Rabu, 23 Februari 2011

Enam wajah yang berbeda

28 Oktober 1978

DENGAN duit besar berlangsunglah Pekan Teater 6 Kota di TIM, 10-17 Oktober lalu. Direktorat Pembinaan Kesenian Departemen P&K yang membiayai kegiatan ini, di samping mengharapkan peserta dapat menjadi etalase untuk menunjukkan perkembangan teater di daerah, menyediakan juga kesempatan diskusi. Menurut Kasim Akhmad, gagasan menyelenggarakan Pekan Teater Nasional yang diikuti seluruh daerah di Indonesia sudah terpikir sebelum 1962. Adalah yang disebut Musyawarah Teater Nasional di Yogyakarta yang masa itu membentuk Badan Pembina Teater Nanal untuk menjelmakan gagasan tersebut. 1971 diselenggarakan pekan teater yang diikuti Palembang, Ujung Pandang, Banjarmasin dan Surabaya. 1976 Pekan Teater 4 Kota: Medan, Padang, Ujung Pandang dan Bandung. Sekarang, 6 kota yang terpilih adalah Banjarmasin, Medan, Ujung Pandang, Palembang, Padang dan Bandung. Sinrilik Masing-masing daerah dibebaskan untuk memilih cerita. Hanya saja diberikan catatan agar kesempatan ini benar-benar diisi dengan cara memanfaatkan kekayaan daerah yang dimiliki. Kalau tidak menggali cerita tradisionil, setidak-tidaknya mempergunakan bentuk penyampaian teater tradisionil. Sementara itu Dewan Kesenian Jakarta -- lewat Komite Teater -- yang ikut andil dalam kerepotan ini, memperlebar lagi kemerdekaan itu dengan melapangkan dada peserta bahwa mereka tidak dituntut untuk menampilkan puncak prestasi daerahnya. "Kita harus menghindarkan kecenderungan anggapan bahwa ini adalah kelompok teater yang paling baik dari kota bersangkutan," tulis Komite Teater di dalam folder. Dengan keleluasaan yang rasanya amat diumbar itu muncullah di Teater Arena kelompok Banjarmasin dengan cerita Lambung Mangkurat Di Negara Dipa. Naskah ditulis dan langsung disutradarai Adjim Ariyadi. Dramawan ini merupakan tulang punggung kegiatan teater modern di Banjarmasin sampai saat ini. Ia pernah mengunyah pendidikan di Akademi Seni Drama dan Film (ASDRAFI) di Yogyakarta. Bergaul rapat dengan WS Rendra. Menulis banyak sandiwara dari perbendaharaan Kalimantan zaman dahulu. Tetapi pertunjukannya terlalu lamban untuk publik Jakarta. Ceritanya yang memberat, karena lebih merupakan perjalanan pikiran penulis, kadang tak mampu membatasi kata-kata apalagi karena tidak ditampung dengan ketangkasan para pemain. Meski mereka telah berusaha mengorek gaya penampilan teater Mamanda Banjarmasin, terasa amat lesu. Sejumlah kritik sosial, dagelan agak kasar yang rupanya dimaksud akan jadi daya pikat penampilan itu, tidak menolong. Hanya terasa bahwa Banjarmasin memiliki semangat, dan latar belakang, walau kekurangan bandingan. Pertunjukan kedua datang dari Medan dengan lakon Si Sarindan. Naskah ditulis oleh Z. Pangaduan berdasar ide Cek Rahman. Sutradaranya D. Rivai Harahap. Ini nama baru, karena sementara ini kita berkenalan dengan Teater Medan di bawah Djohan Nasution. Kita merasakan adanya kesegaran berbaur dengan usaha untuk memperhitungkan kekayaan daerah. Dengan sebaris gendang berjajar di belakang, pertunjukan penuh lagu dan tari. Tempo, gaya permainan, pengarahan cerita, menunjukkan adanya kehidupan teater modern yang cukup wajar. Tontonan menjadi dinamis dan atraktip. Apalagi dibantu banyak oleh seting dan lampu yang dikerjakan Rujito dengan baik sekali. Medan dengan penampilan kali ini menunjukkan perhatian dan kemajuan dibandingkan sebelumnya. Terutama sekali karena faktor lingkungan yang hendak mereka angkut sempat menyatu dalam pertunjukan sebagai ekspresi -- bukan hanya tempelan. Ujung Pandang membawakan cerita I Tolok -- ditulis oleh Rahman Arge dan disutradarai oleh Aspar. Hampir sama dengan Medan, kota ini mendapat dukungan kuat dari set Rujito yang amat sugestif. Didahului oleh seni bertutur yang disebut sinrilik, dikisahkanlah tokoh I Tolok, seorang penyamun sekaligus pahlawan yang sempat merepotkan Belanda. Pengarang mencoba untuk menempatkan tokoh ini sebagai manusia biasa. Penggarapannya sangat menitikberatkan tekanan pada penataan ruang dan bloking. Dari komposisi-komposisi yang kelihatan sekali hendak dijaga sutradara, terasa ada keinginan sadar untuk membuat pertunjukan atraktif Secara visuil. Mereka cenderung ke arah teater "kontemporer" -- sebagaimana yang dilakukan oleh banyak teater remaja sekarang di Jakarta. Palembang muncul dengan cerita Tambangan -- disutradarai oleh Nurhasan. Berbeda dengan pertunjukan terdahulu, Palembang mengetengahkan cerita sehari-hari tentang seorang tukang jukung yang lupa daratan. Ia menikahi dua orang perempuan yang melahirkan anak laki-laki dan anak perempuan. Kedua anak yang hidup terpisah itu pada suatu kali bertemu, dan berpacaran. Pada akhir cerita terbukalah rahasia, dan tentu saja tukang jukung itu akhirnya menyesali tingkahnya. Cerita digarap dalam set sederhana yang dihuni meja kursi, balai-balai dan dua pintu. Set yang merupakan ciri khas teater tahun 50-an dan ciri khas sandiwara TV sekarang. Yang menarik adalah kemiskinan set itu menjadi mengharukan dan tiba-tiba terasa orisinil di antara pertunjukan lainnya. Namun bila kita pikirkan, terasa Palembang menyuguhkan sesuatu yang terlalu bersahaja -bukan sesuatu yang sederhana karena pertimbangan yang matang. Mereka tidak bisa berbuat lain. Jadi inilah sebuah potret yang baik untuk sebuah daerah yang teaternya terbengkalai. Dari Padang, sekali ini kita tidak berhadapan dengan Wisran Hadi -- penulis sandiwara dan sutradara yang merupakan tokoh di Padang masa ini. Entah oleh pertimbangan apa, muncul cerita Hari-hari Terakbir Datuk Katumanggungan yang disutradarai Chairul Harun. Pementasan didukung oleh 11 pemain ulu ambek. Kabarnya di antara para pemain terdapat petani. Proses penggarapannya pun unik: para pemain di kota terjun ke bawah untuk belajar bermain dari para petani itu. Yang lebih menarik adalah kemudian hasilnya, yang ternyata tidak penting. Di samping memang kita dapat melihat gaya penampilan dan bentuk teater tradisionil setempat, pertunjukannya lamban tidak dan tidak memikat. Mudah-mudahan untuk hal ini kemudian yang disalahkan bukan bentuk teater tradisionilnya. Kelemahan sebagian besar terletak pada naskah dan penyutradaraan, yang lebih bermaksud menggali -- bukan menjaga keutuhan penampilan. Di sini yang ditonjolkan bukan bobot artistik, tetapi penampilan warna lokal. Sebagai gong penutup muncul Bandung dengan cerita Pengadilan Anak Angkat karya Bertholt Brecht -- disutradarai oleh Suyatna Anirun. Inilah satu-satunya cerita terjemahan yang dipentaskan. Ada usaha memberinya warna lokal lewat kostum, ilustrasi dan pengadeganan. Seluruh pemain memakai topeng. Kecuali Yayat Hendayana, yang mula-mula bertindak sebagai dalang, rasanya tak ada pemain yang dapat menembus topeng dan menunjukkan permainan yang mengesankan. Suyatna yang pernah dengan lembut-kocak dan padu mementaskan karya Moliere berjudul Tabib Tetiron, sekali ini tak dapat mempettahankan kepantasan tempo permainan. Adegan terakhir di dalam pengadilan memang komunikatif dan kocak terutama karena permainan Yayat sebagai Hakim Asdak. Bandung, yang diakui oleh Saini KM -- dalam diskusi -- sebagai lebih berkiblat pada teater Barat daripada teater tradisionil, memang menjadi kikuk untuk dipas-paskan mengenakan gincu alam Priangan. Sementara busana dan pengadeganan dan mengingatkan kita pada ketoprak, tiba-tiba gerak-gerik pemain, stilisasi yang mereka lakukan, terasa seperti tingkah yang ingin jadi orang Barat. Kontradiksi ini merupakan problim yang seharusnya menjadi bahan garapan dalam diskusi. Sangat terasa kurangnya kebutuhan untuk tukar pengalaman. Para peserta dari keenam daerah lebih cenderung hanya untuk bermain. Maka peristiwa ini kehilangan kegairahannya sebagai pertemuan, dan menjadi peristiwa formil. Demikianlah diskusi-diskusi berlangsung dengan sepi -- ditiadakan pun rasanya tidak apa. Seandainya di masa yang akan datang masih sanggup lagi disediakan biaya untuk mengongkosi peristiwa semacam ini, kita doakan agar kebutuhan tersebut disulut. Tentu saja bukan untuk memancing supaya orang ramai berdebat saja. Tapi untuk menukar pengalaman secara tulus. Lalu memikirkan kemungkinan. Putu Wijaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar