Senin, 12 September 2011

SASTRA DAN POLITIK SAUDARA KEMBAR YANG BERBEDA WATAKNYA?

M. Raudah Jambak

Bicara politik tentu tidak akan pernah selesai. Paling tidak politik mungkin sejalan dan senafas dengan aliran fikiran kita. Politik lebih cenderung kepada segala urusan dan tindakan dengan menekankan kepada kebijakan juga siasat yang biasanya dipersiapakan individu atau kelompok lebih kepada persoalan kenegaraan. Sementera politik yang diarahkan kepada persoalan pemahaman justru menjurus kepada ideologi juga sikap atau pandangan terhadap sesuatu.
Pada dasarnya politik lebih kepada hal-hal yang positif bermuara kepada kebaikan demi kemajuan yang menguntungkan semua pihak. Tetapi, pemahaman yang berkembang politik lebih terarah kepada hal-hal yang negatif atau akal-akalan. Mungkin bisa kita sebutkan sebagai opini yang sesat demi keuntungan pribadi atau golongan. Sekarang persolannya adalah bagaimana dengan sastra?
Sebagai sebuah ilmu sastra harus dipelajari. Persoalan apakah sastra mampu meng ubah cara pandang seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Mampu meningkatkan taraf hidup dan kemajuan masyarakat, atau mungkin sebaliknya, itu adalah persoalan lain. Ada juga yang beranggapan persoalan keberpihakan. Sebuah strategi, yang diharpkan dapat menimbulkan atau mencapai sesuatu yang diharapkan. Mungkin demi meluluskan sebuah kepentingan?
Nah, jika sastra dikaitkan ke arah kepentingan atau keberpihakan, apakah ini politik? Atau apakah perlu mewujudkan sastra sebagai media politik? Semua terserah kepada kita. Tergantung kepada niat yang punya hajatan. Sastra sebagai sebuah ilmu, ideologi, atau apalah namanya, terserah. Sekarang pertanyaannya adalah apakah itu tidak bagian dari politik, terlepas dari persoalan kenegaraan, kepentingan, atau keberpihakan.
Saya jadi teringat kepada persoalan ilmu sebagai filsafat, atau filsafat sebagai sebuah ilmu yang diletakan pada level tertentu, misalnya. Dimana perkembangan Ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998) menyatakan perkembangan moral individu ada 3 tahap yaitu: Level Preconvenstional, Level Conventional, dan Level Postconventional.
Level Preconvenstional, misalnya, level ini berkembang pada masa kanak-kanak. Dimana mereka hanya mengikuti naluri mereka dan mengabaikan nasehat dan pendapat orang lain. Selanjutnya, level Conventional dimana individu termotivasi untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok tersebut. Dengan demikian seseorang itu telah mengikuti apa yang baik dan menjauhi mana yang buruk dengan menganut apa yang ditentukan oleh kelompok mereka. Sedangkan level Postconventional, orang tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan norma-norma dari kelompoknya, melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang diyakininya. Dan dalam fase ini biasanya seseorang akan menentang kelompoknya dimana hal yang dia tentang adalah yang menurutnya benar padahal kelompoknya menganggapnya salah.
Menarik seperti apa yang digelisahkan Yulhasni. Seperti yang disampaikannya, bahwa jangan pernah menjauhkan sastra dari ranah politik. Sastra, meski itu hanya dunia imajinasi, di dalamnya terdapat pesan-pesan perubahan. Sastra tidaklah dunia yang sendiri dan lepas dari berbagai kepentingan yang bermain di dalamnya. Jika politik adalah medium pencapaian tarik-ulur kepentingan, maka sastra adalah sesuatu alat penjernihan tarik-ulur kepentingan itu.
Politik bisa saja kasar dan sadis, tapi sastra memberi ruang kedamaian dan rasa persamaan yang sejati. Medium sastra memanglah teks tertulis dan kemudian dibaca masyarakat, akan tetapi teks harus memberi tanggungjawab perubahan, terutama terhadap orang-orang yang melahirkan teks itu. Pencipta teks dengan demikian tidak mengabaikan begitu saja apa yang telah ditulisnya dan kemudian dibaca masyarakat.
Tanggungjawab akademisi sastra dalam diskursus sastra-politik terletak kepada keinginan membawa ranah sastra kembali ke sejatinya yang awal. Akademisi tidak perlu meletakkan dirinya kepada satu gagasan pembenaran karena dalam sastra kebenaran itu terletak kepada keberhasilan teks membawa perubahan pada masyarakat. Jika teks sastra gagal, seharusnya akademisi meluruskan dan diberi beberapa catatan penting atas kegagalan yang terjadi. Kaum akademisi seharusnya juga harus bebas nilai, sehingga tidak terjebak kepada kecurigaan, penilaian yang sempit dan kemudian seolah-olah ‘manusia paling tahu atas segala bentuk kreativitas’.
Kekuatiran terbesar yang muncul manakala wacana sastra dibawa ke ranah politik adalah kecurigaan akan sebuah gerakan penggiringan ke arah arus utama politik. Tulisan saya berjudul Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik (Analisa, 21 Agustus 2011) ditanggapi dengan sebuah kekuatiran oleh Budi P Hatees. Lewat tulisannya berjudul Politik dalam Sastra Sumut (Analisa, 28 Agustus 2011).
Sementara Budi P. Hatees memiliki pandangan, bahwa Karya sastra adalah sesuatu yang tak mengenal nilai konstan seperti halnya dunia eksakta. Tidak ada rumus dan formula dalam karya sastra. Dunia kreatif ini kaya akan tafsir dan tak ada satu tafsir pun yang benar-benar mewakili realitas di dalamnya. Segala upaya penunggalan tafsir atas karya sastra adalah kebodohan, apalagi jika upaya itu dilakukan hanya untuk menunjukkan betapa piawainya seseorang bekerja dengan teori-teori yang ada.
Para akademisi sastra, yang berkutat dengan teori atau persepsi dan disemangati oleh hasrat untuk merumuskan sebuah metoda pembacaan yang diyakini paling valid -misalnya, metode yang paling cocok untuk memahami karya sastrawan Indonesia- sering terperosok ke dalam penunggalan makna sastra. Mereka hidup dalam narsisme merasa, orang yang tidak mendapat pendidikan sastra sebagai awam sastra dengan cara pembacaan atau penafsirannya justru meruntuhkan potensi estetik yang ada pada karya seni.
Penunggalan makna sastra harus ditolak. Sebaliknya, sastra harus dipahami sebagai sepotong ketakterhinggaan, yang mendorong banyak ahli justru berkeyakinan, tafsir sastra mesti dilakukan dengan cara "membunuh" pengarangnya. Pengarang, kata Roland Barthes, "telah mati." Pembunuhan pengarang dimaksudkan Barthes untuk menghidupkan teks menjadi dunia kata dengan hukumnya sendiri yang lepas dari jeratan maksud dan tujuan pengarang.
Dari sisi berseberangan, kita bisa mengatakan, segala upaya mempertanyakan eksistensi pengarang dalam karya sastranya hanya akan dilakukan oleh mereka yang sangat naif. Mereka yang melihat sastra secara picik. Padahal, kita hanya tahu bahwa James Joyce menulis Ulysses, tetapi kita tidak melihat seorang Joyce di dalam novel yang fenomenal itu. Sama halnya kita tidak melihat Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose, tapi kita paham jejak-jejak Eco sangat kental di sana.
Artinya, karya sastra tak semata tindakan mimesis. Sastra tidak semata memindahkan realitas. Sastra mengkonstruksi realitas, merekonstruksinya dan untuk itu setiap pengarang membutuhkan pengetahuan, pengalaman dan latar belakang cultural yang jelas dan tegas. Dengan cara seperti itu, sastra menjadi sangat individual. Karya sastra terkesan tak akan komunikatif.
Hal ini juga pernah disinggung dalam diskusi omong-omong sastra di rumah Jaya Arjuna beberapa waktu yang lalu, yang menghadirkan Sakinah Annisa Maariz dan Suyadi San sebagai pembicara. Dalam diskusi itu, sempat muncul polemik, ketika Suyadi San menyebut, sastrawan Sumut, masih belum dianggap di kancah nasional. Indikasinya dari beberapa pertemuan sastrawan yang sifatnya skala nasional, sastrawan Sumut, hanya datang sebagai peserta pasif. Selain itu, di forum-forum yang sama, peserta (sastrawan) Sumut jarang diunjuk sebagai penyaji. Suyadi membatasi kajiannya pada 1 dekade terakhir. Ia pun menggugat beberapa sastrawan senior yang dulu sempat punya nama di nasional dan rajin menyumbangkan kritik dan pemikirannya melalui media massa.
Salah satunya Damiri Mahmud, yang kebetulan juga hadir di acara itu, selain juga Maulana Syamsuri, Sulaiman Sambas dan lainnya. "Kemanakah Anda selama ini?" tanya Suyadi. Tak pelak, Damiri harus mengakui, bahwa beberapa tahun terakhir, ia memang tak produktif, bersebab faktor fisik dan phisikis, seiring usia. "Sumut kehilangan "jubir" sastranya di tingkat nasional." Kata Suyadi. Tapi Sugeng, yang seorang mantan redaktur budaya salah koran di Medan, menyanggah istilah "jubir" itu. "Sastra tidak membutuhkan jubir, karena karya itu sendiri yang akan bicara. Yang harus dibenahi para sastrawan Sumut adalah semangat entrepreuner dalam berkarya," tegas Sugeng.
Kesan yang sama ditunjukkan Mihar Harahap. Baginya, kegelisahan Suyadi adalah kegelisahan semua pelaku sastra, tidak hanya di Sumut tapi juga di hampir semua daerah. Hal ini merupakan wacana lama yang memang tak kunjung tuntas. Namun Mihar tidak setuju dengan istilah lokal-nasional dalam sastra. Apa itu sastra nasional, siapa itu sastrawan nasional? Apa itu sastra lokal, siapa itu sastrawan lokal? Karenanya Mihar menekankan sastra jalur kedua, sebagaimana dimunculkan Esten Mursal, yang menjadikan lokal sebagai basis sehingga mengurangi dikotomi sentralis.
Tentang politik sastra, Mihar mengajak peserta untuk lebih jeli mengkaji, makna dan acuan dua kata itu, seperti tertera dalam makalah. Sebelumnya, soal ini ditanggapi serius oleh Ali Yusran yang mengatakan, tak ada sastra yang tak politik. Perbedaannya soal tujuan, apakah demi nilai-nilai kemanusiaan universal atau kepentingan sekelompok orang. Diskusi sempat memanas ketika Sakinah yang terinsipirasi buku "Politik Sastra" yang ditulis Saut Situmorang itu, mengetengahkan contoh kasus Pram, yang secara implisit disebut Sakinah sebagai korban politik sastra. Bahkan Damiri di awal-awal sempat mengajak peserta diskusi untuk lebih luas melihat persoalan yang dialami Pram dalam kesusasteraan nasional.
Sakinah juga memberikan pandangan, bahwa perluasan pemaknaan atas politik di dalam sastra Indonesia melalui politik sastra semakin merebak setelah adanya pengkajian yang lebih mendalam dan komperhensif mengenai napak tilas dan sejarah sastra Indonesia. Politisasi pemerintah atas karya sastra sebenarnya tidak hanya berdampak pada kehidupan sastrawan yang melahirkan karya, namun juga berimplikasi pada kehidupan sastra Indonesia yang di dalamnya termasuk sejarah, kritik dan teori sastra.
Menurut Sakinah, politik sastra Indonesia tidak lagi membicarakan tentang upaya dan langkah menuju pengembangan dan pembinaan ke arah yang lebih baik. Politik sastra Indonesia dijelaskannya mulai melirik nasib karya-karya sastra yang telah dipolitisasi pengusaha, serta dampaknya dalam sejarah sastra Indonesia.
Distorsi pemaknaan atas istilah politik sastra Indonesia ini, sebenarnya terjadi seiring perubahan waktu dan sejarah yang mengikuti. Akan tetapi pengkajian terhadap problematika tidak akan pernah berhenti tanpa solusi. Sebagai contoh tetralogi pulau baru karya Pramoedya Ananta Toer yang mencerminkan sejarah kehidupan Indonesia masa kolonialisme pada masa rezim orde baru berkuasa karyanya ditarik dan dimusnahkan secara sengaja.
Pada diskusi hangat siang itu juga sempat dibahas bahwa sastra harus tetap berpolitik, tetapi politik sastra adalah yang baik, mendidik dan menghibur. Hadirnya sebuah karya sastra seperti puisi, pada diskusi juga dibahas saat ini lahir sangat banyak tetapi kehidupan masyarakat tetap hidup pada tahap ketelanjangan, mural, spritual dan nurani yang tidak bekerja lagi.
Sebenarnya hal-hal negatif seperti itu lahir dari banyaknya penulis manja. Tatkala memasukkan tulisannya di media cetak, seorang penulisa saat ini tidak malu untuk menanyakan kapan tulisannya akan dimuat. Dan contoh muram seperti itu dijelaskan pada diskusi yang rentan untuk dikritik.
Dari pernyataan-pernyataan yang terlontar, tentu kita dapat memberikan pandangan, bahwa sastra dan politik sebenarnya akan hadir dan mengalir dengan sendirinya. Tidak hanya di Sumatera Utara, Indonesia, bahkan di dunia sekalipun. Pertanyaannya adalah apkah sastra di arahkan kepada hal-hal yang negatif ataukah positif? Jika positif siapapun yang menjadi pelakunya mungkin tidak akan menjadi persoalan. Tetapi, jika negatif, maka hal ini yang harus diwaspadai. Sedikit mempelintir ungkapan mantan seorang Presiden Amerika, jika politik itu kejam, maka sastra yang akan menghaluskannya. Bukankah demikian?

Politik,Seniman dan Telur
M. Raudah Jambak.

Bicara seni, kembali kita diarahkan pada kemajemukan pandangan. Biasa, jika dalam sebuah pembicaraan seni kita (terlalu) kritis ketika mengemukakan pendapat. Tunggu dulu. Kritis dalam pembicaraan atau kritis dalam perbuatan?
Demikian yang tercatat, ketika diskusi dengan Saut Situmorang dan Katerin Bandel, yang dilaksanakan Komunitas Sastra Indonesia, mengambil tempat di Galeri Payung Teduh, Selasa, 14 Juni 2011, yang dimoderatori oleh Idris Pasaribu.

Seperti yang pernah tercatat, dalam revolusi kemerdekaan kesadaran geo-politik tumbuh di kalangan cendekiawan dan seniman yang berjuang di lapangan kebudayaan, seperti Soedjatmoko, Sjahrir, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, dan lain-lain. Kesadaran geo-politik tidak tumbuh begitu saja. Hasil dari revolusi dan konsensus nasional dari anasir-anasir dalam masyarakat.

Tarik-menarik kekuatan politik dan ekonomi menjelma gelombang separatisme yang dihadapi dengan perlawanan berdarah. Sering terjadi perpecahan di tubuh militer dan muncul sikap kritis masyarakat tentang pembagian anggaran belanja daerah. Daerah diperas untuk menopang anggaran belanja negara.

Kekayaan dari eksploitasi alam hanya dinikmati oleh Jakarta (sentralisasi). Belum lagi terjangan Perang Dingin, konflik laten Kapitalis versus Komunisme. Para sastrawan (baca: pengarang) pada awal revolusi dan dalam periode revolusi belum selesai (sampai tahun enam puluhan, ditandai dengan era Konfrontasi dengan Malaysia) menyadari, karya sastra sebagai sebuah produk kebudayaan dalam arti luas, yang menanamkan rasa kebangsaan, dan harga diri di tengah pergaulan bangsa-bangsa.

Rakyat Indonesia kini sebagian besar buta geografi Indonesia. Bagaimana hendak mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) apabila tidak mengetahui secara persis geografi bangsanya. Masih ratusan pulau di Indonesia belum mempunyai nama.

Menurut Pramoedya Ananta Toer, angkatan muda semestinya mengumpulkan data di daerah masing-masing, suatu saat pasti berguna. "Tulis! Suatu saat berguna," kata Bung Pram dengan suara tinggi bergetar. Saya kira kata-kata itu sering diucapkan kepada angkatan muda dan menjadi kerja pengarang yang tidak habis-habisnya. Pramoedya Ananta Toer tekun mengumpulkan data tentang Indonesia. Dokumentasi sejarah bangsa Indonesia yang berton-ton itu berada di lantai atas kamar kerjanya.

Kepengarangan adalah kerja besar. Bayangkan apabila angkatan muda pengarang Indonesia menulis tentang daerah masing-masing atau bekerja sama dengan pihak lain, menulis monografi daerah masing-masing. Menulis segala potensi di daerah. Dari hasil kekayaan alam, industri, kesenian dan kekayaan sumber daya manusia. Para sastrawan menulis dengan latar belakang budaya masing-masing.

Kita mengenal Umar Kayam menulis "Seribu Kunang-kunang di Manhattan". Menceritakan Marno yang kesepian di apartemennya bersama Jean, teringat seribu kunang-kunang di persawahan desanya di Jawa saat melihat kemerlap-kemerlip lampu-lampu di Manhattan. Atau Olenka (1983) karya Budi Darma yang mengeksplorasi arus bawah kesadaran semata. Sebagai novel saya kira berhasil. Tapi rapuh kesadaran geo-politik. Atau Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, yang hanya mengeksploitasi fatalisme wanita Jawa, puisi lirik itu seperti suara gamelan yang lirih di tengah perang kode di zaman kita.

Masih dibutuhkan prosa atau puisi tentang kehidupan manusia Indonesia, dengan segala problematikanya, dengan topografi daerahnya masing-masing. Karya ini kelak menjadi ilham generasi berikutnya. Segala potensi dan masalah mendasar yang timbul di permukaan muncul dalam bentuk cerpen, novel, maupun puisi.

Karya sastra tidak hanya sebagai sebuah ekspresi individual, namun juga sebagai agen perubahan, dengan cara menuliskan kondisi objektif di tengah rakyat. Kerja pengarang adalah kerja besar, dengan berbagai risikonya. Apa yang dinamakan turun ke bawah (Turba) melihat kondisi masyarakat adalah bentuk amalan para pengarang untuk menuliskan kondisi masyarakat yang sesungguhnya. Hasilnya, sebuah karya sastra yang tidak klangenan, atau pemuas pembaca semata. Sebuah ekspresi dan perjuangan yang mendasar bagi eksistensi manusia.

Kritikus sastra HB Jassin, misalnya, dengan tekun mencatat perkembangan sastra yang muncul dari daerah-daerah terpencil di Indonesia. Sebagai editor di beberapa majalah dan berkala sastra, dia memuat karya-karya sastra dari (calon) pengarang dari berbagai pelosok daerah. Dengan majalah/berkala sastra yang diterbitkannya, HB Jassin mencatat atau mengomentari, dan memberi ruang bagi potensi sastrawan di daerah. Kita masih ingat buku Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), antologi puisi dari sastrawan dari seluruh Indonesia.

Dari hasil karya, tentunya telah banyak yang diperbuat oleh budayawan ataupun seniman. Walaupun, masih perlu kita pertanyakan kembali jiwa kesenimannya. Terlalu sederhana mungkin pemikiran saya, seniman dengan kata dasar seni, yang identik dengan keindahan atau (mungkin) harmonisasi, tentu jauh dari sifat iri, sombong, merasa lebih baik dari orang lain, terlalu mengelu-elukan (berlebihan) dengan apa yang telah diperbuat, sehingga mengecilkan malah menghilangkan apa yang telah diperbuat orang lain.

Seniman tentu juga memiliki tingkat kesadaran tinggi. Apa yang telah diperbuat nya adalah hadiah kemanusiaan. Artinya, seorang seniman (seperti yang diungkapkan Togu Sinambela), misalnya seniman lukis merasa berdosa jika tidak melukis. Begitu juga seniman yang lain merasa miris dengan perekembangan seni yang berjalan di tempat, tetapi begitu ada keinginan untuk melakukan perobahan, jalan mereka menjadi buntu.

Pemerintah, Tokoh, Lembaga, dan lain-lain, selalu menjadi sasaran, ketika kegiatan seni man deg. Pertanda apa ini? Saya setuju seperti yang dikemukakan Saut, sebenarnya bukan persoalan eksternal yang perlu kita perbincangkan. Persoalan internal yang harus kita tanggulangi secara lebih serius. Selalu mengemukaka persoalan, bahwa seniman tidak perduli. Selalu muncul pertanyaan, mana seniman? Perlu dipertanyakan siapa yang memper tanyakan itu? Seniman?

Saya jadi teringat dengan ayam betina yang baru saja bertelur. Satu butir telurnya, tetapi hebohnya cukup memekakkan telinga satu kampung. Bayangkan, jika telur yang dihasilkan banyak. Berapa besar suara yang dihasilkan.

Begitupun seniman telur itu masih jauh lebih berarti dibandingkan seniman bunglon. Jika seniman angkat telur, jelas yang diangkatnya. Seniman pegang telur, jelas yang dipegangnya. Seniman selentik ataupun remas telur juga jelas. Seniman bunglon? Kita selalu ragu terkadang apakah dia seniman apa tidak. Karena setiap pergerakannya selalu dalam wilayah kepentingan. Seniman dalam rangka.

Cukup arif saya kira Idris Pasaribu dalam menutup diskusi sore itu. Biarkanlah mereka begini dan begitu asal jangan kita. Seniman yang dekat dengan pemerintahan, yang menggunakan uang rakyat untuk kebutuhan keluarganya, secara tidak langsung kita ikut membantu keberlangsungan hidup mereka. Berkaryalah. Biarkan karya yang bicara. Bukan demo. Bukan demonstrasi, karena toh di Sumatera Utara hal-hal seperti itu juga masih berbau kepentingan. Introspeksi kejelekan kita, pelajari kelebihan orang lain. Lebih baik berkarya daripada mencela. Bukankah begitu? Demikian.

Penulis; Direktu Komunitas Home Poetry

MELONGOK SENI DARI ZAMAN KE ZAMAN
M. Raudah Jambak, S.Pd

Banyaknya seni pertunjukan yang ditampilkan dekade 2000-an di Sumatera menandakan betapa Sumatera Utara tak pernah kehabisan kreativitas. Berbagai naskah, kelompok dan kepentingan turut mewarnai, bahwa Sumatera Utara, Medan khususnya, selalu akan memberikan warna dalam perjalan seni di lingkungan manapun.
Mungkin, kita masih ingat dengan Pertunjukan Teater D’Lick Teater team, Merdeka, Siklus, Nasional, Anak Negeri, Generasi, LKK, Alif-LKCSN, SiSi, O, Komunitas Home Poetry, Rumah Mata, dll. Dengan pertunjukan Raja Tebalek, Mentang-Mentang dari New York, Maling Menuntut KeaDILAN, MOA, Perempuan, Tamu Terakhir, Indonesia Undercover, Tiurmaida, Cinta Tanah Air, Cublis, Celah, Pasung, Rintrik, Keparat dan sekarang Paranoia, Lawan Catur, serta Jendela-Jendela (yang terakhir ini akan ditampilkan di Lampung), dll. Baik itu di acara lomba, festival, atau Pertunjukan Tunggal, di antaranya Parade Teater, Festival Teater, maupun Sabtu Ketawa, dll.
Selain dari seni pertunjukan moderen, seni pertunjukan rakyat juga tak kalah gencarnya. Lihat saja penampilan Teater Anak Negeri di Padang, Pertunjukan Mahasiswa Pasca Sarjana Unimed di Taman Budaya Sumatera Utara beberapawaktu yang lalu, Kelompok Informasi pembangunan dalam pertunjukan Obrolan Pembangunan KOMINFO, Pertunjukan Rakyat acara KOMINFO Tebing Tinggi yang tampil di solo, Opera batak, serta penampilan Teater Bangsawan yang nanti juga akan tampil di Solo dalam rangka Temu Budaya Nasional.
Ada kebanggaan yang tidak pernah putusnya ketika Medan, Sumatera Utara, masih terus menggeliat dalam bidang kepenulisan, pertunjukan, Film (diantaranya Film berbahasa Batak), dll. Kebanggaan itu mungkin diantaranya, bahwa seniman Sumatera Utara tidak lagi adu urat, adu suara, tetapi lebih mengedepankan kepada karya, tidak hanya moderen juga tradisi. Diantaranya adalah Teater bangsawan. Kerinduan masyarakat terhadap pertunjukan seni tradisi ini seolah melepas lelah dari segala kepenatan segala macam intrik politik, kejahatan maupun kesibukan dunia kerja.
Pertunjukan seni tradisi seperti teater Bangsawan adalah jus segar yang mampu menetralisir itu semua, walau perbedaan pandangan serta penanganan selalu menjadi bahan pembicaraan yang hangat sesuai zamannya.
Pertunjukan seni yang disebut sebagai Teater Bangsawan biasanya adalah kesenian yang menggabungkan musik, lagu, tari dan laga. Peralatan musik yang mengiringi pementasannya terdiri atas: biola, akordion, gendang, gong dan tambur. Sesuai dengan namanya, yaitu Bangsawan, kostum yang digunakan adalah tata rias yang menyerupai orang-orang di kalangan Bangsawan. Sedangkan, perlengkapan pendukungnya menyesuaikan dengan ceritera yang ditampilkan, karena patokan yang khusus tidak ada.
Sebagaimana cerita rakyat lainnya, teater Bangsawan memiliki pakem yang sudah dirumuskan. Biasanya dengan urutan, misalnya : (1) pentas dibuka dengan lagu-lagu dan tarian pembuka yang mengisahkan ceritera yang akan dimainkan. Sebagai catatan, setiap kelompok biasanya mempunyai lagu pembuka tersendiri yang sekaligus menjadi ciri khasnya; (2) peralihan dari satu adegan ke adegan berikutnya diikuti dengan pergantian layar; terkadang diselingi dengan lagu atau nyanyian yang berisi ceritera yang akan dimainkan pada adegan berikutnya; dan (3) pentas ditutup dengan lagu dan tarian penutup.
Ketika seni pertunjukan ini sedang berlangsung, maka lagu-lagu yang mengiringinya, disamping lagu-lagu yang sering dinyanyikan dalam joged atau tarian Zapin, adalah lagu-lagu Stambul Dua, Stambul Opera, dan Dondang Sayang. Sedangkan, ceritera yang dimainkan antara lain: 1001 Malam, Rakyat Melayu, Dongeng India dan Cina, dan Hikayat Melayu. Setiap ceritera terbagi dalam beberapa babak atau adegan. Dan, setiap adegan diselingi dengan sret atau selang waktu untuk menceriterakan apa yang akan terjadi pada adegan berikutnya. Jadi, semacam pengantar agar para penonton mengetahui apa yang akan disajikan adegan berikutnya.
Para tokoh pemainnya terdiri atas: Sri Panggung (diperankan oleh pemain yang tercantik yang akan menjadi primadona panggung), anak muda, raja, permaisuri, menteri, hulubalang, saudagar-saudagar, inang-dayang, dan pelawak yang oleh masyarakat setempat sering disebut sebagai Khadam. Bahasa yang dipergunakan adalah Melayu dengan dialek Riau-Kepulauan, dengan tata cara istana atau bangsawan. Berikut ini adalah penggalan dialog antara Dayang dan Hadang dalam sebuah pementasan Bangsawan.
Dayang: “Manelah Panglime Hadang nih? Sudah bermain-main di taman tak ade. Sebentar lagi kalau Tuan Puteri sudah datang kemari pasti akan murke kalau melihat Panglime Hadang tak ade. Bencilah same die. Pak Hadang, Pak Hadang, o…Pak Hadang. Kemane aje wak nih?”
Hadang: “Lagi sibuk betul aku, patik…e salah, e…sesat. Jalan-jalan ke taman larangan nih, nyari-nyari jelutung. Untunglah ada Mak Inang di belakang nunjuk sane tu…tu..hah…baru sampai”.
Pesan yang ingin disampaikan dalam berbagai cerita yang disuguhkan adalah seorang raja akan dihargai oleh rakyatnya apabila bijaksana, sebagaimana ungkapan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Melayu, yaitu: Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah dan Hukum adil kepada rakyat, tanda raja beroleh inayat.
Pemain (pelakon) seni pertunjukan ini terdiri atas: Sri Panggung dan anak muda yang merupakan tokoh utama, raja, seorang khadam, dan beberapa peran pembantu raja, menteri, hulubalang, inang-dayang, dan pengukuh lakon lainnya. Jadi, jumlahnya jika ditambah dengan pemain musik kurang lebih 20 sampai dengan 25 orang.
Durasi pementasannya bergantung pada ceritera dan waktu yang tersedia. Sedangkan waktu pementasannya pada malam hari. Pada mulanya seni pertunjukan ini tampil dalam rangka mengisi acara-acara upacara lingkaran hidup individu (khitanan dan perkawinan), hari-hari besar agama Islam, dan hari-hari nasional seperti peringatan hari kemerdekaan Indonesia, serta peringatan-peringatan lainnya. Namun, dewasa ini hanya terbatas pada hari kemerdekaan saja, itu pun tidak selalu. Dengan kata lain, bergantung pada pemerintah daerah setempat, baik di kecamatan, kabupaten, maupun propinsi.
Berbeda dengan seni pertunjukan modern, seni pertunjukan ini tidak memerlukan sutradara, walaupun setiap group mempunyai seorang pemimpin. Satu hal yang mesti ada (terbuat) adalah tempat para pemain berlaga (panggung). Panggung sebuah pementasan yang disebut sebagai Bangsawan ini dilengkapi dengan layar berlapis yang disebut dengan layar stret. Layar-layar tersebut dibubuhi dengan lukisan istana, taman, hutan (pemandangan alam) dan lain sebagainya. Maksudnya untuk menggambarkan situasi dan kondisi di mana sebuah dialog atau perseteruan terjadi. Jadi, jika suatu peristiwa terjadi di istana, maka layar yang ditampilkan adalah yang berlukisan istana, dan seterusnya.
Nah, masa dan zaman berkembang. Kita lihat saja sekarang semacam Overa Van Java, perpaduan tradisi dan moderen seolah menjadi rumusan yang baru, dan sepertinya terus dipertahankan oleh pihak manajement. Atau seperti yang dilakukan Garin Nugroho dalam Opera kontemporer adaptasi dari film Opera Jawa, yang diproduksi Tropentheater dengan iringan gamelan pimpinan Rahayu Supangga berlangsung selama dua jam tanpa jeda.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Rizaldi Siagian, bahwa seorang penulis Hungaria, Ladislao Székely, dalam karya semi-autobiografinya, Tropic Fever: The Adventures of a Planter in Sumatra (1985), mendeskripsikan keterlibatan kreativitas artistik dan kreativitas bisnis dalam menghidupkan kota Medan sekitar seratus tahun yang lalu. Pengalaman tuan kebun yang tinggal di tanah Deli selama enam belas tahun (1902-1918) dan terakhir tinggal di “Kwala Batu” (kemungkinan Pabatu sekarang (?)), sangat menolong untuk melihat bagaimana sesungguhnya dunia kesenian di Medan masa itu.
Ia menggambarkan di daerah pemukiman orang China (kemungkinan di sekitar Jl. Semarang, Kanton) terdapat gedung teater yang disebut “Bangsawan”. Suasananya ramai, dipenuhi pengunjung dan pedagang China, Tamil, Bengali, Arab, Eropah, dan penduduk asli Sumatera Timur, Melayu. Ada penjual buah termasuk penjual teng-teng (buah segar yang sudah dikupas), tukang sepatu yang bekerja 24 jam, dll. Medan saat itu sudah sibuk; boleh dibilang tumbuh dan berkembang oleh para pendatang yang sebagian besar juga tercatat sebagai pelaku sejarah perbudakan yang terburuk dan dikritik sejarahwan Anthony Reid sebagai “prestasi […] kapitalisme internasional [yang melahirkan] kesengsaraan […] mengerikan” itu (Székely, Reid, 1989:v).
Seni Pertunjukan Tradisi, memang adalah sebuah kerinduan yang selalu kita harapkan kehadirannya, tetapi mau tidak mau ia memang harus tergerus dan beradaptasi dengan perkembangan zamannya. Termasuk dalam hal ini teater bangsawan, setuju atau tidak setuju selain langkah-langkah yang sudah baku, ia harus beradaptasi (bukan takluk) dengan pertunjukan moderen, seperti sutradara, skrip, setting, tata cahaya, dll. Bukankah begitu?

*Penulis adalah Direktur Komunitas Home Poetry


MENGAPRESIASI IMUNITAS KOMUNITAS SASTRA

M. Raudah Jambak, S. Pd

Sumatera Utara cukup dikenal apresiatif terhadap dunia sastra. Hanya saja memang perhatian secara sungguh-sungguh terhadap sastra dan seni masih penuh dengan tandatanya besar. Artinya, kita telah melahirkan cukup banyak sastrawan dan seniman yang beberapa diantaranya tentu dikenal di seantero Nusantara. Begitu juga Komunitas Sastra di dalamnya.
Untuk Komunitas Sastra, misalnya. Komunitas Sastra Indonesia Sumatera Utara telah melahirkan begitu banyak penulis dan karya yang cukup melegakan hati. Setuju atau tidak setuju. Pun, untuk komunitas sastra yang lain yang menghasilkan calon militansi sastra yang mulai terasah kemampuannya.
Seperti yang pernah kita baca, bahwa Seiring dengan perkembangan zaman, sastra pun terus berkembang mengikuti derap peradaban. Bentuk sastra dengan berbagai “wajah” terus bermunculan, baik yang berbentuk prosa maupun puisi. Dengan sifatnya yang khas dan unik, sastra terus mewartakan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, hingga mampu menumbuhkan kepekaan nurani pembacanya. Semakin sering membaca karya sastra, batin pembaca akan semakin terisi oleh pengalaman-pengalaman baru dan unik yang belum tentu didapatkan dalam kehidupan nyata. Itu artinya, sastra telah memberikan “asupan” gizi batin yang lezat dan bermakna bagi pembaca.
Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik (nilai yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau kebudayaan), nilai etis, moral, agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai praktis (nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari).
Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra, sangat beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk membangun karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi, dan kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. Dengan mengakrabi sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki kepekaan nurani dan empati, tidak suka bermusuhan, tidak suka kekerasan, tidak suka dendam dan kebencian. Sastra mendorong dan melatih kita untuk: (1) cinta Tuhan dan kebenaran; (2) tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; (3) amanah; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama; (6) percaya diri kreatif, dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati; dan (9) toleransi dan cinta damai. Oleh karena itu, upaya mengakrabi sastra perlu dilakukan sejak dini, agar kelak menjadi sosok yang memiliki karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga mampu mengatasi berbagai persoalan hidup dan kehidupan dengan cara yang arif, matang, dan dewasa.
***

Persoalannya sekarang, aktivitas apa saja yang perlu dilakukan untuk mengakrabi sastra agar kita mampu menjadi manusia yang berbudaya? Paling tidak, ada tiga aktivitas bersastra yang bisa dilakukan.
Misalnya saja aktivitas apresiasi. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan memperbanyak membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Dengan banyak membaca karya sastra dalam berbagai genre (bentuk), pengalaman batin dan rohaniah kita akan terasupi oleh berbagai macam nilai yang mampu menyuburkan nurani kita. Ini artinya, secara tidak langsung, karya sastra akan mampu membangun basis karakter dan kepribadian yang kuat, sehingga tidak gampang terpengaruh untuk melakukan tindakan-tindakan negatif yang bisa merusak citra kemanusiaan dan keluhuran budi. Inti kegiatan apresiasi sastra adalah memahami dan menghargai karya sastra melalui proses pendalaman, penafsiran, perenungan, dan pemaknaan nilai-nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Karya sastra bisa menjadi saksi dan mata zaman yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Ia (karya sastra) mampu mendedahkan berbagai peristiwa masa silam, menyuguhkan peristiwa pada konteks kekinian, sekaligus bisa meneropong berbagai kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Ini artinya, semakin banyak membaca dan mengapresiasi sastra, semakin banyak menerima asupan gizi batin, sehingga kita terangsang untuk menjadi manusia berbudaya yang responsif terhadap berbagai persoalan hidup dan kehidupan.
Kemudian aktivitas berekspresi. Kegiatan berekspresi termasuk salah satu kegiatan mengakrabi sastra yang bisa dilakukan dengan mengekspresikan atau mengungkapkan teks sastra ke dalam bentuk pembacaan dan permainan peran. Membacakan puisi, mendongeng, bercerita, atau bermain drama termasuk kegiatan berekspresi. Kegiatan semacam ini melatih kita untuk menumbuhkan kepekaan dalam menangkap nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra secara lisan. Puisi akan terasa lebih indah jika dibacakan dengan penghayatan dan eskpresi yang tepat. Demikian juga halnya dengan mendongeng, bercerita, atau bermain drama. Nilai-nilai dan pengalaman hidup yang terkandung dalam karya sastra jadi terkesan lebih indah dan menyentuh kepekaan estetik kita.
Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi di bidang sastra. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan pribadi masing-masing. Yang paling besar pengaruhnya adalah faktor minat dan kesungguhan berlatih. Semakin besar minatnya dan semakin serius pula dalam berlatih menulis karya sastra, maka semakin besar pula tantangan-tantangan kreatif yang bisa dilaluinya. Para sastrawan besar pada umumnya lahir karena dukungan dua faktor tersebut. Dengan kata lain, kreativitas atau daya cipta seseorang dapat lahir setelah melalui berbagai tantangan yang dihadapinya, sehingga mampu melahirkan karya sastra yang memiliki nilai lebih. Secara khusus, kreativitas dalam mengakrabi sastra adalah kemampuan menemukan, membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.
Kreativitas penciptaan karya sastra sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendayagunakan imajinasi dan bahasa. Melalui kekuatan imajinasi, seorang pengarang mampu menjelajahi berbagai pengalaman batin manusia. Ia bisa mengungkapkan berbagai kenyataan dan pengalaman hidup secara imajinatif meskipun pengarang yang bersangkutan tidak harus mengalami secara langsung apa yang dia tulis.
Imajinasi, konon identik dengan mata sang jiwa yang dimiliki oleh setiap orang. Ini artinya, siapa pun orangnya memiliki kemampuan berimajinasi. Yang mungkin berbeda adalah ketajaman seseorang dalam melihat dan menafsirkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekelilingnya. Bagi seorang sastrawan, imajinasi merupakan modal kreativitas utama yang terus diasah melalui proses perenungan dan pengendapan. Hal ini menjadi penting, sebab dunia sastra selalu melewati pintu imajinasi ketika seorang sastrawan hendak melahirkan karya sastra. Sastrawan tidak melihat kenyataan hidup dengan menggunakan mata fisik, tetapi menggunakan mata jiwa, sehingga bisa menyajikan kenyataan hidup yang berbeda di dalam karya sastra. Bisa saja apa yang tertuang di dalam karya sastra mencerminkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan lingkungannya.
Namun, kenyataan hidup yang diungkapkan sudah dipadukan dengan kekuatan imajinasi, pengetahuan, keyakinan, dan pengalaman batin sang pengarang, sehingga karya yang dihasilkan memiliki daya tarik dan daya pikat bagi pembaca. Perpaduan antara kenyataan dan imajinasi itulah yang telah melahirkan karya-karya besar yang tidak pernah bosan dibaca dan diapresiasi dari zaman ke zaman.
Berdasarkan hal ini ada yang menuliskan, bahwa kesuksesan komunitas juga tidak ditentukan oleh figur tokohnya, nama besar organisasinya, terlebih kekuatan dananya. Sehingga pandangan tentang pentingnya faktor sastrawan seniornya, penyandang dana, campur tangan pemerintah, kemampuan lobi untuk menyukseskan acara seremonial, dalam sebuah komunitas hanyalah pemikiran sempit (juga picik). Dalam publik sastra yang menjadi ukuran keberhasilan adalah kualitas karya yang dihasilkan anggota komunitasnya.
Di sini yang sering dilupakan adalah bahwa keberhasilan aktivitas kesastraan tergantung bagaimana masing-masing pribadi berproses kreatif untuk menghasilkan karya. Keberadaan komunitas hanya faktor pendukung dan penyemangat untuk terus berkarya. Sehingga percuma saja menempel di depan kebesaran nama komunitas kalau tidak berbuat apa-apa, tidak menghasilkan karya. Hanya pesta dan hura-hura. Sebab nama besar komunitas bukan menjadi jaminan kualitas karya anggotanya.
Dalam beberapa kali diskusi kadang saya heran terhadap sikap beberapa pegiat komunitas ––terutama pemula.
Baru satu atau dua kali menulis sudah bisa mengukur kualitas karyanya ––tentunya dari sudut pandang pribadi dengan memakai jubah besar nama komunitas. Sehingga menggugat redaktur sastra koran atau majalah, kenapa tidak memuat karya-karyanya. Penilaian-penilaian individu seperti ini sebenarnya sah-sah saja, sepanjang untuk evaluasi terhadap karya yang telah dibuat. Bukan justru menjustifikasi bahwa karya yang telah dihasilkan sudah “luar biasa” sehingga wajib disiarkan kepada publik. Gugatan-gugatan narsisme seperti ini sebenarnya tidak perlu muncul seandainya penulis mau berkaca dengan membaca karya-karya penulis yang benar-benar luar biasa, lalu mengevaluasi karya sendiri. Bukan malah “buruk muka cermin dibelah”.
Masalah lain yang kadang timbul dalam komunitas sastra adalah munculnya virus epigon pada penulis pemula. Kecenderungan “mendewakan” sang senior atau sang guru menyebabkan keseragaman gaya penulisan. Dalam jangka pendek wajar bila murid menirukan gurunya, namun bila berkesinambungan dan menjadi indoktrinasi saya kira membawa masalah. Calon penulis tidak memiliki kebebasan menampilkan gaya atau tidak berani memunculkan karakter kepenulisannya. Inilah bila komunitas menjadi tempurung bagi katak kreativitas, bukan menjadi sungai yang mengalirkan kreativitas. Maka komunitas hanya akan kontraproduktif dan memandulkan proses kreatif anggotanya.
Esensi penting dalam berkomunitas adalah bagaimana individu-individu yang akan berkelompok membawa idealisme dan semangat masing-masing. Sebab komunitas hanya wahana untuk berkreasi, berinteraksi dan berekspresi. Dengan semangat dan idealisme, para pemula tidak terjebak pada bayang-bayang kebesaran komunitas, jumlah anggota komunitas, indoktrinasi komunitas, nama besar figur atau batas-batas kreativitas. Sehingga bisa memilih, menjadi idealis atau elitis. Maka pegiat komunitas sastra, berlomba-lombalah menghasilkan karya, bukan sekadar mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.
Nah, mungkin ini hanya sebuah wacana yang mungkin tidak perlu kita persoalkan tetapi ke depan adalah bagaimana kita mampu dan mau mengasah tidak hanya karya tetapi mental positif (rendah hati) yang kita punya sebagai bagian dari pendidikan, penataan permukiman, dan lingkungan hidup sastra bagi komunitas sastra yang pernah dilakukan oleh teman-teman sastrawan di daerah lain, seperti M. Badri, Sawali, Irmansyah, dll, sebagai bahan perbandingan kita. Terimakasih.

Penulis : Direktur Komunitas Home Poetry

Tidak ada komentar:

Posting Komentar