Senin, 20 Februari 2012

BERSIN

Cerpen M.Yunus Rangkuti

“Hatsyim! Hatsyim!”

Bersin menyalak mengoyak keheningan dinihari. Mengusik inspirasi; membuyar mimpi. Kebisuan menjalari pecah seketika .
“He! Siapa yang bersin? Mengganggu ketenangan saja.” Satu Tanya terdengar dari pojokan kiri ruangan.
“Siapa lagi, jika bukan si Anwar!” Satu jawab menimpali dari sisi kiri. “Memang sudah bawaannya, Kawan!”
“Jangan selalu berprasangka, Bung.” Satu bicara bernada rendah mencampuri.
“Bukan prasangka, ini kenyataan, Kawan!”
“Anwarkan bersin, mengapa dipermasalahkan?”
“Bersin sekalipun, ada etikanya. Menjauh dulu, menutup bagian hidung dan mulut, lalu minta maaf. Jangan diledakkan sesukanya. Selain terlihat kurang sopan, bias menularkan penyakit.”
“Bersin itu bawaannya spontan, Bung. Mendesak untuk segera dilepaskan. Jika ditahan-tahan, malah menjadikan perasaan tak nyaman. Tersiksa, atau bikin stress. Seperti desakan ingin buang angin, jika ditahan-tahan bisa mulas dibuatnya.”
“Anda membelanya?”
“Bukan soal bela-membela,Bung. Itu tendensius! Jangan menggiring pembicaraan kea rah pertentangan.”
“Aduh, mengapa pada bertengkar? Tak kenal waktu dan tempat pula.”
“Ah, bukan bertengkar Pak Ali. Persoalan beda pendapat saja.”
“Beda pendapat apa saling debat? Hentikanlah dulu. Kita perlu istirahat, supaya wajah kita tampak segar dipenampilan berikutnya.”
***
Waktu terus bergulir menjalari malam bersama gairah nyamuk-nyamuk mencium aroma darah. Dengingnya mengusik kuping-kuping. Seekor nyamuk terperosok ke lubang hidung terperangkap bulu-bulu berlumur cairan. Geliatnya terasa menggelitik.
“Hatsyim! Hatsyim!”
Bersin kembali menyalak, mengoyak hening mulai mendekap. Inspirasi dan mimpi-
Mimpi kembali henti.
“Nyamuk sialan! Mengganggu saja bisanya.” Satu suara setengah senggak seketika menyeruak.
“Bah! Ketularan bersin pulak kau, tolong agak diredam, jangan mengarah ke kami
nanti terkontaminasi. “ Satu suara hadir menyindir.
“Aku minta maaf. Sesuatu yang spontan, sulit untuk kutahan.”
“Jangan jadikan hal-hal spontan sebagai alasan, Kawan. Itu memperlihatkan sisi kelemahan.”
“Anda mulai memancing perdebatan, Bung?”
“Terserah menanggapinya.”
“Aduh, kenapa kembali bertengkar lagi? Kalian seperti api dalam sekam, selalu saja ada hal menyulut pertengkaran.”
“Bukan begitu Pak Ali. Si Syam sama saja dengan Anwar, bersin seenaknya.”
“Sudah kukatakan, itu spontan saja.”
“Sering kita melakukan kesalahan tanpa kita menyadarinya. Kita anggap sebagai hal yang wajar saja, karena kebetulan atau kebiasaan.”
“Anda mengarah ke hal-hal pribadi, Bung.”
“ Ada orang yang bawaannya marah melulu.Jika tidak marah, malah pusing rasanya. Ada yang banyak cerita, memamksa orang terus mendengar, meski orang lain telah merasa jemu dan tersiksa. Itu kebiasaan tidak baik, Kawan.”
“Bersinku spontan, Bung! Bukan kebiasaan.”
“Sudah, sudahlah bapak mau meneruskan tidur. Kita harus memanfaatkan waktu istirahat malam ini. Besok penutupan pameran, pengunjung akan banyak menyaksikan. Apa kita mau menyambut mereka dengan gurat kantuk dan lelah di wajah?”
“Nyamuk-nyamuk terus mengganggu Pak Ali. Bagaimana jika kipas angin dihidupkan?”
“Terserah.”
*****
Waktu terus bergulir bersama desir angin. Jam di dinding berdenting tiga kali. Suasana senyap kian mendekap. Kipas terus berputar dan angin menyebar menampar wajah-wajah lelah dipeluk kantuk.
“Hatsyim!Hatsyim!”
Bersin kembali menyalak menyeruak kesenyapan suasana. Melengking di dinding-dinding kuping dan memantul dalam bentuk ruang.
“Bersin lagi! Bersin lagi! Mengganggu tidur saja.” Satu tegur meluncur dari geliat tidur.
“Siapa yang mengganggu ? Justru aku terganggu, karena hidungku kemasukan debu. Matikan saja kipas itu!”
“Hidungmu yang menyalah, War. Kau salahkan pulak kipas angin.”
“Menyalah apanya?”
“Sama kau semua salah, tidak ada yang cocok.”
“Aduh. Bertengkar lagi, rebut lagi. Tidak pernah usai.”
“Maaf Pak Ali, Kitakan perlu istirahat, tapi baru sesaat bersin lagi mengganggu. Mulanya Anwar, lalu si Syam, balik lagi sama Anwar. Keduanya meyalahkan kipas angin dan nyamuk. Itukan hanya alasan. Betulkan Pak Ali?”
“Seharusnya bukan soal betul atau salah yang kita ributkan. Itu tak akan pernah selesai. Yang penting bagaimana cara kita menyikapinya. Bersin sesungguhnya satu anugrah. Bersin adalah reaksi tubuh mengantisipasi, menolak, bahkan mengeluarkan virus penyakit. Tapi ketika bersin , kita harus bersikap sopan,. Ada tata karma, juga do’a mengaturnya. Ini yang selalu kita sepelekan. Kita sering meras bertindfak benar berdasar alasan atau kebiasaan . Padahal, bagi yang lainnya belum tentu, juga berdasar alasan. Masing-masing kita memiliki perasaan dalam memandang persoalan. Yang utama adalah menjaga perasaan, sehingga terkesan kewajaran bukan pemaksaan.”
*****
Waktu terus merayap di malam menggelap. Suasana kembali senyap. Angin menusuk memperberat rasa kantuk. Di luar terdengar langkah dan ketuk sepatu. Kilau cahaya senter menerobos pintu kaca menyorot isi ruangan. Mengarah ke kursi dan meja, lalu berpindah ke dinding. Poto wajah-wajah beserta puisinya tergantung di dinding dalam bingkainya masing-masing.
“Sudah kubilang, itu perasaanmu saja.”
“Aku yakin dan tidak salah mendengar. Ada salak bersin, orang bicara, rebut dan tengkar dari ruangan ini.”
“Ah! Kau hanya mengada-ada. Mari kita ke pos jaga. Aku sangat mengantuk.” Kedua penjaga malam serentak beranjak.
“Hatsyim! Hatsyim!”
Bersin kembali menyalak. Kedua penjaga malam spontan menoleh kea rah ruang pameran. Di hati mereka ada detak menyentak. Keduanya bak sosok patung terpacak tak bergerak.

Sampali, 06

M.Yunus Rangkuti

Selalu Merindu

sejumput kabut memutih di matamu
adalah segumpal rindu. entah berapa lama
setia kau jaga hingga senja tiba di beranda
vas dengan bunga berganti warna
menemani dalam penantian tak pasti
selalu kau simpan rindu, walau
dera gelisah pun gairah mengecamuki
kabut di matamu memutih hatimu
memasrah tanpa pernah paling arah
meski angin senja terus menjulur
dalam balur goda memenuhi beranda
setiamu merindu
selalu merindu


Luka

ini luka menyeri dalam siksa sepi menjalari
hari ke hari. gairah tumpah diburu angan cumbu
dendam menikam dalam diam angin lalu
memasung ragu
apalagi kan dituangkan? gemuruh rindu
bak ombak menghentak karang tegak
apalagi kan ditumpah? amarah aku tak punya
hanya kata merangkai memuisi di sanubari

:luka itu tak kan sembuh
walau air mata terus membasuh
percuma engkau mengeluh
hapus semua
lupakan saja!

sampali,2006


Serenada dalam Bingkai Doa

selalu aku terjatuh mengeluh tak jua simpuh
luka duka dan tangisku hanya kukobar
dalam kata-kata belum doa
selalu aku gemetar dalam debar dan nanar
cerita puisiku masih sekedar khabar
belum doa-doa menggelepar
malam ini di penghujung tahun aku masih melantun
puisi-puisi lamun melenyap ditelan sepi gurun
belum doa-doa mengalun
esok di tahun berganti mungkin aku masih menangis
Tuhan, jangan biarkan aku menjadi penyair pesimis
merangkai kata-kata miris
Tuhan, alirkan puisi-puisiku menuju muara doa-doa
sepenuh simpuh



Kemarilah Menumpah Rindu hingga Memisah Ruang Waktu

sebegitu jauh bentang ruang ditempuh
waktu berlalu dalam deru rindu
wajahmu membayang setiap kali kukenang
hari-hari kita lalui

jangan menghindar dan menatap samar
kemarilah menumpah rindu dalam pelukku
hingga ruang waktu kembali memisah

sampali, 2006

Gemuruh Waktu Menyergap tak Berjawab

tiada lagi tersisa bersama waktu berlalu
hanya gemuruh rindu terpendam dalam diam
kecamuknya menyiksa, ketika apa saja
menjelma jadi cerita pernah dirasa
aku menyendiri terperangkap senyap
sejuta kata merangkai bertubi tanya
menyergap tak terjawab, sebab selalu saja
diawali andai demi andai tak pasti

Mungkin Sebatas Ini Waktumu

bukan pagiku hilang dan sesal membayang
seperti para petani kusambut pagi semai asa diri
selalu kugeluti hari hingga tahun berganti
tiada kucari , hanya menjalani
“pergilah” aku tak akan menghalang
mungkin sebatas ini waktumu bersamaku
air mata, atau resah marah sama saja
jangan mendrama di keikhlasanku ini

sampali,2006

HAJATAN HUJAN

jelang hajatan awan menebal menggumpal
mendung menggelayut menyaput cerah
tuan rumah henyak murung dibalut resah
bawang dan cabai ditusuk lidi di pojokan halaman
untuk tangkal supaya jangan turun hujan
sang pawang membentang sehelai selendang
menaruh tujuh rupa kembang dan ayam panggang
tiga kepal nasi melengkapi sesaji
selepas semedi pawang berdiri lalu menari
mulut komat kamit menatapi langit
memepermain keris ingin menangkis gerimis
tubuh bergetar saat mantranya terdengar

“hooi penunggu penjuru alam
yang semayam di arakan awan
yang terpejam di dingin angin
yang mendekam di hati bumi
yang membenam di perut laut
hari ini kami hajatan jangan biarkan diguyur hujan
nah,nah,puih!
nah,nah,puih!
hooi segala penjaga mayapada
penjaga pintu jendela cuaca
tutupkan pintu jendela hujanmu
hujan di hari ini janganlah di sini
nah,nah,puih!
nah,nah,puih!”

saat hajatan digelar kilat sambar-menyambar
petir seketika menggelegar hingar
tuan rumah tersentak sang pawang terpacak
hujan turun kian tak tertahan
di halaman bocah-bocah telanjang menari riang
main kejaran bermandikan hujan

“kuluk kuluk hujan turun
kuluk kuluk hujan deras
kuluk kuluk hujan turun
kuluk kuluk hujan deras
horre horre horre!”

2006



PESTA PENYAIR

satu ketika penyair bersua pesta sejuta kata
berbunga sajak menebar nuansa estetika
merebak bak bianglala memancar pesona tiga warna
hujan henti tengah hari matahari menginspirasi
penyair menari imaji mengekspresi diri
seribu untai puisi berbingkai antologi

pesta tiba bertema mesra
tanpa curiga, ambisi sensasi semata
tak fenomena tak fatamorgana
ini pesta aspirasi nurani
mengapresiasi nilai hakiki
jangan usik kemesraan ini!

(Sampali, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar