Rabu, 02 Maret 2011

Zikir Penyair Belia dalam Puisi

Data Buku

Judul: Dua Pintu Kita
Penulis: Utomo Soconingrat
Desain Cover: Pratama DP
Penerbit: Hening, Bekasi
Terbit: April 2009
Tebal: xiii + 39 hlm: 14 x 21 cm

Oleh HASAN AL BANNA

“Aku lahir dalam keadaan putih suci/ Nikmat terberi/ Kesenangan terbangun/ Kesedihan terperih/ Namun lalai bersyukur// Ya Allah, taburkan ampunku/ Jauhkan kami dari durhaka dan iri dengki/ Jernihkan pikiranku dari kegelapan/ Bersihkan pikirkanku dari mimpi dunia/ Sucikan hatiku dari kotoran/ Tuntun langkahku, agar ku tak sesat/ Menuju jalan pintu-Mu”. (Puisi “Menuju Jalan Pintu-Mu”)
* * *
Hakikatnya, zikir kepada Allah tidak semata bergulir ketika seorang muslim harus bersila di atas sajadah. Siapapun boleh berzikir sambil berdiri, berjalan, atau berlari. Di pasar silakan mendesirkan zikir. Berzikir di atas kendaraan, boleh. Pada hilir yang lebih luas, zikir adalah peristiwa mengingat Allah. Memohon ampun kepada Allah itu zikir. Menakjubi Allah yang Agung, ya, zikir. Menyadari diri sebagai makhluk yang terbatas, pun sewujud zikir.
Lantas, ketika peristiwa-peristiwa yang mengaitkan seorang manusia dengan Sang Maha Pencipta digelar di dalam baris-baris puisi, zikir jugakah? Ya, puisi-puisi yang memuja-muji Allah boleh diganjar dengan sebutan puisi zikir. Sesungguhnya, banyak puisi yang menyerahkan kekuatan kata dan maknanya untuk membesarkan Sang Khalik. Namun, coba sebutkan berapa jumlah penyair belia di negeri ini? Lantas, siapa di antara penyair belia itu yang menulis puisi-puisi yang bernapaskan zikir?
10 Tahun, 30 Puisi
Tersebutlah Utomo Soconingrat salah satu penyair belia yang mencoba memahat keakbaran Pencipta Semesta dalam puisi. Dan puisi-puisi tersebut menjadi bagian dari Himpunan Puisi “Dua Pintu Kita”. Memang, 30 puisi Utomo yang termaktub dalam “Dua Pintu Kita” tidak semata mengandalkan tema yang bersinggungan dengan persoalan Ketuhanan, melainkan juga kait-mengait dengan ranah keindividuan penyair sebagai manusia dan keterlibatanya sebagai makhluk sosial.
Utomo Soconingrat lahir di Jakarta, 13 Oktober 1999. Saat ini Utomo bersama kedua orangtuanya; EM. Yogiswara dan Lilik Bekti Lestari tinggal di Jambi dan sedang menuntut ilmu di SD Islam Al-Fallah Jambi. Puisi-puisi Utomo sudah menyebar di Harian Pagi Jambi Ekspres dan Harian Pagi Jambi Independent. Inilah persembahan seorang anak laki-laki yang masih berusia 10 tahun.
Dr. Sudaryono, M.Pd., dalam apresiasinya tentang “Dua Pintu Kita” menyatakan, “...Puisi yang digubah Utomo Soconingrat secara tematis berkenaan dengan tiga dimensi, yakni persoalan personal-individual, persoalan sosial, dan persoalan religius (dalam pengertian yang luas)...”
Selanjutnya, Dr. Sudaryono, M.Pd., mengungkapkan, “...tema boleh sama, namun yang menarik adalah bagaimana tema itu diekspresikan oleh penggubahnya ke dalam puisi. Ini berarti bahwa daya tarik puisi terutama bukan terletak pada tematiknya, melainkan pada daya tarik ekspresinya.”
Meskipun demikian, adalah sebuah hal yang menarik ketika anak seusia Utomo berbicara tentang Allah; yang nyata dalam keyakinan, namun abstrak dalam wujud. Dalam hal ini, Utomo malah termasuk berani merambah tema keagamaan, bagaimanapun ia mengekspresikannya dalam puisi.
Lantaran itu, karya-karya dengan tema ini menjadikan puisi-puisi zikir Utomo terlihat lebih menonjol, seperti dalam “Matahari”, “Dua Pintu Kita”, “Melihat Kebesaran-Mu”, “Menuju Jalan Pintu-Mu”, “Tobat di Perut Paus”, “Subuh”, “Yang Maha Esa”, “Berpuasa”, dan “Ramadhan”. Bagaimanakah Allah dalam pandangan Utomo?
Pengagum Allah
Utomo adalah makhluk yang mengagumi Allah! Dengan kekaguman tersebut, Utomo juga sedang menyatakan batapa tak berdaya ia sebagai manusia. Kebesaran Allah dan kekerdilan manusia menjadi dua titik yang kerap dibandingkan Utomo dalam puisi-puisinya. Simak puisi “Yang Maha Esa” di berikut ini.
“Ya Allah/ Engkau telah membuat dunia begitu indah/ Tapi kenapa kami tak menjaganya// Ya Allah/ Engkau telah menciptakan alam/ Tapi kenapa kami tak mempelajarinya// Ya Allah/ Lewat Nabi Muhammad/ Sholat ditegakkan/ Tapi kenapa masih ada orang tak menjalaninya// Ya Allah Kau ciptakan kami menjadi manusia sempurna/ Tapi kenapa kesempurnaan tak kami pelihara// Ya Allah/ Hanya engkau yang tahu//”
Perbadingan antara dua titik tidak hanya diseiringkan Utomo antara kekuasaan Allah dengan kebutuhan manusia secara terang-terangan. Meskipun, pada hakikatnya, apapun yang dibutuhkan manusia di dunia ini, bukankah milik Allah semata? Maka, tatkala manusia memerlukan air, api, angin, tumbuhan, makanan, tanah, termasuk bulan, bintang, serta matahari, tak akan bisa memindahkan permohonan selain kepada Allah. Puisi “Matahari” di bawah ini adalah sebuah permohonan kepada matahari sekaligus permintaan kepada Allah. Bukankah matahari diciptakan; ditegakkan dan direbahkan oleh Allah?
Matahari
Sampai kapan kau menyinari bumi
Jangan pergi dari bumi
Kalau kau tak ada bumi bak kubur
Gulita dalam gelap

Matahari
Sampai kapan kau menjadi sumber kami
Jangan alfa memberi cahayamu
Jika kau tak ada bumi mati

Matahari
Sampai kapan apimu meredup
Gaib bersama bumi

Jambi, 20 Februari 2008

Memilih Antara Dua Pintu
Kegemaran Utomo menyandingkan hal yang bertolak belakang; kuat-lemah, suci-kotor, terang-gelap seolah ingin (kembali) menyatakan kekuasan Allah yang menciptakan banyak hal di atas dunia dengan berpasangan. Ya, hitam-putih, salah-benar, tidur-bangun, dosa-pahala, serta neraka-surga. Manusia diberi pilihan! Syukur atau ingkar, lurus atau belok, kiri atau kanan? Setiap manusia pasti menginginkan kebaikan. Ingin nikmat, ingin rahmat, ingin pahala, ingin surga. Puisi “Dua Pintu Kita”, meskipun bercerita tentang neraka dan surga, adalah sebuah perwujudan betapa pilihan di atas dunia kerap menunggu.

Dua Pintu Kita

Kita tidur di bumi
Bangun di akhirat
Kelak kita dilempar di dua pintu
Neraka atau surga

Kita tidur di bumi
Bangun di akhirat
Tiba waktunya
kita berbaris melewati dua pintu
Neraka atau surga

Dua pintu kita
Senantiasa menunggu

Jambi, 21 Februari 2008

Hidup memang dihadapkan dengan peristiwa memilih! Lantas, manusia, siap tidak siap, harus mampu menanggung segala risiko dari pilihannya. Siapa ingin menuai kebaikan maka tanamlah kebaikan. Jika bahagia hendak direngkuh, tempuhlah jalan menuju kebahagian. Ingin surga? Rajinlah menabung amal! Kalau itu dijalankan, itulah namanya upaya dan ikhtiar. Upaya dan ikhtiar adalah landasan bagi manusia untuk pasrah! Pasrah terhadap ketentuan Allah. Seperti kepasrahan Utomo dalam bait terakhir puisi “Menuju Jalan Pintu-Mu”:
Aku lahir dalam keadaan putih suci
Hidup di bumi bangun di surga
: semua hak Tuhan sepenuhnya


Penulis adalah alumnus FBS—Universitas Negeri Medan,
Penenun tulisan fiksi dan non fiksi,serta pengoleksi buku.
Kini bekerja Balai Bahasa Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar