Minggu, 18 Maret 2012

Minimnya Teori Kritis terhadap Karya Sastra Sumut

Yulhasni

Studi sastra dalam perkembangannya di tanah air selalu melahirkan berbagai wacana dan polemik yang menarik untuk dicermati. Pada dekade 80-an dan 90-an, studi sastra dalam pendekatannya pernah dihebohkan dengan munculnya gerakan postmodernisme atau sering disebut sebagai pascastrukturalisme. Pada masa itu kemudian teori dekonstruksi Derrida jadi wacana yang menghangatkan diskursus sastra di Indonesia. Sebelumnya A. Teeuw menyentakkan dunia akademisi di Indonesia dengan esainya ‘’Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi’’. Dalam esainya itu profesor Belanda ini menyatakan ketidakpuasannya atas hasil analisis dosen sastra terhadap dua sajak modern Indonesia.
Begitulah, dunia akademisi dengan seperangkat teori yang dikunyah lewat rak-rak buku hanya akan jadi bentangan kesia-sian belaka. Barangkali memang ada kesalahan pemahaman ketika berhadapan dengan teks sastra. Di Sumatera Utara, nyaris tidak dapat ditemukan studi kritis yang lebih menukik saat berhadapan dengan karya sastra di daerah ini. Bahkan saat membaca beberapa tulisan di rubrik Rebana ini, baik berupa ulasan terhadap cerpen, puisi, maupu novel, hampir semuanya terperangkap pada pendekatan yang mengabaikan proses pembacaan yang kritis.

Mungkin telah terjadi kekeliruan yang menahun di bangku perkuliahan ketika mahasiswa disodorkan seperangkat teori sastra. Lebih memprihatinkan teori yang disodorkan sama sekali keluar dari realita teks itu sendiri. Alhasil, dalam model pendekatan struktural, teks hanya dimaknai sebagai satu yang otonom tanpa ada faktor luar yang mempengaruhinya. Inilah faktor penyebab mengapa kemudian sastra menjadi kering saat dibedah oleh kaum akademisi. Di lain pihak, tema dan gagasan tentang karya sastra di Sumut masih bicara tentang kelamin, sesuatu yang sebenarnya adalah cerita lama dalam khazanah sastra Indonesia.

Beberapa karya sastra yang lahir di Sumatera Utara, terutama yang terbit di media cetak, diyakini tidak pernah mampu dikritisi secara cermat. Bahkan dalam praktik pendekatannya, tiga bentuk pertanyaan yakni (1) bagaimana cara menafsirkan isi karya sastra, (2) bagaimana dan kenapa suatu karya sastra diciptakan, dan (3) apa implikasi sosial budaya dari karya itu, pada kenyataannya tidak mampu terjamah kaum akademisi sastra itu sendiri. Pada bagian inilah kemudian muncul pendekatan Teori Kritis untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut.

Teori Kritis diperkenalkan oleh Jurgen Habermas. Menurutnya Teori kritis merupakan sebuah metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori kritis tidak hanya berhenti pada data-data atau fakta-fakta obyektif seperti yang dianut positifisme, akan tetapi menembus di balik realitas sosial untuk menemukan kondisi-kondisi yang timpang. Teori kritis tidak melayang-layang pada metafisika dan meninggalkan data empiris, tapi berdialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang bersifat empiris.

Telaah atas teks sastra hanya berhenti pada struktur karya itu sendiri. Meski dalam pendekatan sosiologi sastra ada upaya yang memungkinkan menjawab setidaknya bagaimana dan kenapa suatu karya diciptakan, tapi ruang lingkupnya tidak seluas cakupan teori kritis.

Saat membaca novel Amang Parsinuan karya Lucya Chriz, misalnya, pendekatannya seharusnya tidak berhenti pada karya sebagai hal yang otonom. Pengarang tidak bisa dilepaskan dengan cerita yang digarapnya. Meminjam pemikiran Jurgen Habermas. Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan komunikasi dalam perspektif luas dan beragam. Dia bertujuan untuk melakukan eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita mendefinisikan diri sendiri, budaya kita dan dunia. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya dia adalah seperangkat kesepakatan yang berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia. Dengan demikian, ada faktor-faktor di luar teks yang memungkinkan pengarang seperti Lucya Chriz, misalnya, melahirkan Amang Parsinuan.

Tentu pertanyaan mendasar yang penting digarisbawahi adalah seberapa pentingkah Teori Kritis digunakan pada karya sastra di daerah ini? Memahami teks sastra tidak bisa digeneralisasi. Dalam metode critical discouses analysis (CDA) atau analisis wacana kritis, sebagai bagian dari Teori Kritis tersebut, disebutkan bahwa sikap critical bukan untuk menentang melainkan membuka jalan yang lebih terang terhadap sesuatu yang disembunyikan di dalam teks.

Membaca puisi Raudah Jambak berjudul Indonesia Merah Putihku, misalnya, teks tertulis Indonesia, Indonesia/di negeri ini aku dilahirkan/di negeri ini aku dibesarkan/di negeri ini aku menggapai//, penelitian tidak serta merta menyatakan, puisi-nya itu menceritakan tentang rasa cinta tanah air. Dalam CDA akan banyak temuan-temuan terhadap teks yang ditulis.

Beberapa ulasan terhadap karya sastra di rubrik ini, misalnya, tidak menyentuh kepada substansi teks yang hendak dikritik. Tulisan Jones Gultom berjudul Sastra Medan Krisis Estetika, (Analisa, 26 Februari 2012) menarik dicermati, karena sebenarnya ada ruang untuk mengatakan, proses kreativitas anak Medan hanya berhenti pada katarsis. Lebih jelas jika teks-teks puisi dipaparkan dan dilihat pada bagian mana sebuah puisi dikatakan berhenti pada katarsis. Sejumlah tulisan Mihar Harahap dalam kaitan bedah cerpen Rebana, mestinya harus meletakkan teks secara mandiri. Dalam dekonstruksi, pemahaman terhadap sebuah teks lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat.

Pada tulisan Mihar Harahap berjudul Membaca Cerpen Rebana April 2011 (Analisa, 8 Mei 2011), misalnya, sejumlah cerpen yang dikritisi tidak memiliki kekuatan konflik dan perwatakan yang jelas. Dalam dogma strukturalis, kajian seperti ini memang diarahkan ke pembangunan struktur karya. Sejatinya dalam kajian Teori Kritis, tidak perlu sekali dilihat strukturnya melainkan apa di balik teks-teks yang tertulis.

Kelemahan mendasar dalam pendekatan terhadap karya sastra di Sumut tentu saja tidak karena faktor pembacaan yang tidak intensif. Ada bangunan besar dalam studi sastra di daerah ini yang salah, karena terlalu lama menuhankan strukturalisme sebagai nabi teori sastra.

Literatur terkait Teori Kritis sama sekali jarang diajarkan di perguruan tinggi karena faktor ketiadaan bahan, tenaga pengajar yang tidak memahami dan tentu saja karena ketidakbutuhan kita pada hal-hal yang baru.

Penulis; Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU dan mahasiswa pascasarjana Linguistik USU.

Sastra Medan Krisis Estetika

Jones Gultom

SELAIN pada kandungan nilai, karya sastra khususnya puisi juga terikat estetika. Bahkan tak sedikit di antaranya yang berhasil, karena semata-mata keanggunan estetisnya, baik bentuk maupun isinya. Estetika yang saya maksud di sini adalah kemampuan sastrawan mengeksplorasi imajinasinya untuk mengangkat makna melalui pilihan-pilihan kata yang terkesan eksperimentatif. Apa yang dilakukan Sutardji empat dekade lalu, termasuk salah satunya.
Sampai saat ini puisi-puisinya masih memiliki tempat tersendiri karena eksplorasi unik yang dia lakukan itu. Harus diakui, di Medan karya-karya semacam itu, agaknya tidak terlalu diminati. Wajar saja, mengingat watak sastrawan maupun pembaca sastra Medan cenderung lebih pragmatis. Karya sastra yang dibutuhkan di kota ini sepertinya lebih masih bersifat konvensional, yakni karya-karya yang alur dan ide ceritanya jelas. Boleh jadi karena keragaman kultur, masyarakatnya jadi membutuhkan semacam kesepahaman bersama dan mudah dimengerti.

Kesempatan untuk menonjolkan identitas tertentu dalam sebuah karya sastra, terutama puisi, sangat minim dan malah sering dianggap "gangguan" yang mengusik bahkan membebani pikiran pembacanya. Alhasil para para penulis puisi di Medan lebih memilih tunduk pada idiom-idiom yang berlaku universal.

Beda halnya dengan prosa, seperti cerita pendek ataupun novel. Karena ruang kreativitasnya yang luas dan fleksibel telah memberinya kesempatan yang lebih besar untuk bermain-main dalam tataran estetis. Pembaca tetap mampu mengikuti alur dan ide cerita meski diungkapkan dengan ciri khas identitas tertentu. Tidak seperti puisi. Selain karakteristiknya yang lebih padat, pengungkapannya juga sangat terbatas dibanding prosa. Keterbatasan itu tak jarang membuat sastrawan dan pembaca kita saling kehilangan, khususnya ketika dihadapkan dengan puisi yang khas identitas tertentu. Pada akhirnya, wilayah eksplorasi puisi menjadi kian sempit, miskin estetika dan dangkal.

Secara umum yang terjadi dalam dunia perpuisian di Medan dewasa ini adalah terjebak pada perulangan-perulangan dengan wilayah kreativitas yang sama dengan para penulis puisi terdahulu.

Puisi Dairy

Mari kita amati puisi-puisi yang terbit di koran-koran Medan yang terbit setiap hari Minggu. Rata-rata puisi itu mengisahkan tentang suasana hati dengan diksi yang itu-itu saja. Akibatnya puisi-puisi itu tampak seragam, baik dari pilihan kata maupun nilai yang ada padanya. Jarang sekali ditemukan puisi yang berangkat dari sebuah gagasan yang matang. Dari idenya, kebanyakan semangat yang mendasari penulis semata-mata sekedar memenuhi kebutuhan katarsis, tak ubahnya menulis sebuah diary.

Selain krisis estetika, secara umum sastra di Medan juga tumbuh tanpa identitas. Identitas yang saya maksud menyangkut gagasan dengan warna pengungkapan yang khas oleh sastrawannya. Apa jadinya jika sebuah produk kebudayaan, yang konon diolah melalui pengalaman batin dan impresi yang cukup dalam, dilahirkan tanpa arah tujuan. Tak heran jika puisi-puisi itu tampil dengan begitu "sederhana"nya.

Menurut saya, selain tuntutan pembaca Medan yang pragmatis, hal lain yang membuat puisi itu tampak "sederhana" karena penulis kita tak terbiasa dengan kerja eksperimentasi. Pertama, boleh jadi karena kemiskinan wacana penulisnya sendiri maupun pembatasan yang dilakukan oleh media massa. Tidak bisa dipungkiri media massa memiliki peran penting dalam hal ini. Media massa memiliki dua peran, baik sebagai "pencipta" iklim maupun sekedar "pemelihara".

Sebagai "pencipta" iklim media punya posisi penting untuk membentuk iklim baru dalam dunia sastra. Sebagai "pemelihara" iklim, kadang tanpa disadari, media sendiri yang membunuh daya kreativitas karena membiarkan karya-karya sastra itu tumbuh begitu saja, meski dengan apa adanya.

Kedua, motivasi menulis puisi belum dihayati sebagai cara penulis mewujudkan diri dalam kehidupan masyarakatnya. Rata-rata penulis Medan belum mampu melepaskan diri, sehingga tak merasa berkepentingan bagi orang banyak. Kepekaan penulis masih terbatas pada hal-hal yang menyangkut pribadinya. Boleh jadi hal ini disebabkan karena penulis kita tidak mengambil peran yang jelas dalam kehidupan bermasyarakat. Tak heran jika dalam kehidupannya ada jarak bahkan kontradiksi antara idealisme karyanya dengan perilaku keseharian. Pemurtadan terhadap karya inilah yang sering menjadikan sastrawan kehilangan keutuhan dirinya sendiri sekaligus berdampak buruk bagi iklim bersastra itu sendiri.

Mestinya, sentralisme yang ada pada seorang sastrawan dijadikan energi untuk kepentingan yang lebih besar, sehingga visi-misi itu selalu terlihat dalam karya-karyanya. Misi kemanusiaan yang memang belum populer di kalangan sastrawan kita ini, menurut saya juga hal penting yang sering diabaikan sastrawan. Sastra sebagai alat pencerahan masih belum dimaksimalkan dengan baik. Karenanya wajar jika karya sastra di Medan sering tak memuaskan kemanusiaan kita. Sepanjang sastrawan tak kembali pulang pada tugas "politik"nya itu, keragaman itu tak akan pernah tercipta.

Ketiga, dasar filsafat rata-rata penulis yang tak mapan. Bagaimanapun pendekatan filsafat dalam menulis puisi mutlak diperlukan.

Filsafat menjadikan puisi tak seperti menara gading, meski dengan kedalaman makna yang dia miliki. Kekuatan filsafat dalam puisi menjadikannya bernilai universal meski ditulis berdasarkan pengalaman empiris masing-masing pribadi yang beragam. Filsafat akan membantu seseorang mengapresiasi puisi yang ditulis dengan latar belakang psikologi dan budaya yang berbeda.

Dengan filsafat pula sebuah puisi bisa mengakomodir perasaan, persoalan dan kenyataan bersama yang dirasakan oleh orang-orang sekalipun dari berbagai belahan bumi. Pada akhirnya filsafat akan menjadikan seorang sastrawan tidak tercerabut dari kebudayaan global dengan lokalitas yang dimilikinya. Dalam kapasitas saya sebagai salah satu penjaga halaman sastra di salah satu koran Medan, saya sering mendapati puisi yang muatannya tak memiliki pijakan filsafat. Bagaimana mungkin ia akan berguna bagi orang lain?

Tak Mampu Beranalogi

Faktor lain yang membuat karya sastra Medan jadi seragam karena ketidakmampuan sastrawannya beranalogi yakni mengolah isu-isu dengan cara yang estetis. Harus diakui kegagalan para sastrawan Medan terutama terletak pada ketakberhasilan memindahkan realita ke dalam teks. Ditambah lagi dengan keengganan sastrawan Medan berkecimpung dalam dunia diskusi dan dialektika. Alhasil tak jarang suatu isu baru diangkat ketika sudah berlalu jauh. Dibanding dinamika sosial politik yang begitu progresif, karya sastra seakan tak mampu berbuat apa-apa. Isu-isu yang sedang berkembang seringkali luput dari apresiasi para sastrawan Medan. Ketika terjadi gejolak sosial di negeri ini, misalnya, para sastrawan Medan masih saja bicara soal "hujan" "malam" "airmata".

Jikapun ada yang menuliskan realita itu ke dalam bentuk puisi namun dengan analogi yang "terang-benderang". Sontak sastrawan kita kehilangan daya puitisnya. Berbeda ketika dia menulis puisi berdasarkan suasana hatinya itu.

Sudah waktunya sastrawan Medan kembali ke realita hidup masyarakatnya untuk mengungkap serta menjawab persoalan demi persoalan tidak hanya secara etis tapi juga bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar