Rabu, 15 Desember 2010

Seputar Omong-omong Sastra (21 November 2010)

Geliat Sastrawan Muda di Omong-omong Sastra



ADALAH muskil – saat ini – sastra yang dimuat di sejumlah koran (surat kabar) tanah air mampu menarik minat para pembaca untuk menyantapnya terlebih dahulu ketimbang berita politik, ekonomi, atau olahraga. Lantas, masih perlukah sastra muncul di koran?



Seperti cabang seni lain yang mengalami perkembangan, sastra – dalam hal ini puisi dan cerpen – telah pula mengalami perkembangan yang amat pesat. Setiap tahun penyair-penyair dan cerpenis-cerpenis baru bermunculan – bak jentik di genangan air, hingga melahirkan beragam gaya pengucapan ataupun pola estetika yang cenderung aneh sekaligus segar menggairahkan. Hal ini sangat mengembirakan sekaligus mencemaskan. Mencemaskan? Ya, sebab, jangan-jangan (sedikit dari bagian kecurigaan saya) hal itulah yang mengakibatkan para penikmat karya sastra jadi kian enggan membaca puisi dan cerpen dalam koran.



Terlepas dari dibaca atau tidaknya puisi dan cerpen dalam koran, yang pasti sampai hari ini koran-koran di tanah air masih memberikan ruang bagi karya sastra – puisi dan cerpen – mutakhir. Begitu juga halnya koran-koran yang terbit di Kota Medan, masih rela memberikan ruang bagi karya sastra (ketimbang iklan-iklan yang tentu lebih menguntungkan). Namun, apakah karya-karya sastra – puisi dan cerpen – itu telah melewati proses seleksi yang “benar” (layak terbit)?



Itulah sedikit bagian dari isi paparan YS Rat pada acara Omong-omong Sastra (OOS) yang digelar Minggu (21/11/2010). Ini merupakan OOS kedua yang digelar dalam tahun 2010, di rumah sastrawan Hasan Al Banna, Griya Sakinah B7, Jalan Balai Desa, Bandar Khalifah, Medan Tembung.



Acara yang seharusnya diadakan dua bulan sekali ini sempat mengalami penundaan. Namun, berkat semangat para sastrawan, OOS kembali digelar. Sebelumnya, OOS dilaksanakan di kediaman Nina Zuliani, Jalan Gaperta Medan.



Kembali ke persoalan proses seleksi karya sastra dalam koran, menurut YS Rat – yang juga salah satu redaktur budaya – lemahnya proses seleksi di beberapa koran kerap kali memunculkan karya-karya sastra yang luput pada kaidah-kaidah penulisan. Oleh karena itu, makna-makna yang seharusnya mengena pada para penikmat sastra, justru menjadi tak jelas dan terkesan kabur.



Tak bisa dipungkiri, kelemahan-kelemahan beberapa redaktur budaya di sejumlah koran juga seringkali jadi pemicu munculnya karya-karya sastra plagiat. Ini tentu suatu hal yang mengkhawatirkan, apalagi terjadi pada saat gejolak sastra Sumatera Utara sedang menggeliat. Di sinilah sebenarnya peran penting redaktur-redaktur sastra (budaya) dalam proses penyeleksian karya yang “layak” terbit, hingga karya-karya yang muncul bisa menjadi pencerahan, baik bagi sastrawan maupun pembaca koran.



Ia juga menyatakan pentingnya pembinaan yang intens terhadap sastrawan-sastrawan muda – untuk menyebutkan sastrawan kelahiran tahun 1980 ke atas – Sumatera Utara saat ini. Sebab tanpa pembinaan yang “benar” maka sastrawan-sastrawan muda tak ubahnya seperti tunas-tunas di ladang yang tandus.



Tercatat ada sekitar 30 lebih sastrawan muda kelahiran di atas tahun 1980 yang pernah singgah di rubrik Rentak yang digawangi YS Rat. Sebut saja di antaranya Djamal, Sukma, Maulana Satrya Sinaga, Intan Hs, Wika Fitriana, Muhammad Pical Nasution, Irma Yanti Nasution, Wahyu Wiji Astuti, Dani Sukma, dan lain-lain. Inilah generasi-generasi yang akan melanjutkan dunia kesusastraan Sumatera Utara (Indonesia) ke zaman keemasannya kembali.



Selain YS Rat, OOS ini juga mendaulat Wika Fitriana sebagai pembicara. Wika merupakan salah satu sastrawan muda yang lahir di atas tahun 1980. Mengusung tema proses kreatif dalam karya sastra, Wika pun memaparkan sedikit proses kreatif yang selama ini ia lakoni. Walau terkesan sangat umum, namun pemaparannya mampu menghangatkan suasana diskusi bagi para sastrawan siang itu.



Acara OOS kali ini, yang dipandu Nina Zuliani, dinilai berhasil kembali menciptakan suasana akrab yang memang selalu jadi kegiatan nor formal itu. Tanpa ragu, Nina juga kerap memotong pembicaraan para sastrawan yang melewati batas waktu. Wajar saja, pasalnya bukan hanya satu-dua orang yang ingin bicara. Sebab, kapan lagi para sastrawan menyampaikan unek-unek yang bersarang di kepala mereka. Ya, namanya juga sastrawan, tentu hasrat berbicara sama besarnya dengan hasrat menulis. Lagipula, bukankah acara OOS ini sudah selayaknya jadi ajang bagi para sastrawan muda untuk berani tampil mengungkapkan pendapat.



Puas berdikusi dengan kedua pemakalah, acara dihentikan sejenak untuk melaksanakan salat zuhur, kemudian dilanjutkan dengan santap siang. Menu roti jala dan kari kambing yang disediakan tuan rumah benar-benar mampu menjadi penawar litak perut para sastrawan siang itu. Usai santap siang, acara dilanjutkan dengan pembicaraan agenda-agenda OOS yang sudah dibicarakan di pertemuan sebelumnya, seperti penerbitan antologi puisi, pembentukan STM (serikat tolong menolong), agenda OOS selanjutnya yang direncakan di rumah Idris Siregar di Tanjung Morawa, dan hal-hal lainnya seputar sastra.



Acara OOS kali ini juga dinilai berhasil membangun ikatan persaudaraan antar sastrawan. Selain dihadiri beberapa sastrawan senior seperti Norman Tamin, Sulaiman Sambas, Darwis Rifai Harahap, Damiri Mahmud, Jaya Arjuna, Mihar Harahap, M. Raudah Jambak, Yunus Rangkuti, juga ada para sastrawan muda dari beberapa komunitas seperti KOMPAK diwakili Dani Sukma, Wahyu Wiji Astuti, Rudi Saragih, komunitas Home Poetry diwakili Djamal dan penulis, serta FLP Sumut diwakili Sukma dan M.N Fadhli. Ini tentu kesempatan bagi sastrawan-sastrawan muda untuk menjalin keakraban dan bertukar pikiran dengan sastrawan-sastrawan senior Sumatera Utara.



Ke depan, diharapkan dari acara OOS akan muncul sastrawan-sastrawan yang menasional, bahkan mendunia, sehingga acara ini bukan untuk sekadar berkombur. (ilham wahyudi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar