Selasa, 08 Februari 2011

Sastrawan di Antara Dilema

Damiri Mahmud

Sastrawan selalu berada di tengah-tengah kutub keterkenalan dan keterpencilan. Pada satu sisi dia adalah empu, karena karya-karyanya berisi ajaran dan pedoman hidup yang bahkan jauh ke depan melampaui zamannya. Di sisi lain dia kesepian karena merasa dirinya dan karya-karyanya tidak dihiraukan dan tak mendapat perhatian.

Dalam tradisi China, karya sastra terutama puisi, sangat dihargai dan dipandang tinggi. Sebagaimana yang dikatakan Lin Yu Tang, seorang raja yang bijaksana kalau ingin mengetahui degub jantung rakyatnya dia harus datang ke tengah-tengah mereka, mendengarkan larik-larik puisi yang mereka lantunkan yang telah diaransemen berupa nyanyian. Bahkan Confusius berujar, seseorang sama sekali tidak beradab dan berbudaya apabila tidak memahami puisi.

Di Arab pun, penghargaan masyarakat terhadap penyair sangat luar biasa. Bahkan pada suatu ketika, syair sudah dianggap sebagai keyakinan dan agama. Mereka memulai peperangan dengan mengumandang syair-syair, berhakim dengan syair, bermusyawarat dan memulai kehidupan dengan berpedoman kepada syair-syair. Syair merupakan arsip orang Arab.

Ketika Islam datang, keberadaan syair tidaklah terpinggirkan begitu saja. Syair-syair Jahiliyah misalnya, selalu diburu oleh para filolog dan penafsir Al-Qur-an. Oleh karena kata-kata dalam kitab suci itu banyak yang sulit difahami. Mereka selalu mencari syair-syair lama yang banyak berisi kata-kata arkais dan masih murni, banyak dipakai pula dalam Al-Qur-an.

Dalam tatakrama kehidapan modern, penghargaan terhadap sastra tiadalah berkurang. Banyak Negara dikenal melalui identitas para penyair. Orang menyebut Erasmus untuk negeri Belanda, Voltaire untuk Prancis dan Goethe lebih dikenal dan dihormati dari siapapun di Jerman.

Ada Walt Whitman yang nada puisinya begitu jernih dan sangat mencintai Amerika. Salah seorang presidennya, Kennedy, sempat berucap dalam pidatonya yang sangat terkenal dalam pembukaan Robert Frost Library di Amberst College, Massachusets: “Jika kekuasaan mengarahkan manusia kepada kesombongan, puisi mengingatkan keterbatasannya. Ketika kekuasaan menyempitkan wilayah pandang manusia, puisi meluaskan keberagaman dan ke kayaan jiwa. Ketika kekuasaan bergelimang korup, puisi membersihkannya!”

Dengan reputasi dan penghargaan yang bukan kepalang itu, mengapa banyak para sastrawan merasa kesepian dan terpencil dan bahkan banyak yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Di sinilah kita mendapatkan dilemma itu.

Barangkali apa yang diterakan di atas, adalah puncak-puncak kenyataan yang ideal. Mungkin puisi dilantunkan rakyat hanya sebatas nyanyian saja, tapi tidak dilaksanakan. Atau masyarakat memuja-muja para penyair sebagai tokoh atau pahlawan padahal tak pernah membaca karya-karyanya. Bisa jadi pada zamannya dia tidak diacuhkan, disingkirkan, baru setelah matinya, dia disanjung-sanjung dan karya-karyanya menjadi rebutan. Fenomena kemunafikan semacam ini memang kelihatan dan terjadi di mana-mana.

Demikianlah misalnya, oleh karena kesepian dan keterpencilan itu, banyak sastrawan yang mengakhiri hidupnya dengan tragis atau digelimangi oleh rasa tak bahagia yang menyiksa. Hemingway menembak kepalanya dengan senapan berburu. Yasunari Kawabata meracun dirinya dengan gas. Yukio Misima seppuku dengan pedang samurai. Akutagawa menelan obat bius. Kita juga membaca bahwa Jack London, Stephan Zweig, Sadeg Hihayat, Verginia Wolf, Nerbal, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Di negeri kita, Willem Iskandar, pelantun syair yang sangat popular di tanah Mandailing karena memotivasi masyarakat dengan tak henti-hentinya untuk menyekolahkan anak-anak mereka, juga mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dia merasa kesepian dan tak bahagia di negeri Belanda.

Banyak sastrawan kita yang di akhir hidupnya merasa tersiksa karena tidak dihargai. Ronggowarsito, pujangga “Zaman Edan” itu, di hari tuanya merasa terhina karena janji yang diberikan kepadanya diingkari. Sebagai pujangga dan pegawai istana, dia dijanjikan akan menduduki jabatan tinggi tapi diabaikan, sehingga dia merasa tertipu.

Dalam satu percakapan saya dengan Sapardi Djoko Damono, penyair itu mengatakan, Ronggowarsito tidak dikenal dan tidak dibaca pada zamannya. Lama setelah dia wafat, karya-karyanya dikaji ulang, dipelajari dan dibukukan. Sapardi pun meragukan keaslian karya-karya Ronggowarsito yang beredar sekarang ini. Dia menengarai ada campur tangan para pengedit yang mempelajari, membukukan dan menyebarkan karya-karya Ronggowarsito itu.

Chairil Anwar, mungkin bernasib lebih mengenaskan. Dalam masa hidupnya yang begitu singkat, 27 tahun dengan masa menulis selama 7 tahun, dia sampai ke puncak kepenyairannya. Chairil berjasa membuat bahasa Indonesia begitu hidup dan dinamis, sehingga dia dilambungkan sebagai tokoh yang setaraf dengan Soekarno, Hatta dan Syahrir.

Di masanya dia tidak dikenal, tidak difahami, bahkan diejek dan dibenci. Dia boleh dikatakan tidak mendapat imbalan apa-apa dari kerja keseniannya yang tidak tanggung-tanggung itu. Chairil dikenal sebagai bohemian, gelandangan, pencuri buku dan nebeng makan di rumah kawan-kawan. Di akhir hidupnya dia terusir dari rumah mertuanya. Terkapar di kamar tumpangan temannya sesama di Medan, bernama Suharto, di sebuah rumah Arab kaya di Salemba.

Begitu pula Amir Hamzah. Karya puisinya menjulang tinggi, tapi dia tidak hidup bahagia. Pada zamannya dia tidak dihargai. Cintanya hancur berkeping-keping. Studinya putus di tengah jalan. Aktifitasnya sebagai pemuda pejuang kemerdekaan dipatahkan oleh Belanda melalui tangan kekuasaan Sultan Langkat. Meskipun kemudian dia diangkat sebagai residen Langkat oleh Presiden Soekarno, tak urung dia dicurigai sebagai pengkhianat dan harus menebusnya di liang kubur. Dipancung di Kwala Begumit, pada revolusi sosial di Sumatera Timur.

“Sang Presiden” N.A. Hadian, tetap setia dengan dunianya, hingga ke akhir hidupnya. Di hari tuanya dia tetap mengapit puisi ke mana pergi. Dia dengan tabah keluar-masuk kantor dan rumah rekan dan sahabatnya sambil meninggalkan kepada mereka secarik puisi. Dengan sangat bersemangat dia berbicara tentang puisi, puisi, puisi. Tak peduli para rekan dan sahabat sedang dinas kantor.

Biasanya mereka senang, keluar dari kerutinan sebentar, tersenyum dan tertawa dengan “Sang Presiden” tak lupa menyelipkan selembar “kertas” ke sakunya ketika beranjak pulang. Di akhir hidupnya dia sangat kesepian. Ruang hidup seperti yang disebutnya “tanpa batas negara” itu seperti menolaknya. Ternyata puisi tak lebih berharga dari sebungkus nasi! Wiji Thukul, seorang penyair lugu, yang banyak membacakan puisi-puisi perlawannya di hadapan para buruh, jauh dari hidup aman. Dia dikejar-kejar oleh penguasa dengan laras senjata dan terpaksa melarikan diri, lalu hilang raib tak tentu rimbanya. Mungkin sekali dia sudah mati terbunuh.

Rendra? Si Burung Merak yang kelihatan gemerlapan tapi mungkin tidak hidup tenteram. Dia dicekal tidak boleh naik panggung, membacakan puisi-puisinya, dalam waktu yang cukup lama. Rendra masuk bui dan disiksa. Disuruh minum air kencingnya sendiri.

Sampai tahun 1992, ketika kami sama-sama baca puisi pada acara Bosnia di Teater Arena, TIM, di hadapan ribuan pengunjung dia masih mengeluhkan kebebasannya yang masih terkekang. Di hari tuanya, dia merasa tidak serasi dengan tingkah polah para politikus dan penguasa. Rendra tampak bingung dan serba salah dalam menempatkan suaranya di hiruk-pikuk era eufemisme politik di mana orang-orang seperti kesurupan mencari kursi dan kedudukan.

Mungkin keterpencilan dan rasa keterasingan adalah beban yang harus dipikul oleh para sastrawan, sebagaimana yang pernah disebut oleh Slauerhoff, penyair pengembara yang kesepian itu.
“Akan gila penyair memikul kesepian…” katanya.

Fenomena ini bukan hanya dirasakan oleh semacam Chairil yang serba kekurangan. Sapardi Djoko Damono dalam percakapan di atas, mengakui terus terang, dia sebagai penyair siap terpencil. Dia memprediksi karya sastra sebagai lebah tanpa sengat. Goenawan Mohamad juga merasakan itu. Hanya orang yang keras kepala saja yang masih mau menulis puisi, katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar