Senin, 02 Oktober 2023

BIODATA SASTRAWAN INDONESIA Sayyid Fahmi Alathas AMIR HAMZAH. Dilahirkan di Tanjungpura, Langkat (Sumatera Utara), 28 Februari 1911. Meninggal dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Utara pada 20 Maret 1946. Pendidikannya: tamat HIS, melanjutkan ke MULO di Medan, kemudian AMS-A Solo, dan Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta (hingga tingkat kandidat). Bersama Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane, Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru pada tahun 1933. Kumpulan puisinya: Nyanyi Sunyi (1937), Buah Rindu (1941) dan Padamu Jua (2000). CHAIRIL ANWAR. Dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Meninggal pada 28 April 1949 di Jakarta. Berpendidikan HIS dan MULO (tidak tamat). Bersama Asrul Sani, Rivai Apin dan lain-lain ikut mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946), kemudian ia menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang budaya Siasat, 1948-1949) dan redaktur Gema Suasana (1949). Kumpulan puisinya: Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, 1950), Aku Ini Binatang Jalang (1986), dan Derai Derai Cemara. SUBAGIO SASTROWARDOYO. Dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924, meninggal di Jakarta 18 Juli 1995. Berpendidikan HIS (di Bandung dan Jakarta), HBS, SMP dan SMA (di Yogyakarta), Fakultas Sastra UGM (tamat 1958) dan meraih M.A. dari Department of Comporative Literature, Universitas Yale, AS (1963). Kumpulan puisinya: Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Hari dan Hara (1982), dan Kematian Makin Akrab (1995). RENDRA. Dilahirkan di Solo, 7 November 1935. Mengikuti pendidikan di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra UGM (tidak tamat), kemudian memperdalam pengetahuan mengenai drama dan teater di American Academy of Dramatical Arts, Amerika Serikat (1964-1967). Sepulang dari Amerika, ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta dan sekaligus menjadi pemimpinnya. Tahun 1971 dan 1979 ia membacakan sajak-sajaknya pada Festival Penyair International di Rotterdam, pada tahun 1985 ia mengikuti Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman. Kumpulan puisinya; Ballada Orang-orang Tercinta (1956), 4 Kumpulan Sajak (1961), Blues Untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), Disebabkan Oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Aminah (1997). TAUFIQ ISMAIL. Dilahirkan di Bukittinggi, 25 Juni 1937. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan UI, Bogor (1966), kini menjadi redaktur majalah Horison. Kumpulan puisinya: Benteng (1966), Tirani (1966), Buku Tamu Musium Perjuangan (1969), Puisi Puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Sajak Ladang Jagung (1973), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998). GOENAWAN MOHAMAD. Dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), kemudian memperdalam pengetahuan di College d’Europe, Brugge, Belgia (1965/1966), Universitas Oslo, Norwegia (1966), dan Universitas Harvard (1989-1990). Pernah menjadi wartawan Harian Kami (1966-1970), anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971), pemimpin redaksi majalah Express (1970-1971), Anggota Badan Sensor Film (1969-1970), redaktur Horison (1969-1972), Pemimpin redaksi majalah Tempo (1971-1994) dan pemimpin redaksi majalah Zaman (1979-1985). Kumpulan puisinya: Parikesit (1971), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). ABDUL HADI W.M. Dilahirkan di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Pernah kuliah di Fakultas Sastra UGM, hingga sarjana muda (1965-1967), kemudian studi filsafat barat di Fakultas Sastra UGM hingga tingkat doktoral (1968-1971), studi antropologi di Fakultas Sastra Universitas Pajajaran (tidak tamat, 1971-1973), dan terakhir meraih Doktor dari Universitas Sains Malaysia (1996). Kumpulan puisinya: Meditasi (1976), Laut Belum Pasang (1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Tergantung Pada Angin (1977) dan Anak Laut Anak Angin (1983). SAPARDI DJOKO DAMONO. Dilahirkan di Solo, 20 Maret 1940. Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UGM (1964), kemudian memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat (1970-1971) dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1989). Sejak tahun 1975 mengajar di Fakultas Sastra UI. Kumpulan puisinya: DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau dan Akuarium (1974) , Sihir Hujan (1984), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1999), Ayat-ayat Api (2000). SUTARDJI CALZOUM BACHRI. Dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juni 1941. Pendidikan terakhir: Jurusan Adminstrasi Negara Fakultas Sosial dan Politik Universitas Padjajaran (sampai tingkat doktoral). Pernah mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1974/1975) dan Festival Penyair International di Rotterdam, Belanda (1975), sejak 1979 menjadi redaktur Horison. Kumpulan puisinya: Amuk (1977), O (1973), Amuk (1979) dan O Amuk Kapak (1981). AFRIZAL MALNA. Lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Pendidikan akhir Sekolah Tinggi Filsafat Dri-yarkara (tidak selesai). Buku yang pernah terbit: Abad Yang Berlari, 1984 (mendapat penghargaan Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon, 1990; Arsitektur Hujan, 1995 (mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan RI, 1996). Biography of Reading, 1995. Kalung dari Teman Karya yang terbit dalam antologi bersama: Perdebatan Sastra Kontekstual (Ariel Heryanto, 1986); Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (Linus Suryadi, 1987); Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Suratman Markasan, Kuala Lumpur, 1991); Dinamika Budaya dan Politik (Fauzie Ridjal, 1991); Traum der Freiheit Indonesien 50 jahre nach der Unabhangigkeit (Hendra Pasuhuk & Edith Koesoemawiria, Köln, 1995). Ketika Warna Ketika Kata (Taufiq Ismail, et.all, 1995); Pistol Perdamaian Cerpen Pilihan Kompas 1996; dalam Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo, 1997) dalam bahasa Jepang; jurnal Cornell University (Indonesia, Ithaca, Oktober, 1996); dan Anjing-anjing Memburu Kuburan, Cerpen Pilihan Kompas 1997. Penghargaan lain yang pernah diperoleh: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Neder-land Wereldomroep, 1981. Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika harian Republika, 1994. Dan esei majalah Sastra Horison, 1997. Pengalaman : Sejak 1983 hingga 1993 banyak menulis teks pertunjukan Teater Sae. Tahun 1995 membuat pertunjukan seni instalasi (Hormat dan Sampah) bersama Beeri Berhard Batschelet dan Joseph Praba di Solo. Dan tahun 1996 kolaborasi pertunjukan seni instalasi Kesibukan Mengamati Batu-Batu, dengan berbagai seniman dari berbagai disiplin di TIM Jakarta; Ruwatan Bumi – Tolak Bala dalam jaringan seniman dan NGO “Aliansi Indonesia untuk Bumi dan Kehidupan Bersama”, 1997; dan Kolaborasi Kesaksian Rakyat “Kompor Mledug”, 1997 bersama UPC, NGO dan beberapa seniman Jakarta. Pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan Hamburg, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya. Baca dan workshop puisi di Den Haag, 1995, dalam forum penyair Indonesia-Belanda. Memberikan diskusi dan baca puisi di beberapa universitas di Köln, Bonn dan Hamburg, 1995. Mengikuti Poetry International Rotterdam, 1996. Mengikuti Persidangan Kesusasteraan Asia Pasifik, Kuala Lumpur, November 1997. JOKO PINURBO. Dilahirkan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, pada 11 Mei 1962. Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogya (tamat 1987). Kumpulan puisinya: Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2000), Pacar Kecilku (2002). NANANG SURYADI, lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Staff pengajar FE Unibraw yang menyukai seni budaya ini berinteraksi kreatif dengan rekan-rekan yang memiliki minat pada seni, antara lain dalam: Yayasan Multimedia Sastra (YMS) serta di Cybersastra.net (sebagai redaktur puisi), Teater Kunci SMA Negeri Cilegon (sebagai pendiri dan ketua 1989-1990), Teater Ego FE Unibraw (sebagai salah seorang pendiri dan ketua 1992-1994), Unit Aktivitas Teater Mahasiswa Unibraw (sebagai ketua 1993-1994), HP3N (Himpunan Pengarang, Penulis, Penyair Nusantara), Forum Pekerja Seni Malang, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), LSMI (Lembaga Seni Mahasiswa Islam), Komunitas Belajar Sastra Malang (KBSM), Masyarakat Sastra Internet (MSI),. Puisi-puisinya dimuat berbagai media massa di dalam dan luar negeri, antara lain: Jurnal Puisi, Bahana (Brunei) dan Perisa (Malaysia), Horison, Suara Pembaruan, Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Korantempo, Lampung Post, Jawa Pos, Harian Banten, Sijori Mandiri (Batam), Mimbar Umum (Medan), Majalah Menjemaat (Medan), Majalah Media Pembinaan, Majalah Indikator (FE Unibraw), Tabloid Mimbar (Unibraw), Buletin Kreatif (HP3N Malang), Jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Mingguan Pelajar, Buletin Jendela Seni, Buletin Independent (HMI), serta disiarkan melalui Radio Jerman Deutsche Welle, situs cybersastra.net, bumimanusia.or.id dan detikplus.com. Buku-buku puisi yang menyimpan puisinya, antara lain: Sketsa (HP3N, 1993), Sajak Di Usia Dua Satu (1994), dan Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997), Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI,1999) Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002) sebagai kumpulan puisi pribadi. Sedangkan antologi puisi bersama rekan-rekan penyair, antara lain: Cermin Retak (Ego, 1993), Tanda (Ego- Indikator, 1995), Kebangkitan Nusantara I (HP3N, 1994), Kebangkitan Nusantara II (HP3N, 1995), Bangkit (HP3N, 1996), Getar (HP3N, 1995 ), Batu Beramal II (HP3N, 1995), Sempalan (FPSM, 1994), Pelataran (FPSM, 1995), Interupsi (1994), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa-KSI, 1997), Resonansi Indonesia (KSI, 2000), Graffiti Gratitude (Angkasa-YMS, 2001), Ini Sirkus Senyum (Komunitas Bumi Manusia, 2002), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002).. Email: nanangs@cybersastra.net Alamat: Jalan Raya Anyer No. 8, RT 01/I Kampung Gardu Iman Kelurahan : Warnasari – Cilegon 42443 HASAN ASPAHANI, Lahir di Sei Raden (Kaltim) 9 Maret 1971 pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa. Tak ingin mengingat sejak kapan ia menyukai dan memulai menulis puisi. “Mestinya bacaan yang pertama kali diajarkan adalah puisi.” Ia pernah mengakrabi kota Balikpapan (waktu SMA), dan Bogor (saat diundang IPB). Dia bukan orang yang istimewa. Sekarang bekerja sebagai Redaktur Pelaksana di POSMETRO BATAM. Di kota ini menjalani hidup bersama Dhiana (yang disapanya Na’) dan Shiela (yang memanggilnya Abah) dan menunggu kelahiran anak yang kedua (kalau lelaki namanya Ieqra). Panitia penyelenggara PPN V di Palembang, 16-19 Juli 2011 menargetkan 200 peserta yang diundang sebagai peserta PPN V, sbb : INDONESIA (149): 1. AA. Ajang 2. Ganjar Sudibyo 3. A. Rahim Qahhar 4. Abdul Latif Apriaman 5. Abdul Salam. Hs 6. Abduhrrahman El Husaini 7. Abidah El Khaleqi 8. Acep Syahril 9. Acep Zamam Noor 10. Afrion 11. Agit Yogi Subandi 12. Ahmad Kekal Hamdani 13. Ahmmad Wayang 14. Ahmadun Yosi Herfanda 15. Akaha Taufan Aminuddin 16. Akidah Gauzillah 17. Alex R Nainggolan 18. Ali Syamsudin Arsi 19. Alizar Tanjung 20. Alya Salaisha Shinta 21. Amien Wangsatalaja 22. Anisa Afzal 23. Anjungbuana 24. Anwar Putra Bayu 25. Arafat Nur 26. Arie Mp Tamba 27. Arief Rahman Heriansyah 28. Arieyoko KSMB 29. Arsyad Indradi 30. Asrizal Nur 31. Azzura Dayana 32. Badrul Munir Chair 33. Bambang Widiatmoko 34. Benny Arnas 35. Bode Riswandi 36. Budhi Setyawan 37. Budi Saputra 38. Bustan Maras 39. C.H. Yurma 40. D. Kemalawati 41. Dad Murniah 42. Dg. Kumarsana 43. Dharmadi 44. Dheni Kurnia 45. Dhenok Kristianti 46. Diah Hadaning 47. Dian hartati 48. Dimas Arika Miharja 49. Dody Kristianto 50. Doel Cp Alisyah 51. Dony p. Herwanto 52. Dwi S Wibowo 53. Dyah Setyawati 54. Eddy Pranata Pnp 55. Efendi Danata 56. Eko Putra 57. Eko Triono 58. Endang Supriadi 59. Esha Tegar Putra 60. Evi Idawati 61. Eza Thabary Husano 62. Faisal Syahreza 63. Fakhrunas Ma Jabar 64. Fatin Hamama 65. Fikar. W. Eda 66. Firman Venayaksa 67. Fitri Yani 68. Frans Ekodhanto 69. Gampang Prawoto 70. Gunoto Saparie 71. Hafney Maulana 72. Hasan Al Bana 73. Hasan Bisri Bfc 74. Heri Maja 75. Heru Emka 76. Hudan Nur 77. Husen Arifin 78. Husnu Abadi 79. Husnul Khuluqi 80. Ian Sanchin 81. Idris Siregar 82. Inggit Putria Marga 83. Irvan Mulyadie 84. Irwan Sofwan 85. Isbedy Stiawan Zs 86. Iverdixon Tinungki 87. Jamal. T. Suryana 88. J.J. Polong 89. Jumardi Putra 90. Jumari. Hs 91. Kijoen 92. Kiki Sulistyo 93. Kurnia Effendi 94. Lanang Setiawan 95. L. K Ara 96. M. Enthieh Mudakir 97. M. Iqbal J. Permana 98. M. Raudah jambak 99. Mahmud Jauhari Ali 100. Maualana Satrya Sinaga 10 1. Muda Wijaya 102. Muhammad Ibrahim Ilyas 103. Mulyadi J. Malik 104. Nana Riskhi Susanti 105. Nanang Suryadi 106. Nandang Darana 107. Nugraha Umur Kayu 108. Nurochman Sudibyo. YS 109. Pringadi Abdi Surya 110. R. Griyadi 111. Rama Prabu 112. Ramayani Riance 113. Rara Gendis 114. Remy Novaris 115. Rifan Nazhip 116. Rini F Hauri 117. Rio Fitra. SY. 118. Rozi Kembara 119. Salman. S. Yoga 120. Sandi Firly 121. Satmoko Budi Santoso 122. Shohifur Ridho Ilahi 123. Sides Sudyarto. DS. 124. Sihar Ramses Simatupang 125. Shobir Peor 126. Sulaiman Tripa 127. Suyadi San 128. Syahdaka Musyfiq Abadaka 129. Syaifudin Gani 130. Syamsu Indra Usman 131. Syarif Hidayatullah 132. T. Wijaya 133. Tarmizi Rumahitam 134. Tjahjono Widarmanto 135. Tjahjono Widijanto 136. Toton Dai Permana 137. Viddy Ad Daeri 138. Wahyu Din Talo 139. Wayan Sunarta 140. Yopi Setia Umbara 141. Yoyon Amilin 142. Yusri Fajar 143. Zulhamdi. AS 144. Prof.Dr. Budi Darma 145. Dr. Taufik Ismail 146. Chapcay 147. Tarech Rasyid 148. Dr. Ganjar Hwia 149. Sutardji Calzoum Bachri MALAYSIA (18) 1. Arisel Ba 2. Wan A. Rafar 3. Dato Kemala 4. SM. Zakir 5. Khalid Salleh 6. Shapiai Mohd Ramly 7. Shamsudin Othman 8. Rosmiaty Shaari 9. Nimois. T.Y 10. Naapie Mat1 11. N. Faisal Ghazali 12. Mohd. Amran daud 13. Prof. Irwan Abubakar 14. Prof. Muhammad Haji Salleh 15. Rahimidin Zahari 16. Tan Sri Dato’ Dr Ismail Hussein 17. Dr. Ibrahim Ghaffar 18. Mualim Ghazalie SINGAPORE (8) 1. Ahmad Md Tahir 2. Sk. Cinta Zeni 3. Johar Buang 4. Rasiah Halil 5. Noor Hasnah Adam 6. Muhammad Jailani Bin Abu Talib 7. Herman Mutiara 8. Djamal Tukimin BRUNEI DARUSSALAM (8) 1. Addy 2. Selmi Mesra 3. Rahimi A.B 4. Kamar D51 5. Zefri Ariff 6. Mohd. Khairol Nazwan 7. Mohd. Shahrin bin Haji Metussin (Adi Swara) 8. Suip bin Hj. Abd. Wahab (nurfik). THAILAND (8) 1. Hamra Hasan (Dr. Nik Abdullah) 2. Phaosan Jehwae 3. Mr. Set Al-Jufri 4. Mr. Asmarn Tohmeena 5. Mrs. Che Faridah Tohmeena 6. Ustaz Ridwan Hassan 7. Mr. Sawawee Pakda Amin 8. Miss Charidja NikWan Link : http://pertemuanpenyairnusantara.blogspot.com 124 SASTRAWAN PESERTA TSI 4 – TERNATE [MALUT] Ditulis pada September 21, 2011 INILAH 124 Sastrawan Indonesia yangi dipilih/diseleksi oleh Dewan Kurator untuk mengikutI Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 4 di Ternate, 25-29 Oktober 2011 ==================================================== I. 32 SASTRAWAN YANG DIUNDANG PILIHAN TSI-4 SESUAI HASIL SIDANG KEDUA DEWAN KURATORTSI-4 TANGGAL 10-11 SEPT 2011 DI JAKARTA 1. Arafat Nur — Aceh (Cerpen) 2. Raisya Kamila — Aceh (Puisi) 3. Hasan Al Banna — Sumatera Utara (Cerpen) 4. Heru Joni Putra — Sumatera Barat (Puisi) 5. Jumardi Putra — Jambi (Puisi) 6. Sulaiman Djaya — Banten (Puisi) 7. Anis Sayidah — Jawa Barat (Puisi) 8. Nana Riskhi Susanti — Jawa Tengah (Puisi) 9. Mahwi Air Tawar — DI Yogyakarta (Cerpen) 10. A. Muttaqin — Jawa Timur (Puisi) 11. M. Faizi — Jawa Timur (Puisi) 12. Ni Made Purnamasari — Bali (Puisi) 13. Morika Tetelepta — Maluku (Puisi) 14. M. Irfan Ramly — Maluku (Puisi) 15. Nersalya Renata — Jakarta (Puisi) 16. Irianto Ibrahim — Sulawesi Tenggara (Puisi) 17. Benny Arnas — Sumatera Selatan (Cerpen) 18. Bernard Batubara — Kalimantan Barat (Cerpen) 19. Pringadi Abdi Surya — Nusa Ternggara Barat (Cerpen) 20. Fitri Yani — Lampung (Puisi) 21. Agit Yogi Subandi — Lampung (Puisi) 22. Sunlie Thomas Alexander — Bangka Belitung (Cerpen) 23. Arman AZ — Lampung (Cerpen) 24. Eko Putra — Sumatera Selatan (Puisi) 25. Ahmad Faisal Imron — Jawa Barat (Puisi) 26. Dhenny Jatmiko — Jawa Timur (Puisi) 27. Fina Sato — Jawa Barat (Puisi) 28. Husnul Khuluqi — Banten (Puisi) 29. Pranita Dewi — Bali (Puisi) 30. Sofyan Daud — Maluku Utara (Puisi) 31. Indrian Koto — D I Yogyakarta (Puisi) 32. Gunawan Triatmojo — Jawa Tengah (Cerpen) II. Cerpenis: 1. Eko Triono/ Penggiring Tikus / DI. Yogyakarta 2. Bamby Cahyadi/ Malaikat yang Mencintai Senja/ DKI Jakarta 3. Ria Ristiana Dewi/ Borugo/ Sumatera Utara 4. Tjak S. Parlan/ Rumah Ayah dan Kisah Lainnya/ NTB 5. Miftah Fadhli/ Tertawa, Meja Kesayangan/ Depok 6. Andika Sahara/ Bukit Patah Sembilan/ Sumatera Barat 7. Neneng Nurjanah/ Warung Kupat Tahu/ Jawa Barat 8. Muhammad Nasir Age/ Si Budog Anjing Nek Akob/ Aceh 9. Syarif Hidayatullah/ Orang Gila Dari Gang Delima/ DKI Jakarta 10. Rahmat Heldy HS/ Jebah/ Banten 11. Norman Erikson/ Kondektur/ Bekasi II. Penyair: 1. Abdul Salam HS — Banten 2. Achmad Faqih Mahfudz — Yogyakarta 3. Adin — Jawa Tengah 4. Adri Sandra — Sumatera Barat 5. AF Kurniawan — Jawa Tengah 6. A. Faruqi Munif Jawa Timur 7. Ahmad David Kholilurrahman — Jambi 8. Ahmad Syahid — Jawa Barat 9. Alek Subairi — Jawa Timur 10. Alex R Nainggolan — Jakarta 11. Alizal Tanjung — Sumatera Barat 12. Alya Salaisha-Sinta — Bekasi 13. Amin Basiri — Jawa Timur 14. Arther Panther Olii — Sulawesi Utara 15. Bambang Widiatmoko — Jakarta 16. Boedi Ismanto SA — Yogyakarya 17. Damiri Mahmud — Sumatera Utara 18. Dedi Supendra — Sumatera Barat 19. Dedi Triadi — Malang 20. Dian Hartati — Jawa Barat 21. Dino Umahuk — Ternate 22. Doddy Kristianto — Jawa Timur 23. Doel CP Allisah — Aceh 24. Dwi Setyo Wibowo — Jawa Tengah 25. Edi Firmansyah — Jawa Timur 26. Effendi Danata — NTB 27. Esha Tegar Putra — Sumatera Barat 28. Fajar Martha — Riau 29. Fatkurrahman Karim — Jawa Barat 30. Fatih Kudus Jaelani — NTB 31. Febrie Hastiyanto — Jawa Tengah 32. Frans Ekodhanto — Jakarta 33. Galah Denawa Jawa Barat 34. Hanna Fransisca — Jakarta 35. Herdoni Syafriansyah — Sumatera Selatan 36. Herman RN — Aceh 37. Herton Maridi — Jawa Barat 38. Husen Arifin — Jawa Timur 39. Husnu Abadi — Riau 40. Idrus F Shahab — Jakarta 41. Idris Siregar — Sumatera Utara 42. I Putu Gede Pradipta — Bali 43. Ishack Sonlay — NTT 44. Jun Nizami — Jawa Barat 45. Kiki Sulistyo — NTB 46. Lailatul Kiptiyah — Jakarta 47. Lina Kelana — Jawa Timur 48. Mahmud Jauhari Ali — Kalimantan Selatan 49. Mahendra — Jawa Timur 50. Maulana Satrya Sinaga — Sumatera Utara 51. Muhammad Ibrahim Ilyas — Sumatera Barat 52. Muhammad Ridwan — Jawa Timur 53. Mario F Lawi — NTT 54. Matdon — Jawa Barat 55. Nanang Suryadi — Jawa Timur 56. Nurhayat Arief Permana — Sumatera Selatan 57. Pungkit Wijaya — Jawa Barat 58. Qizink La Aziva — Banten 59. Restu A Putra — Jawa Barat 60. Rozi Kembara — Jakarta 61. Rudi Ramdani — Jawa Barat 62. Salman Yoga S — Aceh 63. Shohifur Ridho Ilahi — Yogyakarya 64. Sindu Putra — NTB 65. Sulaiman Juned — Sumatera Barat 66. Sulaiman Tripa — Aceh 67. Sutan Iwan Soekri Munaf — Bekasi 68. Setiyo Bardono — Depok 69. Syaifuddin Gani — Sulawesi Tenggara 70. Syaiful Rahman — Jawa Timur 71. Sekar Arum – 72. Teja Purnama — Sumatera Utara 73. Tulus Wijanarko — Jakarta 74. Tina Aprida Marpaung — Sumatera Utara 75. Toni Lesmana — Jawa Barat 76. Tjahjono Widijanto — Jawa Timur 77. Umar Fauzi Ballah — Jawa Timur 78. Wachyu Prastianto — Jakarta 79. Vidy AD Daery — Jawa Timur 80. Yan Zavin Auddjand – 81. Yori Kayama — Sumatera Barat KOMUNITAS, PUISI, DAN PUBLIKASI: MENIMBANG ANTOLOGI PUISI EMPAT AMANAT HUJAN Jamal D. Rahman Pertumbuhan sastra Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran penting yang dimainkan oleh komunitas, baik dalam pengertian formal maupun informal. Barangkali tak ada seorang sastrawan pun yang tumbuh tanpa pernah mendapat keuntungan dari kegiatan suatu komunitas. Karena sifat komunitas biasanya longgar dan terbuka, seorang sastrawan bahkan bisa memetik keuntungan dari kegiatan beberapa komunitas sekaligus. Demikianlah seorang sastrawan lahir dan tumbuh, untuk sebagiannya, bahkan mungkin sebagian besarnya, atas sokongan beberapa komunitas tempat sang sastrawan mula-mula bersosialisasi dan menempa diri. Seorang sastrawan bergiat di suatu komunitas, bergiat pula di komunitas-komunitas lain guna bersosialisasi dan menempa diri secara lebih intensif. Persinggungan antarkomunitas secara positif dan konstruktif tentulah memainkan peran lebih penting lagi bagi kehidupan sastra. Bagi para sastrawan atau calon sastrawan, kebutuhan akan komunitas barangkali sama besarnya dengan kebutuhan akan berekspresi. Sastrawan tidak cukup membaca buku, menggeluti hidup, dan bergulat dengan bahasa sebagai aktivitas pribadi di ruang-ruang batinnya yang sunyi. Mereka juga membutuhkan wahana tempat menemukan lawan-tanding, berbagi pengalaman dan pemikiran, berdiskusi, mengasah karya, dan memompa semangat untuk melahirkan karya-karya yang bermutu. Sampai batas tertentu hal itu merupakan konsekuensi dari kuatnya watak komunal dalam masyarakat Indonesia, sekaligus merupakan konsekuensi dari kuatnya tradisi lisan dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Sebagaimana seseorang akan relatif mudah mencapai “sukses” berkat kebersamaan dan dukungan masyarakat komunalnya, demikianlah seorang sastrawan akan relatif mudah berhasil berkat sokongan komunitasnya. Dalam konteks itulah, komunitas mengiur sumbangan penting pada perkembangan sastra Indonesia. Komunitas sastra merupakan fenomena yang cukup tua dalam sejarah sastra Melayu-Indonesia, bahkan dalam bentuknya yang formal. Dalam penelusuran saya, komunitas sastra formal pertama dalam sejarah sastra Melayu-Indonesia adalah Rusydiyah Kelab. Berdiri di Pulau Penyengat pada tahun 1885, komunitas itu merupakan perkumpulan para intelektual dan pujangga Kerajaan Liau-Lingga, Kepulauan Riau sekarang. Inilah tempat para intelektual, yang hampir semuanya menulis syair, mendiskusikan topik-topik penting tentang sejarah, agama, politik, ekonomi, dan lain-lain. Tentu juga tentang sastra. Dari komunitas inilah lahir syair-syair yang menyebar luas di kalangan pembaca Nusantara, khususnya di kawasan Melayu. Para pujangganya yang terkenal antara lain Raja Ali Kelana, Khalid Hitam, dan Sayid Syekh Al-Hadi. Mereka adalah pengarang-pengarang penerus Raja Ali Haji, pujangga yang lahir lebih awal di Penyengat, yang terkenal dengan gurindam dan ikat-ikatannya itu. Di samping mengadakan diskusi dan kajian, Rusydiyah Kelab juga menangani penerbitan sebagai media publikasi. Di samping menerbitkan karya para penggiatnya, mereka juga menerbitkan sebuah majalah, Al Imam, tempat mereka menulis isu-isu penting dan aktual. Hal itu disokong pula oleh adanya 3 percetakan (penerbit), yaitu Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba’at Al Riauwiyah di Penyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Melalui tiga penerbit inilah, karya-karya para pujangga Kerajaan Liau-Lingga di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tersebar luas ke seluruh Nusantara. Dengan adanya penerbitan itulah kehidupan sastra di Riau-Lingga jadi semarak, yang memantapkan kedudukan para pujangga gelombang pertama kerajaan yang nanti dibekukan oleh kolonial Belanda itu. Yaitu para pujaggga dari Raja Ahmad bin Raja Haji Fi Sabilillah di awal abad ke-19 hingga pujangga Aisyah binti Sulaiman di awal abad ke-20. Pengalaman Rusydiyah Kelab menunjukkan dengan jelas, bahwa kehidupan sastra disokong dengan baik oleh segitiga kekuatan yang saling menunjang. Yaitu para pujangga (sastrawan), komunitas, dan media publikasi. Patut dicatat pula peran komunitas informal, yang sayangnya tidak banyak dicatat. Raja Ali Haji, misalnya, pujangga yang hidup sebelum lahirnya Rusydiyah Kelab, adalah seorang pujangga yang banyak melakukann diskusi dengan Herman von de Wall, asisten residen Belanda di Tanjungpinang, terutama dalam menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa, kamus pertama ekabahasa Melayu. Bisa diduga bahwa dalam menyiapkan karya-karyanya, Raja Ali Haji melakukan diskusi-diskusi informal dengan sesama intelektual dan pujangga seangkatannya, yang secara longgar menjadi komunitas intelektual sang pujangga. Dengan demikian, bersama media publikasi dan para pujangga sendiri, keberadaan komunitas telah memainkan peran penting dalam proses kreatif para pujangga (sastrawan) dan kehidupan sastra secara umum. Pada dasawarsa-dasawarsa selanjutnya, perkembangan sastra Indonesia modern, paling tidak untuksebagiannya, dibentuk dan ditentukan oleh segitiga kekuatan yang saling menunjang itu: pengarang, komunitas, dan publikasi. Hanya saja, karena perhatian lebih banyak diarahkan pada pengarang dan media publikasi, maka banyak pengarang lebih dinisbahkan pada penerbit atau media tempat para pengarang itu mengumumkan karya mereka. Demikianlah misalnya kita mengenal Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Generasi Kisah, Generasi Horison, dll. Sedikit sekali para sastrawan dinisbahkan pada komunitasnya, seperti misalnya Generasi Gelanggang. Namun demikian, fakta tersebut barangkali juga menunjukkan bahwa, paling tidak sampai batas tertentu, penerbit dan media publikasi pada awal hingga pertengahan abad ke-20 berfungsi juga sebagai pembentuk komunitas. Hal tersebut demikian, karena dunia penerbitan dan para sastrawan pada saat itu relatif homogen dan komunal. Kantor majalah Kisahdan Sastra, misalnya, adalah juga tempat para sastrawan nongkrong, bertegur sapa sesama sastrawan, dan berdiskusi —sebentuk kegiatan komunitas informal. Namun demikian, kemungkinan tersebut bagaimanapun menafikan keberadaan komunitas di luar komunitas penerbitan. Pada awal abad ke-20, komunitas sastra di luar komunitas penerbitan tentu sudah muncul, dan pada tingkatnya masing-masing turut mengiur perananterhadap perkembangan sastra Melayu-Indonesia modern. Jong Sumatranen Bond, misalnya, pastilah merupakan komunitas tempat Muhammad Yahim melakukan kegiatan sastra, di samping kegiatan politik. Semasa bergiat di perserikatan pemuda inilah dia menulis puisinya yang terkenal, Indonesia Tumpah Darahku (1908). Tapi bagaimanapun, hingga tahun-tahun sesudahnya komunitas sastra dianggap non-faktor dalam sastra Indonesia. Komunitas bahkan tetap dianggap non-faktor ketika dalam perkembangannya kemudian melahirkan sastrawan-sastrawan penting. Demikianlah, misalnya, meskipun komunitas Seniman Senendi Jakarta telah melahirkan Chairil Anwar —untuk sekadar menyebut contoh— dan Persada Studi Klub di Yogyakarta telah melahirkan Emha Ainun Nadjib —sekali lagi, untuk sekadar menyebut contoh— dua komunitas itu tidak mendapat perhatian sewajarnya sebagai salah satu faktor dalam sastra Indonesia. Dirumuskan dengan cara lain, meskipun beberapa komunitas telah melahirkan sastrawan-sastrawanpenting, hingga paro kedua abad ke-20 kedudukan komunitas tetap dianggap kurang penting dalam sastra Indonesia modern. Akhir abad ke-20 memperlihatkan fenomena menarik pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia. Komunitas-komunitas sastra tumbuh di berbagai daerah, termasuk di daerah-daerah yang sebelumnya tak terdengar ramai dengan kegiatan sastra, dari beberapa ibukota provinsi hingga banyak ibukota kabupaten di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan lain-lain. Kebanyakan komunitas itu lahir atas inisiatif beberapa orang secara mandiri, yang kemudian menggerakkan dan menggalakkan kegiatan-kegiatan sastra di daerah masing-masing. Di samping itu, mereka mengusahakan penerbitan-penerbitan terbatas, sebagian besar atas biaya sendiri. Begitulah maka kegiatan-kegiatan sastra tidak hanya marak di Jakarta dan beberapa ibukota provinsi seperti Bandung dan Yogyakarta; buku dan buletin sastra tidak hanya diterbitkan oleh penerbit-penerbit profesional. Kegiatan sastra marak hingga daerah-daerah ibukota kabupaten; buku dan buletin sastra diterbitkan pula oleh penerbit-penerbit amatir namun dengan semangat atau bahkan “militansi” yang tak bisa dianggap enteng. Seiring dengan itu, menggelinding pula isu “politik sastra”yang menyuarakan perlunya budaya tanding atas pusat-pusat legitimasi sastra —baik penerbitan maupun pusat kesenian— terutama di Jakarta. Isu tersebut mendapat sambutan dari banyak sastrawan muda, yang menyadari tidak sehatnya monopoli legitimasi sastra di tangan segelintir lembaga sastra dan tidak memadainya ruang-ruang kreativiatas dan media publikasi sastra yang ada, yang sendirinya dipandang memonopoli nilai dan selera sastra. Dalam situasi itu semua, maraknya komunitas baik di Jakarta dan sekitarnya maupun di daerah-daerah lain mendapatkan momentum historisnya. Sumber daya mereka sesungguhnya relatif terbatas, namun gerakan mereka disokong oleh semangat “politik” dan intelektual yang “militan”. Sebagian komunitas itu sesungguhnya tidak berusia lama, termasuk publikasi yang mereka usahakan. Namun semangat “politik” mereka terus hidup dan menjalar ke mana-mana, yang langsung atau tidak mengilhami lahirnya komunitas-komunitas baru —dengan semangat “politik” yang lebih lunak, atau barangkali tanpa semangat “politik” sama sekali. Gerakan “politik” komunitas ini rupanya membuahkan hasil. Sejak akhir abad ke-20, keberadaan komunitas sastra mulai menarik perhatian para peminat dan pengamat sastra. Meskipun secara diam-diam mereka tetap menjadikan pusat-pusat lama legitimasi sastra sebagai orientasi aktivitas mereka, komunitas-komunitas sastra bagaimanapun telah menunjukkan kehadiran mereka sebagai elemen penting kehidupansastra. Berbagai kegiatan sastra, buletin, jurnal, buku, antologi, jaringan antarkomunitas, dan lain-lain yang mereka usahakan selama ini, seakan membangun sebuah kekuatan baru dalam bazar persaingan antarkekuatandi tubuh sastra Indonesia. Dengan seluruh kegiatan, penerbitan, dan nama-nama yang mulai diakui kedudukannya sebagai sastrawan, kehadiran komunitas kini tak bisa diabaikan lagi. Mereka telah menegaskan keberadaan mereka sendiri. Sebagaimana pengalaman Rusydiyah Kelab di abad ke-19, komunitas sastra di akhir abad ke-20 menunjukkan, bahwa kehidupan sastra Indonesia kini telah disokong juga oleh segitiga kekuatan yang saling menunjang. Yaitu para sastrawan(-aktivis komunitas), komunitas, dan publikasi yang mereka terbitkan, baik berupa buletin maupun buku. Dengan itu semua mereka telah melunakkan dan menjinakkan —jika bukan menundukkan— otoritas pusat-pusat lama legitimasi sastra. Sejak itu muncul kesadaranbaru bahwa komunitas sastra merupakan salah satu faktor penting kehidupan sastra, bahkan merupakan pembentuk dan produsen sastra(wan) Indonesia.Dengan segala aktivitas, isu, perdebatan, publikasi, dan karya sastra berikut tokoh-tokohnya,komunitas adalah satu faktor yang turut menentukan dan mewarnai perkembangan sastra Indonesia. Maka itu, terutama dalam konteks bazar sastra-budaya, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas dipandang sama pentingnya dengan kegiatanyang dielenggarakan oleh pusat-pusat lama legitimasi sastra. Publikasi yang diterbitkan oleh komunitas —yang umumnya sangat sederhana dan relatif terbatas— bagi mereka sama pentingnya dengan buku atau majalah sastra yang diterbitkan oleh penerbit profesional. Perkembangan ini mulai menarik perhatian pengamat dan peneliti sastra, seperti Melani Budianta dan Daniel Dhakidae. Pada tahun 1998, bersama Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Daniel Dhakidae dari Litbang Kompas memprakarsai pemetaan komunitas sastra di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek), dengan Melani Budianta sebagai “konsultan”. Hasil pemetaan itu menunjukkan, dengan sekitar 50 komunitas sastra di Jabotabek, kehidupan komunitas sastra pada tahun 1990-an demikian maraknya, meliputi kegiatan-kegiatan sastra seperti diskusi, baca puisi, dan musikalisasi puisi, serta penerbitan. Komunitas-komunitas sastra yang tumbuh menjamursejak tahun 1990 merupakan respon para penggiatnya terhadap situasi dan perkembangan “budaya politik” sastra yang tidak menguntungkan guna menciptakan kantong-kantong baru kebudayaan. Meskipun kelangsungan komunitas-komunitas itu tidak pasti [dan sekarang sebagiannya sudah tidak aktif lagi], hingga tingkat tertentu keberadaan dan peranan komunitas tersebut bagi sastra Indonesia jelas tak bisa dianggap kecil. Memang, beberapa komunitas yang dulu giat mengadakan kegiatan sastra sekarang tidak aktif lagi, atau bahkan mati sama sekali. Namun komunitas-komunitas baru terus bermunculan, tidak hanya di Jabotabek, melainkan juga di daerah-daerah lain. Tidak hanya di dunia nyata, melainkan juga di dunia maya. Tentu saja fenomena tersebut meneguhkan kesadaran baru tentang kedudukan dan peran komunitas dalam kehidupan sastra Indonesia. Dalam arti tertentu, kesadaran baru itu mengoreksi pandangan lama, yaitu pandangan yang cenderung mengabaikan peranan komunitas, pandangan yang menganggap enteng sumbangan komunitas bagi sastra Indonesia modern atau bahkan meniadakannya sama sekali.Ia meluruskan pandangan lama bahwa sastra Indonesia ditentukan oleh sastrawan dan penerbitnya sebagaimana terlihat pada Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru, atau oleh sastrawan dan (relevansi karyanya dengan) peristiwa sosial-politik seperti terlihat pada Angkatan ’45 dan Angkatan ‘66. Kesadaran baru itu mengingatkan kita tentang pentingnya menimbang kembali kedudukan komunitas-komunitas sastra, baik formal maupun informal, yang sudah muncul sejak abad ke-19 dalam sejarah sastra Melayu-Indonesia. Dengan kesadaran baru itu, muncul pula pandangan bahwa sastra Indonesia tidak lagi terkonsentrasi pada pusat-pusat otoritas sastra sebagaimana diasumsikan sebelumnya. Karya sastra telah menyebar di dan ke berbagai penjuru, mulai buku-buku yang diterbitkan secara profesional sampai buku-buku yang diterbitkan secara “amatiran”; mulai majalah sastra yang terbit secara teratur dengan tiras cukup tinggi hingga buletin yang terbit sekala-sekali dalam tiras terbatas; mulai lembaran sastra di koran-koran Minggu hingga selebaran yang didistribusikan secara cuma-cuma.Sastra Indonesia kini adalah sesuatu yang “retak”, sulit dilihat dan diikuti dalam kebulatannya yang utuh. Keberadaan komunitas telah memecahkan asumsi tentang kebulatan dan keutuhan sastra Indonesia. Meskipun diam-diam mereka tetap mengakui sumber-sumber lama otoritas, bagaimanapun mereka telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi sastra Indonesia. Kalau komunitas sastra telah berhasil meneguhkan keberadaannya, bahkan berhasil membangun kesadaran baru tentang peran dan kedudukannya, apa yang telah dihasilkan komunitas itu sendiri? Apakah ia telah melahirkan suatu kecenderungan sebagai corak khas sastra yang dilahirkan suatu komunitas, yang dapat dipandang sebagai sastra komunitas? Inilah titik penting yang perlu direnungkan oleh komunitas-komunitas sastra dewasa ini. Pada hemat saya, sudah waktunya komunitas sastra tidak hanya berkutat dengan eksistensi dirinya, betapapun hal itu saja tidak mudah di tengah sumberdaya yang serba terbatas. Sudah saatnya komunitas sastra menimbang-nimbang peran-lanjutan yang bisa dan mungkin dimainkan, yaitu memberikan corak baru dan khas komunitas. Inilah yang, pada hemat saya, masih absen dalam gerakan komunitas yang telah mencapai keberhasilan sebagaimana dijelaskan di atas. Sejauh amatan saya, jika ada sastra komunitas, dengan corak dan kecenderungan yang dapat menandai warna khas karya komunitas itu sendiri, tak lain tak bukan adalah sastra komunitas Forum Lingkar Pena (FLP) —lepas dari kita setuju atau tidak, suka atau tidak, dengan corak karya sastra mereka, yang kebanyakan berupa prosa-fiksi; lepas juga dari mutu karya mereka yang relatif sifatnya. Dengan seluruh perkembangan itu, jika kepada saya disodorkan antologi puisi Empat Amanat Hujan (Jakarta: KPG dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010) yang menghimpun karya 62 penyair dari berbagai komunitas, apa yang dapat saya katakan? Dengan memberikan apresiasi kepada seluruh penyair dalam antologi ini, pertama-tama ingin saya katakan: sebagaimana saya duga, komunitas mungkin berhasil mendorong mereka bersosialisasi dan menulis puisi, namun dari karya mereka tampak bahwa komunitas tidak memberikan orientasi yang dapat menandai komunitas tempat mereka menempa diri. Hal itu demikian, setidaknya karena dua kemungkinan. Pertama, komunitas memang tidak digerakkan oleh suatu ide atau semacam obsesi intelektual yang ingin dicapai bersama sesama anggota komunitas lewat karya sastra mereka. Yakni obsesi untuk memberikan corak dan ciri sastra komunitas dalam sastra Indonesia. Kedua, komunitas memang menjaga individualitas anggotanya dalam hal capaian estetik dan obsesi intelektual. Dalam arti itu, komunitas lebih merupakan kendaraan bagi anggota-anggotanya untuk mencapai individualitasnya masing-masing di dunia sastra. Dengan dua kemungkinan itu, maka perbedaan corak, gaya, dan tema —betapapun tipisnya— antara satu penyair dan penyair lain merupakan usaha individual masing-masing penyair. Demikianlah perbedaan gaya, corak, dan tema misalnya antara puisi Sihar Ramses Simatupang dan Syarif Hidayatullah, atau antara Husnul Khuluqi dan Nugraha Umur Kayu, misalnya lagi antara Rukmi Wisnu Wardani dan Sofyan R.H. Zaid, atau antara Ardy Kresna dan Setiyo Bardono, bukanlah ciri yang digerakkan oleh keinginan untuk memenuhi warna sastra suatu komunitas. Ia merupakan usaha penyair untuk menemukan dirinya sendiri, individualitasnya sendiri, capaian estetiknya sendiri. Dengan demikian, di sini komunitas menjalankan fungsinya sebatas sebagai pendorong, penggairah, dan perangsang kreativitas anggota-anggotanya. Lalu, apa arti komunitas bagi anggotanya? Atau lebih tepat, bagaimana sebaiknya kita melihat hubungan komunitas dan anggotanya? Atau secara lebih tajam, bagaimana sebaiknya anggota komunitas menyikapi komunitasnya, dan sebaliknya? Di sini saya akan menggunakan metafor yang digunakan penyair Agus R. Sarjono tentang sastrawan sebagai perenang dan pelaut. Komunitas adalah kolam renang tempat seseorang menempa diri dalam berenang. Di sini seorang (calon) perenang belajar segala jenis dan gaya berenang, melompat, menyelam, melenturkan tubuh, menjaga stamina, dan lain sebagainya, hingga dia mahir sebagai perenang. Atau bahkan jadi perenang profesional, dengan gerakan yang cepat, lincah, dan indah. Tapi sastrawan lebih dari sekadar perenang, bahkan lebih dari perenang profesional sekalipun. Sastrawan adalah pelaut sejati: ia tidak hanya berenang di kolam renang yang bersih,dengan kedalaman hanya sekitar 10 meter, tanpa ombak dan batu karang pula. Pelaut sejati berenang di kedalaman laut hingga dasarnya yang paling keruh, mereguk asin airnya, menghadapi hempasan angin dan gelombang, mengatasi bahaya batu karang di dasar laut, melawan terik matahari dan hujan deras di tengah lautan, bahkan badai. Dan, dengan kulitnya yang kokoh legam, pelaut sejati akan kembali ke darat membawa seluruh aroma dan guncangan laut yang telah dia hadapidengan jiwanya yang matang. Dalam komunitas sastra, seorang penyair mungkin berhasil jadi perenang. Tapi bagaimanapun dia seharusnya melangkah lebih jauh untuk menjadi pelaut sejati. Salam. Pondok Cabe, 14 Desember 2010 Tulisan ini pernah disampaikan pada Panggung Sastra Komunitas yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 15 Desember 2010, lalu dipublikasikan di jamaldrahman.wordpress.com, 14 Februari 2011.

BIODATA SASTRAWAN INDONESIA Sayyid Fahmi Alathas AMIR HAMZAH. Dilahirkan di Tanjungpura, Langkat (Sumatera Utara), 28 Februari 1911. Meninggal dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Utara pada 20 Maret 1946. Pendidikannya: tamat HIS, melanjutkan ke MULO di Medan, kemudian AMS-A Solo, dan Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta (hingga tingkat kandidat). Bersama Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane, Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru pada tahun 1933. Kumpulan puisinya: Nyanyi Sunyi (1937), Buah Rindu (1941) dan Padamu Jua (2000). CHAIRIL ANWAR. Dilahirkan di Medan pada 26 Juli 1922. Meninggal pada 28 April 1949 di Jakarta. Berpendidikan HIS dan MULO (tidak tamat). Bersama Asrul Sani, Rivai Apin dan lain-lain ikut mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946), kemudian ia menjadi redaktur “Gelanggang” (ruang budaya Siasat, 1948-1949) dan redaktur Gema Suasana (1949). Kumpulan puisinya: Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, 1950), Aku Ini Binatang Jalang (1986), dan Derai Derai Cemara. SUBAGIO SASTROWARDOYO. Dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924, meninggal di Jakarta 18 Juli 1995. Berpendidikan HIS (di Bandung dan Jakarta), HBS, SMP dan SMA (di Yogyakarta), Fakultas Sastra UGM (tamat 1958) dan meraih M.A. dari Department of Comporative Literature, Universitas Yale, AS (1963). Kumpulan puisinya: Simphoni (1957), Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Hari dan Hara (1982), dan Kematian Makin Akrab (1995). RENDRA. Dilahirkan di Solo, 7 November 1935. Mengikuti pendidikan di Jurusan Sastra Barat Fakultas Sastra UGM (tidak tamat), kemudian memperdalam pengetahuan mengenai drama dan teater di American Academy of Dramatical Arts, Amerika Serikat (1964-1967). Sepulang dari Amerika, ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta dan sekaligus menjadi pemimpinnya. Tahun 1971 dan 1979 ia membacakan sajak-sajaknya pada Festival Penyair International di Rotterdam, pada tahun 1985 ia mengikuti Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman. Kumpulan puisinya; Ballada Orang-orang Tercinta (1956), 4 Kumpulan Sajak (1961), Blues Untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1980), Disebabkan Oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Aminah (1997). TAUFIQ ISMAIL. Dilahirkan di Bukittinggi, 25 Juni 1937. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan UI, Bogor (1966), kini menjadi redaktur majalah Horison. Kumpulan puisinya: Benteng (1966), Tirani (1966), Buku Tamu Musium Perjuangan (1969), Puisi Puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Sajak Ladang Jagung (1973), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1998). GOENAWAN MOHAMAD. Dilahirkan di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Mengikuti pendidikan di Fakultas Psikologi UI (1960-1964), kemudian memperdalam pengetahuan di College d’Europe, Brugge, Belgia (1965/1966), Universitas Oslo, Norwegia (1966), dan Universitas Harvard (1989-1990). Pernah menjadi wartawan Harian Kami (1966-1970), anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971), pemimpin redaksi majalah Express (1970-1971), Anggota Badan Sensor Film (1969-1970), redaktur Horison (1969-1972), Pemimpin redaksi majalah Tempo (1971-1994) dan pemimpin redaksi majalah Zaman (1979-1985). Kumpulan puisinya: Parikesit (1971), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). ABDUL HADI W.M. Dilahirkan di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Pernah kuliah di Fakultas Sastra UGM, hingga sarjana muda (1965-1967), kemudian studi filsafat barat di Fakultas Sastra UGM hingga tingkat doktoral (1968-1971), studi antropologi di Fakultas Sastra Universitas Pajajaran (tidak tamat, 1971-1973), dan terakhir meraih Doktor dari Universitas Sains Malaysia (1996). Kumpulan puisinya: Meditasi (1976), Laut Belum Pasang (1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Tergantung Pada Angin (1977) dan Anak Laut Anak Angin (1983). SAPARDI DJOKO DAMONO. Dilahirkan di Solo, 20 Maret 1940. Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UGM (1964), kemudian memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat (1970-1971) dan meraih gelar Doktor dari Universitas Indonesia (1989). Sejak tahun 1975 mengajar di Fakultas Sastra UI. Kumpulan puisinya: DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau dan Akuarium (1974) , Sihir Hujan (1984), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1999), Ayat-ayat Api (2000). SUTARDJI CALZOUM BACHRI. Dilahirkan di Rengat, Riau, 24 Juni 1941. Pendidikan terakhir: Jurusan Adminstrasi Negara Fakultas Sosial dan Politik Universitas Padjajaran (sampai tingkat doktoral). Pernah mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS (1974/1975) dan Festival Penyair International di Rotterdam, Belanda (1975), sejak 1979 menjadi redaktur Horison. Kumpulan puisinya: Amuk (1977), O (1973), Amuk (1979) dan O Amuk Kapak (1981). AFRIZAL MALNA. Lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Pendidikan akhir Sekolah Tinggi Filsafat Dri-yarkara (tidak selesai). Buku yang pernah terbit: Abad Yang Berlari, 1984 (mendapat penghargaan Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon, 1990; Arsitektur Hujan, 1995 (mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebu-dayaan RI, 1996). Biography of Reading, 1995. Kalung dari Teman Karya yang terbit dalam antologi bersama: Perdebatan Sastra Kontekstual (Ariel Heryanto, 1986); Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (Linus Suryadi, 1987); Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Suratman Markasan, Kuala Lumpur, 1991); Dinamika Budaya dan Politik (Fauzie Ridjal, 1991); Traum der Freiheit Indonesien 50 jahre nach der Unabhangigkeit (Hendra Pasuhuk & Edith Koesoemawiria, Köln, 1995). Ketika Warna Ketika Kata (Taufiq Ismail, et.all, 1995); Pistol Perdamaian Cerpen Pilihan Kompas 1996; dalam Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo, 1997) dalam bahasa Jepang; jurnal Cornell University (Indonesia, Ithaca, Oktober, 1996); dan Anjing-anjing Memburu Kuburan, Cerpen Pilihan Kompas 1997. Penghargaan lain yang pernah diperoleh: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari Radio Neder-land Wereldomroep, 1981. Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika harian Republika, 1994. Dan esei majalah Sastra Horison, 1997. Pengalaman : Sejak 1983 hingga 1993 banyak menulis teks pertunjukan Teater Sae. Tahun 1995 membuat pertunjukan seni instalasi (Hormat dan Sampah) bersama Beeri Berhard Batschelet dan Joseph Praba di Solo. Dan tahun 1996 kolaborasi pertunjukan seni instalasi Kesibukan Mengamati Batu-Batu, dengan berbagai seniman dari berbagai disiplin di TIM Jakarta; Ruwatan Bumi – Tolak Bala dalam jaringan seniman dan NGO “Aliansi Indonesia untuk Bumi dan Kehidupan Bersama”, 1997; dan Kolaborasi Kesaksian Rakyat “Kompor Mledug”, 1997 bersama UPC, NGO dan beberapa seniman Jakarta. Pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan Hamburg, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya. Baca dan workshop puisi di Den Haag, 1995, dalam forum penyair Indonesia-Belanda. Memberikan diskusi dan baca puisi di beberapa universitas di Köln, Bonn dan Hamburg, 1995. Mengikuti Poetry International Rotterdam, 1996. Mengikuti Persidangan Kesusasteraan Asia Pasifik, Kuala Lumpur, November 1997. JOKO PINURBO. Dilahirkan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, pada 11 Mei 1962. Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma, Yogya (tamat 1987). Kumpulan puisinya: Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2000), Pacar Kecilku (2002). NANANG SURYADI, lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Staff pengajar FE Unibraw yang menyukai seni budaya ini berinteraksi kreatif dengan rekan-rekan yang memiliki minat pada seni, antara lain dalam: Yayasan Multimedia Sastra (YMS) serta di Cybersastra.net (sebagai redaktur puisi), Teater Kunci SMA Negeri Cilegon (sebagai pendiri dan ketua 1989-1990), Teater Ego FE Unibraw (sebagai salah seorang pendiri dan ketua 1992-1994), Unit Aktivitas Teater Mahasiswa Unibraw (sebagai ketua 1993-1994), HP3N (Himpunan Pengarang, Penulis, Penyair Nusantara), Forum Pekerja Seni Malang, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), LSMI (Lembaga Seni Mahasiswa Islam), Komunitas Belajar Sastra Malang (KBSM), Masyarakat Sastra Internet (MSI),. Puisi-puisinya dimuat berbagai media massa di dalam dan luar negeri, antara lain: Jurnal Puisi, Bahana (Brunei) dan Perisa (Malaysia), Horison, Suara Pembaruan, Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Korantempo, Lampung Post, Jawa Pos, Harian Banten, Sijori Mandiri (Batam), Mimbar Umum (Medan), Majalah Menjemaat (Medan), Majalah Media Pembinaan, Majalah Indikator (FE Unibraw), Tabloid Mimbar (Unibraw), Buletin Kreatif (HP3N Malang), Jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Mingguan Pelajar, Buletin Jendela Seni, Buletin Independent (HMI), serta disiarkan melalui Radio Jerman Deutsche Welle, situs cybersastra.net, bumimanusia.or.id dan detikplus.com. Buku-buku puisi yang menyimpan puisinya, antara lain: Sketsa (HP3N, 1993), Sajak Di Usia Dua Satu (1994), dan Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997), Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI,1999) Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002) sebagai kumpulan puisi pribadi. Sedangkan antologi puisi bersama rekan-rekan penyair, antara lain: Cermin Retak (Ego, 1993), Tanda (Ego- Indikator, 1995), Kebangkitan Nusantara I (HP3N, 1994), Kebangkitan Nusantara II (HP3N, 1995), Bangkit (HP3N, 1996), Getar (HP3N, 1995 ), Batu Beramal II (HP3N, 1995), Sempalan (FPSM, 1994), Pelataran (FPSM, 1995), Interupsi (1994), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa-KSI, 1997), Resonansi Indonesia (KSI, 2000), Graffiti Gratitude (Angkasa-YMS, 2001), Ini Sirkus Senyum (Komunitas Bumi Manusia, 2002), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002).. Email: nanangs@cybersastra.net Alamat: Jalan Raya Anyer No. 8, RT 01/I Kampung Gardu Iman Kelurahan : Warnasari – Cilegon 42443 HASAN ASPAHANI, Lahir di Sei Raden (Kaltim) 9 Maret 1971 pada sebuah keluarga sederhana petani kelapa. Tak ingin mengingat sejak kapan ia menyukai dan memulai menulis puisi. “Mestinya bacaan yang pertama kali diajarkan adalah puisi.” Ia pernah mengakrabi kota Balikpapan (waktu SMA), dan Bogor (saat diundang IPB). Dia bukan orang yang istimewa. Sekarang bekerja sebagai Redaktur Pelaksana di POSMETRO BATAM. Di kota ini menjalani hidup bersama Dhiana (yang disapanya Na’) dan Shiela (yang memanggilnya Abah) dan menunggu kelahiran anak yang kedua (kalau lelaki namanya Ieqra). Panitia penyelenggara PPN V di Palembang, 16-19 Juli 2011 menargetkan 200 peserta yang diundang sebagai peserta PPN V, sbb : INDONESIA (149): 1. AA. Ajang 2. Ganjar Sudibyo 3. A. Rahim Qahhar 4. Abdul Latif Apriaman 5. Abdul Salam. Hs 6. Abduhrrahman El Husaini 7. Abidah El Khaleqi 8. Acep Syahril 9. Acep Zamam Noor 10. Afrion 11. Agit Yogi Subandi 12. Ahmad Kekal Hamdani 13. Ahmmad Wayang 14. Ahmadun Yosi Herfanda 15. Akaha Taufan Aminuddin 16. Akidah Gauzillah 17. Alex R Nainggolan 18. Ali Syamsudin Arsi 19. Alizar Tanjung 20. Alya Salaisha Shinta 21. Amien Wangsatalaja 22. Anisa Afzal 23. Anjungbuana 24. Anwar Putra Bayu 25. Arafat Nur 26. Arie Mp Tamba 27. Arief Rahman Heriansyah 28. Arieyoko KSMB 29. Arsyad Indradi 30. Asrizal Nur 31. Azzura Dayana 32. Badrul Munir Chair 33. Bambang Widiatmoko 34. Benny Arnas 35. Bode Riswandi 36. Budhi Setyawan 37. Budi Saputra 38. Bustan Maras 39. C.H. Yurma 40. D. Kemalawati 41. Dad Murniah 42. Dg. Kumarsana 43. Dharmadi 44. Dheni Kurnia 45. Dhenok Kristianti 46. Diah Hadaning 47. Dian hartati 48. Dimas Arika Miharja 49. Dody Kristianto 50. Doel Cp Alisyah 51. Dony p. Herwanto 52. Dwi S Wibowo 53. Dyah Setyawati 54. Eddy Pranata Pnp 55. Efendi Danata 56. Eko Putra 57. Eko Triono 58. Endang Supriadi 59. Esha Tegar Putra 60. Evi Idawati 61. Eza Thabary Husano 62. Faisal Syahreza 63. Fakhrunas Ma Jabar 64. Fatin Hamama 65. Fikar. W. Eda 66. Firman Venayaksa 67. Fitri Yani 68. Frans Ekodhanto 69. Gampang Prawoto 70. Gunoto Saparie 71. Hafney Maulana 72. Hasan Al Bana 73. Hasan Bisri Bfc 74. Heri Maja 75. Heru Emka 76. Hudan Nur 77. Husen Arifin 78. Husnu Abadi 79. Husnul Khuluqi 80. Ian Sanchin 81. Idris Siregar 82. Inggit Putria Marga 83. Irvan Mulyadie 84. Irwan Sofwan 85. Isbedy Stiawan Zs 86. Iverdixon Tinungki 87. Jamal. T. Suryana 88. J.J. Polong 89. Jumardi Putra 90. Jumari. Hs 91. Kijoen 92. Kiki Sulistyo 93. Kurnia Effendi 94. Lanang Setiawan 95. L. K Ara 96. M. Enthieh Mudakir 97. M. Iqbal J. Permana 98. M. Raudah jambak 99. Mahmud Jauhari Ali 100. Maualana Satrya Sinaga 10 1. Muda Wijaya 102. Muhammad Ibrahim Ilyas 103. Mulyadi J. Malik 104. Nana Riskhi Susanti 105. Nanang Suryadi 106. Nandang Darana 107. Nugraha Umur Kayu 108. Nurochman Sudibyo. YS 109. Pringadi Abdi Surya 110. R. Griyadi 111. Rama Prabu 112. Ramayani Riance 113. Rara Gendis 114. Remy Novaris 115. Rifan Nazhip 116. Rini F Hauri 117. Rio Fitra. SY. 118. Rozi Kembara 119. Salman. S. Yoga 120. Sandi Firly 121. Satmoko Budi Santoso 122. Shohifur Ridho Ilahi 123. Sides Sudyarto. DS. 124. Sihar Ramses Simatupang 125. Shobir Peor 126. Sulaiman Tripa 127. Suyadi San 128. Syahdaka Musyfiq Abadaka 129. Syaifudin Gani 130. Syamsu Indra Usman 131. Syarif Hidayatullah 132. T. Wijaya 133. Tarmizi Rumahitam 134. Tjahjono Widarmanto 135. Tjahjono Widijanto 136. Toton Dai Permana 137. Viddy Ad Daeri 138. Wahyu Din Talo 139. Wayan Sunarta 140. Yopi Setia Umbara 141. Yoyon Amilin 142. Yusri Fajar 143. Zulhamdi. AS 144. Prof.Dr. Budi Darma 145. Dr. Taufik Ismail 146. Chapcay 147. Tarech Rasyid 148. Dr. Ganjar Hwia 149. Sutardji Calzoum Bachri MALAYSIA (18) 1. Arisel Ba 2. Wan A. Rafar 3. Dato Kemala 4. SM. Zakir 5. Khalid Salleh 6. Shapiai Mohd Ramly 7. Shamsudin Othman 8. Rosmiaty Shaari 9. Nimois. T.Y 10. Naapie Mat1 11. N. Faisal Ghazali 12. Mohd. Amran daud 13. Prof. Irwan Abubakar 14. Prof. Muhammad Haji Salleh 15. Rahimidin Zahari 16. Tan Sri Dato’ Dr Ismail Hussein 17. Dr. Ibrahim Ghaffar 18. Mualim Ghazalie SINGAPORE (8) 1. Ahmad Md Tahir 2. Sk. Cinta Zeni 3. Johar Buang 4. Rasiah Halil 5. Noor Hasnah Adam 6. Muhammad Jailani Bin Abu Talib 7. Herman Mutiara 8. Djamal Tukimin BRUNEI DARUSSALAM (8) 1. Addy 2. Selmi Mesra 3. Rahimi A.B 4. Kamar D51 5. Zefri Ariff 6. Mohd. Khairol Nazwan 7. Mohd. Shahrin bin Haji Metussin (Adi Swara) 8. Suip bin Hj. Abd. Wahab (nurfik). THAILAND (8) 1. Hamra Hasan (Dr. Nik Abdullah) 2. Phaosan Jehwae 3. Mr. Set Al-Jufri 4. Mr. Asmarn Tohmeena 5. Mrs. Che Faridah Tohmeena 6. Ustaz Ridwan Hassan 7. Mr. Sawawee Pakda Amin 8. Miss Charidja NikWan Link : http://pertemuanpenyairnusantara.blogspot.com 124 SASTRAWAN PESERTA TSI 4 – TERNATE [MALUT] Ditulis pada September 21, 2011 INILAH 124 Sastrawan Indonesia yangi dipilih/diseleksi oleh Dewan Kurator untuk mengikutI Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 4 di Ternate, 25-29 Oktober 2011 ==================================================== I. 32 SASTRAWAN YANG DIUNDANG PILIHAN TSI-4 SESUAI HASIL SIDANG KEDUA DEWAN KURATORTSI-4 TANGGAL 10-11 SEPT 2011 DI JAKARTA 1. Arafat Nur — Aceh (Cerpen) 2. Raisya Kamila — Aceh (Puisi) 3. Hasan Al Banna — Sumatera Utara (Cerpen) 4. Heru Joni Putra — Sumatera Barat (Puisi) 5. Jumardi Putra — Jambi (Puisi) 6. Sulaiman Djaya — Banten (Puisi) 7. Anis Sayidah — Jawa Barat (Puisi) 8. Nana Riskhi Susanti — Jawa Tengah (Puisi) 9. Mahwi Air Tawar — DI Yogyakarta (Cerpen) 10. A. Muttaqin — Jawa Timur (Puisi) 11. M. Faizi — Jawa Timur (Puisi) 12. Ni Made Purnamasari — Bali (Puisi) 13. Morika Tetelepta — Maluku (Puisi) 14. M. Irfan Ramly — Maluku (Puisi) 15. Nersalya Renata — Jakarta (Puisi) 16. Irianto Ibrahim — Sulawesi Tenggara (Puisi) 17. Benny Arnas — Sumatera Selatan (Cerpen) 18. Bernard Batubara — Kalimantan Barat (Cerpen) 19. Pringadi Abdi Surya — Nusa Ternggara Barat (Cerpen) 20. Fitri Yani — Lampung (Puisi) 21. Agit Yogi Subandi — Lampung (Puisi) 22. Sunlie Thomas Alexander — Bangka Belitung (Cerpen) 23. Arman AZ — Lampung (Cerpen) 24. Eko Putra — Sumatera Selatan (Puisi) 25. Ahmad Faisal Imron — Jawa Barat (Puisi) 26. Dhenny Jatmiko — Jawa Timur (Puisi) 27. Fina Sato — Jawa Barat (Puisi) 28. Husnul Khuluqi — Banten (Puisi) 29. Pranita Dewi — Bali (Puisi) 30. Sofyan Daud — Maluku Utara (Puisi) 31. Indrian Koto — D I Yogyakarta (Puisi) 32. Gunawan Triatmojo — Jawa Tengah (Cerpen) II. Cerpenis: 1. Eko Triono/ Penggiring Tikus / DI. Yogyakarta 2. Bamby Cahyadi/ Malaikat yang Mencintai Senja/ DKI Jakarta 3. Ria Ristiana Dewi/ Borugo/ Sumatera Utara 4. Tjak S. Parlan/ Rumah Ayah dan Kisah Lainnya/ NTB 5. Miftah Fadhli/ Tertawa, Meja Kesayangan/ Depok 6. Andika Sahara/ Bukit Patah Sembilan/ Sumatera Barat 7. Neneng Nurjanah/ Warung Kupat Tahu/ Jawa Barat 8. Muhammad Nasir Age/ Si Budog Anjing Nek Akob/ Aceh 9. Syarif Hidayatullah/ Orang Gila Dari Gang Delima/ DKI Jakarta 10. Rahmat Heldy HS/ Jebah/ Banten 11. Norman Erikson/ Kondektur/ Bekasi II. Penyair: 1. Abdul Salam HS — Banten 2. Achmad Faqih Mahfudz — Yogyakarta 3. Adin — Jawa Tengah 4. Adri Sandra — Sumatera Barat 5. AF Kurniawan — Jawa Tengah 6. A. Faruqi Munif Jawa Timur 7. Ahmad David Kholilurrahman — Jambi 8. Ahmad Syahid — Jawa Barat 9. Alek Subairi — Jawa Timur 10. Alex R Nainggolan — Jakarta 11. Alizal Tanjung — Sumatera Barat 12. Alya Salaisha-Sinta — Bekasi 13. Amin Basiri — Jawa Timur 14. Arther Panther Olii — Sulawesi Utara 15. Bambang Widiatmoko — Jakarta 16. Boedi Ismanto SA — Yogyakarya 17. Damiri Mahmud — Sumatera Utara 18. Dedi Supendra — Sumatera Barat 19. Dedi Triadi — Malang 20. Dian Hartati — Jawa Barat 21. Dino Umahuk — Ternate 22. Doddy Kristianto — Jawa Timur 23. Doel CP Allisah — Aceh 24. Dwi Setyo Wibowo — Jawa Tengah 25. Edi Firmansyah — Jawa Timur 26. Effendi Danata — NTB 27. Esha Tegar Putra — Sumatera Barat 28. Fajar Martha — Riau 29. Fatkurrahman Karim — Jawa Barat 30. Fatih Kudus Jaelani — NTB 31. Febrie Hastiyanto — Jawa Tengah 32. Frans Ekodhanto — Jakarta 33. Galah Denawa Jawa Barat 34. Hanna Fransisca — Jakarta 35. Herdoni Syafriansyah — Sumatera Selatan 36. Herman RN — Aceh 37. Herton Maridi — Jawa Barat 38. Husen Arifin — Jawa Timur 39. Husnu Abadi — Riau 40. Idrus F Shahab — Jakarta 41. Idris Siregar — Sumatera Utara 42. I Putu Gede Pradipta — Bali 43. Ishack Sonlay — NTT 44. Jun Nizami — Jawa Barat 45. Kiki Sulistyo — NTB 46. Lailatul Kiptiyah — Jakarta 47. Lina Kelana — Jawa Timur 48. Mahmud Jauhari Ali — Kalimantan Selatan 49. Mahendra — Jawa Timur 50. Maulana Satrya Sinaga — Sumatera Utara 51. Muhammad Ibrahim Ilyas — Sumatera Barat 52. Muhammad Ridwan — Jawa Timur 53. Mario F Lawi — NTT 54. Matdon — Jawa Barat 55. Nanang Suryadi — Jawa Timur 56. Nurhayat Arief Permana — Sumatera Selatan 57. Pungkit Wijaya — Jawa Barat 58. Qizink La Aziva — Banten 59. Restu A Putra — Jawa Barat 60. Rozi Kembara — Jakarta 61. Rudi Ramdani — Jawa Barat 62. Salman Yoga S — Aceh 63. Shohifur Ridho Ilahi — Yogyakarya 64. Sindu Putra — NTB 65. Sulaiman Juned — Sumatera Barat 66. Sulaiman Tripa — Aceh 67. Sutan Iwan Soekri Munaf — Bekasi 68. Setiyo Bardono — Depok 69. Syaifuddin Gani — Sulawesi Tenggara 70. Syaiful Rahman — Jawa Timur 71. Sekar Arum – 72. Teja Purnama — Sumatera Utara 73. Tulus Wijanarko — Jakarta 74. Tina Aprida Marpaung — Sumatera Utara 75. Toni Lesmana — Jawa Barat 76. Tjahjono Widijanto — Jawa Timur 77. Umar Fauzi Ballah — Jawa Timur 78. Wachyu Prastianto — Jakarta 79. Vidy AD Daery — Jawa Timur 80. Yan Zavin Auddjand – 81. Yori Kayama — Sumatera Barat KOMUNITAS, PUISI, DAN PUBLIKASI: MENIMBANG ANTOLOGI PUISI EMPAT AMANAT HUJAN Jamal D. Rahman Pertumbuhan sastra Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran penting yang dimainkan oleh komunitas, baik dalam pengertian formal maupun informal. Barangkali tak ada seorang sastrawan pun yang tumbuh tanpa pernah mendapat keuntungan dari kegiatan suatu komunitas. Karena sifat komunitas biasanya longgar dan terbuka, seorang sastrawan bahkan bisa memetik keuntungan dari kegiatan beberapa komunitas sekaligus. Demikianlah seorang sastrawan lahir dan tumbuh, untuk sebagiannya, bahkan mungkin sebagian besarnya, atas sokongan beberapa komunitas tempat sang sastrawan mula-mula bersosialisasi dan menempa diri. Seorang sastrawan bergiat di suatu komunitas, bergiat pula di komunitas-komunitas lain guna bersosialisasi dan menempa diri secara lebih intensif. Persinggungan antarkomunitas secara positif dan konstruktif tentulah memainkan peran lebih penting lagi bagi kehidupan sastra. Bagi para sastrawan atau calon sastrawan, kebutuhan akan komunitas barangkali sama besarnya dengan kebutuhan akan berekspresi. Sastrawan tidak cukup membaca buku, menggeluti hidup, dan bergulat dengan bahasa sebagai aktivitas pribadi di ruang-ruang batinnya yang sunyi. Mereka juga membutuhkan wahana tempat menemukan lawan-tanding, berbagi pengalaman dan pemikiran, berdiskusi, mengasah karya, dan memompa semangat untuk melahirkan karya-karya yang bermutu. Sampai batas tertentu hal itu merupakan konsekuensi dari kuatnya watak komunal dalam masyarakat Indonesia, sekaligus merupakan konsekuensi dari kuatnya tradisi lisan dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Sebagaimana seseorang akan relatif mudah mencapai “sukses” berkat kebersamaan dan dukungan masyarakat komunalnya, demikianlah seorang sastrawan akan relatif mudah berhasil berkat sokongan komunitasnya. Dalam konteks itulah, komunitas mengiur sumbangan penting pada perkembangan sastra Indonesia. Komunitas sastra merupakan fenomena yang cukup tua dalam sejarah sastra Melayu-Indonesia, bahkan dalam bentuknya yang formal. Dalam penelusuran saya, komunitas sastra formal pertama dalam sejarah sastra Melayu-Indonesia adalah Rusydiyah Kelab. Berdiri di Pulau Penyengat pada tahun 1885, komunitas itu merupakan perkumpulan para intelektual dan pujangga Kerajaan Liau-Lingga, Kepulauan Riau sekarang. Inilah tempat para intelektual, yang hampir semuanya menulis syair, mendiskusikan topik-topik penting tentang sejarah, agama, politik, ekonomi, dan lain-lain. Tentu juga tentang sastra. Dari komunitas inilah lahir syair-syair yang menyebar luas di kalangan pembaca Nusantara, khususnya di kawasan Melayu. Para pujangganya yang terkenal antara lain Raja Ali Kelana, Khalid Hitam, dan Sayid Syekh Al-Hadi. Mereka adalah pengarang-pengarang penerus Raja Ali Haji, pujangga yang lahir lebih awal di Penyengat, yang terkenal dengan gurindam dan ikat-ikatannya itu. Di samping mengadakan diskusi dan kajian, Rusydiyah Kelab juga menangani penerbitan sebagai media publikasi. Di samping menerbitkan karya para penggiatnya, mereka juga menerbitkan sebuah majalah, Al Imam, tempat mereka menulis isu-isu penting dan aktual. Hal itu disokong pula oleh adanya 3 percetakan (penerbit), yaitu Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba’at Al Riauwiyah di Penyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Melalui tiga penerbit inilah, karya-karya para pujangga Kerajaan Liau-Lingga di akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 tersebar luas ke seluruh Nusantara. Dengan adanya penerbitan itulah kehidupan sastra di Riau-Lingga jadi semarak, yang memantapkan kedudukan para pujangga gelombang pertama kerajaan yang nanti dibekukan oleh kolonial Belanda itu. Yaitu para pujaggga dari Raja Ahmad bin Raja Haji Fi Sabilillah di awal abad ke-19 hingga pujangga Aisyah binti Sulaiman di awal abad ke-20. Pengalaman Rusydiyah Kelab menunjukkan dengan jelas, bahwa kehidupan sastra disokong dengan baik oleh segitiga kekuatan yang saling menunjang. Yaitu para pujangga (sastrawan), komunitas, dan media publikasi. Patut dicatat pula peran komunitas informal, yang sayangnya tidak banyak dicatat. Raja Ali Haji, misalnya, pujangga yang hidup sebelum lahirnya Rusydiyah Kelab, adalah seorang pujangga yang banyak melakukann diskusi dengan Herman von de Wall, asisten residen Belanda di Tanjungpinang, terutama dalam menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa, kamus pertama ekabahasa Melayu. Bisa diduga bahwa dalam menyiapkan karya-karyanya, Raja Ali Haji melakukan diskusi-diskusi informal dengan sesama intelektual dan pujangga seangkatannya, yang secara longgar menjadi komunitas intelektual sang pujangga. Dengan demikian, bersama media publikasi dan para pujangga sendiri, keberadaan komunitas telah memainkan peran penting dalam proses kreatif para pujangga (sastrawan) dan kehidupan sastra secara umum. Pada dasawarsa-dasawarsa selanjutnya, perkembangan sastra Indonesia modern, paling tidak untuksebagiannya, dibentuk dan ditentukan oleh segitiga kekuatan yang saling menunjang itu: pengarang, komunitas, dan publikasi. Hanya saja, karena perhatian lebih banyak diarahkan pada pengarang dan media publikasi, maka banyak pengarang lebih dinisbahkan pada penerbit atau media tempat para pengarang itu mengumumkan karya mereka. Demikianlah misalnya kita mengenal Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Generasi Kisah, Generasi Horison, dll. Sedikit sekali para sastrawan dinisbahkan pada komunitasnya, seperti misalnya Generasi Gelanggang. Namun demikian, fakta tersebut barangkali juga menunjukkan bahwa, paling tidak sampai batas tertentu, penerbit dan media publikasi pada awal hingga pertengahan abad ke-20 berfungsi juga sebagai pembentuk komunitas. Hal tersebut demikian, karena dunia penerbitan dan para sastrawan pada saat itu relatif homogen dan komunal. Kantor majalah Kisahdan Sastra, misalnya, adalah juga tempat para sastrawan nongkrong, bertegur sapa sesama sastrawan, dan berdiskusi —sebentuk kegiatan komunitas informal. Namun demikian, kemungkinan tersebut bagaimanapun menafikan keberadaan komunitas di luar komunitas penerbitan. Pada awal abad ke-20, komunitas sastra di luar komunitas penerbitan tentu sudah muncul, dan pada tingkatnya masing-masing turut mengiur perananterhadap perkembangan sastra Melayu-Indonesia modern. Jong Sumatranen Bond, misalnya, pastilah merupakan komunitas tempat Muhammad Yahim melakukan kegiatan sastra, di samping kegiatan politik. Semasa bergiat di perserikatan pemuda inilah dia menulis puisinya yang terkenal, Indonesia Tumpah Darahku (1908). Tapi bagaimanapun, hingga tahun-tahun sesudahnya komunitas sastra dianggap non-faktor dalam sastra Indonesia. Komunitas bahkan tetap dianggap non-faktor ketika dalam perkembangannya kemudian melahirkan sastrawan-sastrawan penting. Demikianlah, misalnya, meskipun komunitas Seniman Senendi Jakarta telah melahirkan Chairil Anwar —untuk sekadar menyebut contoh— dan Persada Studi Klub di Yogyakarta telah melahirkan Emha Ainun Nadjib —sekali lagi, untuk sekadar menyebut contoh— dua komunitas itu tidak mendapat perhatian sewajarnya sebagai salah satu faktor dalam sastra Indonesia. Dirumuskan dengan cara lain, meskipun beberapa komunitas telah melahirkan sastrawan-sastrawanpenting, hingga paro kedua abad ke-20 kedudukan komunitas tetap dianggap kurang penting dalam sastra Indonesia modern. Akhir abad ke-20 memperlihatkan fenomena menarik pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia. Komunitas-komunitas sastra tumbuh di berbagai daerah, termasuk di daerah-daerah yang sebelumnya tak terdengar ramai dengan kegiatan sastra, dari beberapa ibukota provinsi hingga banyak ibukota kabupaten di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan lain-lain. Kebanyakan komunitas itu lahir atas inisiatif beberapa orang secara mandiri, yang kemudian menggerakkan dan menggalakkan kegiatan-kegiatan sastra di daerah masing-masing. Di samping itu, mereka mengusahakan penerbitan-penerbitan terbatas, sebagian besar atas biaya sendiri. Begitulah maka kegiatan-kegiatan sastra tidak hanya marak di Jakarta dan beberapa ibukota provinsi seperti Bandung dan Yogyakarta; buku dan buletin sastra tidak hanya diterbitkan oleh penerbit-penerbit profesional. Kegiatan sastra marak hingga daerah-daerah ibukota kabupaten; buku dan buletin sastra diterbitkan pula oleh penerbit-penerbit amatir namun dengan semangat atau bahkan “militansi” yang tak bisa dianggap enteng. Seiring dengan itu, menggelinding pula isu “politik sastra”yang menyuarakan perlunya budaya tanding atas pusat-pusat legitimasi sastra —baik penerbitan maupun pusat kesenian— terutama di Jakarta. Isu tersebut mendapat sambutan dari banyak sastrawan muda, yang menyadari tidak sehatnya monopoli legitimasi sastra di tangan segelintir lembaga sastra dan tidak memadainya ruang-ruang kreativiatas dan media publikasi sastra yang ada, yang sendirinya dipandang memonopoli nilai dan selera sastra. Dalam situasi itu semua, maraknya komunitas baik di Jakarta dan sekitarnya maupun di daerah-daerah lain mendapatkan momentum historisnya. Sumber daya mereka sesungguhnya relatif terbatas, namun gerakan mereka disokong oleh semangat “politik” dan intelektual yang “militan”. Sebagian komunitas itu sesungguhnya tidak berusia lama, termasuk publikasi yang mereka usahakan. Namun semangat “politik” mereka terus hidup dan menjalar ke mana-mana, yang langsung atau tidak mengilhami lahirnya komunitas-komunitas baru —dengan semangat “politik” yang lebih lunak, atau barangkali tanpa semangat “politik” sama sekali. Gerakan “politik” komunitas ini rupanya membuahkan hasil. Sejak akhir abad ke-20, keberadaan komunitas sastra mulai menarik perhatian para peminat dan pengamat sastra. Meskipun secara diam-diam mereka tetap menjadikan pusat-pusat lama legitimasi sastra sebagai orientasi aktivitas mereka, komunitas-komunitas sastra bagaimanapun telah menunjukkan kehadiran mereka sebagai elemen penting kehidupansastra. Berbagai kegiatan sastra, buletin, jurnal, buku, antologi, jaringan antarkomunitas, dan lain-lain yang mereka usahakan selama ini, seakan membangun sebuah kekuatan baru dalam bazar persaingan antarkekuatandi tubuh sastra Indonesia. Dengan seluruh kegiatan, penerbitan, dan nama-nama yang mulai diakui kedudukannya sebagai sastrawan, kehadiran komunitas kini tak bisa diabaikan lagi. Mereka telah menegaskan keberadaan mereka sendiri. Sebagaimana pengalaman Rusydiyah Kelab di abad ke-19, komunitas sastra di akhir abad ke-20 menunjukkan, bahwa kehidupan sastra Indonesia kini telah disokong juga oleh segitiga kekuatan yang saling menunjang. Yaitu para sastrawan(-aktivis komunitas), komunitas, dan publikasi yang mereka terbitkan, baik berupa buletin maupun buku. Dengan itu semua mereka telah melunakkan dan menjinakkan —jika bukan menundukkan— otoritas pusat-pusat lama legitimasi sastra. Sejak itu muncul kesadaranbaru bahwa komunitas sastra merupakan salah satu faktor penting kehidupan sastra, bahkan merupakan pembentuk dan produsen sastra(wan) Indonesia.Dengan segala aktivitas, isu, perdebatan, publikasi, dan karya sastra berikut tokoh-tokohnya,komunitas adalah satu faktor yang turut menentukan dan mewarnai perkembangan sastra Indonesia. Maka itu, terutama dalam konteks bazar sastra-budaya, kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas dipandang sama pentingnya dengan kegiatanyang dielenggarakan oleh pusat-pusat lama legitimasi sastra. Publikasi yang diterbitkan oleh komunitas —yang umumnya sangat sederhana dan relatif terbatas— bagi mereka sama pentingnya dengan buku atau majalah sastra yang diterbitkan oleh penerbit profesional. Perkembangan ini mulai menarik perhatian pengamat dan peneliti sastra, seperti Melani Budianta dan Daniel Dhakidae. Pada tahun 1998, bersama Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Daniel Dhakidae dari Litbang Kompas memprakarsai pemetaan komunitas sastra di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek), dengan Melani Budianta sebagai “konsultan”. Hasil pemetaan itu menunjukkan, dengan sekitar 50 komunitas sastra di Jabotabek, kehidupan komunitas sastra pada tahun 1990-an demikian maraknya, meliputi kegiatan-kegiatan sastra seperti diskusi, baca puisi, dan musikalisasi puisi, serta penerbitan. Komunitas-komunitas sastra yang tumbuh menjamursejak tahun 1990 merupakan respon para penggiatnya terhadap situasi dan perkembangan “budaya politik” sastra yang tidak menguntungkan guna menciptakan kantong-kantong baru kebudayaan. Meskipun kelangsungan komunitas-komunitas itu tidak pasti [dan sekarang sebagiannya sudah tidak aktif lagi], hingga tingkat tertentu keberadaan dan peranan komunitas tersebut bagi sastra Indonesia jelas tak bisa dianggap kecil. Memang, beberapa komunitas yang dulu giat mengadakan kegiatan sastra sekarang tidak aktif lagi, atau bahkan mati sama sekali. Namun komunitas-komunitas baru terus bermunculan, tidak hanya di Jabotabek, melainkan juga di daerah-daerah lain. Tidak hanya di dunia nyata, melainkan juga di dunia maya. Tentu saja fenomena tersebut meneguhkan kesadaran baru tentang kedudukan dan peran komunitas dalam kehidupan sastra Indonesia. Dalam arti tertentu, kesadaran baru itu mengoreksi pandangan lama, yaitu pandangan yang cenderung mengabaikan peranan komunitas, pandangan yang menganggap enteng sumbangan komunitas bagi sastra Indonesia modern atau bahkan meniadakannya sama sekali.Ia meluruskan pandangan lama bahwa sastra Indonesia ditentukan oleh sastrawan dan penerbitnya sebagaimana terlihat pada Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru, atau oleh sastrawan dan (relevansi karyanya dengan) peristiwa sosial-politik seperti terlihat pada Angkatan ’45 dan Angkatan ‘66. Kesadaran baru itu mengingatkan kita tentang pentingnya menimbang kembali kedudukan komunitas-komunitas sastra, baik formal maupun informal, yang sudah muncul sejak abad ke-19 dalam sejarah sastra Melayu-Indonesia. Dengan kesadaran baru itu, muncul pula pandangan bahwa sastra Indonesia tidak lagi terkonsentrasi pada pusat-pusat otoritas sastra sebagaimana diasumsikan sebelumnya. Karya sastra telah menyebar di dan ke berbagai penjuru, mulai buku-buku yang diterbitkan secara profesional sampai buku-buku yang diterbitkan secara “amatiran”; mulai majalah sastra yang terbit secara teratur dengan tiras cukup tinggi hingga buletin yang terbit sekala-sekali dalam tiras terbatas; mulai lembaran sastra di koran-koran Minggu hingga selebaran yang didistribusikan secara cuma-cuma.Sastra Indonesia kini adalah sesuatu yang “retak”, sulit dilihat dan diikuti dalam kebulatannya yang utuh. Keberadaan komunitas telah memecahkan asumsi tentang kebulatan dan keutuhan sastra Indonesia. Meskipun diam-diam mereka tetap mengakui sumber-sumber lama otoritas, bagaimanapun mereka telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi sastra Indonesia. Kalau komunitas sastra telah berhasil meneguhkan keberadaannya, bahkan berhasil membangun kesadaran baru tentang peran dan kedudukannya, apa yang telah dihasilkan komunitas itu sendiri? Apakah ia telah melahirkan suatu kecenderungan sebagai corak khas sastra yang dilahirkan suatu komunitas, yang dapat dipandang sebagai sastra komunitas? Inilah titik penting yang perlu direnungkan oleh komunitas-komunitas sastra dewasa ini. Pada hemat saya, sudah waktunya komunitas sastra tidak hanya berkutat dengan eksistensi dirinya, betapapun hal itu saja tidak mudah di tengah sumberdaya yang serba terbatas. Sudah saatnya komunitas sastra menimbang-nimbang peran-lanjutan yang bisa dan mungkin dimainkan, yaitu memberikan corak baru dan khas komunitas. Inilah yang, pada hemat saya, masih absen dalam gerakan komunitas yang telah mencapai keberhasilan sebagaimana dijelaskan di atas. Sejauh amatan saya, jika ada sastra komunitas, dengan corak dan kecenderungan yang dapat menandai warna khas karya komunitas itu sendiri, tak lain tak bukan adalah sastra komunitas Forum Lingkar Pena (FLP) —lepas dari kita setuju atau tidak, suka atau tidak, dengan corak karya sastra mereka, yang kebanyakan berupa prosa-fiksi; lepas juga dari mutu karya mereka yang relatif sifatnya. Dengan seluruh perkembangan itu, jika kepada saya disodorkan antologi puisi Empat Amanat Hujan (Jakarta: KPG dan Dewan Kesenian Jakarta, 2010) yang menghimpun karya 62 penyair dari berbagai komunitas, apa yang dapat saya katakan? Dengan memberikan apresiasi kepada seluruh penyair dalam antologi ini, pertama-tama ingin saya katakan: sebagaimana saya duga, komunitas mungkin berhasil mendorong mereka bersosialisasi dan menulis puisi, namun dari karya mereka tampak bahwa komunitas tidak memberikan orientasi yang dapat menandai komunitas tempat mereka menempa diri. Hal itu demikian, setidaknya karena dua kemungkinan. Pertama, komunitas memang tidak digerakkan oleh suatu ide atau semacam obsesi intelektual yang ingin dicapai bersama sesama anggota komunitas lewat karya sastra mereka. Yakni obsesi untuk memberikan corak dan ciri sastra komunitas dalam sastra Indonesia. Kedua, komunitas memang menjaga individualitas anggotanya dalam hal capaian estetik dan obsesi intelektual. Dalam arti itu, komunitas lebih merupakan kendaraan bagi anggota-anggotanya untuk mencapai individualitasnya masing-masing di dunia sastra. Dengan dua kemungkinan itu, maka perbedaan corak, gaya, dan tema —betapapun tipisnya— antara satu penyair dan penyair lain merupakan usaha individual masing-masing penyair. Demikianlah perbedaan gaya, corak, dan tema misalnya antara puisi Sihar Ramses Simatupang dan Syarif Hidayatullah, atau antara Husnul Khuluqi dan Nugraha Umur Kayu, misalnya lagi antara Rukmi Wisnu Wardani dan Sofyan R.H. Zaid, atau antara Ardy Kresna dan Setiyo Bardono, bukanlah ciri yang digerakkan oleh keinginan untuk memenuhi warna sastra suatu komunitas. Ia merupakan usaha penyair untuk menemukan dirinya sendiri, individualitasnya sendiri, capaian estetiknya sendiri. Dengan demikian, di sini komunitas menjalankan fungsinya sebatas sebagai pendorong, penggairah, dan perangsang kreativitas anggota-anggotanya. Lalu, apa arti komunitas bagi anggotanya? Atau lebih tepat, bagaimana sebaiknya kita melihat hubungan komunitas dan anggotanya? Atau secara lebih tajam, bagaimana sebaiknya anggota komunitas menyikapi komunitasnya, dan sebaliknya? Di sini saya akan menggunakan metafor yang digunakan penyair Agus R. Sarjono tentang sastrawan sebagai perenang dan pelaut. Komunitas adalah kolam renang tempat seseorang menempa diri dalam berenang. Di sini seorang (calon) perenang belajar segala jenis dan gaya berenang, melompat, menyelam, melenturkan tubuh, menjaga stamina, dan lain sebagainya, hingga dia mahir sebagai perenang. Atau bahkan jadi perenang profesional, dengan gerakan yang cepat, lincah, dan indah. Tapi sastrawan lebih dari sekadar perenang, bahkan lebih dari perenang profesional sekalipun. Sastrawan adalah pelaut sejati: ia tidak hanya berenang di kolam renang yang bersih,dengan kedalaman hanya sekitar 10 meter, tanpa ombak dan batu karang pula. Pelaut sejati berenang di kedalaman laut hingga dasarnya yang paling keruh, mereguk asin airnya, menghadapi hempasan angin dan gelombang, mengatasi bahaya batu karang di dasar laut, melawan terik matahari dan hujan deras di tengah lautan, bahkan badai. Dan, dengan kulitnya yang kokoh legam, pelaut sejati akan kembali ke darat membawa seluruh aroma dan guncangan laut yang telah dia hadapidengan jiwanya yang matang. Dalam komunitas sastra, seorang penyair mungkin berhasil jadi perenang. Tapi bagaimanapun dia seharusnya melangkah lebih jauh untuk menjadi pelaut sejati. Salam. Pondok Cabe, 14 Desember 2010 Tulisan ini pernah disampaikan pada Panggung Sastra Komunitas yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 15 Desember 2010, lalu dipublikasikan di jamaldrahman.wordpress.com, 14 Februari 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar