Rabu, 02 Maret 2011

MEMAHAMI TEATER SEBAGAI GAMBARAN REALITAS KEHIDUPAN

Oleh : S.Ratman Suras

Di even Parade teater Sumatera Utara, Kelompok-kelompok Teater yang tampil telah hadir dengan menawarkan gagasan-gagasan. Gagasan inipun tentunya harus berani dibayar mahal oleh sutradara, yang sudah cukup dikenal debutnya di ajang perteateran Sumatera Utara, dengan berbagai tafsiran dari kalangan masyarakat penonton.
Gagasan itu begitu kompleks. Diantaranya keberanian mengawinkan aliran dan budaya yang berbeda. Konvensional dan Absurd distek. Realis atau semirealis. Monolog sepintas selalu hadir. Kostum yang begitu wah dicangkok dengan setting minimalis. Moderen dan tradisional pun disandingkan. Mungkin bayi multikulturalisme yang akan diharapkan lahir. Mengutip komentar dari kritikus seni lukis, keberanian sutradara menarik garis pantas menjadi bahan perenungan kita. Dan hal ini mengingatkan saya dengan konsep teater alternative (yang saya baca) yang pernah dihadirkan salah satu kelompok teater pemenang dari Jakarta, di ajang festival teater alternative yang pernah saya saksikan di Gedung Kesenian Jakarta, 2004 lalu. Beritanya juga dimuat diberbagai surat kabar di Indonesia.
Tema-tema beragam yang hamil dalam rahim pikiran sutradara-pun dilahirkan. Misalnya saja rakyat miskin yang bertabur di emperan rumah Negara Kaya. Manusia yang baru menikmati gurihnya buah harga diri dan sayur kehormatan, setelah dia merasa tidak berharga. Perjuangan. Barang-barang yang senilai dengan sampah justru menjadi lebih mahal dari berlian dengan lapisan mutumanikam. Betapa pertunjukan yang hadir mengajak kita merenung, berani memperolok-olok diri sendiri. Berani menertawakan diri sendiri sebelum menertawakan orang lain. Menertawakan ego dan kesombongan yang tidak kita sadari terus melimpah dari usus besar kita lalu memuntahkannya ke wajah siapa saja. Salahsatunya kita masih menganggap uang di atas segala-galanya. Dengan uang kita bungkam kebenaran yang keluar dari mulut siapa saja. Mengobral gombal. Harga diri sekedar cerita basi. Semisal tanaman Kantong Semar yang lahap menelan segala yang dianggap serangga. Atau Raflesia yang menelan tiba-tiba.
Sutradara berhasil melemparkan gagasan itu, walau banyak pesan yang seharusnya diserap menjadi tidak focus. Penonton kewalahan menerima pesan yang melebar begitu rupa. Sekadar membawa visual tingkah aneh, dialog nyeleneh, dan kostum yang terkadang melebeh, menjadi oleh-oleh, walau tidak seluruhnya, seperti yang ditampilkan Teater LKK dengan “BUI”-nya, Teater GENERASI dengan “KEOK atawa PEPETENG”-nya, atau Teater KARTUPAT dengan “Tuan Kondektur”-nya.
Pemain Berkarakter dan Alur Luber
Celetukan dan improvisasi hadir dari pemain yang rata-rata masih belia dengan kemampuan yang mulai menunjukkan kematangan. Vokal mungkin sedikit terbantu plus terganggu dengan mike seadanya. Dan jika kejelian dan analisa naskah dipertajam lebih dalam, maka peluang celetukan dan improvisasi akan lebih banyak lagi yang dapat dimanfaatkan, seperti yang dilakukan actor sebesar M. Raudah Jambak(GENERASI), Sabarto(KARTUPAT), dll. Ada yang berusaha menciptakan karakter yang orisinal. Ada pula yang mencoba-coba mengadaptasi karakater dari sinetron atau acara komedi semacam OB (officeboy), Bajai Bajuri, Extravaganza, dsbnya.
Sutradara sudah memberi peluang yang lebar untuk dimanfaatkan, berdasarkan situasi. Perubahan-perubahan terus dilakukan berdasarkan “selera” pasar. Tidak melulu terpaku pada naskah. Kalau perlu dialog ditambah, tokoh ditambah, lagu dihadirkan, atau malah sebaliknya. Sumber idenya tidak semata-mata dari sutradara, pemain diberi kebebasan member penawaran-penawaran asal dapat dipertanggungjawabkan. Mulai dari handproferti, kostum, karakter dialog, karakter tokoh, maupun penawaran lainnya. Peluang untuk menjadi seorang actor memang sudah diciptakan sedemikian rupa, hanya mungkin jam terbang yang perlu ditambah ruang dan waktunya, sehingga inner-act dapat hadir secara wajar.
Sutradara berusaha menghadirkan teater actor dalam setiap pertunjukan secara keseluruhan, kemudian difariasikan dengan teknik teater sutradara. Hanya saja, mungkin pengaruh kematangan, permainan terkesan terengah-engah. Durasi waktu terasa menjenuhkan dari pertengahan pertunjukan. Cahaya dan musik yang belum akrab. Juga terutama pada situasi tertentu. Fokus jadi bercabang. Lalu ditutup dengan penyelesaian yang belum selesai. Ibarat nonton sinetron, penonton beranggapan akan menemukan akhir yang memukau di episode berikutnya.
Akhirnya, setuju atau tidak seluruh pertunjukan yang diusung oleh semua kelompok teater tersebut telah menggariskan warna yang istimewa dalam Parade Teater Sumatera Utara. Tertawa itu ternyata tidak harus lucu. Tertawa itu ternyata bisa juga karena tidak lucu, sedih, kecewa atau marah. Tertawa itu ternyata juga bukan karena disebabkan tingkah orang lain, tetapi juga kelakuan diri sendiri. Tertawa pun dapat hadir dari kepedihan dan penderitaan hidup. Kita harus mampu menertawakan diri sendiri sebelum menertawakan atau ditertawakan orang lain. Tidak harus ngakak, senyum saja sudah cukup mewakili. Nasehat yang sangat bijak tentunya.
PEMAHAMAN TEATER
Memahami teater sebagai bidang seni yang multidimensi kita akan memasuki wilayah pemikiran yang cukup komplek. Sebab teater erat kaitannya dengan bidang seni yang ada. Di teater ada seni rupa, seni musik, sastra, tari, dan seni laku(peran) acting itu sendiri. Dan juga seni menejemen pengelolaan yang tak kalah perlunya bagi sebuah teater.
Dengan muatan yang begitu banyak, jika kita nonton sebuah pementasan teater, pemikiran kita pun akan bercabang kemana-mana. Namun di sini saya hanya akan mendekatkan diri dari kacamata yang umum. Bahwa teater adalah seni peran (akting) pelakunya yang menggambarkan kehidupan nyata yang terjadi dimasyarakat. Walaupun tak terlepas dari unsure seni yang ada tentunya. Sebab teater terlahir bisa jadi karena peristiwa-peristiwa yang melanda masyarakat tertentu pada suatu massa tertentu. Barangkali!
Melalui pendekatan ini, saya jadi lebih santai, menikmati pementasan teater LKK UNIMED (teater lakon kesenian kampus Universitas Negeri Medan) pada malam perdana parade teater Sumatera Utara, di gedung Utama Taman Budaya Sumut, pada 23/11/07, Teater GENERASI, pada 15/12/07, dan Teater KARTUPAT, pada 22/12/07 lalu. Parade teater Sumatera Utara itu berlangsung dari 23 Nopember- 22 Desember 2007, merupakan gawean Karang Taruna Sumatera Utara, yang perlu mendapat tempat di hati para pencinta teater, para penikamat, dan tentunya para pelaku teater yang ada di Sumut.
LKK, GENERASI dan KARTUPAT
Teater LKK UNIMED sebagai teater yang lahir di kampus, pada malam perdana mengusung “BUI” karya Indra YT, sutradara Heri Sukamto, cukup berhasil mengguncang pikiran-pikiran penonton, termasuk saya, untuk memasuki ruang batin dan menangkap apa yang terjadi di masyarakat negeri ini. Tema khususnya adalah kaum perempuan.
Dari zaman Nabi Adam dan ibu Hawa turun ke bumi, nampaknya kaum perempuan menjadi titik sentral tragedy yang terjadi di belahan bumi ini. Kisah epik Ramayana dan Mahabarata manjadi contoh yang paling dekat di hati bangsa ini. Bahwa laki-laki selalu menjadi biang kerok kesengsaraan kaum ibu Hawa ini. Perempuan lemah, laki-laki kuat. Perempuan jadi korban kebuasan laki-laki. Perempuan melawan, perempuan menerjang, baru laki-laki jadi korban.
Ketika panggung terbuka, penonton disuguhi adegan di sebuah ruang penjara para perempuan sebagai terdakwa hokum dunia penjara. Narapidana kaum ibu ini, terkesan kumuh, sempit, sumpek. Ada ranjang tingkat reot, harus ditiduri tiga napi. Bantal sebiji harus rebutan. Siapa kuat, siapa dapat. Adegan mengalir datar. Sesekali penuh kejutan. Pada awalnya capek juga pikirn saya nonton LKK kali ini. Namun makin jauh detik ke menit makin jadi asyik.
Usai adegan sipir namboru yang galak membawa napi baru yang pendiam. Lakon terus mengalirkan cerita sesungguhnya. Latarbelakang kehidupan masa lalu, yang membawa para napi perempuan ini dihukum pun mengalir kelam namun penuh darah. Sebab, rata-rata mereka membunuh kaum laki-laki. Ada yang membunuh karena diperkosa. Ada yang membunuh karena selalu disiksa sang suami, bahkan ada yang membunuh ayah kandungnya sendiri sebab dijadikan budak seks.
Sampai di sini saya membatin, fenomena kasus seperti ini memang sering terjadi di negeri ini. Indra YT, dan Heri Sukamto sebagai sutradara, dan para pelakon yang berperan pada cerita BUI, telah berusaha memeksimalkan kerja kreatifnya. Kiprah anak-anak LKK UNIMED malam itu berhasil memotret kusam kaum perempuan. Pesan krisis moral dan kritik social lewat teater memeng perlu kerja keras dan cucuran keringat.
Teater GENERASI yang mengusung “Keok atawa Pepeteng” karya Imran Pasaribu, disutra-darai Suyadi San dan asisten sutradara M. Raudah Jambak juga lebih menggelitik. Dengan kombinasi pemain lama dan baru terlihat variasi pertunjukkan jadi lebih menonjol. Ada warna Teater KOMA-nya Nano Riantiarno.
Suminta (M. Raudah Jambak) cukup lihai menjaga benang merah pertunjukan. Cerita yang berkisah tentang sebuah perusahaan yang gonjang-ganjing akibat ulah Rambing (Suyadi san), awalnya terlihat sangat serius dan tegang menjadi sejuk dengan improvisasi yang memukau.
Setting yang sederhana terkesan hidup dengan bantuan cahaya walau sedikit ada kesalahan di beberapa adegan. Musik-pun sangat membantu pertunjukkan tersebut menjadi lebih hidup. Terlihat pada penampilan itu keseriusan sebuah pertunjukkan.
Penguasaan ruang dan areal pertunjukan justru menambah keseriusan penonton untuk menikmati setiap adegan yang dihadirkan. Penonton seolah bertanya apa selanjutnya? Jumlah penonton yang cukup banyak itu terlihat adem menunggu sampai kisah demi kisah berakhir.
Tuan Kondektur-nya KARTUPAT terjemahan dari karya Anton Chekov, sebenarnya adalah naskah yang sudah jadi dan lucu. Begitu dibawa oleh KARTUPAT kelucuan tersebut terkesan dipaksakan. Kujang (Sabarto) sempat terpancing dengan ulah beberapa penonton yang “nakal”. Ada kesan kurang sportif memang, tetapi untung Kujang tidak larut dengan “kenakalan” bebe-rapa penonton yang mungkin kurang menghargai sebuah “kesakralan” pertunjukan.
Raswin Hasibuan sendiri sebagai sutradara memang sudah kita akui sepak terjangnya. Pengalaman bertahun-tahun dan berpuluh-puluh pertunjukkan untungnya memberikan warna yang berbeda. Sehingga terlihat kesalahan-kesalahan kecil tersebut dapat ditutupi dengan apik. Pertunjukan menjadi segar sesuai dengan ciri khas KARTUPAT.
Akhir kata, tulisan ini tidak berpretensi apa-apa. Seni itu relative. Mungkin apa yang saya hidangkan ini jauh panggang dari api. Malah mungkin tidak benar sama sekali, saya memaklu-minya. Silap dan salah adalah milik manusia semata. Kesempurnaan dan kebenaran hakiki adalah miliknya, Sang Maha Pencipta Cinta. Oleh sebab itu bravo untuk semuanya. Terutama untuk panitia penyelenggara Parade Teater Sumatera Utara tanpa kecuali. Terimakasih. Salam

Sei Blutu, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar