Selasa, 01 Februari 2011

Berhenti Bermain Luka

Cerpen Muram Batu

KAU tersenyum. Kau dapat peran baru. Kau pulang dengan ringan. Kau telah menerima kesempatan untuk mengubah karakter. Ya, sejak bergabung dengan kelompok sandiwara itu, kau selalu saja kebagian karakter yang sama; perempuan yang kehilangan kekasih. Peran yang cocok, sebenarnya. Setidaknya, penonton suka dengan peran yang kau mainkan. Namun, pergolakan dalam dirimu telah mengalahkan tepuk riuh penonton. Kau butuh yang lain. Kau butuh tantangan peran. Dan, kini semuanya telah di tangan.
LAYAR tutup. Panggung gelap kembali terang. Suara penonton perlahan menjauh, meninggalkan bangku-bangku yang sebelumnya penuh. Anggota pentas mulai mengangkati properti satu persatu. Pelan namun pasti, panggung kembali kosong. Kau duduk bersila di sudut panggung, menatap layar, tanpa gerak. Sama sekali tidak terpengaruh oleh suara ribut; ucapan selamat atau basa-basi penuh suka.

Ini ketiga kalinya kau duduk seperti itu sehabis pentas. Kali pertama memang sempat mencuri perhatian hingga sebagian besar orang berebut lempar kata untukmu. Kali kedua pun hampir sama, walau berkurang, tetap saja ada orang yang bertanya juga beri tanggapan.

“Nauli, ada apa?”
“Nauli, kau sakit?”
“Kau belum makan?”
“Sudah, lupakan saja, ini hanya sandiwara. Besok masih ada peran lain untukmu. Jangan terbawa karakter itu terus. Sudah sana, bersihkan tata riasmu!”

Kali ini tak ada yang bertanya. Mungkin mereka malas. Sekian kata yang mereka lontarkan, dalam dua kali kesempatan, tak mendapat respon.

Dan, kali ini kau malah menangis. Menatap layar hitam dengan linangan air mata. Sendiri. Kau pun semakin tenggelam. Sebuah tangis bukan untuk diperhatikan atau mencari perhatian, tangis untuk dirasakan. Sesuatu yang pribadi.

Ketika suara-suara semakin hilang dan ketika raga pergi satu-satu, kau baru mulai melihat sekeliling. Air mata telah kering dan kau pun siap berdiri.

Sayang, kau tak perhatikan, lelaki yang sejak mula memperhatikanmu tetap di situ. Tepatnya di atas kepalamu. Ya, gara-gara tangismu, lampu yang harus ia lepaskan belum juga terlaksana. Mungkin ia terenyuh, mungkin pula terhibur. Tangis pada sosokmu adalah sesuatu yang langka. Karena itu, ia berpegangan kuat pada besi, takut tak kuat menahan keterkejutan itu.
“Tunggu!” katanya begitu melihat kau berdiri.

Kau pun terkejut hingga sampai tak sadar berteriak. Lalu, kau mulai mencari asal suara. Kau mendongak. Dan, kau tertawa. “Ngapain kau di sana, Binsar?” tanyamu.

“Kau kenapa menangis?”
“Mencopot lampu?”
“Kau lagi ada masalah? Ceritalah...” Binsar dengan segera turun.
“Kau melihatku menangis, Binsar?” sambutmu ketika Binsar tiba tepat di depan.
“Tadi aku mau mencopot lampu, kulihat kau di bawah, sudah tiga kali. Tapi, baru kali ini kau menangis.”

“Aku lagi senang, Binsar.”
“Tangis senang beramai-ramai, sedang kau sendirian.”
“Aku senang sendirian.”
“Bukan, bukan itu. Kau pasti ada masalah.”
“Ya, sudah kalau kau sudah tahu. Aku pulang dulu.” Kau bergerak cepat.
“Tunggu dulu, Nauli!”

“Kau copot saja lampu itu. Nanti kau juga tahu...”
Kau keluar gedung. Sendirian. Kau naiki kendaraan pun tanpa teman. Setiba di rumah, kau hadapi kesunyian rumah tanpa orang lain. Dan, kau tersadar, tata rias belum terhapus. Di hadapan cermin kau tertawa keras. “Jadi, sepanjang perjalanan tadi aku tetap begini. Tetap menggunakan tata rias dan busana pentas? Dasar Nauli gila!”

Selagi melepas tata rias dan busana, kembali kau kenang pementasan terakhir. Cerita klasik. Cinta kasih yang berujung pada kematian. Tragedi cinta yang masih tetap diagungkan. Kisah tua yang tetap saja laku.

Kau menjadi perempuan itu. Perempuan yang menunggu. Di dermaga. Menanti kapal datang dari seberang membawa lelakimu. Sekian lama penungguan tak juga kau temukan yang diharapkan. Kau pun nyaris gila. Keluargamu menyarankan, malah memaksa, kau menerima pinangan lelaki lain. Lelaki yang sesungguhnya jauh dari bayangamu untuk menjadi suami. Kau berencana bunuh diri, kau kejar kapal yang belayar menuju seberang. Kau ingin tenggelam. Membawa cintamu yang telah karam. Saat itulah, lelakimu datang. Kau terkejut gembira. Kau kejar dia. Sayang, lelakimu membawa dua orang di sisinya. Seorang perempuan hamil tua dan seorang anak dengan ingus berwarna hijau. Kau terdiam. Lelakimu itu terdiam. Anak dengan ingus hijau menangis. Perempuan hamil tua curiga. Dan, cerita berakhir di sana. Di sebuah pertikaian yang berakhir dengan darah. Kau bunuh mereka; lelaki dengan istri dan anaknya. Kau pun gila. Dan, kau mati dalam kegilaan.

“Kenapa Nauli, kenapa kau selalu mendapat peran seperti itu? Kau tidak memerankan apa-apa, Nauli, kau hanya memindahkan hidupmu ke atas panggung. Kau bukan aktris, Nauli. Kau tidak bisa berakting!” kau muntahkan kalimat itu ke pembaringan. Kau suntuki dirimu hingga tertidur.
Kau bangun dengan mata bengkak. Suasana sudah condong melewati angka tiga di jam dinding. Tergesa kau ke kamar mandi. Terlalu banyak tidur selalu saja membuat perutmu tak enak. Semacam ada yang berontak. Dan ketika semuanya telah keluar, kau baru sadar, sebuah naskah baru harus kau terima sore itu juga.

Kau tiba di gedung pertunjukan yang menjadi markas kelompokmu tepat pukul lima. Sebagian besar orang telah datang. Telah menerima setumpuk kertas yang berisikan cerita. Namun, belum sempat kau dekati mereka, Binsar menghadang. “Sudah sehat kau, Nauli?”
“Memangnya aku sakit?”
“Tadi malam kau menangis.”
“Sekarang?”
“Ya, tidak lagi.”
“Ya sudah.”

Kau biarkan Binsar yang mengeluarkan tatapan bingung. Kau pun bergegas ke kumpulan orang-orang. “Aku mau peran yang lain. Aku bosan peran perempuan cengeng. Bertindak keras hanya karena hatinya sakit. Aku butuh peran yang menantang,” teriakmu begitu tiba di sana.
“Seperti apa?” balas salah satu dari kumpulan orang.
Kau terdiam. Bingung.

“Seperti seorang ibu yang begitu setia menunggu anaknya pulang dari merantau. Sekian tahun menunggu dan terus saja memasakkan makanan kesukaan anaknya walau sang anak tak pernah pulang?” sambung orang itu.

Kau masih terdiam. Masih bingung.
“Atau, seorang anak perempuan yang tak pernah pulang ke rumah ibunya karena tidak suka masakan ibunya?”

“Ya, yang kedua itu,” balasmu.
“Ya, sudah. Ambil ini,” ucap orang itu sambil melemparkan naskah. Dalam pikirannya, mungkin dengan peran barumu, kelompok sandiwaranya akan semakin laku.

Kau terima naskah itu dengan suka cita. Lalu, kau duduk tenang sambil menunggu perintah.
“Pelajari naskah, satu minggu lagi kita mulai latihan,” ucap orang itu.

Kau tersenyum. Kau dapat peran baru. Kau pulang dengan ringan. Kau telah menerima kesempatan untuk mengubah karakter. Ya, sejak bergabung dengan kelompok sandiwara itu, kau selalu saja kebagian karakter yang sama; perempuan yang kehilangan kekasih. Peran yang cocok, sebenarnya. Setidaknya, penonton suka dengan peran yang kau mainkan. Namun, pergolakan dalam dirimu telah mengalahkan tepuk riuh penonton. Kau butuh yang lain. Kau butuh tantangan peran. Dan, kini semuanya telah di tangan.

Namun, sebelum kau sampai bibir gedung, Binsar kembali menghadang. “Memang sudah sehat tampaknya. Ceria kali kau...,” katanya sambil terseyum lega. “Jangan menangis lagi, ya, Nauli,” sambungnya.

“Kau mau menjadi sapu tanganku setiap kali aku menangis?”
“Ya, kenapa tidak?”
“Kalau begitu, simpan jauh-jauh harapan itu, Binsar.”
“Bagaimana kalau aku jadi cermin tempat kau melihat senyum?”
“Untuk itu aku tak harus berpikir, cermin sudah kupecahkan.”
Lintas waktu. Kau perankan terus karakter seperti itu. Perempuan muda yang tak pernah sesuai dengan pilihan dan pandangan orang tua. Kau perempuan pemberontak. Individualis dan kurang peka.

Layar tutup. Panggung gelap kembali terang. Suara penonton perlahan menjauh, meninggalkan bangku-bangku yang sebelumnya penuh. Anggota pentas mulai mengangkati properti satu persatu. Pelan namun pasti, panggung kembali kosong. Kau duduk bersila di sudut panggung, menatap layar, tanpa gerak. Sama sekali tidak terpengaruh oleh suara ribut; ucapan selamat atau basa-basi penuh suka.

Tak ada yang mendekat. Tak ada yang memperhatikan. Kau sendiri menatap layar hitam. Kau melihat ke atas, tepat ke atas kepalamu, tak ada Binsar di sana. Kau pun mulai menangis.

Sayang, kau tak melihat Binsar di belakangmu. Jauh, di balik tumpukan properti yang telah dipinggirkan, siap disimpan dalam lemari atau belakang panggung. Ia lihat kau menangis. Segera saja ia datangi, “Kenapa kau masih menangis, Nauli?”
Kau terkejut dan langsung berlari. Kau pulang tanpa sempat menghapus tata rias maupun mengganti kostum.

Setiba di rumah kau tak tertawa. Kau semakin menangis di depan cermin. Dan kau pun berteriak. “Bodoh! Kau bodoh, Nauli! Kau tidak bisa berakting. Kau bukan aktris. Kau hanya memindahkan hidupmu ke atas panggung.”
Kau suntuki dirimu hingga tertidur.

Besoknya, tepat jam lima kau datangi kumpulan orang di gedung pertunjukan markas kelompok sandiwara itu. Binsar tak ada. Tak ada kata sambutan seperti biasa. Sepi. Binsar entah di mana.
“Aku berhenti.” Kau katakan itu pada kumpulan orang tanpa menunggu balasan mereka. Kau langkahkan kaki berbalik. Dan, kau sampai rumah, menatap cermin. “Kenapa kau Nauli, kenapa kau berhenti bermain luka. Bukankah dengan luka sesuatu yang indah akan semakin indah terasa? Kalau begini, kau memang bukan aktris! Kenapa kau pindahkan cerita panggung ke dalam hidupmu. Aktris yang terlena dengan perannya adalah bodoh. Dan, itu adalah kau!”
Kau suntuki dirimu. Namun, kali ini kau tak tertidur. Kau pandangi lagi cermin. “Belum kupecahkan, tapi kenapa Binsar tak ada? Aku ingin tersenyum...”

Medan April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar