Senin, 26 September 2011

Bukan Politik Sastra, Tapi Krisis Kemanusiaan

Jones Gultom

TERLALU jauh tafsiran T. Agus Khaidir menanggapi polemik politik sastra yang digulirkan Yulhasni di ruang Rebana, Harian Analisa, beberapa minggu lalu. Meski membubuhkan tanda tanya dalam judul tulisannya, saya kira Agus Khaidir terjebak asumsinya sendiri. Politik sastra yang dimaksudkan Yulhasni, sebenarnya lebih kepada pernyataan retoris, jadi tak menentu arahnya. Mengait-ngaitkan konstelasi Lekra vs Manikebu dengan isu politik sastra, membuktikan dunia sastra kita (Medan) masih arogan.
Saya kira bukan di situ letak persoalannya. Jika politik sastra yang dimaksud Yulhasni lebih bersifat ajakan agar sastrawan mau memasuki ruang politik, kiranya perlu dipertanyakan. Politik seperti apa yang dia maksud. Karena sastra itu sendiri adalah politik, apalagi jika dia masih berbicara tentang persoalan sosial dengan berbagai fenomenanya. Apakah muatan politik dalam sastra itu muncul sebagai nilai atau hanya sebatas tematis, adalah hal lain yang bersifat teknis.

Harus saya akui, dalam kapasitas saya sebagai salah satu penjaga halaman sastra di Harian MedanBisnis, kebanyakan karya yang saya dapati memang cenderung menjauhkan diri dari hal-hal politis praktis. Itu jika yang saya maksud dengan politik, hanya menyangkut kebijakan-kekuasaan. Tema politik, motif serta kandungan yang ada di dalam karya-karya itu, lebih sekedar ungkapan personal penulisnya.

Tidak tepat, bila hal itu disebut karena ketidakmauan penulisnya terhadap wacana politik. Kalau pun kemudian karya itu dianggap jadi tak kontekstual, saya kira hal itu tergantung persfektif masing-masing orang. Saya lebih setuju jika karya-karya yang dimaksud Yulhasni itu tergolong kering karena miskin gagasan, terutama untuk kepentingan banyak orang. Tetapi belum tentu begitu untuk seni dan penulisnya sendiri.

Saya kira bukan soal politik , tetapi krisis kemanusiaan. Apakah sastra kita, terutama di Medan, memang masih bicara soal manusia dan kemanusiaannya? Merunut pahamnya, seni untuk seni atau seni untuk semua merupakan ungkapan dialektis, ketika di zamannya manusia mulai menggugat kemanusiaannya sendiri. Pasca renesains, seni mengalami pergeseran. Semula dia dikultuskan sebagai cara mendekati "keilahian" dengan konsep ide dan gagasan, kemudian berubah menjadi begitu taktis sebagai pendobrak kelahiran revolusi industri. Sejak itu seni menyempurnakan posisinya; vertikal-horizontal. Keduanya tak mungkin terpisah begitu saja. Rupanya sudah menjadi takdir, seni hidup dari dualisme itu.

Apa yang terjadi dalam dunia sastra kita dewasa ini hanyalah perulangan. Ketika dinamika sosial-politik begitu progresif, seperti yang terjadi belakangan ini, pelaku sastra menjadi gamang. Apakah menolak atau ikut di dalam situasi itu. Kemudian, pilihan itu seringkali tak menghasilkan apa-apa. Karena memilih pun masih menjadi persoalan, bagi kebanyakan sastrawan. Setidaknya menurut saya, hal itu disebabkan atas beberapa faktor.

Pertama, sebagai bangsa yang tak pernah selesai dengan ideologinya, masyarakat kita, termasuk pelaku sastranya, belum menemukan cara yang tepat ketika akan membahasakan politik dalam karyanya. Seringkali hal ini terjadi karena persoalan analogi, penafsiran maupun referensi yang tak cukup memadai. Selain itu, pola klasik sastrawan; intuisi dibangun atas persfektif tunggal kreatornya, sering menyebabkan pemaknaan atas ide itu justru semakin dangkal dari yang sebenarnya; sekedar sampai pada idiom-idiom, bersifat parsial dan tak jarang terjebak di dalamnya.

Sebagai contoh, kasus Gayus misalnya. Jika sastrawan sekedar menyorotinya sebagai praktik korupsi, dia tertinggal jauh dengan dinamika politik. Wajar saja, seringkali karya yang semula dimaksudkan untuk menyentil para politisi, oleh politisi itu sendiri, justru nyanyian nina bobok. Karenanya tak heran pula jika sastra (seni pada umumnya) di daerah ini, masih sering dijadikan "bulan-bulanan" oleh masyarakat di luar seni. Malah, oleh pihak-pihak tertentu, termasuk sastrawannya sendiri, kerap sekedar dijadikan proyek. Jadilah puisi masuk kantor dewan. Puisi masuk kantor Panwaslu.

Atau pembacaan puisi oleh pejabat dan politisi parpol. Padahal hati kecil kita sama-sama tahu, kegiatan-kegiatan itu hanyalah gombal. Jadilah maling teriak maling. Koruptor membaca puisi tentang korupsi. Sastrawan dengan penuh kesastrawanannya, masih saja minta dikasihani pemerintahnya, sambil membayangkan berapa besar honor yang akan dia peroleh. Satu lagi, dari mana ceritanya, seorang sastrawan yang sejatinya muncul karena kezholiman, malah mengiba-iba pula kepada masyarakatnya yang sudah tak bisa makan.

Mestinya seni hadir dengan bahasa yang lebih luas serta mendalam sembari tetap mengusung nilai-nilai humanisme yang universal. Dalam kevakuman hidup, seni harusnya harus menjadi alternatif, kalaupun tak selalu mungkin jadi solusi. Karenanya seni yang baik mesti merangsang munculnya kritik, ide dan gagasan. Mungkin bagi sebagian orang term-term ini terlanjur dikaitkan dengan terminologi politik. Muncullah asumsi, seni yang berpolitik adalah seni yang berani mengkritik. Padahal itu hanyalah bagian kecil dari bangunan seni itu sendiri. Saya membayangkan jika seni di Medan mampu mengusung kompleksitas itu, maka profesi seniman akan sangat diidam-idamkan, melebihi politisi. Barangkali itu sebabnya para senat di zaman Yunani Kuno lebih sering disebut seniman daripada politisi.

Kedua, dikotomi Lekra dan Manikebu seperti yang disinggung Khaidir, telah membuat perspektif pelaku sastra kita menjadi abu-abu. Seolah-olah sastra yang berpolitik itu seperti yang diperlihatkan Pram. Dengan begitu, puisi-puisi Sapardi dianggap sangat apolitis.

Karenanya ada kecenderungan para sastrawan kita membuat opsinya sendiri-sendiri. Ini yang kemudian biasanya menjadi "kerjaan" akademisi dan ilmuwan sastra. Bukan malah menguatkan opsi itu, sebaliknya, justru keseringan membunuhnya. Perbandingan yang dipakai juga cenderung tak relevan. Ini pula yang membuat kritik seni kita inkonsisten. Di satu sisi dituntut kontekstual sastrawannya tetapi malah membandingkannya dengan karya sastrawan masa lalu.

Ketiga, misi kemanusiaan yang memang belum populer di kalangan sastrawan kita. Menurut saya inilah faktor terpenting yang justru sering diabaikan sastrawan. Sastra sebagai alat pencerahan masih belum dimaksimalkan dengan baik. Tentunya konsekuensi dari misi kemanusiaan itu adalah karya. Kebanyakan motif seseorang menjadi sastrawan lebih karena menganggap profesi ini menyiratkan kebebasan. Karenanya wajar jika karya sastra di Medan sering tak memuaskan kemanusiaan kita. Mungkin inilah yang dipahami Yulhasni, sehingga dia merasa harus memanggil kembali para sastrawan untuk pulang pada tugas politiknya.

Tanpa Identitas

Hal lainnya, adalah sastra di Medan tumbuh tanpa identitas. Identitas yang saya maksud menyangkut gagasan yang diusung para sastrawannya. Apa jadinya jika sebuah produk kebudayaan, yang konon diolah melalui pengalaman batin dan impresi yang cukup dalam, dilahirkan tanpa tujuan. Inilah yang membuat, karya-karya para sastrawan nyaris seragam. Situasi ini semakin diperparah dengan arogansi media massa. Seperti kita sadari, sentralisme di negara ini menyuburkan berbagai pengkultusan, termasuk dalam dunia sastra.

Akibatnya, sastrawan kita tak terbiasa survive dengan kekuatan kreatifnya, yang nantinya akan menggambarkan identitasnya itu. Saya juga tak menafikan pentingnya standarisasi sebuah media, tetapi jika hal itu dimanfaatkan sebagai motivasi. Selain itu, di internal sastrawan sendiri, banyak yang lari dari tanggungjawab. Ada yang merasa bukan sastrawan, tetapi ketika hal itu diusik, dia merasa tersinggung.

Lebih penting dari semua itu, apakah seorang sastrawan sungguh memiliki kepekaan sosial dalam dirinya? Jika memang demikian, kalau kemudian karyanya tak mendapat porsi dalam perebutan "halaman" itu, kenapa tak menjadikan dirinya sendiri sebagai media bagi karya-karyanya? Dengan begitu ada keterikatan yang harmonis antara karya dengan penulisnya.

Di Medan, sikap seperti itu termasuk juga penyebab, mengapa sastra kita kehilangan gregetnya. Kehilangan identitasnya. Kehilangan kemanusiaannya, yang oleh Yulhasni disebut kehilangan tujuan politiknya.

Politik Sastra dalam Debat;
Adakah Semacam "Affair" Lekra vs Manikebu Jilid II?

Oleh: T. Agus Khaidir

IYA, terus terang, saat Yulhasni melempar wacana politik dalam sastra -yakni sastrawan yang tidak berhenti sekadar pada teks, muncul sebuah tanda tanya besar. Apakah dia hendak menganjurkan para sastrawan, para penulis (dan juga pemikir serta akademisi) sastra untuk masuk ke ranah politik?
Menjadi politikus? Menjadi anggota partai -entah itu kemudian melanjutkan langkah ke gedung DPR atau menempatkan diri sebagai sosial kontrol sejati. Peneriak dalam berbagai aksi unjukrasa seperti yang dilakukan Wiji Thukul untuk Partai Rakyat Demokratik (PRD)?

Sungguh kebetulan Yulhasni memang memiliki pengalaman itu. Selepas menekuni ranah jurnalistik, dia terjun ke politik sebagai anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Kemudian (meski ini tak selalu dia akui) menjadi bagian dari tim sukses untuk beberapa calon kepala daerah.

Jika wacana ini yang dimaksudkan Yulhasni, tentunya memang jelas bukan wacana baru. Jauh sebelum era Thukul, pada awal hingga pertengahan dekade 1960an, sastrawan (dan seniman secara keseluruhan) bahkan menjadi bagian utama dalam konstelasi politik.

Ada Lekra di satu sisi.

Merupakan underbow PKI, kubu ini mendapatkan ruang yang begitu luas untuk menyerang seluruh lawan politik mereka di surat kabar Bintang Timur. Rubriknya bernama Lentera, dijagai sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer.

Kubu yang berseberangan dengan PKI, kita tahu tak mendapatkan ruang "semewah" itu. Bintang Timur terbit tiga kali sepekan, kadangkala terbit enam bahkan tujuh kali layaknya surat kabar harian dewasa ini. Bagi para sastrawan yang berafiliasi ke kubu nasionalis dan agama (kelompok Islam dan Kristen), kemewahan serupa itu hanya diperoleh dari Sastera, majalah sastra yang tirasnya kalah besar dibanding Bintang Timur dan terbit bulanan pula.

Politik sastra tetap berjalan. Lewat majalah itulah lahir dan diperkenalkan sebuah petisi, pernyataan sikap yang dalam pemuatannya diberi judul menggetarkan: Manifestasi Kebudayaan. Kubu Lekra menyerang balik. Pertama-tama dengan memberinya kata juluk berbau hinaan, yang kemudian ternyata justru menjadikannya lebih sohor dan punya daya tohok dahsyat, Manikebu.

Imbasnyapun memang sama sekali tidak main-main. Dari petisi yang isinyapun tidaklah seberapa panjang itu, pemerintahan sempat guncang. Presiden Soekarno murka. Reaksi Soekarno dimanfaatkan kubu Lekra, terutama Pramoedya, untuk menyudutkan kubu HB Jassin dan penandatangan Manikebu lain, lewat opini-opininya yang senantiasa menusuk tajam di Lentera, antara lain menyebut petisi itu sebagai "kontra revolusioner" (sebuah tuduhan serius, bermakna hampir sama dengan "pengkhianat").

Kitapun tahu imbas lanjutan Manikebu adalah pemberangusan. Jassin dan Wiratmo Soekito, dipecat sebagai pegawai negeri. Sastrawan yang menekuni bidang tulis-menulis, tak bisa lagi menulis (setidaknya menggunakan nama asli mereka).

Apakah politik seperti ini yang dimaksudkan Yulhasni, (yang kemudian ditanggapi secara sangat serius oleh Budi P Hatees)? Atau dia punya maksud lain? Budi mencoba mengurai maksud Yulhasni lewat pendapatnya yang fokus kepada teks karya sastra. Yakni sebangsa politik yang "menyelinap" ke dalam sastra, layaknya novel Aleksandr Solzhenitsyn, One Day in the Life of Ivan Denisovich, atau karya yang lebih populis dari Boris Pasternak, Doctor Zhivago.

Layaknya Rusia atau China, Indonesia juga pernah mengalami masa kesuraman dalam kebebasan berpendapat, hingga membuat Seno Gumira Ajidarma (SGA) sampai perlu "berkhutbah": ketika jurnalisme dibungkam sastra harus bicara. Ternyata dalam sastrapun pada waktu itu, hal bicara ini harus dilakukan dengan cara berbisik, bersimbol, bermetafor. Termasuk oleh SGA sendiri, yang mengkritik panjangnya kekuasaan rezim Soeharto lewat analogi bebek dari jagat Disney, Kematian Paman Gober (Republika, 30 Oktober 1994).

Masa-masa itu sudah lewat. Budi barangkali secara tak langsung ingin menyebut Yulhasni alpa. Sebagai akademisi sastra dia tak cermat menangkap keberadaan politik dalam karya, entah itu cerita pendek, puisi atau novel. Budi mencontohkan cerpen Hasan Al Banna, Sampan Zulaikha.

Agak sedikit memaksa sebenarnya, karena dalam cerpen itu politik hanya ada dalam takaran yang samar. Kurang "politis" jika dibandingkan misalnya dengan cerpen Agus Noor, Ada yang Menangis Sepanjang Hari (Kompas, 28 Maret 2010) atau hampir semua cerpen Linda Christanty dan Martin Aleida yang terbit pasca kejatuhan rezim orde baru.

Karenanya saya jadi curiga, sejak awal telah terjadi saling salah memahami di antara kedua kawan sastrawan ini. Yulhasni tidak memaksudkan esainya: Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik (Analisa, 21 Agustus 2011) sebagai sebuah telaah atas kelumit politik dalam sastra, melainkan memang betul-betul ingin mengajak berpolitik dalam arti sesungguhnya. Ide ini kemudian malah jadi kian tak terang sebab Yulhasni terkesan ikut pula terseret dalam kekeliruan Budi dalam memahami teks itu -meskipun di paragraf-paragraf akhir tulisan keduanya, Estetika dan Ranah Politik Sastra Sumut (Analisa, 4 September 2011), Yulhasni bisa membawa lagi dirinya ke jalur rel semula.

Lantas pertanyaannya, apakah dia memang menginginkan semua sastrawan mengikuti jalan Wiji Thukul? Atau jangan-jangan dia ingin menggiring perseteruan, hingga suasana Lekra versus Manikebu di era pertengahan 1965 hadir lagi di hari-hari yang memang penuh dengan kekonyolan politik seperti sekarang? Membaca dengan begitu hati-hati tiap jengkal kalimat Yulhasni, saya menduga agaknya gagasan yang coba dia apungkan tidaklah sebesar dan sekompleks itu.

Saya mengutip sekian baris kalimatnya dalam Estetika dan Ranah Politik Sastra Sumut. "Pergulatan tidak hanya sebatas pembacaan, melainkan masuk langsung ke dalam perkembangan sastra di daerah ini. Istilahnya, jadi pemain langsung, bukan penonton yang hanya bisa berteriak di bangku-bak kegelisahan. Apakah Budi P Hatees hadir dalam berbagai aktivitas kesusasteraan di daerah ini?"

Sampai di sini, apa boleh buat, kecurigaan saya makin mengerucut ke satu titik. Satu permasalahan yang sesungguhnya sudah agak sering "diributkan" sejumlah sastrawan "garis keras" di Medan. Yakni: "kemisteriusan" kerja Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU).

Yulhasni barangkali menginginkan agar para sastrawan tidak sekadar berani menggerutu di belakang, berbicara sampai tegang urat leher dalam konferensi di warung kopi Taman Budaya. Barangkali Yulhasni hendak mengimbau agar kiranya, sastrawan yang sudah melangkah lebih jauh daripada sekadar membusai mulut agar tak pula berhenti pada tulisan-tulisan. Sebab barangkali menurutnya, setajam apapun tulisan itu bukan lagi merupakan bentuk perlawanan efektif, lantaran barangkali orang- orang yang ditusuk sebenarnya tidak pernah membaca tulisan-tulisan tersebut.

Yulhasni barangkali hendak menganjurkan agar para sastrawan sesekali melakukan perlawanan dalam bentuk lebih konkret. Politik kecil-kecilan saja dulu. Turun ke jalan, misalnya. Mengadu ke DPR misalnya. Atau ada bentuk lain yang barangkali Yulhasni bisa menjelaskannya.

Benar atau tidak Yulhasni memaksudkan demikian, tentu saya tidak berani memastikan. Bagaimanapun ini sekadar dugaan, dari seseorang yang melihat sastra dari balik jendela.

Penulis; wartawan dan fotografer, sesekali ikut-ikutan menulis sastra.

"Guru Jabut", Sastra Sumut Berpihak
Budi P Hatees

1. LAKI-LAKI itu, Abraham Lincoln, tak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Seorang anak perempuan, Harriet Beecher Stowe, duduk di sana dengan sikap seorang anak-anak. Stowe tak tahu kalau dia sedang berhadapan dengan manusia terpenting bagi bangsa Amerika, meskipun saat itu ia sedang di Gedung Putih.
"Kamu perempuan kecil yang menyebabkan perang besar ini?" ujar Lincoln, Presiden AS.

Stowe, konon pemicu perang saudara yang melanda Amerika selama empat tahun. Gadis kecil itu tak pernah merencanakannya sampai novelnya, Uncle Tom’s Cabin, dibaca banyak orang. Novel itu kemudian membentuk peradaban baru Amerika, sebuah era dimana masalah perbudakan tak lagi mendapat tempat.

Tidak sedikit novel (karya sastra) yang mampu mengubah peradaban manusia. Uncle Tom’s Cabin (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pondok Paman Tom) salah satu contoh. Oliver Twist, Dokter Zhivago, La Peste, Madame Bouvarie, Ullyses, Aminal Farm dan lain sebagainya bisa jadi contoh lain. Di Indonesia, para ahli sastra berpendapat, sebagian sajak Chairil Anwar mampu mempengaruhi jalannya revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, konon juga bisa dimasukkan dalam kelompok sastra yang membawa perubahan pada peradaban manusia.

2

Dengan pembukaan seperti di atas, saya menduga sastra seperti itulah yang terlintas dalam bayangan Yulhasni saat menulis "Estetika dan Ranah Politik Sastra Sumut" di Analisa edisi 4 September 2011. Saya tak akan larut dalam arus pembicaraan yang berpusar keluar dari wilayah kreatif bersastra. Saya akan sampai pada satu simpul, jika kriteria kreativitas bersastra yang diinginkan Yulhasni seperti dampak yang dibawa Uncle Tom’s Cabin, percakapan kita akan mentok. Tradisi sastra di negeri ini sudah berhenti melahirkan Pramoedya Ananta Toer yang baru, konon pula tradisi bersastra di Sumatra Utara (Sumut).

Tradisi sastra kita hanya melahirkan sastrawan yang dipolitisir, karena kepentingan politik penandaan tertentu, dinaikkan citra pribadinya sebagai sastrawan yang luar biasa. Ayu Utami, penulis novel Saman -yang ketika menulis Larung maupun Bilangan Fu menjadi sangat tak berkelas- bisa dimasukkan di dalamnya. Nirwan Dewanto dengan kitab sajak Jantung Lebah Ratu -dari hukum berbahasa saja salah karena seharusnya Jatung Ratu Lebah- atau Sitok Srengenge yang sajaknya cuma perduli pada urusan rima -dan kebanyakan penyair kita mengikuti pola ini seolah sebagai penemuan baru- merupakan nama lain yang bisa diajukan sebagai contoh buruk.

Saya akan mengedepankan cerpen "Guru Jabut" karya Hasan Al Banna (Hasan), dipublikasikan di Koran Tempo edisi 21 Agustus 2011, sebagai bukti sinyalir Yulhasni tentang sastrawan dari Sumut yang teksnya tak memberi tanggungjawab bagi perubahan masyarakat dan sastrawannya tidak berpihak kepada masyarakatnya. Artinya, Yulhasni telah mengabaikan, sastra pada akhirnya merupakan sebentuk pesan dari komunikator (sastrawan) yang disampaikan kepada audience (masyarakat pembaca). Karena itu, seorang sastrawan tak perlu bertanggung jawab pada masyarakat yang membaca tetapi hanya bertanggung jawab pada "apa karya selanjutnya". Setidaknya, di era 1960-an, Iwan Simatupang pernah menyinggung perkara ini dalam esainya untuk menanggapi kritik Boen S. Oemarjati atas cerpen berjudul "Tegak Lurus dengan Garis".

Moral pengarang, tulis Iwan Simatupang dalam esai, T dari Tanggung Jawab, adalah memikirkan apa karya selanjutnya. Sebab itu, ada baiknya Yulhasni tidak usah mengungkit polemik-polemik lama dalam sastra Indonesia yang sesungguhnya sudah selesai dengan sebuah simpul, pengarang telah mati. Kebiasaan seperti ini acap dilakukan para akademisi sastra, yang terjebak dalam ruang-ruang sempit sejarah sastra, karena terlalu keras membanding-bandingkan dengan dinamika kesusastraan yang terjadi di luar negeri.

Sastra kita tidak seharusnya jalan di tempat seperti ini, hidup dalam diskontinuitas antar keinginan menolak teori barat dengan ketidaksanggupan menciptakan teori yang khas sastra Indonesia. Dalam pemikiran kebudayaan, kita (terutama akademisi sastra) adalah kaum cendekia yang sesungguhnya tak lebih bagus dari pasien rumah sakit jiwa. Mereka sesungguhnya kurang cendekia, tetapi menolak untuk dikatakan tidak cendekian. Pasien rumah sakit jiwa juga biasanya akan marah jika dikatakan dirinya seorang yang gila.

3

Di masa lalu, di lingkungan antropologi masyarakat tradisional Batak (Angkola dan Mandailing) -sebelum era mikrofon menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya masyarakat seperti saat ini- martariak adalah tradisi yang diwarisi untuk menyampaikan pengumuman penting kepada masyarakat luas.

Sekelompok orang, biasanya diperintah oleh para pemuka pendapat (opinion leader) kampung -baik dari kalangan elite tradisional (hatobangon, harajaon, suhut sihabolonan dan panusunan bulung) maupun wakil administrasi pemerintahan kampung- akan berjalan mengelilingi kampung sambil membacakan teks pengumuman agar masyarakat memaklumi. Guna menarik perhatian masyarakat, dipukul bunyi-bunyian dengan ritme bunyi tiga kali pukul. Alat itu berupa gong kecil yang disebut uning-uning, tetapi masyarakat yang direfresentasikan Hasan Al Banna dalam cerpen "Gu ru Jabut" alat itu disebut nio-nio.

"Bunyi nio-nio terdengar kuyup!" Dengan pembukaan seperti itu, ingatan pembaca cerpen "Guru Jabut" segera dibawa ke lingkungan tradisional masyarakat yang direfresentasikan dalam cerpen. Di beberapa tempat di wilayah antropologi Batak (Angkola dan Mandailing) yang secara geografis tinggal di bekas Kabupaten Tapanuli Selatan, uning-uning atau nio-nio ini sangat lekat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat. Benda ini selalu dibunyikan untuk menarik perhatian jika ada hal penting yang harus disampaikan kepada masyarakat.

Orang yang membunyikan uning-uning atau nio-nio itu biasanya menenteng gong kecil, sambil berkeliling kampung. Sepanjang berjalan, mereka meneriakkan pesan yang harus diketahui oleh masyarakat. Nada dari bunyi uning-uningan atau nio-nio itu berbeda untuk setiap jenis pesan. Kalau pesan berkaitan kematian (biasa disebut siluluton), bunyinya dipukul serentak tiga kali secara berdekatan. Sebaliknya jika pesan kabar gembira (biasa disebut siriaon), nadanya dipukul sekali secara cepat dan menghasilkan efek riang.

Uning-uning atau nio-nio dalam cerpen ini adalah tanda tentang sebuah masyarakat yang secara geografis ada di wilayah Kabupaten Tapsel. Semiotika, sebagaimana dijelaskan Ferdinand de Saussure, adalah ilmu tentang tanda, khususnya yang berkaitan dengan pembacaan tanda di dalam masyarakat. Tanda ini bukan tanpa alasan dibuat Hasan, karena dia menjadi bukti yang berkaitan dengan bukti-bukti lain di dalam cerpen.

Semua bukti itu dapat membentuk sebuah rangkaian berpola atau tatanan beraturan (order), yang unsur-unsurnya saling berkaitan satu sama lainnya sebagai sebuah kesatuan konsep, tema atau peristiwa, yang terbentuk berdasarkan sebuah rencana atau desain tertentu, sehingga makna atau logika di baliknya dapat dengan mudah dipahami. Ada tingkat keterdugaan yang tinggi, yang dapat mengarahkan pembacaan (reading) menjadi lebih jelas, terang, transparan dan eksplisit. Bukti itu merupakan sebuah rangkaian yang berpola, bersambung (continous) dan beraturan, yang unsur-unsurnya berkaitan satu sama lainnya, sehingga proses pembacaannya sangat jelas.

4

"Cerpen", kata para ahli sastra, "representasi realitas manusia." Lantas, siapa manusia yang realitasnya menjadi refresentasi dalam sebuah cerpen "Guru Jabut"? Apakah realitas manusia dimana si pengarang hidup (dengan sendirinya juga realitas si pengarang itu sendiri) ataukah realitas dari pembaca yang dibayangkan si pengarang?

"Guru Jabut" merepresentasi realitas masyarakat yang dapat ditemukan di lingkungan Kabupaten Tapsel, walaupun secara umum dapat ditemukan di semua lingkungan masyarakat. Cerpen mengangkat realitas hidup Guru Jabut. Realitas hidup adalah rangkaian teka-teki, pertanyaan, atau enigma. Ketika realitas hidup itu diangkat sebagai tema di dalam sebuah karya sastra, upaya itu bukan tanpa alasan. Salah satu alasan itu untuk mencari jawaban yang disebut kebenaran (truth).

Kebenaran seperti apa yang hendak diungkap dan dikomunikasikan Hasan dengan menampilkan realitas hidup Guru Jabut? Apakah pembaca -bahkan yang paling awam sastra- mampu menangkap kebenaran itu dengan mudah. Apakah kebenaran itu memiliki relasi kausalitas dengan masyarakat yang direpresentasikan Hasan, sehingga sampai pada sebuah kesimpulan akhir (inference).

Nama Guru Jabut, seperti dijelaskan Hasan dalam cerpennya, nama olok-olokan. "Oya, sebentar, mengapa ia dipanggil Guru Jabut? Bukankah nama akikahnya Panangaran Bayo Angin? Dipanggil Guru, mungkin karena ia guru mengaji. Mmh, Jabut? Itu sabut kelapa! Lazimnya, tak akan ada orang kampung yang sudi digelari Jabut. Adapun jabut kerap dikaitkan dengan tahi ayam. Tiada benda yang paling dicari untuk menjumput unggun tahi ayam kecuali Jabut. Selain itu, kalau seseorang sudah diseru Jabut, tak lain untuk menyatakan bahwa seseorang itu tak berguna. Tapi Guru Jabut tak pernah mengeluh."

Kata "jabut" tak dipahami secara umum sebagai kata olok-olokan. Hanya masyarakat yang direpresentasikan Hasan yang mengerti makna kata "jabut" mengandung nilai negatif jika ditempelkan pada seseorang. Ketika Hasan mengangkat hal ini dalam karya sastra, tanpa sengaja dia telah memperkenalkan sebuah tradisi olok-olok kepada masyarakat luas. Dengan berusaha memahami makna kata "jabut", pembaca pun akan memahami makna apa yang diacu oleh tanda ini.

Makin jelas pula bagi pembaca, cerpen ini merupakan sebuah sikap dari sastrawan untuk menertawakan perilaku religius sebuah masyarakat. Perilaku religius yang kurang beriman, karena menganggap manusia lain berkedudukan secara religius lebih rendah dari dirinya, sehingga pantas dihukum untuk tidak mendapat perlakuan adil dalam hukum agama Islam. Perilaku religius yang tak religius ini, tumbuh subur dalam realitas masyarakat dimana pun. Masyarakat yang merasa dirinya paling religius dan paling beriman dibandingkan masyarakat lain, seolah-olah masalah religiusitas dan keimanan bukan urusan Sang Ilahi.

"Tapi, kenyataannya, surau tak berkawan kala menyongsong jenazah Guru Jabut. Dorlan terbenam dalam cenung, sampai-sampai tak sadar kalau dia sudah khatam menunaikan sembahyang zuhur berjemaah. Dorlan baru angkat kesadaran tatkala bilal mayit berseru-seru: siapa sanak yang sudi jadi imam? Tapi jemaah cuma sudi bertikai pandang, mengundak-undak gerik bahu."

Hasan tak sekedar mengudak-udak watak manusia yang konon mengaku religius dan beriman. Dia juga menawarkan solusi untuk mengatasi masalah sosial-religius semacam ini, lewat tokoh Dorlan, mantan murid mengaji Guru jabut. "Di sela senyap, Dorlan meninggalkan saf, melangkah ke bibir keranda. Dia sempurnakan tekuk kepala. Sedang sebagian besar jemaah di belakangnya masih berdongak-dongak kepala; siapa gerangan pemuda yang jadi imam itu? Tapi, Dorlan terlanjur khusyuk untuk meladeni keheranan tersebut."

5

Kembali pada persoalan yang dipersoalkan Yulhasni, maka jelas bahwa sastrawan Sumut tak sekedar menghasilkan karya sastra. Mereka juga menunjukkan moral dan tanggung jawab atas persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. ***

Sastra Serius, Riwayatmu Kini?

Ulfa Zaini

Sastra serius, sedikit sulit mendiskripsikannya, tapi mungkin bisa disimpulkan, sastra serius adalah sastra yang menggunakan bahasa dengan estetika tertentu. Tidak bersifat komersil dan sangat dalam membahas sisi kehidupan.
Karena sastra serius tidak bersifat komersial, sehingga tidak terlalu memperdulikan selera pasar. Hal ini tentu menjadikan sastra serius minim peminat baik pembaca maupun penulisnya.

Berbeda dengan sastra populer yang bersifat komersial. Kehadiran sastra populer ditandai pada tahun 70-an yang dikenal dengan munculnya novel "Karmila" yang mengangkat tema ringan dan menggunakan dialog yang cenderung easy dan sangat akrab di telinga umum hingga menjadikannya laris manis.

Yudiono K.S dalam bukunya "Pengantar Sejarah Sastra" menyebutkan, sastra populer adalah sastra yang di luar lingkungan majalah Horison, Sastra, Pusat Bahasa, fakultas sastra dan Dewan Kesenian Jakarta yang mengisyaratkan lingkungan "serius" atau resmi untuk kegiatan sastra yang berupa penciptaan (prosa, puisi, drama, kritik dan esei), penelitian dan pengembangan sastra. Karya-karya sastra yang muncul diharian-harian luar itu, seperti harian-harian yang muncul di daerah adalah sastra populer.

Bambang Soebondo (Sinar harapan) berpendapat, Koran diterbitkan untuk laku dijual, sehingga rubriknya harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar pembaca(Yudiono K.S: Pengantar sejarah Sastra Indonesia).

Dari deskripsi di atas, jelaslah karya sastra populer adalah karya sastra yang harus diminati pembaca secara umum dan tidak menggunakan bahasa yang berat-berat. Hal ini menyebabkan sastra populer memiliki kedudukan yang lebih rendah dibanding sastra serius karena bertema dangkal dan kebanyakan mengangkat cerita-cerita roman yang picisan.

Meskipun sebenarnya dalam sastra serius banyak juga yang mengangkat tema-tema cinta, namun hal itu hanya serupa selingan saja seperti bumbu penyedap. Misalnya kita kenal dengan karangan Buya HAMKA dalam buku "Tenggelamnya Kapal van der Wijck" yang di dalamnya terdapat kisah cinta antara Zainuddin dan Hayati. Biarpun demikian, tidak melulu bercerita tentang lika-liku kisah cinta, Zainuddin dan Hayati di sana hanya sebagai wadah untuk menujukan bagaimana adat dan budaya yang terkandung di bumi kelahiran HAMKA tersebut. Jelaslah yang ingin ditunjukkan HAMKA di sana adalah pertentangan adat antara kaum tua dan muda.

Berbeda halnya dengan sastra populer, di sini kita mungkin mengangkat contoh novel "Dea Lova" yang bercerita penuh tentang kisah cinta antara Dira, Kara, dan Ibel. Cerita yang diangkat full of cinta ala remaja yang kesannya tak pernah susah. Penggunaann bahasa yang begitu ringan dan sangat diminati membuat novel teenlit pertama Indonesia ini laris manis di pasaran. Mulai dari situ bermunculanlah novel-novel teenlit yang jelas merupakan sastra populer.

Keberadaan novel DeaLova dapat segera digantikan oleh novel-novel teenlit lainnya yang sesungguhnya memberikan warna serupa. Masih mencitrakan kehidupan remaja yang gak pernah susah.

Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya sastra populer begitu cepat habis masanya berganti dengan karya-karya lainnya. Seperti halnya gaya bahasa populer yang gak ada matinya. Kini muncul pula gaya bahasa Alay yang tentu turut menjamur pula dalam novel-novel populer. Setelah Alay entah apalagi selanjutnya? Biarpun demikian tetap tidak menyurutkan minat seseorang untuk menciptakan karya sastra yang berjenis populer tersebut. Walau demikian memang tak selamanya sastra popular itu buruk, hanya saja iming-iming pasar yang cenderung menggelapkan mata membuat banyak penulis menghasilkan karya yang membutakan mata pembacanya dari sisi kehidupan yang real.

Berbeda dengan sastra serius yang mampu melintasi zaman dan sangat melekat di hati pembacanya. Melihat hal itu seharusnya sastra serius lebih diminati sebab sifatnya lebih abadi. Tidak mencuri minat seseorang untuk beralih menjadi penulis-penulis karya sastra yang lebih serius. Agaknya iming-iming komersialisasi tetap yang utama.

Hal ini tetap mengkhawatirkan, sebab jika kita bicara tentang sastra serius dan tokoh-tokohnya otomatis yang bisa kita sebutkan adalah para pengarang yang melegenda dengan karya-karya angkatan-angkatan terdahulu.

Lantas akankah membuat orang bertanya-tamnya bagaimanakah karya sastra serius itu sesungguhnya yang dijadikan contoh karya-karya angkatan terdahulu? Apakah orang yang ingin membuat karya sastra serius harus cenderung mengikut-ikut gaya bahasa yang terkesan jadul (jaman dahulu) dan bersayap tersebut.?

Meskipun banyak juga yang mengatakan bahwa hal terpenting adalah berkarya, jangan terlalu perduli apakah itu sastra serius ataupun populer. Tetap saja hal ini perlahan akan menggerus keberadaan sastra serius. Sebab orang lebih memilih sastra yang sifatnya komersial. Kelak jika kita ditanya tentang sastra serius apakah kita akan menyebutkan karya-karya sastra milik para legendaris dan itu-itu saja?

Sketsa Kontan, Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar