Selasa, 07 Desember 2010

Ben M Pasaribu, Penggiat Musik Tradisional Tutup Usia


Terus Bernyanyi Hingga Akhir Hayat
10:23, 07/12/2010
Terus Bernyanyi Hingga Akhir Hayat

Hari Senin (6/12), Etnomusikolog dan penggiat musik tradisional Ben Pasaribu menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit dr Boloni Jalan Mongonsidi Medan sekitar pukul 02.30 WIB. Komplikasi penyakit yang menggerogoti tak mampu mengalahkan semangatnya untuk menutup mata selama-lamanya.

INDRA JULI, Medan

Senandung pujian kidung rohani membahana dari rumah duka dimana jenazah Ben Pasaribu terbaring kaku. Seulas senyum tulus tersungging jelas di bibirnya. Meskipun begitu, perasaan kehilangan tak mampu menahan tangisan dari sana keluarga yang mengelilinginya. Sejak pagi pelayat pun tak kunjung berhenti menyampaikan ucapan bela sungkawa yang diikuti dengan penghiburan.

“Hari Minggu (5/12) nya, dia (Ben Pasaribu, Red) menelepon saya menyuruh untuk datang. Di situ saya lihat dia masih terus bernyanyi dan berdoa. Nyanyian rohani berbahasa batak. Setelah itu dia pun menutup mata sambil tersenyum seolah mengatakan dia sudah tenang,” ucap abang dari Ben Pasaribu, Mangatas Pasaribu yang ditemui di rumah duka Kompleks Diklat PU, Jalan Busi Medan, Senin (6/12).

Mangatas lalu menceritakan perjuangan panjang yang dilakukan Ben Pasaribu sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Diawali pada gempa susulan Gunung Merapi Yogyakarta, pria kelahiran 10 Januari 1961 yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Yogyakarta ini mengeluhkan rasa sakit di punggungn
Dari pemeriksaan yang dilakukan, hal itu disebabkan adanya saraf yang terjepit. Saat menjalani pengobatan Ben kembali diserang keram di otot kaki.

Di dalam perjalanan menuju Unit Gawat Darurat, suami dari Ernita Panjaitan ini kembali didera serangan jantung. Tak tanggung-tanggung Ben mengalami penurunan berat badan yang drastis hingga 10 kilogram. Tubuh tinggi besar yang dulu dimilikinya seolah hilang hanya dalam sesaat, menyisakan sosok yang terbaring dengan senyum.
Keputusan keluarga menerbangkan Ben Pasaribu untuk berobat ke Penang pun tepat sehari sebelum penutupan bandar udara Yogyakarta dikeluarkan pemerintah. Di negara jiran itu pula keluarga mengetahui apa gerangan penyakit yang diderita bontot dari delapan bersaudara ini. Bukan, saraf yang terjepit, keram otot, atau serangan jantung yang selama ini disebut.

“Menurut pemeriksaan di Penang, awalnya disebabkan oleh adanya virus di tulang punggung. Namun karena sudah terlalu lama virus ini melalui darah masuk ke jantung. Tapi mereka juga menegaskan bukan virus ini yang menyebabkan kematian Ben. Tapi karena sudah menyebar ke seluruh tubuh,” papar Mangatas yang menyesalkan lambannya penanganan kesehatan di negara ini.

Dikarenakan kesibukan sang istri Ernita Panjaitan yang juga tengah menyelesaikan studi S-3 dan harus mengambil data doktoral ke Australia, keluarga pun memutuskan untuk membawa Ben kembali ke Kota Medan dan ditempatkan di Rumah Sakit Prof Dr Boloni Jalan Mongonsidi Medan. Semua perlengkapan yang dibutuhkan untuk perawatan lanjutan pun didatangkan dari Penang.

Namun Sang Khaliq berbicara lain. Ben pun memperlihatkan tanda-tanda kepergiannya. Bahkan obat terakhir yang seharusnya dimasukkan Senin (6/12) pukul 09.00 WIB tak sempat lagi. Ben Pasaribu yang 10 Januari 2011 genap 50 tahun ini telah menghembuskan nafas terakhirnya pukul 02.30 WIB setelah sebelumnya menyanyikan kidung rohani dan berdoa. Keinginan untuk menerbitkan buku dari koleksi tulisan putrinya Mulan Pasaribu pun kandas.

“Hanya pesan terakhir saya diminta menjaga buku-buku koleksinya untuk putrinya Mulan. Pasalnya Mulan yang kini duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar ini memiliki hobi menulis dan sudah mengumpulkan banyak tulisan. Banyak juga komik yang sudah ditulisnya,” ucap dosen seni rupa Universitas Negeri Medan (Unimed) ini.

Bagi Mangatas, Ben adalah sosok yang selalu terbuka untuk membantu siapa saja. Kesibukannya yang tak kenal berhenti dalam menggelar pertunjukan musik kontemporer khususnya tradisi membuat sang abang menyebutnya ‘bandel’. Karena keteguhan sang adik dalam menggeluti musik tradisional dirinya lantas menyebut kepergian Ben Pasaribu sebagai kehilangan maestro musik kontemporer di tanah air.

Di kalangan akademis, Ben M Pasaribu juga dikenal sebagai sosok yang tegas dan objektif dalam penilaian. Meskipun begitu dirinya tetap bersedia membuka diri untuk membantu mahasiswa memahami materi yang diajarkan. Ben yang mengajar mata kuliah Filsafat Seni ini juga kerap dijadikan inspirasi bagi mahasiswa untuk belajar. “Pak Ben adalah guru, bapak, dan teman bagi mahasiswa. Dia selalu terbuka dan tak kenal lelah membantu kami untuk paham. Kadang dia yang bertanya kalau tidak ada mahasiswa yang nanya. Kami kehilangan sosok itu,” ucap mahasiswa jurusan seni musik Unimed, Muhammad Iksan Ramadan dan Khairil Syah yang datang melayat sore itu.

Ben M Pasaribu pergi meninggalkan seorang istri dan dua orang putri yaitu Mula Pasaribu dan Gita yang juga masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Selama hidupnya Ben selalu menciptakan karya yang berperan dalam mengangkat kesenian tradisional khususnya musik tradisional Batak tidak hanya di tingkat nasional juga internasional.
Salah satunya dengan mendirikan Medan Jazz Community dengan bermain sebagai arranger dan percussion. Bersama Medan Jazz Community, Ben pernah tampil pada hari pertama Java Jazz Festival 2009 mengusung warna musik free world jazz.

Dari karakter radikal dalam bermusik dari masing-masing personel, Ben berhasil memadukannya dengan musik jazz. Sebagai mediasi dipilih musik tradisional Batak yang memiliki karakter berbeda. Dari situ Medan Jazz Community pun menciptakan genre baru yang memperkaya warna musik tanah air yaitu free world jazz.

Sekalipun bergerak di bidang musik, Ben M Pasaribu juga memberikan perhatian di cabang seni lainnya. Tak heran sosok Ben sangat akrab di kalangan penggiat seni. Ya Kota Medan telah kehilangan. Selamat jalan Bang Ben. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar