan saya dipercaya menjadi editor khusus menulis Kata Pengantar kedua buku itu. Dari puluhan penyair, pecerpen dan karyanya, terbacalah nama WWA yang mengirimkan puisi dan cerpennya. Dalam Kata Pengantar itu, saya katakan, WWA adalah penyair dan cerpenis masa depan Indonesia.
Tak lama berselang-dari saya menyelesaikan Kata Pengantar kedua buku Omong-Omong Sastra itu-bahkan tak ada selang, tiba-tiba WWA menghubungi saya, meminta dan lalu menyerahkan bukunya untuk dibicarakan. Sebuah buku antologi cerpen berjudul "Ketika Malam Merayap Lebih Dalam" (disingkat Kemameleda). Cetak perdana tahun 2012 oleh penerbit Tiga Maha Subang Jawa barat. Sayang, tak ada kata pengantar dari penerbit apalagi editor, kecuali Sekapur Sirih dari penulis sendiri. Menurut penulis (dalam sekapur sirih), Kemameleda ini, berfungsi 1). sebagai 'saksi sejarah' perjalanan hidup pribadi dan 2). merupakan 'saksi perjuangan' dalam meniti karir kepenulisan. Sungguh, saya merasa bangga karena penyair sekaligus cerpenis masa depan Indonesia ini, telah berani bersaksi. Saya sedikit kecewa karena sekapur sirih kurang merahnya atau tak menjelaskan proses kreatif, konsep kepengarangan dan unsur lain yang mendudukkan eksistensinya. Cinta Dalam Bayang Kematian Kemameleda, mengambil 23 cerpen yang ditulis dalam 3 tahun (2009-2011). Tahun 2009 ada 8 cerpen, Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Cinta dan persabatan, Lara, Pesan Tengah Malam, Rindu, ruwet, Sehelai Saputangan Hitam dan Untaian Mutiara Yang Lepas. Tahun 2010 ada 8 cerpen, Membaca Buku Kemameleda Karya Wahyu Wiji Astuti, Jejak sahabat yang Berkarat, Ketika Fajar beringsut Malu, Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja, Qiyamul-lail, Rahasia Hujan, Rumah Awan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear. Tahun 2011 termassuk tahun 2010-2011 ada 7 cerpen, Difined, Helena, Humai rah, Merakit Seperangkat Cinta, Kado Untuk lelakiku, Karya Kematian dan Pesan Diantara Gerbong Kereta. Melihat fakta ini saya menduga, kalau WWA telah memiliki disiplin menulis / mengarang antara 1-2 bulan sekali menghasilkan 1 cerpen. Hemat saya, cepat atau lambat menghasilkan cerpen tak masalah, yang penting disiplin menulis telah dimiliki dan itu merupakan awal yang baik dalam mempertahankan eksistensi. Dari 23 cerpen, terhimpun 11 cerpen yang bertema, subtema atau curahan perasaan tentang cinta; Cinta dan Persahabatan, Lara, pesan Tengah Malam, Rindu, Sehelai SaputanganHitam, Untaian Mutiara yang Lepas, Defined, Merakit Seperangkat Cinta, Helena, Kado Untuk lelakiku dan Pesan Di Antara Gerbong Kereta. Sebelas cerpen ditulis tahun 2009 dan 2011, tidak termasuk tahun 2010. Mengapa? Hanya pengaranglah yang tahu. Begitupun terkadang inspirasi, intuisi dan sensitivitas datangnya tak terduga. Dapatkah kita menulis cinta? Masihkah disebut karya sastra? Kenapa tidak! Sebab cinta antar manusia pun adalah wilayah kepengarangan, malah justru paling sensitif. Lagi pula keberhasilan cerpen, bukan tergantung berat-ringan atau apakah tema / subtema itu, melainkan sangat tergantung pada ada dan bagaimana cinta itu diungkapkan. Jadi, meski 50 persen buku ini berisi cinta dengan segala persoalan dan akibatnya, akan tetapi tetap merupakan karya sastra. Apakah karya sastra pop (umum, mudah dan ringan)? Memang, cinta yang ditampilkan melulu keluhan jiwa. Betapa tidak, hanya cerpen Cinta dan Persahabatan, Cinta, Helena dan Kado Untuk lelakiku, tokohnya masih terlihat stabil. Setelah itu, cinta (kontra dijodohkan bahkan lebih dominan diputuskan) membuat tokoh tidak stabil lagi. Jiwanya terguncang, lalu jatuh sakit, lalu mati. Pasrah. Atau tokohnya menjadi sakit hati, lalu marah, lalu dendam, lalu terbunuh, lalu mati. Bukan pasrah, melainkan perlawanan pasif, tetapi itupun juga tak berarti. Contoh cerpen cinta yang dianggap berhasil (dan menunjukkan ketakberdayaan bahkan kematian) adalah Lara (berangka tahun 2009). Kekuatan cerpen ini terletak pada plot, narasi pelukisan karakter pelaku dan bahasa yang digunakan. Perasaan memilukan terekspresi di hadapan pembaca. Kelemahannya, terletak pada detil cerita (alasan putus cinta, jenis penyakit dan akibat yang ditimbulkan), terlebih-lebih pemasungan karakter pelaku serta pemakaian akhiran 'nya' yang berlebihan. Menurut catatan, ada 7 cerpen yang mengekploitir ketakberdayaan dan 6 cerpen yang mengundang kematian. Ada apa dengan ketakberdayaan dan kematian dalam cerpen WWA? Apakah karena konsekuensi logis dari kualitas cinta yang mendasar di luluk hati? Ataukah karena ingin menampilkan sosok manusia, terutama perempuan, yang pesimistis dalam kehidupan bercinta? Atau karena penulis secara pribadi pernah gagal sampai merasa sakit hati pada setiap laki-laki? Pasti WWA yang bisa menjawab ini. Kemanusiaan Dalam Desing Peluru Selain menguak cinta, 12 cerpen lagi bertema, subtema atau curahan pikiran campur sari, persoalan keluarga dan kehidupan sosial. Meminati kerumahtanggaan, ada 9 cerpen yang disajikan penulis, antara lain terkait kemiskinan; Ketika Malam Merayap Lebih Dalam, Ketika Fajar beringsut Malu, Rumah Awan. Lagi-lagi tentang kematian; Jejak sabahat yang Berkarat, Karya Kematian dan hal kesabaran, anak, hutang dan penipuan ruwet, Qiyamullail, Rahasia Hujan dan Sepeda Motor vs Teddy Bear. Menyoroti kehidupan sosial, disajikan penulis 3 cerpen yakni Ketukan Ujung Malam, Malam di Penghujung Senja dan Humairah. Berbicara kemiskinan, ada 'aku', seorang 'mama' (manusia malam) yang mampu menghidupi diri dan 5 bintang kejora walau bukan anaknya. Untuk-'ku' 'mama' bukan pekerjaan haram, apalagi bak sampah, melainkan pahlawan karena berjuang menghidupi bintang. Jadilah, bintang kejora sebagai alasan pembenaran untuk menghalalkan yang haram bahkan disebut pahlawan. Tampaknya, tidak hanya cerita Ketika Malam Merayap Lebih Dalam pada saja penulis menafikan logika dan etika dalam menyelesaikan persoalan cinta, kemiskinan, juga persoalan lain seperti kematian yang banyak diceritakan. Bahkan dalam cerpen Karya Kematian, tiba-tiba pelakunya mengalami kehilangan dan kematian. Satu hal, meski cerita mengalir terus dan mungkin tak dapat dibendung, namun keseimbangan logika dan etika dibutuhkan agar efek cerpen lebih realistis dan moralistik. Meskipun begitu, cerpen Ketika Fajar beringsut Malu, (berangka tahun 2010) dianggap berhasil, walau tak menjadi judul antologi ini . Kekuatannya (untuk unsur plot, pelukisan karakter pelaku dan bahasa) menunjukkan peningkatan, bila dibandingkan dengan cerpen Lara. Begitu pula dengan kelemahannya (untuk unsur detil cerita, pemasungan karakter dan pemakaian akhiran 'nya') mulai diperhalus / hilang. Karakter tiap pelaku (Suci, ibu Ali, Ali) mulai terlihat berdiri sendiri tanpa harus dipicu penulis. Dalam penelitian saya, aspek penokohan ini mengalami perkembangan. Kalau pada cerpen Lara (dan kebanyakan cerpen lainnya) tokoh cerita masih seputar diri dan jajaran, maka pada cerpen Ketika Fajar beringsut Malu, tokoh cerita berkembang ke orang di luar diri dan jajaran. Karena itu, aspek penceritaan pun makin meluas. Tidak lagi soal percintaan dan kematian, tetapi sudah meluas ke soal kemiskinan dan sentuhan kemanusiaan, meskipun masih dalam lingkungan sosial kehidupan penulis. Bagaimana pertanyaan logika dan etika? Pada cerpen Ketika Fajar beringsut Malu terasa mulai tertib. Kegigihan penulis memperjuangkan sub estetika demi kepentingan cerita, rupanya mendapat perimbangan juga dengan masuknya persoalan logika dan etika. Tuntutan realistis dan moralistik dalam cerpen tetap menjadi perhatian. Jelaslah kehadiran Suci, ibu Ali dan Ali dalam cerpen itu tidak dipaksakan, melainkan utuh sebagai tokoh (antara mengasihi dan dikasihi) dalam lingkungan sosialnya. Pada cerpen Humairah (berangka tahun 2011) unsur kemanusiaan justru mengalahkan ancaman keamanan diri. Memang, terkadang profesi menantang sikap dan keberanian seseorang. Tokoh 'aku'dalam cerpen itu telah membuktikannya. Dia berani ada di tengah-tengah konflik senjata (Israel-Palestina), beri perlindungan sekaligus membawa pulang Ummu Hanie ke Indonesia, menikahinya, lahirlah Humairah (kini berusia 4 tahun) dan dia berani kembali ke pergolakan Palestina-Israel dalan tugas yang sama. Harus diakui, terlihat dalam cerpen Humairah ini, kekuatan itu semakin lama semakin meningkat. Termasuk ide penceritaan pun semakin meluas dan bahkan amat spesifik.Bayangkan, di tengah-tengah gejolak perang, antara hidup (membunuh) dan mati (dibunuh), tokoh aku sebagai reporter tidak hanya melakukan tugas meliput berita, tapi dapat menyempatkan diri untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Pengarang menghendaki, kemanusiaan itu merupakan panggilan hati nurani. Terlepas dari relung kemanusiaan, ada hal yang menjadi perhatian saya. Pertama, ketika Humairah tertidur, ayahnya masuk ke kamar. Setelah bangun, terjadi dialog. Kata Humairah: "Ayah, Ira sudah pandai menulis ..." Seakan Ira baru saja bertemu ayahnya dan memberitahukan kepandaiannya. Padahal mereka bertemu sejak 4 tahun lalu. Kedua, pada dialog-dialog berikutnya, terlihat Ira (Humairah) seperti orang dewasa kecil. Dialog orang dewasa yang cerdas dan komitmen. Padahal Ira baru berusia 4 tahun. Kesimpulan saya, satu, buku Kemameleda, merupakan saksi sejarah / saksi perjuangan WWA sebagai cerpenis masa depan Indonesia. Dua, banyak cerpen tentang cinta manusia, di samping masalah keluarga dan lingkungan sosial. Semuanya menjurus pada kegagalan cinta, kematian, kemiskinan dan kemanusiaan. Tiga, tiap cerpen memiliki kekuatan (plot, narasi pelaku, bahasa) dan kelemahan (detil, pemasungan tokoh, pemakaian kata). Kekuatan estetika harus diimbangi unsur logika, etika, hukum, agama, dan sebagainya. Empat, saya bangga kalau WWA punya antologi. Apalagi kalau isinya bermutu. Saya suka baca cerpen Lara, Ketika Fajar beringsut Malu dan Humairah.

Penulis; Kritikus Sastra dan Dekan FKIP-UISU Medan.

MEMBACA SEKILAS JEJAK PETA KEPENYAIRAN WANITA SUMATERA UTARA

S. RATMAN Suras

Dibanding dengan pria, wanita lebih sedikit yang terjun kedunia sastra, apalagi puisi. Selama satu setengah dasawarsa ini saya melihat perkembangan sastra Sumatera-Utara banyak didominasi kaum pria. Memang satu dua muncul kepermukaan, tapi mungkin karena sesuatu mereka berguguran di tengah jalan. Sesuatu itu bisa

jadi, karena keluarga, cita-cita, karir, dan pekerjaan.
Dalam wacana ini saya tidak akan menyeret kita untuk berdebat tentang puisi atau penyair wanita / pria. Saya hanya mengingatkan kita bersama tentang semangat emansipasi wanita kita lewat sastra. Apalagi kini bulan april sudah mencapai pertengahan.
Perkembangan sastra Indonesia pun sudah mengabarkan kepada kita tentang miskinya penyair wanita. Hanya berapa yang bisa kita catat. Sebut saja, Isma Safitri, Rayani Sriwidodo, Toeti Heraty Noerhadi, Popy Hutagalung, Rita Oetoro, Diah Hadaning, Omi Intan Naomi, Dorothea Rosa Herliany, Azwina Aziz Miraza, Medy Lukito, Ulfathin Ch., Abidah el Khalieqy, dan Helvi Tiana Rosa. Dari nama-nama tersebut di atas hanya beberapa saja yang masih aktif sampai sekarang puisi-puisinya bisa kita nikmati.
Untuk peta kepenyairan wanita Sumatera-Utara sendiri sepertinya nyaris sama, sedikit sekali wanita yang menghiasi blantika sastra khususnya puisi. Dulu kita kenal nama-nama seperti, Murni Aryanti Pakpahan, Laswiayati Pisca, Susi Aga Putra, lalu ada Rosliani, Jerni Martina erita Napitupulu, Rosmaeli Siregar. Ada Aishah Basar, Nur Hilmi Daulay dan Sumiati. Sekilas nama-nama itu mungkin sudah menemukan dunia lain yang dianggap lebih menjanjikan dari dunia kepenyairan.
Memang ada kabar yang menyegarkan bahwa ada regenerasi di kancah perpuisian wanita di sini. Fenomena ini muncul pasca reformasi, banyak bermunculan kelompok-kelompok sastra dari sunia kampus. Nyaris setiap minggu kita bisa membaca puisi-puisi karya wanita kita di media massa cetak. Buku antologi puisi baik tunggal maupun bersama diterbitkan.
Dari hitungan tahun 1995 sampai kini ada beberapa antologi yang bisa dicatat. Antologi puisi Rentang (1995) penerbit Studio Seni Indonesia mengambil 10 puisi terbaik Sumatera Utara, dua diantaranya adalah wanita yaitu, Jerni Martina erita Napitupulu dan Rosmaeli Siregar. Antologi Bumi (1996) penerbit Studio Seni Indonesia bekerja sama dengan Forum Kreasi Sastra Medan mengambil puisi-puisi 18 penyair Sumatera Utara. Hanya ada dua penyair wanita yang mewakili di dalamnya, yaitu Rosliani dan Jerni Martina erita Napitupulu. Lalu antologi serial Tengok (2000) Arisan Sastra Medan (Arsas) yang konon hanya sampai 4 dari 5 rencana terbit. Hanya satu penyair wanita yaitu Aishah Basar. Untuk antologi puisi tunggal hanya dua buku yang sempat saya punya, yaitu Kemuruh Nur Hilmi Daulay Penerbit Laboratorium Medan (2007) dan Benih Rindu karya Sri Yuliani diterbitkan oleh Pustaka Pemuda Medan (2011).
Walau nampak samar-samar namun perjuangan penyair wanita Sumatera Utara masih bisa kita baca. Mereka berjuang tidak hanya berjuang untuk menyuarakan kaumnya, tapi juga secara umum berusaha memotret dan mengkritisi kondisi sosial di sekitarnya.
Aku Tetap Menunggumu
.................................
walau entah berapa kali sudah
bulan purnama hadir
dikala padi kembali berkali-kali di panen
kapalpun sudah berlayar entah beberapa negeri
dan rambut hitamku jadi kelabu
tapi harapku padamu tak pernah luluh dan beku
...............................
Penjelasan wanita setia dan patuh terhadap kekasihnya dituangkan oleh Rosmaeli Siregar dalam puisinya Aku Tetap Menunggumu (Rentang , 1995). Sedang Aishas Basar dalam 12 puisinya yang dimuat dalam tenggok 3 banyak mengangkat tema-tema "Pemberontak" yang disampaikan dengan sangat halus namun nyelekit. Kita baca puisi pendeknya
Yang Tak Sampai
Selembar amarah
tersobek sia-sia
tak siapa membaca
Puisi ini mengandung majas personifikasi berusaha melukiskan kondisi rasa ngilu hati melihat situasi yang sering terjadi di masyarakat kita. Contoh paling baru adalah demo besar-besaran mahasiswa dan rakyat umum tentang harga BBM, toh tetap naik juga walau ditunda. Jadi terasa sia-sia saja apa yang dilakukan para pendemo. Disamping melukiskan pemberontakan kaumnya yang tertindas, Aishah juga menulis puisi balada yang memelas kepada Sri. Rasa putus asa dan nasib yang menimpa kaum wanita hanya bisa dilakoni dengan kata pasrah. Puisi-puisi pendek Aishah terasa padat dengan pilihan diksi yang kuat menciptakan renungan kehidupan yang dalam.
Pencarian jati diri sebagai manusia juga banyak diangkat ke puisi Nur Hilmi Daulay dalam antologi tunggalnya Gemuruh: Pada Pemilik Teduh. Ia sadar bahwa manusia Cuma bisa berencana, Allah SWT yang menentukan segalanya.
........................
padahal sudah membaur lafal namamu menyatu riuhku
sudah kujeritkan cintaku hatiku penuh suara hanya padamu
dan kornea ini tak kenal wajah, tak kenal arah
tangis telah jelma lentera
............................
Nur Hilmi Daulay, dalam antologi ini menulis 68 puisi dengan beragam tema. Lain lagi Benih Rindunya Sri Yuliani, penyair wanita yang satu ini banyak mengangkat tema cinta, rindu, mimpi, dan benci. Cinta tidak hanya percintaan kaum remaja namun cinta yang lebih luas jangkauannya. Kita terasa dihanyutkan alam fitrah manusia.
Ada rindu, sunyi, sepi dan kehampaan. Namun ada juga harapan dan impian karena arus global pada era yang canggih ini alam dieksploitasi sedemikian kejam oleh manusia. Sri merasa miris saat melihat kondisi yang demikian. Cinta kepada ibundanya juga berkali-kali diangkat dalam puisi-puisinya. Salah satunya adalah Bunda.
...............................
menjadi tak sempurna aku
ketika bercermin
kesabaranmu
tak mampu
Kukalahkan dalam
wujud apa pun
saat ini!
aku mencoba belajar sepertimu
sebelum kutempuh kodratmu
menjadi pendamping ksatria
..................... ............
Seiring dengan dinamika kehidupan, penyair-penyair wanita Sumatera Utara pasti akan tetap bermunculan. Kita masih menunggu karya-karya dari Intan HS, Budiah Sari Siregar, Sartika Sari, Sakinah Anissa Maris, Wahyu Wiji Astuti, Ria Ristiana Dewi, Ayu Harahap, Adlya Eka Putri, Winda Sriana, Ulfa Zaini, Febri Mirah Rizky, Zuliana Ibrahim, Dara syahadah, Erni Wirdianingsih, Nur Wida Sari Lubis serta nama-nama lain yang masih terus bekerja keras melahirkan karya-karyanya dalam puisi.
Hal mereka mandek setelah menuju pelaminan itu soal pribadi mereka masing-masing. Kata orang tua kita dulu, wanita apapun profesinya ia tetap berkutat dengan segitiga sama sisi; dapur kasur dan sumur.

Disampaikan Pada Diskusi Omong-Omong Sastra di Uisu 15 April 2012


S. RATMAN Suras lahir di desa Wringin Harjo Kec. Gandrung Mangu Cilacap Jawa Tengah tanggal 8 oktober 1965. Belajar sastra secara otodidak. Buku kumpulan puisinya Gugur Gunung (1996) diterbitkan oleh sanggar Toko Sastra Kecil (ksk) Deliserdang.

Menggugat Kembali Peran Sosial - Politik Sastrawan

Jones Gultom.

BAGIAN klasik dari diskursus sastra adalah menyangkut perannya di tengah gejolak sosial. Bukan soal kontekstual atau tidak, tetapi apakah sebuah karya sastra masih cukup mampu memberi harapan di saat kehidupan sosial-politik sebuah bangsa berantakan, seperti yang terjadi pada negeri ini? Dimanakah sastra kita tempatkan, ketika mendapati masyarakat yang sudah putus asa dengan hidupnya? Saya kira, pertanyaan dan keprihatinan inilah yang mendasari perdebatan tentang politik sastra di Rebana, beberapa waktu lalu. Kini, patut direnungkan lagi, sambil kita menghadapi kenaikan harga BBM, April 2012 ini.
Sayang, tak ada penelitian menjelaskan, seperti apa sebenarnya pengaruh sastra terhadap pembacanya. Tak seperti survey politik yang lazim dilakukan, terutama menjelang pemilu. Mungkin ini yang membuat banyak sastrawan kita gamang, tak percaya diri, lantas tak berani bicara sosial-politik. Lantas berapologi, sastra harus tak berpihak. Dengan sikap seperti ini, wajarlah jika kemudian sebagian besar akhirnya beralih profesi, walau tetap mengaku sebagai sastrawan.

Sejarah perkembangan sastra di Indonesia, setidaknya diklasifikasikan atas beberapa bagian, antara lain; Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 2000 dan Angkatan Reformasi. Pengelompokan ini lebih didasari fokus garapan dan kurun waktu yang berlangsung. Ada juga versi yang memilah berdasarkan ketokohan sastrawannya. Sebut saja Angkatan 45 dan 66 yang populer karena kehadiran Chairil Anwar dan Taufik Ismail. Masing-masing angkatan menyuguhkan ciri khasnya sendiri. Angkatan Pujangga Lama misalnya, lahir untuk memberontaki mitos-mitos yang berlaku dalam sistem masyarakat tradisi. Seperti yang diangkat dalam novel Siti Nurbaya, oleh Marah Rusli. Fungsinya kemudian berkembang di masa Angkatan Balai Pustaka. Seiring mulai terbentuknya konsep negara kesatuan, rasa nasionalisme pun mulai tumbuh di kalangan cendikiawan.

Di fase itu sastra mengambil peran ganda, karena juga dijadikan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Meski ada berpendapat sebaliknya; angkatan ini merupakan underbow Belanda, sehingga memunculkan Angkatan Pujangga Baru sebagai tandingan, yang kemunculannya sekurun waktu dengan Angkatan Balai Pustaka.

Selanjutnya, seiring masuknya peradaban millennium yang dirayakan di segala penjuru dunia, menandai kelahiran Angkatan 2000 dengan cirinya yang postmo, walau sebagian sastrawannya adalah Angkatan Pujangga Baru. Di masa ini, karya-karya sastra bermunculan dengan ragam warna dan corak. Babakan masing-masing angkatan ini bukanlah rentang waktu proses kreatif sastrawannya, namun setidaknya boleh dianggap sebagai fase "puncak" kemunculan mereka.

Dari perjalanan sejarah ini, setidaknya kita menemukan beberapa hal. Pertama, bersastra juga merupakan cara untuk melibatkan diri dalam situasi sosial perpolitikan. Dengan begitu sastrawan juga adalah seorang sosiolog bahkan politikus. Kedua, karena memadukan realita dengan kedalaman insight yang dimiliki, sastrawan bahkan setingkat lebih tinggi dari seorang ilmuwan. Ketiga, karena kebiasaannya yang reflektif, sastrawan pun dianggap sebagai "ahli nujum" yang tahu membaca masa depan. Syarat-syarat inilah yang menjadikan karya seorang sastrawan menjadi penting untuk dibaca. Sejarah Indonesia juga membuktikan, para sastrawanlah yang membangun bangsa ini. Atau setidaknya dia juga melakukan kerja-kerja politis.

Sejak Ronggowarsito sampai M. Yamin. Dari AA. Navis sampai Mukhtar Lubis. Pramoedia, Goenawan Muhammad, Rendra, Arief Budiman, Fuad Hassan, bahkan Gusdur. Tokoh-tokoh ini didengar bukan semata-mata karena karya sastranya, tapi juga kerja politiknya yang didasari atas karakter kesastrawanannya. Tak heran jika Soekarno pernah menyitir; "jika fakultas kedokteran ditutup, maka 3-5 tahun ke depan kita akan kekurangan dokter. Begitu juga jika fakultas hukum ditutup, maka 3-5 tahun lagi kita akan kekuranagn hakim dan pengacara. Jika fakultas sastra ditutup, bahkan di seluruh universitas dunia, sastrawan tetap akan muncul dengan sendirinya." Karena seorang sastrawan bisa saja lahir dari gejolak sosial, ekonomi, budaya, terutama politik.

Angkatan Reformasi (?)

Sama dengan angkatan-angkatan sebelumnya, Angkatan Reformasi lahir juga mengusung semangatnya sendiri. Terbukanya kran berkreativitas sebebas-bebasnya, disambut para sastrawan di penjuru nusantara. Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkan istilah ini. Angkatan ini digawangi oleh sejumlah sastrawan yang mencuat serta didasari oleh semangat reformasi. Sayangnya Angkatan Reformasi ini tidak setangguh angkatan-angkatan sebelumnya, terutama jika dikaitkan dengan moment yang melahirkan mereka. Bahkan angkatan ini nyaris tak memunculkan satupun sastrawannya, kecuali Wiji Thukul. Momentum reformasi gagal membesarkan angkatan ini. Dia kalah progresif dengan dunia sosial dan politik yang sukses besar melahirkan tokoh-tokoh politik yang kini menjadi icon. Tak heran, hampir tak ada karya sastra yang terbilang penting, bagi keindonesiaan, lahir di fase ini. Sampai kemudian tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata pun berkibar.

Dalam kaitannya dengan sosial-politik, dunia sastra di masa sekarang ini, boleh dibilang gagal, karena tak memberi sumbangan yang cukup berarti. Ketika korupsi dimana-mana, harga-harga melambung tinggi, konspirasi yang merajalela, masyarakat yang berubah anarkis, kemiskinan, pembohongan publik, seperti yang berlangsung sekarang, dimanakah suara sastrawan?

Saya termasuk rajin mengamati opini-opini yang dimuat di media massa lokal dan nasional. Hanya ada 1-2 sastrawan yang rajin memberikan pemikirannya, termasuk sekedar menunjukkan simpati. Padahal ketika kongres sastrawan diadakan, pesertanya bisa sampai membludak.

Menurut saya, banyak hal yang menyebabkan ketimpangan ini. Pertama, para sastrawan kita tak mampu dan tak terbiasa mengangkat isu-isu sosial-politik dalam karyanya. Ketika reformasi meletus, para sastrawan gagal menangkap momentum itu. Dinamika sosial-politik bergerak ibarat bola salju, dunia sastra kita masih terjebak dengan indetitas angkatan sebelum-sebelumnya. Akhirnya sastrawan kita tak mampu mengejar isu dengan perwujudannya yang kontekstual. Wajar jika kemudian masyarakat yang sempat betah membaca karya sastra, pergi menjauh. Ditambah lagi dengan bergesernya perhatian industri penerbitan dari karya sastra.

Saya kira, inilah efek dari kebiasaan para sastrawan yang terdogma dengan sentralisme media. Para sastrawan "mati-matian" bermanuver, membahas bahkan menduga-duga seperti apa ciri yang diminati media yang dinilai prestius itu. Alhasil, proses kreatifitasnya hanya sekedar ambisi-publikasi. "Semangat" itupula yang membuatnya lupa dengan dunia di luar sastra yang semakin "panas" itu.

Kedua, eforia Angkatan 2000 yang belum selesai. Seperti disinggung sebelumnya, keanekaragaman karya sastra kita memuncak di Angkatan 2000. Afrizal Malna muncul dengan puisi instalasi urbannya. Joko Pinurbo menyuguhkan puisi filsafat eksitensi yang mengkontruksi benda-benda keseharian. Pada cerpen ada Seno Gumira Aji Darma, yang gemar mendramatisir sesuatu yang realita maupun fiksi dengan penekanan pskilogis. Begitu juga Hudan Hidayat yang sukses mendekonstruksi teori-teori psikologi, termasuk pewayangan. Di novel yang cenderung didasari semangat feminis, berhasil melahirkan novelis-novelis bermutu semisal Ayu Utami, Djenar, Dewi Lestari yang menghadirkan "keharuman" karyanya masing-masing.

Pengaruh para sastrawan ini masih cukup kuat sekaligus menghipnotis para sastrawan Angkatan Reformasi. Alhasil Angkatan Reformasi sampai ini belum menemukan jati diri di zamannya sendiri.

Kalah Langkah

Tulisan ini tidak hendak mendiskreditkan para sastrawan Angkatan Reformasi maupun karya-karyanya. Kenyataannya, sastra kita sekarang ini tak mampu berbuat apa-apa bagi masyarakat, khususnya pembaca, adalah hal penting yang harus dijawab.

Sebagai perbandingan, ketika gejolak sosial-politik melanda Bangsa Indonesia, setidaknya satu dekade ini, hampir tak didapati karya-karya sastra yang mengangkat situasi ini. Justru kiblat sastra semakin liar, bahkan, mengutip istilah Yulhasni- konteks-teksnya makin semu. Bilapun kearifan lokal yang coba digagas kembali sebagai alternatif postmodrenisme, justru terperangkap pada kedangkalan tafsirnya sendiri.

Kemampuan dialektis sastrawan yang dangkal menjerumuskan sastrawan ke dalam mahzab yang sempit; sekedar penanda identitas kelompok-kelompok masyarakat. Sebaliknya, agresivitas sosial-politik yang makin tak terbendung itu, kini makin merangsek ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Saya khawatir, adakah situasi ini menjadi kekhawatiran para sastrawan?

Kritikus Sastra di Sumut Ketinggalan Zaman

Yulhasni.

Akhirnya, posisi dan kebutuhan mengkritisi karya tidaklah seburam gumaman Yulhasni. Biarkan dia mengalir seirama zaman. Mengapresiasi atau mengkritisi kembali apakah dengan atau tanpa teori, selama kita memahami, kritik dimaksudkan untuk menemukan solusi bukan menambah konflik, silahkan saja. Toh, tanpa kritikus sastrawan tetap lahir. Lantas bagaimana sebaliknya? Terserah kita menafsirkannya. Salam.
Sengaja saya mengutip tulisan M Raudah Jambak berjudul ‘’Tanpa Kritikus Sastrawan tetap Lahir’’ di rubrik Rebana harian ini (1/4) untuk membuka sebuah tahapan pemahaman kita tentang kritik dan cara pendekatannya, terutama jika dikaitkan dengan sastra di Sumatera Utara. Tulisan itu muncul sebagai respon atas tulisan saya berjudul ‘’Minimnya Teori Kritis terhadap Karya Sastra Sumut’’ yang dimuat harian ini pada 18 Maret 2012.

Sejarah panjang kritik sastra Indonesia tentu melahirkan bermacam pendekatan. Pada level tertentu di beberapa perguruan tinggi, pendekatan karya sastra masih melekat dalam satu konsep ‘’sastra yang otonom’’. Cara pandang ini sebenarnya telah lama ditinggalkan oleh kaum akademisi di beberapa daerah, terutama Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Bali. Cara pandang seperti itu, meminjam Faruk HT, erat kaitannya dengan bagian integral dari kritik sastra Indonesia modern yang bermetamorfosis dari cara pandang sastra modern yang berkisar pada soal oposisi hierarkis antara kebenaran dengan kesemuan; kenyataan dengan representasi; dan kedalaman dengan permukaan.

Konsep bahwa sastra adalah dunia yang otonom mengakibatkan tidak terjadinya proses dialektika dalam kritik sastra di daerah ini. Saya kemudian harus memberi catatan penting soal betapa tertinggalnya daerah ini dalam hal kritik sastra itu sendiri.

Cara pandang kita terhadap sastra, terutama yang dimuat di media cetak di daerah ini, seringkali alergi dengan perkembangan teori sosial yang berkembang di dunia. Bahkan lebih ironisnya, di perguruan tinggi pun, teori-teori sosial baru yang kemudian bermuara kepada pendekatan karya sastra, ternyata tidak mendapat tempat. Alhasil, studi mahasiswa pun akhirnya terpola kepada model teori struktural yang sebenarnya telah jadi fosil tersebut.

Model pendekatan karya sastra di daerah ini sudah semestinya diarahkan kepada bentuk-bentuk baru dalam teori ilmu sosial. Sastra tidak lagi harus berdiri di menara gading yang dengan sendirinya harus dipahami dalam teks tertulis saja. Memahami beberapa novel sejarah seperti Berjuta-juta dari Deli karangan Emil W Aulia atau Acek Botak karya Idris Pasaribu, semestinya harus didekati dengan model teori postkolonial. Jika teks dalam kedua karya ini didekati dengan model struktural, maka esensi utama dari keduanya tidak akan tercapai. Teori postkolonial memungkinkan teks dalam kedua novel, dipahami sebagai pesan penting tentang penindasan model Barat atas Timur. Satu konsep yang sejak lama sudah diperkenalkan oleh Edward Said.

Beberapa puisi, cerpen, naskah drama dan novel telah lahir di daerah ini. Selalu saja penilaian atas karya tersebut berhenti pada struktur karya, tanpa mampu memberi ruang pemikiran yang lebih luas tentang apa di balik teks karya tersebut.

Bangku perkuliahan semestinya cepat keluar dari kungkungan teori-teori klasik yang telah usang. Dalam sejarah pendekatan karya sastra, perkembangannya begitu cepat. Kita mengenal urutan teori sastra, yakni teori moral, teori ekspresif, biographical criticism, new criticism, psikoanalisis, marxisme, reader response (resepsi), strukturalisme, postrukturalisme dan dekonstruksi, posmodernisme, feminisme, new historicism, poskolonialisme dan cultural studies.

Pada saat sekarang, ketika berbagai ilmu sosial berkembang, teori pun mengikutinya lewat seperangkat metode yang digunakan. Makanya, konsep Critical Analysis Discourse (CDA) atau Analisis Wacana Kritis menjadi relevan dikembangkan untuk melihat kesejatian karya sastra di daerah ini. Widyastuti Purbani dalam tulisan berjudul ‘’Metode Penelitian Sastra’’ menulis kata kritis (critical) dalam CDA membawa konsekuensi yang tidak ringan.

Pengertian kritis di sini bukan untuk diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis menurut Ruth Wodak -seorang pemikir neo-marxis yang banyak dipengaruhi Mazhab Frankfurt model Jurgen Habermas- hendaknya dimaknai sebagai sikap tidak menggeneralisir persoalan melainkan memperlihatkan kompleksitasnya; menentang penciutan, penyempitan atau penyederhanaan, dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna refleksi diri melalui proses dan membuat struktur relasi kekuasaan dan ideologi yang pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang. Kritis juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatif.

Dengan menggunakan metodologi seperti ini, kita mampu menangkap pesan-pesan penting adanya relasi kekuasaan pada novel Berjuta-juta dari Deli dan Acek Botak. Kungkungan struktur yang membangun kedua novel tersebut tidak lagi sebagai hal yang harus diributkan, ataupun kemudian ditarik berbagai cara untuk mengkaji dalam konsep sastra yang otonom tersebut.

Karya-karya sastra di daerah ini mungkin terlalu banyak yang berbicara tentang protes sosial atas ketidakadilan majikan (tuan) terhadap buruh, terutama jika mencermati praktik dehumanisasi di perkebunan. Sayangnya, dalam studi-studi sastra kontemporer di daerah ini, terlalu sedikit yang mencoba melirik karya tersebut lewat pendekatan baru dalam ilmu sosial. Selain itu karya-karya sejenis ini telah lama dikubur oleh rezim Orde Baru karena dinilai bagian dari sebuah model gerakan politik, seperti apa yang terjadi pada karya-karya pengarang pengikut Lekra. Hal yang sama juga terjadi terhadap karya sastra etnis Tionghoa yang hilang tak berbekas sebagai akibat praktik ‘kasar’ Orde Baru.

Sastra Melayu-Tionghoa atau Sastra Indonesia-Tionghoa, seperti ditulis Irwansyah, adalah sastra kaum minoritas. Nasibnya tampak lebih jelek dari roman picisan dan novel pop. Kedua yang disebut terakhir, hanya dipandang dengan sebelah mata, sedangkan sastra Indonesia Tionghoa hanya dilirik sekilas. Ketiganya seakan-akan tidak punya andil dalam dunia sastra Indonesia.

Patut disayangkan, karena model pendekatan dalam kritik sastra di daerah ini masih percaya kepada struktur karya yang mengakibatkan banyak karya sastra yang tidak mendapatkan apresiasi dari pembaca. Kritikus sastra -entah ada atau tidak di daerah ini- terperangkap kepada satu model yang keliru, yakni melihat karya hanya dalam batasan karya sebagai bentuk yang otonom. Kekeliruan ini akibat studi sastra yang juga keliru dalam menerjemahkan perkembangan teori sastra di Indonesia.

Penilaian karya sastra tidak berhenti hanya pada persoalan layak atau tidaknya seorang redaktur media cetak menilai sebuah karya. Sayangnya tulisan Raudah Jambak keliru menafsirkan pemikiran saya tentang apa itu ‘teori kritis’ dan ‘kritik teoritis’. Teori kritis memandang sastra dengan konsep antiotonom, sedangkan kritik teoritis merupakan model kritik terhadap karya sastra dengan menggunakan metode-metode tertentu. Tidak ada hal yang krusial ketika seorang redaktur media cetak menjadi penilai karya sastra, akan tetapi konsep yang saya maksud adalah peranan ‘orang luar’ terutama mereka yang selalu mengaku sebagai kritikus sastra di daerah ini untuk tidak terkungkung dengan metode pendekatan yang sudah kadaluarsa alias ketinggalan zaman.

Penulis; Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik USU

Tanpa Kritikus Sastrawan akan Tetap Lahir

M. Raudah Jambak.

Terlalu banyak persoalan yang berhubungan dengan sastra atau kritik sastra yang menarik untuk dibicarakan. Lebih menariknya lagi, persoalan yang mengemuka selalu itu ke itu saja. Tak pernah selesai. Tak jelas ujung-pangkalnya. Setiap kali diulang masih selalu saja mencuri perhatian kita. Masih tetap menarik untuk disimak.
Setiap tahun persoalannya selalu sama. Bahkan tawaran penyelesaiannya juga tak jauh beda. Terhitung tahun, bulan, minggu, hari, maupun detik. Tak ada yang berbeda. Decak kagum selalu mencuat ke permukaan. Persoalannya, apakah kita sudah terbiasa mengulang-ulang yang sudah ada? Justru kita memang tumpul untuk menciptakan sesuatu yang baru. Apakah kita sudah imun dengan yang namanya kemajuan, sehingga tidak mampu lagi menjadi seorang penemu, pemikir atau penggali yang jenius terhadap karya-karya yang hadir.

Kita maklum, produktivitas (kreativitas) karya jauh melesat kuantitasnya. Ratusan bahkan ribuan karya tak terbendung lagi kehadirannya. Untuk hal itu kita mau tidak mau harus angkat jempol sekaligus angkat topi.

Pun, termasuk berbagai ulasan yang hadir. Baik itu sebatas apresiasi, bahkan kritik. Apresiasi karya atau apresiasi hasil apresiasi. Kritik karya atau kritik hasil kritik. Kita pernah membaca tulisan Sitor Situmorang tentang, Krisis HB Jasin dalam Mimbar Indonesia Th. IX No. 2-3; sastra di Indonesia sedang mengalami krisis ukuran.

Pengukuran pencapaian estetika karya menentukan seberapa pentingnya (berpengaruhnya) seorang sastrawan. Baginya, setiap sastrawan dan karyanya harus dikaji dengan ide-ide yang melingkupinya. Dalam hal ini, lantas tentu tidak meletakkan karya sastra di atas timbangan atau dipeluk penggaris. Kita tidak terjebak dengan pemerkosaan ide dalam sebuah karya sastra. Memang batasan antara struktural, estetika dan ide sangat tipis. Ruskin melihat hal ini mengatakan, keindahan karya ditentukan oleh keluhuran perasaan yang diungkapkannya.

Kemampuan merasakan atau kepekaan tidak lepas dari selera. Seperti halnya Hazlitt, seorang kritikus, menilai tidak lebih dari selera (taste)-nya, tapi dengan sejumlah alasan dan data dari karya sastra. Selera baginya, "kepekaan rasa terhadap berbagai macam tingkatan dan jenis kejeniusan dalam karya-karya seni…" Penilaian, tambahnya, seperti halnya memberi penghormatan pada karya sastra.

Seperti apa yang telah digumamkan oleh Yulhasni, studi sastra dalam perkembangannya di tanah air selalu melahirkan berbagai wacana dan polemik yang menarik untuk dicermati. Pada dekade 80-an dan 90-an, studi sastra dalam pendekatannya pernah dihebohkan dengan munculnya gerakan postmodernisme atau sering disebut sebagai pascastrukturalisme. Pada masa itu kemudian teori dekonstruksi Derrida jadi wacana yang menghangatkan diskursus sastra di Indonesia. Sebelumnya A. Teeuw menyentakkan dunia akademisi di Indonesia dengan esainya ‘’Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi’’. Dalam esainya, profesor Belanda ini menyatakan ketidakpuasannya atas hasil analisis dosen sastra terhadap dua sajak modern Indonesia.

Begitulah, dunia akademisi dengan seperangkat teori yang dikunyah lewat rak-rak buku, jadi bentangan kesia-sian belaka. Barangkali memang ada kesalahan pemahaman ketika berhadapan dengan teks sastra.

Di Sumatera Utara, nyaris tidak dapat ditemukan studi kritis yang lebih menukik saat berhadapan dengan karya sastra di daerah ini. Bahkan saat membaca beberapa tulisan di rubrik Rebana ini, baik berupa ulasan terhadap cerpen, puisi, maupu novel, hampir semuanya terperangkap pada pendekatan yang mengabaikan proses pembacaan yang kritis.

Mungkin telah terjadi kekeliruan yang menahun di bangku perkuliahan ketika mahasiswa disodorkan seperangkat teori sastra. Lebih memprihatinkan teori yang disodorkan, sama sekali keluar dari realita teks itu sendiri. Alhasil, dalam model pendekatan struktural, teks hanya dimaknai sebagai satu yang otonom tanpa ada faktor luar yang mempengaruhinya. Inilah faktor penyebab mengapa kemudian sastra menjadi kering saat dibedah oleh kaum akademisi. Di lain pihak, tema dan gagasan tentang karya sastra di Sumut masih bicara tentang kelamin, sesuatu yang sebenarnya adalah cerita lama dalam khazanah sastra Indonesia.

Beberapa karya sastra yang lahir di Sumatera Utara, terutama yang terbit di media cetak, diyakini tidak pernah mampu dikritisi secara cermat. Bahkan dalam praktik pendekatannya, tiga bentuk pertanyaan yakni (1) bagaimana cara menafsirkan isi karya sastra, (2) bagaimana dan kenapa suatu karya sastra diciptakan, dan (3) apa implikasi sosial budaya dari karya itu, pada kenyataannya tidak mampu terjamah kaum akademisi sastra. Pada bagian inilah kemudian muncul pendekatan Teori Kritis untuk menjawab tiga pertanyaandi atas.

Gumaman itu, tetap menarik dicermati, apalagi beberapa waktu lalu, juga acap kita membaca apresiasi plus kritik yang mengemuka. Misalnya persoalan politik dan kritik, jenis kelamin sastrawan dan sebagainya.

Saya pernah menulis dalam bentuk kertas kerja Omong-Omong Sastra beberapa waktu lalu tentang "Kritikus dan Sastrawan saling kehilangan" dan "Dimana keberadaan Kritikus ketika Sastrawan tidak lagi berkarya", serta "Masih perlukah kritik?".

Ketika kita berbicara persoalan zaman, mungkin kritikus masih layak mendapatkan posisi terhormat, jika kita bicara masa lalu. Zaman sekarang dengan media yang cukup menjanjikan misalnya, selain surat kabar dan majalah, kita bisa mengirimkan ke media-media online.

Masuk ke persoalan gumaman Yulhasni, apakah masih perlu kritik ketika redaktur sudah bertindak sebagai kritikus terhadap karya yang masuk. Ketika kita bicara tentang kritik teoritis terhadap karya, maka dimanakah posisi skripsi atau thesis yang lahir selama ini? Berharap kritik teoritis masuk dalam surat kabar atau majalah, yang perlu kita pertanyakan, apakah kualitasnya tercapai? Bagaimana dengan buku?

Minimnya teori kritis terhadap karya sastra Sumut disinyalir oleh Yulhasni tentang, beberapa ulasan terhadap karya sastra di rubrik ini, misalnya, tidak menyentuh kepada substansi teks yang hendak dikritik. Tulisan Jones Gultom berjudul Sastra Medan Krisis Estetika, (Analisa, 26 Februari 2012) menarik dicermati, karena sebenarnya ada ruang untuk mengatakan, proses kreativitas anak Medan hanya berhenti pada katarsis. Lebih jelas jika teks-teks puisi dipaparkan dan dilihat pada bagian mana sebuah puisi dikatakan berhenti pada katarsis. Sejumlah tulisan Mihar Harahap dalam kaitan bedah cerpen Rebana, mestinya harus meletakkan teks secara mandiri. Dalam dekonstruksi, pemahaman terhadap sebuah teks lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat.

Pada tulisan Mihar Harahap berjudul Membaca Cerpen Rebana April 2011 (Analisa, 8 Mei 2011), misalnya, sejumlah cerpen yang dikritisi tidak memiliki kekuatan konflik dan perwatakan yang jelas. Dalam dogma strukturalis, kajian seperti ini memang diarahkan ke pembangunan struktur karya. Sejatinya dalam kajian Teori Kritis, tidak perlu sekali dilihat strukturnya melainkan apa di balik teks-teks yang tertulis.

Kelemahan mendasar dalam pendekatan terhadap karya sastra di Sumut, tidak karena faktor pembacaan yang tidak intensif. Ada bangunan besar dalam studi sastra di daerah ini yang salah, karena terlalu lama menuhankan strukturalisme sebagai nabi teori sastra.

Literatur terkait Teori Kritis sama sekali jarang diajarkan di perguruan tinggi karena faktor ketiadaan bahan, tenaga pengajar yang tidak memahami dan tentu saja karena ketidakbutuhan kita pada hal-hal yang baru.

Akhirnya, posisi dan kebutuhan mengkritisi karya tidaklah seburam gumaman Yulhasni. Biarkan dia mengalir seirama zaman. Mengapresiasi atau mengkritisi kembali apakah dengan atau tanpa teori, selama kita memahami, kritik dimaksudkan untuk menemukan solusi bukan menambah konflik, silahkan saja. Toh, tanpa kritikus sastrawan tetap lahir. Lantas bagaimana sebaliknya? Terserah kita menafsirkannya. Salam.

Penulis; Direktur Komuntias Home Poetry dan Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan.

MEMILIH TIDAK MEMILIH ADALAH PILIHAN

M. Raudah Jambak.

Kita adalah makhluk cerdas yang porsi fisik dan psikisnya, berbeda dengan makhluk yang lain. Kecerdasan itulah membuat manusia mampu menjadi seorang kreator. Sebagai seorang kreator, manusia mampu menjadikan peristiwa di sekitarnya menjadi kata, menjadi makna, menjadi sesuatu. Termasuk menjadi ruh karya seni maupun KARAYA budaya. Kita bisa menafsirkan 'seuatu' itu menjadi apa dan siapa saja. Tentu masing-masing punya dasar pemikiran berbeda.
Dasar pemikiran yang kita maksudkan adalah kejujuran berkarya. Dengan kata lain, motivasi apa yang melatarbelakangi seseorang itu berkarya. Bisa karena uang, bisa karena ingin terus mengasah ketajamannya berkarya dan lain sebagainya. Apapun dia, kreator itulah yang tahu. Kita tidak berhak langsung memvonisnya harus begini dan begitu. Seperti yang pernah disinggung oleh Hang Kafrawi. Peristiwa yang terhampar di alam ini, merupakan ruh karya seni. Bukankah seniman 'pembajak' yang handal menjadikan hamparan peristiwa 'taman bunga' tempat pikiran manusia lainnya bermain? Di taman bunga itulah manusia diharapkan menafsirkan peristiwa yang terjadi dengan hati nurani, sehingga bermunculan bunga kesadaran untuk mengenal diri lebih dekat lagi. Inilah hakikat karya seni; dapat menjadi penyuluh bagi manusia. Pada hari ini, seniman seakan kehilangan ruh untuk menukangi karya seni dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Bermunculanlah karya seni yang 'menjauh' dari kondisi masyarakat. Dalam karya seni, seniman hanya bercerita tentang keluh-kesah pribadi; tersebab putus cinta (sebagai salah satu contoh). Karya seni bukan menjadi keluh-kesah universal, tapi lebih banyak kegelisahan individu sang seniman. Karya seni tak menyentuh hati orang banyak, dia berjalan sendiri dengan 'kelukaan' yang maha sunyi. Mungkinkah peristiwa yang terjadi di negeri kita pada hari ini melebihi perasaan sensitif para seniman? Kita setiap hari disuguhi peristiwa yang mengiris hati nurani; seorang nenek mencuri kakau diganjar hukuman lima tahun penjara. Seorang anak mengambil sandal jepit 'dipelasah' dengan hukum penjara. Penegak hukum dengan perkasanya menghabisi nyawa tahanan yang tergolong muda. Pihak keamanan yang tidak berpihak kepada rakyat dengan leluasa melepaskan tembakan ke rakyat kecil. Seorang ibu dituduh mencuri enam buah piring majikannya dan dihukum penjara selama 140 hari. Peristiwa perih ini, nyata adanya dan orang banyak tidak membutuhkan interpretasi seperti menafsirkan karya seni. Hati nurani manusia mendiami negeri ini senantiasa diusik dengan kejadian perih yang terus menikam keibaan. Gelombang kelukaan semakin besar menghempas ke tepi hati, namun kita tetap berdiri dengan kesedihan yang datang sesaat saja. Semakin jauh peristiwa perih itu berlalu, semakin lupa kita dengan peristiwa itu. Kita pun dihadapkan dengan peristiwa nyata yang lain pula. Sebagai seniman, yang katanya diberi perasaan lebih dibandingkan dengan manusia lainnya, seharusnya peristiwa nyata itu diabadikan dalam karya seni. Karya seni yang mampu terus menggoyang hati nurani manusia negeri ini untuk selalu ingat dengan peristiwa nyata itu. Dengan demikian, rasa kasih sayang sesama manusia negeri ini terus menyala, sehingga sedikit banyak karya seni dapat membakar perasaan manusia untuk mengenal akan dirinya. Penyebab dari segala peristiwa di muka bumi ini, berawal dari diri manusia itu sendiri. Raja Ali Haji dalam Gurindam 12, Pasal 1, bait 4 mengatakan,'' Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal Tuhan yang bahari.'' Begitupun Budi P. Hatees ada menyinggung, jika seseorang memperbaiki kemampuannya mengolah karakter, lalu menghasilkan bukan saja sajak, juga cerpen, novel, esai atau naskah drama, tentu saja bukan hal mustahil dilakukan. Orang itu pada dasarnya bekerja dengan ide juga pengalaman, maka ide dan pengalaman tinggal diolah agar menjadi bagian yang organis dengan karya sastra. Sangat mungkin jika hasil olahan itu justru memunculkan hal-hal baru, seperti strategi-strategi baru teks sastra. Tidak heran bila akhir-akhir ini dunia kreativitas cerpen mengalami perubahan dengan masuknya strategi teks puisi ke dalam pola penulisan cerpen. Artinya, kepiawaian seseorang dalam menulis sajak, cerpen, esai dan naskah drama akan saling mendukung hingga tercipta karya-karya sastra yang lebih andal. Seniman melalui karya seninya, membawa kebenaran-kebenaran untuk kepentingan orang banyak. Karya seni tidak berpihak kepada siapapun, tetapi karya seni berpihak kepada kesadaran akan pentingnya kemaslahatan manusia. Dengan kesadaran, manusia saling mengerti satu dengan lainnya, maka terciptalah keharmonisan, keseimbangan hidup manusia. Nilai keindahan dalam karya seni adalah ketika karya seni itu memiliki manfaat atau keuntungan bagi setiap manusia. Dengan demikian, karya seni mengambil posisi sebagai penetral kondisi. Karya seni tidak berpihak pada kaum tertindas dan tidak juga menyebelah kepada yang menindas. Untuk kaum tertindas, karya seni menjadi pembangkit semangat untuk tetap berusaha lepas dari penindasan. Menyadarkan diri bahwa ketertindasan harus tetap dilawan; hidup adalah perjuangan yang tak pernah usai. Karya seni memberikan cahaya ke hati tertindas sementara untuk kaum penindas karya seni dapat dijadikan indikator jalan untuk tidak melakukan penindasan. Bukankah manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta sama di mata-Nya? Karya sastra membongkar kesadaran kebersamaan itu. Senada juga dengan apa yang disampaikan oleh Hasan Al Banna, sesungguhnya, masing-masing aliran dalam sastra, khususnya puisi dan cerpen menyimpan perangainya sendiri-sendiri. Keduanya berada dalam posisi 'berdiri sama rendah berdiri sama tinggi'! Lantas, sangat terbuka kemungkinan untuk seorang kreator fiksi untuk menunaikan salah satu atau keduanya sekaligus. Tidak mudah menyodorkan bukti, seorang kreator fiksi yang di masa awal kepenulisannya memilih "berkelamin tunggal" akan lebih baik ketimbang kreator fiksi yang membiarkan dirinya "berkelamin ganda". Pun sebaliknya. Intinya, proses kreatif penulis mustahil serupa. Memang, mengacu pada berbagai proses kreatif sejumlah sastrawan, banyak yang melalui peristiwa berkarya secara berjenjang, satu demi satu. Bukan tidak ada sastrawan yang sukses menjalani status "kelamin ganda" sejak masa awal kepenulisannya. Paling tidak, pilihan "berkelamin ganda" sejak masa awal kepenulisan malah memberinya jalan untuk pada akhirnya menentukan "kelamin" mana yang paling dibanggakan dan seterusnya dipelihara setekun-tekunnya. Inilah permasalahan yang dihadapi dunia seni di negeri ini. Selalu menganggap kehidupan nyata yang berhubungan dengan orang banyak tidak penting lagi dirangkai menjadi karya seni yang berkualitas. Padahal seniman selalu ditunggu untuk menghasilkan karya yang mampu 'membaca' peristiwa yang terjadi dengan mengedepankan kejernihan. Dari kejernihan inilah, manusia meneguk kesegaran untuk berbuat lebih baik lagi. Kalaulah dapat diibaratkan, karya seni itu seperti baut, penting di sebuah mesin, tanpa baut itu, mesin tidak bisa dihidupkan. Mungkin saja disebabkan faktor globalisasi membuat seniman 'membanting setir'; seniman harus menghasilkan karya seni yang instan dan berbau pop. Dari penyair menjadi cerpenis dan sebagainya. Mereka tak mampu bertahan dari godaan kaum kapitalisme yang hanya mengedepankan keuntungan. Seniman juga dipaksa untuk memproduksi karya seni hanya untuk hiburan, tanpa memikirkan makna yang lebih dalam. Karya seni diukur seberapa banyak orang senang dan berapa duit yang diperoleh dari karya seni itu. Masalah sosial dikesampingkan karena tidak menarik untuk dijual. Bukan 'mengharamkan' budaya populer, tetapi kemaslahatan orang banyak harus dikedepankan. Apalah arti sebuah karya seni ketika hanya sesaat karya seni itu berarti. Seharusnya karya seni itu bertahan dari segala waktu, berbuah di sembarang musim, bermanfaat kapan saja. Inilah karya seni seharusnya. Kembali pada peristiwa yang terjadi di negeri ini, memang terasa berat rasanya seniman mengokah realitas tersebut menjadi karya seni yang mampu melantas ke hati setiap orang. Demikian, bukan berarti seniman harus menyerah dan menyelewengkan hati nurani dengan membiarkan realitas itu terkapar tak berdaya. Akhirnya, Ys. Rat memberi garis lurus permasalahan yang dikemukakan, pada dua tulisan sebelumnya, Kapan Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna dan Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees, di bersamaan di Rubrik Rebana (Analisa, Minggu, 26 Februari 2012). Sebagai pemicu jelas, tulisan saya berjudul, Menjadikan Jelas "Kelamin" Sastrawan Pemula di rubrik dan surat kabar sama (Minggu, 12 Februari 2012). Bermula dari niat sekadar mengabarkan sejumlah perbedaan kondisi yang mempengaruhi dan kebiasaan antara para pemilik bakat sastrawan dekade 1980-an , sampai menjelang akhir 1990-an. Demikian pula mereka yang mulai bergiat pada tahun 2000-an dan sekedar saran yang sebaiknya dilakukan, dugaan akan munculnya reaksi tak pernah melintas di benak penulis. Terutama yang diarahkan terhadap sepenggal saran, para pemilik bakat sastrawan hendaknya juga merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, dalam artian pada masa-masa awal berkarya tak sekaligus merangkap menciptakan puisi dan cerpen misalnya. Baik terhadap tulisan Kapan Sastrawan Pemula Menentukan Kelamin? oleh Hasan Al Banna, maupun Sastrawan tak Ditentukan Usia oleh Budi P Hatees. Berkenaan dengan tanggapan dan pendapat mereka tentang saran penulis hendaknya para pemilik bakat sastrawan merasa perlu memiliki "kelamin" yang jelas, sama sekali tak sepatutnya penulis tak membenarkannya. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar