Jumat, 08 April 2011

Tumbuhkan Sastra Sejak Dini

Lelaki, Belati dan Tumini

SAMPAI beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Lelaki itu sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu membulatkan tekad menapakkan langkah. Lelaki itu menelusuri ruang-ruang basah. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya.
HUJAN masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu melangkah berkendara engah. Lelaki itu berjalan mengikis pongah. Hujan seperti bersimpati padanya. Tak henti membasuh luka sekujur tubuh yang mulai ringkih itu. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bukan. Bukan karena perih tubuhnya. Bukan lantaran guyur hujan dan deru angin. Tetapi, ada yang lebih pedih dari itu, hatinya.

Hatinya gulana. Semacam beliung yang tak henti-henti menderes batang nadi. Mengoyak bilah-bilah dada. Lelaki itu hanya tak menyangka. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala makna. Sehingga ia tak lagi sanggup mengunyah definisi-definisi setia. Tak sanggup meneguk tuak-tuak nisbi, Tumini, istrinya.

Pagi-pagi sekali, setelah menyusun botol jamu, Tumini menitip pamit padanya. Setelah melabuhkan bakul jamu di punggungnya, Tumini segera menapak langkah. Lelaki itu pelan-pelan mengutip kembali jejak yang ditinggalkan.

Biasanya Tumini selalu mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, meski jamu hanya sedikit yang berkurang.
“Hati-hati di jalan, ya...”
“Ya, Kang Mas...”

Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan beranjak dewasa dan momongan tak pernah singgah di gendongan, tak pernah ada kata luka dalam diksi puisi cinta mereka.

Kalau dihitung mungkin hanya sekali pertanyaan mengejutkan terlontar. Pertanyaan itu langsung terasa begitu mengganggu. Mencemari kisah hari-hari mereka.
“ Tadi siang aku melihatmu di terminal...”

“Ya, tadi aku sempat singgah...”
“Siapa laki-laki yang kerap memelukmu dari belakang itu?”
“Hanya pelanggan.”
“Pelanggan?”
“Ya, pelanggan.”

“Hanya demi segelas jamu kau biarkan laki-laki itu berbuat sesukanya?”
“Itu di luar kendaliku...”
“Kebetulan hanya satu itu yang sempat terlihat...”
“Maksudmu?”

“Mungkin yang tidak terlihat lebih dari itu...”
“Ooo, berarti kau sudah berpikiran, bahwa aku perempuan murahan, begitu!?”
“Aku tidak berpikiran seperti itu.”

“Tetapi kata-katamu menuduhku seolah-olah aku bukan perempuan baik-baik,” Tumini menarik napas, “Mas, dengar. Seburuk apapun aku di pikiranmu, aku tidak akan menodai perkawinan kita.”

“Aku percaya.”
“Kalau kau percaya mengapa kau menuduhku seburuk itu.”
“Aku hanya kuatir.”
“Percayalah, Mas. Kalau kau percaya itu lebih cukup bagiku untuk tetap setia.”
“Aku percaya.”

“Ya, aku juga percaya padamu. Aku percaya kau tidak akan pernah berkhianat padaku...”
Setelah pembicaraan itu memang tak ada lagi kata-kata. Kata-kata sepertinya hanya pengantar ke puncak gairah. Kata-kata berganti irama desah. Berganti lumatan, pagutan, dan rangsang gelinjang. Hujan pun seperti telah ditakdirkan mengambil perannya sendiri. Menghadirkan orkestra romantis yang begitu puitis.
***

SEBAGAI seorang pengangguran, lelaki itu selalu menimbun malu. Harga dirinya sebagai seorang lelaki sering terusik. Ia ingin mendapatkan pekerjaan tetap, tetapi hanya pekerjaan semrawutan yang bisa ia dapat.

Ada rasa sedih, marah, kecewa, bercampur aduk dalam benaknya. Ingin rasanya ia menjadi suami seutuhnya. Kepala keluarga yang sebenarnya. Suami yang mencari nafkah, istri yang menjadi ratu di rumah. Tetapi, hal itu belum mampu diwujudkannya. Istrinya yang mencari nafkah, ia sebagai suami hanya melukis sesal di rumah.

“Kita belum punya anak...,” lelaki itu mulai mengeja cerita, suatu kali di beranda.
“Mas, jangan mulai lagi...,” Tumini menyeka air mata.

“Maksudku, sebagai seorang lelaki, aku ingin kau menjadi istri seutuhnya,” lelaki itu menyalakan sebatang rokok di tangannya, “Aku hanya tidak sampai hati melihatmu yang harus luntang-lantung mencari nafkah. Sementara aku hanya penjaga rumah yang tidak memiliki daya.”
“Mas, aku ikhlas menjalani ini semua. Aku hanya ingin membantumu..”
“Dan aku tidak sampai hati melihat semua itu...”

“Mas, dengarkan aku. Tidak ada setitik pun dalam pikiranku merendahkanmu. Kau adalah pahlawanku. Aku ingin berbuat sesuatu untukmu. Dan aku hanya bisa melakukan itu. Aku hanya bisa sebagai penjual jamu. Aku tidak bisa lebih dari itu. Percayalah.”

Kembali lelaki itu tersengat tak berdaya. Di matanya Tumini adalah sosok perempuan yang betul-betul sempurna. Selalu saja siraman-siraman sejuk yang terlontar dari bibir mungil Tumini. Keyakinannya semakin cadas. Rasa percayanya kepada Tumini sepadat logam. Lelaki itu semakin pasti. Pasti akan kesetiaan Tumini.
***

PAGI-pagi sekali lelaki itu pergi, setelah merapikan botol jamu Tumini. Tumini berselubung sakit. Menitip maaf padanya. Setelah melabuhkan kecup di dahi Tumini, lelaki itu segera menapak langkah. Lelaki itu diam-diam merangkai kejutan, mencatat pada jejak yang ditinggalkan.

Kali ini lelaki itu seolah mendapatkan kesempatan mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, menabalkan niat kejutan cinta yang lama terpendam walau hanya sekadar setangkai kembang.

“Hati-hati di rumah, ya...”
“Ya, Kang Mas...”
Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan beranjak dewasa, dan momongan tak pernah singgah di gendongan. Dan kesempatan ini tidak akan begitu saja dilupakan sebagai pengerat diksi puisi cinta mereka.

Sampai beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Lelaki itu sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Lelaki itu membulatkan tekad menapakkan langkah. Lelaki itu menelusuri ruang-ruang basah. Lelaki itu sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya.

Hatinya membunga. Semacam taman yang tak henti-hentinya menebarkan semerbak aroma surga. Menyusup pada bilah-bilah dada. Sesampainya di rumah, lelaki itu menggelupurkan sesak dada. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala bahagia. Sehingga ia tak paham lagi mengunyah definisi-definisi setia.

Entah apa yang merasuk di kepalanya. Ada amuk yang mengelora. Ranjangnya membanjir gairah. Ranjangnya ditenggelamkan irama desah. Bukan gairah miliknya. Bukan irama desah miliknya. Setangkai melati di tangannya ikut merasakan deru amarah. Seketika tenggelam bermandikan darah. Belati di tangannya memerah. (Cerpen M. Raudah Jambak)

Cerpen Muram Batu
Berhenti Bermain Luka
KAU tersenyum. Kau dapat peran baru. Kau pulang dengan ringan. Kau telah menerima kesempatan untuk mengubah karakter. Ya, sejak bergabung dengan kelompok sandiwara itu, kau selalu saja kebagian karakter yang sama; perempuan yang kehilangan kekasih. Peran yang cocok, sebenarnya. Setidaknya, penonton suka dengan peran yang kau mainkan. Namun, pergolakan dalam dirimu telah mengalahkan tepuk riuh penonton. Kau butuh yang lain. Kau butuh tantangan peran. Dan, kini semuanya telah di tangan.
LAYAR tutup. Panggung gelap kembali terang. Suara penonton perlahan menjauh, meninggalkan bangku-bangku yang sebelumnya penuh. Anggota pentas mulai mengangkati properti satu persatu. Pelan namun pasti, panggung kembali kosong. Kau duduk bersila di sudut panggung, menatap layar, tanpa gerak. Sama sekali tidak terpengaruh oleh suara ribut; ucapan selamat atau basa-basi penuh suka.

Ini ketiga kalinya kau duduk seperti itu sehabis pentas. Kali pertama memang sempat mencuri perhatian hingga sebagian besar orang berebut lempar kata untukmu. Kali kedua pun hampir sama, walau berkurang, tetap saja ada orang yang bertanya juga beri tanggapan.

“Nauli, ada apa?”
“Nauli, kau sakit?”
“Kau belum makan?”
“Sudah, lupakan saja, ini hanya sandiwara. Besok masih ada peran lain untukmu. Jangan terbawa karakter itu terus. Sudah sana, bersihkan tata riasmu!”

Kali ini tak ada yang bertanya. Mungkin mereka malas. Sekian kata yang mereka lontarkan, dalam dua kali kesempatan, tak mendapat respon.

Dan, kali ini kau malah menangis. Menatap layar hitam dengan linangan air mata. Sendiri. Kau pun semakin tenggelam. Sebuah tangis bukan untuk diperhatikan atau mencari perhatian, tangis untuk dirasakan. Sesuatu yang pribadi.

Ketika suara-suara semakin hilang dan ketika raga pergi satu-satu, kau baru mulai melihat sekeliling. Air mata telah kering dan kau pun siap berdiri.

Sayang, kau tak perhatikan, lelaki yang sejak mula memperhatikanmu tetap di situ. Tepatnya di atas kepalamu. Ya, gara-gara tangismu, lampu yang harus ia lepaskan belum juga terlaksana. Mungkin ia terenyuh, mungkin pula terhibur. Tangis pada sosokmu adalah sesuatu yang langka. Karena itu, ia berpegangan kuat pada besi, takut tak kuat menahan keterkejutan itu.
“Tunggu!” katanya begitu melihat kau berdiri.

Kau pun terkejut hingga sampai tak sadar berteriak. Lalu, kau mulai mencari asal suara. Kau mendongak. Dan, kau tertawa. “Ngapain kau di sana, Binsar?” tanyamu.

“Kau kenapa menangis?”
“Mencopot lampu?”
“Kau lagi ada masalah? Ceritalah...” Binsar dengan segera turun.
“Kau melihatku menangis, Binsar?” sambutmu ketika Binsar tiba tepat di depan.
“Tadi aku mau mencopot lampu, kulihat kau di bawah, sudah tiga kali. Tapi, baru kali ini kau menangis.”

“Aku lagi senang, Binsar.”
“Tangis senang beramai-ramai, sedang kau sendirian.”
“Aku senang sendirian.”
“Bukan, bukan itu. Kau pasti ada masalah.”
“Ya, sudah kalau kau sudah tahu. Aku pulang dulu.” Kau bergerak cepat.
“Tunggu dulu, Nauli!”

“Kau copot saja lampu itu. Nanti kau juga tahu...”
Kau keluar gedung. Sendirian. Kau naiki kendaraan pun tanpa teman. Setiba di rumah, kau hadapi kesunyian rumah tanpa orang lain. Dan, kau tersadar, tata rias belum terhapus. Di hadapan cermin kau tertawa keras. “Jadi, sepanjang perjalanan tadi aku tetap begini. Tetap menggunakan tata rias dan busana pentas? Dasar Nauli gila!”

Selagi melepas tata rias dan busana, kembali kau kenang pementasan terakhir. Cerita klasik. Cinta kasih yang berujung pada kematian. Tragedi cinta yang masih tetap diagungkan. Kisah tua yang tetap saja laku.

Kau menjadi perempuan itu. Perempuan yang menunggu. Di dermaga. Menanti kapal datang dari seberang membawa lelakimu. Sekian lama penungguan tak juga kau temukan yang diharapkan. Kau pun nyaris gila. Keluargamu menyarankan, malah memaksa, kau menerima pinangan lelaki lain. Lelaki yang sesungguhnya jauh dari bayangamu untuk menjadi suami. Kau berencana bunuh diri, kau kejar kapal yang belayar menuju seberang. Kau ingin tenggelam. Membawa cintamu yang telah karam. Saat itulah, lelakimu datang. Kau terkejut gembira. Kau kejar dia. Sayang, lelakimu membawa dua orang di sisinya. Seorang perempuan hamil tua dan seorang anak dengan ingus berwarna hijau. Kau terdiam. Lelakimu itu terdiam. Anak dengan ingus hijau menangis. Perempuan hamil tua curiga. Dan, cerita berakhir di sana. Di sebuah pertikaian yang berakhir dengan darah. Kau bunuh mereka; lelaki dengan istri dan anaknya. Kau pun gila. Dan, kau mati dalam kegilaan.

“Kenapa Nauli, kenapa kau selalu mendapat peran seperti itu? Kau tidak memerankan apa-apa, Nauli, kau hanya memindahkan hidupmu ke atas panggung. Kau bukan aktris, Nauli. Kau tidak bisa berakting!” kau muntahkan kalimat itu ke pembaringan. Kau suntuki dirimu hingga tertidur.
Kau bangun dengan mata bengkak. Suasana sudah condong melewati angka tiga di jam dinding. Tergesa kau ke kamar mandi. Terlalu banyak tidur selalu saja membuat perutmu tak enak. Semacam ada yang berontak. Dan ketika semuanya telah keluar, kau baru sadar, sebuah naskah baru harus kau terima sore itu juga.

Kau tiba di gedung pertunjukan yang menjadi markas kelompokmu tepat pukul lima. Sebagian besar orang telah datang. Telah menerima setumpuk kertas yang berisikan cerita. Namun, belum sempat kau dekati mereka, Binsar menghadang. “Sudah sehat kau, Nauli?”
“Memangnya aku sakit?”
“Tadi malam kau menangis.”
“Sekarang?”
“Ya, tidak lagi.”
“Ya sudah.”

Kau biarkan Binsar yang mengeluarkan tatapan bingung. Kau pun bergegas ke kumpulan orang-orang. “Aku mau peran yang lain. Aku bosan peran perempuan cengeng. Bertindak keras hanya karena hatinya sakit. Aku butuh peran yang menantang,” teriakmu begitu tiba di sana.
“Seperti apa?” balas salah satu dari kumpulan orang.
Kau terdiam. Bingung.

“Seperti seorang ibu yang begitu setia menunggu anaknya pulang dari merantau. Sekian tahun menunggu dan terus saja memasakkan makanan kesukaan anaknya walau sang anak tak pernah pulang?” sambung orang itu.

Kau masih terdiam. Masih bingung.
“Atau, seorang anak perempuan yang tak pernah pulang ke rumah ibunya karena tidak suka masakan ibunya?”

“Ya, yang kedua itu,” balasmu.
“Ya, sudah. Ambil ini,” ucap orang itu sambil melemparkan naskah. Dalam pikirannya, mungkin dengan peran barumu, kelompok sandiwaranya akan semakin laku.

Kau terima naskah itu dengan suka cita. Lalu, kau duduk tenang sambil menunggu perintah.
“Pelajari naskah, satu minggu lagi kita mulai latihan,” ucap orang itu.

Kau tersenyum. Kau dapat peran baru. Kau pulang dengan ringan. Kau telah menerima kesempatan untuk mengubah karakter. Ya, sejak bergabung dengan kelompok sandiwara itu, kau selalu saja kebagian karakter yang sama; perempuan yang kehilangan kekasih. Peran yang cocok, sebenarnya. Setidaknya, penonton suka dengan peran yang kau mainkan. Namun, pergolakan dalam dirimu telah mengalahkan tepuk riuh penonton. Kau butuh yang lain. Kau butuh tantangan peran. Dan, kini semuanya telah di tangan.

Namun, sebelum kau sampai bibir gedung, Binsar kembali menghadang. “Memang sudah sehat tampaknya. Ceria kali kau...,” katanya sambil terseyum lega. “Jangan menangis lagi, ya, Nauli,” sambungnya.

“Kau mau menjadi sapu tanganku setiap kali aku menangis?”
“Ya, kenapa tidak?”
“Kalau begitu, simpan jauh-jauh harapan itu, Binsar.”
“Bagaimana kalau aku jadi cermin tempat kau melihat senyum?”
“Untuk itu aku tak harus berpikir, cermin sudah kupecahkan.”
Lintas waktu. Kau perankan terus karakter seperti itu. Perempuan muda yang tak pernah sesuai dengan pilihan dan pandangan orang tua. Kau perempuan pemberontak. Individualis dan kurang peka.

Layar tutup. Panggung gelap kembali terang. Suara penonton perlahan menjauh, meninggalkan bangku-bangku yang sebelumnya penuh. Anggota pentas mulai mengangkati properti satu persatu. Pelan namun pasti, panggung kembali kosong. Kau duduk bersila di sudut panggung, menatap layar, tanpa gerak. Sama sekali tidak terpengaruh oleh suara ribut; ucapan selamat atau basa-basi penuh suka.

Tak ada yang mendekat. Tak ada yang memperhatikan. Kau sendiri menatap layar hitam. Kau melihat ke atas, tepat ke atas kepalamu, tak ada Binsar di sana. Kau pun mulai menangis.

Sayang, kau tak melihat Binsar di belakangmu. Jauh, di balik tumpukan properti yang telah dipinggirkan, siap disimpan dalam lemari atau belakang panggung. Ia lihat kau menangis. Segera saja ia datangi, “Kenapa kau masih menangis, Nauli?”
Kau terkejut dan langsung berlari. Kau pulang tanpa sempat menghapus tata rias maupun mengganti kostum.

Setiba di rumah kau tak tertawa. Kau semakin menangis di depan cermin. Dan kau pun berteriak. “Bodoh! Kau bodoh, Nauli! Kau tidak bisa berakting. Kau bukan aktris. Kau hanya memindahkan hidupmu ke atas panggung.”
Kau suntuki dirimu hingga tertidur.

Besoknya, tepat jam lima kau datangi kumpulan orang di gedung pertunjukan markas kelompok sandiwara itu. Binsar tak ada. Tak ada kata sambutan seperti biasa. Sepi. Binsar entah di mana.
“Aku berhenti.” Kau katakan itu pada kumpulan orang tanpa menunggu balasan mereka. Kau langkahkan kaki berbalik. Dan, kau sampai rumah, menatap cermin. “Kenapa kau Nauli, kenapa kau berhenti bermain luka. Bukankah dengan luka sesuatu yang indah akan semakin indah terasa? Kalau begini, kau memang bukan aktris! Kenapa kau pindahkan cerita panggung ke dalam hidupmu. Aktris yang terlena dengan perannya adalah bodoh. Dan, itu adalah kau!”
Kau suntuki dirimu. Namun, kali ini kau tak tertidur. Kau pandangi lagi cermin. “Belum kupecahkan, tapi kenapa Binsar tak ada? Aku ingin tersenyum...”

Medan April 2008



Info Buku

Judul Buku: Sastra Anak-Anak| Penulis: Dra. Mursini, M.Pd.| Penata Letak: Muhammad Yunus Nasution| Sampul :Aulia Grafika| Penerbit: Cipta Pustaka Media Perintis Cetakan: Pebruari 2011| Tebal: x + 232 halaman

“INILAH buku yang sangat penting dibaca mahasiswa, guru, dosen, bahkan
orang tua sekalipun. Demi membentuk karakter anak agar tidak bertindak
semberono melalui apresiasi dan pembelajaran sastra anak-anak.”

Buku “Sastra Anak-Anak” ini ditulis Dra. Mursini, MPd yang berprofesi sebagai dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Unimed. Selain mengajar, ia juga menjadi instruktur TOT-CTL, BKB, KTSP, dan Pendidikan Berwawasan Multikultural tingkat nasional. Beliau juga pernah dilibatkan menjadi instruktur pada TOT pembelajaran kelas permulaan di daerah bencana yang bekerja sama dengan NGO wilayah Aceh dan Nias. Sampai saat ini ia masih diamanahi sebagai instruktur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) wilayah Sumatera Utara.

Berbicara tentang buku sastra anak, sepuluh jari masih menganggur menghitungnya di deretan lemari buku . Padahal sastra untuk anak-anak dapat membentuk karakter positif pada anak. Dengan karya sastra, guru dan orang tua dapat menyuburkan kedekatan dengan anak, mendidik, juga menghibur. Anak akan terdidik dengan pesan-pesan yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Baik yang berupa puisi, cerita-cerita (prosa-fiksi), dan drama anak. Guru atau orang tua bisa menghibur anak-anak dengan tampilan sastra anak yang menarik dan pantas dikonsumsi anak-anak.

Sastra bagaimanakah yang bisa disuguhkan pada anak-anak?
Nah, biasanya anak-anak lebih menyukai sastra lisan. Sastra lisan anak dapat dicerna anak-anak saat mereka bermain, menjelang tidur, dan ketika mengikuti pelajaran di sekolah. Sastra lisan anak ini termasuk warisan pusaka, mereka bisa menelannya kapan saja mereka mau. Hanya saja yang menjadi pertanyaannya apakah semua guru atau orang tua memiliki warisan pusaka sastra tersebut? Bagi guru dan orang tua yang tidak kebagian warisan pusaka tersebut, jangan terlalu cemas. Sebab buku ini mengemas sebagian warisan tersebut yang bisa diberi pada anak. Semua akan menjadi perbendaharaan pada anak dan mereka bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga bisa menurunkannya pada anak-cucu mereka nantinya.
Mengapa Anak Meninggalkan Sastra?

Dewasa ini tak jarang kita lihat anak-anak bermain yang terkadang bernilai negatif, cabut sekolah dan mengendap di warnet. Bermain facebook, game online, dan permainan lain yang telah disediakan operator (pemilik) warnet. Bukan berarti kita menafikan teknologi dikenal anak-anak, tapi harus dengan pantauan dan bimbingan orang tua atau guru.

Kehadiran buku ini di tengah-tengah kita sangat membantu bagi mahasiswa yang ditugaskan menjaga adik atau keponakannya, guru mendidik muridnya, dan orang tua membimbing anaknya.

Bisa dikatakan anak zaman sekarang canggih-canggih, terkadang terlihat hanya bermain seperti biasa. Namun terkadang di balik itu semua ada hal yang juga harus kita perhatikan. Terkadang anak-anak jaman sekarang sudah berani taruhan (judi) saat mereka bermain. Miris memang jika kita menemukan anak yang mau seperti itu. Sebagai orang dewasa, setidaknya kita melarang anak tersebut jika kita temukan demikian, jangan hanya tinggal diam. Jika kita tinggal diam, lantas mau jadi apa si-anak tersebut jika telah dewasa nanti? Berjiwa bobrok. Haruskah yang demikian diwariskannya pada generasi berikutnya?

Dalam buku ini, tiap babnya mengupas sekelumit tentang sastra khususnya bagi anak-anak. Mulai dari karakteristik sastra anak, manfaat sastra anak, jenis cerita fiksi anak, sejarah komik, bahkan hal yang mendorong perkembangan bahasa dan sastra anak-anak di sekolah. Setidaknya buku ini berguna bagi para guru di sekolah dan orang tua di rumah tentunya.

Buku ini akan membantu bagi siapa saja yang siap mewariskan sastra dan mengabadikannya. Apakah Anda juga termasuk orang yang mampu membentuk karakter anak lewat sastra? Lihat saja efek dari buku ini setelah Anda membacanya dan mengajarkannya pada anak!
( M. Irsyad A Sungkunan Lubis )

Penulis adalah mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia Unimed, bergiat di Komunitas Mahasiswa Pecinta Sastra Indonesa
(Kompensasi). .

Puisi Kontemporer di Batin Penyair Muda Sumut
SECARA sederhana sastra kontemporer berarti sastra masa kini, sastra mutakhir, sastra yang hidup pada zaman sama. Sedangkan dalam arti luas, sastra kontemporer adalah sastra yang hidup pada masa kini atau dalam waktu yang sama, atau sastra yang bergerak mendahului zamannya.
Puisi kontemporer nyatanya lebih dipilih sebagian penyair muda karena stukturnya yang bebas dan tak mengikat sehingga akan mengalir begitu saja tanpa harus mempertimbangkan bunyi, irama dan sebagainya.

Keunikan karakteristik puisi kontemporer yang menarik, tantangan yang muncul ketika kita ingin memaknainya juga menjadi menu pilihan. Tidak jarang permainan bentuk dan tanda baca dipakai menggantikan kata-kata, seperti pada puisi-puisi Sutardji yang dianggap pelopor puisi kontemporer Indonesia.

Sementara bagi sebagian besar penyair muda lainnya, puisi konvensional yang memegang kesederhanaan bentuk dan mengutamakan isi dirasa lebih mengena dalam menyampaikan ide. Selain itu, menurut mereka puisi-puisi konvensional akan terasa lebih indah bahasanya.

Di dalam Komunitas Penulis Anak Kampus (Kompak) anggota dan calon anggota diarahkan untuk menulis puisi-puisi yang tidak keluar dari jalurnya. Mereka tidak dibiasakan membuat puisi yang semena-mena terhadap makna kata dan bahasa. Namun pada intinya, penulis sangat menjunjung kebebasan dalam berekspresi, khususnya dalam berpuisi. Bagaimanapun bentuk dan isi puisi mereka, penulis tetap memberi apresiasi. Sebab, lebih baik berkarya daripada hanya mencerca. Yang terpenting dari seorang penyair; bersyair. Setelah bisa bersyair barulah diarahkan bagaimana mengelola syair.

Tetapi nantinya jika mereka merasa ingin membuat karya-karya di luar jalur yang umum, atau dengan “tidak sadar” tercipta suatu puisi kontemporer dari mereka, hal ini tidak akan menjadi persoalan. Karena, seorang penyair bebas menuangkan ide-idenya.

“Tidak Sadar” di sini maksudnya bahwa dalam menciptakan karya sastra (dalam hal ini puisi) seseorang cenderung tidak berniat menciptakan puisi kontemporer sebelumnya, namun karena dorongan imajinasi yang entah kenapa menuntun penanya menggoreskan karya sedemikian rupa, terciptalah karya yang ternyata berciri kontemporer.

Senada dengan istilah licentia poetica, berupa kebebasan memanipulasi kata oleh penyair demi menimbulkan efek tertentu dan terkadang menabrak kaidah-kaidah dasar berbahasa. Penyimpangan dari kaidah dasar biasanya terjadi pada arti kosakata (leksikal), bunyi-bunyi kebahasaan (fonologi), tata makna (semantis) maupun tata kalimat (sintaksis), karena pada dasarnya mengarang merupakan usaha menggunakan bahasa secara maksimal untuk membangun “suatu dunia” dalam sudut pandang yang dipilihnya dan dalam prinsip yang dianut untuk membangun keserasian antara isi dan ungkapan.

Berhubung masih tergolong baru berkecimpung di dunia sastra, puisi kontemporer masih menjadi perdebatan di benak penulis dan mungkin juga di benak para penyair muda.

Ternyata, perdebatan di benak penulis itu telah lama pula jadi perdebatan dalam dunia sastra. Perdebatan yang dimaksudkan di sini adalah pertanyaan apakah simbol-simbol atau kata yang seolah dipermainkan itu mampu menyampaikan makna? Apakah sebuah kata yang dibentuk sedemikian rupa itu bisa disebut puisi? Sementara merujuk definisi puisi yang menyatakan bahwa puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan larik dan bait (Sudjiman: 1984), maka puisi semacam itu belum mewakilinya. Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang kerap muncul di pikiran penulis, juga pikiran para penyair pemula.
Tetapi bagaimana pun itu, puisi kontemporer telah berhasil meramaikan khazanah perpuisian di dunia sastra dan menjadi salah satu genre sastra yang mendapat tempat di hati pembaca, pun penyairnya. Di dunia akademis pun sastra kontemporer telah mendapat tempat pembahasan.

Memang tidak bisa dipungkiri, keunikan puisi-puisi kontemporer “mini kata” ini menjadi daya tarik tersendiri, sehingga kadang mempengaruhi imajinasi untuk membuat pula karya-karya serupa.

Berdasarkan pengamatan singkat yang penulis lakukan, beberapa penulis muda Sumut mengaku membuat puisi kontemporer dan mengirimkannya ke media massa lokal, namun puisi-puisi seperti itu jarang lolos. Penyebabnya mungkin saja sesuai dengan yang penulis pikirkan atau karena pertimbangan lain, itu semua berpulang kepada redaktur dan pengasuh rubrik sastra yang tentunya punya alasan jelas.

Kekontemporeran puisi karya penyair muda tentu berbeda-beda sifatnya, misalnya jenis puisi naratif yang sedang digemari para penyair muda Sumut, bahkan nyaris menyerupai prosa singkat sehingga sulit membedakan apakah itu sebuah puisi atau prosa. Akhir-akhir ini mulai menjamur pula fiksi mini (flash fiction) yang jumlah katanya sangat minim. Ini jelas-jelas membuat pemikiran menjadi tumpang tindih, terlebih bagi pemula yang belum begitu mafhum genre sastra. Lantas, ketika puisi-puisi keluar dari jalurnya namun tak mencapai posisi kontemporer, dimunculkan istilah semi-kontemporer.

Letak kekontemporeran atau tidaknya puisi penyair pemula bisa kita lihat pada karya-karya mereka di media massa lokal. Akhirnya, segala pertanyaan dan perdebatan keberadaan sastra kontemporer khususnya di Sumut, lagi-lagi hanya menjadi perdebatan batin penyair muda dan akan terjawab seiring perkembangan kedewasaan proses kreatif mereka. (wahyu wiji astuti)

Indah Zuhairani Siregar

Secuil Cinta Setelah Tanah Masak

Maka dengan setangkai malam,
kuciptakan kau kekasih
Bahkan dari belukar yang semak di dadaku
Dan rimbun di rambutmu
Adalah engkau langit bagi hujanku
Dan adalah kau danau, bagi tumpahku
Dan inilah cintaku
Cinta musim senja di sekeping hutan

Kau bisa melirik satu pepohonan
Juga ini, yang lahir sebagai anak ketiga-Nya
Menyisir semak, bukan rambutmu
Menerjunkan jurang bukan cerukmu
Pun mengalirkan kali, bukan airmu
Dia pula menyerak bintang bukan jemarimu
Sebagian gerak, sebagian diam
Diam, sediam laut yang melayarkan gaduh di jantungmu

Tapi aku dari melata dan merangkak,
tiba dari ringkih dadamu
Dari Turab-Attin-dan Salsalmu,
Maka tanpa ummi bagiku
menumbuh nafsu di hadapmu
Aku yamna yang lahirkan kau dan kau dari many yumnamu sendiri
Mengibar nuhtfah menjadi alqalah
Maka berilah buah itu,
Biar kuldimu mengiba sedak
Dan dadaku laut yang tumpah
Pada sudut bibir mudghah–mu

Kasih….
Harum betul baunya, rasakanlah
Kecup basah yang cungkin arinya
Pertama tama, kuajari kau cara memilih tepi
Kedua kubiarkan kau menikmati pagi
Ketiga, kusimpan napasmu di beranda hati
Keempat ada kenyang yang merindang
Buncah di yumna
Dan bejana kian penuh
Tempias
Rekah
Gerimis tuntas


Ntahlah Apa Kau Kini!

semakin sempit sajak,
ketika tiada logam atau tembaga yang dicair menuju kali rasa.
dan peleburan bait-bait mulai tak lagi masak dan didih,
cuma tepukan pada panggangan bara.
dan menetaslah sajak panas,
yang kau kikir jadi belati.
untuk apa? (tanyaku).

untuk bunuh diri, karena sajak kian sunyi!
membacamu seperti menengok rumus matematika.
rumit memang.
tapi tetap ada sama dengan
bahkan rumus phitagoras kehilangan per akarnya,
aku mau menegukmu,
sehausku.
bahkan kukunyah kau,
selaparku.
lalu kumuntahkan semuak-muakku!
sini mendekatlah.
ada segumpal ludah yang ingin terludah...

Kharismatik Sastra Lokal
Menguak nilai-nilai budaya memang tidak luput dari bagaimana menyajikan aturan, norma-norma dan falsafah hidup yang terkandung di dalamnya. Kemauan seseorang untuk mengakui apalagi mendalami sebuah tatanan budaya yang dimilikinya terkadang menjadi hal yang paling fundamen dalam mengembangkan budaya ke arah yang lebih baik.
BANYAK cara dilakukan orang agar nilai-nilai budaya mengakar dalam sanubari kehidupan bermasyarakat, salah satunya dapat ditempuh dengan bersastra. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ragde F. Daye dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu. Pria asal Solok, Sumatera Barat ini berusaha masuk dalam intrik budaya di tengah polemik kehidupan modern saat sekarang ini.

Dalam 15 cerpen buatannya ini, Ragde menuturkan soal budaya Minangkabau yang mulai ditinggalkan. Identitas anak rantau yang biasa dilabelkan pada anak-anak muda suku Minang seolah menjadi kegelisahan tersendiri bagi si penulis. Hal itu dapat kita buktikan dalam cerpennya berjudul Rumah Lumut. Bagaimana pun jua, seorang ibu tetaplah perempuan biasa. Tak punya banyak kuasa yang dimiliki olehnya tatkala anak lajang yang dipunya hendak mengumpul rezeki di tanah orang.

“Mak, saya pergi!” Anak muda itu membawa tangan Mak Leha dalam genggaman tangannya ke kening. “Izinkan saya. Mak.”

Mak Leha mula-mula bertahan untuk tegak. Tapi tak kuat. Dia berjalan ke bangku di sisi jendela. Lantai papan berbunyi lirih mengiringi drama pagi kesembilan.
“Telah tetapkah hatimu?”
Pemuda itu, Rozehan, mengangguk.

Tabiat merantau memang sudah telanjur melekat di kalangan pemuda Minang. Terlebih kalau tanah di kampung tak lagi menghasilkan benih rezeki untuk menyambung sisa hidup yang ada. Tapi apa hendak dibilang, kehidupan kota lagi-lagi sering menggelincirkan para anak muda dari kampung, berniat datang mengisi lambung, konon pastilah limbung lantaran kehidupan tak seindah apa yang diimpikan.

Inilah resah gelisah yang hendak ditawarkan penulis dalam cerpen ini. Kebanyakan anak muda Minang pergi dengan niat yang mantap namun mereka sering lupa kemana alamat pulang hendak dituju.

“Karena aku bukan ibu Malin Kundang, maka aku tak akan pernah mengucapkan kutuk, meski barangkali kalian benar-benar telah melupakan jalan pulang ke rumah.”
Kisah-kisah realis memang kerap dibungkus Ragde dalam antologi ini. Cenderung nada cerita keibuan yang sering merangkap menjadi kisah cinta yang melankolis. Penulis berusaha menampilkan kehiruk-pikukan dan sesak napas masalah sosial serta orang-orang terasing. Mengutip pula dari apa yang disampaikan Bramantio pada esai di dalam antologi ini bahwa Ragde juga mengusung sejumlah cerpen yang bersifat lebih personal. Meskipun demikian, bukan berarti cerpen-cerpen tersebut menjadi kurang menyesakkan.

Bukti Lokalitas
Seperti cerpennya yang berjudul “Empat Meter dari Pangkal”. Ia hadir tidak lagi menyajikan cerita yang mengarah pada aspek sosial seperti kemiskinan, kesedihan atau kematian melainkan sebuah cerita yang lebih akrab dengan dunia nyata dan dunia impian. Bahkan penulis lebih saklek berada pada dunia di antaranya. Kebanyakan pembaca umum memang tidak gampang untuk bisa menafsirkan tipikal cerita ini. Penulis menyajikan cerita tersebut sarat dengan simbolik dan pernyataan-pernyataan yang tak bersudut. Namun demikian, dalam buku ini karya “Empat Meter dari Pangkal” memberi kekhasan tersendiri tatkala ia disejajarkan dengan cerita-cerita sebelumnya.

Menelaah judul pertama dalam kumpulan cerita ini memang akan membawa kita pada sebuah pengertian bahwa Ragde memang lebih memilih cerita-cerita yang dingin bernada keibuan seperti yang saya paparkan di atas. Perempuan Bawang adalah bukti bahwa penulis memang kerap menjadikan sosok ibu, istri dan perempuan lainnya dengan berbagai peran dan karakter sebagai tokoh utama yang penting untuk diangkat menjadi sebuah cerpen.

Meski kemudian tokoh-tokoh perempuan itu dihidupkan Ragde berbalut kerisauan tentang Minangkabau sebagai identitas. Pada cerpen Perempuan Bawang tampak jelas bahwa Solok yang disetting menjadi pasar tradisional yang membantu Ragde untuk menceritakan bagaimana Sumatra Barat mengental di dalamnya. Menyajikan data-data terkait bagaimana Solok berkembang-biak lewat pasar tradisional. Keadaan carut-marut pasar tradisional hingga bagaimana konflik batin tokoh yang diciptakan penulis seolah memberikan kesan beginilah Solok dengan pasar tradisionalnya.

Bukan semata hendak menceritakan tokoh-tokoh dan konfliknya melainkan ada titipan yang hendak ia sampaikan sebagai bukti lokalitas yang mengental di dalamnya. Maka kalau hal ini dibahas, tentulah personalitas penulis akan muncul secara nyata. Tapi saya hanya akan menyetujui bahwa kharismatik Solok sebagai pasar tradisional mengendap perlahan dalam Perempuan Bawang yang Ragde ciptakan.

Cerita serupa hampir mirip dengan Lekuk Tekuk, Jarak, dan Di Solok Aku Akan Mati Perlahan. Pada cerpen Jarak, Solok adalah tanah kelahiran yang kelak disadari oleh Attar, tokoh sentral cerpen ini, tidak menjanjikan apa-apa. Bertahun-tahun berlalu tapi tidak sedikit pun terbersit di dalam pikirannya untuk kembali ke Solok untuk menjumpai masa lalunya.

Intinya, siapa pun yang hendak membaca buku ini pastilah akan menambah khasanah budaya yang dimilikinya. Terlebih bagaimana budaya Minang cukup jelas digambarkan di dalam buku ini. Meski Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu secara keseluruhan adalah sebuah kumpulan cerpen yang muram. Keresahan tumbuh subur di dalamnya, hantu-hantu menemukan taman bermain yang mengerikan dan penderitaan tak pernah kekurangan nutrisi di dalamnya.

Meskipun demikian, saya setuju dengan ungkapan Bramantio bahwa ada sesuatu di muara cerita yang nuansanya bisa dianggap berbeda dengan bagian hulu dan alirannya. Yakni muara yang cerah. Ada harapan yang hendak ditulis Ragde dalam sekumpulan cerita-cerita muram ini. Harapan itulah yang seharusnya diuraikan oleh khalayak pembaca secara umum. Selamat membaca!

Penulis adalah pencinta buku dan aktif menulis karya sastra, pernah menjabat. (sukma)

Menggugat Perempuan Melalui Kain Putih
CERPEN “Kain Putih Itu Tak Bernoda” karya Chairani, lulusan strata satu jurusan bahasa dan sastra Indonesia, yang mendedikasikan diri sebagai guru di SMA Dharmawangsa Medan, saya baca di Rubrik Rentak Harian MedanBisnis, Minggu 28 November 2010.
Membaca cerpen Chairani ini, seperti mendengar kembali petuah orang tua zaman dahulu yang kerap berpesan agar anak gadisnya selalu menjaga keperawanan dan mereka pun melakukan berbagai upaya untuk itu. Berbagai pantangan diwejangkan kepada anaknya demi keperawanan yang merupakan lambang kesucian dan budi pekerti.

Itu dulu, saat kehidupan berjalan di atas nilai-nilai budaya. Hidup begitu indah dengan berbagai pantangan dan larangan. Bahkan, ada pantangan yang menjadi misteri. Toh, hal itu tetap dipatuhi sampai akhirnya budaya pikir melebihi budaya etika dan nilai rasa.

Kini, masihkah keperawanan dipersoalkan? Itulah yang dipertanyakan secara tersirat oleh Chairani melalui “Kain Putih Itu Tak Bernoda.” Zaman kini, ketika godaan datang sangat terbuka, masih sanggupkah perempuan menjaga keperawanannya hingga melewati fase demi fase masa pranikah?

Sebagai perempuan, secara tersirat, Chairani tidak menyukai pertanyaan itu. Di sini terlihat Chairani berada pada posisi gendernya. Masih adanya pertanyaan itu, menandakan gender tak mungkin terhapus. Menghapuskan gender berarti juga menghapus beberapa nilai budaya. Menurut Chairani, salah satu etnis yang masih mempertahankan budaya menjaga keperawanan adalah masyarakat nelayan. Tapi, tak jelas etnis mana itu. Chairani hanya memaparkan latar tempatnya, tak mendeskripsikannya melalui penyebutan nama suku, karakter dialog, sapaan kekerabatan, atau hal lain yang bisa jadi petunjuk.

Untuk membuat kesan sastra pada cerpen, penyajiannya memang tidak harus berbelit ke sana-sini. Alurnya pun tidak harus berputar-putar hingga memusingkan kepala. Chairani telah melakukan itu. Dia menyajikan cerpen ini dengan alur mudah dipahami dan enak dibaca. Kisah yang dipaparkannya mulai berkiblat pada kondisi sesaat, yang disitilahkan dengan instan.
Chairani mengisahkan soal gejolak hati tokoh utama (Aku/Saodah) yang cemas dan batinnya tersiksa. Kecemasan itu ditimbulkan oleh kegagalannya memberikan darah perawan pada selembar kain putih. Kain putih itu sengaja disediakan oleh keluarga Topan.

Pada mulanya keluarga mertua beranggapan bahwa Topanlah yang belum mampu menjalani fungsinya sebagai suami. Setelah hari demi hari terlewati, kecurigaan mengarah kepada tokoh Aku. Tak bisa dipungkiri, Aku memang sudah tidak perawan. Sayangnya, tak jelas sebab-musababnya mengapa dia bisa tidak perawan. Memang kebanyakan perempuan selalu bertahan untuk tidak menceritakan sebab-musabab itu. Tapi, ini cerpen. Tentunya sebab-musabab bisa diceritakan melalui dialog batin atau yang lain.

Topan tak banyak bicara tentang keperawanan itu. Topan, sang suami, hanya sekali menanyakan tentang keperawanan tokoh Aku.

“Jawab yang jujur, apakah kau masih suci? Maafkan pertanyaanku, Saodah. Aku…, aku, maafkan aku.”

Pertanyaan Topan tak dijawab tokoh Aku. Pertanyaan itu dijawab dengan deskripsi sikap tokoh Aku. Tokoh aku menangis. Sebagai laki-laki, Topan pun luluh dengan tangisan itu.

Ternyata, pihak keluarga mertua telah merencanakan hari penyambutan untuk menantu yang benar-benar telah memberikan keperawanan kepada suaminya. Ibu mertua telah menyediakan air dalam tempayan. Air itu diberi bunga tujuh rupa. Air yang telah bercampur bunga itu akan digunakan untuk menepungtawari pengantin perempuan yang mampu memberikan noda pada kain putih. Tapi, apa hendak dikata, tokoh Aku secara tak sengaja telah memecahkan tempayan berisi air bunga itu. Ini merupakan pantangan dan menambah kekecewaan ibu mertua.

Upacara tepung tawar harus digagalkan. Tokoh Aku mengaku memang dia tidak perawan. Sebagai upaya menunjukkan kekecewannya, Topan pergi melaut dan tak pernah kembali. Tokoh Aku menunggu kepulangan Topan sambil memikirkan janin dalam rahimnya. Setelah itu cerita terhenti, menandakan plot terbuka.

Pilihan plot terbuka memberikan kesempatan kepada pembaca berpihak kepada yang mana pun. Ide yang dikandungkannya menyangkut masalah gender. Chairani tak memaksa keberpihakan itu. Bisa dimakluminya bahwa orang akan cenderung berpihak kepada gendernya.

Saya melihat masalah utama yang dimunculkan Chairani keperawanan sebagai lambang kesucian perempuan. Bagi Chairani, pernyataan ini sangat sulit diterimanya. Ini adalah hal yang berat bagi perempuan. Chairani juga menyampaikan pilihan, memang sangat mulia bila perempuan dapat menjaga keperawanan hingga menjalani malam pertama. Tapi, bukankah sejak dahulu kala pun keperawanan telah diragukan? Buktinya, ada etnis yang menyediakan kain putih untuk pembuktiannya. Ini menandakan bahwa sejak dahulu telah ada pra anggapan setiap gadis belum tentu perawan. Namun, jika ada perempuan saat ini yang sanggup mempertahankan ksuciannya hingga ke pintu rumah tangga, itu yang lebih baik.

Sebuah cerita tentu memiliki keterkaitan dengan kondisi kekinian. Ada kepekaan yang dimiliki Chairani terhadap hal itu. Saat ini, pada kuantitas gender yang lebih banyak jumlah perempuan daripada laki-laki, sudah biasa ada perempuan menyerahkan keperawanan kepada orang yang disukainya. Ada yang berpendapat, “Kalau tak nekat, kapan punya pacar?”

Meningkatnya jumlah perempuan ternyata sangat berpengaruh terhadap kondisi pergaulan antarlawan jenis yang disebut “pacaran” itu. Bukan lagi pandangan asing di pinggiran jalan agak sepi, jika mata kita mau menelisik, akan terlihat perempuan menempelkan tubuh kepada laki-laki yang dianggap pacarnya. Ini sangat berbeda dengan kondisi tahun delapan puluhan. Tahun delapan puluhan, gadis melangkah malu-malu, menunggu dirayu jejaka. Kini, gadis agresif merayu pilihannya. Mungkin Chairani jengah terhadap hal ini hingga dia menciptakan cerpen “Kain Putih Itu Tak Bernoda.”

Deskripsi cuaca yang dipaparkan di cerpen ini cocok sebagai pendukung suasana kesedihan, kegusaran, atau kekecewaan. Chairani mendeskripsikan gerimis, cuaca dingin, suara halilintar untuk menghanyutkan pembaca pada suasana yang dibuatnya.

Cerpen bukan berita. Masalah yang diangkat tidak harus menghebohkan. Tidak ada kasus penyiksaan, pemotongan alat kelamin, mertua memerkosa menantu, bunuh diri karna beribu masalah yang melanda, anak membunuh ibunya kemudian memerkosa neneknya, suami membakar istri, atau masalah berat seperti pada pemberitaan. Memang bukan beratnya persoalan yang jadi inti keindahan pada cerpen. Tapi kedalamannya menyentuh hati pembaca merupakan unsur penting. Masalah keseharian dapat diangkat hingga menggugah hati pembaca untuk memilih keberpihakan.

Ada keraguan Chairani untuk memberikan keberpihakan itu. Tersirat, ia berpihak pada gender wanita dengan mengalaskan janin di rahim tokoh Aku. Hanya itu alasannya. Tak dideskripsikannya hal-hal lain yang memperkuat alasan itu. Mungkin karena Chairani menyadari bahwa keberpihakannya itu takkan banyak diterima orang.

Untuk memokuskan cerita pada idenya, dia tidak mengawali cerpen-nya dengan kehidupan berpacaran atau prosesi pernikahan. Namanya cerpen, ia memulai penyajian langsung ke permasalahan, yaitu malam pertama yang tak menyenangkan. Memang tidak mengulur-ulur, tapi seperti ada yang tertinggal. Tidak diceritakannya latar perkawinan tokoh Aku dengan Topan pada cerpen itu. Bukankah sebuah perkawian harus ada landasan? Dasar perkawinan paling kelasik adalah cinta. Tapi boleh saja Chairani membuat hal lain sebagai dasar atau latar perkawinan itu. Sayangnya, tak sedikit pun disinggungnya persoalan cinta. Apakah cinta masa kini sudah ditelantarkan? Atau Chairani takut terkesan cengeng? (saiful amri )

Remaja Menulis Sastra
“Menulis mudah, menulis indah, menulis dan menulis. Dalam menulis tidak ada kata sulit untuk melakukannya. Apa yang terlintas dalam pikiran tulis, apa yang terlintas di hadapan diri tulis, jadi kejadian apapun, di mana pun yang sering akrab dengan kita, tulis. Didorong juga dengan semangat yang keras dan tanpa ada kata menyerah, tanpa ada kata malas. Tanpa kreativitas semua ruangan tidak akan berpenghuni, tanpa kreativitas dunia hampa, maka tuanglah seisi duniamu dengan menulis, berkarya dan membaca. Itulah yang dituturkan Hasan Al Banna salah seorang pembicara dalam acara workshop sastra dan sekaligus launching buku Antologi Puisi, Cahaya dan Cerpen, Ma Hyang.


Dunia sastra berkaitan dengan dunia berbahasa, meramu kata dan melukis kehidupan. Dengan sastra hidup lebih indah, dengan sastra hidup lebih bermakna. Sastra bisa dikatakan sangat berperan penting dalam kehidupan. Sastra dapat membuat perubahan yang lebih baik, sastra juga dapat membuat orang lain menjadi jatuh cinta dengan makna – makna kata yang semilir mengalir.

Bagi orang yang kritis dalam berbahasa mereka menggambarkan suatu makna dengan hal yang sulit dibayangkan oleh kebanyakan orang lain. Tetapi, bila diperhatikan dengan teliti gambaran yang dibuat oleh orang – orang yang kritis berbahasa sangat mempunyai makna yang cukup mendalam. Bisa terbawa alur cerita. Tidak terlalu rumit untuk berkenalan dengan sastra yang sejatinya membantu dalam hal rutinitas sehari – hari. Namun yang disayangkan, masih banyak orang yang berpikir menulis dan membaca itu tidak penting hanya membuang waktu dengan percuma, padahal begitu banyak manfaat yang bisa dirasakan dengan menggeluti kegiatan di setiap harinya.

Sejatinya menulis dan membaca sejalan dan tidak terpisahkan satu sama lain. Menulis adalah hal yang paling menyenangkan dan mengasyikkan, dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dalam situasi apa saja. Begitu banyak seni serta budaya yang tidak terlepas dari kehidupan kita.

Dalam hal ini, sastra dapat terbentuk dengan wawasan dan pengetahuan yang luas. Semua objek yang ada di sekitar kita dapat kita prioritaskan dan kita ungkapkan. Salah satu contoh ialah puisi. Puisi adalah bentuk ekspresi pengalaman empirik atau batin seseorang yang diwujudkan dengan bahasa-bahasa indah, perumpamaan dan kiasan. Puisi juga merupakan cara penyampaian tak langsung dari seseorang terhadap sesuatu hal yang dirasa menggelitik naluri estetika, emosi dan perasaan jiwa yang dialami seseorang serta mempunyai nilai tinggi dan bermakna.

Cara tak langsung itu dilakukan melalui aneka bentuk perumpamaan yang terangkai dalam sajian kata-kata yang indah, singkat, multitafsir dan cerdas. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra memiliki dua fungsi yakni sebagai karya sastra itu sendiri dan juga sebagai cara atau alat bagi siapa yang memegang puisi tersebut. Tak jarang kita temui seorang yang merayu orang lain menggunakan kata-kata indah sebuah puisi. Pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta biasanya merupakan orang-orang yang sangat sensitif dengan nilai-nilai keindahan sebuah puisi.

Jadi sangat jelas bahwa disamping memiliki fungsi sebagai karya sastra itu sendiri, puisi adalah juga sebuah cara atau alat yang diciptakan seseorang dalam meraih sebuah tujuan yang ia inginkan. Contoh lainnya ialah cerpen. Cerpen ialah, anak kedua setelah puisidari karya sastra.

Hanya saja cerpen merupakan sebuah cerita pendek yang diungkapkan dalam bentuk kisah kehidupan seseorang yang digoreskan di helaian kertas atau diary. Cerpen biasanya juga diangkat dari cerita – cerita khayalan, nyata, dan curahan hati seseorang. Bahasa dan isinya mudah dipahami. Dengan demikian, cerpen tersebut dapat di baca kurang dari satu jam dan isinya tidak terlupakan oleh pembacanya sepanjang waktu. Semua berharap, bakat menulis sastra dan budaya tidak terkubur dalam pusara waktu. Juga kreativitas terus tumbuh dan berkembang dari akar yang kuat serta tanah yang subur. Artinya teruslah menulis dan berkarya untuk menumbuhkembangkan budaya bangsa. Sehingga budaya tersebut dapat tumbuh dan kokoh walau harus berganti musim sekalipun.

Workshop Sastra
“Dalam menanggapi penulisan sastra diperlukan keseimbangan bahasa demi terjalinnya suatu kata yang teramu dengan baik. Dengan mencoba membangkitkan semangat karya, dan supaya lebih aktif, diperlukan juga proses yang cukup panjang. Menulis indah, mengenali tulisan fiksi tidak terlalu rumit, bahwa dalam menembus media massa harus memiliki potensi, agar tulisan yang diperlihatkan layak dimuat dan layak untuk dibaca. Intinya apapun yang berada di sekelilingmu tulis!”, ujar Afrion sebagai pembicara dalam workshop sastra, teknik penulisan fiksi menembus media massa, Sabtu, 26 Februari 2011.

Dalam workshop tersebut sesi pertama dibuka oleh Hasan Al Banna, dengan memperlihatkan beberapa gambar. Peserta harus mampu menjelaskan gambar-gambar ke dalam bentuk puisi. Sesi kedua, peserta diajarkan mengenai cara jitu menembus media massa oleh Afrion, dengan mengenali karakter dan visi misi media massa, membaca dan mengetahui standar tulisan, mengenali redaktur, mengemas karya serapi dan seteliti mungkin dan kirim karya sebanyak – banyaknya serta jangan pernah menyerah.

Selanjutnya, dengan pengenalan alamat email dari masing – masing media yang ada di kota Medan, khususnya untuk media yang berubrik budaya atau seni. Peserta harus memahami etika mengirim karya ke media. Peserta workshop yang terdiri dari pelajar SMU Negeri 3 Medan, MAN, SMU Sinar Husni, dan lainnya juga dihadiri kalangan mahasiswa yakni dari Unimed, UMN, UMSU USU, dan sejumlah mahasiswa dari universitas lainnya.

Dalam workshop juga digelar launching antologi buku puisi Cahaya, dan cerpen Ma Hyang. Serta pengumuman pemenang lomba baca puisi. Workshop ditutup dengan penampilan drama dari Komunitas Penulis Anak Kampus (Kompak) hingga selesai.
(liandi prassetiyadi, rudiansyah, angga pratama, sofyan ibrahim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar