Selasa, 31 Mei 2011

Fragmen Sebuah Cerita; Mengayuh Sampan Imaji Bersama Zulaiha

Sakinah Annisa Mariz

Judul : Sampan Zulaiha
Pengarang : Hasan Al Banna
Tebal : xii + 128 hlm
Ukuran : 140 mm × 210 mm
Jenis : Antalogi Cerpen
Penerbit : Koekoesan, Depok
ISBN : 978-979-1442-42-8

Karya sastra, karya seni yang memiliki budi, imajinasi, emosi. Karya sastra juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. (Purba, 2010:7). Lebih mendasarnya, apabila kita melihat akar istilah "sastra" itu sendiri yang bermakna memberi petunjuk, mengajarkan atau memberikan pengajaran. Tak jarang bila seorang penikmat sastra banyak mengadaptir nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra sebagai pemerkaya pengalaman dalam menjalani kehidupan. Kekayaan pikiran dan batin yang didapatkan seorang pembaca itulah yang dimaksud dengan konsumsi intelektual dan emosional.

Seyogyanya, sebuah karya tidak hanya bisa memberikan terobosan cakrawala berfikir pembaca, juga mampu menyentuh perasaan pembaca. Pembaca bisa saja menangis, tertawa, merenung, bahkan marah ketika membaca karya sastra, (sangat berbeda ketika membaca buku teks atau karya ilmiah). Karya sastra terlahir (dan memang) dilahirkan untuk merefleksikan kehidupan manusia pada zamannya.

Karya yang mampu merefleksikan kehidupan manusia pada zamannya tentulah memuat nilai budaya, kultur, pandangan hidup, dan ideologi masyarakat. Kelahiran tak terbendung bagi karya sastra berbahasa Indonesia, namun masih mengusung tema-tema kedaerahan, kemudian berganti label menjadi ‘Sastra Indonesia Berwarna Lokal’.

Istilah warna lokal sendiri diperkenalkan oleh Jakob Sumardjo pada tahun 1979. Dalam buku ‘Sastra dan Manusia", Antilan Purba menjawab bahwa bentuk sastra ini lahir dari perjumpaan dan kesepakatan antar sosial budaya lainnya. Di dalam perjalanannya, sosial, budaya, etnis, masih berperan sebagai subjek dalam pembentukan nilai baru. Kebaruan produk yang ikut serta atau dibawa dalam sastra Indonesia. (Purba, 2009 : 86)

Hasan Al Banna dalam kumpulan cerpennya, Sampan Zulaiha, juga ambil bagian dalam mewarnai khazanah sastra berwarna lokal. Dalam cerpen-cerpennya, ciri kelokalan itu tidak hanya terpusat pada setting (beberapa cerpen diambil dari Tapanuli Selatan, Toba, Pesisir, hingga perkotaan), juga pada nilai kultural, ideologi masyarakat, hingga esensi dari nilai-nilai normatif yang ada di Sumatera Utara. Kekentalan warna lokal inilah yang membuat pembaca (khususnya yang berada di Sumatera Utara) merasa dekat dengan peristiwa-peristiwa yang diungkap oleh Hasan melalui cerpen-cerpennya.

Cerpen utamanya adalah ‘Sampan Zulaiha’ yang menjadi judul kumpulan cerpen ini. Cerpen ‘Sampan Zulaiha’ mengambil setting sebuah daerah pesisir yang kental dengan kehidupan keluarga nelayan. Seorang anak kecil bernama Zulaiha, sangat ingin melaut.

Keberadaannya sebagai perempuan di masyarakat yang berpaham patriarki, semakin mengucilkannya dan merendahkan cita-citanya. Zulaiha menjadi objek yang termarginalkan dan sasaran kekerasan. Ibunya sendiri, tak bisa berbuat apa-apa ketika tendangan, tamparan dan hujan makian menerpa Zulaiha bertubi-tubi. Kekejaman ayah kandungnya tidak hanya karena stereotip bahwa anak perempuan tidak membanggakan keluarga, juga kecacatan tubuhnya yang menurut ayahnya adalah aib.

Laut menjadi segala tempat Zulaiha melabuhkan pedih luka dan pelipur hatinya. Zulaiha sangat ingin memeluk laut, seperti laut memeluknya dalam debur ombaknya yang syahdu. Lantas, bagaimana Zulaiha melaut? Ayahnya tak pernah mengizinkannya ikut naik ke sampan, apalagi untuk melaut? Tekad Zulaiha sudah sangat kuat. Dia ingin memeluk laut, menyatu dengan asin air laut, meleburkan lukanya bersama laut, Zulaiha ingin melaut!

Kisah ‘Sampan Zulaiha’ menjadi salah satu dari banyak kisah yang menarik di cerpen ini. Permasalahan kompleks yang terjadi sebagai realitas sosial di masyarakat menimbulkan gejolak pertengkaran antara adat, tradisi, nurani, dan dunia sastra sebagai dunia imajinasi. Untaian kata demi kata yang disusun, seolah ingin memupuk ladang imajinasi pembaca perlahan -dan pasti- menyeret-nyeret kita dalam lautan emosi yang campur aduk.

‘Sampan Zulaiha’ menjadi menarik sebab mengusung warna lokal yang tidak hanya tercermin dari bentuk pemakaian bahasa atau istilah kedaerahan dalam dialog, namun juga pada setting dan nilai-nilai normatif yang lahir dari adat-istiadat di masyarakat. Warna lokal yang dimaksudkan tentu bukan berarti cerpen ini hanya bisa dinikmati oleh masyarakat lokal yang mengenali dimana kelokalan tradisi itu mengalir, namun juga bagi pembaca secara umumnya. Teknik point of view pengarang yang membuat pembaca seolah berada dalam kejadian yang sama atau menjadi pelaku kejadian tanpa merasa digurui. Metafora yang membangkitkan keliaran bahasa serta penamaan tokoh yang unik (misalnya: Gokma, Saipeh, Dempol, dan sebagainya) juga menambah cita rasa cerpen.

Selain ‘Sampan Zulaiha’, masih ada 13 kisah lagi seperti Rumah Amangboru, Gokma, Parompa Sadun Kiriman Ibu, Ijazah, Pasar Jongjong, Rabiah, Kurik, Pertikaian Firasat, Tiurmaida, Horja, 15 Hari Bulan, Ceracau Ompu Gabe, dan Hanya Angin Yang Terpahat di Rahang Pintu yang juga segar untuk dinikmati.

Menanamkan nilai-nilai humanis dan mengajak manusia kepada kebenaran melalui sastra adalah salah satu tujuan dari kelahiran karya. Sastra dan karyanya tidak bisa lepas dari asas kemanfaatan, karena selain sebagai penghiburan, tentulah sebuah karya harus bisa menjadi perenungan. Hasan Al Banna kiranya telah menjawab ini dengan 14 cerpennya. Selamat berkontemplasi melalui sampan imaji Zulaiha!

Medan, KSI 2011

Penulis; mahasiswi semester IV Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, UNIMED

Peluncuran“Sampan Zulaiha”; Nonton Perdebatan dan Kesombongan Akademisi

Hidayat Banjar

Menyaksikan peluncuran kumpulan cerpen (cerita pendek) “Sampan Zulaiha” sejatinya adalah menonton perdebatan dan kesobongan akademisi.

Syukur, Hasan Al Banna tetap Hasan yang arif dan rendah hati seperti saya kenal beberapa tahun lampau. Hasan kokoh pada pendirian: begitu “Sampan Zulaiha” diterbitkan dan diluncurkan di kantin Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Sabtu (23/4) sore, sang ‘sampan’ adalah milik pembaca.

Meski perdebatan “seperti jalan tak ada ujung” itu dan tampilnya akademisi yang sombong, Hasan tetap arif dan rendah hati. Ya, otonomi seorang pengarang (penulis) sebatas saat tulisan, akan, sedang dan selesai dibuat. Setelah dipublikasi, baik lewat buku maupun media, hak pembacalah untuk menanggapi pesan apa yang dapat ditangkap, dirasa, dicerna atau dicincang dengan pisau bedah akademis.

Ketika terjadi perdebatan seru tentang idiom daerah yang susah dan tak terpahami pembaca -menurut kacamata Yulhasni (narasumber)- Hasan tak mau mengomentari hal itu. “Saya menulis apa-apa yang terdekat dengan urat leher saya. Saya juga tak pernah berpretensi tentang warna lokal atau tidak. Kalau ternyata karya yang saya tampilkan berwarna lokal, ya, syukur,” kata Hasan menyampaikan pendapatnya mengenai cerpen-cerpennya.

Akan Pincang

Hal yang begitu menyuntuh saya -saat menonton perdebatan dan kesombongan akademisi itu- Hasan menganggap kritikan yang ditujukan padanya akan memperkokoh pijakan kakinya dalam berkarya. Karena pujian dan kritikan -bagi Hasan- adalah kaki kiri dan kaki kanan. Menurut Hasan, jika hanya pujian yang disampaikan padanya, sama saja dengan mematahkan satu kakinya.

“Kalau hanya memuji saya, Anda hanya mematahkan kaki saya dan memberikan saya tongkat untuk berjalan. Dengan memakai tongkat, dapat dipastikan, jalan saya akan pincang,” kata Hasan. Buku berisikan 15 cerpen Hasan -menurut narasumber dan sebagian audiens ini- menyajikan potret Sumatera Utara. Pendapat itu benar adanya, jika pijakannya setting peristiwa dan istilah atau idiom-idiom (ungkapan-ungkapan) kedaerahan. Sesungguhnya cerpen-cerpen Hasan menggambarkan problematika manusia secara universal.

“Tidak mendekap siapa. Malam itu, bukan dendam kesumat yang Zulaiha tunaikan, melainkan cita-cita: melaut sendiri, sendiri! O, tengoklah, sampai Zulaiha adalah tubuh Zulaiha sendiri!” Bait akhir nukilan cerpen “Sampan Zulaiha” yang dibacakan Indah Zuhairani Siregar, pada pembuka acara peluncuran antologi cerita pendek “Sampan Zulaiha” tersebut.

Tidakkah yang digambarkan Hasan merupakan problem kemanusian universal? Konflik batin anak yang tersubordinasi di bawah bayang-bayang ayahandanya? Zulaiha tidak menangisi pahitnya hidup dan kekejaman sang ayah. Zulaiha hanya ingin lepas dari cengkraman sang ayah. Itu hanya dimungkinkan bila dia dapat melaut dengan sampannya sendiri menuju samudera bebas kehidupan sebagai manusia merdeka.

Betapa Sombongnya

Ada protes, karena banyak idiom berwarna lokal yang tidak dimengerti. “Kalau orang awam yang membaca tentunya membutuhkan bantuan, memberi pemahaman mengenai idiom-idiom itu,” sebut Yulhasni. Bah… betapa sombongnya akademisi yang adalah salah seorang dosen di universitas swasta ini.

Tidak maksud saya untuk menafikan peranan kritikus atau pengamat sastra, sesungguhnya karya krtik adalah secondary. Tanpa karya sastra tidak ada kritik. Lupakah Yulhansi, tetralogi Laskar Pelangi dibaca dari siswa SD sampai profesor doktor? Boleh jadi banyak ungkapan-ungkapan yang tidak (kurang) dimengerti oleh siswa SD saat membaca kisah perjuangan anak-anak Belitong, namun mereka dapat menikmatinya.

Seperti kata Idris Pasaribu, lagu dan musik Mozart tidak kita mengerti, tetapi dapat dinikmati karena sesungguhnya bahasa musik adalah bahasa universal. Demikian juga karya sastra, mungkin ada beberapa kosakata yang tidak kita mengerti, namun rangkaian kalimat itu dapat kita nikmati dan akhirnya terpahami maksudnya.

Karena itu Idris berpesan jangan takut menggunakan kosakata dan ungkapan-ungkapan lokal. Misal, senin-kemis yang ungkapan dari Jawa untuk menggambarkan kondisi ekonomi pas-pasan bahkan kurang, kenapa tidak dipakai ungkapan ngap-ngap baung yang maknanya kurang lebih sama. Bahkan ungkapan ngap-ngap baung, menurut saya, akan melestarikan eko-linguistik. Bukankah ikan baung yang dulu – 35-40 tahun lampau– dengan mudah didapat di Sungai Deli, sekarang sudah merupakan makanan langka.

Tidak sekadar itu, banyak pula idiom daerah (lokal) yang sebenarnya tak dapat diterjemahkan secara literlik ke dalam bahasa Indonesia. Jika dipaksakan, maka maknanya tidak pas. Contoh, kata mesawang, kosakata Batak Karo yang artinya kira-kira sunyi, lapangan yang luas, berada di tempat yang tinggi, sehingga membuat gamang (takut atau menakutkan). Kata kesawan boleh jadi berasal dari mesawang.

Mesawang

Ketika kosakata mesawang saya pakai dalam puisi saya berjudul ”Medan Bukan Mesawang” untuk lomba cipta puisi pada HUT Waspada tahun 2010 lalu, puisi itu memperoleh predikat Juara I (bukan narsis lho). Nah, apalagi? Kenapa takut menjelajah lautan makna lewat kosa-kosakata yang luas dan dalam, baik itu kosakata lokal Sumut, luar sumut, maupun bahasa asing. Yang penting kosakata tersebut kita beri catatan kaki atau dicetak miring.

Jika ada beberapa audiens yang sepakat jika penggunaan idiom lokal justru membatasi pembaca, itu hanya sekadar untuk menimbulkan perdebatan saja. Mereka mengatakan, “tidak hanya pembaca dari luar Sumut saja yang kesulitan memaknai arti idiom yang dimaksud.

“Saya lahir dan besar di sini (maksudnya Medan), tapi tak semua saya pahami mengenai idiom-idiom yang dituliskan. Ini akan membatasi pembaca,”sebut salah seorang audiens. Pertanyaankan kita, tidakkah begitu banyak ungkapan-unngkapan lokal pada novel “Laskar Pelangi”. Novel yang dibaca dari siswa SD sampai profesor doktor. Pada Bab 7 pada judul pun pakai ungkapan asing Zoom Out. Dalam Bab 6 ada ungkapan urang setap. Judul Bab 6 pun “Gedong” bukan Gedung. Nah, apa yang salahnya?

Tikwan Raya Siregar narasumber yang memposisikan diri sebagai pembaca mengungkapkan keberanian Hasan Al Banna menggunakan idiom lokal akan menjadi sejarah baru dalam menambah khazanah bahasa di Indonesia. Sebenarnya, Hasan bukanlah pionir dalam menggunakan warna lokal. Sudah banyak rekan-rekan menulis memakai kosa-kosa kata maupun ungkapan-ungkapan lokal.

Jadi Tahu

“Orang-orang dari luar Sumut akan menjadi tahu bagimana bahasa rakyat di Sumut,” kata Tikwan. Itu benar, ungkapan-ungkapan lokal yang ada dalam karya sastra memperkuat orisinalitas dan otentisitas karya sastra sebagai dunia kreatif dan imajinatif.

Hasan dalam bukunya menampilkan potret lokal kehidupan sosial di beberapa daerah di Sumut, dengan menampilkan istilah, nama bahasa di daerah tertentu. Cerpen-cerpen itu antara lain: Rumah Amangboru, Gokma, Parompa Sadun Kiriman Ibu, Ijazah, Pasar Jongjong, Rabiah, Kurik, Sampan Zulaiha, Pertikaian Firasat, Tiurmaida, Horja, 15 Hari Bulan, Cerecau Ompu Gabe, Hanya Angin yang Terpahat di Rahang Pintu. Jelasnya, baca saja buknya dan Anda akan nyemplung ke lautan makna. Amin.
Penulis Puisi, Cerpen dan Novel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar