Senin, 12 September 2011

Politik dalam Sastra Sumut

Budi P Hatees

Karya sastra adalah sesuatu yang tak mengenal nilai konstan seperti halnya dunia eksakta. Tidak ada rumus dan formula dalam karya sastra. Dunia kreatif ini kaya akan tafsir dan tak ada satu tafsir pun yang benar-benar mewakili realitas di dalamnya. Segala upaya penunggalan tafsir atas karya sastra adalah kebodohan, apalagi jika upaya itu dilakukan hanya untuk menunjukkan betapa piawainya seseorang bekerja dengan teori-teori yang ada.
Para akademisi sastra, yang berkutat dengan teori atau persepsi dan disemangati oleh hasrat untuk merumuskan sebuah metoda pembacaan yang diyakini paling valid -misalnya, metode yang paling cocok untuk memahami karya sastrawan Indonesia- sering terperosok ke dalam penunggalan makna sastra. Mereka hidup dalam narsisme merasa, orang yang tidak mendapat pendidikan sastra sebagai awam sastra dengan cara pembacaan atau penafsirannya justru meruntuhkan potensi estetik yang ada pada karya seni.

Penunggalan makna sastra harus ditolak. Sebaliknya, sastra harus dipahami sebagai sepotong ketakterhinggaan, yang mendorong banyak ahli justru berkeyakinan, tafsir sastra mesti dilakukan dengan cara "membunuh" pengarangnya. Pengarang, kata Roland Barthes, "telah mati." Pembunuhan pengarang dimaksudkan Barthes untuk menghidupkan teks menjadi dunia kata dengan hukumnya sendiri yang lepas dari jeratan maksud dan tujuan pengarang.

Dari sisi berseberangan, kita bisa mengatakan, segala upaya mempertanyakan eksistensi pengarang dalam karya sastranya hanya akan dilakukan oleh mereka yang sangat naif. Mereka yang melihat sastra secara picik. Padahal, kita hanya tahu bahwa James Joyce menulis Ulysses, tetapi kita tidak melihat seorang Joyce di dalam novel yang fenomenal itu. Sama halnya kita tidak melihat Umberto Eco dalam novelnya, The Name of the Rose, tapi kita paham jejak-jejak Eco sangat kental di sana.

Artinya, karya sastra tak semata tindakan mimesis. Sastra tidak semata memindahkan realitas. Sastra mengkonstruksi realitas, merekonstruksinya dan untuk itu setiap pengarang membutuhkan pengetahuan, pengalaman dan latar belakang cultural yang jelas dan tegas. Dengan cara seperti itu, sastra menjadi sangat individual. Karya sastra terkesan tak akan komunikatif.

Sesungguhnya, karya sastra merupakan satu bentuk cara berkomunikasi. Seorang sastrawan akan berusaha menjadikan karyanya komunikatif dengan mengasumsikan bahwa tanda-tanda bahasa yang digunakannya setara dengan tanda-tanda yang kolektif pada diri calon pembacanya. Sastra yang baik adalah yang menjauhi miskomunikasi.

Oleh karena pembaca sangat beranekaragam latar belakang sosial, kultural, intelektual, gender dan agama mereka, dengan kode, konvensi dan aturan-aturan sosial yang berbeda pula. Pesan sebuah karya sastra dapat dipahami maknanya secara berbeda, dengan mengacu pada kode pembacaan yang berbeda pula. Meskipun makna denotatif (denotation) sebuah karya sastra bisa sama antara pengarang dan pembaca, akan tetapi makna konotasi (connotation) dapat berbeda-beda, disebabkan perbedaan kode yang digunakan dalam pembacaan. Sebuah teks membuka dirinya bagi berbagai bentuk pembacaan. Dalam sastra yang baik, para pembaca terlibat untuk mencipta ulang (recreation) karya.

Sastra adalah sebuah metode dalam mengungkap realitas kehidupan yang merupakan rangkaian teka-teki, pertanyaan, atau enigma, untuk menemukan apa yang kita yakini sebagai kebenaran (truth). Dengan pemahaman seperti ini, provokasi Yulhasni dalam esainya, "Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik" (Analisa edisi 21 Agustus 2011), sesungguh tak perlu ditanggapi, jika yang dimaksud membangkitkan polemik tentang "sastra yang berpihak" dan "sastra yang mengalienasi" yang sudah lama dikubur.

Jika gagasan ini muncul lantaran asumsinya, sastrawan Sumut mengalienasi masyarakat dari karya-karyanya, maka perlu dipertanyakan apakan gagasannya tentang sastra Sumut "yang terlalu mengesampingkan ranah politik" merupakan hasil pembacaan yang intens terhadap karya-karya yang ada? Ataukah semacam kesombongan intelektual yang hendak mengarusutamakan agenda politik ketimbang agenda estetis dari karya seni?

Kita di Sumatra Utara (Sumut), yang memutuskan menjadi seorang kreator sastra karena disemangati oleh aneka manuver, taktik dan strategi agar mendapat pengakuan sebagai sastrawan, pada dasarnya kehilangan tujuan seni yang sesungguhnya. Sastra bukanlah soal kerja keras dan tekun dalam memetik sumber sastra untuk tujuan estetika berkesenian, tetapi kerja peras agar karya sastra itu tersosialisasikan secara kontiniu dalam medium-demium sosialisasi seperti koran dan majalah. Kita menulis karya sastra dalam kondisi disorientasi, terlanjur menganggap menjadi sastrawan sesuatu yang kren dan cool, meskipun sesungguhnya kita tak pernah siap menghadapi realitas yang keras dalam dunia kreatif ini. Ketika suatu saat karya sastra kita dikritik orang kita dikritik orang lain, kita merasa dunia sudah kiamat.

Di Sumut, sastra bergerak tidak selalu pada rel yang sama dilalui lokomotif sastra nasional. Lokomotif sastra Sumut memiliki rel sendiri. Bagi sastrawan daerah lain terkesan kolot dan tak mengikuti perkembangan yang ada karena kuat mempertahankan tradisi berkesusastraan ala Pujangga Baru, yang tidak terlalu sibuk memikirkan keunikan ekspresi. Karya sastra di Sumut tidak mengikuti tradisi sastra yang kini meracuni kesusastraan nasional yang sangat kuat ditandai aliterasi, mengagungkan rima, tipologi dan membicarakan hal-hal yang tak dapat dipakai untuk mengetahui kebenaran dari kehidupan.

Kesusastraan nasional, terutama yang disosialisasikan di media-media terbitan Jakarta, merupakan karya-karya sastra yang meminta pembaca untuk tak perlu susah payah menemukan makna yang berarti dari karya sastra tersebut karena yang terpenting adalah menikmatinya. Pemikiran seperti inilah yang mengeristal dalam penerbitan buku puisi Nirwa Dewanto, Jantung Lebah Ratu, dalam novel "membingungkan" berjudul Cala Ibi karya Nukila Amal, atau cerpen-cerpen fantastik seperti yang ditulis Triyanto Tiwikromo. Kesusastraan nasional memosisikan para sastrawan sebagai sosok yang teramat penting, entitas yang keinginan-keinginannya dalam berkarya harus menjadi panduan bagi pembaca.

Penumpang lokomotif sastra Sumut tidak terlalu pusing apakah karyanya akan mampu menembus ruang-ruang sosialisasi karya di media-media terbitan Jakarta atau tidak. Karena mereka meyakini, untuk menjadi seorang sastrawan tidak harus melakukan manuver, taktik, dan strategi yang dijalankan sastrawan-sastrawan daerah lain di luar Sumut, karena Sumut memiliki cukup banyak ruang-ruang sosialisasi yang potensial. Memang, ada juga satu dua sastrawan asal Sumut berorientasi keluar dari Sumut dan terpaksa menyesuaikan estetika seni karyanya dengan resiko kehilangan tujuan seni yang sesungguhnya. Merekalah para sastrawan yang terjebak dalam booming teenlit atau sastra populer yang hanya menawarkan hiburan.

Pengecualian bisa diberikan terhadap antologi Sampan Zulaikha (2010) karya Hasan Al Banna serta cerpen-cerpennya yang kadang berusaha menjadi naturalis. Di hadapan buku sastra ini provokasi Yulhasni menjadi tidak beralasan. Simpul yang dibuatnya tentang sastra Sumut "yang terlalu mengesampingkan ranah politik", menjadi sangat murahan dan terdengar seperti percakapn kosong di kedai kopi. Hasan Al Banna mampu mengatasi problem-problem sosialisasi karya sastra di luar Sumut tanpa harus mengubah tujuan estetika seninya dengan cara menguarkan realitas-realitas lokal yang kadang membuat karyanya terjebak menjadi semacam risalah sosial.

Meskipun begitu, cerpen-cerpen dalam buku ini tekstual dengan realitas politik dalam kehidupan masyarakat saat ini. Cerpen-cerpen itu menegaskan betapa negara (kekuasaan) yang dijalankan secara keliru akan menghasilkan masyarakat yang secara sosial, ekonomi, budaya dan politik hidup tertindas.

Cerpen Sampan Zulaikha, misalnya, berbicara tentang hegemoni politik laki-laki atas perempuan; hagemoni manusia normal terhadap manusia kurang normal. Cerpen ini sangat bias gender, yang mendorong Zulaikha berjuang untuk meneguhkan eksistensinya, kesejajaran perempuan dengan laki-laki. Perjuangan Zulaikha adalah realitas politik di lingkungan masyarakat kita ketika elite penguasa melakukan diskontinuitas antara citra politik (political image) dengan realitas politik (real politics) dimana kebenaran dimanipulasi.

Kembali pada provokasi Yulhasni, tampaknya, ini hanya sebuah gagasan yang buru-buru diapungkan. Sesuatu yang tak seharusnya lahir dari seorang akademisi sastra. Hm.

Penulis: Esseis, Jurnalis dan Pengajar Komunikasi


"Guru Jabut", Sastra Sumut Berpihak
Oleh: Budio P Hatees. 1. LAKI-LAKI itu, Abraham Lincoln, tak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Seorang anak perempuan, Harriet Beecher Stowe, duduk di sana dengan sikap seorang anak-anak. Stowe tak tahu kalau dia sedang berhadapan dengan manusia terpenting bagi bangsa Amerika, meskipun saat itu ia sedang di Gedung Putih.
"Kamu perempuan kecil yang menyebabkan perang besar ini?" ujar Lincoln, Presiden AS.

Stowe, konon pemicu perang saudara yang melanda Amerika selama empat tahun. Gadis kecil itu tak pernah merencanakannya sampai novelnya, Uncle Tom’s Cabin, dibaca banyak orang. Novel itu kemudian membentuk peradaban baru Amerika, sebuah era dimana masalah perbudakan tak lagi mendapat tempat.

Tidak sedikit novel (karya sastra) yang mampu mengubah peradaban manusia. Uncle Tom’s Cabin (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pondok Paman Tom) salah satu contoh. Oliver Twist, Dokter Zhivago, La Peste, Madame Bouvarie, Ullyses, Aminal Farm dan lain sebagainya bisa jadi contoh lain. Di Indonesia, para ahli sastra berpendapat, sebagian sajak Chairil Anwar mampu mempengaruhi jalannya revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, konon juga bisa dimasukkan dalam kelompok sastra yang membawa perubahan pada peradaban manusia.

2

Dengan pembukaan seperti di atas, saya menduga sastra seperti itulah yang terlintas dalam bayangan Yulhasni saat menulis "Estetika dan Ranah Politik Sastra Sumut" di Analisa edisi 4 September 2011. Saya tak akan larut dalam arus pembicaraan yang berpusar keluar dari wilayah kreatif bersastra. Saya akan sampai pada satu simpul, jika kriteria kreativitas bersastra yang diinginkan Yulhasni seperti dampak yang dibawa Uncle Tom’s Cabin, percakapan kita akan mentok. Tradisi sastra di negeri ini sudah berhenti melahirkan Pramoedya Ananta Toer yang baru, konon pula tradisi bersastra di Sumatra Utara (Sumut).

Tradisi sastra kita hanya melahirkan sastrawan yang dipolitisir, karena kepentingan politik penandaan tertentu, dinaikkan citra pribadinya sebagai sastrawan yang luar biasa. Ayu Utami, penulis novel Saman -yang ketika menulis Larung maupun Bilangan Fu menjadi sangat tak berkelas- bisa dimasukkan di dalamnya. Nirwan Dewanto dengan kitab sajak Jantung Lebah Ratu -dari hukum berbahasa saja salah karena seharusnya Jatung Ratu Lebah- atau Sitok Srengenge yang sajaknya cuma perduli pada urusan rima -dan kebanyakan penyair kita mengikuti pola ini seolah sebagai penemuan baru- merupakan nama lain yang bisa diajukan sebagai contoh buruk.

Saya akan mengedepankan cerpen "Guru Jabut" karya Hasan Al Banna (Hasan), dipublikasikan di Koran Tempo edisi 21 Agustus 2011, sebagai bukti sinyalir Yulhasni tentang sastrawan dari Sumut yang teksnya tak memberi tanggungjawab bagi perubahan masyarakat dan sastrawannya tidak berpihak kepada masyarakatnya. Artinya, Yulhasni telah mengabaikan, sastra pada akhirnya merupakan sebentuk pesan dari komunikator (sastrawan) yang disampaikan kepada audience (masyarakat pembaca). Karena itu, seorang sastrawan tak perlu bertanggung jawab pada masyarakat yang membaca tetapi hanya bertanggung jawab pada "apa karya selanjutnya". Setidaknya, di era 1960-an, Iwan Simatupang pernah menyinggung perkara ini dalam esainya untuk menanggapi kritik Boen S. Oemarjati atas cerpen berjudul "Tegak Lurus dengan Garis".

Moral pengarang, tulis Iwan Simatupang dalam esai, T dari Tanggung Jawab, adalah memikirkan apa karya selanjutnya. Sebab itu, ada baiknya Yulhasni tidak usah mengungkit polemik-polemik lama dalam sastra Indonesia yang sesungguhnya sudah selesai dengan sebuah simpul, pengarang telah mati. Kebiasaan seperti ini acap dilakukan para akademisi sastra, yang terjebak dalam ruang-ruang sempit sejarah sastra, karena terlalu keras membanding-bandingkan dengan dinamika kesusastraan yang terjadi di luar negeri.

Sastra kita tidak seharusnya jalan di tempat seperti ini, hidup dalam diskontinuitas antar keinginan menolak teori barat dengan ketidaksanggupan menciptakan teori yang khas sastra Indonesia. Dalam pemikiran kebudayaan, kita (terutama akademisi sastra) adalah kaum cendekia yang sesungguhnya tak lebih bagus dari pasien rumah sakit jiwa. Mereka sesungguhnya kurang cendekia, tetapi menolak untuk dikatakan tidak cendekian. Pasien rumah sakit jiwa juga biasanya akan marah jika dikatakan dirinya seorang yang gila.

3

Di masa lalu, di lingkungan antropologi masyarakat tradisional Batak (Angkola dan Mandailing) -sebelum era mikrofon menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya masyarakat seperti saat ini- martariak adalah tradisi yang diwarisi untuk menyampaikan pengumuman penting kepada masyarakat luas.

Sekelompok orang, biasanya diperintah oleh para pemuka pendapat (opinion leader) kampung -baik dari kalangan elite tradisional (hatobangon, harajaon, suhut sihabolonan dan panusunan bulung) maupun wakil administrasi pemerintahan kampung- akan berjalan mengelilingi kampung sambil membacakan teks pengumuman agar masyarakat memaklumi. Guna menarik perhatian masyarakat, dipukul bunyi-bunyian dengan ritme bunyi tiga kali pukul. Alat itu berupa gong kecil yang disebut uning-uning, tetapi masyarakat yang direfresentasikan Hasan Al Banna dalam cerpen "Gu ru Jabut" alat itu disebut nio-nio.

"Bunyi nio-nio terdengar kuyup!" Dengan pembukaan seperti itu, ingatan pembaca cerpen "Guru Jabut" segera dibawa ke lingkungan tradisional masyarakat yang direfresentasikan dalam cerpen. Di beberapa tempat di wilayah antropologi Batak (Angkola dan Mandailing) yang secara geografis tinggal di bekas Kabupaten Tapanuli Selatan, uning-uning atau nio-nio ini sangat lekat dengan kehidupan sosial budaya masyarakat. Benda ini selalu dibunyikan untuk menarik perhatian jika ada hal penting yang harus disampaikan kepada masyarakat.

Orang yang membunyikan uning-uning atau nio-nio itu biasanya menenteng gong kecil, sambil berkeliling kampung. Sepanjang berjalan, mereka meneriakkan pesan yang harus diketahui oleh masyarakat. Nada dari bunyi uning-uningan atau nio-nio itu berbeda untuk setiap jenis pesan. Kalau pesan berkaitan kematian (biasa disebut siluluton), bunyinya dipukul serentak tiga kali secara berdekatan. Sebaliknya jika pesan kabar gembira (biasa disebut siriaon), nadanya dipukul sekali secara cepat dan menghasilkan efek riang.

Uning-uning atau nio-nio dalam cerpen ini adalah tanda tentang sebuah masyarakat yang secara geografis ada di wilayah Kabupaten Tapsel. Semiotika, sebagaimana dijelaskan Ferdinand de Saussure, adalah ilmu tentang tanda, khususnya yang berkaitan dengan pembacaan tanda di dalam masyarakat. Tanda ini bukan tanpa alasan dibuat Hasan, karena dia menjadi bukti yang berkaitan dengan bukti-bukti lain di dalam cerpen.

Semua bukti itu dapat membentuk sebuah rangkaian berpola atau tatanan beraturan (order), yang unsur-unsurnya saling berkaitan satu sama lainnya sebagai sebuah kesatuan konsep, tema atau peristiwa, yang terbentuk berdasarkan sebuah rencana atau desain tertentu, sehingga makna atau logika di baliknya dapat dengan mudah dipahami. Ada tingkat keterdugaan yang tinggi, yang dapat mengarahkan pembacaan (reading) menjadi lebih jelas, terang, transparan dan eksplisit. Bukti itu merupakan sebuah rangkaian yang berpola, bersambung (continous) dan beraturan, yang unsur-unsurnya berkaitan satu sama lainnya, sehingga proses pembacaannya sangat jelas.

4

"Cerpen", kata para ahli sastra, "representasi realitas manusia." Lantas, siapa manusia yang realitasnya menjadi refresentasi dalam sebuah cerpen "Guru Jabut"? Apakah realitas manusia dimana si pengarang hidup (dengan sendirinya juga realitas si pengarang itu sendiri) ataukah realitas dari pembaca yang dibayangkan si pengarang?

"Guru Jabut" merepresentasi realitas masyarakat yang dapat ditemukan di lingkungan Kabupaten Tapsel, walaupun secara umum dapat ditemukan di semua lingkungan masyarakat. Cerpen mengangkat realitas hidup Guru Jabut. Realitas hidup adalah rangkaian teka-teki, pertanyaan, atau enigma. Ketika realitas hidup itu diangkat sebagai tema di dalam sebuah karya sastra, upaya itu bukan tanpa alasan. Salah satu alasan itu untuk mencari jawaban yang disebut kebenaran (truth).

Kebenaran seperti apa yang hendak diungkap dan dikomunikasikan Hasan dengan menampilkan realitas hidup Guru Jabut? Apakah pembaca -bahkan yang paling awam sastra- mampu menangkap kebenaran itu dengan mudah. Apakah kebenaran itu memiliki relasi kausalitas dengan masyarakat yang direpresentasikan Hasan, sehingga sampai pada sebuah kesimpulan akhir (inference).

Nama Guru Jabut, seperti dijelaskan Hasan dalam cerpennya, nama olok-olokan. "Oya, sebentar, mengapa ia dipanggil Guru Jabut? Bukankah nama akikahnya Panangaran Bayo Angin? Dipanggil Guru, mungkin karena ia guru mengaji. Mmh, Jabut? Itu sabut kelapa! Lazimnya, tak akan ada orang kampung yang sudi digelari Jabut. Adapun jabut kerap dikaitkan dengan tahi ayam. Tiada benda yang paling dicari untuk menjumput unggun tahi ayam kecuali Jabut. Selain itu, kalau seseorang sudah diseru Jabut, tak lain untuk menyatakan bahwa seseorang itu tak berguna. Tapi Guru Jabut tak pernah mengeluh."

Kata "jabut" tak dipahami secara umum sebagai kata olok-olokan. Hanya masyarakat yang direpresentasikan Hasan yang mengerti makna kata "jabut" mengandung nilai negatif jika ditempelkan pada seseorang. Ketika Hasan mengangkat hal ini dalam karya sastra, tanpa sengaja dia telah memperkenalkan sebuah tradisi olok-olok kepada masyarakat luas. Dengan berusaha memahami makna kata "jabut", pembaca pun akan memahami makna apa yang diacu oleh tanda ini.

Makin jelas pula bagi pembaca, cerpen ini merupakan sebuah sikap dari sastrawan untuk menertawakan perilaku religius sebuah masyarakat. Perilaku religius yang kurang beriman, karena menganggap manusia lain berkedudukan secara religius lebih rendah dari dirinya, sehingga pantas dihukum untuk tidak mendapat perlakuan adil dalam hukum agama Islam. Perilaku religius yang tak religius ini, tumbuh subur dalam realitas masyarakat dimana pun. Masyarakat yang merasa dirinya paling religius dan paling beriman dibandingkan masyarakat lain, seolah-olah masalah religiusitas dan keimanan bukan urusan Sang Ilahi.

"Tapi, kenyataannya, surau tak berkawan kala menyongsong jenazah Guru Jabut. Dorlan terbenam dalam cenung, sampai-sampai tak sadar kalau dia sudah khatam menunaikan sembahyang zuhur berjemaah. Dorlan baru angkat kesadaran tatkala bilal mayit berseru-seru: siapa sanak yang sudi jadi imam? Tapi jemaah cuma sudi bertikai pandang, mengundak-undak gerik bahu."

Hasan tak sekedar mengudak-udak watak manusia yang konon mengaku religius dan beriman. Dia juga menawarkan solusi untuk mengatasi masalah sosial-religius semacam ini, lewat tokoh Dorlan, mantan murid mengaji Guru jabut. "Di sela senyap, Dorlan meninggalkan saf, melangkah ke bibir keranda. Dia sempurnakan tekuk kepala. Sedang sebagian besar jemaah di belakangnya masih berdongak-dongak kepala; siapa gerangan pemuda yang jadi imam itu? Tapi, Dorlan terlanjur khusyuk untuk meladeni keheranan tersebut."

5

Kembali pada persoalan yang dipersoalkan Yulhasni, maka jelas bahwa sastrawan Sumut tak sekedar menghasilkan karya sastra. Mereka juga menunjukkan moral dan tanggung jawab atas persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. ***


Estetika dan Ranah Politik Sastra Sumut
Oleh: Yulhasni

Sekali lagi, jangan pernah menjauhkan sastra dari ranah politik. Sastra, meski itu hanya dunia imajinasi, di dalamnya terdapat pesan-pesan perubahan. Sastra tidaklah dunia yang sendiri dan lepas dari berbagai kepentingan yang bermain di dalamnya. Jika politik adalah medium pencapaian tarik-ulur kepentingan, maka sastra adalah sesuatu alat penjernihan tarik-ulur kepentingan itu.
Politik bisa saja kasar dan sadis, tapi sastra memberi ruang kedamaian dan rasa persamaan yang sejati. Medium sastra memanglah teks tertulis dan kemudian dibaca masyarakat, akan tetapi teks harus memberi tanggungjawab perubahan, terutama terhadap orang-orang yang melahirkan teks itu. Pencipta teks dengan demikian tidak mengabaikan begitu saja apa yang telah ditulisnya dan kemudian dibaca masyarakat.

Tanggungjawab akademisi sastra dalam diskursus sastra-politik terletak kepada keinginan membawa ranah sastra kembali ke sejatinya yang awal. Akademisi tidak perlu meletakkan dirinya kepada satu gagasan pembenaran karena dalam sastra kebenaran itu terletak kepada keberhasilan teks membawa perubahan pada masyarakat. Jika teks sastra gagal, seharusnya akademisi meluruskan dan diberi beberapa catatan penting atas kegagalan yang terjadi. Kaum akademisi seharusnya juga harus bebas nilai, sehingga tidak terjebak kepada kecurigaan, penilaian yang sempit dan kemudian seolah-olah ‘manusia paling tahu atas segala bentuk kreativitas’.

Kekuatiran terbesar yang muncul manakala wacana sastra dibawa ke ranah politik adalah kecurigaan akan sebuah gerakan penggiringan ke arah arus utama politik. Tulisan saya berjudul Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik (Analisa, 21 Agustus 2011) ditanggapi dengan sebuah kekuatiran oleh Budi P Hatees. Lewat tulisannya berjudul Politik dalam Sastra Sumut (Analisa, 28 Agustus 2011).

Budi P Hatees menguraikan berbagai alasan untuk mengatakan, sejatinya diskursus sastra dan politik telah lama usai. Atau mengutip tulisan Budi P Hatees, jika yang dimaksud membangkitkan polemik tentang "sastra yang berpihak" dan "sastra yang mengalienasi" yang sudah lama dikubur.

Perlu juga kita mencermati satu pertanyaan besar Budi P Hatees, apakah gagasan ‘provokasi’ saya dilatarbelakangi dengan pembacaan yang intens atas sejumlah karya sastra yang lahir di Sumatera Utara. Saya tidak sedang berdebat soal intensitas pembacaan meskipun di satu sisi perlu dipertanyakan apakah Budi P Hatees juga mengikuti dan menggeluti secara intensif wacana kesusasteraan di daerah ini, sementara dia tidak berada di daerah ini? Artinya pergulatan tidak hanya sebatas pembacaan, melainkan masuk langsung ke dalam perkembangan sastra di daerah ini. Istilahnya, jadi pemain langsung, bukan penonton yang hanya bisa berteriak di bangku-bangku kegelisahan. Apakah Budi P Hatees hadir dalam berbagai aktivitas kesusasteraan di daerah ini? Diam-diam kita perlu mengkuatirkan gagasannya soal kecenderungannya menganggap karya sastra di daerah ini lahir dengan ketidaksiapan menghadapi realitas yang keras dalam dunia kreatif, tidak lain bentuk provokasi ‘murahan’ dari kesombongan intelektual kampus yang selama ini selalu menghantui kreativitas penciptaan sastra.

Kekeliruan terbesar dari bentuk penilaian masyarakat kampus adalah berani memberi pembaptisan atas kecenderungan genre sastra, meski hanya merujuk satu atau dua karya yang menasional, seperti mencontohkan beberapa karya Hasan Al Banna. Ketika membaca cerpen Hasan Al Banna dalam kumpulan Sampan Zulaikha, saya selalu mengatakan, perlu kecerdasan majemuk untuk sampai kepada satu kesimpulan apakah karya tersebut dapat diterima masyarakat atau tidak.

Budi P Hatees keliru menyimpulkan, ada satu atau dua sastrawan asal Sumut berorientasi keluar dari Sumut dan terpaksa menyesuaikan estetika seni karyanya dengan resiko kehilangan tujuan seni yang sesungguhnya.

Jika pembacaan Budi P Hatees cukup intens atas proses kelahiran karya-karya seperti itu, maka ada banyak bentuk alasan yang kuat untuk tidak hanya memberi penilaian sederhana apalagi dengan ukuran estetika seni saja. Beberapa puisi Ilham Wahyudi, misalnya, bukanlah genre sastra yang mengikuti arus Jakarta sebagaimana kekuatiran terhadap satu atau dua sastrawan yang berkiprah di tingkat nasional. Puisi-puisi naratif Ilham Wahyudi sepanjang pengetahuan saya dan dalam batas-batas diskusi personal dengan penulisnya, tidak lahir dari kecenderungan mengekor estetika ala Jakarta. Bahkan jika saja Budi P Hatees rajin membaca puisi-puisi M. Raudah Jambak dalam beberapa bulan terakhir, estetika yang dituangkan sebenarnya jauh dari sangkaan negatif seperti itu.

Tulisan saya sebenarnya jika dicermati secara benar dan tidak dalam ranah kecurigaan, sejatinya membuat satu gagasan untuk mengajak sastrawan di daerah ini tidak terkungkung dalam teks sastra belaka. Jika kemudian ini dianggap sebagai provokasi lama yang telah usang, dalam kreativitas sastra tidak ada istilah usang dan afkir, apalagi dalam bentuk teks penciptaan. Bukankah teks yang kita baca sebenarnya adalah realitas keseharian yang coba dituangkan dalam bentuk estetika seni?

Budi P Hatees mungkin tidak melihat secara jernih akar persoalan dari kecenderungan minimnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra di Sumut. Apakah disadari, meningkatnya kreativitas penciptaan tidak sebanding dengan minat masyarakat membaca karya sastra di daerah ini? Kita tidak bisa hanya mengukur derajat estetika dengan membaca satu atau dua koran yang terbit dan menyediakan ruang budaya. Jika hanya itu, patut dipertanyakan ukuran penilaian tersebut. Ini yang saya sebut sebagai kesombongan intelektual masyarakat kampus, apalagi mereka yang tidak secara langsung berhadapan dengan proses kreativitas penciptaan.

Estetika penciptaan karya di Sumut pada teks, mungkin telah menyentuh ranah politik. Teks hanyalah bacaan dan itu tidak bisa jadi alasan untuk mengatakan sastra di daerah ini telah berhasil masuk ke ranah politik. Teks tidak terlepas dari pencipta. Ini berlaku bagi semua bentuk karya sastra. Jika dilepaskan, maka pencipta tinggal hanya pengkhotbah kebenaran. Jadi ranah politik dalam sastra itu diletakkan pada aspek yang luas tidak hanya pada teks yang dibaca.

Kita perlu mendudukbenarkan sebuah gagasan agar tidak terkungkung dalam kebenaran yang sejatinya keliru. Membaca kembali tulisan saya secara intens, harusnya dilakukan Budi P Hatees agar tidak sampai pada satu kesimpulan yang salah. Gagasan saya sederhana. Mengajak sastrawan di daerah ini tidak mengabaikan nilai-nilai kebenaran dalam teks yang mereka ciptakan. Teks itu bukan imajinasi belaka, tapi di sana dituntut tanggungjawab untuk menjalankannya dalam proses berkesenian.

Jika dalam beberapa pembacaan yang intens dan pergaulan personal kita tidak menemukan kesatuan yang utuh antara teks yang tercipta dengan keseharian, maka disanalah kemunafikan itu berkelindan dalam dunia sastra daerah ini. Gagasan ini bukan buru-buru diapungkan, tetapi faktanya telah lama diombang-ambingkan oleh ketidakberanian bersikap dan bertindak pada sebagian besar sastrawan di Sumut.

Sayang sekali, Budi P Hatees tidak berhadir pada perkembangan penciptaan teks sastra di daerah ini, sehingga tulisan saya dinilai sebagai gagasan percakapan kedai kopi.


Penulis; Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU


Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik
Oleh: Yulhasni

Terlalu mengenyampingkan ranah politik dalam sastra, pada sisi lain membuat pelbagai realitas rakyat tak tertampung. Meski wacana sastra dan politik diskursus yang telah usang, akan tetapi itu akan tetap ditagih pembaca sebagai wujud tanggung jawab pengarang. Tentu saja, tidak serta-merta semua pengarang menyetujui konsep ini.
Bicara soal ini, tentu saja tidak bisa mengabadikan konsep "Sastra kiri", atau sastra Marxis, sebuah gerakan di awal abad ke-20, yakni realisme sosialis. Itulah sebuah periode ketika Maxim Gorki berdiri sebagai pelopornya.

Selain di Rusia, gerakan ini berpengaruh luas, di antaranya di daratan Cina dan Indonesia, yang berawal dari penolakan terhadap sastra (dan seni pada umumnya) "borjuis", sebagaimana Karl Marx menolak sistem kapitalisme. Sastra realisme sosialis lebih menekankan pada "visi" ketimbang "bentuk". Sastra harus merupakan representasi kondisi obyektif masyarakat yang diasingkan oleh sistem kapitalisme yang menindas. Sastra realisme sosialis atau sastra kiri, berempati pada derita rakyat melarat, pada mereka yang disampahkan oleh masyarakat dan yang kehidupannya dipojokkan, misalnya pencuri, pelacur dan buruh.

Diskursus sastra dan politik, saja tidak terlepas dari sejarah pertempuran Lekra dan Manikebu pun pernah mengisi sejarah percaturan konsep karya sastra. Manifes adalah pro-kemanusiaan yang begitu universal, sehingga enggan menjadikan seni semata sebagai medium eksploitasi ideologi dan politik, lebih suka pada kebebasan karya termasuk bentuk bahasa, pencarian struktur. Karyanya pun lebih bicara tentang kemanusiaan yang tak terjebak politik partisan, mengeksplorasi bahasa, permainan struktur dan bereksperimen bentuk penyajian teks. Karya yang berada di dalam partai, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN, yang berafiliasi dalam naungan Partai Nasional Indonesia atau PNI), membawa gagasan organisasinya, peduli pada kelompok tertentu. Alhasil isi karya para seniman LKN, misalnya, jadi bernuansa slogan dan perjuangan sosial dan kerap disindir sebagai pamflet politik.

Barangkali saja diskursus itu tidak akan pernah berakhir meski dengan bentuk dan cara yang berbeda. Inilah yang saya maksud, sastra tidak terbebas dengan politik. Sayangnya, jika sastra diarahkan ke ranah politik, kecurigaan pun akan muncul dengan sendirinya. Dalam bentuk kreativitas tingkat lokal Sumatera Utara, kita pun pantas menanyakan, apakah kreativitas yang berkembang pesat di bidang sastra juga diikuti dengan keinginan untuk bicara politik?

Dalam perbendaharaan khazanah sastra Sumatera Utara, memang kita perlu menggali sejarah perkembangan arah dan genre apa yang menjadi model penggarapan dari setiap tahunnya di Sumut. Hal ini akan mendapatkan sebuah kepastian situasi apa yang telah terjadi di daerah ini pada masa-masa sebelumnya. Pada beberapa literatur yang ada, khazanah sastra Sumut tentu saja telah berhasil menjadi bagian penting dari khazanah sastra di Indonesia. Jika dikaitkan dengan peta genre sastra dalam konteks politik, sastra Sumatera Utara juga.

Pada saat sekarang perkembangan kreativitas sastra di daerah ini mengalami situasi yang cukup menggembirakan. Hal itu misalnya ditandai dengan makin ramainya pembicaraan, penerbitan dan pertemuan sastra di daerah ini. Bahkan pertumbuhan kelompok penciptaan sastra di Sumut ibarat jamur di musim hujan. Apakah dalam perkembangan yang menggembirakan, juga diikuti dengan makin kuatnya tema-tema politik diketengahkan?

Sering terjadi kekeliruan dalam konsep kepengarangan tentang bagaimana menerjemahkan politik ke dalam sastra. Sebagian besar pengarang berpikiran, kata-kata dalam teks sastra yang dituangkan pengarang ke dalam karyanya, meski dengan bahasa keberpihakan kepada rakyat, telah dianggap sebagai bentuk sastra yang berpolitik. Seringkali pengarang bangga dengan berkata, ‘’saya telah berpihak kepada rakyat.’’ Bahkan teks puisi yang bicara pada level terendah kasta ekonomi dinilai sebagai bentuk sastra yang telah berpolitik.

Tentu saja pemahaman ini perlu diluruskan. Politik dalam sastra tidak hanya dimanifestasikan lewat teks semata. Barangkali konsep ini yang sering berkembang dalam kreativitas sastra di Sumut ini, sehingga kita amat jarang mendapatkan pengarang yang sesuai dengan teks yang dilahirkannya. Salah satu indikator yang bisa dijadikan patokan, misalnya, apakah berbagai ketimpangan sosial yang terjadi di daerah ini menjadi keprihatinan sastrawan di Sumut?

Jika pertanyaan dialamatkan kepada sastrawan tentang posisi mereka saat berbagai ketimpangan terjadi, mereka selalu berkata, tanggung jawab pengarang hanya sebatas teks sastra. Mereka berpikir, teks sastra harus terbebas dari kepentingan apapun. Pada bagian lain pengarang selalu menuntut kepada pembaca agar meminati karya yang mereka ciptakan. Kenyataan ini tentu saja memprihatinkan.

Kita memang harus realistis mencermati tumbuh kembangnya kreativitas sastra di Sumut. Banyaknya karya yang dihasilkan oleh sekian banyak kelompok yang lahir tentu saja tidak serta merta disikapi sebagai gejala pertumbuhan yang menggembirakan semata tanpa melihat konsep dan genre yang mereka tawarkan. Sejatinya, genre politik sebagai bentuk kreativitas memberi peluang tersendiri bagi sastrawan di daerah ini untuk mendapat tempat di hati masyarakat pembacanya. Kita tidak menginginkan, sastrawan di Sumut ini seperti katak dalam tempurung: merasa gagah di komunitasnya sendiri, tetapi tak pernah dipandang apapun oleh masyarakat. Saya mengajak sastrawan di daerah ini, ayo bicara politik. Tidak hanya sebagai teks, tetapi juga dalam tindakan yang nyata.

Penulis; Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU


Kata dan Kita
Untuk Yulhasni, Budi B Hatees dan Lainnya

Oleh: Hidayat Banjar. Tulisan Yulhasni "Ayo Sastra Sumut, Kita Bicara Politik" (Analisa, 21 Agustus 2011) ditanggapi oleh Budi P Hatees berjudul "Politik dalam Sastra Sumut" (Analisa, 28 Agustus 2011). Tulisan Budi P Hatees, ditanggapi lagi oleh Yulhasni dengan judul "Estetika dan Ranah Politik Sastra Sumut" (Analisa, 4 September 2011).
Pada kesempatan ini saya tak bermaksud menjadi "juru damai" dari "pertikaian" Yulhasni dan Budi P Hatess. Saya hanya ingin mengajak keduanya dan pembaca, bahasa sesungguhnya bisa multitafsir (ambigu).

Bahasa baik yang muhkamat apalagi yang mutasayabihat (konotatif) meminjam istilah Komaruddin Hidayat ("Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika", Mizan, Mei 2011), bisa menimbulkan maka ganda atau multitafsir. Bahasa (kata-kata) yang muhkamat (denotatif) pun bisa bermakna ganda. Contoh, kata memiliki yang bukan idiom pun dapat ditafsir berberda menurut ruang dan kepentingan pemakainya.

Makna Berbeda

"Kau adalah milikku" dalam kalimat itu, bisa positif maupun negatif. Ketika seseorang mengungkapkannya dengan maksud ungkapan sayang, kata memiliki dapat bermakna: melindungi, menjaga, memelihara, menyayangi dan lainnya. Ketika hal itu diungkapkan untuk kepentingan kekuasaan, kata memiliki dapat bermakna: menguasai, perlakuan sewenang-wenang, menzalimi dan sejenisnya. Karena milikku boleh kuperlakukan sesuka hatiku.

Jadi, ketika Budi P Hatees dalam tanggapannya mengatakan, tulisan Yulhasni "obrolan warung kopi", boleh jadi tujuannya untuk merendahkan, sebagaimana tanggapan balik dari Yulhasni yang kurang berterima dengan pernyataan itu. Dewasa ini "warung kopi" tidak mutlak sebagai tempat yang kumuh dan rendahan di mana orang-orang bicara ngalor-ngidul tak jelas juntrungannya. Bahkan beberapa warung kopi di Medan telah berhasil jadi ikon gaya hidup orang-orang tertentu (eksklusif) yang pembicaraannya jelas tidak murahan (rendahan) lagi.

Sesuai dengan harga kopi dan menu lainnya yang disajikan warung-warung kopi dimaksud, pembicaraan pengunjungnya pun berkelas juga. Kenapa Yulhasni kurang berterima? Ini tak lain karena ketika membaca teks-teks yang disajikan oleh Budi P Hatees, Yulhasli telah memiliki asumsi sendiri, telah memiliki sistem tandanya sendiri dalam memaknai tulisan Budi P Hatees.

Siapa Subjek

Ketika disuguhi sebuah teks (kata-kata), entah buku, majalah atau koran muncul petanyaan di benak pembaca, siapa sesungguhnya subjek dan siapa yang hendak disapa oleh teks itu? Kata Komaruddin Hidayat, sadar atau tidak, ketika seseorang membaca sebuah teks buku, sedikitnya disana terdapat tiga subjek yang membangun maknanya masing-masing.

Tiga subjek yang dimaksud Komaruddin itu ialah teks, pengarang dan pembaca. Jadi jika pikiran hanya tertuju dan terpusat pada teks, sesungguhnya kita sudah berasumsi, teks mempunyai eksistensi otonom, yang bisa berbicara sendiri dan untuk memahami isinya kita tidak harus mengaitkan dengan subjek pengarangnya. Bukankah kita -ada kalanya- tenggelam dalam teks (kata-kata) tanpa pernah bertanya secara kritis, siapakah pengarangannya dan kepada siapa teks itu sesungguhnya ditujukan?

Sebuah teks begitu ditulis oleh pengarangnya dan kemudian diluncurkan ke tengah masyarakat, dia telah menjadi milik publik. Dia akan berbicara sendiri menyampaikan isinya melalui sistem tanda yang dimilikinya, dalam wadah bahasa yang bersifat lokal. Asumsi ini tentu saja mengandung banyak kebenaran, meskipun juga memiliki kelemahan. Sisi kebenarannya terletak terutama pada kenyataan bahwa kita bisa menghargai teks dan bisa berguru pada teks-teks, tanpa harus bertemu dengan pengaranganya untuk mengecek benar-salahnya serta menanyakan motifnya menulis sebuah teks. Tidakkah sebuah teks yang hadir di depan kita bisa menipu, atau setidaknya, tidak mampu mengungkapkan sebuah realitas secara utuh? Dengan ungkapan lain, sejauh mana sebuah teks bisa dipercaya validitas dan akurasi derajat kebenaran yang disampaikannya?

Banyak Variabel

Pertanyaan ini mengajak kita untuk menggugat otonomi sebuah teks karena pada dasarnya, teks hanyalah sebagian dari pikiran pengarangnya, di samping juga sebuah teks tidak selalu akurat dalam menghadirkan sebuah realitas atau menyajikan sebuah konsep. Di balik sebuah teks, sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan tersembunyi. Hal tersebut harus dipertimbangkan agar kita lebih mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disajikan oleh teks.

Dalam pada kitu, kita harus dapat menduga sasaran pembaca yang dibayangkan oleh pengarangnya sendiri. Karenanya, sangat mungkin kita akan salah paham ketika membaca sebuah karya tulis. Sebuah teks yang dihasilkan dari tembok penjara, misalnya pasti akan berbeda semangat, gaya dan pesanya dari sebuah buku karya yang ditulis di salah satu ruang istana. Bukankah gagasan, cita-cita dan suasana batin pengarang jauh lebih kompleks, namun tidak semuanya bisa dituangkan dalam karya tulis? Bukankah apa yang ditulis oleh seorang pengarang kadangkala bersifat tentatif dan merupakan mata rantai pemikiran yang masih terus berkembang?

Menyadari teks dan pengarangnya saling bertautan, namun jarang sekali keduanya hadir bersama-sama di hadapan kita sebagai pembacanya. Dalam setiap pemahaman dan penafsiran sebuah teks, faktor subektivitas pembaca menjadi sangat berperan. Membaca berarti juga menafsirkan. Lebih jauh lagi, membaca dan menafsirkan sesungguhnya juga "menulis ulang" dalam bahasa mental dan bahasa pikir sang pembaca yang hanya saja tidak dituliskan. Ketika sebuah teks hadir di depan kita, maka teks menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan membangun makna berdasarkan sistem tanda yang ada. Jadi, makna itu muncul dari pertautan antara teks, pikiran pengarang, dan benak pembacanya.

Karena itu, ketika tulisan Yulhasni hadir dan dibaca oleh Budi P Hatees, maka teks-teks yang ada ditafsir sesuai dengan sistem tanda yang ada di benak Budi. Budi pun menanggapi tulisan Yulhasni dengan bahasanya sendiri. Kembali peristiwa tafsir-menafsir berulang, Yulhasni menafsir bahwa Budi keliru memahami pemikirannya.

Demikianlah bahasa (kata-kata) maknanya dapat menyempit, melebar, bahkan berubah (distorsi). Terkadang kosa-kosa kata, maknanya bertolak belakang dengan makna awalnya. Hal ini tak terlepas dari sikap mental dan budaya masyarakat pendukung bahasa bersangkutan.

Jadi, ketika sebuah teks hadir, tafsir yang ada tidak terlepas dari ruang dan kondisi psikologis pembacanya. Siapakah yang telah melakukan tindakan kesalahan ketika Budi P Hatees menafsir tulisan Yulhasni sesuai dengan sistem tanda yang ada di benaknya? Tulisannyakah yang salah atau Yulhasninya, yang tak dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya secara utuh hadir di benak Budi?

Begitu pula sebaliknya, ketika tulisan Budi P Hatees ditafsir oleh Yulhasni sesuai dengan asumsinya, siapakah yang salah? Tulisan saya ini pun kelak akan ditafsir oleh para pembaca dengan asumsi yang berbeda-beda. Tentu saja yang paling tahu makna tulisan, tentu sang pembuat tulisan. Iya kan?

Penulis; Peminat Masalah Sosial Budaya Menetap di Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar