Selasa, 08 November 2011

Teks-teks Semu pada Karya Sastra Sumut

Yulhasni.

Polemik sastra dan politik dalam ranah sastra Sumatera Utara, sepertinya memang dalam tahap pengenalan. Diskursus yang semula diharapkan memberi peluang agar sastra di Sumut memberi peran yang lebih berarti akhirnya dipahami dalam bingkai sederhana. Sejumlah tulisan di harian ini dalam sebulan terakhir mengisyaratkan adanya perubahan cara pandang dari beberapa orang dalam menyimpulkan gagasan politik dalam sastra Sumut. Tentu saja cara pandang yang berbeda itu karena subjektivitas pemahaman dan itu sah dalam diskusi intelektual.
Semula saya berfikir gagasan dalam diskursus politik dalam karya sastra di Sumut akan dilihat dengan perspektif keberpihakan yang hakiki, bukan keberpihakan yang semu. Teks-teks sastra yang dilihat sayangnya diletakkan pada batas-batas yang samar dan kabur. Bahkan tulisan T Agus Khaidir secara sederhana memberi kesimpulan akhir, sastra dan politik di daerah ini bermuara kepada realitas kusam lembaga kesenian, semisal Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU).

Polemik sastra dan politik memang tidak pernah berujung. Jika dikaitkan dalam teks sastra di daerah ini, maka polemik itu akan berhenti kepada kesimpulan sementara: sastra di daerah ini hanyalah teks-teks semu tanpa makna. Teks semu itu ketika puisi, cerpen dan naskah drama menjauhkan diri dari kenyataan yang terjadi di sekitar lingkungan kepengarangan itu sendiri.

Saat membaca puisi Hasan Aspahani bertajuk Ke Medan dan Banyak Kemudian, yang ditemukan adalah teks semu sebagai simbolisasi puisi. Hasan menulis, Ia dengar gema/jazz mengapungi Selat Malaka/deretan toko-toko menawarkan bika//. Teks dalam puisi M Raudah Jambak bertajuk Medan Putri tidak lain adalah rangkaian teks semu yang hanya memberikan penjelasan tentang sejarah kota yang tinggal kenangan. Apa yang hendak kita petik saat membaca teks seperti ini: Oooi/Akulah si Guru Patimpus/semua duri kubuat hambus/semua onak kubuat mampus/dan/kepadamu aku bercerita/di tanah deli ini medan putri berdiri/maka/kepadamu aku serahkan/sebagai catatan dalam ingatan//.

Teks semu dalam sastra diibaratkan sebagai cerminan akrobat kata-kata. Teks dituangkan dalam gagasan tanpa dipahami bahwa teks harus memberi pesan. Polemik Hamsad Rangkuti dengan F Rahardi dalam tajuk akrobat kata-kata pernah jadi trend yang asyik dicermati. Terlepas bahwa polemik itu berhenti pada batas wacana, tetapi hal itu memberi satu pesan bahwa teks sastra seharusnya tidak berhenti pada kata. Hamsad Rangkuti menulis, sastra adalah kebohongan. Beberapa puisi Ilham Wahyudi yang terbit di harian ini bisa dikategorikan sebagai bentuk akrobat kata-kata itu. Puisi-puisinya adalah narasi kehidupan dalam keseharian kita yang juga kadang semu.

Sastra memang karya imajinatif dan dimulai dari sebuah khayalan. Sastra bukan kebohongan meski lahir dari proses kontemplasi batin. Sayangnya jika dikaitkan dengan proses transformasi teks ke dalam sikap dan tindakan, seringkali kata-kata hanya kebohongan yang terlanjur dianggap sebagai kebenaran.

Praktik kebohongan itu dibungkus dalam beberapa fakta seperti sastrawan yang tidak peduli dengan nasib sesama. Beberapa kenyataan di sekitar kita dalam kantong-kantong kesenian di daerah ini memberi fakta tentang itu semua. Pertanyaan kita, apakah sastrawan di daerah ini jujur dalam berkarya?

Teks sastra yang diciptakan sastrawan di Sumut perlu dikritisi dalam bingkai kejujuran tersebut. Problemnya tidak sederhana kita memahami teks dalam bingkai penciptaan karya secara kontinu dan berkesinambungan saja. Saya tidak pernah bisa yakin, kuantitas penciptaan selalu jadi ukuran keberhasilan sastra di daerah ini. Kualitas pun tentu juga harus dilihat dengan perspektif penafsiran kaum akademik yang justru terkadang hanya melihat teks secara parsial. Peran kaum akademik hanya memarkirkan sastra ke dalam ruang-ruang pustaka. Dalam perspektif teori new historicism, sastra tak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik karena dia ikut mengambil bagian di dalamnya.

Asep Sambodja menulis, dengan demikian, pemisahan antara luar-dalam, ekstrinsik-intrinsik, tak bisa dipertahankan lagi. Karena semua teks, baik sastra maupun nonsastra, merupakan produk dari zaman yang sama dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi, maka berbeda dari new criticism yang hanya meneliti karya sastra, new historicism mengaitkan antara teks sastra dan nonsastra.

Berbeda dengan new criticism yang membedakan antara karya sastra yang adiluhung dan yang picisan dengan suatu standar estetika yang dianggap universal dan baku, new historicism melihat pembedaan semacam itu sebagai contoh bagaimana kekuatan sosial bermain di ruang estetik. Dalam hal ini new historicism merevisi asumsi new criticism dengan menunjukkan bahwa semua yang dianggap universal, tak terjamah waktu dan natural sebetulnya bersifat lokal, terbentuk oleh sejarah dan merupakan bentukan sosial.

Pada konteks yang lebih sederhana, sastra harus dikaitkan dengan unsur di luarnya. Kajian tekstual sejatinya mengaitkan karya lokal di daerah ini dengan faktor-faktor luar yang terjadi dalam dinamika masyarakat Sumut. Apakah sastrawan di daerah ini mampu mengambil realitas itu untuk kemudian dituangkan dalam teks sastra? Saya tidak ingin menyimpulkan satu kenyataan pahit bahwa sastrawan di daerah ini terlalu asyik dengan keindahan yang hanya dipahami sebagai sebuah teks yang semu.

Petikan puisi dan cerpen yang terlahir di berbagai media di daerah ini seringkali terkungkung dalam batas-batas keindahan sebuah karya imajinatif. Terperangkap dengan defenisi dan pengertian seperti itu membuat sastra tidak memberi ideologi pencerahan kepada pembacanya, terlebih terhadap si pengarangnya sendiri.

Komunitas sastra di daerah ini dengan seperangkat model pencapaian estetikanya selalu mengandalkan keindahan dengan metode satu atau dua batasan tentang sastra. Ironisnya batasan itu justru lahir dari sikap ’alergi’ politik dalam sastra. Alhasil yang lahir dari komunitas tersebut tidak lain adalah dunia imajinatif tanpa hasil. Teks sastra kemudian hamparan ’kebohongan’ yang tidak lebih dan kurang cuma semu.

Teks semu yang diciptakan sastrawan di Sumut telah berlangsung cukup lama tanpa kesanggupan untuk mengkritisinya. Teks tersebut dibenarkan karena dianggap sebagai bagian dari proses kreativitas sastra yang perlu diapresiasi secara positif. Jika kreativitas itu lahir dari pengarang ’pemula’ mungkin pada titik tertentu kita tidak perlu mempersoalkan adanya teks semu. Akan tetapi yang terjadi secara terus menerus di daerah ini adalah praktik semu yang dibungkus oleh idiom-idiom kebenaran atasnama keindahan sastra.

Penulis; Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU


Sastra, Kreativitas dan Pemicunya

Sartika Sari

Karya sastra tidak lahir dari omong kosong belaka. Benar. Di balik kesederhanaan dan keindahannya, sebuah karya menyimpan keistimewaan yang merupakan cermin kreativitas penciptanya. Lantas, bagaimana dengan proses kreatifnya? Untuk hal yang satu ini, tentu setiap orang berbeda-beda. Mulai dari penemuan ide, penuangan, hingga pempublikasiannya.
Seseorang yang kreatif paham benar bagaimana dia harus menyiasati suatu keadaan atau bahkan mampu menghadirkan sesuatu yang berbeda. Ya, bukankah kreativitas menjadi salah satu pembeda seseorang dengan orang lainnya?

Dalam KBBI, kreativitas berarti kemampuan untuk mencipta; daya cipta. Tak berbeda jauh dengan pandangan Yelia Dini Puspita, M.Psi, dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPTUI) yang mengatakan, kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir secara berbeda, sehingga menghasilkan pemecahan masalah yang unik yang tidak dipikirkan oleh kebanyakan orang. Kreativitas juga merupakan kemampuan untuk menghasilkan sebuah karya yang bersifat original, memiliki daya guna yang tinggi, bermanfaat bagi lingkungan maupun untuk memecahkan persoalan.

Banyak lagi pendapat atau pandangan lain perihal kreativitas. Pada akhirnya, semua merujuk pada kemampuan seseorang menghadapi realita yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan orisinalitas berpikir. Kreativitas yang dimiliki setiap orang, memiliki proses dan pemicu yang berbeda. Dalam berkreasi, umumnya seseorang mendayagunakan imajinasi, daya khayal yang dikolaborasikan dalam menghadapi realitas. Tujuannya, untuk menghasilkan karya yang unik dan bernilai.

Kreativitas ibarat sebuah pisau. Jika tidak diasah, tidak akan menghasilkan sesuatu dengan maksimal. Mencoba dan tidak berhenti berkarya merupakan salah satu bentuk pengasahan kreativitas yang baik. Di samping itu, kreativitas juga butuh pemicu. Ya, hal tersebut memang tidak kasat mata, tetapi berpengaruh.

Masih dalam konteks yang sama, perihal kreativitas. Dalam dunia sastra, karya tulis berupa puisi, cerpen, novel dan berbagai bentuk lain, merupakan cerminan dari kreativitas penulis yang dibaliknya terdapat proses dan pemicu yang luar biasa. Seperti yang kita ketahui bersama, khususnya untuk seorang penulis fiksi yang dituntut memiliki daya imajinasi tinggi, pemicu kreativitas bisa berasal dari mana saja. Selain dengan kegiatan membaca yang memang telah teruji khasiatnya, masih banyak lagi pemicu lain. Sejalan dengan pengakuan beberapa penulis yang termaktub dalam artikel Ria Ristiana pada Harian Analisa (25/09/2011), "Ide, Mengawali Proses Kreatif Penulis" memaparkan perihal penemuan ide, dalam pembahasan ini kita akan menilik beberapa pemicu kreativitas penulis. Beberapa pemicu itu diantaranya:

Keberadaan Komunitas

Dunia kepenulisan banyak dihuni berbagai komunitas penulis. Di kota Medan sendiri, terdapat banyak komunitas. Diantaranya adalah Omong-Omong Sastra (OOS), Komunitas Garapan Pemuda Tahan Lapar (GARPUTALA), Komunitas Home Poetry (HP), Komunitas Mahasiswi Pecinta Sastra Indonesia (KOMPENSASI), Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya (KOMA), Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK), Komunitas Penulis Muda Sumatera Utara, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Tanpa Nama (KONTAN) Unimed, Rumah Kata dan beberapa komunitas lain yang dihuni para penulis termasuk siswa SMA. Kehadiran berbagai macam komunitas sempat dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan dan kubu-kubu yang akan menghadirkan efek buruk.

Jika ditilik dari sisi positif, persaingan jika dilakukan dengan cara sehat, dapat menjadi salah satu motivasi dan pemicu kreativitas. Akan tercipta persaingan sehat antarkomunitas dan antaranggota terutama dalam hal kreativitas dan produktivitas, secara tidak langsung menjadi motivasi tersendiri untuk tiap orang agar tetap berkarya dan menghasilkan yang lebih baik.

Nostalgia

Dalam penulisan fiksi umumnya, kenangan merupakan salah satu bahan kajian yang tidak pernah gersang. Bentuk syair, cerpen dan novel sekalipun banyak yang bermuasal dari kenangan. Dengan kolaborasi imajinasi dan kemampuan berbahasa yang baik, kenangan yang berisikan berbagai hal dan kegiatan berkesan itu akan menjadi sebuah tulisan yang menggugah pembaca. Tidak hanya sebatas mengutarakan, lebih jauh dengan kelihaian penulis, sebuah kenangan dapat menjadi suatu gambaran dan pandangan yang bermanfaat untuk orang lain.

Membaca Realitas

Dalam Puisi dan Bulu Kuduk, Acep Zamzam memaparkan tentang kebebasan seorang penyair dalam berimajinasi. Bkan berarti hanya berkutat pada khayalan belaka. Sebab yang dihadapinya adalah realitas dan bukan angan-angan kosong. Dengan demikian, seorang penyair ditantang untuk melahirkan suatu realitas baru dari keadaan yang lalu atau paling tidak memberi makna baru pada realitas yang sudah ada. Tulisan jenis apapun, tentu seorang penulis selau dalam pergulatan tersebut dan tidak berangkat dari raung kosong atau kekosongan semata.

Dalam menghadapi realitas, seorang penulis yang mengalami pergulatan tidak hanya sebatas melaporkan atau mengabarkan keadaan, melainkan mewujudkannya sebagai sesuatu yang konkrit.

Menetapkan Target

Sukses adalah proses. Selama masa itu, target serupa tangga-tangga yang harus dilalui. Menetapkan target menjadi salah satu pemicu motivasi yang berpengaruh penting. Sebab dengan adanya target, gerakan-gerakan sastra akan menjadi jelas arah dan sasarannya. Misalnya, target baca puisi keliling dengan menerbitkan antologi. Sudah pasti harus diawali dengan aktivitas menulis yang secara tidak langsung telah memaksa untuk produktif dan kreatif berkarya.

Melakukan Kegiatan Yang Tidak Biasa

Iseng. Ya, barangkali salah satu dari wujud ketidakbiasaan itu diawali dengan iseng. Menghadapi kenyataan yang konstan seringkali menimbulkan kejenuhan yang kemudian berdampak buruk pada kreativitas. Untuk itu, sebagai pemicu dalam berkreasi dan menghasilkan karya yang kreatif, mencoba hal-hal baru yang tidak pernah dan tidak biasa dapat menjadi salah satu kiat mengabrasi kejenuhan.

Selain dari beberapa pemicu di atas, masih banyak lagi pemicu lain yang tentunya dimiliki seorang penulis. Sebuah karya kreatif, tentu saja mencerminkan kreativitas penulisnya dalam melakukan pergulatan kreatif. Dalam pengertian yang sederhana, kreativitas dapat dimaknai sebagai hasil pertemuan atau lebih tepatnya hasil pergulatan antara penulis dengan dunianya, dengan realitas yang dihadapinya.

Ketidakbiasaan juga bisa terlihat melalui proses penciptaannya. Teringat pada kisah Saini K.M., dalam kutipan Puisi dan Bulu Kuduk oleh Acep Zamzam Noor yang menyatakan, menulis puisi merupakan bagian dari semedi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menangkap realitas yang dihadapi dengan sejernih-jernihnya, sedalam-dalamnya dan sekaya-kayanya.

Adapula antologi Aku Butuh Darahmu karya Masmuni Mahatma yang memuat sejumlah puisi yang ditulis dalam kurun waktu 1999-2008.

Luar biasa. Di balik keindahan sebuah karya, tersimpan rahasia pergulatan yang pantang dianggap biasa. Berkenankah menyelusup dalam rahasia itu? Mari kita Menulis.

Penulis; adalah Mahasiswa jurusan Sastra Indonesia UNIMED.


Samakah Sastrawan dengan Filsuf?

Ulfa Zaini

Filsafat secara harfiah diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Berfilsafat adalah suatu kegiatan di mana seseorang memikirkan sesuatu secara mendalam tentang prinsip-prinsip hidupnya atau memikirkan secara mendalam sebuah ilmu pengetahuan.
Definisi sastra, Sapardi (1979: 1) memaparkan, sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.

Sastra adalah sesuatu yang lahir dari kegelisahan seseorang terhadap tatanan sosial dan berbagai permasalahan yang menyangkut lingkungan sekitarnya. Bersastra jelaslah kegiatan berpikir yang sangat mendalam.

Selain pendapat di atas masih banyak pendapat para ahli lainnya. Saya simpulkan, Sastra lahir dari hasil dari kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan berbagai masalah yang berkaitan dengan kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Dia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu.

Kegiatan berfilsafat juga dapat dikatakan sebagai berpikir ilmiah. Dalam berpikir ilmiah kita mengenal sarana. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diperlukan sarana tertentu pula. Untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah dengan baik, diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. (Muhammad Surip dan Mursini dalam buku Filsafat Ilmu).

Jelas diterangkan di atas, bahasa adalah salah satu sarana dalam berpikir ilmiah atau dalam artian longgarnya sarana untuk berfilsafat. Hal itu sangat berkaitan, sebab bisa dikatakan semenjak dunia memiliki peradaban di sana pula orang mengenal bahasa. Bahasa dalam artian luas juga termasuk ke dalam sastra.

Meski banyak yang mengatakan, sastra adalah produk dari bahasa tulisan, bagaimana dengan sastra yang sifatnya tradisional dan diceritakan secara turun temurun? Hal itu menunjukkan, kegiatan sastra lisan yang dilakukan oleh para leluhur dahulunya adalah kegiatan berfilsafat.

Seorang pengarang secara tidak langsung telah menunjukkan aliran filsafat tertentu yang ia anut dan dia yakini. Paling tidak seorang pengarang atau sastrawan memahami secara garis besar paham-paham tertentu.

Hakikatnya sastra juga menunjukkan aliran-aliran tertentu dari hasil buah pikir seorang sastrawan. Dari itu pemikiran dan sastra sangatlah berkaitan.

Ketika seorang filsuf memikirkan sesuatu di dunia ini baik antar dirinya sendiri, dirinya dan masyarakat atau dirinya dengan lingkungannya. Lantas sesudahnya membuat sebuah prinsip yang berkembang menjadi sebuah faham-faham tertentu yang menyebarluas ataupun menjadi faham atau prinsip yang melekat pada tingkah lakunya. Ketika seorang filsuf melakukan hal tersebut maka dikatakan, dia sedang berfilsafat.

Sebagai contoh, kita mengenal Mohammad Iqbal (1873-1938). Seorang tokoh pemikir (:filsuf) Islam yang salah satu karya filsafatnya ditulis dalam bentuk puisi. Melalui puisi-puisi Parsi-nya yang panjang, sebagaimana yang tertuang dalam magnum opus-nya yang monumental, Javid Namah, Iqbal menyampaikan kritik pedasnya terhadap filsafat Barat dan pemikiran Islam tradisional. Di samping itu, dia juga menekankan pentingnya progresivitas dalam sikap dan pemikiran generasi muda Islam. Dalam hal itulah, pengembaraan rasio untuk memperkukuh keimanan Islami, mutlak ditumbuhkembangkan.

Seorang pemikir, pujangga, pembaharu Islam Iqbal yang bukan saja berpengaruh di negerinya Pakistan, tapi juga di Indonesia. Pemikirannya di bidang hukum Islam walaupun disinggung sedikit tentang perannya dibidang perpolitikan. Di dalam kehidupannya Iqbal berusaha secara serius terhadap perumusan dan pemikiran kembali tentang Islam. Meskipun Iqbal tidak diberi umur panjang tapi lewat tarian penanyalah yang menghempaskan bangunan unionist dan meratakan jalan untuk berdirinya Pakistan, memang pena lebih tajam dari pada pedang. Dia mengkritik sebab kemunduran Islam kerena kurang kreatifnya umat Islam, konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang di dalam kejumudan (diambil dari Wikipedia).

Faham sufiistik yang dia anut tentulah sangat melekat pada dirinya dan menyebar luas di masyarakat melalu syair-syairnya.

Dari dalam negeri kita mengenal karya Sutan Takdir Alisjahbana, Grotta Azzura, yang berisikan dialog-dialog panjang mengenai filsafat. Dengan demikian banyak yang beranggapan, karya itu lebih tepat ditempatkan sebagai karya filsafat daripada karya sastra.

Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok, dalam artikelnya mengatakan "Sebuah karya sastra yang bermutu akan selalu terkandung nilai-nilai filsafat, entah menyangkut sikap dan pandangan hidup tokoh yang digambarkannya atau tema karya sastra itu sendiri. Semakin bermutu karya sastra itu, semakin mendalam pula kandungan filsafat-nya. Oleh sebab itu, dalam karya sastra yang agung, nilai-nilai filsafat yang dikandungnya akan terasa lebih mendalam dan kaya. Sangat wajar jika kemudian orang mencoba mencari nilai-nilai filsafat pada karya sastra yang agung dan bukan pada karya sastra picisan.

Lantas apa bedanya seorang filsuf dengan seorang sastrawan. Ketika seorang sastrawan dengan serius meresapi setiap kecemasan yang dia rasakan demi melihat apa yang terjadi antar dirinya (konflik bathin), dirinya dan masyarakat, dirinya dan lingkungannya, maupun dirinya dan budaya. Seorang sastrawan jelaslah memikirkan hal tersebut secara mendalam, hingga menghasilkan sebuah karya sastra yang secara tidak langsung menunjukkan faham yang dia anut. Bukankah kegiatan ini juga disebut kegiatan berfilsafat?


Masih Ampuhkah Peribahasa sebagai Nasihat?

Mukhlis Al-Anshor

Kita sudah tidak asing lagi dengan kata peribahasa. Dipahami atau
tidak artinya dalam konteks istilah, namun dalam praktiknya peribahasa telah menjadi nasihat dalam kehidupan. Mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu atau justru meninggalkannya.
Banyak peribahasa yang dari dahulu, hingga sekarang masih sering kita gunakan. Misalnya: "Malu bertanya sesat di jalan", "guru kencing berdiri, murid kencing belari", "biar lambat asal selamat", ataupun "sabar itu subur, jujur itu makmur". Benarkah peribahasa-peribahasa itu berhasil menjadi nasihat yang dapat diikuti dalam segala konteks kehidupan atau justru ampuh bagi kalangan masyarakat tertentu?

Tentu setiap orang mempunyai jawaban berbeda, karena memang dalam praktiknya ada yang berhasil dan ada yang justru tersesat. Peribahasa "malu bertanya sesat di jalan" memberi makna ‘kalau kita tidak tahu lebih baik bertanya kepada orang’. Saya tidak dapat memberi jaminan bahwa semua orang di muka bumi ini akan menunjukkan tujuan (jalan/alamat) yang sebenarnya sesuai yang kita tuju. Anda mungkin mempunyai pengalaman sendiri tentang hal ini. Bisa saja tempat yang kita maksud sebenarnya arah timur, tetapi kita bisa sampai ke arah barat dikarenakan orang yang kita tanyai tadi bermaksud iseng ingin "mengerjain". Hal ini wajar terjadi di kota-kota besar yang orang-orangnya bukan saja tidak mau tahu dengan urusan orang lain, melainkan menganggap orang lain sebagai obyek yang dapat dipermainkan.

Peribahasa "malu bertanya sesat di jalan" lahir di dalam masyarakat Melayu yang masih sederhana, yang semua orangnya selalu bersedia menolong orang lain. Peribahasa ini merupakan bagian kecil dari peribahasa lainnya yang bernasib sama. "Sabar itu subur, jujur itu makmur" juga peribahasa yang dianggap bertentangan dengan realita kinerja pemerintah sekarang yang penuh dengan korupsi. Pada akhirnya menjadi "sabar itu bubar, jujur itu hancur".

Kembali Menelaah Makna Peribahasa

Menurt KBBI (edisi IV, 2008) ada dua definisi peribahasa: 1. peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dalam peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan), 2. ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.

Pada definisi kedua kita dapat menemui makna nasihat tentang peribahasa itu. Makna ini sebagai penguat bagaimana kita mengambil sikap terhadap peribahasa-peribahasa yang ingin kita lisan atau tuliskan kepada orang lain. Coba perhatikan sekali lagi kedua definisi tersebut.

Tentu ada rasa "bingung dan berpkir-pikir" karena di dalam pengertian pertama dijabarkan bahwa salah satu jenis peribahasa adalah ungkapan sedangkan dalam pengertian kedua dijabarkan, peribahasa itu ungkapan (saja). Lebih jelas keterangan yang terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Badudu-Zain (1994) tertulis: ‘kelompok kata atau kalimat yang menyatakan suatu maksud, keadaan atau hal yang mengungkapkan kelakuan, perbuatan-perbuatan atau hal yang mengenai diri orang; peribahasa mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, tamsil’.

Dari masa ke masa jumlah peribahasa terus bertambah. Permasalahan yang ada baik merundung kehidupan individu, kelompok sosial masyarakat, hingga permasalahan pemerintahan mengondisikan masyarakat memaknai peribahasa sebagai bahasa perumpamaan yang indah untuk mencipta nasihat menggariskan peringatan untuk melakukan tindakan atau justru meninggalkannya.

Masih Ampuhkah?

Keampuhan peribahasa sebagai nasihat menyambangi setiap jaman yang berbeda. Bahasa peribahasa harus mampu menyesuaikan dengan konteks jaman yang dilalui. Ajip Rosidi dalam bukunya yang berjudul Bus, Bis, Bas Berbagai Masalah Bahasa Indonesia megungkapkan banyak peribahasa yang lenyap karena tidak sesuai dengan perkembangan jaman, namun banyak yang terus hidup karena mengikuti perkembangan jaman.

Pengungkapan terhadap sesuatu yang sama dapat diperibahasakan dengan bahasa yang berbeda. Telinga kita lebih akrab mendengar peribahasa "Seperti anak ayam yang kehilangan induk" daripada "Berseleleran bagai getah di ladang" padahal kedua peribahasa itu bermakna sama yakni ‘hidup bagai tidak punya panutan’. Keduanya juga termuat dalam Kitab Kiliran Budi susunan Paderi Shellabear pada awal abad ke-20.

Peribahasa mana yang lebih mudah dipahami dan lebih ampuh menasihati orang-orang yang sedang kebingungan dan merasa sendiri menghadapi masalah? Jawabannya tergantung pada peribahasa mana yang dianggap lebih terasa "pedas" dan "mengena" terhadap orang yang dinasihati. Pengibaratan getah yang berseleler (meleleh) di ladang dengan anak ayam yang kehilangan induknya menjadi sugesti nasihat bagi orang yang bersangkutan. Perbandingan orang dengan hewan lebih terasa "pedas" dan "mengena" daripada dengan getah pohon tentunya.

Kreativitas, penyeleksian, kombinasi kata, dan pemilihan diksi bahasa dalam peribahasa menjadi unsur-unsur terpenting dalam menjamin keampuhan peribahasa sebagai maknanya ‘nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Pola kehidupan sosial masyarakat Melayu dahulu yang berkehidupan sederhana dan tolong-menolong pastinya sangat berbeda saat kita bandingkan dengan pola kehidupan sosial masyarakat kota sekarang.

Masih ampuhkah peribahasa menasihati orang-orang kota dan orang-orang yang hidup di jaman yang cenderung dengan budayanya sendiri-sendiri? Seberapa kuat eksistensi bahasa peribahasa memengaruhi sikap perilaku orang-orang di jaman modern? Jika kita perhatikan sebenarnya sudah banyak peribahasa yang tidak cocok lagi digunakan sekarang. Sebagai contoh peribasa "biar lambat, asal selamat" dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat yang semakin serba cepat, sehingga dirubah "cepat selamat."

Peribahasa-peribahasa di jaman modern ini juga sudah terlahir dengan bahasa yang sederhahana namun berkekuatan sindiran terhadap masalah-masalah yang bermunculan. Sebut saja peribahasa "gunakan kesempatan dalam kesempitan", "aji mumpung di tempat basah", "kasih uang habis perkara", "orang kecil tak boleh sakit". Dilihat dari pemilihan bahasanya sesungguhnya masyarakat modern sudah kreatif karena tidak lagi banyak menggunakan perumpmaan atau pun perbandingan sebagai sugesti nasihat dalam peribahasanya. Karena tidak setiap orang mampu memaknai perumpamaan dan perbandingan istilah kata-kata yang diracik dalam peribahasa.

Kita dapat menarik kesimpulan yang cukup sederhana, yakni keampuhan peribahasa sebagai nasihat di jaman modern ini terletak pada seberapa kreatif masyarakat mengola susunan kata-kata peribahasa yang mudah dimengerti dan mencipta bahasa sederhana yang bermuatan sindiran yang langsung mengena pada pembacanya. Pada konsep peribahasa inilah kita dapat bereksperimen sejauh mana bahasa mampu mempengaruhi sikap dan perilaku orang-orang di jaman modern. Ya, tetap walau pada akhirnya para pembacalah yang merespon nasihat peribahasa itu diterima atau justru ditolaknya.


"Menyelamatkan" Taufiq Ismail Menjadi Sastrawan

Saripuddin Lubis

Cerita ini dari Taufiq Ismail, "Kalau saja Soe Hok Djin tidak ada, barangkali Anda semua tidak akan pernah mengenal saya dan kita tidak akan berjumpa di sini".
Ucapan itu selalu saja disampaikan Taufiq setiap kali ada kesempatan dialog terbuka dengannya. Pertama ketika berlangsung pertemuan Apresiasi Sastra Daerah di Hotel Mars, Cipayung, Jawa Barat. Kemudian pada Diklat Membaca Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) tahun Hotel Purnama, Cipayung, Jawa Barat beberapa waktu yang lalu.

Mengapa Soe Hok Djin sampai menyelamatkan Taufiq Ismail? Dimaskud Taufiq dengan menyelamatkannya bermula dari sebuah anekdot. Masa remaja Taufiq Ismail seperti diketahui pernah berprofesi lain sebagai penjual kain batik dari Pekalongan yang dilakukannya untuk sekedar menambah biaya hidupnya. Di sela kegiatannya berdagang batik, Taufiq tetap berkarya, terutama menulis puisi.

Ketika Indonesia sedang berada dalam peristiwa ?66, Taufik telah banyak menuliskan karyanya tentang aksi-aksi para mahasiswa pada waktu itu. Puisi-puisi yang ditulis Taufiq sebagian telah diketik rapi dan sebagiannya lagi masih masih ditulis tangan. Salah satu kebiasaan Taufiq, selalu menyandang sebuah tas yang berisi puisi-puisinya, kemana pun dia pergi, termasuk ketika sedang berdagang batik antara Pekalongan-Jakarta.

Suatu kali dalam sebuah pertemuan, Djin (Taufiq dan Soe Hok Djin adalah sahabat akrab), secara tidak sengaja membaca puisi-puisi Taufiq. Setelah membaca puisi-puisi itu, Djin sangat senang dan langsung berkata, "Taufiq, ini bagus sekali. Ini harus diterbitkan!" Pemuda Taufiq mengatakan kalau puisi-puisi itu belum rapi dan masih ditulis tangan (kebetulan yang dibaca Djin adalah map yang berisi puisi dengan tulisan tangan, sedang puisi yang sudah diketik ada pada map yang satu lagi. Djin tidak perduli, beliau beranjak pergi sambil membawa map yang berisi puisi.

Seperti biasa secara berkala, dari Pekalongan Taufiq berangkat ke Jakarta membawa bungkusan-bungkusan berisi kain batik. Suatu pagi Subuh, Taufiq tiba di Stasiun Kereta Api Gambir. Pagi itu, entah bagaimana secara tidak sengaja (karena harus mengurusi dagangannya) Taufik harus kehilangan semua barang dagangannya. Batik yang berjumlah banyak, raib entah kemana. Betapa gundah hati Taufiq. Taufik gundah bukan karena kehilangan kain-kain batiknya. Taufiq sedih karena harus kehilangan barangnya yang paling berharga, yaitu map yang berisi puisi yang sudah diketik. Bukan main sedihnya Taufiq Ismail. Beberapa hari kemudian, Taufiq ingat kalau masih ada satu lagi berkas puisi-puisinya pada Soe Hok Djin. Taufiq pun segera berangkat menemui Djin. Akhirnya selamatlah puisi-puisi Taufiq Ismail dan puisi-puisi yang diselematkan itu dapat kita baca dalam kumpulan Tirani dan Benteng.

Siapa Soe Hok Djin?

Soe Hok Djin sebenarnya adalah orang yang cukup terkenal di negeri ini. Soe Hok Djin dikenal dengan nama Arief Budiman. Dilahirkan di Jakarta, 3 Januari 1940. Semasa kecil Djin mempunyai cita-cita sebagai seorang pelaut atau pilot. Cita-cita hanya untuk menggapai angan-angan sangat sederhana; ingin melanglang ke luar negeri melalui laut atau angkasa.

Setelah beranjak dewasa Djin mengubah cita-citanya menjadi seorang penulis dan pelukis. Cita-cita sedikit banyak terpengaruh oleh ayahnya yang berprofesi sebagai penulis. Ayahnya Salam Sutrawan adalah seorang pengarang novel Cina Perantauan. Setiap saat Djin selalu dekat dengan sang ayah yang sedang mengetik novel.

Djin juga mulai menyenangi teater karena kebetulan Alm. Liem Tjua Hok (Teguh Karya) adalah teman kecil sebelah rumah. Seperti kita ketahui Alm. Teguh Karya adalah tokoh film dan teater di Indonesia. Setelah menginjak bangku kuliah, Djin sering menonton teater bersama Asrul Sani dan Teguh Karya.

Sekarang Arief Budiman berada di Australia sebagai guru besar di Universitas Melbourne. Arief pernah memperdalam pengetahuan di College d?Europe, Brugge, Belgia (1964), menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1968), memperdalam pengetahuan di Paris (1972) dan meraih gelar doktor dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, AS (1980).

Dalam bersastra dan seni, Arif juga sudah harus diperhitungkan sepak terjangnya. Kegiatannya antara lain, termasuk salah satu Dewan Penasehat Majalah Sastra Horison pada priode 1966 sampai 1972. Aktivitasnya di Horison kemudian dilanjutkan lagi dari tahun 1972 hingga 1992. Dia juga sempat aktif sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta dari tahun 1968 sampai 1971 dan anggota Badan Sensor Film dari tahun 1968, hingga 1971. Dalam bidang akademik. Pernah sebagai dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga (Jawa Tengah).

Suami dari Leila S. Chudouri (teman kuliahnya di UI yang sekarang psikolog kondang) ini termasuk yang menandatangani "Manifes Kebudayaan". Kelompok ?Manifes Kebudayaan? ini, mereka yang ikut menentang kehadiran gerakan komunis di Indonesia. Arief juga pernah menghadiri Konferensi PEN Club Internasional di Seoul (1970).

Arief banyak menulis esai. Salah satu esainya "Manusia dan Seni" bahkan memperoleh Hadiah Ketiga majalah Sastra tahun 1963. Karya Arief yang lain Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (1976), Pembagian Kerja Secara Seksual (1981), Transmigrasi di Indonesia: Ringkasan Tulisan dan Hasil-Hasil Penelitian (1985), dan Jalan Demokrasi ke Sosialisme: Pengalaman Chile di Bawah Allende (1986).

Dalam bidang kajian ilmiah sastra, Arief Budiman dianggap sebagai tokoh "Metode Ganzheit" sejak diadakannya Diskusi Sastra 31 Oktober 1968 di Jakarta dan terlibat serangkaian polemik dengan MS Hutagalung sebagai "Aliran Rawamangun". Arief juga dikenal sebagai tokoh "Sastra Kontekstual sejak diadakannya Sarasehan Kesenian di Solo Oktober 1984.

Itulah Soe Hok Djin yang juga abang kandung dari Soe Hok Gie (Tokoh ?65 yang telah difilmkan) Bagaimanapun kehadiran Soe Hok Djin telah pula dicatat dalam percaturan sastra di negeri ini.

Penulis: dosen STKIP Budidaya Binjai.


Berbagi Kegembiraan Geliat Sastra Medan

Nasib TS

Berbagi kabar sepanjang yang saya ketahui, merupakan aktivitas positif dalam tradisi komunikasi sebuah kelompok sosial, tidak terkecuali komunitas penggiat sastra. Pada zaman perangkat komunikasi belum secanggih sekarang, para sastrawan antardaerah berbagi kabar melalui korespondensi maupun melalui rubrik sastra surat kabar.
Korespondensi antarsastrawan yang selain berpolemik masalah sastra, juga berbagi kabar kegiatan sastra, pernah dilakukan sastrawan senior pendahulu kita. Itulah dulu yang dilakukan Ajib Rosidi, Hamka, HB Jasin dengan sejumlah sastrawan Medan waktu itu.

Sekarang sudah canggih. Korespondensi bisa dilakukan lebih cepat melalui surat elektronik menggunakan beragam pilihan perangkat teknologi yang tersedia. Polemik tertulis, bahkan diskusi bisa dibangun melalui sejumlah sarana jejaring sosial berbasis internet.

Berbagi kabar sastra yang paling sederhana melalui sarana Short Message System (SMS) atau pesan singkat sistem seluler. Pesan singkat seluler itu sangat berperan dalam rangka menjembatani komunikasi antara saya dan teman-teman sastrawan dengan aktivitas mereka.

Pesan-pesan geliat sastra yang masuk ke ponsel itu bermacam-macam, dari sekadar pemberitahuan penerbitan karya, undangan diskusi, pertemuan silaturahmi komunitas sastra, hingga kabar duka atau bahagia.

Dukungan teknologi memang sudah seharusnya (dimanfaatkan) mendekatkan kabar sastra antarsastrawan maupun antara sastrawan dengan pencintanya. Komunikasi sederhana ini merupakan salah satu media yang sangat membantu upaya mengembangkan apresiasi sastra dengan segenap aktivitasnya.

Berbagi Kegembiraan

Melalui sejumlah pesan singkat kabar sastra yang saya terima, setidaknya saya mengetahui aktivitas sastra di Medan. Catatan saya atas SMS-SMS itu, sebenarnya geliat sastra di kota ini telah memberi sinyal menggembirakan. Setidaknya dibanding lima atau sepuluh tahun lalu, dimana kondisi kesastraan Medan diwarnai isu kerinduan para sastrawan kepada bangkitnya aktivitas kelompok-kelompok diskusi sastra, penerbitan sastra ataupun isu gap antar sastrawan senior dan sastrawan muda. Pesan singkat yang mengabarkan berbagai aktivitas sastra itu memberi tahu, sastra Medan berdenyut kembali. Tidak sekadar mengetahui, namun kabar gembira itu membangkitkan motivasi kreativitas dan kedekatan emosi kita terhadap aktivitas yang dikabarkan.

Simaklah beberapa kabar gembira yang menandai geliat sastrawan Medan yang sampai ke ponsel saya.

Kabar itu antara lain saya terima pada 12 Oktober 2011, pukul 17: 19: 13 WIB menulis, Sekadar berbagi kebahagiaan, alhamdulillah, buku ’Sampan Zulaiha’ karya Hasan Al Banna masuk dalam 10 besar Khatulistiwa Literary Award 2011.

Anugerah sastra itu digelar setiap tahun oleh Yayasan Khatulistiwa Literary Award untuk para penulis kategori fiksi dan puisi. Karya-karya sastra yang disertakan, diseleksi oleh tim juri terpilih dari berbagai latar belakang keahlian. Masing-masing pemenang akan mendapatkan hadiah sebesar Rp50.000.000.

Hasan Al Banna satu dari 10 nominator yang berhasil menyisihkan -mungkin- ratusan sastrawan melalui karyanya yang diseleksi dalam ajang bergengsi itu. Yang paling penting, Hasan Al Banna sastrawan Medan yang sama kita ketahui telah berhasil membuahkan karya terbaik, hingga kepengarangannya dibicarakan di kalangan sastrawan di berbagai forum tingkat daerah maupun nasional. Hasan Al Banna juga sering diundang ke berbagai forum-forum itu baik sebagai peserta maupun pembicara. Hasan telah berbagi kabar gembira itu pada kita. Lebih dari sekadar kabar gembira, buat saya kabar itu membanggakan karena Hasan anak Medan. Karena itulah, berbagi kabar gembira seperti ini harus menjadi tradisi untuk menjadi motivasi berkarya bagi sastrawan. Selain itu, Idris Pasaribu, lewat Novel Acek Botak masuk dalam 12 besar Khatulistiwa Ward tahjuyn 2009.

Di lain waktu, kabar gembira lain saya menerima terusan pesan singkat undangan peluncuran novel. Dear Rumah Kata, Undangan KSI Medan: Peluncuran Novel "Amang Parsinuan ..Sang Ayah.. karya Lucya Chriz, Jumat 14 Oktober 2011, jam 15.00 WIB di Galeri Payung Teduh Jalan Sei Bingai No 1 Medan.

Kabar gembiranya, aktivitas sebuah komunitas sastra di Medan –seperti KSI- ternyata memang tidak sekadar rajin menggelar diskusi dan piawai "bertengkar" membahas karya dalam forum yang mereka gelar, namun dapat dibuktikan dengan kerja nyata melahirkan sebuah karya, hingga memprakarsai peluncuran buku baru.

Haiya Alya Zaki dalam pesan singkatnya Rabu, 19 Oktober 2011 melengkapi kabar gembira yang disampaikan Hasan Al Banna dan Lucya Chriz.

Haiya menulis:

Alhamdulillah, buku antologiku "Mother Bukan Monster" (Glitzy Publishing) dan "Jumpalitan Menjadi Ibu" (LPPH) serta novel Embar T Nugroho (anggota KSI Medan) "Guardian Angel" (Media Pressindo) masuk dalam seleksi awal untuk penghargaan AnugerahPembaca Indonesia 2011.

Menerima kabar gembira dari teman-teman kreatif yang diperhitungkan dalam berbagai sarana kompetisi penulis tingkat nasional -maksudnya pesertanya dari berbagai daerah seluruh Indonesia- saya merasa perlu memberi apresiasi sekadar berbagi kegembiraan pada penulis-penulis handal lainnya di Medan.

Tentu saja tidak hanya kabar gembira peluncuran novel atau prestasi kumpulan cerita pendek. Sejumlah penulis kreatif dari sejumlah komunitas penulis di Medan kini mulai sering berbagi kegembiraan untuk setiap aktivitas kepenulisan yang lain yang mereka laksanakan.

Di Medan kini banyak bermunculan komunitas sastra yang aktivitasnya diskusi dan berkarya. Ini merupakan kabar gembira yang menandai geliat nafas sastra di Medan makin berdenyut. Seperti dikabarkan Sartika Sari -dengan penuh kegembiraan- dalam tulisan "Sastra, Kreativitas dan Pemicunya" (Rebana 16 Oktober 2011), Kota Medan banyak dihuni berbagai komunitas penulis. Selain komunitas sastrawan yang telah lama ada juga dimeriahkan komunitas penulis berbasis kampus.

Di antara komunitas sastra di Kota Medan adalah Omong-omong Sastra (OOS). Komunitas ini hadir sejak tahun 70-an, sempat vakum dan setahun terakhir mulai aktif dengan agenda rutin ’arisan diskusi’ setiap bulan. Komunitas lainnya, ada Garapan Pemuda Tahan Lapar (Garputala), Home Poetry (HP), Komunitas Mahasiswa Pecinta Sastra Indonesia (Kompensasi), Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya (Koma), Komunitas Penulis Muda Sumatera Utara, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Tanpa Nama (Kontan) Unimed, Laboratorium Sastra (Labsas) dan Rumah Kata, lembaga yang fokus pada masalah budaya dan sastra serta lainnya.

Demi Sastra

Dengan kekuatan komunitas-komunitas ini, kita yakin kebangkitan sastra di Medan sedang berproses. Harapan menjadikan Medan sebagai ’ibukota’ sastra seperti pernah disampaikan Supoandiu Kusuma Pemiompin Umum Harian Analisa yang dibacakan oleh H. Soffyan, Pemimpin Redaksi Harian Analisa, dalam peluncuran Antologi Cerpen Rebana tiga tahun lalu, bukan hal mustahil.

Pada hari Kamis 1 Juni 2005, H. Soffyan dalam pada acara "Peluncuran Antologi Cerpen Rebana I/2005" sekaligus membuka Pameran Puisi dan Ilustrasi para Penyair Harian Analisa di Sanggar Pameran Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) saat itu mengatakan, seperti diketahui bersama gaya bahasa Indonesia khas Sumut pernah mengalami puncak kejayaan (masa keemasan) pada era tahun 50-an.

"Kami menantang para penulis untuk mengembalikan kejayaan sastra nusantara di Medan. Biarlah Bali dan Padang menjadi "ibukota" seni tari, Yogyakarta jadi "ibukota" senirupa dan para seniman Medan harus mampu menjadikannya kembali sebagai "ibukota" sastra dan musik seperti tahun 50-an," tandas Sofyan.

Harapan H. Soffyan itu mewakili harapan para pecinta maupun praktisi sastra yang menginginkan Medan tidak tinggal diam dalam catur sastra nasional. Harapan itu, sekali lagi, pasti bisa dibangun melalui semangat komunitas yang ’kompak demi sastra’. Kekompakan mewujud dalam bentuk saling asah, asih dan asuh, dalam gairah berkarya. Antarkomunitas bisa saling mengisi pengetahuan dan saling memotivasi. Semua itu bisa dimulai dengan cara yang paling sederhana, berbagi kegembiraan sesama sastrawan dan komunitas.

Penulis; Ketua Rumah Kata, lembaga yang fokus pada masalah budaya dan sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar