Jumat, 08 April 2011

SMA dari Delitua di depan FKSS IKIP Negeri Medan hadiri kegiatan di halaman kampus

PARA sastrawan Sumatera Utara sudah tidak masuk lagi ke sekolah-sekolah. Juga jarang adakan acara di kampus-kampus. Kalaupun ada hanya kampus tertentu saja. Acara sastrawan masuk sekolah, sudah lebih 25 tahun tidak bangkit lagi di Medan.

Tahun 1979, sebuah organisasi penulis yang dimotori oleh Yudhi Harsoyo dan teman-teman. Ketika itu, Penulis dan Shafwan Hadi Umri (saat itu penulis dan Shahwan) masih sama-sama mahasiswa di tingkat akhir. Saya di Fakultas Hukum USU, Shafwan di IKIP Negeri Medan. Himpunan Penulis Muda (HPM) yang bermarkas di Jalan Ahmad Yani, kantor Harian Berita Yudha Perwakilan Medan.


HPM begitu aktif menggalang para penulis remaja untuk menjadi cerpenis dan pemuisi. Selain aktif dalam berbagai kegiatan omong-omong sastra dari rumah ke rumah, HPM juga mengadakan berbagai kegiatan lainnya. Tersebutlah Rustam Lubis Djamaksyari aktif di dalamnya.

Tak lama berdirinya HPM, Shafwan menjadi pegawai negeri dan ditugaskan di Tapanuli Selatan sebagai guru Bahasa Indoensia. Bersama Yudhi Harsoyo dan Rustam Lubis Djamaksyari, kami terus menggalakkan sastra masuk sekolah-sekolah. Pada tahun itu juga HPM mengadakan kegiatan di IKIP Negeri Medan Jalan Merba. Ketika itu HPM bekerja sama dengan Dewan Mahasiswa IKIP egeri Medan, menampilkan Damiri Mahmud sebagai pembicara dari HPM dan BP Situmorang dari IKIP Negeri Medan.

Mulanya rektor IKIP Negeri Medan menolak. Drs. B. P. Situmorang yang pernah sebagai pembicara pada Pertemuan sasttrawan Sumut tahun 1977 di Taman Budaya Medan "berduet" dengan Sabarudin Ahmad, BA. Ketika itu, Sabaruddin Agmad masih belum mengambil doktorandusnya.

Perdebatan yang sangat hangat di Taman Budaya Medan yang sebelumnya bernama Taman Bina Budaya Medan (TBBM) bergaung bukan hanya sampai ke Jakarta, bahkan sampai ke negara tetangga di Malaysia. Dengan tegas, ketika itu, B. P. Situmorang mengatakan, sastra kita baru sampai lampu satu, belum berlayar mengharungi lautan bebas ke mancanegara. Di sisi lain BP. Situmorang mengatakan, kalau sastra Malaysia tertinggal 20 tahun dari Indonesia.

Pro-kontra ketika itu sangat tajam. Saat itu, mata Jakarta terbuka karena tajamnya pro-kontra pertemuan itu menghiasi berbagai halaman koran Jakarta, seperti Sinar Harapan (Belum dibreidel dan berganti Suara Pembaruan), Kompas, Berita Yudha, bahkan MBM Tempo yang ditulis oleh Zakaria M Passe.

Mengingat itu, B. P. Situmorang mengajak saya menemui rektor ke ruangannya. Saat itu kebetulan di ruangan rektior ada Dekan FKSS (Fakultas Kejuruan Sastra dan Seni di Unimed sekrang bernama FBS). Drs. B. P. Situmorang meyakinkan rektor, kalau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh HPM adalah kegiatan positif.

Perlu digarisbawahi, ketika itu kampus-kampus yang baru saja tenang dalam berbagai demo, sangat "tertutup" pada komunitas luar kampus. "Kalau Pak Situmorang berani bertanggungjawab, silahkan," ancam rektor ketika itu. Dengan lantang Drsw. B. P. Situmorang mengatakan:" Saya yang akan bertanggung jawab."

Dalam kegiatan di halaman kampus di depan FKSS IKIP Negeri Medan, hadir juga undangan para siswa SMA, termasuk SMA dari Delitua yang dibawa gurunya Angkup Lubis, SH dan kini menjadi hakim tinggi di Jambi. Kegiatan itu pun berlangsung dengan baik dan penuh antusias dari kalangan mahasiswa. Sebelumnya, mereka hanya membaca tulisan yang hadir seperti Damiri Mahmud, A.N. Zaifa, Rahim Qahhar, R. Lubis Djamaksyari dan sebagainay dari kioran saja.

Seperti Koran SIB, Analisa, Waspada, Bukit Barisan dan Bintang Sport & Film (BSF) saja. Kotran-koran tertera di atas saja ketika itu yang aktif terus-menerus mengadakan kolom sastra dan budaya. Walaupun ketika itu BSF dicetak dalam bentuk Letter Press dan bermarkas di Jalan Hindu namun setiap minggunya memuat cerpen dan puisi serta artikel sastra.

Para peminat olahraga yang berlangganan BSF tetap aktif membaca hal-hal sastra. Tak geran jika para pemain tua PSMS, mengenal siapa-siapa sastrawan Sumatera Utara. Pemain tua PSMS bahkan lebih mengenal sastrawan Sumatera Utara ketimbang para guru Bahasa Indonesia ketika itu, karena para pemain PSMS selalu berlangganan BSF.

Kini, sastrawan masuk ke sekolah-sekolah sudah sangat langa terdengar. Guru-guru Bahasa Indonesia di SLTA, sepertinya tidak memikirkan hal itu. Atau mungkin njuga kepala sekolah yang tak terpikir ke arah itu, hingga saat guru Bahasa Indoensia menyampaikan hal itu, kurang mendapat tanggapan.

Sarifuddin Lubis di Binjai, kelihatannya masih terus aktif mengembangkan sastra sekolah. Itu juga nampaknya masih terbatas kepada para siswanya saja. Selaian itu, untung masih banyak juga media yang memiliki kolom remaja dan ada ruang sastranya.

Kalau majalah sastra Horison kita menggalakkan sastrawan masuk sekolah, sebenarnya Sumatera Utara sudah terlebih dahulu melakukannya. Bedanya, mereka mendapat dana dan biaya yang cukup, sementara di Sumatera Utara tidak. Sudah selayaknya para Kepala Dinas Pendikan di Kabupaten/Kota memikirkan hal ini, karena kegiatan inisangat positif kepada para siswa. Idris Pasaribu


Bertemu Penyair Medan

Budhi Setyawan

http://budhisetyawan.wordpress.com/

Tanggal 24 – 26 November 2008 saya ada acara dinas di Medan. Sebelum berangkat, saya telah memberitahukan kepada 2 penyair Medan yang sebelumnya pernah bertemu di TIM Jakarta yaitu Hasan Al Bana dan Suyadi San. Saya tiba di Medan hari Senin sore sehingga tidak ada agenda dinas dan langsung ke hotel. Saya dan rombongan menginap di Hotel Inna Dharma Deli. Hotel lama dan kamar sederhana.
Malam itu saya bersama tim dinas hanya makan rujak di Medan Plaza dan sea food di belakang Hotel Best Western. Di sela sela makan sea food, ada telepon masuk dari teman di komunitas Pasar Malam yaitu Nina. Karena di tempat makan suasana sangat gaduh, saya tidak mengangkat telepon itu. Lewat pesan singkat, dia bilang bahwa juga sedang ada di Medan berkaitan dengan pekerjaan kantornya. Akhirnya saya menemuinya sebentar di tempatnya menginap di Hotel Tiara. Kami hanya mengobrol singkat di lobi karena waktu telah malam, sekitar pukul 21 lebih. Saya juga tak tahu mengapa kalau di daerah atau kota kecil (pokoknya bukan Jakarta), waktu seperti cepat malam.

Hari Selasa setelah urusan kantor selesai dan beli oleh-oleh berupa bika ambon dan bolu, pukul 16.30-an saya ke Taman Budaya Sumatera Utara untuk bertemu penyair-penyair Medan. Dan akhirnya saya bertemu dengan banyak penyair Medan antara lain: Suyadi San, Hasan Al Bana, M Raudah Jambak. Djamal, S Ratman Suras, Afrion, Antilan Purba, Ardani. Beberapa saya lupa namanya, juga beberapa aktivis FLP Sumut dan pemain teater di TBSU. Rupanya Suyadi San telah menyiapkan semacam acara diskusi dengan adanya kedatangan saya di Medan. Itu terasa sangat mengakrabkan. Dan saya merasa terharu. Meskipun saya agak sedikit kikuk, karena saya mesti menyampaikan semacam riwayat perjalanan selama ini, mengapa memilih sastra dan proses kreatifnya. Mengapa saya kikuk? Karena saya merasa kurang bisa menyampaikan dengan bahasa sastra. Saya merasa hanya mengikuti kata hati yang mencintai dunia seni, seperti seni lukis, musik dan termasuk sastra. saya juga bilang bahwa buku puisi yang saya terbitkan berisi puisi puisi yang sederhana atau malah bisa dibilang draft/bakal puisi. Itu semua saya terbitkan secara spontan, tanpa editor dan pada masa saya belum berkenalan dengan banyak penulis/penyair serta kurang mengetahui seluk beluk dunia penerbitan. Komunitas diskusi sastra juga saya tak punya.
Saya ingat dan katakan waktu itu, bahwa saat acara peluncuran buku puisi saya Sukma Silam di PDS HB Jassin bulan Desember 2007, banyak penyair atau penulis yang mengkritik buku saya banyak kekurangannya. Dan ada seorang penyair yang mengatakan bahwa puisi-puisi dalam kumpulan itu tidak memuat apa-apa, tidak menyampaikan apa-apa. Pada saat itu saya juga dalam hati bertanya-tanya: apakah benar semua puisi saya tidak menyampaikan apa-apa? Namun semua masukan menjadi bahan instropeksi bagi saya. Dan setelah itu saya banyak membaca puisi penyair-penyair tua dan juga penyair muda. Dalam hati saya bilang, saya harus belajar! Dengan adanya dinas luar kota, saya manfaatkan untuk silaturahmi dengan penyair di kota yang saya kunjungi. Dan biasanya saya diberikan buku puisi yang memuat puisi-puisi mereka. Dan biasanya saya akan baca ketika di bandara, stasun atau di perjalanan. Saya baru tahu ternyata banyak penyair-penyair daerah yang menulis puisi dengan begitu dahsyat. Salam kreatif. Majulah Sastra Indonesia.

Ilham Wahyudi
Perkara di Kepala

Ini perkara di kepala
yang melekat serupa kulit
yang mengusik di hari terik
yang mengganggu di hitam baju
yang diribut si orang banyak
ia tak sebesar si semut merah
namun terserak di banyak kepala
sungguh ia pula yang mencuri perhatian
sebabkan ia si perusak citra
bagi gadis, lajang, terlebih lagi duda dan janda

Ini perkara di kepala
yang belum bertandang duhai obatnya
yang tak terkira jumlah adanya
yang tak cukup puisi ini menceritakannya
ya, apalagi kalau bukan perkara yang di kepala
yang beta derita bertahun lamanya

Medan, 2010

Perkara di Wajah
bagi al bunc

Duh, merah nian
dikau yang serupa bolabola
akarmu tertanam
wahai di dasarnya
bagai merapi yang bunting larva
yang tak tumpah bila belum masanya

Ini perkara juga tak kalah hebohnya
membuat remaja dirundung durja
bila ia mekar melebih tiga
yang kadang pula subur di hidung dinda
duhai pelita pujaan kanda

Medan, 2010


Perkara di Tapak Kaki

Ini perkara lain sendiri
karena letaknya di tapak kaki
jika rajin pergi mencuci
tapi kaki tak tahan kena sabun cuci
maka alamat ia makin menjadi
sebab muasalnya konon dari kamar mandi
tempat ‘nak gadis biasa mencuci

Ini perkara di tapak kaki
yang ‘kan selalu berair bila digaruki
yang juga tak gampang ‘tuk diobati
baik masa ‘ni kira pun nanti

ini perkara, perkara kami
yang bisa pula tuan dan puan alami
maka janganlah bungkam menutup diri
bila kelak ia mendatangi tapak kaki
yang tak tahan kena sabun cuci
apalagi becek di pasar pagi

Medan, 2010


Dini Hari di Tugu

Dini hari di Tugu
Bulan hampir penuh
Juga lirih lagu pengamen:
Ada kamu di sana
Dan beberapa pertanyaan sepele

Sudah berapa kali kemari?
Tak berapa sering
Kamu tidak merasa dingin
Tak berapa dingin
Kemarin jadi menungguku di sini?
Mmm…

Dini hari di Tugu
Orang-orang semakin ramai saja
Dan pertanyaan itu, terus saja kuulangulang

Jogja-Medan, 2010

Problem Urban dalam Cerpen-cerpen Medan
DEMOGRAFI penduduk, terutama migrasi mereka dari desa ke kota, tentu menimbulkan sejumlah problem. Karakter yang dulunya komunal, oleh tuntutan sosial kota yang cenderung individualis, menyebabkan perubahan massa yang cukup radikal. Dinamika itu kemudian menciptakan persoalan-persoalan baru dan meluas menjadi problem global yang lebih komplit. Masalah-masalah itu antara lain; pengangguran, kemiskinan, determinasi yang semua itu cenderung kriminal. Pada masyarakat yang tinggal di inti kota, terutama kota-kota maju, semisal Jakarta, Medan dan Surabaya, perubahan itu bahkan sudah mencapai antiklimaks. Masyarakat kelompok ini justru mulai hidup dalam gaya postmodrenitas, yang tak lagi terselubung.

Problem urban justru lebih dirasakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal di pinggiran kota. Sebagai kaum pinggiran, kelompok inilah yang sering menjadi korban kebijakan-kebijakan pemerintah kota. Misalnya kelompok masyarakat pinggiran rel, bantaran sungai atau tempat pembuangan akhir sampah. Problem urban menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Hal itu, tanpa disadari menjelma menjadi gaya hidup yang kemudian membentuk karakternya.

Tema-tema urban sebenarnya sejak tahun 80-an sudah didengungkan sastrawan kita, sebagai kritik terhadap kebijakan pemerintah yang sentralis dan berfokus pada pembangunan fisik semata. Menyebut beberapa nama; Motinggo Busye, Arief Budiman, WS Rendra, Putu Wijaya, Arifin C.

Noer, Mucthar Lubis. Menyusul kemudian generasi yang lebih baru seperti, Seno Gumira Aji Darma, Hudan Hidayat, Joni Ariadinata, Moammar Emka sampai Djenar Maesa Ayu. Meski begitu, inti yang diangkat juga tidak terlalu berubah. Manusia masih menjadi objek utama yang didasarkan atas pengalaman empiris pengarang. Sementara, hal pokok, semacam kebijakan-kebijakan pemerintah itu sendiri masih belum tercover. Hal ini juga merupakan masalah yang penting untuk didiskusikan.

Medan Dalam Cerpen
Pengarang-pengarang di Medan juga begitu. Jarang sekali karya, terutama cerpen yang diterbitkan di koran-koran Medan, mengangkat problem urban secara defenitif, baik setting, simbol maupun pengungkapan. Kesan itu terungkap lewat Omong-omong Sastra yang digelar di rumah Idris Siregar, 6 Februari 2011. Kelangkaan itu pula yang membuat Hidayat Banjar dan Intan Hasibuan, sebagai pemateri, kesulitan menghadirkan contoh cerpen sebagai bahan diskusi.

Hidayat Banjar mengaku, analogi urban dalam pemikirannya masih belum terungkap jelas dalam cerpen-cerpen yang ia suguhkan. Meski begitu, diakuinya tidak tertutup kemungkinan, ada perbedaan persefsi antar peserta diskusi. Cerpen-cerpen yang diketengahkan Hidayat Banjar berasal dari penulis muda, yang oleh YS. Rat disebut sebagai angkatan pasca reformasi di antaranya, “Tito” (T. Sandi Situmorang, Analisa, Rabu 24-11-2010) “Memeluk Angin” (Zuliana Ibrahim, Analisa, Rabu 24-11-2010) “Duka Telah Hilang” (Elpi Sinaga, Waspada, Minggu 28– 11-2010) “Afifah” (Intan HS, Analisa, Rabu 1-12-2010) “Ketika Fajar Beringsut” (Wahyu Wiji Astuti, MedanBinis, Minggu 12-12-2010) “Patung Lek” (Rifan Nahzif, Harian Global, 15-1-2011) “Topeng” (Venny Mandasari, Analisa, Minggu, 16-1-2011). Sayang Hidayat tidak melampirkan cerpen-cerpen itu secara utuh, sehingga cerpen-cerpen itu tak bisa dibahas secara lengkap. Terlepas itu, menurut Afrion, idealnya cerpen urban harus memunculkan problem-problem masyarakatnya, salah satunya yang timbul oleh kebijakan pemerintah kota. Contohnya dampak dari penataan tata kota yang amburadul. “Bisa jadi cerpen urban adalah kritisi terhadap kebijakan pemerintah kota yang mungkin dirasakan pengarang tidak berpihak pada masyarakat.

Apakah hal-hal semacam ini tersirat dalam cerpen-cerpen yang dipilih pembicara?” tanya Afrion.
Sedangkan penulis, di kesempatan itu menyatakan cerpen-cerpen urban tidak harus mengungkap tempat secara definitif, karena hal itu akan diketahui secara otomatis lewat problem-problem yang dirasakan masyarakatnya. Di Indonesia, problem ini mempunyai warna yang beragam sekaligus menarik, mengingat perbedaan karakter etnisitas masyarakatnya.

Problem urban bermula dari ketidaksiapan sekelompok masyarakat terutama ketika mereka berpindah, baik inisiatif sendiri maupun melalui program-program pemerintah semisal urbanisasi atau transmigrasi. Perubahan karakter itu sering berbenturan dengan gaya sosial di tempatnya yang baru. Dinamika ini menarik untuk diungkap dalam sebuah cerpen. Sayangnya cerpen-cerpen yang terbit di koran Medan, belum cukup menggambarkan kekhasan itu. Sehingga problem urban tidak begitu terasa. Menyempurnakan beragam pendapat itu, sastrawan Damiri Mahmud, menjelaskan, yang paling penting dari sebuah cerpen adalah pengungkapan, karena dari situlah terasa tema yang ia garap, entah itu urban atau tidak. Begitupun omong-omong sastra kali ini menghasilkan pemikiran-pemikiran yang penting.

Di antaranya menegaskan kembali pentingnya kritikus sastra yang memang langka di kota ini. Kesan ini diungkap Yulhasni, sekaligus mengkritis pembicara yang tak melengkapi bahannya, sehingga peserta kesulitan menganalisa cerpen-cerpen itu. “Kita memang kekurangan kritikus sastra, terbukti bahkan untuk diskusi seperti ini pun, pembicara tidak melengkapi data-data yang menjadi pembahasan,” ujarnya. Demikianlah omong-omong sastra kali ini memang tak menyimpulkan apa-apa, selain sebuah tradisi yang unik dan tetap harus dilestarikan.
(jones gultom)

Malam Beku dan Jemu
Sakinah Annisa Mariz
; Liandi Prassetiyadi
/1/

detik-detik jatuh, hari-hari terpeleset
minggu mengering, bulan menua di langit
rindu untukmu menancap pada gemerisik angin
yang hening, menyembul harap

satu-satu cahaya datang dan hilang
kupikir itu lentera yang menyala kecil dari perahu dari tengah laut
ah, syair tentang perahu belum tepat untuk kita bincangkan dalam puisi rindu
lebih baik kita isi saja gelas malam ini dengan sajak romantis
tapi aku tak pandai menjahit kata-kata
bagaimana ini?
kuntum-kuntum cinta terus saja bermekaran
/2/
kau yang menjenguk sunyi di kedalaman hati
desah daun-daun gugur di jendela dan titik embun dini hari
menusuk malam dalam mimpi-mimpi kosong dan berdebu
masih bolehkah terjaga?
aku tahu kau telah berusaha, sayang
untuk membuat gelap tak terlampau garang
menjelmakan sepi di puisi ini
padahal telah kutulisi berlembar-lembar fotomu di sketsa malam
tapi lagi-lagi jariku meleleh
serupa bayangan samar, dia kikis di kata-kata penghabisan
itu sebabnya jawabku hadir terlalu lambat
j" te aime
Karena Rindu Itu Anugrah, Maka Selamanya Aku Akan Bersyukur
Sakinah Annisa Mariz

bulan dan malam bukan perkakas dalam puisi mati
dentang jam dinding membujur di dada
meski hari dan tahun bukan untuk kau, juga aku
cengkraman rindu mengoyak-ngoyak kita
jadi kepingan kata
yang berkarat
dalam jarak

3 Desember 2010
; Sahabatku, Guntar
/1/

Orang-orang datang dan pergi
seperti kali pertama juga kali penghabisan
dan segala yang bernyawa benarlah kembali sujud padaNya

doa"-do"a mengalir untuk ruhnya yang suci
di pembaringan yang terakhir
maka dzikirkanlah munajat padaNya
dengan cucur rindu yang mengalir di tahajjud

/2/
jangan menyepi Guntar,
bapak tidak pernah beranjak darimu
dia ada dalam dagingmu
dia lesap dalam darahmu
dia hidup dalam nafasmu
dia hadir dalam waktu sholatmu
maka tunjukkanlah baktimu
agar malam tak bertumpangtindih dengan suny
Kepada Malam yang
Menyerupaimu
Sukma

Aku sembunyikan tubuhmu
Pada waktu yang dangkal
Ketika itu gerimis datang menitipkan
Malam lalu mengalirkannya ke tubuhmu

Kita sendiri lupa
Bagaimana mengubah kabut-kabut
Kemudian melahirkan seorang bayi dari langit
Karna aku masih mengerti
Nyaring suaramu yang lahir dari
Permukaan lagu meski malam
Selalu hadir padaku
Medan, Nopember 2010

Kedatanganmu
Sukma

Pada hari yang sama seorang gadis
Datang padaku. Rambutnya terurai
Menutupi langkahku
Siang itu dia kembali datang
Setelah memanjat tebing-tebing
Menyelami kedalaman sunyi

Aku menatap keningnya
Mirip dengan putriku yang tiga hari lalu
Tidak mengerti jalan pulang

Di tangan kanannya ada bekas luka
Aku tersenyum
Dia menceritakan siapa ibunya
Dan esok kembali menjumpaiku
Medan, Nopember 2010
Seharian
Sukma

Terlalu pagi bagi kita
Untuk menceritakan laut yang bergetar
Sejak kapan kau menangis
Bukanlah cerita yang akan kudapati
Aku selalu saja seharian menunggumu
Dalam kerinduan yang teramat dingin
Kuterjemahkan nama batu dan debu
Menjadi kristal bening
Aku teringat matamu
Medan, Nopember 2010

Berdiam Diri
Sukma

Kau buka sebuah pintu di hatiku
Kita masuk ke dalamnya berdua
Kau duduk di sudut paling gelap
Menyalakan lilin dan menyiapkan kopi hangat

Waktu seketika mengeras
Kita terkunci
Daun-daun berguguran dan semuanya berubah
Menjadi patung yang mengerikan
Aku lihat wajahmu memucat
Dan kita tidak berusaha keluar
Medan, Nopember 2010

Visualisasi Puisi KSI Medan
“Indonesiaku, Bencanaku;....” Terlalu Sadar Tampil
MELALUI pergelaran visualisasi sejumlah puisi berjudul “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku,” Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan mengisi kegiatan Pergelaran Seni Sastra, program Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU)-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumut, Rabu (15/12/2010) sore.
Visualisasi puisi “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku” dengan sutradara Idris Pasaribu itu, sekaligus jadi penutup tiga rangkaian program TBSU, berupa Pergelaran Seni Teater, Workshop Penulisan Naskah Drama, dan Pergelaran Seni Sastra.

Dalam kegiatan yang kepanitiaannya diketuai Drs Bangun Nasution itu, melalui visualisasi puisi “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku,” KSI mengusung sejumlah puisi di antaranya “Perjanjian dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar, “Indonesiaku” karya Idris Pasaribu, “Indonesia, Aku Masih Tetap Mencintaimu” karya Ahmadun Yosi Herfanda, “Wasior Kesohor Waswas” karya Juhendri Chaniago, “Mentawai” karya Sakinah Annisa Mariz, “Asa Dalam Lahar Mentari” karya Sidrata Emha, serta karya Antilan Purba, Embar T Nugroho, dan Richa Ayu.

Pergelaran visualisasi puisi KSI Medan ini, yang didukung tataan musik Hendrik Peranginangin bersama Winarto, diawali masuknya 15 orang sambil mengibar-ngibarkan bendera macam-macam warna, satunya Bendera Merah Putih, berjalan mengitari area pentas hingga membentuk sebuah komposisi.

Selanjutnya salah satu pemain, Embar T Nugroho, mengambil posisi di area pentas terdepan dan dari belakang Juhendri Chaniago bergerak maju, membacakan puisi “Perjanjian dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar.

Berikutnya diselingi olah gerak sejumlah pendukung dan beberapa tarian, bergantian dibaca puisi di antaranya karya Idris Pasaribu, Ahmadun Yosi Herfanda, Juhendri Chaniago, Antilan Purba, dan lain-lain.

Visualisasi puisi “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku” berkisah tentang sejumlah kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia sejak perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, zaman kemerdekaan, peristiwa 1966, Orde Baru, dan reformasi. Juga musibah alam yang melanda hingga yang terkini di Wasior, meletusnya Gunung Merapi, serta musibah gempa dan tsunami di Mentawai.

Pertunjukan yang dihadirkan Idris Pasaribu melalui sejumlah olah gerak pendukung dan tarian, sebenarnya memberikan daya pikat tersendiri. Hanya saja, pada beberapa bagian di antara pendukung terkesan terlalu menyadari sedang tampil untuk ditonton, sehingga permainannya lepas dari kontinuitas cerita. Meski demikian, bentuk pertunjukan itu sedikit berhasil menggiring penonton untuk masuk ke suasana yang bakal hadir pada bagian pertunjukan berikutnya.

Satu hal – dan ini dasar dalam membacakan puisi – agaknya perlu diberi perhatian khusus. Kemampuan olah vokal para pembaca di visualisasi puisi “Indonesiaku, Bencanaku; ... Jadi Babu Ibuku” itu masih minim dan seakan terjebak pada pola pengucapan dialog dalam lakon teater, juga terkadang tak bisa dicermati karena cacat di artikulasi. (ys rat)

Si Jonaha Persembahan PLOt
Opera Batak Empat Bahasa di TBSU
MedanBisnis – Medan. Opera Batak berjudul Si Jonaha persembahan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) kali ini, yang teksnya ditulis Thompson HS sekaligus juga sebagai sutradara, bisa dipastikan bernuansa lain. Operasi ini digelar Jumat dan Sabtu (11 dan 12/3) di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan Medan. Si Jonaha disuguhkan dalam empat bahasa yakni bahasa daerah Batak Toba, Simalungun, Karo, dan Bahasa Indonesia.
Thompson yang didampingi Direktur Produksi PLOt, M Swarsono, dan Pimpinan Produksi, Ojak Manalu, mengemukakan hal itu kepada wartawan di Ruang Pameran TBSU, Senin (7/3) sore.

“Garapan kali ini agak berbeda, kita coba gabungkan tiga bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Sedangkan selama ini kita khusus menggunakan bahasa Batak Toba,” jelasnya.

Menurut Thompson, pergelaran Si Jonaha di Medan ini merupakan yang ketiga setelah sebelumnya pernah ditampilkan pada acara Pesta Danau Toba dan di Batam tahun 2010. Berdasarkan pengalaman dua pergelaran terdahulu itulah, kata dia, muncul gagasan untuk menghadirkan opera Batak sebagai tontotan yang bisa dinikmati masyarakat semua etnis.

“Karena memang, dari pengalaman pementasan-pementasan sebelumnya terasa ada benang merah yang memungkinkan penonton dari berbagai latar etnis menikmatinya juga dan disadari ada sedikit kendala dalam hal bahasa yang digunakan. Itulah makanya, kali ini kami coba meminimalkan kendala itu dengan menggarapnya dalam empat bahasa meliputi bahasa Batak Toba, Simalungun, Karo, dan bahasa Indonesia,” papar Thompson.

Soal pemain, dia menjelaskan, pergelaran Si Jonaha akan didukung 16 pemain dari tiga generasi mulai generasi muda hingga generasi tua. Di antaranya, imbuh Thompson, maestro opera Batak yang sudah selama 36 tahun bergabung bersama kelompok Opera Batak Serindo pimpinan Tilhang Gultom dan sudah cukup ternama, yakni Zulkaidah Br Harahap dan Alister Nainggolan.

Ditambahkan Ojak Manalu, dari pengalaman pergelaran di Batam jumlah penonton mencapai antara 5.000 hingga 6.000 orang dari kapasitas gedung pertunjukan untuk 7.000 penonton dan pada Pesta Danau Toba lalu jumlah penonton bahkan membludak, pihaknya yakin di TBSU pun akan mendapat sambutan antusias dari masyarakat.

Untuk itu, lanjutnya, masih dibuka kesempatan bagi para calon penonton untuk memperoleh tanda masuk, di TBSU Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan, Galeri Payung Teduh Jalan Sei Bingei No 1, Kedai Kopi Tradisi Jalan Setia Budi No 12 F Pasar I Tanjung Sari, dan Rumah Buku Medan Jalan Jamin Ginting No 514 Padang Bulan. Si Jonaha dihadirkan empat kali pertunjukan dalam dua hari. Yakni, pukul 15.00-16.30 WIB khusus pelajar dan pukul 19.30-21.30 WIB untuk umum/mahasiswa. (ys rat)

Bersama D’lick Theater Team
Nonton Lagi “Fajar Sadik” Setelah 18 Tahun
SENIN, 13 Desember 2010 pukul 16.00 WIB, berada di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan No 33 Medan, ingatan kembali ke kenangan masa lalu. Kali ini, nonton lagi “Fajar Sadik” karya Emil Sanosa, yang 18 tahun lalu di tempat itu juga dipentaskan D’lick Theater Team, dengan sutradara yang sama, Yondik Tanto.
Jika 18 tahun lalu “Fajar Sadik” dipentaskan pada Festival Drama Epos Perjuangan 1945 Tingkat Sumut dan D’lick Theater Team berhasil meraih enam kategori pemenang sekaligus ditetapkan sebagai juara umum, kali ini mengisi Pergelaran Seni Teater Program UPT TBSU-Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, yang kepanitiaannya diketuai Drs Bangun Nasution.

Adakah yang beda di pementasan “Fajar Sadik” kali ini dengan 18 tahun lalu? Kecuali sutradara, yang pasti perbedaan di para pemain. Kini, C Rizky (Maryoso), Jali Kendi (Ahmad), Ilham Wahyudi (Sersan), Andy Mulky (Kiai), dan Yusra Lubis (Julaiha/adik Ahmad). Sedangkan di pementasan 18 tahun lalu antara lain Eddy Siswanto (Maryoso), Monos Ra (alm/Ahmad), Sampir (Kiai) dan Susi Suhaimi (Julaiha).

Lantas, selebihnya? Ada kesamaan dan perbedaan. Kerja penyutradaraan Yondik kali ini masih sama dengan 18 tahun lalu, mampu menjadikan “Fajar Sadik” tetap mempunyai daya tarik ditonton sepanjang satu jam lebih hingga akhir pementasan. Bedanya, pemeran yang diandalkan masih kurang mampu menjiwai “ruh” sesungguhnya dari “Fajar Sadik” dibandingkan mereka yang memerankan lakon ini 18 tahun lalu.

Ahmad dan Maryoso
“Fajar Sadik” diawali pertentangan putra Kiai, Ahmad dengan Maryoso yang merupakan teman sekaligus murid kesayangan ayahnya. Atas petunjuk Ahmad kepada kaum kolonial, pesantren di mana Sang Kiai menempa para santri yang juga dijadikan markas para laskar pejuang di bawah pimpinan Maryoso, dibakar habis oleh penjajah sehingga banyak jatuh korban.

Mengesampingkan persoalan teman sekaligus putra Sang Kiai, Maryoso menjadikan Ahmad sebagai tawanan dan segera akan menjatuhkan hukuman mati dengan cara ditembak. Maryoso berpendirian, perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tidak memandang seseorang sebagai teman dan putra Sang Kiai yang juga merupakan gurunya. Bagi Maryoso, Ahmad harus dihukum setimpal atas pengkhianatannya yang telah menelan banyak korban.

Sedangkan bagi Ahmad, tindakannya memberitahu pesantren milik sang ayah sebagai markas para pejuang sebagai aksi balas dendam atas kematian ibunya yang menurut dia disebabkan Maryoso. Itu terjadi karena di tengah situasi teramat gawat, istri kiai yang adalah ibu Ahmad berlari keluar dari persembunyiannya di dalam pesantren. Menghadapi hal itu, tak ada tindakan lain bisa dilakukan kecuali menembaknya demi menghindari pihak kolonial mengetahui markas para laskar pejuang di pesantren itu.

Rasa dendam itulah yang dibalaskan Ahmad dan itu dikemukakannya di hadapan Maryoso ketika dia ditawan. Sementara Maryoso, kalaulah Ahmad merasa perlu menuntut balas atas kematian ibunya, sehingga korbannya para laskar pejuang dan para santri, ditambah kedua orang tua Maryoso sendiri, kepada Ahmad dia mempertanyakan; tidakkah dia juga sesungguhnya perlu menuntut balas jika hanya mementingkan diri sendiri?

Di saat pertentangan antara Ahmad dengan Maryoso semakin memuncak, muncullah Kiai dan mengajukan tuntutan kepada Maryoso agar menghukum gantung Ahmad, karena menurutnya hukuman tembak terlalu ringan untuk seorang pengkhianat seperti dia. Kiai tak mau Maryoso menghukum tembak Ahmad dan bukan menjatuhkan hukuman gantung karena pertimbangan dia anak kandung beliau yang juga guru Maryoso sendiri.

Maryoso kukuh pendirian. Ahmad dihukum mati dengan cara ditembak. Cara itu dia lakukan dilandasi pertimbangan kemanusiaan, bukan lantaran Ahmad sebagai bekas teman dan anak Kiai yang juga gurunya. Ketegangan pun masih dipengaruhi lagi oleh kehadiran adik perempuan Ahmad, Julaiha, yang meminta ayahnya menggunakan pengaruhnya terhadap Maryoso untuk membatalkan hukuman mati Ahmad.

Tapi, perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tetap di atas segalanya. Hukuman mati di hadapan regu tembak tak bisa diurungkan terhadap Ahmad atas pengkhianatan menunjukkan pesantren milik ayahnya yang dijadikan markas para laskar pejuang dan juga terdapat banyak santri, sehingga akhirnya dibumihanguskan oleh kaum kolonial.

Sekadar tambahan. Yondik Tanto sebagai sutradara pastilah memberikan arahan perihal penjiwaan peran kepada para pemain “Fajar Sadik” dan hal ini sudah terlihat membuahkan hasil. Hanya, kerapnya di beberapa adegan para pemain lepas dari kontinuitas penjiwaan perannya, sangat berpengaruh terhadap kestabilan komposisi dan penguasaan area pentas. Juga, kehadiran perangkat pendukung seperti tata rias, busana, pentas, dan lampu masih jauh dari totalitas yang semestinya.

Hanya perlu sedikit lagi upaya – tentunya bermodal keseriusan – sangat mungkin pementasan “Fajar Sadik” yang kali ini telah memiliki daya tarik, akan semakin menarik ditonton. Karenanya, Anda yang gemar nonton teater layak menunggu sekaligus bersiap untuk kembali menonton “Fajar Sadik” yang memang sedang dipersiapkan Yondik Tanto untuk program pergelaran D’lick Theater Team ke depan. (ys rat)

Perupa Muda Sahala Hadirkan 3 Puak di Opera Batak
Kelompok perupa Sahala akan menghadirkan nuansa puak Karo, Simalungun, dan Toba di atas panggung Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), 11-12 Maret 2011 mendatang, pada pementasan Opera Batak Si Jonaha. Di samping itu Sahala juga akan menggelar pameran lukisan dan karya rupa lain di pelataran parkir TBSU. Yanal Zendrato, salah satu anggota Sahala, mengatakan, keterlibatan mereka pada pementasan Si Jonaha yang digelar Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) merupakan pengalaman pertama Sahala sebagai tim artistik panggung. "Ini sebuah bentuk kepercayaan dari teman-teman di PLOt kepada kami selaku perupa-perupa muda," sebut Yanal.
Sahala sebagai sebuah kelompok perupa dibentuk oleh empat mahasiswa Universitas Negeri Medan (Unimed) pada medio 2008. Deppi Tarigan, Julister Sinurat, Ranjaya Siahaan, dan Yanal Zendrato mendirikan Sahala sebagai pengungkapan rasa kehilangan terhadap Galeri Tondi. Galeri Tondi, seperti diakui Yanal, ketika masih eksis, telah memberi ruang kreativitas bagi mereka. Di galeri yang didirikan perupa Grace Siregar ini, mereka pernah menggelar pameran. Di Galeri Tondi pula mereka berkesempatan berdiskusi dengan perupa-perupa nasional yang berpameran di sana.

Sebagai sebuah kelompok perupa Sahala menyadari pentingnya sebuah galeri. Pasca Galeri Tondi, mereka sempat berpindah-pindah tempat memamerkan karya-karya mereka. Namun, sejak Januari lalu mereka telah memiliki galeri permanen di Jalan Garuda Raya No 4 Perumnas Mandala.

"Di sana kami termotivasi membangun minat anak-anak muda Medan pada seni rupa. Mengisi pentas Opera Batak Si Jonaha bersama PLOt adalah salah satu kesempatan dan kebanggan buat kami untuk menunjukkan kreativitas kami," tegas Yanal optimis.

Sekedar informasi, pertunjukan Si Jonaha sendiri akan dilakukan dalam 4 pertunjukan selama 2 hari. Pertunjukan sore pukul 15.00-16.30 WIB dikhususkan bagi pelajar dan pertunjukan malam 19.30-21.30 WIB bagi umum dan mahasiswa.

Undangan pertunjukan ini dapat diperoleh di TBSU Jalan Perintis Kemerdekaan no 33, Medan, Galeri Payung Teduh Jalan Sei Bingei no 1, Kedai Kopi Tradisi Jalan Setia Budi No 12 F Pasar I Tanjung Sari, dan Rumah Buku Medan Jalan Jamin Ginting No 514 Padang Bulan.

"Kami juga akan bekerjasama dengan Sanggar Tinuang dalam membangun nuansa Karo di panggung pementasan itu," tutup Yanal mengakhiri. (Jones Gultom )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar