Minggu, 03 Februari 2013

Sanggar (Sekolah) seni dan Budaya; Mendidik Multikulturalisme

Oleh: Sartika Sari.

Kemajemukan masyarakat merupakan sumber kekuatan dalam rangka membangun stabilitas dan ketahanan nasional, jika kepelbagaiannya mampu terintegrasi dengan baik. Sayangnya, perbedaan kultur masyarakat dari Sabang sampai Merauke yang dahulu membentuk Bangsa Indonesia sebagai sebuah negeri dengan falsafah hidup ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang termaktub dalam Pancasila seiring arus perubahan zaman mengalami distorsi pemahaman. Degradasi moral yang mengakibatkan kemunculan berbagai bentuk diskriminasi dan perpecahan. Modernisasi dan globalisasi yang menaruh kekuatan besar dalam perubahan tatanan sosial masyarakat, juga berdampak pada runtuhnya kearifan lokal. Modernitas dipahami sebagai sebuah mode karakteristik peradaban, bertentangan dengan tradisi. Dengan semua budaya awal lain atau budaya tradisional: berhadapan dengan keanekaragaman geografis dan simbolis yang baru, menentukan dirinya sendiri ke seluruh dunia sebagai kesatuan homogen, yang tersorot dari Occident (Baudrillard, 1987: halaman 63).
Pada siklus ini, iklim industri sengaja dibangun oleh kelompok tertentu, berbarengan dengan lahirnya kapitalis-kapitalis pasar. Kapitalisme menumbangkan semua aturan, nilai-nilai dan struktur-struktur tradisional yang membelenggu produksi, transaksi dan hasrat.

Hal ini diungkapkan Steven Best dalam Posmodern Theory: Critical Interrogations sebagai simultan "mengatur" segala sesuatu dalam logika abstrak kesepadanan (nilai transaksi), kembali "mewilayahkan (reterritorializing)"-nya ke dalam negara, keluarga, hukum, logika komoditas, sistem perbankan, konsumerisme, psikoanalisa dan intuisi-intuisi normalisasi lainnya. Kapitalisme menggantikan aturan hukum kualitatif yang mengatur "aksiomatis yang amat keras" dimana secara kuantitatif mengatur dan mengontrol semua aliran yang tertata.

Melalui Iptek, salah satu kendaraannya, hegemoni ini juga bertujuan menghancurkan mental masyarakat dalam berkebudayaan. Alhasil, kemajemukan seringkali malah menjadi sumber peperangan dan kekisruhan yang merujuk pada perpecahan.

Sebagai masyarakat yang berbudaya, kesadaran bersaudara adalah kunci utama membangun persatuan dan kesatuan untuk mempertahankan keberadaan budaya lokal dan integritas sebagai bangsa yang beradab. Terutama untuk menghadapi berbagai permainan kapitalis pasar yang menurut Jameson (professor di bidang kesusastraan dan kemanusiaan) juga dibawa oleh arus postmodern.

Sebelum terlalu jauh mempersoalkan bagaimana membentuk tatanan pendidikan yang ideal di tengah multikulturalisme, hal penting terlebih dahulu mesti dibenahi adalah pemikiran para pelaku pendidikan mengenai kebudayaan. Lantaran merupakan kajian ilmu humaniora yang cenderung dinamis dan kajiannya bersifat kondisional, kebudayaan seringkali dianggap sebagai elemen sekunder. Syahdan, pemikiran sebagian besar pelaku pendidikan terhadap kebudayaan cenderung mengerdilkan. Alhasil, kegiatan-kegiatan yang bernuansa kebudayaan dalam konteks kegiatan kemahasiswaan dinomorsekiankan penanganannya.

Terbukti ketika terselenggaranya acara temu sastrawan, penyair, teater, dan beberapa lainnya, pihak perguruan tinggi terkesan meremehkan dan menganggap acara semacam itu tidak penting. Padahal jika disadari benar, antara ilmu sosial dengan ilmu eksakta tentu memiliki perbedaan kemasan acara yang signifikan. Pada ilmu sosial, sebagian besar acara berbentuk diskusi, seminar, festival dan panggung pertunjukan. Berbeda dengan ilmu eksakta yang sebagian besar berupa perlombaan dan olimpiade ilmiah.

Seperti halnya olimpiade dan kejuaraan sains yang diselenggarakan sebagai salah satu upaya peningkatan mutu, dalam ilmu sosial pertemuan dan festival yang ada, lengkap dengan runut acara khas budaya dan seni merupakan salah satu bentuk upaya pembangkitan dan peningkatan mutu pula. Lantas mengapa masih berat sebelah?

Barangkali kita bisa mengingat yang dituturkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan mengenai lima karakter penting yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk melindungi kebudayaan. Kelima karakter tersebut adalah pembangunan karakter bangsa, pelestarian warisan budaya, diplomasi kebudayaan dan internalisasi nilai, pengembangan SDM kebudayaan, serta sarana dan prasarana regulasi kebudayaan. Mengawali upaya-upaya perlindungan tersebut, pendidikan sebagai sentral pergerakan generasi muda merupakan pihak yang sangat besar pengaruhnya dalam usaha menanamkan kecintaan terhadap kebudayaan.

Revitalisasi Sanggar Seni dan Budaya di Lingkungan Pendidikan

"Kesenian adalah segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan" Koentjaraningrat (1994). Sebagai bagian dari kebudayaan, seni merupakan salah satu elemen penting yang bermuatan budaya. Pada beberapa sisi, kesenian pun dapat dikatakan sebagai tangan kanan rakyat. Oleh sebab itu, mengajarkan seni dan budaya melalui sanggar-sanggar seni dan budaya di lingkungan pendidikan (baca: sekolah dan universitas) merupakan langkah solutif dalam rangka melestarikan kebudayaan lokal dengan menumbuhkan semangat dan kepedulian terhadap budaya lokal dari para peserta didik.

Jika selama ini keberadaan sanggar seni dan budaya baik yang dikelola oleh perseorangan ataupun Taman Budaya terkesan kurang diperhatikan, maka semestinya di lingkungan pendidikan keberadaan sanggar-sanggar serupa bisa mendapat perhatian lebih. Salah satunya dengan memenuhi kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan kegiatan. Program semacam ini penting sebagai wadah bagi para pelajar dan mahasiswa untuk mengenal dan mempelajari serta melestarikan kebudayaan. Dimulai dengan pengkaderan seperti itu, dalam pembelajaran musik, seni tari dan artefak budaya lain yang dikemas lebih inovatif. Secara perlahan rasa kepedulian dan kecintaan para pelajar dan mahasiswa terhadap kebudayaan akan tumbuh. Mengingat memang, upaya pelestarian hanya bisa dilakukan atas dasar kepedulian dan kecintaan terhadap budaya lokal yang tidak diperoleh secara instan apalagi secara paksaan.

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik perbedaan individual maupun perbedaan kelompok yang dilihat secara budaya. Ideologi ini merupakan sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terjadinya pluralisme budaya sebagai corak tatanan kehidupan masyarakat (Nieto dalam Suparlan (dalam Chryshnanda dan Syafri (ed.), 2008: 725-744).

Sebagai bangsa yang berkembang, memaknai multikulturalisme sebagai lumbung kekuatan. Latar belakang persatuan merupakan paradigma solutif yang mesti ditanamkan pada para generasi muda. Dalam hal ini, pendidikan sebagai medium sentral adalah pihak yang mempunyai tanggung jawab besar dan semestinya memiliki langkah-langkah kreatif, inovatif dan serius untuk membentuk mental para pelajar dan mahasiswa sebagai generasi muda agar memiliki kepedulian dan kecintaan terhadap budaya lokal sebagai wujud penyelenggaraan pendidikan berbasis multikulturalisme yang benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar