Jumat, 08 April 2011

Dunia Kesenian: Mempertanyakan Nurani dan Kepedulian

M. Yunus Rangkuti

Pada 27 – 29 April 2008,beberapa waktu lalu, penulis diundang panitia sebagai peninjau pada acara “Temu Penyair 5 Kota” di Payakumbuh, Sumatera Barat. Acara berlangsung sukses. Kesuksesan ini terlihat dari besarnya kepedulian Pemerintah Kota Payakumbuh, Pemerintah Daerah Sumatera Barat, Dewan Kesenian Daerah Kota Payakumbuh, Dewan Kesenian Sumatera Barat, Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Payakumbuh, Universitas Andalas, Komunitas Seni Intro, serta antusias masyarakat setempat. Terlebih di Nagari Taeh, kampungnya Penyair Khairil Anwar. Ratusan masyarakat antusias mengikuti acara mengenang penyair ternama tersebut.
Kita mungkin berbangga hati membaca biodata Khairil Anwar yang dilahirkan di Medan. Apakah daerah ini merasa memiliki sastrawan tersebut? Setiap kali bulan April tiba, kegiatan apa yang kita laksanakan untuk mengenangnya? Masyarakat Nagari Taeh beserta jajaran Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, dan Pemerintah Sumbar telah menyatakan Khairil Anwar adalah penyair yang lahir dari daerahnya.
Besarnya kepedulian dan antusias pemerintah dan masyarakat daerah tersebut, merupakan hal yang hampir-hampir tak tampak di sini. Berkali even kesenian yang diselenggarakan di Medan khususnya, tampak sepi. Baik dari peserta, undangan, maupun masyarakat yang menyaksikan acara tersebut. Sementara pelaksanaan acara berlangsung seadanya, sebab kurang mendapat dukungan dari pemerintah dan instansi yang terkait. Terutama dalam pendanaan.
Beberapa kali kegiatan yang seharusnya dilaksanakan harus molor dari jadwal, diundur tanpa kepastian, atau terpaksa dibatalkan, karena kesulitan dalam pendanaan dan fasilitas. Contoh kasus, ketika Medan ditetapkan sebagai tuan rumah “Temu Penyair se-Sumatera 2004”. Bertahun acara tersebut tak terlaksana. Baru terselenggara pada Desember 2007 lalu, disatukan dalam kegiatan “Temu Sastrawan se -Sumatera/ Sumatera Utara”.
Sesungguhnya kekurangpedulian bukan hanya terlihat di setiap kegiatan kesenian, namun semua hal terkait di bidang kesenian. Termasuk pelaku seni atau seniman yang sesungguhnya adalah asset. Seperti halnya olahragawan, politikus, tekhnokrat, atau kalangan bisnis. Padahal, banyak seniman Sumatera Utara yang karyanya telah mengharumkan Sumatera Utara di tingkat nasional dan internasional.
Bisa dikata, hanya seniman di bidang musik dan tari yang berkali merasakan “manisnya” kucuran dana pemerintah. Sedangkan seniman di bidang sastra, teater, lukis, dan kriya hanya sesekali mencicipi. Itu pun harus pontang-panting untuk meminta dana. Tahun-tahun belakangan ini Dewan Kesenian Sumatera Utara, Dewan Kesenian Medan dan daerah tingkat dua lainnya nyaris tak mampu melaksanakan kegiatan. Termasuk juga Taman Budaya Sumatera Utara, dikarenakan tak memiliki anggaran. Beberapa seniman yang diundang menghadiri kegiatan di daerah lain urung berangkat, karena kesulitan dana.
Pahitnya suasana berkesenian di Sumatera Utara sangat dirasakan para seniman dalam hidup dan kehidupannya, hingga akhir hayatnya. Satu dua menjalani masa tuanya terlunta-lunta. Di mana nurani dan kepedulian kita?
Masih membayang di mata kita kondisi penyair N A. Hadian yang sakit-sakitan menjelang akhir hayatnya. Beliau bahkan beberapa hari “terdampar” di pelataran musholla TBSU. Hanya seniman yang peduli padanya. Tiada uluran tangan pemerintah daerah membantu biaya perobatannya. Setelah beliau meninggal, penghargaan apa yang telah diberikan padanya? Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkannya?
Kondisi-kondisi yang hampir sama juga dialami dialami seniman kita yang telah meninggal, ataupun saat ini sakit-sakitan. Dunia kesenian kita berkali berkabung, disaat senimannya meninggal dunia. Buoy Hardjo, Maruli Simbolon, Amiruddin AR, Danil Eneste, Rusli A. Malem, Lazuardi Anwar, Sirto Yono, Monos Ra, M. Yunus Matondang, Tantowi Yunus, Slamet Khairi, Usman Al Hudawy,dan Raswin Hasibuan. Mungkin hanya seniman, keluarga, kerabat dan tetangga yang peduli dan sangat merasa kehilangan.
Apakah kondisi seperti ini dirasakan juga di daerah lain? Mungkin saja sama, atau malah sebaliknya. Mereka para seniman justru sebegitu dipeduli oleh pemerintahnya. Seorang sastrawan Medan, pernah menulis tentang sastrawan ternama Propinsi Riau mendiang Idrus Tintin, ketika beliau menderita sakit. Dia menceritakan betapa tingginya kepedulian masyarakat Riau dari berbagai kalangan. Termasuk juga dari Sumatera Barat dan Sumut.
Mulai dari gubernur, walikota, wakapolda, Rektor Universitas Negeri Riau, pejabat pemerintah setara lainnya hadir membesuk Idrus Tintin di rumah sakit. Kepedulian dan simpati yang dalam juga diperlihatkan kalangan budayawan dan seniman Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat. Dari Medan, seorang pejabat mengirim bantuan alat perobatan. Bagi sebagian besar masyarakat Riau, Idrus Tintin adalah sosok seniman yang pantas dihormati.
Ah, kepedulian seperti itu sesuatu yang langka di sini.


Penulis: Pegiat di Komunitas Home Poetry

Maha Ada di Suka Duka Jiwa

Maha Ada di Suka Duka Jiwa
Cerpen: M. Yunus Rangkuti
Duka tak mengerti, mengapa Jiwa cenderung mengabaikannya. Jiwa ternyata lebih condong pada Suka. Di mana dan ke mana pun mereka berada, Jiwa selalu saja memperlihat dan memperkenalkan Suka. Jiwa sebegitu membanggakan Suka. Duka merasa Jiwa selalu menutupi keberadaannya. Tak memperlihatkan, membicarakan, bahkan berupaya melupakannya. Padahal, di saat Jiwa ditinggal Suka berlama-lama, Duka begitu setia menemani. Menanti kapan Suka akan kembali, atau turut mencari ke mana Suka pergi. Meski penantian dan pencarian memakan waktu, menguras apa saja, atau hanya sia-sia.
Duka merasa Jiwa terlalu memanjakan Suka. Merasa Suka adalah segalanya. Berkali. Duka menyaksikan Jiwa bagai lepas kendali saat bermanja dengan Suka. Sebenarnya Duka tak cemburu, Duka tak ingin Jiwa menjadi lalai. Namun, saban kali Duka mengingatkan, Jiwa justru menyalahkannya. Duka malah dianggap sebagai penyebab perginya Suka. Duka tak pernah membantah Jiwa. Duka menampung segalanya. Segala amarah dan keluh-kesah. Duka berusaha meyakinkan Jiwa, bahwa Suka pasti kembali, andai bersabar dan terus berupaya. Tapi entah mengapa, Jiwa justru melupa di saat Suka telah kembali berada. Jiwa kembali bermanja-manja dengan Suka. Berulang ini terjadi, namun Duka tetap setia menemani.
Apakah Jiwa telah melupakan perjanjian yang mereka ikrarkan di hadapan Maha? Atau Jiwa tak menyadari dan kembali mengulangi sebentuk kesalahan pernah terjadi? Di mana pada awal Jiwa ada dan berada, Duka pun dihadirkan. Maha menyatukan mereka. Sementara keberadaan Suka sepenuhnya ada pada Maha. Namun Jiwa menginginkan Suka. Jiwa merasa hampa, merasa tak sempurna tanpa memiliki Suka.
“Ya Maha, berikan daku Suka, agar sebagai Jiwa daku mempunyai rasa seutuhnya.” Berkali Jiwa mengulangi permintaan kepada Maha. Maha pun berkenan, dengan persyaratan Jiwa harus berupaya dan selalu menjaga.
“Sepenuhnya Suka milikku. Aku hanya memberi seperkian saja, karena kau tak akan sanggup menjaga.”
Lalu satu waktu, Jiwa sebegitu takjub melihat sebentuk mirip dengannya. Sebentuk yang seketika mengusik perasaan. Sebentuk yang tampak sedemikian mempesona.
“Apakah kamu Suka?” Sebentuk itu mengangguk. Seketika Jiwa pun melupa keberadaan Duka.
Satu waktu Suka merayu Jiwa. Jiwa tergoda. Maha murka, karena Jiwa telah melanggar pantangan.“Aku berikan Suka agar kau selalu mengingatku. Mengapa engkau melupa?”
“Ampuni daku Maha.”
“Aku mengampunimu, namun untuk itu engkau harus menjalani satu rentang waktu pada suatu tempat. Duka akan selalu menemanimu. Pada rentang waktu dan tempat tersebut Suka akan berada. Suka kuhadirkan dalam berbagai unsur dan bentuk. Suka adalah rahasiaku. Aku yang menentu dan mengatur kapan kuperlihat dan kuberikan. Aku yang berkuasa mengambilnya kembali. Ingatlah! Suka adalah bagianku, maka jangan sesekali melupakanku.”
Jiwa pun mengembara pada suatu tempat menjalani satu rentang waktu. Duka selalu mengisi hari-harinya. Jiwa terpana menyaksikan alam barunya. “Apakah ini seluruhnya adalah Suka? Lalu, di mana Suka yang pernah kurasa? Suka yang menemaniku bersenda-canda?” Benak Jiwa dipenuhi tanya.
“Duka, bantulah daku menemukan Suka.”
“Bukankah seluruh yang berada di sekitarmu adalah Suka?”
“Daku menginginkan Suka dalam sebentuk penuh pesona.”
“Berupayalah Jiwa.”
“Upaya bagaimana daku lakukan? Daku merasa sebegitu hampa.”
“Selalulah mengingat pada Maha.”
“Bagaimana caranya?”
“Bersamaku kau kan selalu mengingat.”
Jiwa pun berjalan bersama Duka. Melangkah menyusuri sungai, menempuh rimba belantara, mendaki perbukitan, dan menuruni lembah. Berhari, berbulan, bahkan bertahun. Lalu pada satu waktu di satu tempat datar meluas, Jiwa akhirnya bersua Suka yang pernah mempesonanya. Jiwa dan Suka kembali bersatu.
***
Waktu terus berlalu. Jiwa bertebaran di mana-mana. Saling berlomba memperebutkan Suka. Sesama Jiwa bertikai, berperang, dan saling bunuh untuk mendapatkan Suka Demi Suka Jiwa kembali melupa Maha. Berkali Maha menegur Jiwa melalui Duka, namun hanya sesaat Jiwa mengingat Maha.
Jiwa merasa telah memiliki Suka sepenuhnya. Jiwa justru menganggap telah mencipta Suka. Untuk itu Jiwa berhak sepenuhnya akan keberadaan Suka. Jiwa telah melupakan perjanjiannya di hadapan Maha.
Jiwa kecewa, ketika Maha mengambil sebagian atau sepenuh Suka darinya. Ketika Maha menebar Duka, Jiwa merasa teraniaya. Jiwa tak bias menerima. Bagi Jiwa Duka hanyalah fenomena biasa yang segera sirna. Ketika Duka berkepanjangan, Jiwa berkeluh resah. Jiwa tak bisa menerima. Jiwa protes, mempertanyakan Maha:
Maha,
Duka ini milikmu
Mengapa daku harus merasa?
Maha tak lagi langsung berkata mengingatkan Jiwa. Maha tak lagi menegur lewat kata-kata. Sejak awal Maha telah memperingatkan Jiwa. Bagi Maha segelintir Jiwa yang mengingat, adalah lebih utama. Merekalah Jiwa-Jiwa mulia. Jiwa-Jiwa yang kelak berhak menikmati Suka sepenuhnya.
Ingatlah Jiwa,
Ketika Duka engkau rasa
Sesungguhnya aku menyapa
Mengapa engkau melupa?
Maha tetap mempertahankan Duka pada Jiwa. Melalui Duka, Maha memperingatkan Jiwa yang berlomba memperebut Suka. Bermanja atau justru membanggakan Suka. Entah mengapa, berjuta Jiwa tak juga bisa menerima akan Duka. Di kala Suka Jiwa melupa Maha, di kala Duka Jiwa mempertanyakan Maha.
“Maha, Maha! Mengapa Duka selalu mendera?”
Jiwa selalu merasa Duka jadi penyebab terengutnya Suka. Di kala Duka kian terasa, Jiwa-Jiwa berlomba enyahkan Duka. Seakan Duka tiada dan tak perlu ada. Bukannya memakna, mengapa tercipta Duka. Mengapa Maha Hadirkan Duka?
Satu waktu jiwa kembali bertanya pada Maha:
Di mana engkau
Rupa tiada*
Jiwa sebenarnya tak merindu Maha. Jiwa tak bisa menerima kehilangan Suka. Entah kenapa, Jiwa sebegitu mudah melupa atau tak menerima bahwa Maha adalah segalanya. Maha berada di mana saja. Pada Suka maupun Duka. Maha ada di Suka Duka Jiwa.
Medan, 0508
* dari Padamu Jua, Amir Hamzah

MAHA BENCANA

inilah maha bencana sesungguhnya
ketika di mana-mana limbah meruah membuncah
mempolusi apa saja siapa saja
hari ke hari pabrik-pabrik industri
memuntah jutaan ton limbah organik dan non organik
parit, sungai, danau terkontaminasi
limbah kian melarut pekati laut
segala biota terancam binasa
dalam sampan nelayan diam muram
ikan-ikan menjauhi tepi pantai
mencari sarang, karena terumbu karang telah hilang
limbah bak arus terus menggerus
menggulung tak terbendung
air, tanah, udara diperkosa

apa yang kita rasakan, ketika
suhu bumi mulai meningkat saat lidah api menjilat
karena atmosfir nganga terkoyak
apa yang kita alami, ketika
badai radiasi matahari menggerogoti
kita bagai memabuk mimpi-mimpi buruk
melagu igau lalu kaku beku
ketika hutan ditebang dan dibakar
apa yang kita saksikan?
orang utan kehilangan dahan gegayutan
harimau menceracau tak tentu tuju
rusa dan beruang terus lintang-pukang
badak dan gajah melangkah lelah menuju punah
burung-burung bersenandung murung
kupu-kupu dan kumbang terbang gamang

ketika suhu bumi bertambah panas
hamparan salju beku pun mencair
meninggikan permukaan lautan
arus air deras mengalir membanjiri daratan
memporakporandakan tatanan kehidupan
apa lagi yang dapat kita lakukan
ketika virus penyakit terus mewabah
masihkah kita berpangku tangan
dan membiarkan peradaban musnah?

Medan, 2009

PARODI DIRI

sebegitu lesatkah matahari berlalu luluh? tanpa hangat menggeliat tubuh guyur hujan di dinihari menggerimis hingga pagi gigil dingin masih memilin kita hilang gegas dikemas malas
pada beranda senja kita merenda kata cerita purba menjelma di kepala menyisa tanya hampa , “apa, mengapa dan bagaimana” matahari melesap malampun mendekap apakah kita masih berharap mimpi membuai jadi berarti di esok hari
apa yang tersisa pada rentang siang? rutinitas tak pernah tuntas, resah tertumpah di jalan berbasah, pesona pelangi menari mimpi, atau kulik elang hilang peluang di ambang petang tapi mengapa pagi berkali kita khianati?
2008

M. Yunus Rangkuti lahir di Medan, 21 Maret 1966. Puisi-puisinya banyak menyebar di beberapa harian Medan. Selain itu beberapa karyanya sudah dibukukan dalam antologi bersama, seperti: ASA, DALAM KECAMUK HUJAN, TENGOK 4, AMUK GELOMBANG, JELAJAH, MEDAN PUISI, MEDAN SASTRA, MUARA TIGA, dll. Bergabung dalam komunitas FKS (forum kreasi sastra-Medan), LABSAS (laboratorium sastra), KSI (komunitas sastra indonesia-medan), GENERASI dan YA. Production. Bermukim di Desa Sampali, Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara. No. Kontak: 081396936505 mengikuti kegiatan sastra Temu Sastrawan Nusantara 1996, Dialog Utara Indonesia-Malaysia 2001, Temu Penyair Lima Kota Payakumbuh 2008, Temu Sastrawan Indonesia Jambi 2008.Bersama M. Raudah Jambak, Afrion, Djamal, S. Ratman Suras, Saiful Amri, dll, mengusung Komunitas HP (Home Poetry), SEKARANG sedang sibuk membidani RUMAH KATA bersama Nasib TS, Idris Siregar, Ratman Suras, Rina Mahfuzah, dkk.

1 komentar:

  1. Salam Sastra.....
    Kenalkan, saya Zainal Arifin Sihaloho (Sastra Seratus Kilometer) berdiam di Tapanuli Tengah. Saya ingin bertanya,,,,,
    Bisakah menjadi Anggota FKS-Medan jarak jauh? jika bisa bagaimana caranya? Saya merasa tertarik untuk menyalurkan potensi saya di dunia sastra. Puisi-Puisi dan novel saya (sebagai penilaian, lihat http://jendelasastra.com dengan nama Sastra Seratus Kilometer)
    Terima Kasih....

    BalasHapus