Seribu Sungai Seribu Muara Seribu Masa Lalu
Gairah menyelinap di penghujung malam
ada percikan api memuai kelopak bunga
dan sepasang dusta melabuhkan gigilnya
ketika gelombang pasang menagih janjinya
seperti kabar yang sampai di telingamu hari ini
dari rahim malam telah lahir seribu anak-anak
tanpa masa lalu
Persetubuhan yang kita sepakati dapat menghangatkan
janji telah jadi ritual bagi peniadaan anak-anak negeri
yang tidak kuasa menyebut nama pahlawannya
di kedua pangkal pahanya terbuhul mimpi yang tak henti
henti meneteskan darah
kelak dewasa dia akan mengepal tangan dan berdiri menantang
matahari mengulangi ikrar leluhurnya : right or wrong it is my
country !
Sejak itu gelombang laut bertahun-tahun tidak memperlihatkan
kemilaunya sedangkan anak-anak negeri masih saja setia mengikatkan
kakinya pada selangkang sejarah dan meyakini kesabaran
adalah persaudaraan
kerendahan hati adalah sikap jiwa yang sudi berbagi
toleransi adalah kesabaran menahankan perih tanpa bertanya
dan memaklumi kenaifan sejarah seperti kita memaklumi luka
piramida
Barangkali
bukan kesaksian yang kita butuhkan,
kepalan tangan yang selalu siap mengayunkan kemarahan
tapi sebidang tanah lapang di mana anak-anak negeri
dapat dengan leluasa meneriaki masa lalunya menagih janji mentari
sebab masa lalu adalah seribu anak sungai
mengalir dari seribu masa lalu
mencari seribu muara
Medan, 1999
SAJAK-SAJAK SOFYAN TANJUNG :
Aku adalah Musa di Bukit Thursina
Di dalam genggamannya ada janji
Di dalam dadanya membara gairah mencari
Dia bawa janji berlari antara Safa dan Marwa
Nazareth dan Bukit Golgota, Ayoda dan Gangga
Mengendus jejak laki-laki terpilih
Aku adalah Musa di Bukit Thursina
Lelaki tanpa alas kaki memahat keabadian
Matahari di angan-angannya
Bersama Nietsche
Sartre
Mansur
Gandhi dan
Fansuri
Aku mengembara sepanjang lorong-lorong waktu
Menjelajahi hangatnya padang-padang sejarah
Eksistensialisme
Humanisme
Wujudisme
Fantaisme
Komunisme
Tuhan,
Jangan biarkan aku sendiri dalam pengembaraan ini
Tunjukkan jalan aku kembali
Kampung halaman yang sepi
Di mana segala isme melebur dalam
Anggur kegairahan
Rinduku
Rindu para Mu’allaf
Rindu rupa
Rindu sapa
Medan, 89-99
SAJAK-SAJAK SOFYAN TANJUNG :
MUSA I
(sudah sampaikah lelaki itu kemari?)
Tatkala mimpi beranakkan mimpi
Dan malam menjelma pesta masturbasi
Sang jadah menggenggam dendam
Mendaulat diri jadi penguasa negeri
Sejak itu ibu pertiwi tak pernah lagi
Melahirkan bocah laki-laki
Para tentara adalah bedil-bedil tua
Lelehan mani yang tumpah dari dusta yang
Digumamkan. Sejarah tanpa laki-laki
Adalah anjing penyalak bayang-bayang sendiri
Berharap angin’kan berhenti mewarna diri
Semua itu berpusar pada gedung-gedung parlemen
Dan kandang-kandang sapi. Sorak para kasim
Memantik kembang api di kemaluannyadan lenguh
Panjang menikam diri
Lelaki adalah tragedi bagi penguasa negeri
Lelaki adalah bara api gairah sungai Nil
Mewujudkan mimpi
Lelaki adalah mereka yang pilih berkelahi
Ketimbang berdalih
Lelaki adalah mereka yang pilih mati berkalikali
Demi menegakkan harga diri
Sudah sampaikah lelaki itu kemari
Ke negeri ini negeri para banci
Dalam gairah sungai Nil yang tak pernah
Henti mengalirkan sejarah darah laki-laki
Medan, awal ’99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar