Kamis, 12 Januari 2012

Mengupas Puisi di Rumah Cahaya

-Dari Omong-omong Sastra-
sakinah annisa mariz

“…Puisi bukan sekadar rangkaian kata-kata indah, namun juga mempertimbangkan nilai-nilai dan logika formal di dalamnya…” tutur Ali Yusran, saat menjadi pembicara dalam Omong-omong Sastra, Minggu, 13 November 2011.
Di acara yang dipercayakan kepada Forum Lingkar Pena (FLP) Sumut sebagai tuan rumah dan digelar di Rumah Cahaya, Sekretariat FLP Sumut, Jalan Sei Deli Gang Sauh No 18 Medan, sekitar 60-an orang berkumpul dan membincangkan puisi. Berdiskusi, berbagi ilmu, gagasan, sekaligus menjalin dan kian mempererat silaturahim menjadi landasan kehadiran mereka yang terdiri dari para sastrawan, penulis anggota komunitas kepenulisan, kalangan akademisi hingga sekadar penikmat sastra.

Hadir di acara yang digelar dua bulan sekali itu sastrawan “tahun tinggi” dan generasi sesudahnya. Setidaknya yang lekat diingatan penulis, Damiri Mahmud, A Rahim Qahhar, Sulaiman Sambas, Darwis Rivai Harahap, Jaya Arjuna, Norman Tamin, Mihar Harahap, Ali Yusran, Nina Zuliani, YS Rat, Afrion, Yunus Rangkuti, Idris Siregar, Yulhasni, M. Raudah Jambak, Hasan Al Banna, Embar T. Nugroho, Ilham Wahyudi, Sukma, Ria Ristiana, M. Anhar, Maulana Satrya Sinaga, Evi Andriani, dan sejumlah penulis muda dari berbagai komunitas kepenulisan.

Dipandu Fadhli yang juga Ketua FLP Sumut, Ali Yusran – kerap pula disapa Datuk Majoindo – tampil sebagai pembicara tunggal diskusi. Seorang lagi yang sebelumnya telah menyatakan bersedia menjadi pembicara, Agus Susilo, sebagaimana dikabarkan M Raudah Jambak sebelum diskusi dimulai, berhalangan hadir.

Mengetengahkan materi puisi dan perpuisian di zamannya, Datuk menilai puisi-puisi karya generasi saat ini merupakan puisi kaya kata-kata. Menurut pengamatannya, kosa kata yang apik dirangkai jadi baris-baris puisi, lantas imajinasi itu mereka biarkan menggelepar liar dalam puisinya. Akibatnya, Datuk merasakan puisi-puisi itu penuh, terlalu sarat peristiwa hingga seolah menjungkirbalikkan logika. Padahal, kata dia, saat berkreativitas sekali pun seseorang biasanya tidak akan terlepas dari konvensi-konvensi sastrawi.

Namun, dalam pengamatan Datuk, sepertinya penulis-penulis yang lahir di angkatan setelahnya kurang menyadari hal itu. Mereka memilih untuk hidup bebas pada puisinya, menanamkan kata-kata di tiap baris puisinya dan mengatakan puisi seperti itu merupakan representasi hidupnya.

Mengenai hal itu, Datuk menganggapnya sah-sah saja sebab menyangkut hak dan kebebasan seseorang untuk berkarya. Akan tetapi, setelah itu Datuk bercerita tentang Aldian Arifin (almarhum) yang pernah “mengamuk” dan membuang 200-an puisi yang harusnya diantalogikan karena kesal terhadap penulis yang tak memakai konsistensi kelogisan pada puisinya.

“Sekurang-kurangnya puisi memuat hal-hal yang relevan dengan proses berpikir. Misalnya puisi bercerita tentang dermaga, janganlah di dalamnya bercerita tentang langit. Fokuskan ke mana arah puisi yang akan ditulis. Puisi bukan sekadar berisi pencitraan imaji dan kuantitas kata-kata,” jelas Datuk.

Menanggapi materi yang disampaikan Datuk, banyak gagasan muncul dari golongan penulis muda. Mereka kembali mempertanyakan analisis kritis tentang karakteristik dan wajah perpuisian Indonesia hari ini. Istilah tentang sajak-sajak terang dan sajak-sajak gelap, serta tentang klaim banyak penyair senior justru seolah “diamini” saja ketika mereka mulai menjungkirbalikkan logika-logika formal dalam puisinya.

Kesemua pertanyaan dijawab dan ditanggapi bukan hanya dari pemateri, tetapi juga peserta diskusi. Dari Omong-omong Sastra itu, lahirlah gagasan dan pemikiran-pemikiran baru.


Kemah Sastra; Hidupkan Kembali Tradisi Bedah Karya
Sartika Sari

Penulis yang baik adalah seorang editor yang baik pula untuk tulisan-tulisannya. Kita tentu sepakat dengan pernyataan tersebut. Sekadar mengingat kembali, dalam menulis khususnya cerpen, sudah akrab rasanya di telinga kita perihal tahapan atau teknik menulisnya. Dimulai dari menentukan tema, setting, tokoh, penokohan, alur, pengembangan cerita dan pada akhirnya pemeriksaan ejaan. Namun, apakah kita sudah dikatakan berhasil menulis?
Menulis adalah membaca. Begitu penegasan dari seorang penulis senior, Ahda Imran terkait menulis. Memang, tulisan yang bergizi tentu beda nikmatnya dengan tulisan yang tidak bergizi. Dengan kata lain, penulis mesti rajin membaca dan membubuhi tulisannya dengan informasi sehingga dapat menambah pengetahuan pembaca. Dengan begitu, tulisan yang dilahirkan bermanfaat dan bukan sekadar karya semu. Pada sudut pandang berikutnya, tentu kita sepakat bahwa penulis mesti legowo membaca tulisannya sendiri maupun tulisan orang lain, berikut apresiasinya. Mengapa? Telisik demi telisik, kebiasaan mengapresiasi karya inilah yang mulai pudar di kalangan penulis-terutama penulis muda. Jelas, akibatnya terbilang fatal. Mental penulis pemula yang cenderung cepat merasa bangga dan puas menerima pujian, kerap menjadikannya kurang memperhatikan kualitas karya. Penyakit semacam ini mesti diwaspadai. Padahal sebenarnya, sejak dulu ada sebuah tradisi yang ditanamkan oleh para guru dan senioran terkait menulis. Hanya saja, perlahan terkesan luntur. Ya, yang dimaksud adalah tradisi bedah karya.

Kebiasaan yang sejak lama ditanamkan, saat ini nyaris hilang. Barangkali karena kita terlalu sibuk berbenah dengan pendapat masing-masing.

Mengapa Perlu?
Dalam diskusi pada acara Kemah Sastra Penulis Sumatera Utara (27-30 Desember 2011) yang bertempat di Danau Toba, M Raudah Jambak (sastrawan, penulis) menegaskan betapa pentingnya kegiatan semacam bedah karya di kalangan penulis muda. "Bedah karya menjadi penting, agar penulis muda tidak kebablasan dalam menulis," tungkasnya. Dalam artian, seorang penulis muda mesti dibekali dengan pengetahuan terkait menulis yang baik. Hal ini dimaksudkan agar nantinya para penulis muda dan karya-karyanya dapat “berjalan” baik dan tidak semena-mena. Ini merupakan bentuk antisipasi sebelum terjadi kesalahan fatal seperti beberapa kasus yang terjadi sebelumnya.

Bedah karya bukan memasifkan sang pemilik karya. Hal ini juga ditekankan dalam diskusi yang berlangsung. Sesuai keterangan yang diperoleh dari Afrion-sastrawan sekaligus ketua pelaksana mengenai fokus kemah sastra yakni untuk membongkar pemikiran-pemikiran suntuk tentang menulis cerpen, benar saja dilakukan. Puncaknya pada tanggal 29 malam bertempat di ruang tengah Penginapan, berlangsung forum diskusi sastra-membahas dan membedah langsung karya para penulis muda Sumatera Utara. Uniknya, diskusi berlangsung sekitar pukul 23.00-03.30 pagi.

Selama berlangsungnya diskusi, banyak sekali ditemukan kesalahan-kesalahan kecil hingga fatal dalam tulisan (dalam hal ini cerpen) para penulis. Di antaranya peserta yang mengikuti diskusi semalaman itu adalah Hasudungan Rudy Sitohang, Ria Ristiana Dewi, Wahyu Wiji Astuti, Sartika Sari, Zuliana Ibrahim, Nurwida Sari, Ayu Harahap, Winda Sriana, Khairul Anam dan beberapa sastrawan Medan M Raudah Jambak, Afrion, dan S Ratman Suras. Pembedahan cerpen memang dilakukan pada seluruh cerpen karya para penulis muda yang mengikuti lomba penulisan cerpen berlatar Danau Toba-dalam rangka menyemarakkan Pesta Danau Toba. Dalam kesempatan itu, setiap peserta yang karyanya dibedah juga dengan leluasa diberi ruang untuk bersikap aktif dan mempertahankan karya-selama dalam batas kewajaran. Kegiatan ini merupakan contoh kecil yang ke depannya-beberapa kegiatan serupa- masih sangat diperlukan para penulis muda untuk pembekalan.

"Pujian ibarat racun." Ya, para penulis muda seringkali terjebak dengan berbagai macam bentuk pujian atas karya-karyanya. Wajar memang, jika suatu karya mendapat apresiasi berupa pujian dari pembaca. Namun sesuatu yang mesti diwaspadai adalah virus yang mewabah akibat pujian tersebut. Dengan kata lain, harus was-was menerima pujian agar tidak lantas besar kepala dan merasa karya kita sudah paling sempurna. Inilah sebentuk kengerian yang timbul jika mental para penulis muda tidak benar-benar siap menjadi seorang penulis. Padahal, tantangan di depan nanti tentu tidak semudah yang baru saja dialami. Sebelumnya kita harus menyadari bahwa tulisan bisa saja merupa sebilah belati jika kita lengah merawatnya, dan tidak semua apresiasi itu diterima dalam bentuk pujian. Tidak mudah memang, menerima kritikan, namun untuk hasil yang lebih baik, mengapa tidak?

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Unimed.


Penulis Harus Bisa Terima Kritikan
M.Arifin, SPd,MPd

Seorang penulis harus bisa menerima kritikan. Sepedas apapun kritikan itu harus diterima. Semakin pedas dan semakin pahit maka tulisan akan semakin baik. Kalau penulis manja dan cengeng baru dibilang sedikit sudah keder,maka penulis itu akan habis.
Demikian disampaikan Sastrawan Sumut, M Raudah Jambak, SPd saat menjadi narasumber seminar menulis dengan tema "Pena Kita, ke Surga atau ke Neraka?’ yang diadakan Win’s Sharing Club (WSC) sekaligus peluncuran empat buku "Memoar Teropong" Kisah Jurnalis Mahasiswa, Surat Cinta untuk Murabbi, Sastra Mandiri, dan Antologi Puisi "Kuncup Itu" karya Siswa SMA Muhammadiyah 1 Medan di Pendopo UMSU, Jalan Muktar Basri Medan, Minggu (16/10).

M Raudah Jambak yang menegaskan, seorang penulis harus hati-hati dengan pujian walaupun terasa manisnya.

Dia mencontohkan, seseorang ingin menjadi penulis maka ibarat seperti berteman. Ketika ingin wangi, bertemannya dengan tukang parfum, ketika ingin bau berteman dengan tukang parit, dan ketika ingin menjadi penulis handal bertemannya dengan penulis-penulis handal.

Selain itu, ada juga aspek keterampilan berbahasa yang harus diperhatikan seperti menyimak. Artinya, bukan berarti mendengar biasa, menyimak segala sesuatu dan penulis juga harus membaca.

"Kalau sudah menyimak, dan membaca berarti memiliki tabungan informasi, makanya ketika ingin menjadi penulis cerpen harus sering membaca cerpen, jika ingin menulis puisi juga harus sering membaca puisi.Setelah memiliki tabungan maka aspek lainnya harus mulai menulis. Menulislah dari apa yang dibaca,"katanya.

Dalam menulis, lanjut M Raudah Jambak, penulis pemula bisa menjadi peniru yang baik. Ketika terobsesi dengan tokoh seperti WS Rendah, atau Emha,maka tirulah gaya penulisannya. Tapi, ketika sudah mengetahui dan paham metode penulisan dan semacamnya harus mampu melepaskan diri dan menjadi diri sendiri.

Dia mengaku dalam menulis harus memperhatikan bahasa, jangan sempat ada salah ketik, satu huruf saja salah maka akan mengandung arti berbeda seperti batik dengan batok, atau tempat dengan t4.

Pengaruh Besar

Sementara anggota DPRD Medan, Surianda Lubis, SAg mengatakan tulisan memiliki pengaruh yang besar tehadap penilaian sesuatu. Dia menceritakan dulu ada peristiwa G30 S/PKI. Saat itu anak-anak dan seluruh rakyat Indonesia disuguhkan dengan peristiwa tersebut. Karena tidak ada informasi-informasi lain maka semua menilai apa yang terjadi adalah peristiwa sebenarnya. Padahal, ada kisah lain dari sejarah tersebut yang tidak dituliskan.

Surianda juga menjelaskan, Nabi Sulaiman merupakan nabi yang memiliki mukjizat luar biasa, tapi ketika dia istirahat dalam suatu perjalanan dan menemukan ada kerajaan dipimpin Ratu Balig yang menyembah matahari. Sulaiman bukan memanfaatkan mujizatnya tapi dia menulis surat dan meminta burung untuk membawa surat sampai ke ratu. Sebenarnya, apa sulitnya Sulaiman ketika itu bisa memanfaatkan zin tapi yang dilakukan menulis sebuah surat. "Kisah ini menegaskan kepada kita bahwa tidak bisa dibisahkan orang saleh dengantradisi menulis,"katanya.

Demikian dengan Muhammad SAW, katanya ada dua imperium yang berdiri dengan dada membusung, hampir tidak ada kekuatan yang menaklukkan, tapi nabi tahu, kesadaran menyakinkan, orang besar bukan karena militer, besar karena keyakinan dan karena keyakinan membuat Muhammad menulis surat kepada para raja, makanya ada yang salah dari kesalehan seseorang kalau belum menulis, ada yang kurang sempurna dari keyakinan kita kalau kita belum menulis.

Seminar yang diikuti ratusan siswa dan mahasiswa ini juga diisi sambutan Ketua WSC, Winarti RG, SPd, Ketua Forum Alumni Teropong (FORMAT), M.Arifin, SPd,MPd dan Ketua Panitia Septian Hadavi Lubis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar