Rabu, 02 Maret 2011

Monolog “Celah”

Perempuan, Tubuh, dan Penindasan

Oleh ILHAM WAHYUDI





Banyak hal yang sebenarnya bisa memperkaya sebuah pertunjukan monolog. Pemanfaatan tubuh dan benda-benda di atas pentas adalah salah satu cara menyikapi hal tersebut. Jika tidak, sesungguhnya sebuah monolog sedang merancang riwayat kemiskinan bagi dirinya sendiri.
Langit memang memberi sedikit “celah” kepada pertunjukan “Monolog Celah”, Sabtu, 04 Desember 2010 di Teater Tertutup, Taman Budaya Sumatera Utara. Bagaimana tidak, hampir setiap petang langit Medan mengguyurkan hujan. Namun, pertunjukan Celah adalah “pengecualian”. Mungkin itulah salah satu “keberuntungan cuaca” yang menyusup pada pertunjukan “Monolog Celah” sore itu.
Ditonton oleh sekitar 500 penonton, pertunjukan monolog yang berjudul Celah karya Indah Zuhairani Siregar atau yang biasa dipanggil dengan Bunda Djibril ini, mampu mengundang tepuk tangan penonton di akhir pertunjukan. Selain sukses memainkan tiga sosok yang berbeda, aktor juga berhasil memainkan benda-benda di atas panggung pertunjukan dengan terampil.
Benda-benda seperti selendang, tali-tali putih panjang yang menggantung, serta sebuah kotak yang juga menggantung, mampu ditafsirkan aktor sebagai benda-benda yang tak asing lagi bagi penonton. Padahal, sebelum aktor memberikan tafsiran pada benda-benda di atas panggung, penonton jelas tampak merasa asing dan aneh pada benda-benda di atas panggung.
Keberhasilan aktor memfungsikan benda yang ada di sekelilingnya terlihat jelas saat si aktor berperan sebagai Ibu. Aktor Celah ternyata mampu merubah selendang menjadi bayi, ayunan dan botol dot. Bahkan di salah satu adegan, aktor juga berhasil menjadikan selendang sebagai dinding, jendela, maupun lelaki brengsek.
Nah, bukankah kepekaan akan fungsi benda-benda di atas panggung adalah salah satu nilai keberhasilan seorang aktor? Namun sayang, ketika kepekaan tidak sempurna ditunaikan, kekayaan aktor pun di beberapa bagian menjadi sumir.
Berbicara tentang sinergi antara aktor dan dua penari yang merupakan bagian dari kesatuan pertunjukan, termasuk berhasil dikemas Celah, yang mampu memberikan warna tersendiri. Pertunjukan “Monolog Celah” yang disutradarai oleh M. Raudah Jambak ini merupakan pertunjukan yang diproduksi oleh Komunitas Home Poetry. Walau pun Komunitas Home Poetry adalah sebuah komunitas sastra, tetapi pertunjukan “Monolog Celah” bukanlah pertunjukan pertama yang pernah digelar oleh Komunitas Home Poetry.
Pertunjukan “Monolog Celah” diawali dengan sebuah tarian dari sesosok perempuan yang membelakangi penonton. Sesosok yang tak lain adalah tokoh utama (aktor Celah) dalam cerita. Sementara itu, di balik kain putih yang menggantung menghadap sesosok perempuan, tampak siluet dua penari yang menyimbolkan sifat maskulin serta feminim dalam diri manusia. Tak lama setelah tarian berhenti, sesosok perempuan itu pun memulai ceritanya.
Dengan bangunan arsistik yang cukup sederhana, aktor Celah pelan-pelan meneror penonton dengan kalimat-kalimat puitis yang penuh metafora. Kesedihan demi kesedihan yang dirasakan si tokoh utama coba ia tebarkan ke seluruh penonton. Namun, apakah kesedihan musti dilontarkan dengan vokal yang lemah? Apalagi beberapa petikan dari kalimat yang dilepaskan aktor cenderung absurd. Beruntung balutan gerak yang dimunculkan aktor di atas panggung mampu menepis kekaburan makna sekaligus vokal dari kalimat-kalimat absurd yang meluncur ke gendang telinga penontong.
Naskah Celah awalnya adalah sebuah puisi panjang Bunda Djibril mengenai sosok perempuan yang ingin lepas dari masa lalu yang suram. Namun, dengan sentuhan dingin sutradara, puisi panjang itu pun akhirnya berhasil disulap menjadi adegan-adegan yang sarat makna.
Cerita berlanjut pada adegan melahirkan. Sesosok perempuan yang menari di awal pertunjukan, kini telah menjadi seorang Ibu. Dengan perjuangan yang berat, ia pun harus membesarkan buah hatinya tanpa sosok seorang ayah. Hal ini membuat Ibu muda itu akhirnya gamang dan frustasi membesarkan anaknya. Ia pun mengalami sedikit depresi, hingga terkadang lepas kontrol.
Dengan dukungan musik yang nyaris sempurna, adegan-adegan pada pertunjukan Celah menjadi terasa begitu nyata. Apalagi ditambah dengan tarian-tarian yang menyimbolkan setiap peristiwa masa lalu yang dialami si tokoh utama. Kombinasi ini pulalah yang membuat durasi pertunjukan selama lebih kurang satu jam menjadi tak terasa.
Monolog Celah sangat jelas menggambarkan bagaimana perjuangan seorang perempuan (Ibu) dalam membesarkan anaknya tanpa figur seorang Ayah. Kemarahan dan kebencian akan masa lalu sang tokoh perempuan terlihat jelas hampir di sepanjang pertunjukan. Hal ini bukanlah tanpa sebab, menjadi korban pemerkosaan telah membuat si tokoh perempuan lebih posesif. Terutama saat membesarkan anaknya yang kebetulan berjenis kelamin perempuan.
Di sinilah sebenarnya letak tantangan bagi aktor Celah. Perubahan karakter yang tak beraturan dari seorang Ibu, menjadi Anak dan kemudian menjadi Ibu Tua, tentu membutuh konsentrasi yang baik. Sebab, jika tidak, “kecelakaan” dalam memerankan karakter bisa saja terjadi. Namun, untunglah sutradara dapat menyikapi hal itu dengan menghadirkan dua penari dalam pertunjukan Celah sebagai jeda perubahan karakter aktor.
M. Raudah Jambak selaku sutradara dalam pertunjukan “Monolog Celah” dengan optimal memfungsikan kemampuan tubuh aktor dalam melakukan eksplorasi gerak. Ia juga berhasil memaksimalkan kemampuan dua penari dalam pertunjukan Celah dengan musik yang memukau oleh Al Koboy, sehingga pertunjukan monolog Celah bukan hanya menjadi sebuah pertunjukan teater semata. Ya, kalau bisa dikatakan pertunjukan Celah adalah sebuah pertunjukan sendratasik (Seni Drama, Tari, dan Musik). Sampai batas ini, pertunjukan Celah telah berhasil menunaikan kerja seni yang maksimal, meskipun pada batas yang lain masih layak untuk diperdebatkan.


Ilham Wahyudi,
penikmat seni pertunjukan, penyair,
dan penulis cerpen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar