Jumat, 08 April 2011

Dari Makammu Aku Bercermin Antilan Purba

Omong-omong Sastra Berlanjut, Oned Luncurkan Sang Penanti

Darwis Rifai Harahap

Wadah silaturahmi omong-omong sastra dari sastrawan untuk sastrawan itu, ternyata masih berlanjut. Peserta yang hadir dari kalangan mahasiswa cukup banyak. Di kediaman Saripuddin Lubis yang asri, jauh dari kebisingan, siang itu kami disambut ramah oleh Saripuddin dan isterinya.

Sayup-sayup dari dalam rumah terdengar alunan musik yang lembut. Sastrawan Sulaiman Sambas dan Damiri Mahmud ternyata telah hadir lebih awal bersama Hasan Albana yang tampak sibuk memandu peserta yang kebingungan mencari alamat rumah Saripuddin Lubis yang berjarak sekitar tiga kilometer dari pusat kota Binjai.

Omong-omong tentang sastra pada 6 Maret 2011 lalu menampilkan pembicara Yulhasni dan Wahyu Wiji Astuti, Mahasiswa jurusan Sastra dan Bahasa Unimed Medan. Dalam paparannya Yulhasni yang mantan wartawan dan kini dosen di UMSU Medan itu menyorot keberadaan komunitas Sastra di Sumatera Utara yang memobilisasi massa dan karya tanpa ide baru. Wahyu Wiji Astuti coba menguak jejak puisi kontemporer di batin penulis muda Sumatera Utara.

Permasalahan ide baru dan karya sastra kontemporer memang tak pernah habis-habisnya untuk dibicarakan. Sejak munculnya Sutardji Calzoun Bachri dengan puisi-puisi kontemporernya, demam kontemporerpun merasuki batin penyair-penyair muda dalam bekarya.

Abad dua puluh ditandai berbagai krisis sosial politik, ekonomi, enerji, ledakan penduduk, perang dan sebagainya. Krisis melahirkan anarkisme, pesimisme, skeptisisme, individualisme, ketidaktentuan nilai-nilai dan sistem. Jiwa abad dua puluh inilah yang mendasari gerakan sastra kontemporer.

Suatu gerakan sastra yang coba menanyakan kembali nilai-nilai, sistem dan estitika, serta merangsang kelahiran berbagai aliran baru. Yang disebut dengan sesuatu yang baru itu apakah ada? Sutadji Calsoun Bachri menuliskan puisi-puisinya dengan bahasa yang dia mengerti dan pahami benar maksud tujuannya.

Apakah bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang baru? Waktu berkarya barangkali hampir semua penyair tak berfikir dia hendak menulis apa. Yang penting adalah bekarya. Tulis dan tulis apa saja yang dapat dimuntahkan pikiran bawah sadar. Oleh Sutadji lahirlah puisi yang berjudul Asal yang terdiri dari satu bait dua baris.

Sebelum Tardji, Raja Ali Haji juga sudah menuliskan sajak dua baris yang kita kenal dengan sebutan gurindam. Pada Tardji sajak dua barisnya itu tidak lagi disebutkan sebagai gurindam. Tapi para pengamat sastra menempatkan Tardji sebagai tokoh pembaharu sastra Indonesia.

Puisi adalah seni bahasa. Beberpa penyair sepertinya bosan memakai bahasa sebagi media ekspresinya Kesempatan untuk tidak lagi mempegunakan bahasa ternyata juga dimanfaatkan oleh Sutardji Calzoum Bachri dalam puisi kontemporernya yang berjudul ‘Q’. Puisi Tardji ini tidak lagi mempergunakan kata. Dia mamakai hurup dan tanda seru. Baris pertama dua tanda seru.

Baris ke dua tiga, pada baris ke tiga enam tanda seru , dan dibaris ke empat satu tanda seru. Di bait ke dua Tardji menuliskan satu tanda seru disusul huruf a. Baris ke dua baru ada suku kata ‘lif’ diikuti dua tanda seru. Lalu di bait ke tiga huruf ‘l’, dan di baris kedua dengan spasi ada ‘la’, diikuti baris ketiga juga dengan sepasi ‘ l a m ‘, dan baris ke empat kembali tanda seru disisi kanan. Lalu pada baris ke enam huruf ‘ m ‘ sebanyak dua puluh empat dengan diikuti baris ke anam huruf ‘i’ yang letaknya ditengah huruf ‘m‘ yang jumlahnya sama pada baris ke tiga belas.

Pengamat sastra pun menempatkan penyairnya sebagai pembaharu sastra, karena pada puisi Tardji telah terjadi penjungkir balikkan simbol menjadi sebuah puisi dalam bentuk yang sangat baru dikarenakan penyairnya tidak lagi memakai kata sebagai ungkapan ekspresinya dalam berkarya. Bagaimana sekarang ini setelah Tardji Calzoum Bachri yang telah sepuh itu, di beberapa karyanya tidak mempergunakan kata, tapi mempergunakan tipografi secara cermat sebagai daya untuk berekspresi.

Dalam makalahnya Wahyu Wiji Astuti mengatakan sebagian penulis muda lebih memilih struktur yang bebas dan tak mengikat. Benarkah puisi-puisi yang ditulis oleh penulis-penulis muda telah terbebas dari ikatan kebiasaan yang ada? Kalau Yulhasni bicara tentang komunitas sastra di Sumut yang jumlahnya demikian banyak, tapi tanpa adanya ide baru, yang ada hanya kelompok-kelompok yang saling mencurigai.

Ilham Wahyudi menyikapi kecurigaan itu karena adanya komunitas yang didirikan oleh satu orang. Untuk apa? Banyak komunitas tapi anggotanya itu ke itu juga. Hanya nama yang beda, tapi pendiri sama begitu juga pengurusnya. Buat Ilham hal ini adalah kerjaan yang mubazir saja. Bila ada dana yang dapat diperoleh dari intitusi terkait buat komunitas yang ada kan lumayan juga hasilnya? Barangkali ini yang tidak sempat terfikirkan oleh Ilham Wahyudi.

Kembali ke ide baru dan puisi kontemporer yang menjejak batin penulis muda Sumatera Utara. Bila saja puisi adalah baju, tentu saja ide baru dan mode yang kontemporer mudah terlihat. Puisi bukan pakaian. Seni bahasa yang dituliskan penulis muda Sumatera Utara masih tetap pada pilihan menulis puisi yang konvensional. Hal serupa merambah ke dunia penulisan prosa. Acara itu diselingi penampilan musikalisasi karya Yulhasni (MENDROFA), M. Raudah Jambak (SEBAB PAHLAWAN NAMAKU), dan Sarifuddin Lubis yang dibawakan oleh Sanggar Rumput Hijau (SMA Neg-2 Binjai)

Oned Adithia Rislan

Walau Rizlan Effendi belum berkesempata hadir dalam acara omong-omong sastra, sehari sebelum acara OOS di rumah Saripuddin Lubis di Binjai, Rizlan telah meluncurkan buku yang berjudul “Sang Penanti” karyanya. Buku mungil berkulit hitam berisi kumpulan cerita-cerita pendek yang sebenarnya juga bukan sesuatu yang baru, walau istilah krennya disebut dengan nama “ Flash Fiction”.

Laura Ingarls Wilder yang terkenal lewat cerita-cerita pionirnya yang berjudul “Litle House On The Praire“ yang terbit tahun 50-an adalah cerita-cerita singkat tentang keluarga Laura yang hijrah ke Amerika dari Inggeris di abad ke 19. Cerita-cerita singkat serupa juga pernah dipublikasikan penulis asal Jepang Yukio Mishima sekitar tahun 40-an.

Sang Penanti

Oned Adhtia Rizlan telah meluncurkan dua buku. Rintisan penulis Sumatera Utara ini lewat bukunya “Sang Penanti” memang tidak tanggung-tanggung. Di salah satu sudut cafe es krim di pusat perbelanjaan Medan Fair. Dia menghadirkan YS. Rat dan Hasan Albana sebagai pembicara. Sayang ruang petemuan terlalu sempit, dan hingar-bingar suara-suara pengunjung membuat kehadiran undangan terasa agak tidak nyaman. Peluncuran buku mungil Oned, tujuan utamanya agar buku sastra karya Oned dapat diminati banyak pembaca.

Jelas ini tidak mudah. Mempromosikan buku karya sastra tidak segampang kita melihat produk makanan ringan yang terpampang di setiap sudut jalan yang kita lewati. Promosi memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apa lagi bila promosi mempergunakan media televisi.

Berhasilkah Rizlan meluncurkan karyanya yang menurut pengamatan penulis, karya Oned berjudul “ Sang Penanti” ini layak untuk dibaca. Bahasanya lugas. Mengalir. Mudah dicerna, dan bila ditelaah secara mendalam, karya Oned ini di samping konvensional, ceritanya ada beberapa yang penulis rasakan agak sedikit absurd.

Dari 64 judul ‘flash fiction’ yang dihadirkan Oned dalam buku ‘Sang Penanti’, di halaman 37 memang ada cerita yang judulnya ‘absurd’. Setelah dibaca, ternyata ceritanya belum menunjukkan tanda-tanda cerita singkat Oned itu absurd. Beda dengan cerita yang berjudul ‘ Pada Sebuah Cafe’ tokoh lelaki itu dan peristiwa kehidupan yang dia alami sebagai manusia agak lebih terasa ‘absurd’ bila dibandingkan dengan ceita yang berjudul ‘absurd'.

Begitu juga dengan cerita Oned yang dia beri judul ‘De Javu‘. Walau tidak sekental ‘Menunggunya Godot‘ Sang Penanti yang banyak bermain dengan air, angin, hujan dan kegilaan manusia yang ada dalam tiap cerita Oned. Apa yang dikatakan Idris Pasaribu dalam kata pembukaannya pada peluncuran buku ‘Sang Penanti‘, flash fiction sudah cukup lama dikenal di Hongkong. Bentuknya yang sederhana, tidak membuat kening berkerut, buku Oned ini memang perlu dibaca.

Dalam bercerita Oned mengalir bagaikan riak air yang mencari muara. Sesekali air menggenang lalu kembali mengalir dan mengalir bagai perjalanan waktu yang tak pernah berhenti, kata Idris Pasaribu.
Antara Omong-omong Sastra di rumah Saripuddin Lubis di Binjai tetap saling berkaitan dengan acara yang dibuat Oned Adhitya Rizlan dalam acara bedah naskah flash fiction di salah satu sudut cafe Medan Fair tanggal 5 lalu. Bedanya, dalam omong-omong sastra di Binjai tanggal 6 Maret 2011 lalu, belum ada buku sastra yang diterbitkan sebagai bahan untuk di omongkan. Kapan? 2011maret.


Januari Sihotang
Untuk Sang Guru
:Alm. Antilan Purba

hanya mampu merunut denyut jantung
saat waktu berjudi, takdir menghindar
dari keolakan darah
pada tubuh demam petuah
usiamu bernanah, meski dalam kelambu jiwa
tersimpan kosakata, diksi dan irama
masih terngiang bisikmu
menjual rahasia setiap senja
di bawah pohon asam
seperti perempuan muncul dari cermin
kata-katamu bersolek merias percakapan kita

kutemukan sejarah lain dalam tubuhmu
tak ada yang mesti ditunggu, katamu
lalu pelan menutup mata
tubuhku kelak menjadi malam, bisikmu
Yogyakarta, 2011

Seseorang Terbaring
di Tepi Sajakku

seseorang terbaring di tepi sajakku
wajah sepi, matanya menyalakan rindu
berusaha membakar malam-malam suntuk
ini bukan tentang ingatan buruk
hanya berusaha mencabut selongsong waktu
yang bersarang di dadamu

percakapan kita masih membasahi mimpiku
saat menggali kedalaman di setiap sajakku
hingga kening seluruh semesta
lamat-lamat menemukan jelaga
sajak tentang sepi dan engkau
masih berbaring di tepi, sajak penghujung mimpi
Yogyakarta, 2011

Malam Panjang

rel waktu membentang sejak petang
menunggu perempuanku di ranjang
malam telanjang, malam panjang
malam penuh hujan riang
kinni ikan-ikan tua mengatupkan insang
Yogyakarta, 2011

Ilham Wahyudi

JANGAN KUTUK KAMI

jangan kutuk kami jadi batu , apalagi anjing pincang, Bu
kami sedang belajar menanam buah;
menangkap ikan dan menanak nasi
kami tak lagi menyembah apapun yang
bapak-bapak kami sembah
setiap hari kami susun kembali
remah-remah yang masih tersisa
sepanjang malam kami bongkar
kepala kami yang rusak tercemar limbah pabrik
mata kami tak pernah lagi memancarkan bunga-bunga api, Bu
mulut dan hati kami juga telah kami install ulang. Kami berdenyut;
kami bukan robot, Bu. Bukan!

Jangan kutuk kami jadi batu apalagi anjing pincang, Bu
jangan!
Medan. 2009

Wajah Merahmu

di langit tak kutemukan wajah merahmu di bilik-bilik awan
yang menyembunyikan butir-butir air hujan.
hanya halilintar kedinginan dan titik-titik pelangi yang berserakan tanpa warna, kesepian di sana. pelan-pelan aku turun ke hutan-hutanmu,
meraba setiap jengkal sudut-sudutnya yang lembab tertimbun
embun pagi.
tak jua kutemukan wajahmu. hanya binatang-binatang buas yang kelaparan dan pohon-pohon tua yang lelah berdiri gemetar menyimak aku berkisah tentang kau yang mencuri sebagian nasibku—aku berhenti sesaat: mengeja bayang-bayang wajah merahmu yang tersapu kabut senja.
hujan jatuh tak beraturan.
halilintar meraung-raung kegirangan;
hutan ini semakin lembab menggendong tubuhku yang digenangi
rindu.
aku semaput.
di langit pelangi tak jadi muncul, besebab malu
warnanya sepucat wajahku.
Medan, 2009

M.Irsyad A. Sungkunan Lubis
-kepada Ayahanda Antilan Purba

Bukan kau letih menulis
tapi telah saatnya kau dituliskan

Dari Makammu Aku Bercermin /I/
M.Irsyad A. Sungkunan Lubis

-kepada Ayahanda Antilan Purba

Tulismu mengguncang apa segala
katamu menggetarkan tafsir di dada
sajakmu memberontak sempat yang ada

walau jemariku tak utuh melambai
mata tak tetap menatap
izinkan kuramu sajak
sebagai pengiringmu menemu
Tuhan di sana

Dari Makammu Aku Bercermin /II/
M.Irsyad A. Sungkunan Lubis

Kau kan tetap kusemayamkan
di dataran hatiku yang hampa
di atas singgasana segala
agar dapat kutatap giatmu
dan meramu segelas syair
pelepas dahagamu sejak dulu

biarkan kuasah sebilah sajak
penebas rumput gambut
penghalang jejakmu
menata kata di zaman tua

Dari Makammu Aku Bercermin /III/
M.Irsyad A. Sungkunan Lubis

Nikmat letih yang kau ajarkan
masih tak sempat kusembahyangkan
fi sela-sela sempat yang padat

tapi tiada kotornya kata
telah menjadi dogma searah
dan menggugus serupa cinta
sekarang dan selamanya

Dari Makammu Aku Bercermin /IV/
M.Irsyad A. Sungkunan Lubis

Nelangsa menganga
saat tiba di rumah tua
disambut tugu dua
di situ ada namamu

tunduk tertekuk
tangis meringis
getar menelantar di sekujur tubuh

dalam dekap gigil
kutulis sebentuk cinta
agar mengubah sajak mutakhir
di zaman sekarang dan nanti mendatang
sebab
dari makammu aku bercermin

Dari Makammu Aku Bercermin /V/
M.Irsyad A. Sungkunan Lubis

Tuliskan aku sajak
dan lontar lewat mimpi

jika tiba saatnya nanti
kan kubasuh hati
menjadi teka-teki
agar orang tak mengerti
arti suci sajak ini

MENGENANGMU 1
Abd. Rahman M
(Antilan)

Baru saja kumulai syair-syairku
kau sudah pergi selamanya
belum sempat kutunjukkan padamu
kau telah tiada

mungkin kau tak tahu siapa aku
karena aku jarang berbicara
diam selalu diam

untukmu aku ucapkan selamat jalan
kau panutanku walau kau tak tahu
aku mengagumimu semangatmu

MENGENANGMU 1
Abd. Rahman M
(Antilan)

Kesederhanaan menyelimuti
harimu
duniamu
jalanmu
semoga kau tenang di sana
Amin

Antara Harapan dan Kegairahan
Hasan Al Banna

APA yang diungkapkan Idris Pasaribu tentang Antilan Purba di halaman ini pada edisi lalu, hampir pasti tidak terbantahkan. Antilan memang gilak buku! Baginya, boleh jadi, tinggi-rendah ‘kasta’ seseorang ditentukan oleh berapa banyak koleksi buku yang berderet di rak lemari.

Benar, itu memang bukan alat pengukur satu-satunya. paling tidak, Antilan sudah memutuskan pilihannya dan lantas khatam membuktikannya: mengoleksi banyak buku (barang tentu juga melahap saripati isinya)! Kecintaan dan loyalitasnya dalam dunia baca-tulis merupakan hal yang tak bisa dilekangkan dari banyak orang selepas kepergiannya menghadap Ilahi Kamis menjelang tengah malam, 24 Februari 2011 lalu.

Tidak pula dapat dipungkiri, Antilan layak menjadi tempat bertanya menyangkut referensi, khususnya perkembangan sastra, baik dari segi teori maupun karya kreatif. Lebih daripada itu, sesungguhnya, khalayak penggiat maupun penikmat sastra menaruh harapan yang besar kepada Antilan. Sebagai akademisi (dosen sastra di Unimed dan beberapa perguruan tinggi di Medan), Antilan digadang-gadang menjadi kritikus sastra yang mendorong karya sastra sekaligus penulisnya ke puncak pencapain terbaik.

Antilan pun menunaikan harapan itu, meskipun tanpa disadari, harapan yang entah terlampau berat itu menyebabkan Antilan terkesan kewalahan. Tidak mengherankan, beberapa kalangan bahkan menuding beliau tidak konsisten sebagai kritikus. Pasalnya, Antilan tidak mampu menampik hasrat untuk ikut cebur ke ranah kreatif penciptaan karya. Dia kerap pula menulis dan menyiarkan beberapa puisinya ke ruang publik. Terlebih pula, teman-teman sastrawan memonten karya kreatif Antilan tidak secemerlang tulisan-tulisan kritisnya, meskipun pendapat ini masih leluasa untuk dimasukkan ke mesin perdebatan.

Mungkin jadi, Antilan melakukan hal yang demikian (turut meleburkan diri ke ranah penciptaan karya sastra) untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa beliau tidak cuma mahir menyayat-nyayat karya orang lain, tetapi lihai pula menciptakan karya sastra. Sayang, ketika karya-karyanya dipindai, tidak sedikit pihak yang menyatakan karya-karya kreatif Antilan tidak seampuh karya-karya kritisnya atas produk sastra kreatif yang dihasilkan para sastrawan. Tidak jarang Antilan mendapat nasihat: jadilah pengamat sejati, tak usah ‘menyusup’ ke gerbong para pencipta karya kreatif.

Memang, anjuran itu kedengaran tidak adil bagi Antilan. Mengapa para sastrawan yang berkutat di dunia penciptaan boleh menjelma pengamat sekaligus kritikus, sedangkan seorang pengamat seolah-olah tidak diperkenankan? Toh, umpan balik dari pertanyaan tersebut tetap meluncur: untuk menjadi kritikus handal tidak serta-merta ditunjukkan dengan karya sastra dari sang kritikus, cukup dengan tulisan kritik yang elegan dan bertanggung jawab.

Sebenarnya, polemik ini muncul dari besarnya harapan dan kebutuhan para sastrawan terhadap seorang kritikus yang independen. Ya, independen dalam makna suntuk dan tekun mengamati, mengulas, memilah, menelusuri ‘sesuatu’ yang terpendam pada hiruk-pikuk karya.

Keilmuan Antilan dengan segenap pengetahuan teori atau referensinya tentang sastra sangat diharapkan untuk dapat menggali, menemukan dan selanjutnya mengerek kualitas karya sastra secara utuh ke tingkat yang lebih baik. Oleh karena itu, harapan tersebut juga tidak berlebihan untuk diletakkan di atas pundak Antilan. Di sisi lain, ada kemungkinan jika Antilan tidak sedang ugal-ugalan menunjukkan diri bahwa dia juga bisa menciptakan karya sastra. Bisa jadi Antilan tak sudi (atau tidak sanggup?) mematahkan kegairahannya dalam bersastra.

Dengan kata lain, Antilan memiliki energi yang sangat besar terhadap dunia sastra. Energi yang digunakan untuk memburaikan isi perut setiap karya sastra yang masih berlebih dimanfaatkannya pula untuk menciptakan karya sastra. Meskipun akhirnya, penilaian umum berbagai kalangan terhadap karya kreatifnya tersebut cenderung dingin, tetapi tetap tidak mampu memadamkan api gairahnya untuk menulis karya sastra.

Lebih penting dari ‘cekcok’ di atas adalah kenyataan, Antilan tidak pernah mengkhianati jagat sastra. Beliau telah memilih dunia sastra menjadi peristiwa yang maha penting bagi sebagian besar perjalanan hidupnya. Tentu dia juga sudah memikirkan segala konsekuensi atas pilihan tersebut. Termasuk ketika dia, sadar atau tidak sadar, menjadi abai terhadap kesehatannya sendiri. Aktivitasnya yang ganas di dunia akademis dan praktis kesusastraan dibiarkan menyandera tubuhnya melewati batas kemampuannya. Setuju atau tidak setuju, fakta ini sekali lagi menunjukkan betapa Antilan tidak bisa dihadang, bahkan oleh penyakitnya sendiri.

Kebengalan’ beliau menantang sengat sakit menuntunnya untuk tetap aktif mendonorkan pengetahuan kepada maha siswa-mahasiswanya, juga bersengketa ilmu dengan para koleganya di taman budaya atau di berbagai sesi diskusi. Antilan sama sekali tidak ingin menunjukkan kepada orang banyak bahwa dia sedang ditodong penyakit buas, walaupun kondisi fisiknya tidak mampu berkelit selincah semangatnya. Ketika akhirnya dia ‘terkunci’ berhari-hari di salah satu ruangan rumah sakit, Antilan tetap kukuh menunjukkan dia dalam keadaan sehat.

Dia tetap mengedar tanda-tanda kebangkitan, mengacungkan kepal tangan, menyambut para pembesuknya dengan aneka canda. Lantas, hanya hembus napas penghabisan yang mampu mendamaikan Antilan agar beristirahat selamanya. Hal yang juga kelak juga dialami oleh setiap kita, manusia yang harus kembali ke haribaan-Nya. Salam takzim untuk Antilan Purba!

Penulis; sastrawan, staf Balai Bahasa Medan, dan dosen luar biasa di FBS Unimed.

Kritikus Sastra itupun Pergi
Jones Goeltom

Belum genap sebulan kepergian tokoh teater Sumatera Utara, Barani Nasution, kini giliran pentolan sastra asal kota ini yang menyusul. Drs. Antilan Purba, M.Pd, sosok yang dikenal serius menekuni dunia sastra, ikut menyusul, setelah sempat dirawat di ruang ICU, Rumah Sakit Pirngadi Medan, Kamis malam, 24 Februari 2011.

Lengkaplah sudah. Keduanya menyusul tokoh musik, Ben M. Pasaribu yang lebih dulu berpulang Desember tahun lalu. Antilan Purba memang bukan sastrawan tulen. Antilan Purba lebih dikenal sebagai kritikus, yang nyaris selama hidupnya mengabdi pada dunia sastra. Dia tak hanya rajin mendokumentasikan karya-karya sastrawan Medan, juga mengkiritisinya. Dia tekun pula memantau perkembangan para sastrawan, berikut karyanya yang tersebar di surat kabar lokal dan nasional. Tidak heran jika pelaku sastra di kota ini, sering menganggapnya sebagai HB. Jassin Medan.

Di samping itu, Antilan Purba sering dianggap motivator terutama oleh para mahasiswanya. Dia tak pernah letih mendorong mereka untuk berkarya. Ditambah kapasitasnya sebagai dosen sastra di Unimed dan UISU, memberinya ruang pengkaderan yang lebih luas. Dia sering mengajak mahasiswa-mahasiswinya berdiskusi di luar kampus.

Melalui Laboratorium Sastra (Labsas) yang dia dirikan bersama Thompson Hs, Yondik Tanto dan Afrion, dia kerap menggelar acara-acara sastra; mulai dari seminar, festival, perlombaan sampai menerbitkan buku. Lewat campur tangannya pula sejumlah komunitas sastra di Medan terus bermunculan seperti komunitas KOMPAK, KOMPENSASI dan KOMA.

Antilan Purba juga produktif menerbitkan buku, baik yang diterbitkan sendiri maupun oleh penerbitan. Buku-bukunya antara lain; Kompetensi Komunikatif Bahasa Indonesia: Ancangan Sosiolinguistik (1996), Bahasa, Sastra, dan Wacana (1997), Kompetensi Komunikatif: Teori dan Terapan dalam Pembelajaran dan Penelitian Bahasa (1998), Sastra Indonesia Kontemporer (2001), Pragmatik (2002), Kompleksitas Sastra Indonesia (2007).

Kecintaannya terhadap buku, terutama sastra, terlihat dari kebiasaannya mengoleksi buku-buku itu. Tahun 2009 saja, dia sudah mengoleksi 4000 –an judul buku, belum termasuk majalah. Di rumahnya, buku-buku menjadi dekorasi utama, di Jalan Serdang, Gang Manggis. “Kegilaannya” mengoleksi buku itu, sering tak masuk akal. “Tiap bulan kuhabiskan budget Rp. 2 juta per bulan,” akunya suatu kali.

Karena mengutamakan buku pula, dia masuk dalam golongan dosen “miskin”. Rutinitas sehari-hari dia jalani dari angkot ke angkot. Kadang pula dia lebih mementingkan buku daripada makan. Tidak heran jika kesehatannya pun kerap terganggu. Puncaknya sejak 2 tahun terakhir, Antilan mulai diserang penyakit yang terbilang serius. Sejenis virus tertentu menyerang telinga, hidung dan mulutnya. Setiap kali kambuh, ketiga organ penting itu, sering mengeluarkan darah. Kondisi itu dia jalani kurang lebih 2 tahun.

Begitu, dia tetap menjalani kegiatannya sehari-hari, termasuk sekedar berdiskusi di Taman Budaya. Terakhir kali, kira-kira 5 bulan lalu, penulis sempat berbincang-bincang dengannya. Saat itu kondisinya semakin parah. Kemana-mana dia menenteng beratus jenis obat plus sebungkus besar kapas. Setiap 5 menit sekali, dia mengganti kapas-kapas yang dia sempalkan di hidung dan telinganya itu.

Kondisi itu tak menyurutkan semangatnya. Ada saja yang ingin dia diskusikan. Tidak semata-mata sastra, tapi meluas sampai budaya tradisi, sosial, filsafat, agama dan politik. Yang paling menarik, setiap kali diskusi, tak lupa dia menunjukkan buku terkait tema yang dibahas. Antilan selalu menyertakan refrensi-refrensi di setiap argumennya dengan penuh semangat.

Sayang Antilan bukanlah penulis yang baik. Dia termasuk yang gagap menuliskan pikiran-pikirannya. Dia lebih fasih melontarkan pemikiran dan gagasannya secara langsung. Tak heran, karya tulisnya (puisi dan cerpen) jarang terpampang di media massa.

Bertolak dari Kesederhanaan

Kesederhanaan adalah ciri dari seorang Antilan Purba. Meski berprofesi sebagai dosen, dia tak pernah menunjukkan sikap otoriter pada mahasiswanya. Dia tak sungkan duduk satu meja dengan siapa saja, tidak terkecuali orang-orang muda yang ingin belajar padanya. Dengan segelas kopi dan rokok, dia mampu berdiskusi sampai larut malam. Kesederhanaan hidup itu, terungkap pula dari motto hidupnya; “Kerjakan yang engkau pikirkan, pikirkan yang engkau kerjakan.”

Di sastra dia cenderung menyukai karya-karya yang mengusung kearifan lokal serta nilai-nilai agama. Dari sedikit puisi yang dia hasilkan, penulis ingat pernah satu waktu, dengan bersemangat, dia menujukkan salah satu puisinya yang masih dengan coretan tangan. nasiku tak kau makan lagi. sillahturahmi kita mati.

Puisi singkat itu termasuk yang dibanggakannya. Menurutnya, sikap individualisme disebabkan karena orang sudah enggan memakan nasi sesamanya. Wabah itu bahkan sudah terjadi di kampung-kampung.
“Jika orang masih mau makan nasi sesamanya, pasti silahturahmi itu tetap terjalin,” tegas sastrawan kelahiran Pematang Siantar, 8 Maret 1958 ini. Lain waktu, dia pernah membahas polemik komplotan seniman Utan Kayu, Saut Situmorang dan kelompok Taufik Ismail tentang erotisme sastra. Bagi Antilan, seorang sastrawan memiliki tanggungjawab moral termasuk ketika berkarya.

Antilan bersepakat, mestinya karya sastra ikut memberikan pencerahan bagi pembacanya. Dia menolak liberalisme buta seperti yang diperlihatkan kelompok Utan Kayu selama ini. “Harusnya sastrawan menjadi benteng masyarakat melalui karya-karyanya, sembari tetap menjaga kebebasannya,” kata lulusan pasca sarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung ini.

Mengenang Empat Penyair yang Telah Berpulang
Darwis Rifai Harahap

Seniman Sumatera Utara berduka. Dalam rentang waktu yang tidak begitu lama, setelah berpulangnya Aldian Aripin, selang beberapa minggu kemudian menyusul Z.Pangaduan Lubis. Derita penyakit yang dialami kedua penyair Sumatera Utara ini sama, yaitu strok ringan.

Sewaktu melayat Z. Pangaduan Lubis di rumah duka di Jalan Gurila Gang Belimbing, penulis membonceng Barani Nasution ke kuburan. Selesai sholat jenazah, Barani Nasution pamit pulang karena esoknya dia akan berangkat ke Jakarta menemui anak-anak dan cucunya. Tidak ada tanda-tanda Barani Nasution begitu sampai di Jakarta dan tak pernah lagi kembali ke Medan, karena tanggal 16 Februari 2011, Barani Nasution, harus mematuhi janjinya. Barani dipanggil Penciptanya di Cikeas Bogor dalam usia 69 tahun.

Innalillah... Rekan Barani Nasution tidak sekedar teman dalam berkesenian, juga seorang guru, aktor, sutradara dan penulis naskah yang handal. Dia juga seorang penyair. Bila dia bicara, lidahnya masih kental dengan aksen Mandailingnya, walau dia cukup lama bermukim di Jogya. Dia juga dapat berbahasa Jawa walau tidak fasih benar. Bahasa Inggeris sangat dia kuasai. Bersama beberapa teman seniman, Barani sempat membuka semacam club diskusi berbahasa Inggeris di Taman Budaya Sumatera Utara sekitar tahun 1990-an.

Kini dia telah tiada. Yang terbayang di benak penulis, wajahnya yang di tumbuhi berewok tebal, telah pula memutih. Tubuhnya yang kecil, nada suaranya yang berat, kulitnya yang sawo mateng, sekilas dia tampak seperti saudara kita asal dari Kampung Keling. Barangkali karena kemiripannya itu jugalah, sutradara Muchtar memberinya peran sebagai sais kereta lembu keturunan keling dalam film Buaya Deli yang di produksi sekitar tahun 1970-an.

Barani Nasution penulis kenal di pertengahan tahun 1969 saat usai pementasan naskah “Yang Di Dalam“ karya dan Sutradara Burhan Piling di Gedung Kesenian Jalan Bali Medan. Sosok laki-laki berewok yang tak pernah terlihat hadir di Gedung Kesenian Medan, dengan bicaranya yang lantang, sistematis, tampil dengan bahasa yang lugas membahas pertunjukan.

Tampilnya sosok asing yang didampingi Surya Darma Lubis (alm) itu, membuat hampir semua mata peserta diskusi tertuju kepadanya. Laki-laki berewok yang bertubuh kecil itu adalah Barani Nasution, salah seorang anggota teater Bengkel Jogya Pimpinan W.S. Rendra. Pantas saja bicaranya begitu lantang dan sangat berkesan.

Usai diskusi perkenalan semakin akrab dan omong-omong non formal dilanjutkan sambil santap malam di warung Siang-Malam di simpang Jalan Bali dan Jalan Thamrin. Bincang-bincang dengan Barani Nasution yang wajahnya ditebali dengan jambang yang subur itu, terkesan dia memang sarat dengan ilmu tentang seni. Tidak heran di awal perkenalan kami di Gedung Kesenian usai pementasan, keakraban berlanjut dengan perencanaan untuk mementaskan “Kasidah Barzanzi” yang telah digelar Bengkel Teater Rendra di Taman Ismail Marzuki Jakarta.

Sayangnya, izin untuk mementaskan, tak didapat dari W.S. Rendra. Bersama Teater Nasional Medan, akhirnya Barani Nasution dengan keseluruhan pemain mengangkat Marhaban Ya Muhammad yang dirujuk dari kitab Barsanji dan pemain direkrut dari Teater Nasional Medan secara profesional.

Pementasan “ MYM” di gelar di Gedung Olah Raga Jalan Veteran Medan selama dua malam berturut-turut dengan menurunkan pemain sekitar lima puluh orang. Sejak itu, nama Barani Nasution yang lahir di Siabu Tapsel 27 Juli 1941 mulai berkibar sebagai seniman teater Sumatera Utara.

Pengalaman berteaternya sejak di bangku sekolah menengah atas di tahun 1959 sebagai pemain di kota kelahirannya. Tahun 1963 dia mulai memberanikan diri bertindak sebagai Sutradara dalam naskah Mutinggo Busye berjudul “Barabah” bersama grup teater Nauli yang dia dirikan tahun 1963.

Selepas mementaskan MYM di Gedung Olah Raga Medan, Barani Nasution mendirikan grup Teater Dionysus tahun 1970. Entah mengapa, dua tahun kemudian Barani Nasution kembali membentuk grup teater yang dia beri nama “Teater Nuansa Medan“ dan banyak mementaskan naskah-naskah kaliber dunia dan naskahnya sendiri di pentas arena Tapian daya Medan dan Gedung Utama Taman Budaya Medan di sekitar tahun 70-an dan 80-an.

Dia juga menerjemahkan drama-drama asing ke dalam Bahasa Indonesia, beberapa diantaranya Medea, Aluetis, Theree Sisters, Orang-orang Resah, Dua Belas Pemberang dan juga menerjemahkan buku-buku pelajaran Teater karya Stanis Lavsky dan Oscar J.Brockett. Pensiun dari Pegawai Bidang Kesenian Sumatera Utara, Barani Nasution hijrah ke Jakarta. Di beberapa senetron arahan Khairul Umam yang pernah tayang di beberapa stasiun televisi, Barani Nasution berkesempatan tampil sebagai pemain pembantu.

Kini Barani Nasution telah tiada. Belum lagi bunga-bunga yang ditaburkan di atas makam mengering, Sumatera Utara kembali kehilangan senimannya. Drs. Antilan Purba, M.Pd., seniman yang dosen ini, ternyata harus kalah dengan takdir yang menyapa. Pengarang buku “Sastra Dan Manusia” ini dipanggil Tuhannya tanggal 24 Februari 2011 lalu.

Derita sakit yang dialami Antilan Purba memang cukup lama. Lebih empat tahun. Walau dalam keadaan sakit, dia tetap mengajar, dan setiap petang hadir di kantin Taman Budaya Suamatera Utara untuk bertukar pikiran dengan teman-teman sesama seniman disana. Biasanya, setiap kali penulis bertemu di kantin Taman Budaya, Antilan Purba tetap sedang mencatat sesuatu di buku hariannya. Selintas, sosok Antilan Purba terkesan adalah orang yang tak hendak menyia-nyiakan waktu.

Begitu juga dengan sosok penyair Aldian Aripin, Z. Pangaduan Lubis dan Barani Nasution. Ke empat Allahyarham yang telah tiada ini, adalah seniman-seniman yang haus akan ‘ilmu’. Setiap kalimat yang meluncur dari mulut mereka, baik kepada seniman-seniman usia muda, tak ada kata yang tak bermanfaat untuk disimak. Aldian Aripin dan Z. Pangaduan Lubis adalah orang yang tak mau kompromi pada hal-hal yang tak sejalan dengan pikiran mereka. Dalam puisinya yang berjudul Revolusi, Aldian Aripin berkata;

Revolusi kita adalah revolusi manusia
Yang bergerak kesegala arah
Siapa yang alpa
Tersisih dari sejarah

Aldian Aripin terasa begitu lantang pada bait pertama dari sajak yang berjudul Revolusi itu. Puisi ini dia muat di halaman 14 dari kumpulan puisi tiga penyair Sumatera Utara yang berjudul Ribeli 1966. Ketiga penyair itu, Dojahan A Nasution, Aldian Aripin dan Z. Pangaduan Lubis yang telah tiada.

Dalam puisi pendeknya yang berjudul Akan Tiba Waktu, kelantangan Aldian Aripin semakin kentara. Lihatlah, jutaan mata menatap - dengan satu dakwa: - Engkaulah sumber bencana! Pada bait ke dua dia meneruskan, Lihatlah, jutaan tangan teracung – dengan satu tuntutan : - Turun tahta ! Sekilas Aldian Aripin seolah sulit untuk tidak meledak-ledak. Dia memang sedikit beda dengan sahabatnya Z. Pangaduan Lubis yang sempat meneteskan air mata begitu mendapat kabar tentang berpulangnya Aldian Aripin.

Dia menangis karena tak dapat melayat kepergian seorang sahabat dikarenakan kesehatannya yang semakin memburuk. Dari atas kurasi rodanya dia menyitir beberapa bait puisinya yang juga dimuat dalam Ribelli 1966. Puisi itu berjudul Lemari Kaca. Dalam lemari kaca – pada sudut ruangan sejarah – tersimpan duka cita.

Pada bait kedua dia meneruskan Dalam lemari kaca – berbaris boneka mainan, mereka – para pahlawan yang dilupakan. Di bait ke tiga dia menutup sajaknya dengan Dalam lemari kaca – segala kezaliman dipendam – sejak lama – kita telah melihatnya.

Kini keduanya telah tiada. Kalau Barani Nasution meninggalkan beberapa jilid buku yang dia terjemahkan, Antilan Purba yang puisi-puisinya dimuat di beberapa antoloji. Penulis lebih tetarik dengan beberapa esai yang telah dia terbitkan dalam bentuk buku, dan dia beri judul Sastra Dan Manusia.

Bagi Antilan Purba karya sastra hanya permainan kata. Ketika beberapa mahasiswanya menanyakan tentang keterkaitan karya sastra dengan agama, Antilan Purba semakin bersemangat. Agama ya agama. Sastra dan agama berhubungan erat. Tidak dapat dipisahkan. Jika dipisah, merugi dan membahayakan kehidupan manusia.

Sastrawan yang dilahirkan atas nurani bertuhan, karya-karyanya disinonimkan dengan “Sastra Relegius”. Cerminan itu memang ada pada diri Antilan Purba yang kini telah menghadap Khaliknya. Usai sholat Ashar atau magrib di mushola Taman Budaya, dia akan kembali duduk ke kantin, memesan kopi susu, dan kembali menelaah buku dan mencatat. Orang-orang baik yang sarat dengan ilmu itu telah meninggalkan kita. Karya-karya mereka masih dapat kita baca dan telaah.
Mdn 2 Maret 2011 drh.

Antilan Purba dan Bukunya
Seorang dosen kelahiran Bandar Simalungun, Drs. Antilan Purba, M.Pd., yang akrab dengan semua mahasiswanya, Jumat siang 25 Pebruari 2011, dikebumikan setelah disembahyangkan di mesjid tak jauh dari rumahnya. Tujuh tahun lamanya dia menahankan sebuah derita penyakit kanker di bagian lehernya.

Hasil foto terakhir di Rumah Sakit Pirngadi Medan, penyakit yang tak mau kompromi itu sudah menyerang sampai ke otak bagian kanan, setelah terlebih dahulu menyerang bagian kiri. Isterinya yang setia beserta anak-anaknya, siang malam menjagainya. Antilan sangat mereka manjakan, karena Antilan juga masih sempat-sempatnya bercanda dengan istri dan anak-anaknya bahkan dengan penulis, saat berkali-kali menjenguknya ke rumah sakit. "Bagaimana kabarmu?" sapa penulis.

"Biasa saja," katanya sembari memberikan jempol tangan kanannya sebagai ganti salaman. Bukan dengan penulis saja yang pada sebuah malam ikut membawanya ke Rumah Sakit Pirngadi. Ketika mahasiswanya datang membesuknya, dari tempat tidurnya, dia sempat memberikan ceramah (kuliah). Di rumah saat mahasiswanya datang, dia juga sempat ikut membacakan puisi di depan para mahasiswa di teras rumahnya. "Ingat kuliah ini tiga SKS," katanya kepada para mahasiswa yang datang membesuknya, dengan artikulasi yang sedikit agak terganggu.

Selain mengajar di Universitas Negeri Medan (Unimed), Antilan juga mengajar Sastra dan Bahasa di berbagai perguruan tinggi swasta lainnya. Di bahunya selalu tersandang tas hitam yang penuh dengan buku-buku dan makalah, tak kurang beratnya minimal 10 Kg. Lalu duduk di kantin Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), memesan segelas kopi dan menghirup rokok kreteknya, sembari membaca buku atau bercengkerama. Jika tak ada temannya bercengkrama, Antilan pun mengirimkan SMS kepada penulis yang bunyinya selalu; aku sdh di tbm. dtnglah, agr kt mulai pertengkaran.

Jika SMs itu sudah berbunyi demikian, berarti ada buku baru yang sangat menarik untuk dipamerkannya, lalu kami "pertengkar"kan. Kami selalu mengatakan, kami adalah teman bertengkar, bukan lawan bertengkar. Kami tak pernah berdiskusi, tapi bertengkar.

Kata diskusi kami ganti dengan bertengkar. Untuk apa berdiskusi, kalau hasilnya pertengkaran, kan lebih baik bertengkar tapi sebenarnya kami sedang diskusi serius, itulah kesepakatan kami. Penulis dan Antilan sudah 20 tahun lebih berteman, tapi 10 tahun terakhir menjadi teman bertengkar yang serius. Penulis dan Antilan memang selalu menjadi sparing partner dimana saja ketemu.

Jika ketemu buku baru dan menarik, dia selalu menganjurkan agar penulis membelinya. Jika penulis tak punya uang, seusai dia membaca buku itu, penulis boleh meminjamnya tiga hari, kemudian "dipertengkarkan". Bisa bertengkar di bawah pohon asam, bisa di kantin TBM atau dimana saja. Bahkan kami pernah beberapa kali bertengkar di toko buku Gramedia, hingga pembeli buku membelalakkan matanya kepada kami dan satpam pun datang mengingatkan, agar suara kami tidak mengganggu orang lain.

Saat banjir melanda rumah penulis, buku-buku yang terendam air selama dua hari dua malam pun menjadi bubur. Ada beberapa buku yang mau difotocopykan, Antilan membuat ultimatum, tak boleh lebih dari lima hari. Untuk buku, Antilan memang sangat ketat bahkan super ketat.

Dari buku-bukunya yang buuuanyak itu, Antilan pun memiliki referensi yang lebih dari cukup, untuk menulis buku. Setiap bukunya terbit, Antilan "memaksa" penulis untuk menjadi orang pertama yang membeli bukunya. Tak boleh ditawar. Begitu mendengar novel penulis di luncurkan, dia pun mengancam:"Bang akulah orang pertama yang akan membeli novel abang. Ingat itu!"

Antilan pun menyerahkan uang Rp. 55.000,- Entah dari mana dia tau, harga novel yang belum diluncurkan, sementara penulis sendiri belum mengetahui berapa harga novel akan dijual oleh penerbit. Saat peluncuran buku di Gelora Bung Karno Jakarta di Ruang Anggrek, penulis terkejut. Benar harga novel penulis yang berjudul Acek Botak itu, Rp. 55.000,-

Antilan sudah menerbitkan 14 buah buku yang diterbitkan oleh berbagai penerbit dan terakhir diterbitkan oleh sebuah penerbit dari Jogjakarta. Dua buah buku lagi sudah siap dan menurutnya akan dikirimkan ke penerbit (maaf tak disebutkan apa penerbitnya).

"Nanti pada 10 Pebruari 2011, kedua buku ini akan kukirimkan ke penerbit. Mereka sudah menunggu," katanya pada penulis. Selain dua buku yang sebenarnya sudah siap terbit, ada empat buku lagi sedang dikerjakan dan hampir rampung. Antilan sudah menunjukkannya kepada penulis di rumahnya saat penulis mengunjunginya. Penulis tak tahu, apakah buku itu jadi dikirimkan ke penerbit atau tidak, karena suatu malam, penulis ikut membawanya ke Rumah Sakit Pirngadi Medan.

Kini Antilan telah tiada. TBM terasa agak sepi juga, tanpa dirinya, apalagi kantin yang selalu "dihuninya" untuk melepas lelah, tak terdengar lagi hentakan suaranya. Antilan, pertengkaran kita belum selesai. Entah kapan, tapi pasti, kita kelak akan bertemu dan akan kita lanjutkan pertengkaran kita yang belum selesai itu, sampai tuntas. Multikultural? Ya. Multikultural. Sastra kontemporer? Okey, sastra kontemporer. Selamat jalan sahabatku, temanku bertengkar.
Idris Pasaribu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar