Senin, 02 Oktober 2023

POTENSI BUDAYA DAN SASTRA DI SUMUT

Potensi budaya dan sastra di Sumut Prof. H. Ahmad Samin Siregar Provinsi Sumatera utara sangat kaya dengan budaya berupa tradisi dan adat istiadat. Kekayaan itu muncul karena adanya berbagai etnik yang berasal dari dan berdomisili di Sumatera Utara. Ada etnik asli dan ada pula etnik pendatang. Oleh sebab itu, Provinsi Sumut adalah daerah yang dihuni oleh etnik yang sangat heterogen dan beraneka ragam. Bahkan karena itu, ada yang menggambarkan hal ini dengan ungkapan yang sangat populer yaitu, “Sumatera Utara adalah miniatur Indonesia”. Dengan kata lain, hampir semua etnik yang ada di Indonesia dapat ditemukan di Provinsi Sumatera Utara. Suatu hal yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk menggalang dan membina persatuan dan kesatuan sehingga terjalin rasa kebersamaan seba gai dambaan dari bangsa Indonesia. Hal inilah yang sekarang ini sangat mendasar dan sangat diperlukan bangsa Indonesia dalam mengharungi era reformasi yang penuh dengan tantangan. Menurut sejarah dan asal-usulnya, etnik asli yang menghuni daerah Provinsi Sumatera Utara ini ada sebelas. Kesebelas etnik asli itu adalah Batak Toba, Karo, Sumalungun, Angkola, Mandailing, Pakpak/Dairi, Melayu, Nias, Pesisir-Sibolga/Tapanuli Tengah, Lubu; dan Ulu. Kesebelas etnik asli ini mempunyai ciri, penanda, kebiasaan, dan kebudayaannya masing-masing. Adat istiadat, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kekerabatan, tata cara perkawinan, dan sistem kemasyarakatan, umpamanya di antara satu etnik dengan etnik yang lain pada kesebelas etnik ini, terkadang mempunyai perbedaan yang mendasar. Potensi Budaya dan Bahasa Masyarakat Batak Toba mempunyai bahasa yang ter sendiri yang disebut dengan bahasa Batak Toba. Di samping itu, masyarakat Batak Toba me ngenal pula huruf/tulisan tersendiri yang disebut dengan surat pustaka. Pada masyarakat Batak Toba ada budaya mengandung yang maksudnya menangisi jenazah orang yang meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan pesan leluhur orang Batak Toba. “Dakdanak do sitatangisan, natuatua siandungan”. Maksudnya, ‘Anak-anaklah yang harus ditangisi, orang-orang tualah (yang sudah berumah tangga) yang diratapi (kalau sudah tiada lagi). Budaya mengandung ini bagian adat suku Batak Toba sangat penting. Masyarakat Simalungun pun mempunyai bahasa tersendiri yang disebut dengan bahasa Simalungun. Mereka juga mempergunakan huruf/aksara tersendiri dulunya untuk berkomunikasi. Pada masyarakat Simalungun ada pandangan budaya tentang kesatuan hubungan kekeluargaan yang disebut dengan tolu sahundulan. Berdasarkan tolu sahundulan ini masyarakat Simalungun memandang bahwa ada tiga unsur hubungan kekeluargaan yaitu senina (teman semarga), tondoing (keluarga pihak isteri) dan boru (keluarga pihak menantu laki-laki). Setiap upacara adat pastinya akan menjadi lebih sempurna jika dihadiri oleh ketiga unsur dari tolu sahundulan. Masyarakat Mandailing mempunyai bahasa sendiri yang disebut dengan bahasa Mandailing dan adat aksaranya pula yang disebut dengan surat tulak-tulak. Pada masyarakat Mandailing ada upacara budaya mangupa. Sasaran upacara ini adalah tondi (jiwa). Ketika seseorang kehilangan tondi; orang itu akan kehilangan semangat hidup, bahkan sampai sakit. Begitu juga saat lepas dari marabahaya atau mendapat keberuntungan, orang Mandailing biasanya melakukan upacara mangupa. Tujuan utama upacara budaya mangupa ini adalah untuk memperoleh berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat, dan rendah rezeki dalam kehidupan. Bahasa Angkola dipakai masyarakat Angkola dalam kehidupannya dengan huruf tersendiri yaitu surat pustaha. Ada satu perumpamaan masyarakat Angkola yang menggambarkan budaya untuk hidup bergotong royong yaitu, “Songon siala sampagul, rap tu ginjang rap tu toru, muda madabu rap margulu, muda malamun saulak lalu.” Maksudnya adalah kehidupan ini harus dilalui dengan damai, kalau senang sama-sama menikmatinya, dan kalau susah sama-sama menderita. Perumpamaan ini memakai kata siala sampagul ‘kincung sampagul’ yang sifatnya sama-sama ke atas dan sama-sama ke bawah dan kalau jatuh sama-sama merasakannya. Masyarakat Karo memakai bahasa Karo dan mengenal huruf tersendiri. Salah satu budaya masyarakat Karo ini adalah pesta (kerja) tahunan untuk menyampaikan rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panenyang baik dan mendoakan agar hasil panen tahun berikutnya lebih baik lagi. Upacara ini di Kecamatan Barusjahe disebut dengan mahpah, di Kecamatan Kabanjahe dengan nimpa bunga benih,di Kecamatan Tigabinanga dengan merdang merdem, dan di Kampung Batukarang dengan ngerires. Pesta tahunan ini termasuk juga untuk mempererat rasa kekeluargaan dengan mempertemukan mudamudi untuk berkenalan dengan sesamanya. Masyarakat Pakpak/Dairi memakai bahasa Pakpak dan juga huruf tersendiri. Masyarakat ini mengenal satu perumpamaan yang popular dan amat bermakna. Perumpamaan itu berbunyi, “gedangan kundul asal cender.” yang artinya ‘Lebih tinggi duduk daripada berdiri.’ Perumpamaan ini mengandung sikap budaya yang ditujukan pada seseorangyang banyak berbicara di luar, tetapi sesudah di tengah-tengah masyarakat diam seribu basa. Perumpamaan ini terasa menghina karena pengertian sebenarnya adalah untuk ‘anjing’ yang kalau duduk lebih tinggi daripada berdiri. Jadi, perumpamaan ini ditujukan pada seseorang yang dianggap seperti anjing saja. Bahasa yang dipakai masyarakat Melayu adalah bahasa Melayu yang dulunya mengenal aksara sendiri yang disebut dengan aksara Arab-Melayu. Masyarakat Melayu mengenal budaya dan jati diri yang berbudi bahasa dan selalu menghormati setiap penegakan hukum. Semua ini dilakukan masyarakat Melayu untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan kemakmuran. Pepatah Melayu yang mengandung pengertian ini adalah, “Bulat lengkungan menjadi lembaga, bulat lembaga menjadi undang-undang, bulat undang-undang menjadi keadilan.” Maksudnya, masyarakat Melayu selalu patuh pada hukum yang berlaku untuk membela kepentingan rakyat. Masyarakat Pesisir-Sibolga/Tapanuli Tengah pula mempergunakan bahasa Pesisir-Sibolga yang merupakan campuran bahasa ogek-ogek. Budaya Pesisir-Sibolga/Tapanuli Tengah ini mengenal salah satu nyanyian berupa ratapan tentang kehidupan yang disebut dengan sikambang. Nyanyian ini disampaikan oleh kaum muda untuk menumpahkan perasaan hati yang resah mengenai kesulitan hidup dan juga tumpahan perasaan tentang kasih yang tidak kesampaian di antara seorang pemuda (yang melantunkan sikambang ini) dengan seorang perempuan kekasih hatinya. Masyarakat Nias mempunyai bahasa tersendiri yang disebut dengan bahasa Nias. Kemudian masyarakat Nias mengenal pula satu perumpamaan yang berbunyi, “Gegearakho zomenawa, gegewukho zotambu, hafa’usa zisambua, oi fausu ziatu” yang artinya ‘Bagaikan kumpulan semut, satu mulai menggigit, semut yang lain mengikutinya’. Perumpamaan ini memakai semut yang walaupun makhluk kecil, tetapi ada rasa kebersamaan yang kuat dan sikap bergotong royong yang teguh. Hal ini menunjukkan bahwa setiap pekerjaan bisa diselesaikan kalau ada kerja sama di antara orang yang mengerjakannya. Gambaran binatang kecil yang kuat di dalam menyelesaikan pekerjaan dengan bergotong royong merupakan contoh yang pantas ditiru. Di Provinsi Sumatera Utara terdapat pula etnik pendatang yang boleh dikatakan berasal dari seluruh Indonesia. Ada yang berasal dari Aceh, Minangkabau, Jawa, Bugis, Sunda, Makasar, Minahasa, Papua, dan Banjar. Jadi di Sumatera Utara, misalnya, ada istilah Pujakesuma (Putera Jawa Kelahiran Sumatera (Utara) dan ‘Jadel’ (Jawa-Deli). Hal ini menunjukkan bahwa orang Jawa itu sudah merasakan bahwa Tanah Deli dan Sumatera Utara ini adalah tanah kelahiran dan tanah tumpah darah mereka. Di sini mereka lahir dan berkeluarga sampai akhir hayat mereka. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau hubungan di antara satu etnik dengan etnik lainnya yang ada di Sumatera Utara, baik yang asli maupun yang pendatang, umumnya sangat toleran, saling membantu, saling menghormati dan juga saling menghargai. Tentu saja, situasi dan kondisi yang kondusif serta menyenangkan seperti yang ada sekarang ini di Provinsi Sumatera Utara perlu dijaga dan ditingkatkan sampai dengan masa-masa mendatang. Penutup Kondisi kebudayaan di Sumatera Utara sangat heterogen. Apabila kebudayaan setiap etnik itu tidak dapat saling dipahami oleh antaretnik di Sumatera Utara tentu dapat menimbulkan konflik yang kalau tidak diatasi akan menjadi membesar. Konflik di antara etnik di Sumut itu dapat saja terjadi melalui ungkapan-ungkapan yang menggambarkan streotipe berbagai etnik dengan nada yang mengejek dan terasa merendahkan. Ungkapan-ungkapan seperti ‘Mandailing Pelit’, ‘Melayu Pemalas’, ‘Batak Toba kasar’, ‘Nias bodoh’ dan ‘Pakpak rendah diri’ menggambarkan hal itu. Untuk itu, perlu adanya kearifan dalam merevitalisasi tanda budaya etnik yang ada di Sumut. Tanda budaya etnik yang negative sebaiknya dihindarkan pemakaiannya lalu tanda budaya etnik yang positif perlu pula diperkuat sehingga timbul kepercayaan diri yang lebih kokoh pada masing-masing etnik di Sumatera Utara. Potensi budaya ini, termasuk potensi bahasa yang memperkuat jati diri setiap etnik di Sumatera Utara ini perlu terus dibina dan dilestarikan sehingga dapat menimbulkan rasa kesatuan dan persatuan yang kokoh. Kekayaan budaya dan bahasa etnik di Sumatera Utara yang menggambarkan keanekaragaman ini perlu disadari setiap etnik. Untuk itu, Fakultas Sastra USU berperan sangat besar dan menjadi garda terdepan dalam hal ini. Sikap mengurus diri sendiri demi menjaga kekokohan persatuan bangsa amat diperlukan dari masyarakat etnik asli maupun masyarakat etnik pendatang di Sumut ini. Usaha mengurus diri sendiri seperti semboyan marsipature hutana be yang dicanangkan Raja Inal Siregar, saat menjadi Gubernur Sumut, perlu kiranya dilanjutkan dan ditingkatkan. Pernyataan positif ini pantas rasanya diberikan ‘acungan jempol’. Semoga hal itu dapat disadari oleh setiap anak bangsa yang berdomisili di Sumatera Utara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar