Senin, 14 November 2011

SELINTAS PANDANG, GELIAT GENERASI MUDA SASTRA MEDAN

A. Yusran

Sangat menggembirakan bagi para pencinta sastra melihat gerak pertumbuhan sastrawan muda (kalau boleh disebut begitu) di kota Medan khususnya. Secara kuantitas hal itu dapat kita lihat pada setiap pertemuan sastra seperti Omong-Omong Sastra, mereka generasi mudalah yang meramaikannya. Begitu pula jika kita amati rubriK-rubrik budaya di media cetak dan internet dengan sastra facebooknya.
Akan tetapi, sastra tentulah bukan demontrasi yang butuh jumlah, baik itu mengacu pada jumlah karya atau orangnya. Membaca karya-karya mereka yang telah diterbitkan di rubrik budaya dan beberapa yang saya temukan dari pengarangnya sendiri, saya teringat mendiang Aldian Arifin. Ketika itu beliau diminta oleh beberapa penyair Medan sebagai editor rencana penerbitan antologi puisi.
Menjelang sore ketika saya sampai di rumahnya, setelah berbasa-basi seperlunya beliau langsung membicarakan apa yang sedang dihadapinya:
“Ah, sampah semua. Dari dua ratus judul yang sudah saya baca tidak satu pun yang layak dibukukan!” Wajah tua dan dahi berjenjang menuju ubun penanda keseriusan dalam menimbang untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya. Sepayah itukah menjadi hakim yang bijaksana untuk mengadili karya orang lain? Pertanyaan itulah yang muncul pertama dan menjadi titik awal diskusi kami ketika itu.
“Menurut Anda apa standar puisi yang layak untuk dipublikasikan atau dibukukan?” Saya ajukan pertanyaan itu padanya. “Setidaknya, puisi itu berangkat dari dua dasar utama yakni, jelas filsafat ideologi dan tinggi estetikanya. Dalam menyusun kata perlu memperhatikan logika formal setidaknya. Jika kita membicarakan dermaga dengan kapal yang berlabuh akan janggal jika dia berada di langit ketujuh.”
Puisi itu selayaknya indah untuk didengar dan pendengarnya akan terpesona dengan keliaran penempatan kata-kata. Tetapi dari mana kata-kata ini, sedang mengapa dia dan ke mana arah tujuannya. Dikatakan puisi absurd, semua puisi memang mutasabihat sifatnya. Puisi muhkamat (gamblang) sekalipun juga memiliki multi makna.
Akirnya diskusi kami sampai kepada surat dalam Al Qur’an yang Indonesianya kira-kira berbunyi:
Akan kukabarkan pada kalian pada siapa syetan-syetan itu bergelayutan? Titiannya tentulah orang-orang pembohong dan pendosa. Mereka seolah-olah menyampaikan apa yang mereka dengar tetapi semua itu bohong. Sementara mereka itu sering jadi panutan orang-orang awam. Perhatikanlah, mereka selalu melanglangbuana di alam imajisinya. Sesungguhnya mereka berceloteh tentang sesuatu yang mustahil mereka perbuat. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, semua aktivitasnya di landasi atas nama Allah dan mereka memperoleh kemenangan setelah teraniaya. Di suatu saat nanti akan jelas orang-orang aniaya itu ke mana mereka akan kembali. (Q.S. 26; 221-227).
Diskusi kami akhiri pada satu titik temu di mana kami sepakat bahwa menulis puisi itu tidaklah mudah. Menulis puisi tidak sekedar menyusun kata dengan memilih yang indah-indah, melompat sesukanya di alam imajinasi. Keliaran imajinasi tentu dibutuhkan namun landasan pijak seperti yang dikatakan Aldian Arifin tak boleh diabaikan.
Bagi Si Pemula, keberanian untuk mencoba sangatlah penting namun berani sayogianya diikuti oleh usaha mengumpulkan modal. Banyak membaca tentulah jalan terbaik dalam hal ini agar diri tidak terjerumus pada keberanian konyol. Tulisan pendek ini bukanlah pembunuhan, jadikanlah sebagai dinamisator untuk lahirnya para penulis berbobot. Selamat berkarya. ***

Penulis adalah sastrawan, erdomisili di kota Medan. Disampaikan pada acara Omong-omong Sastra Sumatera Utara, Medan, 13 Nopember 2011.

1 komentar: