Minggu, 30 Januari 2011

Rumah Puisi Taufiq Ismail Antara Singgalang dan Merapi

A.Rahim Qahhar

Tiga sastrawan Medan masing-masing A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud dan Hasan Al Banna diundang sebagai Sastrawan Tamu ‘Rumah Puisi’ Taufiq Ismail di Jalan Raya Padang Panjang - Bukittinggi pada13 - 19 Januari 2011. Tanpa alasan yang jelas, Damiri Mahmud urung memenuhi undangan, meskipun pihak Taufiq Ismail berharap sangat atas kehadirannya.

Ada apa gerangan di Rumah Puisi yang dibina sejak 19 Desember 2008 ini? Pertanyaan ini segera terjawab ketika penulis tiba di lokasi yang letaknya di areal perbukitan, persisnya di Jalan Raya Padang Panjang - Bukittinggi km 6 Sumatera Barat. Di areal seluas sekitar 3.000 meter ini terdapat bangunan induk ‘Rumah Puisi’, berisi perpustakaan dan ruangan untuk pertemuan/diskusi.

Pada sisi lain, ramai dihiasi beragam jenis bunga, terdapat bangunan rumah untuk Sastrawan Tamu, bangunan surau dan lapau (kantin) yang dilengkapi dengan bermacam-macam materi suvenir. Bahkan semakin unik dan menarik, di sekeliling halaman terpajang puluhan poster puisi dari berbagai penyair nasional. Antara lain karya penyair Chairil Anwar, Asrul Sani, Ajip Rosidi, Sutan Takdir Alisyahbana, Sutardji Calzoum Bachri sampai kepada penyair yang telah pernah menjadi sastrawan tamu di Rumah Puisi.

Taufiq Ismail dan istrinya Ati Ismail dalam perbincangan dengan penulis menyebutkan, ide awal proyek megah ini sebenarnya amat sederhana. Suatu ketika di rumah mereka Jakarta, istri Taufiq berucap pada suaminya, begini: “Uda, buku nan banyak ini, nanti kalau Uda meninggal dunia akan diletakkan di mana?” Dari pertanyaan bersahaja inilah muncul ide-ide maupun rencana untuk membuat sebuah rumah atau bangunan yang dapat menghimpun buku-buku yang jumlahnya semakin bertumpuk itu.

Lokasi pun dipikirkan, dipertimbangkan, apakah di Jakarta atau tempat lain yang akhirnya terpilih di Nagari Aie Angek, persis di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Lokasi berudara dingin ini pun tak jauh dari kawasasn Pandai Sikek yakni kampung halaman Taufiq.

Nama Rumah Puisi tidak berarti kegiatannya semata-mata berhubungan hanya dengan puisi belaka. Rumah ini sebagai pusat aktivitas yang berkaitan dengan literatur, karya sastra, pembacaan dan latihan penulisan dengan landasan yang puitik. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir telah lahir sanggar sastra yang terdiri dari siswa-siswi di antaranya ada yang sudah mencoba untuk menulis novel.

Paling mendasar dari kegiatan Rumah Puisi ini, pelatihan guru Bahasa dan Sastra Indonesia, membaca dan berlatih menulis bagi siswa melalui Sanggar Sastra, apresiasi sastra Indonesia dan Minangkabau, akses buku-buku perpustakaan, menghadirkan sastrawan tamu dari daerah lain, sekaligus melakukan interaksi antarsastrawan dengan guru dan siswa.

Taufiq menegaskan, tujuan utama Rumah Puisi ini dibangun, demi peningkatan mutu anak bangsa dalam budaya membaca buku dan kemampuan menulis, sehingga menjadi manusia terpelajar dan bermartabat. Tak heran, buku yang tersedia sekarang jumlahnya sekitar 7.000 judul termasuk buku-buku nonsastra.

Pelajaran Sastra

Taufiq didampingi dua sastrawan tamu dari Medan sekaligus dipandu oleh moderator Muhammad Subhan di depan puluhan siswa Pesantren Al Hira dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumbar memaparkan, bagaimana ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan negara lain tentang pelajaran sastra. Taufiq menjelaskan tentang kewajiban membaca buku sastra di SMA di 13 negara antara lain Amerika Serikat, Belanda, Jepang yang siswanya mampu membaca buku sampai belasan dan puluhan judul, sementara Indonesia untuk periode 1950-1997 nol judul. Tragis memang!

Sebagai sastrawan tamu, A. Rahim Qahhar dan Hasan Al Banna diminta untuk menyampaikan proses kreatif maupun pengalamannya sebagai penulis. Sekaligus dalam kesempatan itu penulis juga menampilkan dua judul puisi dan Hasan Al Banna menyugukan fragmen monolognya Cublis. Sesi ini dilanjutkan dengan tanya jawab yang merupakan interaksi antarsastrawan dengan siswa, mahasiswa dan guru. Ada juga pertanyaan yang unik. Antara lain ada siswa setingkat SMP mempertanyakan bagaimana persiapan seseorang dalam membuat novel.

Taufiq yang tahun lalu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta, memaparkan tujuh konsep tentang pengembangan dan peningkatan karya sastra. Antara lain beliau memberi sugesti kepada para siswa, menulis dan mengarang itu nikmat, asyik dan menyenangkan.

Orasi Budaya

Sejak dibangunnya Rumah Puisi, Taufiq dan Ati Ismail terpaksa bolak-balik Jakarta-Padang. Artinya, meski hari dan tanggalnya tidak pasti, tapi Taufiq tetap menyisihkan sekian hari untuk berada di Rumah Puisi. Bulan Januari misalnya Taufiq diundang oleh YPI Raudhatul Jannah Payakumbuh untuk menyampaikan orasi budaya.

Ratusan siswa-siswi sekolah dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA yang terpisah dalam tiga lokasi, menyambut kedatangan Taufiq bersama sastrawan tamu. Pentas dan teratak yang sengaja dipersiapkan oleh panitia tampak begitu meriah, apalagi tampak hadir walikota Payakumbuh dan pejabat tinggi setempat.

Acara pokok hari itu, Haflatul Quran murid SD perguruan itu. Taufiq tampil dalam orasi budaya sekaligus membacakan empat judul puisi, disambut cukup antusias hadirin. Dua sastrawan tamu A. Rahim Qahhar dan Hasan Al Banna juga didaulat untuk baca puisi pada acara sehari penuh itu.

Sosok seorang Taufiq sebagai budayawan memang sangat diperhitungkan di kampung halamannya ini. Beliau bersama tokoh lainnya, termasuk pimpinan YPI Raudhatul Jannah bapak Thamrin Manan, didaulat untuk ikut meletakkan batu pertama pembangunan masjid di sekolah SPM Raudhatul Jannah.

Hal menarik lainnya di lokasi Rumah Puisi ini, persis bersebelahan dengan Rumah Budaya Fadli Zon dan Aie Angek Cottage, cukup megah dan artistik. Meski baru soft opening, tempat ini diharapkan kelak sebagai melengkapi obyek wisata visual dan ritual yang bernuansa Minangkabau.

Sastrawan Tamu yang telah tampil di Rumah Puisi antara lain, D. Zawawi Imron (Madura), Ahmad Tohari (Purwokerto), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Joni Ariadianata (Yogyakarta), Jamal D Rahman (Jakarta), Agus R Sarjono (Jakarta), Aspar Paturusi (Makassar), Iman Soleh (Bandung) dan secara terprogram Desember tahun 2010 lalu menghadirkan sekaligus tiga sastrawati, yakni Rayani Sriwidodo (Jakarta), Abidah el-Khalieqy (Yogya) dan Nenden Lilis A (Bandung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar