Minggu, 20 Juni 2021

LOMBA BACA PUISI RUMAH KATA

PUISI-PUISI LOMBA BACA PUISI RUMAH KATA 2012 Sketsa Anak Harapan Karya : Nasib TS Serombongan anak yang kemarin kita lepas dari gerbang almamater tidak sekadar membebaskan beban dari pundak Ki Hajar Dewantara yang kini bertahta di setiap puncak menara gading akademis menjunjung tinggi amanah falsafah TUT WURI HANDAYANI Serombongan anak yang kemarin kita lepaskan dari tuntutan akademis menambah jubelan di luar gerbang almamater Mereka berjalan dengan langkah melayang dikoyak angin Pusaran waktu dan zaman memusingkan kepala Sebab, antara program dan kemungkinan lain lebih dari sekadar matematika atau data statistika dan hidup memang bukan teka-teki silang! (Diam. Ruangan itu sudah lama ditinggalkan. Bangku-bangku sepi kosong tinggal kenangan...) “Bukan kemerdekaan namanya kalau orang tak bebas menuntut apa yang menjadi hak. Dan kamu telah berangan-angan. Demikian enakkah? Kamu bukan tukang mimpi. Harapan milikmu. Dan ini bukan janji tanpa karsa, perjuangan dan kerja keras…” Demi sebuah kesempatan, serombongan anak yang kemarin kita lepaskan dari gerbang almamater menuntut ramai ke jalanan resmi di desa maupun kota Sebab namaku juang anak ibu pertiwi Rindu pulang pada harapan KAU-lah PAHLAWAN Karya : Helmy Fenisia Setelah kujejak langkah Meninggalkan waktu yang kian melaju Bersama asa dan cita – cita Kini kuberdiri di atas jaya Namun kusadar Semua tak mungkin datang begitu saja Teringat saat kueja kata pertama Semua itu karena dirimu Ketika kau tuang ilmu Pada gelas kehidupanku Kuteguk dan tak kusisakan haus Kuingat pada pahlawan tanpa jasa Yang membimbingku untuk melangkah Saat ini setelah masa merenggut jumpa Kita berdiri di sini merenda cerita Beda..tentu saja…sebab waktu memisah sekian lama Namun kau tetap pahlawan Yang membawaku menang Meraih masa depan Tentang Rasa Karya : Idris Siregar Sepeninggal surat ini Jangan pernah kita ceritakan lagi kisah pada malam malam memutih saat bulan dan bintang sembunyi di balik dua hati yang berseri lalu jam berdetak menuakan musim silampun berganti antri menuju masa tak kala pagi itu terlanjur kau dan aku membenci perasaan yang semkian tak tercatat dalam almanak maka, biarkan aku yang memilih mencari ruang lain buat senyum ini maka biar aku yang berlari mencari ruang lain buat batin ini sepeninggal surat ini jangan pernah merasa! Daun – Daun Gugur Karya : M.Raudah Jambak Daun daun gugur berterbangan ditiup angin Menari sendiri dengan Musiknya senidri Tariannnya membatasi musim-musim pada kemarau Hati yang jatuh di permukaan tanah yang kerontang Tersentuh olehku elusan kematian Riuh rendah di antara nafas-nafas resah, perhiasan di ruang ventilasi hidup, yang gelisah dalam bentang waktu yang pengap, Burung pun tak ingin lagi bernyanyi, menari dengan musiknya sendiri atau apa saja yang menghiasi cinta hari ini Di pekarangan rumah, seperti pasukan pemburu melepaskan anak-anak panah pada mangsanya. Memenuhi zona perjuangan tanpa melempangkan ruang sasaran, ruang peperangan. Anak- anak yang bermain tetap pada kekanakannya, berlari, meloncat, berteriak, menangis, tertawa, minum, dan makan di suapan kasih sayang ibunya setelah lelah atas segalanya dalam kesenangan dan kesedihan. Dan digurat-gurat wajah tak ada kesan yang menjanjikan . Dipenjelajahan belukar yang kutembus hanya daun-daun gugur, jalan telah kubuka untuk kau lewati Nyanyian Anak Kecil Karya Suyadi San Pak, Belikan aku permen mainan Biar aku senang punya banyak kawan Pak, Belikan aku bulan mainan Biar kusuruh ombak bergurauan Pak, Nantikan aku di ujung zaman Biar aku selamat di tempat tujuan Pak, Songsongkan aku nyanyian malam Biar kutangisi baju silamku Pak,Tolong tanyakan pada sang awan Apakah aku bisa bertanya Mengapa bintang tak lagi berwarna Pak, aku ingin kemerdekaan Tanpa kawan dan ancaman Pak, Jangan biarkan berteman Nanti aku kehilangan marwah yang diselipkan ibu dalam pangkuan Pak, Biar kupanah saja kemajuan zaman Biar kupanah saja kemajuan zaman Pak, Kan kutanya lagi ke mana dikau Rindu kenangan masa silam Tertatih-tatih aku , menyelusuri ombak Dipermainkan mabuk kemudharatan Tak kan kutanya lagi ke mana dikau Sebab aku sudah cukup senang keterasingan MEDAN BUKAN MESAWANG Karya : Hidayat Banjar Gurupatimpus tiba dan membuka lahan didapatnya air sebening kaca, hewan dan pepohonan tak bercuriga lalu ia bersorak ke angkasa: Madan orang-orang pun berdatangan tempat itu bukan mesawang beratus tahun kemudian, Guru membatu jadi tugu tak berjiwa Medan, rumah besar kita dalam keniscayaan sejarah, berubah keluarga besar kita dalam keniscayaan sejarah, berubah rumah dan keluarga besar kita dalam keniscayaan sejarah, melapuk pundamen yang didirikan Patimpus tergerus di sini tidak ada lagi kepala kampung yang berperan sebagai ayah pengasih berganti Bapak yang membentak ketika anak-anak keliru melangkah di sini tidak ada lagi tetes embun menyejukkan berganti air mendidih melepuhkan tidak ada lagi mentari hangat berganti terik menyiksa kita senantiasa menajamkan ujung penjarum untuk saling tusuk mengokohkan pendulum anak-anak yang tak punya dahan bergantung tercerai berai ditiup angin peradaban urban akankah kita biarkan Medan jadi mesawang? Bapak, berperanlah sebagai ayah, tatalah kota dengan bahasa rakyat yang adalah anak-anakmu jua janganlah terus-menerus menggusur pedagang kaki lima dan orang-orang jalanan atas nama keteraturan Bapak, sesekali bukalah baju kekuasaanmu berbaurlah dengan rakyat agar kau paham pedagang kaki lima, asongan dan lainnya adalah anak-anakmu jua penyangga kaki-kaki perdaban urban ayo lepaskan bujumu sesekali saja agar Patimpus dapat berteriak ke mana-mana : Medan bukan mesawang *Mesawang, kosakata Batakkaro yang artinya kira-kira sunyi, lapangan yang luas, berada di tempat yang tinggi sehingga membuat gamang (takut atau menakutkan). Kata kesawan boleh jadi berasal dari mesawang Rum 1965 Karya : Jones Gultom Tidurlah Rum, besok pagi-pagi sekali kau harus bergegas perang ini terlalu dingin untukmu kau masih terlalu muda untuk sebuah kepala ini bukan kali yang pertama ibu paham betul baunya; angin yang kaku, langit yang rapuh dan semesta yang beku setelah itu kepala-kepala, darah-darah, menempel di daun pintu. tak perlu lagi kau menangis kita telah kehabisan airmata tugasmu cukup menuliskan sejarah Tidurlah, biar ibu yang menunggu kau belum pantas memilih; mati atau mati! tak perlu kau meninggalkan tempat tidurmu hanya karena kami yang salah membangun rumah sendiri Tidurlah langit mulai menghitam telah kusembunyikan bulan untukmu kira-kira tujuh langkah dari tempat bapakmu dulu dihabisi kelak bila kau dewasa tanamlah sebatang pohon di sana dan bila kau rindu, panjatlah rantingnya lihatlah ke langit, di sana bapak-ibumu ibu sudah menunggu. Tidurlah Rum... tidurlah meski hari ini tak ada nasi yang mengenyangkan perutmu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar