Selasa, 08 Februari 2011

M e s i r

M.Irsyad A. Sungkunan Lubis

“Bunda, kan kurindu senja kita ini. Kan kusimpan di saku hatiku.” ujar adik bungsuku sehari sebelum keberangkatannya melanjutkan studi ke Al Azhar University, Mesir.

Kulihat ia bersimpuh di pangkuan bunda, meramu rindu untuk bekalnya di negara orang. Membelai lembut rambutnya yang ikal dan berpesan, “anakku, hujan emas di Negara orang, hujan batu di Negara kita, pastilah orang memilih hujan batu.” Itu artinya sulit hidup diperantauan, pikirku.

Azan berkumandang dari mesjid yang tak jauh dari rumah kami. Semua beranjak, bergerak hendak menunaikannya.“Kita ke mesjid” ajakku pada adik bungsuku yang hanya satu. Kami hanya bertiga tinggal di rumah tua warisan ayah. Bunda, aku dan adik bungsuku. Usai shalat berjama’ah, tak langsung kuajak adikku pulang, tapi berdiskusi di joglo halaman mesjid.

“Anwar, bunda sudah tua, kuharap kau tak mengecewakannya. Ia mengharapkanmu seperti ayah yang sama kita cinta. Semoga Tuhan merahmatinya,” aku membuka cerita. “Ia bang, aku mengerti. Titipkan do’amu untuk kita disetiap hela nafas yang ada.”

“Kau juga tahu, bunda hanya guru honor di salah satu sekolah dasar di kampung kita. Gajinya hanya cukup untuk makan bertiga sebulan. Kami mengumpul uang untuk biayamu ke Mesir, sejak kau mengatakan ingin kesana pada bunda. Kau ingat itu? Saat kau kelas 1 Aliyah dulu.”

“Bang, saat aku pulang nanti, kan kubawa berjuta butir untaian ilmu untuk kita dan orang-orang, aku tak kan mengecewakan kalian, apalagi melukis tangis di pipi bunda. Jaga dia selama kepergianku bang! Jangan larut dalam kerjamu, jika kau pulang malam, berkabarlah padanya, agar ia tak khawatir.”

“Ya, aku mengerti. Pasti bunda telah menghidang makanan yang enak di meja makan kita. Mari menjamahnya.” Kami pulang beriringan, mencipta tawa disetiap langkah, agar ia tak terlalu gelisah dengan bekal rindu yang kan dibawanya. Kulihat temaram lampion kecil di dapur. Bunda pasti telah mempersiapkan makanan tuk disantap putera kecilnya.

“Bunda, harum aroma masakanmu pasti tercium ke kempung tetangga,” gurau adikku yang biasa ia lakukan pada bunda. Tanpa banyak bicara, ia langsung mengisi piringnya dengan sedikit nasi dan lauk yang memenuhinya. “Kalau itu namanya bukan makan nasi pakai lauk, tapi makan lauk pakai nasi,” kata bunda. Ia mengangguk, “sengaja bunda, aku hafal rasa nasi, dan tak hafal lauk masakan bunda.”

Seperti biasa, usai makan kami melihat berita-berita hangat di televisi, menunggu azan isa. Bergurau, bercanda-canda. Ia merebah di pangkuan bunda, bertanya-tanya segala hal. Tentang apa dan apa dan apa lalu bagaimana. Sesekali kukomentari berita di tv, dan mereka tak perduli. Masih asyik berdiskusi semua yang ada dalam pikirnya. Nazir mesjid melantunkan azan. “Kita sholat di rumah saja, Anwar imamnya,” ujarku.

Ia bangkit dari pangkuan bunda. Kubentang sajadah di ruang tamu, tempat biasa shalat berjama’ah. Raka’at pertama, ia membaca suroh al-Hijr, yang kutahu itu suroh kesukaannya, dengan nada Syeikh Hani Ar-Rifa’i. Raka’at kedua juga sama, ia membaca lanjutan surah yang cukup panjang untuk bunda yang sudah tua. Usai shalat, ia mencium tangan bunda dengan sahaja dan melukis cinta dengan airmatanya di tangan bunda. Bunda membelai kepalanya dan berkata, “baik-baiklah di Negeri orang Nak! Jangan pernah merindu rumah jika tak membawa apa-apa.”

Ia tersedu-sedu, kuseka airmatanya dan mencoba merenovasi gelisahnya menjadi semangat ayah. Digulungnya sajadah, menyimpannya dalam lipatan. Ia kembali bersimpuh lagi di pangkuan bunda, melanjutkan segala tanyanya. Sedang aku langsung masuk kamar dan membaca salah satu buku Khalil Gibran hingga lelap. Tak kuikuti lagi tanyanya pada bunda. Tiba-tiba kudengar suara di telinga, berbisik tuk bangunkanku dari rebahanku.

Ternyata Anwar membangunkanku tuk qiyamullail. Aku bangkit dan langsung mengambil air wudhu. Mengimami shalat malam itu. Cukup lama kami tegak dalam dua rakaat shalat, kurasa hampir dua jam dalam haluan khusuk. Sebab seusai shalat, kulihat jam yang melekat di pergelangan tanganku, ya, hampir dua jam. Selesai qiyam, kami tidur lagi dan bunda membangunkan saat subuh.

Sekitar pukul sembilan pagi, kutemani adikku itu berkeliling kampung, meminta restu dari tetangga, mengharap do’a mereka. Saat keberangkatannya telah tiba. Kami mengantarnya ke bandara dan bunda menitikkan airmata lalu disekanya. “Jangan lupa berkabar jika sampai di sana, temuilah Faisal teman dekatku, ia telah menantimu. Kutitipkan kau padanya.” “Ia bang, aku pasti kan merindu kalian.”

Ia menyalami dengan segala keteduhan, mencium tangan bunda cukup lama. Lambaian tangannya memahat rindu di hati kami yang hanya akan berdua saja menghuni rumah. Dalam perjalanan pulang, bunda tak henti membasahi jilbabnya dengan airmata. Kuseka dan kuseka, namun tak henti juga. “Bunda, ia akan baik-baik saja, do’akanlah ia agar dimudahkan urusannya.”

Bunda diam dan tak berkata-kata. Mungkin dalam hati ia berdo’a, pikirku. Kami terus meluncur mendekati rumah. Setiba di rumah, bunda langsung masuk kamar dan mengunci dari dalam. Isak tangisnya kudengar dari kamarku, tapi aku diam saja, mungkin ia sedang tak ingin diganggu.

Pagi menyapa, kulihat ada pesan masuk di handphon-ku, ternyata Faisal berkabar tentang adik bungsuku, ia telah tiba dan bersama Faisal. Kukabar pada bunda, tak henti ia mengucap syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa. “Sampaikanlah pada Faisal, anggap ia seperti adikmu sendiri,” kata bunda. Aku langsung menarikan ibu jariku di atas keypad handphonku, menjawab pesan Faisal.

Hari demi hari, bulan berlalu, almanak berganti baju. Bunda terus menyulam rindunya dalam sajak-sajak do’anya untuk adikku. Sesekali disuruhnya aku bertanya kabar pada Anwar, ia baik-baik saja dalam bimbingan Faisal yang kupercaya menitipkannya. Faisal karibku saat Aliyah dulu. Tak pernah ada masalah, Faisal bilang, adikku taat segala peraturan di sana. Bunda lega mendengarnya.

Tiba-tiba, kami dikagetkan berita di telavisi dalam episode “Mesir Berdarah”. Bunda linglung, diterpa bingung yang melambung. Ia memaksaku menghubungi Anwar atau Faisal, namun usaha kami sia-sia. Tak ada yang menjawab panggilan atau membalas pesan kami. Bunda terus mengikuti perkembangan berita di televisi, dari satu siaran ke siaran lain. Ternyata segala jaringan telah diputus pemerintah mesir. Amerika telah menarik warganya dari negara berdarah itu. Bunda mengharap pemerintah kami mengambil kebijakan yang sama.

Setelah mendengar kabar tersebut, setiap malam bunda membanjiri kamarnya dengan airmata dan airmata. Dalam do’a-do’a khusuknya tiap malam. Sepekan kemudian Anwar menghubungi kami dari handphone-nya. Mengabarkan bahwa ia aman di sana, namun hanya berlangsung sekira-kira dua menit saja. Bunda menangis bahagia. Mengkanvas sajak-sajaknya lewat do’a.

Bunda terus mengikuti berita yang ada, dan tersenyum lepas saat pemerintah kami mengambil kebijakan sama seperti Amerika dan Negara lainnya. Dalam teduh ia menggumam, semoga anakku kembali dengan selamat. Empat hari berlangsung setelah Anwar menghubungi kami, Faisal mengirim pesan singkat, “jam enam pagi di Indonesia kita chatting, aku ingin berkabar padamu kawan. ” Kubalas singkat “siip”.

Lalu aku berkabar pada bunda yang mengkhawatirkan anaknya disana. Ia ingin ikut menemeniku chatting dengan Faisal nanti. Aku terbangun saat azan subuh berkumandang. Aku shalat berjama’ah dengan bunda. Sekitar jam tujuh pagi, kuajak bunda ke warnet tempat langgananku mencari tugas kerja.

Faisal kembali mengirim pesan, “aku telah online” tulisnya. Secepat mungkin kucari nama Faisal Royhan di sepetak layar warnet itu. Lalu, aku bertanya dalam tulisan “bagaimana kabar kalian kawan?”
“Kami baik-baik saja” “Berapa pesawat yang sudah sampai ‘tuk mengevakuasi Sal?” “Baru satu, pemerintah kita terlalu santai menghadapinya, padahal negara tetangga kita tak satu pun tersisa.” “Kabar di sini pemerintah mengirimkan tiga pesawat”

“Ya, baru satu yang sampai, dan itu masih membawa anak-anak da wanita.” “Bukan sekalian tiga pesawat yang menjemput kesana? “Tidak kawan, itu bohong, sejauh ini baru satu yang sampai, dan tiga hari kemudian, baru menyusul lagi. Satu pesawat hanya bisa membawa 420 orang, sementara mahasiswa kita hampir 4000 lebih, kapan mau selesai. Opini dari mahasiswa sini, itu ulah KBRI.”

Bunda menitikkan airmata, jatuh kepangkuanku. Kuseka dan berkata padanya, “Bunda, mereka dengan jalan yang benar, Tuhan pasti melindungi mereka. Tenanglah bunda.” Ku lanjutkan chatting dengan Faisal setelah menenangkan bunda. “Bagaimana makanan di sana kawan?”

“Terlalu minim, kami tidak diperbolehkan keluar rumah, jadi bahan makanan makin menipis.” “Kawan, bagaimana adikku dan mu?” “Ia tenang dalam dekapku, tak usah khawatir akannya, kirim saja do’a lewat qiyam diselipan malam.” “Kawan, do’a kami tak kan henti ‘tuk kalian, sebelum jantung berhenti.”

“Ya sudah, sampaikan salamku pada bunda kita, katakan kami baik disini, tadi adik kita berpesan, jaga bunda, ia telah tua.” “Ia Sal, sampaikan juga bunda merindunya dan kami sayang dia.” Kami pulang membawa sedikit ketenangan, dan Anwar mengirim pesan saat kami dalam perjalanan pulang. “Aku rindu senja di kampung kita bunda” Bunda kembali mengokang senjatanya, tangis yang meringis.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar