Selasa, 31 Mei 2011

SETEGUK AIR ZAM-ZAM

SEPANJANG hari, sepanjang bulan, bahkan sepanjang tahun, desa yang terletak di kaki bukit itu selalu sepi dan senyap. Yang terdengar hanya kokok ayam jantan bersahut-sahutan, kicau burung di ranting pohon, lenguh sapi betina yang memanggil jantannya, kepak sayap kelelawar serta nyanyian jengkrik, derai angin yang membelai daun-daun pepohonan atau gemercik air sungai. Kadang-kadang terdengar suara perempuan di tengah sawah yang sedang menguning untuk mengusir burung. Sesekali terdengar nyanyian pemanjat pohon aren yang berlirik mantera-mantera agar tandan pohon enau itu banyak mengucurkan nira untuk bahan baku gula bargot.

Tapi pagi hari itu suasana desa itu tidak lagi sepi karena terdengar sorak sorai dan tepuk tangan yang amat meriah ketika seorang gadis cilik berusia delapan tahun, Lolom Maimunah, tampil di atas pentas sebuah rumah sekolah yang sudah amat tua, bocor dimana-mana, dindingnya lapuk, lantai semen pun sudah terkelupas dan bangku-bangku yang sudah reot. Lolom Maimunah yang masih duduk di kelas dua itu tampil dengan pakaian seragam sekolah yang warnanya sudah pudar, sepatunya robek serta dasinya sudah berubah warna dan di kakinya terlihat bekas-bekas kudis. Penyakit kulit, diare dan batuk adalah penyakit yang biasa diderita anak-anak pedesaan.

Gadis cilik itu tampil penuh semangat untuk membacakan sebuah sajak “Mandailing” yang ditulis Willem Iskander lebih seabad silam.

Getar-getar bibirnya, gerak tangannya dan nada suaranya benar-benar memukau ketika membacakan sajak itu.

O, Mandailing Godang,

Tano ingananku sorang,

Na niatir ni dolok na lampas,

Na nijoling ni dolok na martimbus

Ipulna na laing bubus!

Tor Sihite tingon julu;

Patontang dohot tor Barerang...

Sekali lagi terdengar tepuk tangan yang meriah ketika seorang bocah lelaki bertubuh dekil dan seragam sekolahnya juga sudah buram, Liat Matondang, maju ke depan dan memberi salam sambil membungkukkan tubuhnya yang hitam legam. Suaranya amat bersemangat ketika menyebut judul puisinya, “Ajar ni Amangna di Anakna na Kehe tu Sikola” . Suaranya terkadang lantang tetapi sesekali memelas amat menggugah hati:

Labo, ale amang, sinuan tunas!

Langka ma ho, amang, marguru tu sekola:

Ulang hum baen song luas-luas

Tai ringgas ho, amang, marsipoda.

Anggo panganon dohot abit,

Huparkancitkon manjalahisa

Inda au ninan makikit,

Di ho mangalehensa

I ma le nian, amang.

Por ni rohangku ho marbisuk,

Ampot sogot madokdok ma hulala pamatang

Anso ho doma hubaen usuk.

Bila seorang bocah lelaki berasal dari keluarga Jawa bernama Satrio dan sudah lama bermukim di bumi Mandailing Godang itu, naik pentas, puluhan orang yang menyaksikan lomba baca puisi itu senyum-senyum karena seorang bocah yang dilahirkan dari keluarga Jawa ternyata sudah amat fasih berbahasa Mandailing. Ayahnya adalah Pak Sastro, pegawai kantor camat yang dimutasikan dari kota. Penonton pun terkagum-kagum pada penampilannya membawakan puisi yang bermakna doa dan penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa agar hati dan sanubarinya diterangi untuk mendapatkan ilmu:

“O, na lobi denggan roha,

Na umbege na hupardokon on;

Mangido au di hita

Hita patorang pangorohai ni danak on.”

Siapa pula seseorang yang telah melatih puluhan kanak-kanak siswa es-de itu membawakan sajak-sajak Willem Iskander yang amat terkenal di bumi Mandailing Godang itu, kalau bukan Bu Nauli, guru perempuan yang sudah hampir l0 tahun bermukim di desa di kaki bukit itu dan tidak jauh dari desa itu mengalir sungai yang airnya jernih dan tenang?.

Bu Nauli adalah seorang guru yang amat sabar, penuh dedikasi, loyal pada dunia pendidikan dan tidak pernah menuntut gaji istimewa. Sejak masih duduk di sekolah guru dulu, Bu Nauli amat gemar dengan mata pelajaran bahasa dan sastra. Dia tahu benar, bahwa bangsa ini sudah mengenal sastra sejak seribu tahun silam. Sejak zaman Mataram-Hindu, dalam abad l0 orang sudah mengenal kakawin Ramayana dan prosa Mahabrata.

Bahkan ketika masih duduk di bangku sekolah guru dulu, Bu Nauli sudah mengenal nama Merari Siregar sebagai penulis novel pertama di negeri ini. Tentu saja Bu Nauli amat mengenal nama itu karena memang pengarang itu dilahirkan di desa tetangganya, di Sipirok yang alamnya amat molek.

Bila ada majalah atau koran bekas pembungkus meski pun sudah amat usang dan sobek, tapi memuat tulisan tentang sastra, pasti menjadi kliping baginya. Tanyalah dimana Hamzah Fansuri, tokoh pertama penyair di negeri ini dilahirkan, pasti Bu Nauli dengan tepat menjawab, bahwa penyair yang sudah berlayar lebih dari 7.000 kilometer itu lahir di Barus dan amat banyak menulis puisi serta buku-buku tasauf.

Apa lagi penyair kelahiran Muara Sipongi bernama Muhammad Kasim, nama itu pasti amat lekat di kepalanya sekali gus karyanya “Bertengkar Berbisik” dan satu lagi “Teman Duduk”.

Sepanjang hari suasana gegap gempita terdengar di gedung sekolah yang sudah reot itu karena puluhan kanak-kanak amat antusias ikut lomba membaca puisi.

Tidak hanya Lolom Maimunah dan Liat Matondang yang penampilannya amat bagus membacakan sajak-sajak Willem Iskander. Masih banyak lagi bocah-bocah cilik siswa es-de yang terletak di sebuah desa di kaki gunung itu yang mahir tampil di pentas membawakan sajak-sajak penyair terkenal yang di Mandailing Godang dikenal dengan nama Sati Nasution gelar Sutan Iskander. Pada tahun l800 penyair itu sudah melalang buana hingga ke negeri Belanda hingga lahirlah falsafah yang amat bernas, terutama tentang anjurannya agar setiap warga Mandailing berkemauan keras menuntut ilmu.

Lihatlah mimik dan gaya Si Ronggur yang masih duduk di kelas dua, juga si Lokot, Tigor, Pintor, Ojak, Anggiat dan banyak lagi. Bahkan lebih mengharukan lagi ketika Oloan yang merupakan anak yatim piatu itu menitikkan air mata saat mendeklamasikan puisinya.

Seorang bocah yang dilahirkan dari keluarga pemusik tradisional, Domu Pulungan, amat menjiwai puisi yang dibacanya. Ayahandanya amat mahir memainkan berbagai alat musik tradisional seperti talempong, gong inang, seruling, ogung boru-boru dan gendang bermuka dua. Tiap ada acara pergelaran tor-tor, pasti ayahanda bocah itu yang melantunkan onang-onang.

Bu Nauli benar-benar ingin menanamkan falsafah kepada setiap muridnya, filsafah hidup yang berbunyi “Hita sorahkan ma tu Tuhanta Na Gumarga Langit, Na Tumompa Tano” yang maknanya, semua pekerjaan diserahkan kepada Tuhan.

Sejak masih kecil, setiap anak yang dilahirkan dan bermukim di Mandailing Godang sudah terbiasa dengan pola hidup yang dilandasi rasa malu yang disebut “parsulaha”, sehingga dalam berbuat akan selalu bersikap hati-hati. Namun setiap warga Mandailing pasti memiliki sifat berani dalam menegakkan kebenaran yang ditandai dengan falsafah “Laklak dipajar-pijor, singgalak marpora-pora. Muda jongjong di na tagor, batu mamak di indora”.

***

P

UKUL empat sore, ketika terdengar azan tandanya waktu sholat Ashar sudah tiba, barulah kanak-kanak itu bubar. Bu Nauli, guru yang amat sabar itu juga melangkah pulang ke rumahnya yang terletak di pinggiran kampung dan rumahnya diteduhi berbagai jenis pepohonan. Desa di kaki bukit itu kembali sepi. Kembali senyap bagaikan bujing remaja yang sedang tidur lelap. Tidak satu pun kenderaan bermotor yang lewat.

Malam pun semakin sepi dan dingin. Yang terdengar hanya suara jengkrik dan kepak kelelawar serta desau angin malam yang bertiup dari arah gunung . Semua warga desa itu, lelaki dan perempuan, kanak-kanak dan ompung-ompung semua tidur lelap. Semua berselimut tebal karena udara dingin yang menyusup hingga ke sum-sum tulang. Bu Nauli juga tidur lelap karena udara dingin dan juga karena kelelahan setelah sepanjang hari menjadi juri lomba baca puisi di sekolahnya.

Bila dia terbangun bukan karena mimpi buruk, bukan karena kepak sayap kelelawar di samping rumah, bukan karena suara desau angin yang berhembus lebih kencang dari biasanya. Bu Nauli terbangun karena sentuhan dan belaian tangan Bang Lindung, suaminya. Dia terbangun karena kecupan suaminya di kening dan pipinya.

“Nauli!,” terdengar bisik suaminya di telinganya.

“Hmmm,” Bu Nauli hanya bergumam dan menggeliat tapi matanya masih terpejam karena kantuknya.

“Nauli!,” sekali lagi terdengar bisik suaminya dan sekali lagi lelaki itu mengecup keningnya. Bu Nauli hanya menggeliat dan menarik selimut. Malam semakin dingin, apalagi embun sudah turun ke bumi, hinggap di ranting pohon dan melekat di rumpun padi.

“Bangunlah, sayang!”

Lelaki di sisi Nauli adalah seorang pria bertubuh tegar, kulitnya hitam legam karena dibakar panas matahari sepanjang hari, tapi terhadap isteri dia selalu bersikap lembut. Dengarlah, betapa lembut di tengah malam yang sepi itu memanggil isterinya dengan sapaan “sayang”.

Lelaki itu ingat panggilan Rasululullah kepada isterinya dengan kata-kata “Wahai pipi yang kemerahan.”

“Aku lelah, Bang Lindung,” sahut Bu Nauli lirih dan malas.

“Bangunlah, Nauli!”

“Aku ngantuk!”

“Bangunlah!,” Bang Lindung tidak hanya berbisik di telinganya, tidak hanya mengecup kening, tapi juga membelai tubuhnya.

“Besok pagi saja!,” sahut Bu Nauli lagi menolak dengan halus dan sepasang matanya masih tetap terpejam. Dia benar-benar mengantuk. Dan Lelah. Dia benar-benar enggan dibangunkan suaminya, apalagi udara amat dingin. Ada perasaan malas ketika suaminya menghendaki hubungan intiem. Nauli miring ke kiri, membelakangi suaminya yang tetap saja menggodanya.

“Kenapa harus besok pagi, sayang?.”

“Aku lelah dan ngantuk.”

“Aku tidak dapat tidur!”

“Minumlah air putih, bacalah ayat-ayat Qur'an!,” kata-kata itu pun diucapkan Bu Nauli dengan mata terpejam.

“Aku benar-benar tidak dapat tidur malam ini,” terdengar lagi suara Lindung di sisinya diiringi usapan tangannya. Tangannya terus membelai tubuh Bu Nauli.

Begitulah seorang suami, bila hasratnya sebagai lelaki sudah membara dalam dadanya pasti tidak dapat tidur, pasti menggoda isterinya yang sedang tidur lelap. Begitulah seorang suami kalau sudah berkehendak melakukan hubungan intiem bersama isteri, rayuannya mendayu-dayu, seperti pucuk daun-daun kelapa yang meliuk-liuk dipermainkan angin petang.

“Bukalah matamu, Nauli. Aku tidak dapat tidur malam ini,” bisikan itu terdengar lagi, tapi Bu Nauli tetap saja hanyut dalam kantuknya.

Bagi seorang isteri, terutama pada saat malam dingin dan kelelahan, pastilah yang paling nikmat adalah tidur pulas dan lelap, apalagi dibuai mimpi indah. Tapi suaminya tetap saja berusaha membangunkan. Lelaki itu tidak hanya mengecup keningnya, tapi juga sepasang bibirnya. Dalam keadaan tidur, tanpa lipstik pun sang isteri selalu tampak cantik.

“Ingat, Nauli. Kita ingin punya anak, bukan?,” terdengar lagi bisikan Bang Lindung di telinganya. Kata-kata tentang anak, membuat Nauli perlahan sekali membuka mata.

“Sudah bertahun-tahun kita menginginkan anak, Nauli. Siapa tahu, malam ini Tuhan memberi kita rahmat itu!.”

Nauli menggeliat lagi dan kantuknya masih tetap melekat di matanya yang terus terpejam.

“Kau lupa anjuran dokter Gunawan?,” terdengar lagi bisikan suaminya di telinga kirinya. ”Dokter itu menganjurkan agar kita bergaul intiem tepat pada saat kau sedang dalam masa subur agar dapat hamil. Ingatkah itu, Nauli?”

Sepasang mata Nauli akhirnya terbuka lebar. Nauli jadi ingat sudah lima kali tidak hadir di depan kelas karena harus berangkat ke kota kemudian menginap di rumah inang udanya untuk bertemu dengan dokter ginekolog. Dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan itulah yang berkali-kali menganjurkan agar sebaiknya bergaul intiem tepat pada masa subur, atau sepuluh hari setelah haid.

Dokter itu juga yang menganjurkan agar tetap berbaring dengan tenang bila hubungan intiem itu sudah berakhir, biar sperma dari suami menyatu dengan ovum dalam rahimnya, biar menjadi janin. Betapa pasangan suami isteri itu amat merindukan anak hingga harus menempuh jarak ratusan kilo meter untuk berkonsultasi dengan dokter ahli kebidanan.

Itulah kata-kata yang membuat Bu Nauli selalu menyerah pada Bang Lindung, padahal dia amat ngantuk dan lelah. Kata-kata tentang anak, menyebabkan Bu Nauli harus melayani suaminya meskipun malam amat dingin. Suaminya menghendaki kemesraan di malam yang dingin dan sepi . Bang Lindung menghendaki saat-saat hangat bersamanya di malam yang senyap dan angin pun berhembus giris.

Bang Lindung menginginkan saat-saat yang amat indah dan manis bersama isterinya di tengah malam ketika semua tetangga sudah tidur lelap dibuai mimpi indah.

Meski pun sudah membuka mata lebar-lebar, tapi Bu Nauli berkali-kali menguap karena kantuknya yang amat berat. Sesekali dia menggeliatkan tubuhnya yang terbungkus selimut. Bu Nauli tidak mampu menepiskan tangan suaminya bila Bang Lindung sudah bicara tentang anak. Siang atau malam dan kapan saja, bila Bang Lindung sudah berkata-kata tentang anak, Bu Nauli harus pasrah. Sebab Bu Nauli memang sudah amat lama menghendaki anugerah dari Allah, yakni adanya seorang bayi yang dikandungnya.

Sudah lebih delapan tahun, perkawinannya dengan Bang Lindung, tetap saja belum ada tanda-tanda kehamilannya. Bu Nauli memang amat merindukan seorang bayi. Bu Nauli memang sangat menginginkan momongan. Dia sudah lama merindukan keturunan. Bang Lindung juga begitu. Kerinduan untuk punya anak sudah amat menyenak dalam rongga hati pasangan suami isteri itu sehingga mereka menempuh cara apa pun.

Di malam yang sepi dan dingin itu, ketika angin berhembus giris, ketika kelelawar menggelepar, ketika jengkrik bernyanyi, ketika suara kodok pun bersahut-sahutan, Bu Nauli membiarkan Bang Lindung menarikkan selimutnya, juga melepas kancing-kancing dasternya. Sebagai seorang isteri, Bu Nauli tidak mampu menolak ketika Bang Lindung memeluk tubuhnya amat erat, apa lagi ketika Bang Lindung tetap saja berkata tentang kerinduannya terhadap seorang bayi.

“Bang Lindung...” bisik Bu Nauli.

“Hmmm”

“Jangan terburu-buru!”

“Kenapa?”

“Ada sesuatu yang terlupakan oleh Bang Lindung.”

“Tentang apa?”

Lelaki itu seperti tidak sabar untuk segera menikmati saat-saat paling hangat dan indah bersama isterinya di malam yang sepi dan dingin, ketika semua warga desa itu sedang tidur lelap dan mimpi indah.

“Apa kewajiban seorang suami kalau akan menggauli isterinya?”

“Nafkah?. Bukankah kita bersama-sama mencari nafkah?. Aku mencari uang dan kau menjadi guru.”

“Bukan!. Bukan nafkah!.”

“Lalu apa lagi?”, Bang Lindung benar-benar tidak sabar untuk segera menikmati suasana hangat bersama isterinya tercinta.

“Bacalah doa!. Dengan doa itu mudah-mudahan Tuhan mengabulkan doa kita. Mudah-mudahan apa yang kita lakukan akan membuahkan benih-benih yang subur dalam rahimku.”

Lelaki bertubuh hitam legam itu tersenyum. Bang Lindung memang selalu tergesa-gesa kalau darah lelaki dalam dirinya sudah bergelora seperti gemuruh ombak laut. Sudah amat sering dia memberi nafkah batin kepada isterinya, tapi dilakukannya teramat terburu-buru karena darah lelaki dalam dirinya sudah amat berkobar, sehingga lupa membaca doa bersenggama.

“Bacalah doa, agar kelak anak yang diberikan Tuhan adalah anak yang baik, sehat dan soleh!”

“Hmmm”

“Aku akan menghindar andainya Bang Lindung lupa lagi membaca doa. Aku akan tidur di luar!,” Nauli mengancam.

Sekali lagi Bang Lindung tersenyum di sisi isterinya.

“Ayo baca!”

Perlahan-lahan sepasang bibir lelaki itu berkomat-kami dan Bu Nauli ikut membaca doa itu:

“Bismillahi, Allahumma jannibnaasy syithaana wa jannibisy syithaana ma razaqtanaa.”

Di malam yang dingin itu, pasangan suami isteri itu benar-benar menikmati saat-saat paling hangat. Bila hubungan intiem itu berakhir, Nauli tetap saja berbaring dan membiarkan Bang Lindung mendekapnya amat erat.

“Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan doa kita,” terdengar suara Bang Lindung perlahan.

“Siang dan malam kita selalu berdoa, mudah-mudahan didengar Tuhan dan mengabulkannya.”

“Rumah ini terasa sepi dan dingin tanpa tangis bayi,”

“Mudah-mudahan tangis itu akan segera terdengar di sini,” Nauli tersenyum. Dia tetap saja berbaring menatap langit-langit agar sperma dari suaminya benar-benar menyatu dalam rahimnya.

“Sudah dengar kabar tentang inang uda yang sedang mengandung tua?”

“Kabarnya inang uda melahirkan bayi kembar”

“Kembar?”

“Ya, sepasang”

“Alangkah bahagianya inang uda menimang dua anak sekali gus. Tuhan melimpahkan rahmat kepada keluarga itu. Andainya Tuhan memberi rahmat hanya satu anak dan satu lagi anaknya dihadirkan dalam rahimku, pasti kita adalah keluarga yang paling berbahagia.”

“Mudah-mudahan kita juga akan mendapatkan anugerah itu.”

“Amien!”

Esok pagi, ketika Bu Nauli membuka pintu depan burung-burung pipit yang bermain di ranting pohon seperti mengucapkan salam dan seakan melempar senyum untuknya setelah melihat rambutnya basah karena keramas setelah bergaul intiem bersama suami di malam yang dingin dan sepi. Tiap perempuan setelah bergaul intiem dengan suami memang harus menyegerakan mandi hadas.

Namun Tuhan belum juga memberikan rahmat dan anugerah kepada pasangan itu. Perut Bu Nauli tetap biasa-biasa saja, belum juga ada tanda-tanda kehamilannya. Entah kapan perutnya akan membesar seperti nangka masak. Entah kapan perutnya akan berubah seperti karung beras. Pada hal Bu Nauli sudah amat merindukan kehadiran seorang bayi dalam hidupnya. Dia sudah amat ingin menimang bayi. Dia sudah amat ingin memberikan asi kepada bayi yang lahir dari rahimnya sendiri. Padahal perkawinannya sudah berlangsung

lebih delapan tahun. Berbagai usaha dan cara sudah ditempuh pasangan suami isteri itu.

***

R

AMBUTNYA yang basah masih terlihat ketika Nauli tiba di gedung sekolahnya. Gedung es-de itu terletak di kaki gunung dan tidak jauh dari sebuah sungai yang hulunya terletak di gunung. Banyak murid lelaki pada jam istirahat bermain di sungai yang airnya jernih dan derai airnya amat tenang. Kalau ada murid lelaki yang terlambat masuk kelas setelah jam istirahat berakhir, pasti masih bermain di sungai yang airnya mengalir ke arah pantai barat itu.

Gedung sekolah itu sudah amat tua. Dindingnya yang terbuat dari papan sudah amat lapuk dan atapnya bocor di sana-sini. Kalau hujan turun air selalu menggenangi lantai kelas sehingga murid-murid belajar seperti dalam kubangan kerbau.

Di negeri tercinta ini gedung sekolah yang rusak jumlahnya mencapai ratusan dan mungkin lebih banyak lagi, terutama gedung es-de yang terletak di desa-desa terpencil jauh dari kota. Bahkan gedung sekolah yang ambruk saat proses belajar dan mengajar sedang berlangsung sudah sering terjadi sehingga banyak murid yang terluka akibat tertimpah runtuhan gedung sekolah yang memang sudah tua, reot dan lapuk. Tapi pemerintah tetap saja menutup mata dan telinga. Bahkan dari tahun ke tahun persentase anggaran untuk pendidikan semakin dikurangi. Kasihan anak-anak desa itu. Mereka tetap saja terpinggirkan dan tetap saja menjadi anak yang bodoh. Entah kapan pemerintah menyusun program mencerdaskan anak bangsa yang benar-benar tepat sasaran. Entah kapan bocah-bocah anak bangsa ini diperhatikan pendidikannya dengan amat serius. Entah siapa tokoh yang benar-benar mampu mencerdaskan anak bangsa ini. Entah siapa orangnya dari kalangan elite politik yang mampu menghapus kebodohan di negeri ini. Kebodohan pasti akan menyebabkan kemiskinan. Entah kapan KKN di Departemen yang membawahi pendidikan itu benar-benar dapat disapu bersih.

Puluhan murid-murid dari pelosok desa di hulu sungai itu sudah lebih awal tiba dan semua menyambut Bu Bu Nauli dengan salam.

“Assalamu alaikum, Bu Nauli!, salam itu terdengar bersamaan.

“Selamat pagi, Bu Guru!.”

Tidak hanya salam, tapi belasan murid-murid itu saling berebut untuk mencium tangan Bu Nauli.

Bu Nauli menyambut salam itu atau melontar senyum buat bocah-bocah yang umumnya dibawah usia sepuluh tahun. Belasan murid itu melihat jilbab yang menutupi rambut Bu Nauli basah padahal pagi itu hujan tidak turun. Tidak ada prasangka apa-apa di hati mereka. Sebab bocah-bocah itu belum tahu apa artinya rambut perempuan yang basah di pagi hari. Murid-murid es-de yang amat polos itu belum mengerti apa makna mandi keramas. Mereka belum tahu apa itu mandi hadas.

Beda dengan para guru yang datang lebih dulu di sekolah itu.

Bu Dumaria Nainggolan yang menganut agama Nasrani dan berasal dari Si Borong-Borong itu juga tahu apa artinya keramas pagi hari, pasti karena malamnya ada hubungan erat yang amat intiem.

“Rambut basah ni yee?,” gurau Bu Dumaria Nainggolan.

“Mesra tadi malam, ya?,” sindir Rohani yang sudah dianugerahi tiga anak.

“Tidak hanya mesra, tapi juga hangat!,” sambut guru yang lain dan tersenyum.

“Sering-seringlah keramas pagi, biar cepat mendapat anugerah dari Tuhan,” sambung Bu Dumaria.

“Sering-seringlah bersama suami, biar punya anak setengah lusin seperti Bu Sita!” sahut Pak Bonar, guru olahraga.

Sesama guru selalu bersenda guru sebelum masuk kelas menghadapi murid-muridnya, atau ketika istirahat. Bahkan Bu Aisyah yang sudah hampir lima tahun tidak pernah menikmati kemesraan bersama suaminya, ikut bersenda-gurau. Kasihan, suaminya meninggal karena direnggut penyakit paru-paru. Itulah penyakit, tidak hanya menyerang warga kota yang selalu dekat dengan dokter dan rumah sakit, tapi juga diderita oleh warga pedesaan yang pola hidupnya masih tradisional dan amat sederhana.

Bu Zainab yang belum pernah menikmati kemesraan bersama suami juga ikut-ikut bicara tentang mandi keramas, padahal usianya sudah tiga puluh dua tapi jodohnya masih jauh.

Bu Nauli hanya tersipu malu mendengar senda guru menyambut kehadirannya. Semua guru di sekolah itu ikut mendoakan agar Bu Nauli segera mendapatkan anak dari perkawinannya dengan Lindung yang berasal dari desa seberang di kaki bukit itu. Tapi doa sekian banyak para guru di sekolah itu belum juga dikabulkan Tuhan. Nauli tetap saja bertubuh langsing. Padahal dia sudah amat ingin perutnya membesar seperti nangka masak, seperti para isteri lainnya yang benar-benar sehat dan normal. Perempuan sesungguhnya harus mampu mempersembahkan seorang anak bagi suaminya, terutama di kalangan warga Mandailing.

****

K

ERINDUAN terhadap seorang bayi yang lahir dari rahimnya, itulah yang terkadang membuat Bu Nauli selalu termenung. Dia ingin kelak kalau mempunyai anak juga seperti si Lolom atau seperti Ronggur yang pintar membawakan puisi berjudul “Ajar ni Amangna di Anakna na Kehe tu Sikola”.

Itulah sebabnya ketika di depan kelas, ketika tiga puluh enam murid-muridnya sedang mengerjakan soalan mate-matika, Bu Nauli selalu termenung. Selalu terbayang di pelupuk matanya betapa indahnya menimang bayi, memberinya asi, menidurkannya diiringi dendang “bue-bue” atau meninabobokkan serta mengajaknya bermain-main setelah berusia dua atau tiga tahun.

“Apa lagi yang direnungkan, Bu Nauli?,” lamunan Bu Nauli tersentak oleh kehadiran Pak Kumala Pandapotan, kepala sekolah yang berasal dari Barumun namun sudah lama bermukim di kawasan itu dan tidak mau disebut sebagai pendatang. Pak Kumala Pandapotan sudah beranak pinak di desa di kaki bukit itu dan sudah memiliki anak boru bona bulu.

“Bu Nauli juga kepingin pindah ke kota seperti Bu Aminah yang menemukan jodoh pegawai Pertamina dan hidup senang?,” terdengar lagi suara Pak Kumala dan menghampiri.

“Demi Tuhan, saya tidak pernah punya keinginan seperti itu. Saya mencintai desa ini. Saya mencintai anak-anak desa ini. Saya ingin hidup dan mati di sini!,” sahut Bu Nauli sejujurnya. “Saya ingin semua anak-anak desa ini cerdas.”

“Lalu apa yang ibu renungkan?. Naik gaji lagi?. Mudah-mudahan pemerintah tetap memikirkan nasib guru, terutama yang tinggal di desa terpencil.”

“Tidak!”

“Kalau begitu, pasti Bu Nauli memikirkan tentang anak lagi!. Kapan lagi Tuhan memberi anugerah anak, begitukah?”

“Ya!. Tiap perempuan pasti ingin menjadi ibu sejati yang melahirkan dan memberi asi kepada anaknya.”

“Jangan sedih kalau Tuhan belum memberi rahmat. Ingatlah selalu pola pikir orang Mandailing, Sabara sabustak, salumpat saindege. Songon tampulon aek, sirangon lai-lai.”

Kata-kata itu hanya membuat Bu Bu Nauli menudukkan wajah. Dia tahu benar makna kata-kata, bahwa dalam masyarakat Mandailing setiap anggota masyarakat merasa senasib sepenanggungan. Bila seorang warga dalam kesulitan, seluruh warga ikut bersama-sama merasakannya dan berusaha untuk membantu.

“Kalau memang Bu Nauli sudah cukup berusaha namun belum juga berhasil, cobalah mencari anak angkat. Sudah dengar bagaimana keadaan Bu Taing?. Dua anaknya masih kecil-kecil dan sekarang sudah hamil lagi. Sebentar lagi akan lahir anak ketiga sementara anaknya yang kedua belum dapat berjalan. Apa salahnya mengambil anak dari teman yang kita ketahui prilaku orang tuanya?. Bukankah suami Bu Taing adalah imam masjid di kampung kita?. Anaknya pasti adalah anak yang soleh nanti.”

“Saya sedang memikirkannya!.”

“Teruslah berusaha, mudah-mudahan Tuhan membuka jalan yang terbaik.”

Kepala sekolah yang rambutnya sudah putih semua itu berlalu. Kepala sekolah yang sudah hampir pensiun itulah yang selalu mengatakan agar setiap manusia hidup harus memiliki prinsip “Mata guru, roha siseon” yang bermakna alam yang kita huni harus menjadi guru. Apa yang ada di depan kita harus direnungkan dalam-dalam, jika baik harus menjadi pedoman, tapi bila ternyata buruk harus dilempar jauh-jauh ke tengah hutan atau ke tengah laut yang paling dalam.

Siapa pula yang selalu mengatakan falsafah yang berbunyi “Inda tola marandang sere, angkon marandang jolma do” kalau bukan Pak Guru paling senior bermarga Parinduri itu?. Makna falsafah itu adalah manusia tidak boleh diperbudak materi, jangan hanya memandang kekayaan seseorang, tapi lebih baik memandang sifat kebajikannya.

“Cobalah usaha lain, Bu Nauli!,” Bu Guru Aisyah yang sudah hampir lima tahun berstatus janda itu menghampiri ketika jam istirahat Nauli tetap di kelasnya, padahal semua guru-guru ngobrol di kantor sekolah itu.

“Saya sudah lima kali tidak masuk kelas karena harus berobat ke dokter ahli dan terpaksa menginap di rumah inang uda dan Pak Humala yang menggantikan saya. Saya merasa berhutang budi karena kebaikannya, namun Tuhan belum juga mengabulkan keinginan saya,” sahut Nauli.

“Usaha lain juga boleh, Bu Nauli,” sahabatnya sesama guru berkata lagi.

“Dengan cara alternatif, begitukah?,” Nauli menatap wajah sahabatnya.

“Ya!. Tidak ada salahnya sesekali kita mendatangi orang pintar, tapi kita harus yakin dan percaya.”

“Wah, saya sudah berjalan hingga ke ujung langit untuk meminta bantuan orang pintar. Hasilnya tetap saja nihil!”

“Terus terang, saya juga pernah mengalami seperti Bu Nauli. Lima tahun saya menikah belum juga menerima anugerah keturunan, tapi saya tidak ke dokter. Saya bersama almarhum suami mendapat pentunjuk dari seseorang yang juga mengalami hal dan kesulitan yang sama untuk berobat kepada orang pintar yang bermukim di Penyabungan Julu. Tanyalah dukun yang bernama Enda Soangkopan, setiap orang pasti akan mengenalnya. Pergilah ke sana, mudah-mudahan berhasil.”

Sesaat Nauli termenung. Sudah lima kali ke dokter ahli, lalu berobat kepada orang pintar sudah lebih dari itu, namun hasilnya tetap saja perutnya langsing.

“Cobalah sekali lagi. Saudara-saudara saya yang mandul juga ada yang pergi ke sana dan berhasil. Bu Nauli mudah-mudahan juga akan begitu!”

“Saya akan mencoba.”

“Saya ikut mendoakan. Semua guru di sini juga akan ikut bahagia kalau Bu Nauli berhasil!”

Begitulah kalau sudah amat merindukan hadirnya seorang anak dalam keluarga yang sudah terjalin selama lebih dari delapan tahun. Kemana pun, meski pun jaraknya lebih dari seratus lima puluh kilometer untuk mencari seorang dukun di Penyabungan Julu, Nauli dan Bang Lindung seperti tidak pernah mengenal lelah.

Nauli memang sudah sering mendengar nama itu, Enda Soangkupon, seorang paranormal yang sudah amat terkenal hingga ke Muara Soma, Padang Lawas, Angkola , Sipirok dan Pesisir.

Salah seorang saudara dari iBu Nauli yang selalu disapa dengan inang bujing juga pernah menyebut nama itu. Bahkan salah seorang saudara sepupunya juga pernah mengunjungi Panyabungan Julu dan hasilnya memang terbukti. Setelah lebih dari sepuluh orang menyebut nama itu, barulah hatinya tergugah untuk mengunjungi orang pintar itu.

“Pergilah ke sana. Mudah-mudahan tidak sia-sia. Orang pintar itu memang tangannya selalu dingin!,” itulah imbauan inang bujing yang menggugah hati Nauli.

“Saya mohon doa!,” pinta Nauli penuh harapan.

“Tentu kami semua mendoakanmu. Lagi pula saudara suamimu ada di desa itu. Bukankah ompung suhut suamimu memang menetap di sana. Tidak ada salahnya mampir di rumah ompung suhut beberapa jam dan dia pasti tahu keampuhan orang pintar itu!”

***

T

IDAK terlalu sulit untuk mengajak Bang Lindung mendatangi orang pintar itu, karena memang sang suami juga sudah amat ingin menimang seorang anak. Apa lagi Bang Lindung adalah seorang warga desa yang amat percaya pada hal-hal gaib, percaya pada mistik dan magik.

Bang Lindung juga membawa oleh-oleh untuk keluarga dekat yang biasa disapa dengan panggilan ompung suhut. Tidak kurang satu karung beras dan ketan terlihat di bak belakang mobil terbuka milik lelaki itu.

Angin pagi mempermainkan ujung jilbab yang menutupi kepala Nauli ketika mobil tua itu meluncur cepat di jalan yang tidak beraspal meninggalkan desa di kaki bukit itu. Sudah dua tahun, lelaki berkulit hitam legam itu tidak lagi mengolah sawah dan menggiring sapi-sapi miliknya ke perladangan.

Lima ekor sapi yang beratnya lebih dari seratus lima puluh kilogram itu sudah dijual dan hasil penjualannya dibelikan sebuah pick up bak terbuka. Sejak Bang Lindung pernah jatuh sakit selama hampir tiga bulan, dia tidak ingin lagi memacul sawah. Dia tidak ingin lagi menggembalakan sapi-sapinya. Lelaki itu takut jatuh sakit lagi dan mati. Sekarang sisa empat ekor sapinya dipelihara orang lain dengan sistem bagi hasil.

Sawah seluas tiga hektar itu tidak dijual, tapi dikerjakan orang lain, lalu setelah panen hasilnya dibagi dua. Petani yang tidak memiliki tanah juga banyak di desa-desa di tanah air ini. Petani yang amat melarat dan rumahnya hampir tumbang juga banyak di negeri ini. Masih lumayan Bang Lindung ketika ayahnya meninggal mewariskan sawah 3 hektar dan sepasang sapi yang sudah berkembang biak.

Dua ekor sapi peninggalan almarhum ayahnya berkembang hingga menjadi sembilan ekor dan semuanya gemuk-gemuk. Tapi sebagian sapi itu akhirnya dijual lalu dibelikan sebuah pick tua tapi mesinnya bandel dan awet. Mobil tua itu tidak pernah rewel. Tiap panen pasti mobil tua itu paling sibuk mengangkut padi dari perladangan ke lumbung. Tiap hari mobil tua itu selalu membawa hasil ladang seperti sayur mayur dan buah-buahan ke kota.

Apa lagi pada musim haji, pasti mobil tua itu paling sering mengangkut tiga atau empat ekor sapi untuk qurban orang-orang kaya di kota. Sudah amat sering Bang Lindung mengantar sapi seberat dua ratus kilo ke kota untuk keperluan pesta perkawinan keluarga yang mampu. Mengantar kerbau untuk upacara kematian bagi keluarga Batak Toba juga sudah amat sering. Hasilnya memang lumayan. Lelaki itu tidak perlu lagi mengolah sawah. Lelaki itu tidak perlu lagi menggembalakan sapi-sapinya. Tiap hari Bang Lindung hanya duduk di belakang stir mobil tua miliknya.

Asap rokok mengepul dari mulut dan hidungnya ketika pagi itu Bang Lindung harus mengantar isterinya ke Penyabungan Julu. Lelaki itu tampak santai. Hanya sesekali mobil itu berpapasan dengan kenderaan lain. Desa di hulu sungai itu memang sepi dan jarang dilalui kenderaan umum.

Lelaki itu memang seorang perokok berat. Asap yang mengepul dari mulut dan hidungnya seperti kereta api. Padahal rokok itulah yang menyebabkan dia pernah menderita sakit dan terbaring selama hampir 3 bulan. Lelaki itu tidak perduli kata orang pintar, bahwa rokok dapat menyebabkan penyakit kanker, gangguan jantung dan kemandulan.

Sudah amat sering Nauli memperingatkan agar Bang Lindung berhenti menghisap rokok, tapi rokok itu sudah amat akrab dengan lelaki itu. Seolah batang-batang rokok itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Seakan Bang Lindung tidak dapat berpisah dengan tembakau. Nafasnya seakan terhenti kalau hidungnya tidak berasap lagi atau lemah lunglai. Tenaga lelaki itu seakan ada pada gulungan kertas berisi tembakau yang namanya rokok.

Lelaki itu tidak takut paru-parunya akan terbakar dan tidak takut jantungnya akan hangus. Siang dan malam, dimana pun lelaki itu menginjakkan kakinya, asap tetap mengepul dari hidungnya.

“Bang Lindung!,” terdengar suara Nauli ketika mobil itu sudah meluncur di jalan raya dan desa di kaki bukit itu sudah jauh tertinggal.

“Hmmm,” lelaki yang memegang stir mobil tua itu hanya bergumam dan bersiul lagi membawakan lagu “Situmorang”. Belum selesai lagu itu siulnya sudah beralih pada lagu sedih “Inang Pangitubu”.

“Aku memang merindukan hadirnya seorang anak di tengah-tengah kita, tapi ada lagi yang sangat aku rindukan,” terdengar lagi suara Nauli di antara deru mesin mobil tua itu.

“Merindukan apa?. Rindu bulan jatuh di pangkuan kita?” sahut lelaki itu tanpa menoleh.

“Bukan merindukan bulan!”

“Lalu apa?”

“Merindukan sesuatu!”

“Sesuatu apa?”

“Aku ingin melihat Bang Lindung duduk tenang dan tidak merokok!”

Kata-kata itu hanya membuat lelaki yang sedang mengenderai mobil tua menuju Panyabungan Julu itu tertawa keras.

“Kenapa Bang Lindung tiba-tiba tertawa?”

“Lebih baik tidak usah bicara tentang rokok!”

“Kenapa?”

“Tanpa rokok aku akan cepat mati, sayang!”

“Siapa bilang?. Adakah kekuatan magik dalam tembakau itu?”

“Di mana pun tempatnya yang namanya laki-laki harus berteman dengan rokok. Laki-laki akan jadi banci tanpa rokok.”

Nauli hanya menghela nafas panjang mendengar ucapan itu. Dia memandang ke depan. Dari arah depan muncul mobil penumpang jarak jauh dengan muatan penuh, hingga di atap bus itu juga diduduki penumpang.

Bang Lindung bersiul lagi dan kali ini membawakan lagu Alusia yang amat disenanginya. Kalau di rumah, Bang Lindung pasti selalu menyanyikan lagu itu. Bahkan ketika sedang buang hajat di belakang rumah, di atas kolam ikan, lelaki itu juga bersiul melantunkan lagu itu.

“Bang Lindung harus ingat pernah terbaring sakit selama hampir tiga bulan. Penyebabnya adalah rokok!”

“Siapa bilang?”

“Dokter Puskesmas!”

“Bohong besar!”

“Lalu apa penyebab Bang Lindung terbaring selama hampir tiga bulan?”

“Ompung Marlaut bilang ada orang yang dengki kepada kita. Karena aku seorang petani dan mendapatkan isteri seorang guru yang cantik. Malah Ompung Marlaut bilang, yang membuatku jatuh sakit adalah seorang laki-laki yang pernah jatuh hati padamu lalu ingin membuatku supaya cepat masuk liang kubur.”

Bang Lindung memang amat sering menyebut sang dukun yang bermukim di desa seberang. Kalau Bang Lindung sembuh dari penyakitnya dia yakin yang menyembuhkan bukanlah dokter Puskesmas, tapi Ompung Marlaut, sang dukun yang janggutnya panjang dan selalu mengenakan pakaian hitam.

“Yang menyembuhkan abang bukan dukun itu, tapi dokter Puskesmas!,” Nauli meyakinkan suaminya.

“Bukan, tapi Ompung Marlaut!”

“Bukan!. Bukan!”

“Terserah kepadamu, tapi aku tetap yakin, Ompung Marlaut memang orang pintar.”

“Ingat nasihat dokter, Bang Lindung. Rokok dapat menyebabkan penyakit paru-paru, juga dapat menyebabkan kanker dan kemandulan!”

“Akh, masak bodoh dengan ucapan dokter. Semua itu cuma mengada-ada!”

Mobil itu terus meluncur. Nauli hanya termenung. Bang Lindung di sisinya sekali lagi melanjutkan lagu Alusia dalam siulnya. Warga pedesaan memang selalu bersikap keras seperti itu, lebih percaya pada kekuatan gaib daripada percaya kepada dokter yang bertahun-tahun menimba ilmu di Fakultas Kedokteran. Bahkan ada yang sejak lahir sebagai keluarga muslim, tapi masih saja percaya pada hal-hal gaib seperti adanya peran begu atau mahluk halus di sekitar keberadaan manusia.

Masyarakat desa itu sudah memeluk agama Islam, tapi masih banyak yang percaya pada mahluk-mahluk seperti “sinangbela, mahluk halus yang tubuhnya mirip raksasa, rambutnya yang panjang terurai, giginya sebesar kampak, kukunya panjang dan kalau tertawa mirip gledek. Mahluk halus itu amat suka mengejek petir dari atas pohon sehingga petir marah dan menyambar.

Bahkan bocah-bocah cilik selalu yakin adanya mahluk bernama “Sigulambak” yang sangat suka kepada anak perempuan yang rambutnya panjang dan disisir rapi.

Akan halnya Nauli sama sekali tidak percaya pada mahluk-mahluk halus itu. Dia tetap yakin kesembuhan suaminya karena pengobatan yang rutin dan teratur di Puskesmas. Nauli pun masih ingat, bagaimana suaminya diupa-upa setelah sembuh dan tidak lagi terbaring.

Terbayang kembali di pelupuk mata Nauli ketika para kerabat melakukan upa-upa terhadap suaminya. Sebuah induri atau nyiru segi empat berisi kelengkapan upa-upa itu diputar-putarkan di atas kepala Bang Lindung kemudian terdengar gaung suara serentak:

“Mulak ma tondi tu badan. Ulang be tondi marepal-epal. Ulang be tondi merlaho-laho. Haros ma!.”

“Horaaaassss!.”

“Horaaaaaaas!,” sahut halayak yang hadir.

Sekarang Bang Lindung sudah sembuh dari penyakitnya, tapi dia tetap saja merasa yang menyembuhkan adalah Ompung Marlaut. Apa lagi setelah dilakukan pangupa-upa atas dirinya, seakan itulah yang membuatnya sehat dan tegar. Sekarang Bang Lindung sedang mengantar isterinya ke Panyabungan Julu untuk menemui orang tua yang pintar agar dapat membantu mereka mendapatkan keturunan. Memang dalam hati lelaki itu lebih percaya pada bantuan orang pintar, lebih percaya pada kekuatan gaib daripada bantuan dokter ahli yang saat ini dikenal dengan istilah ginekolog. Padahal perawatan kesehatan dan pengobatan serta sarana rumah sakit sudah amat canggih dan komplit.

Ketika memasuki perbatasan kawasan Panyabungan Julu, tiba-tiba saja Bang Lindung memijak rem mobilnya dan menepi. Terdengar derit ban di atas aspal. Nauli heran, menatap lelaki di sisinya dan puntung rokok sudah tidak terlihat di antara kedua bibirnya, sudah dilontar keluar.

“Kenapa berhenti?”, tanya Nauli.

“Seperti ada sesuatu!,” cetus Bang Lindung dan menatap ke sebuah rumah di tepi jalan raya. Lelaki itu menunjuk ke arah sebuah rumah tua dan di rumah itulah ompung suhut tinggal selama puluhan tahun hingga beranak cucu. Ompung suhut adalah kerabat kakek atau nenek menurut garis ayah.

“Seperti banyak tamu!”

“Ya!. Pasti ada sesuatu!”

Masih di atas kenderaannya yang berhenti di pingir jalan, sesaat Bang Lindung memikir-mikir.

“Apa pun yang terjadi, kita harus mampir ke rumah ompung suhut. Bukankah sudah lama kita tidak pernah berkunjung kemari?. Bukankah kita sudah lama tidak bertemu ompung?. Kita harus singgah meski pun sebentar, sekedar mengetahui keadaannya.”

“Ya, kita memang harus mampir. Setidak-tidaknya ada beras dan ketan untuk ompung!”

Mobil tua dengan bak terbuka yang biasanya untuk mengangkut ternak, hasil panen, sayur mayur atau buah-buahan itu kembali bergerak ke arah sebuah rumah yang sedang ramai dikunjungi tamu-tamu kerabat terdekat dan para tetangga.

Astaga, ompung suhut yang akan disinggahi oleh pasangan suami isteri yang merindukan seorang anak itu ternyata terbaring lemah dan sudah lebih sebulan tidak turun ke ladang. Lelaki tua berjanggut itu sedang dalam keadaan sakit berat.

“Ompung!,” sapa Bang Lindung memeluk ompung suhut yang terbaring lemah setelah mengucap salam.

Lelaki tua yang terbaring itu menatapnya dengan pandangan kuyu. Wajahnya lesu dan pucat.

“Ompung sebentar lagi akan pergi...,” ucap lelaki tua itu amat perlahan. Aku sudah tidak kuat lagi untuk hidup.”

“Kami mendoakan semoga ompung sembuh dan panjang umur,” Bang Lindung mencoba untuk menghibur lelaki tua tanpa daya itu.

“Aku sudah pasrah. Aku sudah rela andainya malaikat Azrail datang pagi atau sore....”

“Tapi kami masih tetap ingin ompung ada di tengah-tengah kami.”

“Tidak!. Aku sudah siap. Aku pun sudah memberi amanah untuk melaksanakan adat selengkapnya...”

Sesaat Bang Lindung dan Nauli serta semua tamu yang berkumpul di rumah itu tertegun mendengar suara sang kakek yang sudah sangat uzur. Sudah terbayang di pelupuk mata semua kerabat yang hadir suasana Mengadati Halak Namaninggal. Amanah itu harus dilaksanakan oleh kerabat yang ditinggal sebab seorang anggota keluarga yang menghadap Sang Khaliknya adalah seorang lelaki yang telah hidup sempurna dan terhormat dalam pandangan masyarakat. Sebab lelaki yang terbaring itu telah melalui terminal garis hidupnya yakni lahir, dewasa dan meninggal selalu disertai dengan acara adat. Nanti, setelah lelaki itu meninggal, para kerabat akan berdatangan dengan membawa beras untuk makan bersama hingga upacara penguburan dan adat-adat lainnya selesai. Suasana “padomu hudon” atau menyatukan periuk dan “padomu kobun” atau hasil kebun siapa pun boleh diambil untuk keperluan horja.

Sebagai keluarga Mandailing yang lahir dan hidup dengan pola hidup sukunya, Nauli dan Bang Lindung sudah amat sering menghadiri upacara Mangadati Halak Namaninggal.Mereka sudah biasa mendengar anak boru yang berkahanggi bertutur dengan nada suara amat mengharukan tentang kematian itu.

Sudah amat sering Nauli dan Lindung mendengar cerita amat sedih tentang hal kahangginya yang sudah menghadap Allah dan kesedihan atas keberangkatannya dilepas dengan adat. Pada acara itu juga diucapkan agar janganlah pihak Mora tertunggu-tunggu lagi atas ikan yang ditangguk atau didurung atau ikan yang dijala oleh orang yang meninggal.

Betapa kalimat-kalimat itu mengandung puitis yang amat indah dan enak didengar. Pantaslah banyak kerabat yang menitikkan air mata pada saat kata-kata dukacita itu diucapkan Anakboru yang berkahanggi kepada Moranya.

Meski pun kaum kerabat sedang menjenguk orang sakit, tapi banyak hadirin yang memberi perhatian khusus kepada Bu Nauli dan Bang Lindung.

“Kalian masih tetap saja datang berdua kemana-mana. Kapan lagi kalian datang bertiga dengan menggendong bayi?,” ucapan seorang inang naposo membuat wajah Bu Nauli dan suaminya terkesima.

“Karena itulah kami datang kemari. Untuk bertemu dengan Enda Soangkupon untuk meminta bantuannya agar kami segera mendapatkan anak,” ucap Nauli.

“Astaga!,” sang inang naposo berdecap-decap. “Kenapa kalian datang sangat terlambat?. Kenapa kalian tidak datang enam bulan yang lalu?”

“Kenapa terlambat?,” tatapan Bang Lindung amat tajam kepada inang naposo yang gemar memakan sirih.

“Orang pintar yang amat terkenal itu sudah meninggal lima bulan yang lalu. Kalian benar-benar sangat terlambat, padahal sudah amat banyak perempuan mandul dapat hamil dan melahirkan hingga dua anak karena tangannya yang dingin.”

Nauli hanya menghela nafas panjang. Ada kesedihan yang amat dalam di dasar hatinya.

“Inna Lillahi wa Inna Illaihi roji'un,” bibirnya bergetar lirih mengucapkan kata-kata itu.

“Andainya kalian datang enam atau tujuh bulan yang lalu kalian pasti dapat dibantu untuk mempunyai anak.”

“Apa boleh buat,memang nasib kami harus tetap berdua selama bertahun-tahun.” kata-kata itu seperti keluhan yang amat dalam dan panjang.

Pasangan suami isteri yang amat merindukan anak itu akhirnya pulang dengan hati teramat kecewa. Sepanjang perjalanan pulang MasiNauli hanya tidur di sisi suaminya.

Nauli terbangun ketika mobil tua itu sudah memasuki desa di kawasan hulu sungai di kaki bukit itu.

“Senin depan aku harus ke dokter lagi!,” cetusnya sebelum sampai ke rumah.

“Untuk apa?”

“Untuk apa lagi kalau tidak untuk memohon bantuan dokter ahli itu?”

“Tidak usah!. Berobat ke dokter itu sama saja dengan membuang uang ke sungai,” Bang Lindung mencegah.

“Kenapa membuang uang?. Bukankah dokter itu seorang ahli?”

“Sudah lima kali kita membuang uang,hasilnya tetap kosong!”

“Lalu apa yang harus kita lakukan?. Kita akan seperti ini terus?. Mendatangi dukun lagikah?. Dukun mana lagi yang akan kita datangi?.”

“Ya!. Tapi sekali ini di tempat yang lebih jauh!”

“Dimana?. Siapa dukun itu?”

“Di ujung langit. Pokoknya kita harus pergi ke sana, sampai kita benar-benar berhasil”.

“Siapa dukun itu?,” Nauli menatap wajah Bang Lindung.

“Di desa paling ujung Angkola!”

“Sejauh itu?”

“Ya!. Inang tua yang memberi tahu.”

“Apa katanya?”

“Dukun itu sudah terkenal kemana-mana dan pengobatannya paling ampuh. Tempat tinggalnya juga seperti terasing.Inang tua juga mengatakan, bahwa dukun itu tidak seagama dengan kita.”

“Penganut Kristiani maksudmu?”

“Entahlah! Sebab Datu itu tidak pernah tampak pergi ke gereja.”

“Atau Pelebegu mungkin?”

“Itulah yang tidak jelas,tapi katanya dia dapat memanggil begu, dapat memindahkan mahluk halus yang melekat pada diri seseorang. Kata orang banyak, dukun itu biasa dipanggil dengan Ompung Datu Pangulu karena memang berasal dari kawasan Pusuk Buhit di tengah Pulau Samosir, di tengah Danau Toba.”

“Maksud Bang Lindung apakah dalam diri kita ada begu?. Apakah ada mahluk halus yang melekat pada kita?,” tatapan Nauli kepada suaminya semakin dalam. Dia tahu, bahwa dalam pandangan nenek moyang begu adalah sejenis mahluk halus yang tidak terlihat oleh mata manusia. Ada begu yang baik, tapi juga ada begu jahat yang selalu mengganggu manusia.

“Siapa tahu memang begitu. Kalau memang ada mahluk halus melekat pada kita, pertolongan Datu itu akan mengusirnya.”

Sesaat Bu Nauli termenung. Dia tahu apa artinya Pusuk Buhit sebuah legenderis yang amat dikenal oleh setiap orang yang berdarah Batak. Pusuk Buhit adalah sebuah gunung yang tingginya l.500 meter dari permukaan laut dan orang yang berdarah Batak memang mempunyai konsepsi Debata Ompung Mulajadi na Bolon, bahwa orang Batak yang pertama sekali turun ke bumi adalah di Pusuk Bukit lalu berkembang dan lahirlah Raja-Raja Batak yang sangat perkasa seperti Raja Eng Domia disusul Guru Tatea Bulan atau lebih dikenal dengan nama Toga Datu dan Toga Sumba.

“Rasanya aku tidak terlalu yakin apalagi terhadap begu,” terdengar suara Bu Nauli.

“Apa pun pendapatmu, tapi aku akan mengajakmu ke sana hingga berhasil. Kalau ternyata memang tidak membawa hasil juga, kita terima takdir seperti ini.”

Nauli hanya menghela nafas panjang. Sia-sia saja dia mengajukan saran untuk kembali konsultasi dengan dokter ahli kandungan , sebab hati Bang Lindung sekeras batu-batu gunung. Bang Lindung lebih cenderung meminta bantuan seorang Datu yang bermukim di sebuah desa di kawasan paling ujung Angkola.

***

K

OKOK ayam jantan yang bersahut-sahutan masih terdengar dan embun pagi pun masih melekat di daun-daun pohon, orang-orang yang melaksanakan sholat subuh belum keluar dari masjid, tapi mobil tua itu sudah bergerak meluncur di jalan desa yang tidak beraspal. Udara yang amat dingin menyebabkan Bu Nauli menutupi lehernya dengan kain tenunan Sipirok yang bercorak ulos. Untuk menepis udara dingin Bang Lindung yang duduk di depan stir menyulut rokok.

“Kasihan anak-anak itu!,” terdengar suara Nauli di sisi suaminya menyebut murid-muridnya. “Hari ini seharusnya mereka latihan membaca puisi. Mereka pasti merasa kehilangan aku!”

“Sabtu depan juga masih bisa melatih mereka.”

Nauli hanya menghela nafas panjang. Satu-satunya guru yang selalu mengajarkan puisi kepada murid-murid di sekolah itu hanya Maisyarah. Tidak hanya melatih murid-murid membaca puisi,tapi menjelang pulang Bu Nauli selalu mendongeng di depan kelas.

Anak-anak di sekolah itu jadi amat senang kepada Bu Nauli dan amat senang mendengar kisah tentang Batu Gantung yang melambangkan pengorbanan seseorang demi cinta yang abadi. Atau kisah Anting Malela yang merupakan ajaran, bahwa setiap lelaki tidak boleh mementingkan diri sendiri dan melindungi perempuan.

Apa lagi riwayat Tunggal Panaluan yang berkisah tentang pantangan dalam keluarga, paling disenangi murid-murid Bu Nauli. Meski pun bocah-bocah itu bermukim di desa yang terletak di hulu sungai di kaki bukit, tapi mereka cukup mengenal sosok Puteri Hijau dari dongengan yang disampaikan guru mereka yang cantik.

Dan hari itu seorang guru yang rajin mengajarkan puisi serta gemar mendongeng, terpaksa tidak hadir di depan kelas karena harus berangkat ke desa paling ujung di Angkola. Sebab Datu yang akan diminta bantuannya tidak menerima tamu pada hari minggu. Untung Bu Nauli masih sempat membagi-bagikan puisi berjudul Bismillahir Rahmanir Rahim karya Hamzah Fansuri.

“Berhenti, Bang Lindung!. Berhentiiii!,” pinta Bu Nauli ketika mobil tua itu sudah keluar jalan desa dan memasuki jalan raya. Sebuah bus besar jarak jauh sedang berhenti dan menurunkan sepasang manusia.

“Ada apa?,” Bang Lindung terheran-heran dan menginjak rem.

“Lihat itu!,” Bu Nauli menujuk ke arah sepasang manusia yang baru turun dari bis jarak jauh. “Seperti Aminah!”

“Ya,itu Aminah bersama suaminya!”

“Minah pulang sebelum libur sekolah,pasti ada sesuatu!”

Tiba-tiba saja Bu Nauli turun dari mobilnya dan menghampiri pasangan suami isteri yang baru turun dari bis jarak jauh. Nauli memang amat mengenal Aminah, rekannya sesama guru di desa di kaki bukit itu. Tapi Aminah mengajukan permohonan pindah untuk mengajar di kota. Permohonan itu memang tidak mulus jalannya, tapi harus melalui prosedur yang tidak tertulis dalam peraturan kepegawaian. Aminah harus mengeluarkan segepok uang untuk dapat memuluskan mutasinya. Tiga ekor sapi Benggala terjual hanya untuk melicinkan jalannya permohonan itu.

Permainan patgulipat memang sudah amat sering terjadi dalam dunia kepegawaian apa lagi dalam keguruan. Lulusan ef-ka-i-pe yang mau jadi guru harus memberikan uang pelicin yang jumlahnya lebih dari harga 6 ekor lembu Benggala kepada oknum tertentu agar dapat menjadi guru negeri. Mau pindah tugas juga begitu. Mau jadi pegawai negeri di instansi lain juga demikian. Apa lagi mau jadi aparat,pasti harus tersedia uang yang tidak sedikit.

Permainan busuk dan kotor sudah merajalela di mana-mana. Oknum di instansi pemerintah sudah terbiasa dengan hal-hal yang busuk,sudah terbiasa bermain dengan air selokan,bahkan terkadang ada tinja di sana. Betapa amat menjijikkan.

Berbahagialah Aminah yang akhirnya mengajar di sebuah sekolah dasar di kota. Malam hari dia bisa memberikan les kepada anak-anak orang kaya. Tidak hanya itu. Di kota, Aminah menemukan jodoh seorang karyawan Pertamina dan sekarang hidup senang.

Kalau tetap di desa mana mungkin dia meberikan les privat, mana mungkin dia menemukan jodoh seorang pegawai Pertamina. Kalau tetap mengajar di desa, pasti dia akan menemukan petani yang hidupnya amat sederhana. Sebab di desa tidak ada calon suami yang bekerja di Bank, tidak ada yang bekerja di Telkom, tidak ada karyawan Gas Negara, tidak ada pegawai BPN. Yang ada di desa adalah petani. Yang ada di desa itu adalah pemanjat pohon aren yang pintar menyanyikan lagu-lagu berlirik mantera agar pohon enau itu memberikan air nira yang lebih banyak. Paling-paling yang ada guru manopa parang, pisau atau cangkul di pengrajin besi.

Lihatlah Bu Nauli, meski pun wajahnya cantik, tapi jodohnya hanya seorang petani seperti Bang Lindung. Tapi Bu Nauli tidak pernah menyesal menikah dengan seorang petani. Dia tetap merasa bahagia meski pun sudah lebih delapan tahun menikah belum mendapat karunia keturunan.

Dan Bu Nauli memang seorang guru yang jalan hidupnya selalu lurus. Menjadi guru melalui jalur yang sebenarnya, tanpa mengeluarkan uang satu sen pun. Dan Nauli juga tidak pernah mengajukan untuk pindah mengajar di kota. Biarlah tetap di desa sampai saatnya dia pensiun. Dia bahagia anak-anak didiknya yang baru kelas dua es-de tapi sudah mahir membaca puisi berjudul “Mandailing” karya Willem Iskander. Nauli bangga anak didiknya amat bagus saat membaca puisi yang berjudul “Ajar ni Amangna di Anakna na Kehe tu Sikola”.

“Aminah!,” nama itu segera tercetus dari bibir Nauli setelah mengucap salam.

“Nauli!”

Dua perempuan itu saling berpelukan. Sesaat Bu Nauli memperhatikan pakaian dan perhiasan yang melekat di tubuh sahabatnya. Ada tiga gelang emas melingkar di tangan Aminah, apa lagi di lehernya ada dua buah kalung melingkar. Sepatunya, pakaiannya, pastilah berharga mahal. Harum pafumnya juga bukan main.

Aminah memang hidup senang sejak mengajar di kota, apalagi setelah menemukan jodoh seorang lelaki yang bekerja di Pertamina. Pastilah rumah pun sudah dimiliki di kota. Juga kenderaan bermotor pasti sudah dimilikinya.

“Rindu kampung halaman,Minah?” tanya Nauli setelah mengamati segalanya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

“Ya, rindu yang tidak tertahan. Sekali gus menjemput inang untuk kubawa ke kota.”

“Kau amat berbahagia bisa membawa inang ke kota.”

“Inang sudah tua dan sakit-sakitan. Aku ingin membawanya untuk berobat.”

“Kau benar-benar beruntung dan tidak sia-sia memohon pindah ke kota meski pun tiga ekor sapi harus terjual.”

“Sudah zamannya begitu,Nauli. Cuma kau yang selalu menempuh jalan lurus dan bersih.”

Nauli hanya tersenyum. Dia tidak pernah merasa iri meski pun tingkat kehidupan sahabatnya jauh lebih baik. Nauli sudah cukup bahagia meski pun hidup sederhana sebagai guru di desa dan suaminya cuma pemilik mobil tua yang selalu mengangkut hasil panen. Bu Nauli merasa cukup bahagia kalau hari minggu menerima uang storan dari suaminya setelah mobil tua itu dicarter oleh warga desa untuk menghadiri pesta di desa lain yang jauh letaknya. Meski pun duduk berjejal di bak belakang tanpa tampat duduk, tapi warga desa itu amat senang naik mobil tua itu untuk hadir di pesta.

Tidak hanya seorang guru bernama Aminah dan suaminya yang selalu merindukan kampung halamannya di Mandailing, tapi masih ribuan orang-orang yang berdarah Mandailing pasti selalu merindukan tanah kelahirannya, merindukan alamnya yang indah, gunung-gunungnya yang hijau, sungai-sungainya yang mengalir tenang dan airnya amat jernih. Para perantau asal Madina pasti selalu rindu kepada desanya di Batang Natal, Lingga Bayu, Si Abu, Bukit Malintang, Ulu Pungkut, Lembah Sorik Marapi dan lain-lain.

Kaum lelakinya pasti akan terkenang pada saat menangkap ikan di malam hari dengan menggunakan lampu petromax di sungai yang airnya tenang dan jernih, seperti halnya di Toba gemar melakukan “marsuluh” atau menangkap ikan beramai-ramai. Mardoton atau menangkap burung dengan jaring juga sering dilakukan warga desa-desa di kawasan Mandailing.

Siapa pun orangnya yang berdarah Mandailing pasti selalu merindukan kampung halamannya yang molek dihiasi gunung dan sungai-sungai. Alunan musik gondang dan onang-onang atau Si Togol selalu mengimbau untuk pulang.

Hanya sesaat Bu Nauli bersama sahabatnya, sebab dia harus melanjutkan perjalanan ke arah desa paling ujung di Angkola. Perjalanan itu masih amat jauh. Mobil tua itu meluncur lagi di jalan raya. Kain tenunan Sipirok kembali menyelimuti leher Bu Nauli untuk menghindari angin kencang.

“Bagaimana kalau usaha kita kali ini juga gagal?,” terdengar suara Bu Nauli di antara deru mesin mobil.

“Mudah-mudahan berhasil. Sebab Ompung Datu Pangulu itu sudah amat terkenal dan ampuh.” sahut Bang Lindung dan rokok yang terkepit di antara dua bibirnya menghangatkan badannya.

“Kalau jalan buntu juga bagaimana?”

“Kita terima saja apa adanya.”

“Apakah Bang Lindung tidak berpikir lain?”

“Maksudmu?”

“Semua pasangan suami isteri menginginkan keturunan, lalu kalau sudah bertahun-tahun tidak mendapat anugerah biasanya menikah lagi.”

“Hmmm,” Bang Lindung hanya bergumam lirih dan tersenyum.

“Apakah Bang Lindung tidak berpikir begitu?”

Lelaki itu menggeleng. Dari mulutnya mengepul asap rokok.

“Sungguh?”

“Aku tidak sampai hati meninggalkan isteriku yang pipinya kemerahan.”

“Jangan memuji!”

“Aku tidak akan menyakiti hati seorang isteri yang cantik.”

“Tapi bagaimana kalau aku tidak juga berhasil memberikan seorang anak pun?”

“Kita cari jalan lain!”

“Jalan lain bagaimana?”

“Kita cari anak angkat.”

“Rasanya cara itu memang bagus.”

“Paling bagus,daripada aku harus menikahi perempuan lain.”

“Bang Lindung cuma berkata di bibir?”

“Sungguh dari hati yang paling dalam.”

“Sudah banyak terjadi di kalangan suku kita, suami kawin lagi karena isterinya mandul. Lalu sang isteri harus merelakan meski pun hatinya hancur. Banyak isteri mandul merelakan suaminya kawin dengan orang lain tapi dadanya perih penuh rintihan. Banyak perempuan mandul rela suaminya punya isteri lagi,padahal hidupnya penuh derai air mata. Tapi itulah kodrat perempuan. Hidupnya terkadang amat malang dan penuh kesedihan. Lebih sedih lagi kalau suaminya sama sekali tidak pernah pulang kepada isteri tuanya yang mandul itu.”

“Aku tidak akan membuat hati isteriku hancur. Aku tidak akan membuat dada isteriku perih. Tidak akan membuat hidupnya penuh dengan rintihan dan air mata.”

“Demi Tuhan,begitu?”

“Demi Tuhan!”

“Oh,Bang Lindung. Aku sangat mencintaimu...” Tiba-tiba saja Bu Nauli merebahkan kepalanya di lengan Bang Lindung yang masih mengemudikan mobil tuanya. “Aku tidak ingin kehilangan dirimu”

“Aku juga tidak berpikir untuk menikah lagi. Aku tidak tega menyakiti hati isteriku yang cantik dan karirnya sebagai guru, orang yang paling dihormati di desa kita. Aku bangga kawin dengan seorang guru.”

“Mudah-mudahan usaha kita kali ini berhasil.”

“Aku juga berharap begitu.”

Mobil itu terus melaju dan suara mesinnya meraung-raung. Seekor anjing yang tiba-tiba menyeberang jalan menyebabkan Bang Lindung harus menginjak rem lalu terdengar derit ban di atas aspal. Hampir saja anjing nakal itu terlindas ban depan mobil tua itu.

“Dasar anjing tidak punya otak!,” gerutu lelaki itu.

“Hati-hati,Bang Lindung!”

“Dasar binatang bodoh!”

“Berhati-hatilah, apalagi kalau yang menyeberang adalah manusia. Kalau menabrak orang warga pasti akan marah.”

Asap rokok masih mengepul dari celah bibir lelaki itu. Mobil itu terus meluncur di jalan raya dan sesekali mendaki dan di kiri kanan jalan banyak pepohonan lebat dan rimbun. Pohon aren terlihat di sana-sini. Monyet-monyet kecil sesekali terlihat berayun-ayun di dahan pohon. Burung-burung pun bernyanyi di ranting pohon.

“Isteri angkang Parlin saat ini sedang hamil padahal anaknya sudah tiga dan yang belum bisa berjalan juga ada. Aku berniat untuk mengambilnya sebagai anak kita,” terdengar suara Bang Lindung ketika mobil melewati sebuah tikungan. Jalan-jalan di kawasan itu memang penuh dengan tikungan dan tanjakan. Alam kawasan itu memang amat indah, begunung-gunung dan sungai pun airnya selalu jernih.

“Rasanya itulah yang terbaik,mengambil anak angkat dari kalangan keluarga sendiri yang masih sedarah.Aku akan berusaha menjadi ibu yang baik. Aku akan mengasuhnya sebagai darah daging kita sendiri.”

“Yang pasti anak itu jelas asal usulnya dan Angkang Parlin rajin beribadah. Pasti anak itu adalah anak yang soleh nanti.”

“Mungkin harus begitulah perjalanan hidup kita, anak yang kita asuh bukan seorang anak yang lahir dari rahimku.”

Dari celah bibir Bang Lindung mengepul asap rokok lagi.Lelaki itu tampak tetap bersemangat meski pun sudah menempuh jarak yang amat jauh dan sesekali harus melewati jalan rusak sehingga tubuhnya terbanting-banting di atas mobil tuanya.

***

M

OBIL tua itu berhenti di depan sebuah rumah yang bentuknya seperti adat Batak , bertangga dan atapnya dari ijuk. Panjang rumah itu sekitar 20 meter dan menghadap ke barat dan pintu depan juga terletak di dinding barat. Atap rumah itu melengkung dan pada bagian puncaknya diletakkan kepala kerbau lengkap dengan tanduknya yang panjang.

Halaman rumah tua itu amat luas dan banyak ditumbuhi pohon-pohon yang daunnya lebat. Ada pohon hariara,sejenis beringin yang akarnya panjang kemerah-merahan. Sekeliling halaman ditumbuhi pohon-pohon bambu sebagai pelindung terhadap angin kencang. Dari jauh, di bagian depan sudah terlihat patung-patung dari ukiran kayu berbentuk seperti patung Si Gale-Gale dan ada lagi ukiran kayu yang menggambarkan seorang dewa sakti dengan parang terhunus di tangannya.

Seperti umumnya rumah-rumah orang Tapanuli, di halaman depan selalu ada tugu dan makam. Di sepanjang jalan pun Nauli dan Bang Lindung banyak melihat tugu seperti itu. Bahkan ada bangunan tugu yang jauh lebih mega daripada rumah.

Seorang lelaki muda menyambut ke datangan Bu Nauli dan Bang Lindung serta bertanya tentang maksud kedatangannya. Sesaat Bu Nauli dan suaminya menunggu setelah disilakan masuk ke ruang tengah. Sesaat kemudian muncul seorang lelaki tua yang rambutnya gondrong, janggutnya juga panjang dan tampangnya tampak seram muncul dari ruang dalam rumah itu.

Ompung Datu Pangulu memang tampak angker dan seram, tapi lelaki tua itu sebenarnya amat ramah.

“Bagus!. Bagus!,” sahut lelaki yang di desa itu disapa dengan Ompung Datu Pangulu, orang pintar yang paling disegani. “Sudah banyak pasangan suami isteri yang datang ke rumah ini dengan maksud yang sama.”

“Mudah-mudahan Ompung dapat menolong kami!”

“Ompung akan membantu siapa pun yang datang ke rumah ini. Seekor binatang pun yang datang kemari karena dikejar pemburu akan ompung bantu untuk melindunginya agar tidak terbunuh oleh manusia yang berhati jahat dan rakus.!”

Bu Nauli dan Bang Lindung duduk di atas tikar. Sepasang mata Nauli masih sempat memandang keadaan rumah itu. Banyak senjata dipajang didinding, seperti kapak, parang, tombak, busur lengkap dengan anak panahnya dan juga prisai. Juga ada bejana dari tembikar untuk pedupaan. Alat-alat musik seperti seLindungng, gendang, gong dan alat musik tradisional lainnya juga tampak di ruangan rumah itu. Di dinding rumah itu juga terlihat tulisan Batak seperti gorga.

“Sebelum ompung memulai ,ompung ingin tahu riwayat keluarga kalian berdua.” terdengar suara lelaki berambut panjang dan janggutnya juga panjang tak terurus.

“Saya lahir dari keluarga petani,almarhum ayah saya bernama Marah Tagor,” ujar Bu Nauli sejujurnya.

“Adakah pernikahan itu melangkahi seseorang?”

“Benar!. Saya melangkahi seorang abang dan seorang kakak.”

“Adakah dilakukan adat pelangkahan pada waktu perkawinan itu. Kalau hal itu tidak dilakukan boleh jadi itulah penyebab dan menjadi penghalang datangnya seorang anak. Mengadati boru malangkai tidak boleh dianggap sepele.”

“Demi Tuhan, kami melakukannya.”

Sejujurnya Bu Nauli bercerita bagaimana adat itu dilakukan. Seorang kakaknya didudukkan diatas tikar adat di tengah rumah kemudian disurdi burangir atau burangir sisurdu honkonon. Para orang tua kahanggi dan anakboru saling berbicara adat meminta izin dan restu sang kakak karena Bu Nauli sebagai adik akan menikah lebih dulu. Lalu sebagai umpamangalangkai harus diberikan pakaian lengkap mulai dari kain panjang, baju dan basaen atau kerudung. Terhadap ibotonya meski pun laki-laki juga diberikan tanda mata sehelai kain plekat.

“Bagus!,” ujar sang Datu tetap dengan wajah tegang. Lelaki tua yang biasanya dipanggil Datu itu seperti tidak pernah tersenyum. “Kalau begitu tidak ada masalah lagi!”

Ompung Datu Pangulu masih sempat mengungkap kelahiran dan asal usulnya dari Pusuk Buhit di Pulau Samosir. Sebagai seorang yang lahir di desa di puncak pegunungan, lelaki itu mengaku memiliki kesaktian dan perkasa.

Ompung Datu yang sudah lanjut usia itu mengaku sudah berusia lebih sembilan puluh tahun, tapi masih mampu mendaki Pusuk Buhit padahal tingginya lebih l500 meter.

“Tidak bisa sembarang orang naik ke bukit itu. Hanya orang-orang yang memiliki kesaktian dan perkasa saja yang dapat sampai ke puncak. Ompung mendaki bukit itu hanya untuk keperluan mencari bahan ramuan obat,ziarah atau menyembah sumangot ni ompu atau mamele. Kalian tahu apa artinya mamele?,” Ompung Datu menatap Bu Nauli. Namun yang menjawab pertanyaan itu adalah Bang Lindung.

“Mamele adalah memberi persembahan atau sesajen kepada roh leluhur.”

“Dan juga untuk permintaan tertentu. Seperti halnya kedatangan kalian berdua, ompung akan meminta bantuan roh leluhur di Pusuk Buhit.”

Lelaki tua itu masih sempat mengatakan, bahwa di puncak bukit itu terdapat banyak tumbuhan sebagai bahan ramuan obat-obat yang amat besar khasiatnya untuk pengobatan dan penjembuhan berbagai penyakit seperti tumbuhan andaliman atau sejenis lada, attarasa, sirintak, monang-monang, langge, sangge-sangge, sisakkil, silinjuang,sialagundi, bulle,anggir dan banyak lagi.

“Lebih dari tiga ribu tahun yang lalu saudagar Mesir sudah mendatangi Pusuk Buhit melalui pelabuhan Barus Raya hanya untuk membeli ramu-ramuan itu dari tanah Batak.” terdengar lagi suara lelaki tua itu. Dengan amat bangga lelaki itu berkata, bahwa mumi-mumi Raja Firaun Mesir diawetkan dengan menggunakan ramuan tetumbuhan dari Pusuk Buhit .

Bu Nauli dan Bang Lindung hanya manggut-manggut. Apa lagi ketika Ompung Datu Pangulu bercerita tentang asal usul Danau Toba yang diawali seorang isteri cantik jelmaan ikan mas namun dikhianati suaminya.

Lagi-lagi Bu Nauli manggut-manggut, padahal sejak dulu dia tahu , terjadinya Danau Toba karena proses alam yang terjadi lebih dari 300.000 tahun silam. Peristiwa geologi itu terjadi sungguh amat dahsyat, sebuah ledakan bumi telah memporak perandakan bumi Tanah Batak sehingga sebagian kulit bumi longsor ibarat lubang neraka yang amat besar dan segenap isinya masuk ke perut bumi dan itulah yang kini dikenal dengan Danau Toba.

“Setahun sekali di Pusuk Buhit diadakan pesta Mengalahat Horbo, yakni pesta kemeriahan rakyat untuk mengenang zaman kemegahan Tanah Batak. Tapi Ompung tidak pernah sekali pun menghandirinya. Ompung akan mendaki bukit itu seorang diri, kalau ada seseorang membutuhkan bantuan seperti kalian berdua datang kemari,” ujar lelaki tua itu lagi.

Sesaat Sang Datu masuk ke dalam ruangan kemudian keluar lagi dengan membawa sehelai ulos. Bu Nauli dan Bang Lindung menunduk ketika di pundak mereka dibentangkan Ulos Ragihotang. Sang Datu kemudian membaca mantera-mantera setelah membakar kemenyan dan mengunyah sirih.

Seorang lelaki muda memainkan musik tradisional Batak, lalu Ompung Datu meraih sebuah tongkat. Lelaki itu sudah amat tua renta, tapi gerakannya membawakan tarian “Tunggal Panaluan” masih amat lincah.

Musik tradisional Batak terus terdengar dan Ompung Datu masih terus menari dan gerakannya seakan terbang ke angkasa luar. Seakan dengan kekuatan magiknya dia terbang ke langit kemudian menuju Pusuk Buhit, untuk bertemu roh leluhur dan untuk memetik daun-daun kebutuhan ramuan pengobatan.

Ompung Datu Pangulu seperti melakukan persembahan, lalu bibirnya berkomat-kamit seperti sedang berdialog dengan roh halus para leluhur. Hampir setengah jam lelaki tua itu menggerak-gerakkan anggota tubuhnya membawakan tarian yang amat penuh muatan sakral.

Terakhir lelaki tua yang dikenal sebagai dukun yang amat terkenal itu melakukan seperti terbang menungkik kembali ke bumi. Sesaat lelaki itu seperti lemas, tapi akhirnya mendapatkan kembali kekuatan dirinya.

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja di tangannya tergenggam beberapa helai dedaunan.

“Ompung memetik ramuan ini di Pusuk Buhit,” ujar lelaki tua itu. Untuk memetiknya tidaklah mudah dan tidak sembarang orang dapat memetiknya. Seseorang yang datang ke sana pasti akan tersesat di hutan atau terjatuh dalam jurang atau akan mati digigit ular berbisa.”

“Ompung sungguh luar biasa,” cetus Lindung terkagum-kagum.

“Sungguh dahsyat!. Andainya kami berdua yang mendaki bukit itu pasti tidak akan pernah pulang lagi!”

“Ompung tidak hanya memetik daun-daun yang penuh dengan khasiat, tapi juga bicara dengan roh leluhur mengenai permintaan kalian berdua.”

“Lalu apa kata roh leluhur itu?,” Bu Nauli menatap sepasang mata lelaki tua yang tampak seperti sepasang mata elang, sungguh amat tajam. Nauli tidak sanggup terlalu lama menatap sepasang mata elang itu.

“Ada sejenis begu menempel pada tubuh kalian berdua,” ujar lelaki tua berambut panjang itu.

“Begu?. Begu apa?. Mahluk halus apa yang ada pada diri kami?,” cetus Bu Nauli amat kaget dan bulu kuduknya berdiri. Kata-kata sang dukun itu menyebabkan Bu Nauli menatap lelaki itu amat dalam.

“Begu sombaon yang selalu tinggal di pegunungan, di hutan rimba atau di tempat yang amat gelap gulita.”

“Tapi bagaimana begu itu dapat menempel pada diri kami berdua?”

“Itulah!. Ada kalanya manusia dtinggalkan Tondi dan Sahala yang melayang-layang. Karena tubuh tidak ada lagi yang menjaga, saat itulah begu jahat itu masuk ke dalam tubuh!”

“Dapatkah begu itu diusir, Ompung?”

“Ompung sudah menjemput ramuannya agar begu-begu jahat itu menyingkir jauh-jauh kembali ke tempatnya semula di hutan belantara. Ompung akan membacakan doa dan mantera untuk mengusir mahluk jahat itu.”

“Bantulah kami menyingkirkan begu-begu itu!,” pinta Bang Lindung yang sejak dulu amat percaya pada hal-hal gaib dan magik.

“Dengarlah!,” ujar Ompung Datu lagi amat serius.”Kalian tahu apa itu begu Somboan?,”

“Begu laki-laki!,” sahut Bang Lindung

“Nah,itulah yang melekat pada dirimu. Sudah sangat lama, sudah bertahun-tahun begu itu lekat pada dirimu.”

Tubuh Bang Lindung berkeringat dingin ketika mendengar kata-kata itu.

“Satu lagi begu Boru Sombaon melekat pada diri isterimu!”

Kata-kata itu hanya membuat tubuh Bu Nauli jadi menggigil ketakutan. Keringat dingin juga segera mengalir pada dirinya. Wajah Nauli mendadak pucat. Ompung Datu Pangulu juga menyebut-nyebut ,bahwa mahluk halus itu juga mempunyai pemimpin yang disebut Ompung Raja Ni Begu.

“Ingat, sepasang begu-begu jahat itu sudah melekat pada diri kalian suami isteri. Itu artinya bila kalian sedang bergaul sebagai suami isteri bukanlah jasad kalian, tapi begu-begu itu.” tutur sang dukun lagi dengan amat serius.

“Artinya bukan kami yang berhubungan badan?. Artinya begu-begu itu yang bersetubuh?”

“Ya!. Begitulah adanya. Selama begu-begu dari hutan belantara itu belum diusir, isterimu tidak akan hamil. Kalian tidak akan pernah punya anak selama begu-begu itu belum disingkirkan jauh-jauh.”

Sesaat Bu Nauli menunduk dan termenung. Rasanya semua yang diucapkan Ompung Datu itu sukar diterima akal sehat. Sebab selama ini Bu Nauli merasa biasa-biasa, tidak ada yang mengusiknya. Tidak ada apa-apa yang mengganggunya. Andainya pada malam-malam yang dingin suaminya menghendaki hubungan badan, Bu Nauli selalu berperan aktif sehingga keduanya menikmati saat-saat yang paling indah, hangat dan manis. Tidak pernah ada keluhan. Tidak ada yang merintangi. Tidak ada yang mengusik hubungan amat mesra itu.

Andainya yang melakukan hubungan badan itu adalah para begu yang melekat pada dirinya, tentu Bu Nauli dan suaminya tidak merasakan hangat dan manisnya suasana hubungan intiem itu. Bu Nauli dan Bang Lindung justru merasa amat bahagia pada saat hubungan badan itu berlangsung.

Sungguh tidak mungkin!. Sungguh tidak mungkin ada mahluk halus melekat pada dirinya apalagi yang namanya begu Boru Sombaon. Sungguh tidak mungkin bila bersama suaminya menikmati hubungan intiem bukanlah dirinya bersama Bang Lindung, tapi begu-begu itu. Sungguh sulit untuk dipercaya. Apa lagi bagi seorang perempuan muslimah yang selalu taat pada perintah Allah untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Bu Nauli senantiasa melakukan solat, puasa dan membaca Al Qur'an. Ayat Kursi tidak pernah lupa dibacanya menjelang tidur. Apa lagi kalau suaminya menghendaki hubungan intiem pasti didahului dengan membaca doa bersenggama. Mana mungkin syaitan, iblis dan jin jahat mendekati dirinya. Apa lagi begu-begu jahat itu. Sungguh tidak mungkin. Sungguh tidak dapat diterima akal sehat segala ucapan sang dukun itu. Tubuh Bu Nauli memiliki benteng yang luar biasa kukuhnya. Buldozer sekalipun tidak mampu meruntuhkan benteng itu, apalagi sejenis begu.

Ompung Datu itu mengunyah daun-daun yang menurutnya diambil dari Pusuk Buhit dan sangat berhasiat. Bu Nauli tidak mampu menolak ketika daun-daun yang dikunyah sang dukun lalu disemburkan pada dirinya, juga pada Bang Lindung.

“Nah, begu-begu itu sudah lari terbirit-birit ke hutan. Tapi untuk menjaga agar tidak kembali lagi kalian berdua harus membuat perlindungan diri.”

“Perlindungan bagaimana?”

“Ompung akan memberinya nanti. Semuanya Ompung peroleh dari Pusuk Buhit.”

“Bantulah kami!”

Bu Nauli dan Bang Lindung masih duduk berdua ketika Ompung Datu membuat ramuan.

“Rasanya sulit dipercaya,Bang Lindung. Rasanya tidak pernah ada begu dalam diri kita,” bisik Bu Nauli di sisi suaminya.

“Ssssst. Kita harus meyakini. Bukankah kita ingin anak?. Apa pun harus kita tempuh dan yakin.”

Sesaat kemudian muncul sang dukun dengan membawa uncang atau kain berbentuk kantongan yang sudah dijahit dan isinya adalah ramuan. Kantongan dari kain itu harus diikat melingkar di perut.

“Selama empat puluh hari benda ini harus tetap melekat pada tubuh kalian, terutama pada saat akan bergaul sebagai suami isteri, supaya yang melakukan bubungan badan bukan begu-begu itu!”

Tangan Bu Nauli gemetar ketika menerima benda yang dikatakan Ompung Datu sebagai azimat penangkal begu. Demi Tuhan, Bu Nauli tidak dapat menerima hal itu. Demi Tuhan, seumur hidupnya dia tidak pernah menyimpan azimat, apalagi mempercayainya. Tapi Bang Lindung yang memang amat percaya pada hal-hal gaib memaksa untuk menerima dan meyakini.

Ritual terakhir yang dilakukan Ompung Datu adalah memberikan ulos dengan berbagai pesan:

“Ulos ini akan menjadi selimut yang hangat bagi pemakainya.Ulos na so ra buruk, Gobak-Gobak di ngali ni ari, hundung-hundung di milas ni ari”

Ucapan itu mengandung makna nilai ritual yang terkandung pada ulos itu yakni tidak akan rusak atau lenyap sampai kapan pun. Dengan ulos itu pemakainya tidak akan male diginjang jomur, manguas diginjang aek. Pemakainya tidak akan pernah mengalami kehausan atau kelaparan.

Siapa lagi yang sangat berterima kasih atas segala ritual itu kalau bukan Bang Lindung yang memang selama hidupnya sangat percaya pada hal-hal magik dan berbau gaib. Sungguh amat beda dengan Bu Nauli yang sama sekali tidak mempercayainya. Jauh di dasar hatinya yang paling dalam, dia tidak dapat menerima ritual itu. Sama sekali Bu Nauli tidak percaya lelaki itu terbang ke Pusuk buhit dalam sesaat. Juga tidak percaya sang dukun berdialog dengan roh-roh halus di bukit itu. Sulit untuk diterima akal sehat Ompung Datu memetik tumbuhan ramuan di Pusuk Buhit yang terletak di Pusau Samsosir dan harus menyeberangi Danau Toba. Lebih tidak percaya lagi Ompung Datu mengatakan, bahwa dalam dirinya melekat begu jahat. Dalam hati, Bu Nauli hanya menucap istighfar berkali--kali, bahkan ribuan kali.

Azimat berisi ramuan yang diperoleh dari Pusuk Buhit yang diberikan dukung Ompung Datu, tetap saja melingkar di perut Bu Nauli dan suaminya, apalagi pada saat malam-malam dingin dan suaminya menghendaki hubungan badan. Bu Nauli ingin membukanya, tapi Bang Lindung selalu mencegah.

Bang Lindung sangat marah, ketika Bu Nauli merasa risih di perutnya dilingkari azimat itu.

“Ingat pesan Ompung Datu, empat puluh hari azimat ini harus tetap melekat pada diri kita.”

“Tapi rasanya tidak ada khasiat apa-apa!”

“Kita harus meyakini!”

Bu Nauli hanya menghela nafas panjang.

“Bukankah kita memang sudah amat ingin hadirnya seorang anak?. Bukankah kita sudah sangat ingin dari rahimmu akan lahir anak kita yang mungil?.”

“Rasanya belum ada perubahan meski pun sudah lebih empat bulan kita mendatangi orang pintar itu.”

“Tunggu saja beberapa minggu lagi. Mudah-mudahan ada perobahan pada dirimu.”

“Kalau tidak ada perobahan apa pun, Bang Lindung mau mengantar aku ke dokter ahli?”

“Tidak!. Tidak harus ke dokter lagi. Kita harus menemui Angkang Parlindungan untuk meminta bayi yang sedang dikandung isterinya untuk menjadi anak kita.”

“Terserah Bang Lindung, tapi saya tetap berkeinginan kita berdua mendatangi dokter ahli. Yang penting kehadiran anak di antara kita.”

Bang Lindung hanya berdiam diri dan menenggak kopi kental dan panas. Kopi dan rokok sudah amat akrab dengan lelaki itu.

***

M

USIM demikian cepat berganti dan kemarau sudah berlalu. Hampir tiap hari, siang, sore dan malam hujan selalu mengguyur bumi. Sesekali sungai yang melewati desa di kaki bukit itu meluap tapi tidak sempat menimbulkan bencana. Sebab dosa besar hampir tidak pernah dilakukan warga di hulu sungai itu. Sebab fitnah tidak pernah ada di desa itu. Saling berebut kekuasan tidak pernah terjadi di kampung itu. Mana ada elit politik yang mengumbar janji-janji yang amat muluk di desa itu. Perangkat pimpinan desa juga tidak pernah menilep duit rakyatnya.

Mana ada kredit macet di desa itu. Mana ada warga yang menikmati kredit ratusan juta rupiah tapi tidak dikembalikan. Warga desa itu memang tidak pernah mendapatkan kucuran kredit, apalagi dalam jumlah besar. Warga desa itu tidak pernah menggantungkan nasibnya kepada pemerintah.

Desa itu benar-benar damai dan sejahtera. Bala tidak pernah diturunkan Tuhan di kawasan itu. Adat istiadat setempat dengan menjunjung tinggi Dalihan Na Tolu tetap dianut setiap warga. Bagaimana mungkin Tuhan akan murka kalau warga di sana selalu menjunjung tinggi adat istiadat yang tidak pernah bertentangan dengan ajaran agama?.

Setiap adanya kelahiran bayi selalu dilaksanakan adat “Patandahon anak tubu”. Lalu kalau ada peresmian perkawinan anak selalu dilaksanakan adat “Haroan Boru” dan Pengupa serta penyampaian pesan dari para pengetua adat tetap dihadirkan. Pangupa yang berisi pesan tentang pedoman hidup selalu dibawakan oleh Datu Bonggur Niaji dengan suara mendayu-dayu. Banyak ibu-ibu dan gadis-gadis yang menitikkan air mata ketika pasu-pasu dibacakan dengan gaya dan nada yang amat menyentuh perasaan.

Apalagi bila terjadi kematian pada salah satu anggota keluarga, pasti acara “Mangadati Halak Namaninggal” tetap dilaksanakan.

Dalam hal memasuki rumah baru, warga di desa hulu sungai itu tetap melaksanakan adat “Marbokkot Bagas”. Sebab menurut keyakinan masyarakat sekitar kaki bukit itu, bagas atau rumah adalah pusat dan titik tolak segala kegiatan. Setiap penghuni berharap di rumah itu menjadi tempat yang bertuah dan “Martondi”.

Musim hujan sudah datang. Warga desa yang umumnya petani mulai turun ke sawah. Dan suara katak yang bernyanyi bersahut-sahutan seperti amat gembira karena bumi menjadi basah dan kodok-kodok itu berpesta pora.

Sudah lebih enam bulan Bu Nauli dan Bang Lindung mendatangi dukun terkenal yang bermukim di ujung Angkola, tapi hasilnya tetap tidak ada sama sekali. Tidak ada tanda-tanda kehamilan pada diri Bu Nauli. Perutnya tetap saja ramping.

Tidak ada jalan lain, Bu Nauli dan Bang Lindung akhirnya sepakat untuk mengambil anak dari Angkang Parlindungan, saudara kandung Bang Lindung sendiri.

Seperti halnya anak sendiri, seperti halnya anak yang lahir dari rahim sendiri, di rumah itu dilakukan adat Patandahon anak tubu atau memperkenalkan kehadiran anak.

Bayi itu dilahirkan dengan pertolongan bidan desa, beratnya hampir empat kilo. Bayi laki-laki itu tangisnya amat nyaring ketika lahir tepat pada saat azan subuh bergema di masjid-masjid.

Bu Nauli tampak gembira ketika menggendong bayi yang diberinya nama Tagor Fauzan dan di belakangnya tertera marga ayahnya. Nama itu sudah lama direncanakan oleh pasangan suami isteri yang sudah amat lama merindukan hadirnya seorang bayi. Fauzan dalam Islam artinya adalah seorang lelaki yang senantiasa dalam keberuntungan dan selalu meraih kemenangan .

“Apakah Tagor akan menjadi petani di kemudian hari nanti,Bang Lindung?,” tanya Bu Nauli ketika mereka berbaring di sisi bayi lelaki itu.

“Kalau petani kaya boleh-boleh saja.Punya tanah puluhan hektar, punya traktor dan punya sapi seratus ekor,” seenaknya Bang Lindung menyahut.

“Kalau jadi guru bagaimana, seperti inangna?”

“Tentu boleh saja, tapi guru di kota besar. Atau guru di sekolah tinggi. Jangan jadi guru di desa.”

“Dosen, maksud Bang Lindung?”

“Ya!. Biar jadi pendidik yang hidupnya senang dan tinggal di kota besar. Sesekali kita berkunjung ke sana nanti.”

Bu Nauli tersenyum dan memberi komentar;

“Ingat falsafah keturunan kita, Bang Lindung.”

“Falsafah apa pula?”

“Inda tola marandang sere, angkon marandang jolma do. Hidup tidak boleh memandang kekayaan tapi pandanglah peran kemanusiaannya.”

“Bagus!. Tapi Aku tidak ingin Tagor hidupnya melarat. Anak kita harus hidup senang.”

“Mudah-mudahan begitu hendaknya.”

Rumah yang terletak di pinggiran desa di kawasan hulu sungai itu sekarang tidak pernah sepi lagi. Sebab sudah ada seorang bocah lelaki yang diambil dari saudara sekandung. Di rumah itu selalu terdengar tangis bayi yang nyaring. Kadang-kadang terdengar suara nyaring seorang perempuan yang menidurkan bayinya. Siapa lagi perempuan yang suaranya nyaring kalau bukan seorang guru bernama Bu Nauli?. Dan lagu-lagu merdu yang dilantunkannya bukanlah lagu seperti Indung-Indung atau Tenda Biru. Bu Nauli tidak pernah menyanyikan lagu Kuce-Kuce Tahe atau Kisah Kasih Di Sekolah. Bu Nauli lebih senang melantunkan lagu dengan syair-syair yang mengandung nilai falsafah kehidupan warga desanya. Baris-baris syair lagu itu amat enak di dengar:

“Bou-bou lao tu tapian,

jou-jou laho tu hauma.

Batuk-batuk laho tu sopo

ehem-ehem laho tu bagas”.

Baris-baris lirik nynyian itu mengandung arti agar menyelesaikan suatu pekerjaan diperlukan kewaspadan dan perlu diberi tahu orang terkait agar tidak salah berbuat dan ketenteraman orang lain tidak terganggu. Lirik lagu itu mengandung falsafah yang amat luas artinya.

Kadang-kadang hingga di tempat yang jauh nyanyian ninabobok itu masih terdengar. Bang Lindung pasti tersenyum mendengar senandung itu. Sebuah lagi lagu yang amat enak didengar kalau Bu Nauli menidurkan si kecil Tagor:

“Mago pahat, mago kuhuran

Di toru ni jabi-jabi

Mago adat, tulus aturan

Anggo dung mardomu tahi”

Syair lagu itu bermakna kesepakatan itu amat penting, bahkan dapat mengalahkan segalanya. Adat itu dinamis, jika musyawarah menghendaki, aturan yang sudah ada dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Tiap orang yang mendengar Bu Nauli melantunkan lagu itu pasti akan tertegun. Dan si kecil Tagor akan tidur lelap setelah mendengar nyanyian itu.

Bu Nauli ingin menjadi seorang ibu yang baik. Karena itulah meski pun amat mengantuk dan lelah, bila si kecil Tagor terbangun di tengah malam yang amat dingin, Nauli harus segera bangun dan menggganti popoknya yang basah dan membuat susunya. Nauli tidak ingin bayinya gelisah dan rewel kalau popoknya basah.

Terkadang di tengah malam yang sepi dan dingin itu, ketika Nauli sedang memberikan susu botol kepada si kecil itu, dia selalu termenung. Sebab sebagai seorang ibu, dia ingin memberikan asi kepada anaknya, tapi itulah yang tidak dapat dia berikan. Sebab Bu Nauli tidak memiliki air susu. Bagaimana mungkin dia memiliki air susu untuk diberikan kepada bayinya sementara dia tidak pernah mengandung dan melahirkan?. Hanya perempuan yang mengandung dan melahirkan lalu melimpahlah air susu dalam payu daranya. Padahal dalam air susu itu mengandung berbagai kekuatan dan mukzizat. Dalam air susu itu selalu terdapat zat-zat kebutuhan bayi dan juga mengandung kekebalan terhadap penyakit.

Bu Nauli amat sedih kalau ingat hal itu. Lama dia termenung menyaksikan si kecil itu amat lahap menyedot susu dalam botol. Alangkah nikmatnya andai si kecil itu dapat menghirup asi dari dalam diri Bu Nauli. Tapi Bang Lindung yang tidur lelap tidak merasakan kesedihan seperti itu. Bahkan bila si kecil itu terbangun tengah malam karena popoknya basah atau karena haus, Bang Lindung tetap saja tidur lelap hanyut dalam mimpi-mimpi indah.

***

S

I KECIL itu sudah amat lekat dan manja pada Bu Nauli meski pun dia lahir dari rahim orang lain. Kecuali ketika berangkat ke sekolah untuk menghadapi murid-muridnya, si kecil itu tetap di bawa Bu Nauli kemana pun, meski pun ke warung Tulang Parinduri untuk membeli garam atau minyak goreng.

Apa lagi menjenguk famili yang sakit, pasti si kecil Tagor ada dalam gendongannya.

“Meski pun bayi itu bukan lahir dari rahimmu, tapi sangat mirip denganmu,Nauli!,” kata-kata itu diucapkan oleh Inang Uda. “Tidak ada bedanya dengan anak sendiri!”

“Aku tidak lagi kesepian!,” sahutnya dan tersenyum.

“Pelihara dia baik-baik,Nauli. Si Tagor akan menjadi penerus keluargamu dan Lindung!,” terdengar suara Inang Bujing Jamilah.

“Anak Si Parlin tampaknya serasi di tanganmu!,” ujar kerabat yang lain.

Banyak kaum kerabat yang memberikan komentar sejak Bu Nauli dan Bang Lindung mengambil anak angkat dari saudaranya sendiri. Semua mendukung. Semua menganggap mengambil anak pungut adalah cara yang terbaik bagi pasangan Bu Nauli dan Bang Lindung, dari pada menempuh cara lain, seperti harus menikahi perempuan lain.

Namun sejauh itu, yang terdengar sayup-sayup menganjurkan agar Bang Lindung kawin lagi juga ada, dengan alasan Bu Nauli adalah perempuan mandul. Alangkah menyakitkan anjuran seperti itu. Kenapa ada saja anjuran seperti itu?. Bagaimana kalau yang mandul bukan Bu Nauli, tapi Bang Lindung?. Andainya yang mandul adalah Bang Lindung, meski pun menikah tiga atau empat kali akan sama saja, tidak akan memperoleh anak. Bu Nauli selalu yakin, bahwa dirinya bukanlah perempuan mandul, karena dari garis keturunannya sekandung, semua mempunyai keturunan. Bahkan yang melahirkan anak kembar juga ada. Justru yang kewalahan mencegah kelahiran juga ada karena tiap tahun anak-anaknya lahir terus.

“Carilah seorang gadis yang benar-benar subur, Lindung!,” kata-kata itu pernah terngiang di telinga Bu Nauli yang diucapkan oleh Inang Boru.

“Kawin sekali lagi juga tidak ada salahnya,Lindung. Sebab Bu Nauli tidak mampu memberimu keturunan. Anak dalam keluarga dari suku Mandailing sangat penting artinya,” ucapan Inang Tua benar-benar menyakitkan hati Bu Nauli.

“Siapa yang akan melanjutkan keturunanmu kalau kau tidak punya anak seorang pun?.”

“Bagimu untuk kawin sekali lagi tidak terlalu susah, sebab kau punya mata pencaharian dan isterimu Bu Nauli punya gaji tetap. Dia tidak akan kelaparan meski pun kau menikah lagi.” kata-kata yang diucapkan Nan Tulang Naposo lebih menyakitkan lagi. Terkadang Bu Nauli menitikkan air mata karena kata-kata itu.

Kalau sudah berkumpul dengan keluarga dan kerabat ketika menghadiri acara Marbokkot bagas atau Mangadati Namaninggal suara-suara sumbang yang sangat menggores hati selalu terdengar. Bu Nauli hanya mampu mengusap dada.

“Ya, Tuhan. Lindungi aku, jangan sampai suamiku dirampas perempuan lain,” itulah doanya selalu. Bahkan setelah melaksanakan sholat fardu, doanya selalu panjang. Bu Nauli memohon agar Bang Lindung tidak terpengaruh anjuran saudara-saudaranya untuk menikahi perempuan lain dengan alasan Bu Nauli tidak mampu mempersembahkan keturunan.

“Ya, Allah, jangan sampai aku kehilangan suami. Jangan sampai aku kehilangan kasih sayang dari Bang Lindung. Berilah Bang Lindung ketetapan hati agar tetap disisiku, agar tetap di sisi Tagor yang kami sayangi,” itulah doa Bu Nauli.

“Ya, Rabbi. Tetapkan hati Bang Lindung agar tetap di sisiku. Jangan ada satu pun perempuan lain yang merenggut kebahagian kami. Jangan ada perempuan lain yang menghancurkan perkawinan kami. Peliharalah kedamaian dan kebahagiaan perkawinan kami.”

Doa-doa Bu Nauli terkadang amat panjang. Bahkan doa itu selalu diiringi dengan derai air mata yang mengalir di pipinya. Begitulah nasib seorang perempuan. Bila tidak mampu mempersembahkan anak, selalu saja dalam kekhwatiran, bahwa suatu saat sang suami akan menikah lagi. Begitulah takdir perempuan, seolah-olah hidupnya penuh dengan derai air mata.

Namun Bu Nauli hanya mampu pasrah kepada Tuhan. Hanya mampu berdoa dan memohon agar Bang Lindung tetap setia dan tetap selalu berada di sisinya. Dia berharap kasih sayang Bang Lindung tidak terbagi dua. Bu Nauli berharap Bang Lindung tidak akan menikah lagi dengan alasan mencari keturunan.

Kata-kata yang amat menyakitkan itu pun terdengar lagi ketika Bu Nauli menghadiri acara adat Boru Marbagas. Salah seorang Na Tulang Tobang menganjurkan agar Bang Lindung menikah lagi dengan seorang gadis cantik. Rasanya Bu Nauli ingin cepat-cepat pulang meninggalkan acara itu dan di rumah dia akan menangis sepuas-puasnya.

Dengan hati hancur berkeping-keping Bu Nauli tetap duduk diantara kerabat dan famili yang hadir pada acara itu. Duduknya tetap saja gelisah ketika acara adat itu dimulai. Adat Boru Marbagas adalah meresmikan perkawinan anak perempuan dan pada acara itu dilakukan Pangupa-upa, namun lebih lazim disebut “Pabutong Mangan” yang bermakna memberi makan sampai kenyang dan boleh juga diiringi dengan acara “Mangalehen Indahan Pamunan” yang bermakna memberi makan anak perempuan yang terakhir kali sebelum perawan itu dibawa suaminya.

Sebagai seorang perempuan yang dilahirkan dan dibesarkan di bumi Mandailing, Bu Nauli mengerti apa maknanya kedua acara itu. Pabutong Mangan artinya memberi makan hingga kenyang sebagai gambaran sang agar sang gadis mendapat bekal yang cukup setelah bersuami untuk menghadapi masa depannya.

Sang Gadis yang akan dibawa suaminya harus diberi persiapan dan bekal kekuatan jasmani dan rohani. Juga pada acara itu disampaikan Pasu-Pasu atau petuah nenek moyang agar di hari mendatang Sang Gadis menjadi isteri yang matang dan pandai-pandai membawa diri dalam keluarga suami. Tugasnya sebagai isteri adalah memelihara hubungan kedua belah pihak keluarga. Tugas seperti itu lebih dikenal dengan istilah “jahit domu-domu” yang bermakna jahitan yang mempersatukan, atau sebagai perekat dan sang isteri adalah benang yang amat kukuh. Alangkah indah falsafah itu.

Perpaduan itu harus dipelihara dan jangan sampai timbul keretakan yang membawa pecah belah keluarga. Dan perpaduan itu akan lebih mantap dan bertuah bila isteri mampu melahirkan anak yang kelak akan menyambung keturunan. Justru itulah yang tidak dimiliki Bu Nauli. Hatinya teramat sedih bila dia ingat hal itu.

***

S

EBAGAI tanda kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, meski pun dia amat sibuk mengadapi murid-muridnya setiap hari, tapi Bu Nauli selalu menyempatkan membawa se kecil ke Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi, mulai dari imunisasi campak,batuk rejan hingga folio. Bu Nauli ingin anak yang diasuhnya menjadi anak yang sehat, lincah dan pintar.

Siapa lagi yang melatihnya berjalan dan berbicara kalau bukan Bu Nauli?. Si kecil itu amat cepat dapat mengucapkan kata-kata inang, amang, ompung, tulang, angkang, anggi dan banyak lagi. Alangkah bahagianya Bu Nauli mendengar bocah itu sudah dapat berkata-kata meski pun lidahnya belum lurus benar.

Tapi siapa menduga, bahwa takdir Tuhan harus terjadi pada diri balita itu?. Selama berpuluh-puluh tahun desa di kaki bukit itu tidak pernah diserang wabah. Tidak pernah ada wabah diare yang melanda desa itu. Tidak pernah ada wabah penyakit malaria yang menyerang warga desa itu. Tidak pernah ada wabah typus yang selalu membawa kematian.

Warga desa itu selalu sehat dan segar bugar meski pun pola makan mereka amat sederhana. Apa lagi sejak adanya Puskesmas, anggota masyarakat yang menderita demam segera sembuh setelah berobat di sana. Yang menderita kudis-kudis dan penyakit kulit lainnya juga sembuh.

Tapi takdir Tuhan harus terjadi ketika desa itu kedatangan warga baru yang berasal dari Padang Lawas. Warga baru yang menghuni rumah tidak terlalu jauh dari rumah Bu Nauli ternyata adalah keluarga besar, terdiri dari seorang suami, isteri dan enam anak. Ada juga kemanakan yang ikut dalam keluarga itu. Tidak ada yang menduga, bahwa salah seorang anak keluarga yang berasal dari Padang Lawas itu ternyata sedang menderita demam berdarah.

Itulah awalnya wabah demam berdarah mulai menyerang warga desa yang terletak di kawasan kaki bukit itu. Bila ada beberapa warga menderita demam berdarah, bukan karena kutukan Tuhan. Bila ada anggota masyarakat yang mendadak menderita demam tinggi, bukan murka Tuhan. Bila dalam waktu puluhan tahun warga desa itu selalu sehat kemudian mendadak datang wabah menyerang, bukan karena dosa-dosa besar telah dilakukan warga desa kemudian Tuhan menurunkan bala. Tidak!. Sama sekali Tuhan tidak murka kepada warga desa yang selalu polos dan selalu menjunjung tinggi adat istiadat. Warga desa itu tetap berpegang teguh pada sikap “Hombar do adat dohot ibadat”, yang maknanya adat dan ibadat tidak dapat dipisahkan dan tidak boleh bertentangan dengan Islam.

Mana mungkin warga desa yang selalu taat pada agama tiba-tiba mendapat bala dari Tuhan. Lihatlah masjid-masjid di kawasan itu selalu penuh. Dengarlah, meski pun hujan turun amat lebat di pagi hari, tapi azan subuh tetap saja bergema membangunkan orang-orang yang tidur lelap.

Wabah demam berdarah itu muncul karena dibawa seseorang yang berasal dari Padang Lawas. Nyamuk-nyamuk jahat telah menularkan penyakit itu kepada warga asli desa itu. Dan penderita yang pertama adalah si Kecil Tagor. Hanya beberapa gigitan pada pipi si kecil itu sudah cukup untuk menularkan benih-benih penyakit demam berdarah pada dirinya. Si kecil yang semula sehat dan segar bugar, dalam waktu yang amat singkat segera menderita demam tinggi,matanya membelalak, mengigau, kemudian di kulitnya tampak bintik-bintik merah.

Ratap tangis Bu Nauli segera memecah kesunyian malam ketika si kecil itu akhirnya tidak mampu bertahan melawan penyakit demam berdarah yang amat ganas. Si kecil itu menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Bu Nauli. Dan kematian itu amat mendadak, kaum kerabat seakan tidak percaya, bahwa balita itu amat cepat meninggal padahal sebelumnya sehat dan segar bugar.

Omongan kaum kerabat dan tetangga segera terdengar. Bu Nauli jadi tumpuan hujatan, bahwa dia bukan seorang ibu yang baik.

“Memang nasib si Nauli untuk selamanya tidak punya anak!,” ujar salah seorang kerabat.

“Nauli memang bukan seorang ibu yang pintar merawat anak,” itulah komentar yang amat menyakitkan hati.

“Andainya anak itu tetap diasuh ibu kandungnya, pasti umurnya masih panjang,” sambung famili yang lain.

“Nauli memang bukan seorang ibu yang tangannya dingin dalam mengasuh anak,” itulah komentar salah seorang kerabat dari suaminya.

“Kalau tahu ibu kandungnya bahwa anak itu akan meninggal di tangan Nauli,pasti tidak mengizinkan anak itu diambil sebagai anak angkat.”

“Sekarang tidak ada alasan lagi bagi Lindung untuk mencari seroang isteri yang benar-benar dapat memberikan keturunan!,” itulah kata-kata yang amat menyakitkan dan sekali gus seperti beling tajam yang menggores relung hati Bu Nauli.

“Lalu bagaimana dengan Bu Nauli?”

“Dia tidak akan terlantar karena punya gaji yang cukup untuk menghidupi dirinya.”

“Kalau Lindung memang mau, biar kami yang akan mencarikan seorang gadis yang benar-benar subur. Mau lulusan pesantren juga ada. Ingat Habibah yang baru lulus dari pesantren Mustafawiyah?. Dia cantik, putih, pintar memasak dan sekarang jadi guru mengaji. Gadis itu pasti pas dan tepat untuk Lindung!,” ujar salah seorang famili yang bermukim di Muara Soma.

Tangis Bu Nauli tidak hanya karena kehilangan seorang bocah yang pernah diasuhnya dan kini menghadap Tuhan, tapi karena banyak famili dari suaminya yang menganjurkan agar Bagn Lindung menikah lagi.

Dalam adat daerah itu, faktor keturunan memang amat dominan dan penting. Setiap perempuan mandul harus bersiap-siap merasakan tusukan beribu duri di rongga dada andainya suatu saat suaminya menikah lagi.Bahkan terkadang seorang isteri yang melahirkan hanya anak-anak perempuan, suami menikah lagi dengan alasan untuk mendapatkan anak lelaki sebagai penerus keturunan ,terutama penerus marga.

Bu Nauli hanya mampu menangis. Dia tersedu di kamarnya. Bu Nauli juga merasa berdosa telah menyebabkan kematian seorang bocah. Kesedihan amat lama melekat di hatinya. Hingga bermingu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Apa lagi kaum kerabat yang memberi dorongan agar Bang Lindung menikah lagi terus terdengar gaungnya.

Bu Nauli masih selalu sering termenung dan terkadang air matanya berderai-derai seperti hujan lebat yang membasahi bumi Mandailing. Namun Bu Nauli hanya pasrah kepada Tuhan. Bila malam sepi, meski pun dingin dan sepi dia selalu bangun dan melaksanakan solat tahajud. Di tengah malam yang sepi dan dingin itu, Bu Nauli memohon kepada Tuhan untuk mendapat ketenangan dalam rumah tangganya.

Andainya suatu saat Bang Lindung harus menikah lagi, dia hanya berharap Bang Lindung tetap mencintanya. Biarlah dua malam bersama isterinya yang mampu memberinya keturunan dan satu malam lagi di sisinya. Bu Nauli akan lebih banyak mengalah nanti.

***

A

IR mata itu pun berderai lagi ketika bersama tiga puluh delapan murid-murid anak didiknya berjalan menuju desa seberang untuk mengunjungi salah seorang murid perempuan yang kematian ibunya. Di tengah jalan yang sepi, di tengah persawahan dan padi-padi sedang menguning seperti permadani emas, Bu Nauli tertegun ketika melihat sebuah mobil tua sedang berhenti.

Seperti mobil Bang Lindung, pikirnya setelah memperhatikan mobil tua itu dari kejauhan. Kenapa berhenti di tengah persawahan yang sepi seperti ini?. Rumah-rumah warga berjauhan dan orang yang lewat amat jarang. Suasana di tengah persawahan itu benar-benar sepi. Rusakkah mobil itu?. Atau kebabisan minyak dan Bang Lindung meninggalkan mobil tua itu untuk membeli minyak?. Kempiskah ban mobil itu, sementara masih ada muatan di bak belakang?. Bak belakang mobil tua itu memang dipenuhi sembako sebab penompang mobil tua itu memang seorang perempuan pedagang sembako.

Tapi mobil itu tidak rusak. Sesaat dari kejauhan ban mobil itu tampak tidak kempis. Mobil tua itu juga tidak kehabisan minyak. Mobil itu berhenti di tengah sawah yang sedang sepi dan jauh dari rumah warga karena pengendaranya sedang menikmati kemesraan bersama penumpangnya, seorang janda cantik dan masih amat muda.

Sudah sejak lima bulan yang lalu, Bang Lindung mendapatkan seorang langganan baru, seorang perempuan cantik yang berasal dari desa yang terletak di kecamatan lain, tidak jauh dari Sungai Aek Batang Gadis yang airnya jernih dan hulunya di Tor Kulabu dan bermuara di Singkuang.

Seminggu sekali mobilnya pasti dicarter seorang perempuan, janda yang baru beberapa bulan menghuni desa itu. Perempuan pendatang itu mengaku bernama Tiurma dan suaminya meninggal karena kecelakaan. Lalu untuk mencari nafkah perempuan bernama Tiurma itu terpaksa menjadi pedagang sembako. Warungnya cukup besar dan kebutuhan sehari-hari selalu ada di warung itu,mulai dari garam hingga mie instan, kopi, minyak tanah dan rokok. Itu sebabnya banyak lelaki mampir di sana untuk membeli rokok.

Seminggu sekali pasti janda bernama Tiurma itu naik mobil milik Bang Lindung untuk belanja sembako kebutuhan warungnya, seperti beras, kecap, mie instan, garam, minyak goreng, penyedap masakan, sabun, pasta gigi dan banyak lagi. Pada awalnya memang janda itu adalah langganan biasa tanpa ada hal-hal yang istimewa. Tiap pergi atau pulang belanja pasti janda cantik itu duduk di depan, di sisi Bang Lindung yang memegang stir, sementara sembako di susun di bak belakang.

Pada awalnya memang biasa-biasa saja dan janda muda itu selalu mengajak ngobrol tentang keadaannya sebagai warga baru yang belum banyak mempunyai kenalan, juga tentang nasibnya yang harus berdagang sembako untuk bertahan hidup. Janda itu juga banyak bertanya kepada Bang Lindung tentang isterinya dan tentang anak-anaknya. Janda muda itu amat prihatin ketika mendengar Bang Lindung belum mempunyai keturunan meski pun sudah amat lama menikah. Janda itu lebih prihatin lagi ketika mendengar penuturan Bang Lindung, bahwa seorang anak yang dipungutnya meninggal di tangan isterinya.

Hidungnya yang kecil tapi mancung, alis matanya yang lentik seperti semut-semut kecil beriring serta sepasang bibirnya yang tipis dan merekah itu benar-benar menggoda hati Bang Lindung. Apa lagi sepasang bibir itu selalu dipolesi lipstik merah menyala, dan itulah yang mengundang gairah Bang Lindung untuk mengecupnya. Rambutnya yang tergerai selalu mengundang hasrat Bang Lindung untuk membelainya dengan kasih sayang.

Sekarang, setelah lebih lima bulan Bang Lindung selalu mengantar janda muda itu, hatinya benar-benar tergoda oleh janda muda yang cantik itu. Mereka seperti sepasang remaja yang sedang pacaran dan sudah amat akrab.

Lihatlah, di tengah persawahan yang sepi dan jauh dari rumah warga itu, pastilah Bang Lindung menghentikan mobilnya. Pasti tangannya membelai rambut Tiur, pasti membelai semua tubuhnya dan janda muda itu rebah di dadanya. Janda muda itu tidak berusaha menepis tangan Bang Lindung yang membelai tubuhnya. Bahkan janda muda itu membiarkan dirinya remuk dalam pelukan Bang Lindung. Dia pun membiarkan lipstik di bibirnya terhapus karena Bang Lindung mengecupnya amat lama.

Tidak hanya itu. Mereka sudah amat sering berbicara tentang hari-hari mendatang sebagai suami isteri.

“Bang Lindung,” sepasang bibir merah itu berdesis lirih.

“Hmmm,”' Bang Lindung hanya menyahut dengan gumam pendek.

“Kita akan seperti ini terus?. Mengantarku belanja kemudian di tengah persawahan kita berhenti dan berpelukan?”

“Tidak!. Keadaan seperti ini harus ada akhirnya.”

“Berakhir dengan kesedihankah?. Artinya Bang Lindung akan meninggalkan aku karena Bang Lindung adalah milik Kak Nauli?”

“Tidak!. Aku tidak akan meninggalkanmu. Hubungan seperti ini tidak harus berakhir dengan kesedihan.”

“Lalu akan berakhir bagaimana?”

“Kita akan menikah!”

“Kapan?”

“Mungkin bulan depan!”

“Sungguh?”

“Demi Tuhan!” Bang Lindung seperti bersumpah di depan janda muda yang cantik itu.

“Oh, Bang Lindung. Itulah kata-kata yang amat kutunggu.” Tanpa canggung lagi janda muda itu segera rebah di dada Bang Lindung.

“Kita akan hidup berbahagia.”

“Bagaimana dengan Kak Nauli?. Apakah dia akan menganggap diriku telah merenggut kebahagiaan miliknya. Apakah Kak Nauli akan beranggapan , bahwa aku merenggut Bang Lindung dari sisinya?”

“Dia tidak akan menuduh seperti itu.”

“Kenapa?”

“Karena dia sudah memaklumi dirinya, suatu saat aku akan mengawini perempuan lain karena dia seorang perempuan mandul. Laki-laki harus punya anak dari perkawinan yang syah dan aku tidak mendapatkannya dari Nauli. Dia sudah menduga hal ini pasti akan terjadi.”

“Apakah segenap famili mendukung?”

“Tentu!”

“Oh...” Tidak ada kata-kata lain yang mampu diucapkan oleh janda muda itu karena Bang Lindung segera memeluknya lagi dan mengecup bibirnya lagi. Amat lama, hingga lipstik di bibirnya terhapus.

“Bang Lindung....”

“Apa lagi?”

“Kalau kita menikah nanti, kapan Bang Lindung bersamaku? Tiap malamkah?”

Bang Lindung tidak mampu menyahut. Lelaki itu menunduk, seperti ada sesuatu yang amat berat sedang dipertimbangkan.

“Apakah Bang Lindung akan bersamaku tiap malam?”

“Mungkin tidak!”

“Kenapa begitu?.”

“Karena masih ada Nauli.”

“Oh....” Janda muda itu menghela nafas panjang.

Sepasang manusia itu sudah amat akrab, padahal belum ada ikatan apa pun. Betapa suasananya amat berbeda ketika Bang Lindung masih pacaran dengan Nauli dulu yang masih amat dikekang oleh adat istiadat daerahnya.

Adat istiadat harus membatasi sepasang manusia untuk saling memadu kasih sayang secara terang-terangan, apalagi sampai berlebihan. Dulu, sebelum mereka menikah, kalau Bang Lindung ingin bicara dengan Nauli hanya dari balik dinding setelah malam datang. “Mangkusipi” adalah cara seorang pemuda menemui kekasihnya di malam hari dan dari balik dinding kamar. Bu Nauli di dalam biliknya sendiri, sementara Bang Lindung datang seorang diri kemudian mengetuk perlahan,barulah terjalin berbagai pembicaran dan janji-janji.

Betapa amat nikmat suasana “mangkusipi” bagi dua sejoli yang saling jatuh cinta dan saling merindukan.

Mangkusipi adalah cara pacaran yang kini sudah ditinggalkan orang karena peradaban moderen. Tapi Bu Nauli dan Bang Lindung masih sempat melakukannya. Namun terhadap janda muda itu, tidak ada lagi acara mangkusipi, tapi sudah amat akrab dan terkesan hampir melewati batas-batas kesopanan dan etika. Hampir saja mereka terjerumus dalam dosa.

Akan halnya Bu Nauli seperti mendapat petunjuk dari Tuhan untuk menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, bahwa saat itu hati suaminya telah tergoda oleh perempuan lain dan mereka sedang menikmati kemesraan di tengah persawahan yang sepi.

“Ya,Tuhan. Apakah aku akan kehilangan kasih sayang dari Bang Lindung?,” tangisnya berderai ketika Bu Nauli pulang ke rumah.

“Tidak!. Kau tidak akan kehilangan,Nauli!.” seperti terdengar bisikan gaib.

“Tapi aku sudah melihat sendiri betapa mesranya Bang Lindung dengan perempuan lain!.”

“Suamimu sangat menghendaki adanya keturunan dan itulah yang tidak mampu kau berikan. Kau harus menerima kenyataan pahit ini,Nauli”

“Apakah aku akan sangat menderita?. Apakah hidupku akan penuh dengan derai air mata. Apakah hari-hari ke depan akan penuh dengan duri tajam atau pisau terhunus?”

“Tidak harus begitu,Nauli. Suamimu tetap milikmu, tapi pada hari-hari tertentu dia tidak akan berada di sisimu”

“Bersama perempuan itu?”

“Ya!”

“Oh, rasanya aku tidak mampu untuk menerima keadaan ini.”

“Kau harus mampu, sebab begitulah kodrat seorang perempuan.”

“Oh, hatiku teramat perih!”, Bu Nauli mengusap dadanya sendiri yang terasa amat perih , untuk bernafas pun terasa amat sesak dan dadanya seperti sedang dihimpit seonggok batu gunung.

“Kalau begitu nasibku akan sangat malang.”

“Bersabarlah,Nauli. Berlindunglah pada Tuhan. Suatu saat Tuhan akan memberi petunjuk dan jalan terbaik untuk keluar dari segala kesulitanmu.”

Bu Nauli hanya mampu mengusap dadanya yang amat perih sekali lagi. Dia tidak tahu dari mana datangnya suara gaib itu, apakah suara malaikat atau suara “Tondi” yang menurut kepercayaan didaerahnya selalu melekat pada badan dan jasad manusia.

“Kau masih bersyukur sebagai guru, tidak mempunyai anak, tapi didepan kelas kau masih memiliki anak-anak yang sangat senang dan sayang kepadamu. Jangan menangis di depan murid-muridmu, teruslah bacakan puisi untuk mereka. Teruslah mendongeng untuk mereka. Bukankah kau belum pernah mendongeng tentang Si Gale-Gale dan Sampuraga kepada anak-anak itu?. Bukankah kau akan mengajar anak-anak itu membawakan tarian Morah-Morah, Parakut. Sipajok, Patam-patam dan banyak lagi?. Mereka semakin senang dan sayang kepadamu, seperti mereka menyayangi inangnya sendiri. Sekali lagi jangan menangis di depan kelas,Nauli. Hati mereka akan ikut sedih dan hancur.”

Bu Nauli menghela nafas panjang mendengar bisikan itu.

“Ingat,Nauli. Anak didikmu selalu ingin dekat denganmu. Kau ingat muridmu yang bernama Ronggur?”

“Murid yang sudah tidak punya ibu lagi?”

“Benar!. Dia ingin selalu berada di bawah ketiakmu!”

Bu Nauli hanya termenung. Nauli ingat murid-muridnya satu demi satu. Semua ingin dekat dengannya, terutama murid perempuan bernama Ronggur.

Di kejauhan terdengar alunan suara “manduda” atau menumbuk padi dengan losung yang dilakukan secara marsitolu atau bertiga yang terkadang dilakukan marsiopat atau berempat.

Manduda umumnya dilakukan oleh para perempuan karena sebagian masyarakat Madina menganggap kaum laki-laki tidak sepantasnya manduda dengan menggunakan indalu. Justru manduda yang dilakukan perempuan menimbulkan alunan irama yang enak didengar.

***

A

IR MATA berderai lagi ketika Bang Lindung pulang dengan bersiul-siul menyanyikan lagu Oh Rura Silindung. Tapi langkahnya segera tertegun ketika di ruang depan rumah dia menemui Nauli sedang termenung, ketika dia melihat ada derai air mata mengalir di pipi isterinya.

“Nauli!,” sapa lelaki itu dan memandang wajah Nauli yang amat murung.

Nauli tidak menyahut. Hanya derai air matanya yang terus mengalir semakin deras.

“Kau menangis?”

Nauli tetap diam. Air matanya memang tidak terbendung, seperti air bah sungai Aek Nauli yang melimpah hingga kemana-mana. Bang Lindung menghampiri Nauli.

“Apa yang kau tangiskan?. Adakah muridmu yang bandel?”

Nauli tetap saja tidak menyahut. Lelaki di sisinya mengusap rambutnya dengan kasih sayang.

“Kenapa harus menangis, Nauli?. Aku sudah tidak sabar untuk meneguk kopi hangat yang kau buat!”

“Mulai hari ini tidak ada lagi kopi hangat!”

“Bah!. Kenapa?. Kenapa?.”

“Seorang isteri yang hatinya hancur tidak akan dapat membuatkan kopi lagi untuk suaminya.” suara Nauli tinggi.

“Bah!. Kenapa begitu?”

“Tanya dirimu sendiri, pasti Bang Lindung tahu jawabnya!”

“Demi Tuhan, aku tidak tahu,Nauli. Adakah sesuatu yang sangat menyakitkan hatimu hari ini?”

“Ya, ada!. Perempuan yang ada di mobil Bang Lindung siang tadi. Itulah yang menghancurkan hatiku. Orang menyebutnya pendatang dan pemilik warung sembako. Aku sudah tahu!”

“Hmmm,” Bang Lindung bergumam. Dia duduk di sisi Nauli dan berusaha membelai pundaknya.

“Tidak usah sentuh lagi kalau memang sudah ada niat di hati Bang Lindung untuk kawin dengan orang lain.”

“Maafkan aku,Nauli. Kalau aku harus menikah lagi karena banyak famili memang menghendaki aku punya keturunan.”

“Lalu banyak famili juga meminta agar aku dilemparkan ke sungai sebagai benda busuk?”

“Tidak!. Kau tetap sebagai isteriku,Nauli. Aku tetap cinta kepadamu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.”

“Tidak mungkin!”

“Kenapa tidak mungkin?. Kita sudah hidup bersama hampir sepuluh tahun sebagai suami isteri dan tidak pernah ada gempa dahsyat. Aku sudah tahu benar pribadimu,kesetiaanmu, kasih sayangmu. Tapi aku sungguh sangat ingin punya anak. Hanya keturunan!. Yang kucari tidak lebih dari itu.”

Bu Nauli menangis lagi.

“Demi Tuhan, aku bersumpah, kau tetap isteriku yang kucintai. Aku akan selalu berada di sisimu.”

“Lalu setelah lahir seorang anak dari rahim perempuan itu lambat laun aku akan terbuang ,bukan?”

“Demi Tuhan, tidak!”

Bu Nauli tidak mampu menepis ketika suaminya mengecup keningnya dan kecupan di kening itu adalah pertanda cinta yang amat besar pada dirinya.

“Kalau aku menikah lagi tidak hanya sekedar ingin keturunan, tapi karena ingin mengangkat martabat perempuan itu.”

“Apakah perempuan itu pilihan keluargamu?”

“Bukan!. Justru sanak saudaraku menginginkan aku kawin dengan seorang gadis lulusan pesantren, tapi aku memilih seorang janda.Karena ingin melindungi dirinya.”

“Kenapa harus melindungi dirinya?. Apakah seekor harimau ganas akan menerkam dan mencabik-cabik dirinya?”

“Bukan harimau,tetapi sesama manusia yang tidak bertanggung jawab. Dia seorang janda, cantik dan hidup sendiri. Lelaki selalu datang menghampiri. Dia selalu dalam ketakutan. Dia membutuhkan perlindungan.”

Panjang lebar Bang Lindung menuturkan tentang seorang janda cantik yang selalu duduk di sisinya dalam mobil tua itu ketika berbelanja sembako ke kota. Namanya Tiurma, berasal dari desa kecamatan lain, tidak jauh dari aliran Sungai Aek Batang Gadis. Suaminya yang bekerja sebagai pengawas proyek meninggal karena kecelakaan ketika membangun jembatan dekat Muara Sipongi.

“Aku menyadari nasibku yang malang dan suami harus menikah lagi....” terdengar suara Nauli di antara isaknya.

“Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu, Nauli.”

“Tidak ada jalan lain aku harus merelakannya.”

“Syukurlah kalau kau rela.”

“Tapi...” Nauli terisak lagi.

“Tapi kenapa?. Keluarkan semua duri dalam dadamu, Nauli!”

“Aku tidak rela kalau perempuan yang akan menjadi isterimu tidak jelas asal-usulnya.”

“Tiurma sudah menceritakan semuanya,” Bang Lindung menyebut nama perempuan itu.

“Baikkah perempuan itu?”

“Tentu!. Justru dia ingin mencium tanganmu sebelum kami menikah. Bahkan dia ingin bersujud untuk mencium ujung kakimu memohon kerelaan hatimu,Nauli. Bukankah itu pertanda kerendahan hatinya?. Sebab dia tidak ingin dituduh merebut suami orang. Tiur tidak mau dianggap merenggut kebahagiaan orang lain.Dia ingin bersahabat, bahkan ingin dianggap sebagai saudara denganmu, Nauli.”

Perlahan sekali Bang Lindung menyeka air mata yang mengalir di pipi Bu Nauli.

“Apakah dia solat?”

“Tentu, seperti halnya kau!,” Bang Lindung terpaksa membohong, karena Tiurma tidak seperti Bu Nauli. Tiurma hampir tidak pernah bersujud. Tiurma terlalu jauh dari Tuhan.

Sekali lagi Bang Lindung menyeka sisa air mata di pipi Bu Nauli, namun wajahnya tetap tertunduk.

“Sebagai tanda ingin mengikat tali persaudaraan, bila dia hamil kelak kau diminta untuk menjahitkan popok, gurita dan keperluan bayi lainnya. Maukah kau membuatkannya?. Tiur sudah berikrar kalau dia melahirkan anak, juga akan menjadi anakmu.”

Bu Nauli tetap menunduk.

“Maukah kau memenuhi pernmintaannya untuk mengikat tali persaudaran denganmu?”

Nauli tidak mampu menyahut.

“Maukah kau menjalin persaudaraan dengannya?,” desak Bang Lindung.

“Kalau Bang Lindung tetap menyayangi aku, uluran tangan itu akan kuterima.”

“Tentu,Bu Nauli. Aku akan tetap menyayangimu. Demi Tuhan, aku tetap mencintaimu.”

Bu Nauli mengangkat wajahnya.

“Maukah kau membuatkan popok bayi kalau Tiurma hamil nanti?”

Bu Nauli mengangguk lirih.

“Terima kasih, Nauli!,” lelaki itu mengecup bibir isterinya dengan kasih sayang.

Bu Nauli tidak lagi terisak.

“Satu yang kipinta, Bang Lindung!”

“Apa?”

“Sebelum terlanjur menjadi isterimu, selidiki baik-baik apakah dia benar-benar perempuan soleha. Selidiki apakah benar dia seorang janda kematian suami dan masa iddahnya sudah berakhir.”

“Tentu!”

“Saat ini kemajuan zaman banyak membuat perempuan soleha menggadaikan harga dirinya sebagai perempuan. Seseorang menjadi janda pasti banyak sebab-sebabnya, mungkin kematian suami karena kecelakaan, mungkin karena suami kawin lagi sementara perempuan itu tidak mau di madu. Perempuan yang meminta cerai karena suaminya gemar mabuk-mabuk juga banyak. Perempuan harus berpisah dari suami karena suami gemar berjudi juga ada dimana-mana. Perempuan memilih jadi janda karena suami sering memukul dan selingkuh juga tidak kurang banyaknya. Perempuan yang jadi janda karena suami masuk penjara juga selalu terjadi. Aku tidak ingin calon maduku adalah janda seperti itu.”

“Tiurma bukan seorang perempuan pembohong. Dia menjadi janda karena kematian suaminya yang tewas akibat kecelakaan ketika membangun jembatan di kawasan Muara Sipongi.”

“Ingatlah, Bang Lindung. Jangan sampai terjadi suaminya masih hidup lalu dia menjadi janda karena perceraian. Siapa tahu suatu saat cinta mereka bersambung kembali dan pada saat Bang Lindung tidak di rumah, bekas suaminya datang lagi dan cinta mereka terjalin kembali!”

“Tidak mungkin hal seperti itu akan terjadi, Nauli. Aku sudah tahu benar pribadinya. Suaminya sudah lama jadi santapan cacing-cacing tanah.”

Tidak ada jalan lain, Bu Nauli harus merelakan suaminya kawin lagi karena demi kehadiran seorang anak. Dan itulah yang tidak dapat diberikan Bu Nauli meski pun segala cara telah ditempuh, mulai dari berobat ke dokter ahli hingga ke dukun keturunan Batak kelahiran Pusuk Buhit di Pulau Samosir.

***

T

IDAK ADA upacara “manulak sere” atau pemberian emas kawin yang biasa diartikan sebagai uang kasih sayang, tidak ada uang hangus sebagai bantuan untuk melengkapi calon pengantin perempuan untuk barang bawaan atau biaya pesta. Tidak ada acara pembagian perkayaan atau kain bugis kepada tutup uban atau kepada nenek, kepada Upah tulang untuk saudara ibu, untuk tando parkahanggian serta untuk amang tua dan juga tidak ada pemberian anak tompas bona bulu dan seterusnya.

Beda dengan saat Bu Nauli menikah dengan Bang Lindung dulu awalnya dilakukan acara “mangaririt boru” atau menanyakan si gadis apakah sudah bertunangan dengan orang lain. Usai acara itu ada tahapan lain, yakni “Manguso boru” untuk merundingkan berbagai hal berkaitan dengan perkawinan seperti besarnya adat yang harus dipikul calon suami dan banyak lagi.

Tidak ada acara apa pun pada pernikahan dengan Tiurma. Semua itu karena permintaan calon isteri Bang Lindung karena merasa dirinya adalah seorang janda sehingga pernikahan itu cukup dilaksanakan amat sederhana di kantor urusan agama . Tapi Nauli menilai amat janggal. Pernikahan itu terkesan diam-diam dan ditutup-tutupi. Padahal Nauli sudah siap untuk menerima kehadiran perempuan bernama Tiur sebagai madunya. Dia sudah siap andainya Tiurma datang bersujud di depannya dan mencium ujung kakinya.

***

A

NDAINYA tidak ada Ronggur, tidak ada Si Taing, tidak ada Si Lolom, tidak ada Si Pintor ,anak-anak didiknya di sekolah itu, pasti Bu Nauli akan selalu menitikkan air mata karena teringat nasibnya yang malang sebagai seorang isteri yang harus dimadu.

Hati Bu Nauli kembali sejuk bila sedang menghadapi lebih dari tiga puluh lima muridnya ,tidak perduli pakaian seragam sekolah mereka sudah buram, tidak perduli sepatu mereka sudah robek dan ada bekas kudis di kaki murid-murid itu.

Tidak hanya di sekolah, Bu Nauli menghadapi murid-muridnya. Ketika lonceng tandanya pelajaran berakhir, anak-anak itu tidak segera keluar kelas.

“Kami mau main-main di rumah ibu!,” ujar Ronggur.

“Kami mau menanam bunga di halaman rumah ibu!”, sambut Si Lolom.

“Kami mau menemani ibu!,” sambung Si Taing.

“Kami juga ingin membantu ibu memasak.”

Bu Nauli hanya tersenyum menghadapi anak-anak didiknya. Kanak-kanak yang amat polos dan lugu itu benar-benar menghibur hatinya yang sedang gundah karena suami bersama perempuan lain. Bu Nauli tidak mampu menolak ketika kanak-kanak itu tidak mau segera pulang ke rumahnya, tapi ikut pulang bersama ibu guru mereka.

Di halaman rumah itu Bu Nauli membiarkan belasan anak-anak didiknya menangkap kupu-kupu atau memetik jambu air dan mangga. Sebagian menyapu halaman dan sebagian lagi kanak-kanak menanam bunga. Yang membaca majalah juga tidak dilarang. Kanak-kanak itu amat senang bersama ibu guru mereka yang baik hati dan selalu mengajari mereka membaca puisi atau mendongeng.

Bila matahari sudah condong ke barat dan langit berwarna merah tandanya senja sudah menyungkup desa di kaki bukit itu, kanak-kanak itu mohon diri untuk pulang. Hanya tinggal seorang yang belum ingin beranjak.

“Sudah sore, Ronggur. Sebentar lagi malam tiba, pulanglah!,” terdengar suara Bu Nauli lembut.

“Ronggur tidak ingin pulang!,” sahut bocah perempuan itu.

“Kenapa?” Nauli menghampiri dan mengusap rambutnya dengan kasih sayang.

“Ronggur mau tidur di sini, bersama Bu Nauli!”

“Kenapa harus tidur di sini?”

“Karena di rumah tidak ada ibu lagi!”

Kasihan bocah itu yang amat mendambakan seorang ibu sementara ibu kandungnya sudah meninggal pada saat akan melahirkan.

Bu Nauli berjanji akan berdongeng tentang Namora Pandai Bosi dan Si Baroar yakni tentang asal-usul marga Lubis dan Nasution. Juga dongeng tentang Puteri Si Sambilan Jeges yang putus asa dan bunuh diri dengan melompat ke dalam ombik atau rawa-rawa.

“Pulanglah, Ronggur. Tidurlah di rumahmu. Kakakmu pasti menantikan kepulanganmu. Nanti ibu akan meminta kepada kakakmu untuk mendongeng. Kamu senang mendengar dongeng tentang bidadari yang banyak menolong bocah-bodah cilik,bukan?”

“Tentu senang sekali!”

“Nah, pulanglah. Ibu akan meminta kepada kakakmu untuk mendongeng dan juga memasak ikan arsik yang enak seperti masakan almarhumah ibumu”

“Terima kasih,Bu Nauli!”

Bocah perempuan itu melangkah pulang dan Nauli terpaksa mengantarnya. Sepanjang jalan, jari-jemari tangannya senantiasa berpegang pada tangan Bu Nauli. Betapa gadis cilik yang sudah pintar membaca puisi itu amat menginginkan tempat berpegang yang tegar. Betapa dia amat merindukan kasih sayang seorang ibu. Dan bocah itu mendapatkan semuanya dari Bu Nauli, guru di sekolahnya.

***

B

ILA malam sepi dan dingin, Bu Nauli hanya memeluk guling dan menyelimuti seluruh tubuhnya. Tidak ada kawannya untuk berkata-kata. Dia hanya berbicara kepada angin yang berhembus giris. Dia hanya berkata-kata dengan bintang-bintang dan bulan purnama di langit biru. Bu Nauli hanya sendiri, sebab Bang Lindung sedang menikmati saat-saat mesra bersama isteri yang baru dinikahi dan berharap dari perempuan bernama Tiurma itu akan lahir satu atau dua anak.

“Bang Lindung...,” terdengar bisik Tiur yang berbaring di sisi Bang Lindung. Amat manja perempuan itu menarikkan tangan Bang Lindung untuk memeluknya.

“Hmmm,” Bang Lindung hanya bergumam lirih.

“Peluk aku yang erat!”

Bang Lindung mendekapnya. Sepasang suami itu tenggelam dalam kemesraan dan kehangatan.

“Aku amat bersyukur kepada Tuhan.”

“Karena perkawinan kita?”

“Ya!. Karena aku tidak lagi dikejar-kejar ketakutan. Sekarang sudah ada seseorang yang melindungiku.”

“Aku akan melindungimu tiap saat.”

“Selama ini hampir tiap saat selalu ada saja yang datang.”

“Itu artinya kau cantik,Tiur!”

“Akh,tidak usah terlalu memuji.”

“Sungguh!. Kau cantik dan itulah yang membuat banyak orang tertarik padamu.”

“Sungguh, selama ini, sebelum kehadiran Bang Lindung, tiap saat aku merasa amat ketakutan. Kapankah akan hadir seseorang yang melindungi diriku?. Dan sekarang lelaki perkasa itu sudah ada di sisiku untuk melindungi diriku.”

“Dan kau hanya milikku,Tiur. Tidak seorang pun yang boleh menyentuh dirimu. Bahkan berkata diluar batas kewajaran, akan berhadapan dengan aku. Aku akan mematahkan batang lehernya atau memecahkan kepalanya.”

“Aku bangga pada Bang Lindung.”

Tiur membiarkan tubuhnya dibelai Bang Lindung, juga membiarkan tubuhnya remuk dalam dekapan lelaki yang kini sudah menjadi suaminya meski pun perkawinan itu berlangsung amat sederhana tanpa adat kebesaran Mandailing. Bahkan tanpa mengundang famili dan jiran tetangga.

“Hidup bagi seorang perempuan terkadang penuh dengan cobaan,” terdengar lagi suara Tiur perlahan.

“Cobaan?”

“Cobaan ketika kematian suami lalu mengalami kesedihan yang dalam dan status janda yang melekat terkadang menyebabkan kehidupan seorang perempuan penuh dengan liku-liku, was-was, tidak kepastian dan juga ketakutan.”

“Kenapa penuh rasa was-was dan ketidak pastian?,” Bang Lindung menatap sepasang mata isterinya yang indah.

“Ya!. Bayangkan, banyak lelaki selalu hadir menggoda, padahal isteri dan anaknya sudah ada. Bahkan lelaki yang isterinya dua juga datang menghampiri.”

“Hmmm,”Bang Lindung hanya bergumam.

“Bagaimana pula kalau yang menghampiri adalah laki-laki bringas yang anaknya selusin?. Seorang janda terkadang harus sudah siap dicaci maki atau dilempar dengan batu atau wajahnya dilempar dengan air cabe kalau dia menerima sembarang lelaki.”

“Aku mengerti.”

“Hidup sebagai janda memang terlalu pahit, tapi syukurlah status janda tidak lagi melekat pada diriku.”

Tidak ada kata-kata lagi yang diucapkan Tiurma dan Bang Lindung karena mereka segera hanyut dalam kemesraan dan kehangatan sebagai suami isteri yang baru saja diikat oleh pernikahan. Tidak ada getar-getar bibir meski pun hanya untuk membaca kalimat-kalimat doa bersenggama seperti yang diajarkan Islam.

Tiurma memang tidak seperti Bu Nauli yang selalu dekat dengan Tuhan. Tiurma tidak seperti Nauli yang selalu mengenakan jilbab dan busana muslimah. Ujung rambut Nauli tidak pernah terlihat oleh orang lain, apa lagi anggota tubuh yang disebut aurat, hanya Bang Lindung sebagai suaminya yang pernah melihatnya.

Bu Nauli adalah seorang perempuan soleha yang selalu menjaga dan memelihara martabat diri dan kehormatan keluarga. Bu Nauli tidak pernah melalai-lalaikan sholat bila sudah terdengar suara azan dari puncak menara masjid. Bu Nauli selalu ingat sabda nabi, bahwa wanita itu adalah tiang negara.Baik wanita, baiklah negara. Bila rusak wanita maka hancurlah negara.

Bahkan dalam cara memandang juga diingatkan Rasul, bahwa pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Karena itulah wanita haruslah memelihara penglihatannya. Alangkah indahnya sabda Rasul yang mengatakan, bila seorang isteri senantiasa melaksanakan sholat dan puasa seperti yang diwajibkan, serta menjaga kehormatan dirinya kemudian patuh kepada suaminya, maka tempatnya di akhirat nanti adalah sorga. Bukankah Rasululullah juga berkata, bahwa wanita soleha itu lebih baik dari seribu lelaki yang tidak soleh?.

Tiurma sama sekali tidak seperti wanita soleha dalam semua hal. Lihatlah, ketika bergaul intiem dengan suami, tidak pernah sekali pun membaca doa. Lihatlah setelah berhubungan badan dengan suami dia tidak pernah mandi hadas. Apa lagi dalam hal solat, hampir tidak pernah merasa dirinya dekat dengan Tuhan. Dahinya tidak pernah dibasahi air wudhuk. Dahinya tidak pernah untuk bersujud. Apa lagi membaca Qur'an, sama sekali tidak pernah. Betapa perempuan itu teramat jauh dengan Tuhan.

Bila pergi keluar rumah membiarkan rambutnya tergerai dipermainkan angin dan juga dikotori debu. Beda dengan Bu Nauli yang senantiasa mengenakan jilbab sehingga tidak pernah debu melekat pada ujung rambutnya.

Tiurma memang belum lama menjadi seorang muslimah, sebab sebelumnya gadis molek kelahiran Tarutung itu lahir dari rahim seorang ibu beragama non muslim . Pergaulannya yang amat erat dengan gadis-gadis muslimah menyebabkan dia tertarik untuk memeluk agama Islam kemudian disahadatkan di Masjid Hidayah. Tapi hanya sampai sebatas itu, padahal namanya sudah menjadi nama seorang muslimah, yakni Tiurma Fauziah yang bermakna wanita soleha yang memperoleh kemenangan.

Itulah kesalahan para pemuka Islam yang tidak memberikan bimbingan atau tuntunan bagi mereka-mereka yang baru memeluk Islam, padahal untuk menarik mereka menjadi muslim tidaklah mudah. Seharusnya setelah seseorang menjadi muslim lalu diberikan tuntunan dan bimbingan agar mereka menjadi muslim yang taqwa, yang mengerti kaidah-kaidah Islam. Bila setiap mualaf diberikan siraman rohani pasti kecintaannya terhadap Islam semakin besar dalam hati dan jiwanya, bukan Islam asal-asalan, bukan Islam ka-te-pe.

Tanpa tuntunan dan bimbingan dari para pemuka Islam, pasti para mualaf itu tidak mengerti bagaimana menutup aurat, tidak mengerti bagaimana menjaga marwah perempuan, tidak mengerti fadilah amal, tidak mengerti silaturrahmi. Tanpa siraman rohani dari para ulama, pasti mereka yang baru memeluk Islam, tetap saja jauh dari Tuhan, karena tidak mengerjakan sholat, tidak berpuasa pada bulan ramadhan, tidak mengerti zakat, tidak mengerti zikir dan salawat, bahkan perempuan yang baru memeluk Islam tetap saja mengumbar aurat. Seperti halnya janda cantik kelahiran Tarutung itu, tanpa bimbingan tentang iman, tetap saja dia lebih senang dipanggil Tiurma daripada nama Fauziah. Tetap saja dia tidak mengerti mandi hadas, apalagi solat sunat.

***

M

ESKI PUN status janda sudah tidak melekat pada dirinya, meski pun Tiurma selalu hanyut dalam kemesraan dan kehangatan bersama Bang Lindung, tapi sesekali kenangan masa silam selalu membersit kembali di benaknya.

Tiurma tidak akan pernah lupa dari kenangan masa silam yang teramat manis tapi sekali gus juga teramat pahit ketika remaja dulu. Usianya masih tujuh belas tahun ketika seorang lelaki gagah selalu menghampirinya dan lelaki itu adalah Pandapotan, yang biasa disapa oleh warga desa itu dengan Bang Dapot.

Tiurma tidak menolak ketika Bang Dapot mengajaknya menikah dan melamarnya. Kenapa harus menolak kalau Bang Dapot adalah seorang lelaki gagah dan sawahnya cukup luas serta sapinya tidak kurang dari selusin?. Bang Dapot adalah seorang warga yang terpandang di desanya yang terletak tidak jauh dari Sungai Aek Godang. Bang Pandapotan adalah seorang warga yang terpandang di desa itu.

Bulan madu yang amat manis dinikmatinya bersama Bang Dapot. Hari-hari yang indah dilalui Tiur meski pun Bang Dapot saat itu sudah berusia 35 tahun dan Tiur baru setengahnya. Bang Dapot amat senang dan selalu memuji kalau Tiur memasak arsik ikan mas.

Tapi siapa menduga, hanya dua minggu setelah perkawinannya dengan Bang Pandapotan, seorang perempuan dengan menggiring tiga orang anak yang masih kecil menyerangnya dan melontarnya dengan batu?. Ya, Tuhan. Bang Dapot ternyata sudah punya isteri dan anak.

Tidak hanya itu, hanya seminggu setelah kepala Tiur berdarah terkena lemparan batu, seorang perempuan lainnya juga datang dan melontarkan kata-kata keji. Tidak hanya melontarkan kata-kata keji, tapi juga melemparkan cabai yang sudah digiling halus ke muka Tiur yang dianggap telah merusak rumah tangga orang lain. Perempuan bringas itu ternyata isteri kedua Bang Pandapotan.

“Tidak kusangka aku dinikahi Bang Dapot sebagai isteri ketiga,” Tiurma selalu mengeluh panjang ketika ingat nasibnya yang malang.

Untunglah setiap isteri pertama atau kedua datang melabrak, Bang Pandapotan selalu muncul untuk melerai dan membawa isteri-isterinya pulang.

“Hidupku penuh linangan air mata,Bang Lindung,” Tiur selalu berkata begitu kepada suaminya sekarang.

“Itulah tandanya nasib seseorang selalu berada di tangan Tuhan. Sukar diramalkan apakah seseorang akan hidup berbahagia atau sebaliknya,” sahut Lindung ketika mereka berbaring.

“Nauli sangat berbeda dengan isteri-isteri Bang Dapot yang kelihatan seperti harimau lapar. Kak Nauli adalah seorang isteri yang lembut. Wajahnya selalu cerah, seperti tidak pernah ada kesedihan, tidak pernah ada persoalan berat, apalagi yang namanya angkara murka dan kebencian terhadap sesama, tidak pernah terlihat pada sepasang matanya.”

“Dia seorang yang taat,tapi sayang dia seorang perempuan tanpa anak!”

“Aku sangat senang padanya, aku sangat kagum dan aku sangat menghormati Kak Nauli. Sukar dicari seorang perempuan seperti itu.”

Sesaat Tiur menekur, tapi sebentar kemudian sepasang bibir tipis itu bergetar lagi melahirkan kalimat demi kelimat yang berasal dari dasar hatinya yang paling dalam.

“Hidup seorang perempuan terkadang selalu dipenuhi dengan perasaan was-was dan ketakutan. Aku pernah diserang dengan lemparan batu dan cabai oleh isteri-isteri Bang Dapot. Suatu saat nanti mereka pasti akan datang dengan pisau atau parang untuk merobek perutku. Rasanya aku sudah bersiap-siap untuk mati. Mati di tangan sesama perempuan dan itulah yang paling menyedihkan.”

“Aku jadi amat kasihan kepadamu,Tiur.”

“Itulah sebabnya bila terkadang terdengar ketukan pintu aku selalu lari dari pintu belakang, padahal yang datang adalah kakak-kakakku. Begitulah nasib perempuan selalu dalam keadaan was-was dan ketakutan.”

“Dan sekarang tidak dalam ketakutan lagi,bukan?” terdengar suara Bang Lindung dan masih memeluk tubuh indah itu.

“Ya, ketakutan itu tersingkir jauh-jauh karena Kak Nauli adalah seorang perempuan yang hatinya selembut sutera.”

Bang Lindung hanya tersenyum.

“Aku tidak pernah menduga, bahwa di sisi Bang Pandapotan tidak lebih dari tiga tahun karena kematian merenggutnya ketika bekerja di proyek pembangunan jembatan di Muara Sipongi.”

“Takdir Tuhan telah terjadi atas umat-Nya.”

Tidak ada lagi terdengar kata-kata karena keduanya kemudian berpelukan dan tidur lelap, sehingga pasangan suami isteri itu tidak merasakan dinginnya malam.

****

S

EORANG isteri bernama Tiurma membiarkan Bang Lindung tidur lelap dan mimpi indah setelah mereka menikmati saat-saat indah dan hangat sebagai suami isteri, apa lagi masih dalam suasana bulan madu. Tidur lelap pun dengan berdekapan, sehingga tidak merasakan dinginnya malam meski pun hujan sedang mengguyur bumi.

Tapi tidak mudah bagi Tiur untuk memejamkan mata. Meski pun sedang menikmati bulan madunya yang kedua, tapi teramat sulit baginya untuk tidur lelap. Bayangan masa silam selalu muncul kembali di benaknya.

Tiur mengaku kepada Bang Lindung , bahwa Bang Pandapotan meninggal akibat kecelakaan ketika bekerja di proyek pembangunan jalan di Muara Sipongi, padahal sebenarnya mati karena terbunuh di tangan warga desa lainnya. Tiurma adalah sosok pembohong nomor wahid.

Masih jelas melintas di benaknya bayang-bayang wajah suaminya yang selalu murung karena usahanya menyewakan selusin sapi-sapi untuk membajak sawah mulai suram. Dari hasil menyewakan selusin sapi untuk membajak sawah itulah Bang Dapot dapat memberi nafkah tiga orang isterinya. Juga dari hasil ladangnya.

Tiga orang isteri tidak pernah mengeluh karena nafkah yang tersendat. Dari hasil menyewakan sapi-sapi itu cukup untuk nafkah ketiga isterinya. Bang Dapot tiap hari pulang dengan besiul-siul.

Di wajahnya tidak pernah tampak ada kesusahan atau kesulitan.

Kenapa harus susah kalau nafkah isteri selalu cukup?.

Tapi rezeki seseorang ada kalanya seperti hujan tercurah dari langit, namun sesekali menghadapi kemarau panjang. Dan kemarau itu pun harus dirasakan oleh Bang Dapot.

Seorang warga desa di pinggiran Sungai Aek Godang itu, Haji Sulaiman, membeli traktor mini untuk disewakan kepada pemilik ladang. Tentu saja para petani untuk mengolah ladangnya lebih senang menyewa traktor itu daripada menyewa sapi milik Bang Dapot. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu tidak seorang pun yang menyewa sapi itu.

Bang Dapot merasa rezekinya terganjal oleh Haji Sulaiman. Untuk menafkahi tiga orang isterinya, Bang Dapot merasa pening kepala.

Tentu saja Bang Dapot merasa tidak senang dengan kehadiran traktor mini yang dianggap telah mematikan rezekinya. Bang Dapot sangat marah. Dia nekad untuk membakar traktor milik Haji Sulaiman itu.

“Traktor itulah yang menyebabkan aku jatuh melarat. Traktor itu harus dibakar!. Traktor itu harus jadi abu!,” gerutu Bang Dapot ketika keluar dari rumah Tiur dengan membawa bensin dan korek api.

“Jangan,Bang!. Jangan!. Jangan bakar traktor itu!,” teriak Tiur dan mengejar suaminya.

“Biar!. Biar kumusnahkan traktor itu!. Biar jadi abu. Aku akan mati kelaparan kalau traktor itu masih ada!”

Berkali-kali Tiurma mencegah suaminya untuk tidak pergi dengan membawa bensin, tapi lelaki perkasa itu sudah tidak dapat dicegah lagi.Kemarahan sudah berkobar dalam dadanya. Angkara murka sudah tidak terbendung lagi dalam hatinya. Darahnya gemuruh. Dia merasa kehadiran traktor yang amat laris disewa para petani telah mematikan mata pencahariannya. Pintu rezekinya benar-benar tertutup sementara tiga isterinya tetap menuntut nafkah.

Dengan membawa bensin dan korek api, lelaki yang sedang dikuasi angkara murka dan iblis itu mengintip kapan waktunya operator traktor itu istirahat untuk makan siang.

Hanya sesaat setelah traktor itu ditinggal di tengah ladang karena pengendaranya makan siang dan solat zuhur, Bang Pandapotan amat berhati-hati menyiram benda bermesin itu dengan bensin. Sesaat kemudian api pun menyala dan asap hitam mengepul ke langit dari tengah perladangan itu. Pada saat api menyala itulah terdengar ledakan keras yang mengundang kedatangan warga untuk melihat api yang berkobar.

Masih ada seorang warga yang sempat melihat Bang Dapot melarikan diri ke arah Sungai Aek Godang.

“Tolong!. Tolooooong!”. teriakan seorang warga di tengah perladangan itu juga mengundang warga lainnya.

“Kebakaran!. Kebakaran!!”

Belasan warga segera datang. Mereka sangat marah menyaksikan tindakan anarkhis yang dilakukan oleh Bang Dapot. Tentu saja warga lebih simpatik kepada Haji Sulaiman yang selalu jadi imam di masjid daripada terhadap Bang Pandopatan yang tidak pernah sekali pun menginjakkan kakinya di rumah ibadah itu. Apa lagi kalau ada warga yang meninggal, pasti yang memimpin pelaksanaan fardhu kifayah adalah pemilik traktor itu. Juga dalam hal melaksanakan berbagai adat mulai dari menyambut kelahiran bayi, pernikahan, mengkhitankan anak dan kenduri lainnya, pasti Haji Sulaiman adalah pemegang peran utama.

“Itu orang yang membakar!. Kejaaar!,” teriak salah seorang warga dan menunjuk ke arah Sungai Aek Godang dan melihat Bang Dapot sedang berlari menghindar, menghilangkan jejak. Warga yang segera datang dari berbagai penjuru segera mengejar dan mengepung lelaki bringas itu.

Seorang warga dengan parang terhunus berusaha menebas batang leher Bang Dapot. sementara belasan warga mengepung. Lelaki yang baru saja bertindak anarkhis itu merasa dalam keadaan terdesak. Tanpa berpikir panjang dia menusuk warga yang berusaha menangkapnya. Warga yang malang itu tersungkur berlumur darah.

Seorang korban telah tersungkur, tapi Bang Dapot tidak mampu menghindar karena warga yang mengepungnya. Dalam waktu sesaat saja Bang Pandapotan tidak dapat berkutik lagi.

“Patahkan lehernya!,” teriak salah seorang.

“Pecahkan kepalanya!”, sambut yang lain.

“Tusuk perutnya,biar mati!”

“Cincang saja!”

“Jadikan sate!”

“Bakar hidup-hidup biar jadi abu!”

“Buang mayatnya ke sungai!”

Teriakan-teriakan itu terus terdengar. Orang-orang yang membawa parang , pisau, kapak dan pacul segera menghajar tubuh lelaki itu hingga babak belur, hingga dari hidung keluar darah, juga dari kepalanya mengucur darah segar.

Lelaki itu telah menjadi korban kemarahan belasan warga yang menyaksikan saudara mereka terbunuh. Itulah yang membuat warga desa itu menghakimi lelaki itu. Tidak ada ampun lagi bagi lelaki itu yang telah membakar traktor milik Haji Sulaiman dan melukai seorang warga desa hingga tersungkur mencium bumi. Bang Dapot benar-benar menjadi korban kemarahan massa. Pukulan bertubi-tubi diarahkan pada dirinya, hingga dia roboh. Setelah lelaki itu tidak berdaya lalu jasadnya dilempar ke Sungai Aek Godang. Jasad lelaki itu tenggelam dan dihanyutkan air hingga ke hilir, hingga ke muara dan mungkin juga hingga ke tengah laut.

Sejak saat itulah Bang Dapot tidak pernah pulang ke rumah Tiur. Ke rumah isteri-isterinya yang lain juga tidak pernah muncul sama sekali. Seminggu kemudian orang-orang menemukan jenazah seseorang di muara Sungai Aek Godang. Namun jenazah itu sudah rusak sama sekali karena menjadi santapan buaya yang amat ganas sehingga tidak dapat dikenali lagi. Warga desa itu menganggap jenazah itu adalah Bang Pandapotan yang sudah menjadi korban amuk massa dan itu pun sebagai akibat tindakan Bang Dapot sendiri.

Tragedi yang menimpa Bang Dapot amat memukul batin Tiur dan dua isteri lainnya. Sejak itu tiga orang perempuan telah menjadi janda sekali gus karena suami mereka mati di tangan massa yang sangat marah.

Sejak saat itu pula warga yang bermukim di desa sekitar Sungai Aek Godang itu memandang Tiur amat sinis. Tiur dianggap ikut bersekongkol dengan suaminya dan dikucilkan masyarakat. Dimana saja, pasti terlihat wajah-wajah sinis yang memandangnya. Bahkan banyak kenalan dan handai tolan tidak menyahut atau berpaling dan menghindar ketika Tiur menyapanya.

“Giotna disumbayang hajat kon do alai sude na mombaen na so pade di Mandailing on !” Itulah hujatan para tetangga yang ditujukan kepada Tiurma yang maknanya agar yang berbuat tidak baik di kawasan Madina mendapat murka Tuhan.

Tiurma bagaikan tidak punya kenalan lagi sejak saat itu. Dia bagaikan sebatang kara yang tidak dipedulikan orang lagi. Dia seakan hidup di dunia ini seorang diri, tidak seorang pun yang sudi menyapa.

Itulah sebabnya Tiur menjual perhiasan emas yang selama ini melekat pada dirinya. Dia pindah ke desa lain dan memilih tinggal di sebuah desa di kaki bukit hingga akhirnya bertemu Bang Lindung yang kemudian menjadi suaminya. Perempuan itu membuka usaha sembako dan langganannya cukup banyak.

Di desa itu, di sisi Bang Lindung, Tiur benar-benar mendapatkan ketenteraman dan kesejukan. Seperti sekuntum bunga mekar ada sesuatu yang menaunginya dari terik matahari sehingga kuntum bunga itu tidak cepat layu. Perempuan cantik itu benar-benar mendapatkan kebahagiannya. Ada seorang lelaki yang mengangkat dirinya menjadi seorang isteri yang terhormat dan hidup layak di tengah masyarakat. Yang paling penting lagi ada seseorang yang melindungi dirinya. Tiurma tidak pernah lagi merasa sepi.

Hanya pada saat Bang Lindung bersama Bu Nauli, Tiur merasa sepi dan tidur pun hanya memeluk guling.

“Aku tidak harus merasa sedih dan iri,” katanya sendiri ketika memeluk guling dan malam pun amat dingin, apalagi hujan sedang turun. “Kak Nauli juga berhak menikmati kebahagiaan dari Bang Lindung. Kak Nauli juga ikut memiliki Bang Lindung. Kak Nauli juga berhak dalam pelukan Bang Lindung dan berhak mendapatkan kasih sayangnya.”

Kadang-kadang terlalu sukar bagi Tiurma untuk memejamkan mata bila tiba saatnya giliran Bang Lindung bersama Bu Nauli. Namun bila Bang Lindung ada di sisinya, apa lagi tidur berdekapan, pasti tidurnya amat nyenyak dan dibuai mimpi indah. Bangun pun pasti sangat terlambat dan matahari sudah terbit, bahkan tetangga yang akan membeli rinso dan kopi sudah menunggu di depan warungnya .

Tapi tidak mungkin setiap malam Bang Lindung ada di sisinya. Bu Nauli juga berhak mendapatkan nafkah batin dari suaminya. Masih syukur Tiurma tidak pernah diserang oleh isteri tua dan melemparnya dengan batu atau menyiramnya dengan air cabai. Semua itu karena Bu Nauli adalah isteri tua yang hatinya selembut sutera dan tidak ada kebencian dalam dirinya.

***

K

ETIKA itulah, ketika Bang Lindung sedang berada di sisi Bu Nauli, terdengar ketukan pintu di tengah malam yang sepi dan dingin serta hujan pun sedang mengguyur bumi.

“Buka pintu, Tiurma!,” terdengar suara memanggilnya.

“Siapa?”

Tidak ada suara sahutan dari luar. Ada perasaan takut dihatinya ketika sekali lagi terdengar ketukan pintu dan namanya disebut sekali lagi.

“Tiur!. Buka pintu!”

Tiur bangkit, tapi tidak segera membuka pintu. Terdengar ketukan lagi.

“Buka pintu, Tiur!”

“Siapa?”

Seseorang yang berada di luar tetap tidak ingin menyebut namanya.

“Bang Lindung?”

Tidak ada sahutan, namun sekali lagi dan sekali lagi nama Tiur dipanggil dari luar rumah.

“Bang Lindungkah?” ulang Tiur.

“Ya!” sayup-sayup suara itu terdengar. Tanpa ragu lagi Tiur berjalan ke arah pintu, padahal Bang Lindung tidak pernah datang di tengah malam yang sepi, gelap dan hujan pun sedang mengguyur bumi.

Tanpa perasaan was-was Tiur akhirnya membuka pintu dan dalam keremangan malam dia melihat seorang lelaki berpakaian basah berdiri di depan pintu. Tiurma amat kaget karena lelaki yang berdiri di depan pintu bukan Bang Lindung.

Lelaki itu mengenakan topi lebar, berkumis dan berjenggot lebat serta di tangannya ada tongkat, persis lelaki tua renta. Bergidik bulu roma Tiur ketika melihat seseorang lelaki tidak dikenalnya berdiri di depan pintu rumahnya. Jantungnya hampir copot. Dia hampir menjerit dan berusaha menutup kembali pintu rumahnya, namun lelaki bertongkat itu lebih dulu mencegah.

“Tidak usah takut, Tiur!” terdengar suara lelaki itu.”Biarkan aku masuk!”

Lelaki berjanggut panjang itu memaksa masuk ke rumah dan Tiur menggigil ketakutan.

“Tidak usah takut!,” ulang tamu yang datang di tengah malam yang sepi dan gelap itu.

“Aku adalah Bang Dapot, suamimu!,” ujar lelaki itu dengan suara parau dan membuka topi yang menutupi jidatnya, juga jenggot palsunya. Jantung Tiurma masih terasa hampir copot karena ketakutan dan kaget.

Hantukah yang sedang berada di depanku?, pikir Tiur dan tubuhnya semakin gemetar ketakutan. Hantu almarhum Bang Dapotkah yang kini menggangguku?.

“Tidak usah takut, Tiur. Aku benar-benar Bang Dapot, suamimu!” tukas lelaki itu dan suaranya masih parau.

“Tapi...tapi....,” Tiur tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba saja Tiur pingsan, padahal dia ingin mengatakan, bahwa Bang Dapot sudah mati dihakimi warga desa yang amat marah karena Bang Dapot membakar traktor milik Haji Sulaiman dan sempat menusuk seorang warga hingga luka parah dan akhirnya meninggal.

Tubuh Tiur yang tidak berdaya segera lunglai tapi tidak sempat tersungkur di lantai, sebab sang tamu segera menolongnya dan mengangkat tubuh terkulai itu ke tempat tidur.

Lama barulah Tiur sadar dari pingsannya, tapi kembali ketakutan ketika membuka mata dan Bang Dapot yang dianggapnya sudah mati sekarang ada di depannya.

“Jangan takut, Tiur!,” ujar lelaki itu.

“Bukankah Bang Dapot sudah mati?. Bukankah Bang Dapot sudah meninggal dan jasadnya dikuburkan oleh Kak Zaitun?,” Tiur menyebut nama isteri pertama Bang Dapot.

“Aku belum mati, Tiur. Aku masih hidup!. Jenazah yang ditemukan orang di muara sungai bukan jasadku.”

“Lalu jasad siapa?”

“Jasad seorang tua yang sedang mandi di sungai lalu disambar buaya. Jasadnya yang rusak karena lebih seminggu baru diketemukan menyebabkan tidak dikenali lagi. Zaitun menduga itulah jasadku dan menguburkannya.”

“Tapi...tapi...”

“Tataplah aku dalam-dalam. Aku suamimu!”

“Bukankah Bang Dapot sudah tewas karena kemarahan warga?”

“Mereka memang menyerangku, Tiur. Aku jadi korban amukan warga yang marah dan mereka menganggap aku sudah mati lalu melempar jasadku ke sungai”

“Lalu apa yang terjadi sebenarnya?” Tiur mulai sadar sepenuhnya dan dia berusaha menyentuh tubuh lelaki di depannya. Dia sadar, bahwa lelaki yang kini ada disisinya bukanlah hantu, tapi benar-benar Bang Pandapotan yang dianggap semua orang sudah mati dan bangkainya ditemukan di muara Sungai Aek Godang.

“Mereka melemparkan jasadku ke sungai, padahal aku belum mati. Masih ada sisa nafasku, masih ada sisa nyawaku. Tuhan masih melindungi nyawaku. Malaikat pencabut nyawa belum ingin mendekat padaku. Aku diselamatkan oleh penduduk di muara sungai. Tuhan masih mengizinkan aku hidup meski pun saat itu tubuhku penuh luka.”

Tiurma tertegun, jantungnya yang gemuruh mulai reda.

“Lihat!,” lelaki itu membuka baju yang membungkus tubuhnya.”Banyak bekas luka yang hampir saja membawa aku ke liang kubur. Tapi aku masih diperkenankan hidup. Aku masih diperkenankan untuk bertemu denganmu, Tiur.”

“Astaga,” gumam Tiur setelah melihat banyak bekas luka di tubuh tamunya. “Sungguh seperti sebuah keajaiban!”

“Dengan luka parah sekujur tubuh aku dibawa penduduk desa di hilir sungai itu ke tepi. Dan sekarang aku dalam keadaan sehat dan segar bugar, tapi aku belum bisa bebas bergerak karena polisi masih mengejarku.”

“Lalu kemana saja Bang Dapot selama ini?” tanya Tiur dan menatap dalam-dalam wajah lelaki itu.

“Aku dalam pencarian polisi. Aparat tetap mengejarku karena aku telah menyebabkan seorang warga desa meninggal akibat tusukan pisau di perutnya, tepat pada paru-parunya. Itu pun kulakukan karena dalam keadaan terdesak, karena dalam keadaan terpaksa. Sebelum dia menebaskan parang ke leherku, lebih baik aku mendahului.”

“Seharusnya Bang Dapot tidak melakukannya. Andainya warga desa itu tidak mati, pasti polisi tidak mengejar Bang Dapot.”

“Ya, aku menyesal. Tapi sebaliknya kalau hal itu tidak kulakukan, kepalaku sudah terpisah dari badan, aku sudah jadi penghuni kubur.”

Sesaat lelaki itu menatap wajah Tiur dan tampak semakin cantik. Lelaki itu sudah mendengar kabar, bahwa isterinya sudah menikah lagi dengan lelaki bernama Lindung karena Tiur menganggap Bang Dapot sudah mati.

“Aku kedinginan , Tiur. Dingin dan lapar!”

“Mau makan?”

“Makan dan kopi!”

“Bagaimana kalau polisi menyergap?”

“Aparat tidak akan pernah menemukan aku selama aku menyamar sebagai seorang kakek tua bangka dan berjalan pun tertatih-tatih dengan bantuan tongkat”.

Sesaat Tiur memandang sebuah tongkat yang dibawa Bang Dapot, topi lebar yang menutupi jidatnya dan brewok palsu. Semua itu digunakan Bang Dapot untuk menyamar sebagai orangtua renta.

Dengan amat tergesa-gesa dan perasaan takut, Tiur menyiapkan nasi lengkap dengan lauknya dan segelas kopi. Lelaki yang datang di tengah malam sepi dan dingin itu menyantap nasi amat lahap karena memang benar-benar lapar. Apa lagi lauknya adalah ikan mas diarsik, sambal tuk-tuk dan sayur daun singkong. Tiur tidak ingin lelaki itu terlalu lama ada di rumahnya. Dia takut polisi akan mencium kehaidirannya lalu memborgolnya dan bila Bang Dapot melarikan diri ,pasti peluru akan meletus untuk melumpuhkan setiap buronan.

“Tiur!,” desah lelaki itu setelah menyantap dua piring nasi.

Tiur cuma memandang dengan perasaan gelisah.

“Sebenarnya aku ingin lebih lama di sini...”

“Jangan,Bang Dapot. Jangan berlama-lama di sini, polisi akan datang kemari.”

“Ya, aku akan segera pergi!,” ujar lelaki itu dan berdiri setelah meneguk segelas kopi hangat. Bang Dapot segera mengenakan topi lebarnya hingga menutupi jidatnya, juga memasang kumis dan brewok palsu serta memegang tongkat. Benar-benar mirip orang tua renta. Dalam keadaan seperti itu tidak seorang pun yang mengenal bahwa lelaki itu adalah Bang Pandapotan yang sudah membakar traktor milik Haji Sulaiman dan membunuh seorang warga desa.

“Aku mau pergi dan tidak tahu entah kemana!. Yang penting aku tidak masuk penjara sebagai seorang pembunuh,” lelaki itu sudah berdiri dan Tiur merasa lega. Tapi lelaki itu segera duduk lagi.

Sesaat lelaki itu memandang Tiur dan terdengar suaranya lagi:

“Kau semakin cantik, Tiur”

Tiur pura-pura tersenyum, tapi dalam hatinya penuh rasa takut dan gelisah.

“Sayang aku harus segera pergi.”

“Ya, sebaiknya begitu. Aku tidak ingin polisi datang kemari dan menangkap Bang Dapot.”

Sekali lagi lelaki itu menatapnya amat dalam.

“Aku butuh uang,Tiur!” pinta lelaki itu lagi.

Amat tergesa-gesa Tiur lari ke kamar kemudian meraih uang dua puluh ribu kemudian diulurkan kepada Bang Dapot. Tapi lelaki itu menolak setelah melihat uang yang diberikan isterinya hanya dua puluh ribu rupiah.

“Bukan dua puluh ribu, Tiur!,” lelaki itu mengembalikan uang itu kepada Tiur.

“Lalu berapa harus kuberikan?”

“Banyak!. Aku butuh uang banyak untuk bersembunyi dari satu desa ke desa lainnya, juga sampai ke kota.”

Sekali lagi Tiur ke kamarnya dan mengambil selembar uang lima puluh ribu. Lelaki itu juga masih menolak.

“Tambah lagi.Tiur!”

“Aku tidak punya uang lagi!” tubuh Tiur gemetar menatap sorot mata lelaki itu teramat tajam , seperti menyemburkan api.

“Jangan bohong kepadaku!”

“Sungguh aku tidak punya lagi!”

“Atau aku sendiri yang akan mengambilnya dan membongkar isi lemarimu?.”

“Demi Tuhan aku tidak punya uang lagi!”

“Kalau begitu aku yang harus mengambil sendiri uang itu!” Bang Dapot berjalan ke arah kamar, tapi Tiur segera mencegah. Dia segera mengambil uang seratus ribu.

“Masih kurang,Tiur. Aku perlu uang untuk pergi jauh!”

“Tidak ada lagi sisa uang!”

Lelaki itu tidak percaya dan tatapannya tetap saja seperti menyemburkan api yang amat panas. Setelah jadi buronan polisi, Bang Dapot jadi amat bringas dan kasar.

“Jangan bohong, Tiur. Bukankah kau sudah membuka warung dan langgananmu banyak!”

“Tapi aku tidak punya uang banyak!”

“Jangan bohongi aku. Bukankah kau sudah kawin dan suamimu memberi nafkah?. Berikan aku uang yang cukup!”

“Demi Tuhan tidak ada yang lain!” tubuh Tiur makin gemetar.

“Ingat, kalau kau tidak memberiku uang yang cukup, aku akan tetap di sini, aku tidak akan pergi dari rumah ini!”

Tiurma tampak bingung dan ketakutan. Lelaki itu memang pernah menjadi suaminya, tapi Tiurma sudah menganggapnya mati diserbu massa,lalu Tiurma kawin dengan Bang Lindung. Tidak mungkin Bang Dapot berlama-lama di rumah itu, sebab esok pagi Bang Lindung pasti datang. Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi andainya menemukan ada lelaki lain di rumah itu.

Bang Dapot harus segera pergi, harus segera meninggalkan rumah itu secepatnya. Itulah sebabnya Tiurma menyerah dan memberikan uang yang dipinta lelaki yang pernah menjadi suaminya.

“Cepat ambil uang itu, Tiur!,” desak lelaki itu tidak sabar, padahal perutnya sudah amat kenyang menyantap dua piring nasi dan menenggak kopi hangat.

Tiurma tidak dapat berpikir jauh. Tubuhnya gemetar. Lelaki itu memang harus segera pergi dari sisinya. Tiur terpaksa memberi tiga ratus ribu rupiah dan itu pun diberikan dengan tangan gemetar dan berharap Bang Dapot tidak akan pernah datang lagi.

Masih lumayan yang dipinta hanya uang. Bagaimana kalau Bang Dapot meminta lebih dari itu?. Bagaimana kalau Bang Dapot masih merasa Tiur adalah isterinya dan meminta kemesraan?. Amat sulit bagi Tiur untuk pasrah kepada lelaki itu karena dia merasa sudah menjadi isteri Bang Lindung. Sebab dia pernah beranggapan bahwa suaminya yang pertama sudah lama mati akibat diamuk massa dan jasadnya dihanyutkan di sungai Aek Godang.

Sesaat Tiur memperhatikan langkah lelaki itu keluar rumah. Langkahnya dibuat-buat agar seperti langkah seorang lelaki tua renta agar polisi tidak mengenal Bang Pandapotan yang telah menyebabkan orang lain menemui kematian.

Kasihan Bang Dapot. Dia harus berjalan dalam gelap dan hujan pun masih terus turun membasahi bumi. Lelaki itu harus pergi kalau tidak ingin tertangkap polisi. Bang Pandapotan tidak ingin tangannya diborgol lalu masuk penjara. Baginya penjara adalah neraka yang paling mengerikan. Dia juga tidak ingin kakinya ditembus peluru aparat yang memburunya.

Dalam hati kecil Tiur ada perasaan iba yang amat mendalam melihat kepergian lelaki yang pernah menjadi suaminya. Lama dia memandang langkah-langkah lelaki itu hingga hilang ditelan kegelapan malam dan sesekali terlihat lagi bila kilat menyambar dan lelaki itu terus melangkah meski pun diguyur hujan.

“Kasihan Bang Dapot. Semoga Tuhan melindungi dirinya. Semoga Bang Dapot dapat menyelamatkan diri dari sergapan polisi,” Tiur berkata-kata sendiri sebelum menutup pintu rumahnya. Bila lelaki itu benar-benar tidak tampak lagi, barulah dia mengunci pintu.

“Biarlah Bang Dapot pergi jauh. Biarlah sampai menyeberang pulau. Biarlah sampai ke ujung langit. Aku mendoakanmu, Bang Dapot.” Tiur masih berkata-kata sendiri meski pun dia sudah berbaring, tapi amat sulit untuk memejamkan mata. Bayang-bayang Bang Dapot selalu hadir di pelupuk matanya.

***

A

ZAN subuh sudah terdengar dari puncak menara masjid ketika Tiur akhirnya tertidur. Dia terbangun ketika matahari sudah tinggi dan sinarnya masuk ke rumah melalui celah jendela. Kicau burung di ranting pohon tidak mampu membangunkannya. Kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan juga tidak mampu membuka matanya.

Perempuan cantik itu terbangun karena terdengar deru mobil yang memasuki halaman rumahnya. Matanya masih terasa berat ketika Bang Lindung datang dan Tiur membuka pintu.

“Enak benar tidurmu, Tiur. Tentu mimpi yang amat indah!” cetus Bang Lindung.

“Justru mimpi buruk!” sahut Tiurma dan mengusap mata.

“Mimpi apa?,” Bang Lindung menatap wajah Tiur dan di wajah itu masih tampak sisa-sisa kantuk. Dalam keadaan baru bangun tidur pun perempuan itu tampak cantik dan anggun. Hidung dan bibirnya tetap tampak indah . Hidung, sepasang bibir dan sepasang mata itulah yang selalu disenangi Bang Lindung.

“Mimpi buruk dikejar-kejar binatang buas!,” Tiur membohong, padahal dia semalaman amat sukar memejamkan mata karena kehadiran Bang Dapot.

“Kau selamat dikejar binatang itu,bukan?”

“Ya, karena yang menyelamatkannya adalah Bang Lindung!,” sekali lagi Tiur membohong.

Lelaki yang baru turun dari mobil tua itu segera masuk ke rumah. Pagi itu Tiur telah melalaikan sesuatu yang amat fatal. Dia tidak segera mencuci gelas yang tadi berisi kopi hangat untuk Bang Pandapotan. Gelas yang berisi sisa ampas kopi masih di atas meja ketika Bng Lindung masuk.

Tentu saja gelas berisi ampas kopi itu mengundang kecurigaan seorang suami terhadap isterinya yang ditinggalkan sepanjang malam.

“Seperti baru saja ada tamu di rumah ini!,” cetus Bang Lindung dan memperhatikan gelas di atas meja.

“Tidak ada!. Mana mungkin ada tamu di malam gelap dan hujan pun sepanjang malam.”

“Lalu untuk siapa kopi di gelas ini?,” kecurigaan amat besar di hati lelaki itu. “Siapa yang datang?”

“Tidak ada!. Aku sengaja membuat kopi karena tidak dapat tidur sepanjang malam. Begitulah kalau Bang Lindung bersama Kak Nauli.” sahut Tiur dan jantungnya berdebar keras. Untunglah Bang Lindung tidak bertanya lebih banyak tentang tamunya.

Untunglah Bang Dapot tidak terlalu lama berada di rumah itu bersama Tiur. Andainya pulang pagi pasti akan kepergok oleh Bang Lindung. Pertumpahan darah pasti akan terjadi bila Bang Lindung menemukan lelaki lain di rumah isterinya.

Untunglah yang diperhatikan Bang Lindung hanya gelas berisi sisa ampas kopi diatas meja. Untunglah Bang Dapot tidak sempat merokok sehingga tidak ada puntung rokok di rumah itu. Untunglah Bang Lindung tidak sempat memperhatikan jejak-jejak lelaki di depan pintu. Andainya Bang Lindung memperhatikan jejak-jejak itu pasti ada kecurigaan di hatinya, pasti dia tahu seorang lelaki telah datang ke rumah itu pada tengah malam yang dingin dan gelap.

“Ayo kuantar belanja!,” ajak Bang Lindung karena pada hari-hari tertentu dia mengantar Tiurma belanja untuk kebutuhan warung sembako miliknya.

“Tidak usah hari ini!,” sahut Tiur menolak. Mana mungkin dia belanja untuk kebutuhan warungnya sementara uangnya sudah ludes dikuras seorang lelaki bernama Bang Pandapotan yang pernah menjadi suaminya. Hati Tiur amat sedih, sebab persediaan kebutuhan sehari-hari sudah hampir habis di warungnya. Mie instan sudah tidak ada sama sekali, minyak goreng juga sudah habis, garam dan kecap hanya bersisa sedikit. Ikan asin juga sudah tidak ada.

“Hari ini aku merasa tidak sehat. Kepalaku pusing,” Tiurma berbohong.

“Istirahatlah. Jangan sampai jatuh sakit!”

Tiurma hanya menghela nafas panjang. Kenapa Bang Dapot yang sudah dianggap mati tiba-tiba hadir lagi?. Kenapa Bang Dapot datang ke rumahku?. Kenapa tidak mendatangi Kak Zaitun dan Kak Lela, padahal mereka juga isteri Bang Dapot yang sah?. Hidup ini memang selalu menanggung beban berbagai persoalan yang amat berat,pikir Tiurma.

Semoga Bang Dapot tidak akan pernah datang lagi. Biarlah pergi jauh, hingga ke ujung langit. Biarlah tidak usah kembali lagi.

***

S

EPERTI seekor elang yang kukunya panjang dan berparuh tajam hinggap di sarang burung pipit di ranting pohon, pastilah burung-burung mungil itu amat takut dan gelisah. Seperti halnya burung-burung mungil itulah keadaan Tiurma sejak kehadiran Bang Dapot di tengah malam yang sepi dan gelap. Lelaki itu memang pernah menjadi suaminya, tapi suasana sudah berubah. Bang Dapot sudah menjadi korban amuk masa dan dikabarkan mati, lalu Tiurma menikah dengan lelaki lain, dengan Bang Lindung.

Kedatangan Bang Pandapotan hanya akan membawa persoalan berat yang tidak akan terpikul di pundak Tiurma. Tapi perempuan kelahiran Tarutung itu tidak berdaya untuk mencegah burung elang berparuh tajam itu untuk singgah di sarang burung pipit yang mungil. Burung-burung mungil itu tidak mampu mengusir elang pemangsa yang amat perkasa.

“Buka pintu,Tiur!,” suara itu kembali terdengar diiringi ketukan pintu di malam kelam dan tidak satu pun bintang terlihat di langit. Kedatangan Bang Pandapotan memang selalu di malam gelap dan sepi karena tidak ingin terlihat orang lain,apa lagi terlihat aparat keamanan.

Perempuan berwajah cantik itu mendengar suara itu, mendengar ketukan pintu, tapi dia tidak segera membukanya. Apalagi Tiurma tahu pasti yang mengetuk pintu adalah Bang Dapot.

“Buka pintu, Tiur!,” suara itu terdengar lagi. Jantung Tiur berdebar keras. Dia ragu-ragu untuk membuka pintu. Dia was-was untuk mengizinkan laki-laki itu masuk.

Di luar, di antara rumpun bambu yang tumbuh di halaman belakang rumahnya terdengar suara burung hantu. Dulu Tiurma amat takut mendengar suara burung hantu, apalagi di malam kelam, sepi dan gelap. Tapi sekarang dia lebih takut lagi kepada seorang lelaki yang pernah menjadi suaminya.

“Kau sedang tidur nyenyak,Tiur?. Bangunlah,sayang!,” terdengar lagi suara itu. Penghuni rumah itu memang sedang terbangun, karena teramat sulit baginya untuk memejamkan mata bila Bang Lindung sedang berada di rumah madunya, Bu Nauli.

“Aku hanya ingin bertemu sesaat saja!,” suara itu pun masih terdengar lagi dan Tiurma tetap saja ragu-ragu untuk membuka pintu.

“Berilah aku kesempatan untuk bertemu denganmu sebentar saja. Hanya sekedar melihat wajahmu, hanya sekedar memandang matamu yang jernih!,” suara itu seperti memelas. Tapi hati penghuni rumah itu tetap saja tertutup.

“Hanya dua tiga menit saja,” suara itu tetap memelas.

Pintu rumah itu tetap saja terkunci rapat dari dalam. Tiurma merasakan detak-detak jantungnya amat keras, memukul-mukul.

“Kau takut membuka pintu?. Kau takut menerima kedatanganku?. Hanya sesaat saja, hanya sekedar menatap wajahmu.”

Tiur masih sempat memikir-mikir apakah akan membuka pintu dan membiarkan lelaki itu masuk ke rumah atau tetap mengunci diri.

“Aku akan membuka pintu, tapi berjanjilah,Bang Dapot!,” pinta Tiurma dari dalam rumah, dari kamarnya.

“Berjanji apa?”

“Berjanji bahwa Bang Dapot hanya sebentar saja di sini!”

“Aku berjanji hanya dua atau tiga menit saja!”

“Berjanjilah, bahwa Bang Dapot tidak akan datang lagi kemari.

Berjanjilah, bahwa Bang Dapot tidak akan mengusik kebahagiaanku. Hidupku sekarang tenteram, Bang Dapot. Karena itu berjanjilah, bahwa Bang Dapot tidak akan mengganggu ketenteramanku.” pinta Tiur lagi dari ruang dalam dan masih membiarkan lelaki itu kedinginan di luar rumah,membiarkan lelaki itu dalam kegelapan.

“Aku berjanji!”

“Sungguh mati?”

“Sungguh mati!”

“Bang Dapot akan ditangkap polisi kalau melanggar janji itu?”

“Ya, aku rela ditangkap kalau melanggar janji itu!”

“Bang Dapot rela masuk penjara kalau melanggar janji?”

“Aku rela. Sungguh aku rela bagaimana pun nasibku dihari mendatang asal malam ini kau mau buka pintu untukku!”

Perlahan sekali dan amat hati-hati Tiurma berjalan ke arah pintu dan jantungnya tetap berdebar keras. Di luar rumah, dari rumpun bambu masih terdengar suara burung hantu dan angin pun berhembus giris membawa udara dingin yang merasuk hingga ke sum-sum tulang.

Tubuh Tiur amat gemetar ketika pintu terbuka dan lelaki itu masuk setelah mengamati sekitar rumah itu dan benar-benar sepi. Tidak ada yang melihat, bahkan jengkrik pun tidak sempat tahu di rumah itu telah kedatangan tamu. Lelaki itu merasa keadaan benar-benar aman, sehingga dia dapat lebih lama bersama perempuan cantik yang belum pernah diceraikannya. Lelaki itu menganggap pemilik warung sembako di desa itu masih tetap berstatus sebagai isterinya yang sah.

“Aku lapar, Tiur!,” terdengar suara lelaki itu setelah duduk. Dari jauh dia sudah mengintai, bahwa Bang Lindung tidak ada di rumah itu.

“Mau makan?” tanya Tiur.

“Ya! Aku benar-benar lapar!”

“Tidak usah kubuatkan kopi?”

“Aku lapar dan juga dingin. Aku selalu merindukan kopi yang kau buat!”

Tiur menghela nafas panjang dan menghidangkan nasi lengkap dengan ikan asin goreng dan sambal tuk-tuk. Sambal itu adalah kegemaran setiap orang yang berdarah Mandailing atau Tapanuli Selatan.

“Kau masih tetap membuat sambal tuk-tuk kesukaanku. Malam ini kau membuatku makan lebih lahap dan juga membuatku lebih lama di sini!”

“Jangan berlama-lama di sini, polisi akan menyergap nanti!”

“Tidak!. Naluriku mengatakan, polisi tidak akan datang kemari. Rumah ini benar-benar aman untukku.”

Lelaki itu makan dengan lahap dan Tiur membuat kopi kental kesukaan lelaki itu. Lelaki itu benar-benar lapar dan kedinginan.

Itulah sebabnya baru saja melahap dua piring nasi lalu menenggak segelas kopi.

“Pada saat seperti ini hidupku terasa nyaman dan terkadang kusesali apa yang kulakukan hingga hidupku tidak tentu arah.” kata-kata itu seperti sebuah keluhan panjang.

“Abang menyesal membakar traktor milik Haji Sulaiman?,” Tiurma memandang lelaki itu. Rambut, kumis, brewok semuanya tidak terurus. Bahkan lelaki itu amat jarang mandi. Bau sengak badannya menusuk rongga hidung.

“Ya, aku menyesal dan akhirnya aku menyadari, bahwa Pak Haji adalah orang baik dan orang selalu membutuhkan dirinya. Tidak seperti aku!”

“Tidak seorang pun yang membutuhkan Bang Dapot, begitukah?”

“Ya!. Padahal manusia disebut baik bila dirinya bermanfaat bagi orang lain.”

“Penyesalan itu terlambat. Andainya dulu Bng Dapot menuruti permintaanku agar tidak membakar traktor itu, keadaan Bang Dapot tidak akan sengsara seperti ini.”

Lelaki itu termenung sesaat. Lelaki itu benar-benar menyesali perbuatannya membakar traktor milik Haji Sulaiman hanya karena menganggap kehadiran traktor itu mematikan rezekinya, karena tidak ada lagi yang menyewa sapi-sapi miliknya untuk membajak sawah.

“Aku tidak tahu lagi kemana harus pergi dan tidak tahu harus berbuat apa selain bersembunyi di satu tempat kemudian pindah ke tempat lain.” keluh lelaki itu lagi.

“Rasanya tidak ada tempat aman untuk Bang Dapot”

“Ya. Tidak ada lagi tempat aman ...”

Tanpa diminta Tiurma mengulurkan uang dua ratus ribu dan itu pun diberikan dengan tangan gemetar. Lelaki itu tidak segera menerima uang itu.

“Aku cuma punya uang ini. Ayo terima apa adanya!”

“Tidak!. Kali ini aku butuh uang lebih banyak!”

“Uang banyak?,” ulang Tiur dan tubuhnya masih gemetar. Selagi lelaki itu ada dalam rumahnya, dia tetap dalam ketakutan, tetap saja tubuhnya gemetar dan tetap saja jantungnya memukul-mukul.

“Aku butuh tiga juta!”

“Demi Tuhan, aku tidak punya uang sebanyak itu!”

“Bantu aku,Tiur. Aku akan pergi teramat jauh. Aku akan ke ujung langit.”

“Ujung langit mana?. Adakah tempat aman di sana!”

“Aku akan menyeberangi laut. Aku akan pergi ke Jawa dan bekerja di sana.”

“Tapi aku tidak punya uang sebanyak itu!”

“Duduklah dekatku,Tiur. Aku ingin bicara sungguh-sungguh kepadamu!,” pinta lelaki itu memelas dan penuh harap.

Tiur ragu-ragu untuk mendekat, padahal lelaki itu pernah menjadi suaminya dan Tiur selalu merasakan keperkasaan lelaki itu di malam yang dingin.

“Kenapa harus ragu-ragu duduk dekatku.Tiur?. Hari ini adalah terakhir kalinya aku melihat wajahmu. Besok pagi aku sudah menyeberangi laut. Aku akan menompang truk dan itu lebih aman. Karena itulah aku ingin kau duduk dekatku, aku ingin bicara serius untuk terakhir kali denganmu. Mulai besok pagi kita tidak akan pernah bertemu lagi.”

Tiurma berusaha untuk tenang dan duduk di sisi lelaki itu, namun jantungnya tetap berdebar keras.

“Tiur,” nama itu tercetus dari celah bibir lelaki itu.

Tiur menunduk.

“Bantu aku untuk pergi jauh!,” pinta lelaki itu lagi.

“Tapi aku tidak punya uang banyak!”

Perlahan sekali lelaki itu menyentuh leher Tiur hingga jantung Tiur berdebar lebih keras. Perlahan sekali lelaki itu menyentuh seuntai kalung berkilau yang melingkar di leher Tiurma yang jenjang.

“Tidak usah kau beri aku uang, tapi berikan kalung ini kepadaku,” lelaki itu berkata setengah berbisik.

“Tidak!. Tidak ,Bang Dapot. Aku tidak dapat memberikan kalung ini kepada siapa pun!,” Tiurma mencegah.

“Aku butuh biaya untuk pergi ke ujung dunia.”

“Tapi kalung ini tidak akan kuberikan kepada siapa pun. Kalung ini adalah kenang-kenangan dari ibuku. Kalung ini tidak akan terlepas dari diriku sampai kapan pun!”

“Kalau kalung ini tidak kau berikan, itu artinya aku gagal untuk menyeberangi laut. Itu artinya aku akan tetap tinggal di sini bersamamu....”

Kata-kata itu membuat Tiurma termenung. Seperti terkena kekuatan gaib, seperti terbius oleh kekuatan magik, seperti terkena hipnotis, Tiurma tidak berdaya ketika lelaki itu membuka sendiri seuntai kalung yang melingkar di leher Tiurma. Tiurma juga tidak mampu berkata apa-apa ketika lelaki itu memasukkan kalung itu ke kantong celananya.

“Terima kasih, Tiur. Kau sudah membantuku pergi ke ujung dunia dan tidak akan pernah kembali kemari...”

Tiurma terdiam, hanya menunduk. Dia berharap lelaki itu segera pergi setelah menilep seuntai kalung miliknya . Biarlah dia ke ujung langit.

“Tiurma....,” nama itu berdesis dari celah bibir lelaki itu.

Tiurma tidak menyahut.

“Jangan menunduk terus,sayang. Aku ingin menatap matamu yang jernih sepuas hatiku sebelum aku terbawa langkahku ke tempat yang jauh....”

Lelaki itu menyentuh ujung dagu Tiurma yang runcing seperti sarang lebah bergantung agar tidak menunduk, agar menatapnya.

“Aku akan pergi jauh,sayang...”

“Pergilah kalau memang itu yang terbaik.”

“Aku tidak akan pernah kembali lagi!”

“Aku sudah siap dan rela, jalan hidup kita harus bersimpang arah.”

“Aku ingin menatap matamu puas-puas!”

Tiurma membiarkan lelaki itu memandangnya amat lama dan tatapan itu terasa amat tajam, seperti menyemburkan kobaran api.

“Kau semakin cantik,sayang,” lelaki itu memuji. Perempuan berdarah Batak Toba itu memang paling cantik di antara tiga isterinya. Tiurma memang paling cantik diantara seribu perempuan.

Dan Tiurma tidak berkata apa-apa.

“Di mana pun berada aku selalu teringat padamu. Sukar untuk melupakan dirimu, sayang...”

Tiur masih tetap diam. Jauh di dalam dasar hatinya dia berharap lelaki itu segera pergi.

“Rasanya terlalu berat untuk meninggalkanmu.”

“Aku mampu berdiri di atas kakiku sendiri,Bang Dapot.”

“Rasanya aku tidak rela kau dalam pelukan orang lain, Tiur. Aku ingin kau adalah tetap milikku!”

“Keadaanlah yang menghendaki suasana menjadi lain.” sahut Tiurma dengan suara lirih.

“Aku ingin menciummu untuk terakhir kali!”

Ucapan itu amat mengagetkan. Seperti petir yang menggelegar di siang bolong.

“Tidak, Bang Dapot!. Bang Dapot tidak boleh melakukannya!”

“Tapi aku belum menceraikan kau, Tiur. Kau masih isteriku yang syah. Tidak bolehkah seorang suami mencium isterinya?”

“Tapi...tapi....” Tiur berusaha meronta ketika lelaki itu berusaha memeluknya dan berusaha menciumnya.

“Aku tahu sudah ada orang lain dalam hidupmu, tapi aku belum pernah menceraikan kau...”, kata-kata itu berulang-ulang diucapkan lelaki itu.

Tiur tidak mampu berkata apa-apa. Juga tidak mampu meronta. Lelaki itu terlalu kukuh. Tangannya bagaikan besi yang amat keras ketika memeluknya, kemudian menciumnya.

“Aku masih berhak untuk menyentuh dirimu,Tiur. Kalau aku menghendaki kemesraan bersamamu karena aku menganggap kita masih terikat oleh sebuah perkawinan. Kalau aku menghendaki saat-saat manis dan indah bersamamu adalah untuk terakhir kalinya karena esok hari aku sudah berada di tempat yang jauh.”

Banyak kata-kata rayuan yang diucapkan lelaki itu dan juga belaiannya masih perkasa seperti itu. Itulah yang membuat sebuah benteng yang amat kokoh akhirnya roboh. Bujuk rayu dan sentuhan lelaki itu membuat Tiurma harus pasrah. Dia tidak berdaya ketika lelaki itu melepas dasternya. Hubungan teramat intiem itu pun akhirnya terjadi di malam yang kelam, sepi dan dingin. Angin yang berhembus terasa semakin dingin.

“Kalau kau akhirnya hamil nanti, bayi dalam rahimmu adalah anakku. Ingatlah itu,Tiur,” kata-kata itu membuat Tiur termenung dan sedih. Sebab dia ingin bila suatu saat nanti hamil, bayi yang dikandungnya adalah benih-benih dari Bang Lindung. Bukan dari seorang lelaki yang kini masih jadi buronan aparat.

“Kalau nanti bayi itu lahir laki-laki atau perempuan, setelah dewasa nanti jangan larang dia mencariku sebagai ayahnya!,” itulah kata-kata terakhir yang diucapkan lelaki itu.

Tiurma semakin termenung dan membiarkan lelaki itu pergi, menghilang ditelan kegelapan malam. Suara burung hantu di rumpun bambu masih terus terdengar bahkan semakin keras, karena burung hantu itu tidak lagi sendiri, tapi didampingi pasangannya. Sepasang burung hantu itu seperti amat marah kepada penghuni rumah itu karena telah menerima kehadiran seorang lelaki bernama Pandapotan dan membiarkan dirinya disentuh lelaki itu. Tiurma tidak mampu menolak lelaki itu menaburkan benih--benih yang amat subur dalam rahimnya.

****

S

EPANJANG malam Tiurma tidak dapat memejamkan mata setelah dia pasrah kepada Bang Dapot, padahal saat itu dia sudah terikat oleh sebuah perkawinan dengan Bang Lindung. Hatinya teramat sedih, tapi bukan karena seuntai kalung dilehernya sudah direnggut Bang Dapot. Sebab seuntai kalung itu hanya imitasi yang sama sekali tidak ada harganya. Perhiasan emas murni miliknya selalu tersimpan amat rapi dalam lemari dan hanya dia sendiri yang tahu letaknya.

Kesedihan di dasar hatinya karena Tiurma merasa tidak berdaya ketika Bang Dapot memeluknya, menciumnya, kemudian Tiurma tidak berdaya menolak agar hubungan amat intiem itu tidak terjadi. Seharusnya hal itu memang tidak boleh terjadi karena sebagai seorang perempuan dia menyadari,bahwa dirinya sedang subur dan dia pun sudah menikah dengan Bang Lindung.

Sekarang Tiurma menyadari ada perubahan pada dirinya.Tiurma sadar, dia hamil.

Oh, Tuhan. Kenapa bayi yang kukandung adalah benih-benih dari Bang Dapot?. Kenapa benih-benih yang ada dalam rahimku bukan benih dari Bang Lindung yang sangat kurindukan?. Batinnya berkata-kata ketika diakhir bulan dia menyadari tidak lagi kedatangan darah bulanan.

Aku hamil!. Aku mengandung!. Aku tidak menghendaki bayi ini kalau berasal dari sel-sel darah Bang Dapot. Aku tidak ingin!. Tiurma memukul-mukul perutnya sendiri. Tapi perjalanan hidupnya memang harus begitu. Takdir Tuhan memang harus demikian, Bang Dapot yang menjadi buronan itu datang di tengah malam dan menaburkan benih-benih subur dalam dirinya.

Kepalanya amat pening hingga sukar bagi Tiurma untuk bangkit dari tempat tidurnya. Begitulah setiap perempuan yang sedang hamil muda. Kepala selalu pening, enggan melihat nasi dan perut selalu mual serta muntah tidak terhindari lagi, bahkan berkali-kali.

Seperti hari itu, Tiurma muntah lagi untuk kesekian kalinya ketika terdengar deru sebuah mobil tua memasuki halaman rumahnya. Dia membiarkan Bang Lindung masuk dan melihatnya sedang muntah lagi. Dia membiarkan Bang Lindung melihat wajahnya yang pucat dan matanya cekung. Rambutnya juga tidak sempat disisir. Tapi dalam keadaan bagaimana pun dia tetap terlihat cantik dan anggun.

“Kau sakit,Tiur?,” Bang Lindung menghampiri.

Tiurma hanya menggeleng.

“Muntah?”

Tiurma mengangguk

“Sudah berapa kali?,” Bang Lindung masih memperhatikan wajahnya yang pucat. Ada perasaan iba di hati lelaki itu.

Tiur hanya memberi isyarat melalui jarinya.

“Perutmu sakit?”

Sekali lagi Tiurma menggeleng. Dengan perasaan iba dan kasih sayang, Bang Lindung mengusap rambutnya.

“Kenapa muntah terus?”

Sepasang matanya menatap wajah Bang Lindung dan tangannya mengusap perutnya.

“Ada sesuatu dalam perutku, Bang Lindung,” kata-kata itu diucapkan Tiurma amat lirih, tapi lelaki itu mendengarnya amat jelas.

“Kau hamil?. Kau mengandung?”

Tiurma menganngguk lirih.

“Sungguh?”

“Sungguh!”

Bang Lindung segera memeluk Tiurma amat erat. Kegembiraan tampak membias di wajahnya. Lelaki itu segera memberi hadiah ciuman kepada isterinya.

“Aku akan punya anak!. Aku akan jadi seorang ayah!,” cetus Bang Lindung melempiaskan kegembiraan hatinya. “Aku berhasil!. Aku bukan laki-laki loyo. Aku laki-laki perkasa.”

Berkali-kali Bang Lindung mengucapkan kata-kata itu dan berkali-kali dia memberi hadiah kecupan kepada isterinya.

“Kau perempuan sejati, Tiur!. Kau isteri sejati. Kau benar-benar seorang ibu dalam keluarga. Tuhan mengabulkan doaku”

Tiur rebah di dada suaminya. Lelaki itu memeluknya amat erat.

“Inilah yang amat kurindukan!. Bertahun-tahun aku menginginkannya dari Nauli tapi selalu kandas. Aku benar-benar bahagia.

“Aku bahagia!.”

Bang Lindung bersimpuh di lantai. Dia seperti berkata-kata kepada Tuhan padahal selama ini dia selalu melalaikan solatnya, hari ini solat tapi besok tercecer lagi. Betapa amat beda dengan Bu Nauli yang selalu taat kepada Tuhan. Betapa pun Bu Nauli amat sibuk, tapi bila terdengar suara azan, dia pasti menghadapkan mukanya ke kiblat dan sujud. Lihatlah kening Bu Nauli, selalu tampak bersih dan bercahaya karena selalu dibasahi air wudhuk, karena selalu bersujud.

“Syukur padaMu, Tuhan. Engkau sudah mengabulkan doaku. Kalau Tiurma hamil karena anugerah dariMu.”

Hari itu, Bang Lindung benar-benar gembira dan amat bahagia, padahal dia tidak menyadari, bahwa janin yang kini dikandung Tiurma berasal dari benih orang lain.

“Jangan terlalu lelah, Tiur!,” itulah nasihatnya.

“Ya!”

“Kau harus banyak istirahat!”

Tiurma mengangguk lirih.

“Kalau perlu tutup saja warung sembako ini!”

“Tidak usah!,” Tiurma menolak. “Warung sembako ini sangat besar manfaatnya bagiku. Siapa tahu uang belanja dari Bang Lindung tersendat, masih ada yang diandalkan. Warung ini adalah nyawaku.”

“Kalau terlalu lelah dapat menyebabkan kandungan gugur.”

“Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan rahimku kuat.”

“Laki-laki atau perempuan, bayi ini akan kusambut dengan kesyukuran,” ujar Bang Lindung dan mengusap perut Tiurma.

“Mudah-mudahan laki-laki,seperti ayahnya!”

“Katakan kalau ada perasaan lain pada kandunganmu. Aku akan mengantarmu ke bidan Rahma siang atau malam. Bagiku bayi ini amat mahal harganya karena kuharapkan kehadirannya selama lebih sepuluh tahun.”

Dari sinar kedua mata lelaki itu tampak bias kegembiraan dan kebahagiaannya akan menjadi seorang ayah. Tapi yang ada di hati Tiurma justru sebaliknya, karena ada perasaan berdosa. Sebab janin yang ada di rahimnya berasal dari benih-benih Bang Pandapotan yang disemainya ketika lelaki itu datang di malam yang kelam, sepi dan gelap.

Kepada siapa saja pasti Bang Lindung menyampaikan kabar gembira itu, bahwa dia akan segera mendapat anugerah anak. Lelaki itu mengatakan hal itu kepada inang tua, kepada amang uda, inang uda, amang boru, tulang dan inang tulang.

Bang Lindung mengatakan kepada siapa saja, bahwa dirinya adalah seorang lelaki sejati, sebagai seorang lelaki perkasa yang sebentar lagi akan mempunyai anak. Dia ingin mengatakan keperkasaannya kepada burung-burung yang terbang tinggi, kepada awan yang berarak, kepada angin yang berhembus dan kepada puncak pepohonan.

Bahkan kepada “si paragat” atau pemanjat pohon enau yang sedang membawa tabung bambu yang disebut “garung” untuk mengambil nira sebagai bahan baku pembuatan gula “bargot”, Bang Lindung juga mengatakan hal itu. Banyak warga kawasan itu disamping hidupnya bersawah juga sebagai pembuat gula merah,si gula bargot.

Pada waktu-waktu tertentu selalu terdengar pemanjat pohon aren itu memukul-mukul tandan enau kemudian diiringi nyanyian yang merupakan matera agar pohon aren itu menghasilkan air nira yang banyak dan melimpah. Nyanyian dari puncak pohon enau terkadang terdengar amat enak di dengar.

Tentu saja nyanyian yang berupa matera di puncak pohon enau itu enak didengar telinga, karena banyak warga yang percaya, bahwa “bargot” adalah jelmaan seorang gadis cantik yang harus diperlakukan dengan baik dan dirayu dengan kata-kata indah dan nyanyian.

“Kau pantas bersyukur,Lindung!,” itulah komentar salah seorang kerabat dekat.

“Tentu!. Sudah ratusan kali aku bersyukur!”

“Andainya kau tidak menikahi perempuan lain, pasti seumur hidup kau tidak akan mendapat keturunan!,” kerabat lainnya juga memberikan komentar.

“Kalau anakmu lahir nanti segeralah lakukan adat Patandahon anak tubu, sebagai kesyukuran!,” itulah nasihat seorang famili yang biasa disebut inang bujing.

“Tentu!. Aku sudah menyediakan seekor sapi dan semua famili akan hadir nanti!”

“Yang penting rumah tanggamu harus rukun nanti. Meski pun keturunan itu kau peroleh dari Tiurma, tapi jangan tinggalkan Nauli,” itulah nasihat amang borunya.

“Tentu!. Aku tidak akan menyia-nyiakan dia!”

“Itulah yang terbaik. Nauli harus tetap sebagai isterimu, meski pun tanpa dirimu dia mampu menghidupi dirinya sendiri karena dia adalah seorang guru.”

****

M

ESKI PUN muntah berkali-kali karena kehamilannya, tapi Tiurma memaksakan dirinya untuk berangkat bersama Bang Lindung untuk berbelanja kebutuhan warung sembako miliknya. Bak belakang mobil tua itu penuh dengan barang-barang seperti ikan asin, minyak goreng,mie instan, susu, rokok, sabun,deterjen dan banyak lagi.

Lebih dua jam Tiurma membeli keperluan warungnya, setelah amat lelah, barulah mobil tua itu meluncur pulang menuju desanya. Tapi baru beberapa meter meluncur di jalan raya, tiba-tiba Tiurma tertegun melihat seorang lelaki tua renta, berjanggut panjang, mengenakan topi lebar yang menutupi wajahnya dan bertongkat. Lelaki itu berjalan terseok-seok, karena kakinya seperti tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Pakaiannya kumuh dan tubuhnya dekil. Bau badannya juga tengik.

Sesaat Tiurma tertegun melihat lelaki tua renta itu. Jauh di dasar hatinya ada rasa kasihan yang amat dalam. Ada rasa iba di lubuk hatinya. Dia seperti mengenal lelaki tua itu.

“Berhenti, Bang Lindung!. Berhenti!,” cetus Tiurma.

“Kenapa?. Ada sesuatu yang tertinggal?,” tanya lelaki di sisinya keheranan.

“Tidak!”

“Lalu kenapa berhenti?”

“Lelaki tua itu!,” Tiur menunjuk ke arah lelaki tua renta bertongkat itu.

“Kenapa lelaki tua itu?. Seperti gelandangan. Seperti pengemis. Kau mau memberinya uang?”

“Tidak!, Aku hanya merasa kasihan.”

Jauh di dasar hati Tiurma yang paling dalam ada rasa iba yang amat besar, karena lelaki yang tampak tua renta ,berpakaian kumuh dan bertongkat itu adalah Bang Pendapotan yang pernah menjadi suaminya. Polisi yang senantiasa memburunya menyebabkan lelaki itu selalu bersembunyi dari satu tempat ke tempat yang lain dan menyamar sebagai lelaki tua renta.

“Kenapa Bang Dapot masih di sini?. Bukankah Bang Dapot berkata akan menyingkir jauh hingga ke seberang lautan, hingga ke ujung dunia?. Bukankah Bang Dapot akan menyeberang ke Pulau Jawa dan memulai kehidupan baru di sana?,” batin Tiurma berkata-kata sendiri di sisi Bang Lindung.

Sesaat Tiurma masih memperhatikan lelaki yang tampak tua renta dan dekil itu. Seperti ada perasaan sedih dan gelisah pada wajah lelaki itu. Seperti ada kekecewaan yang amat besar di hatinya. Juga penyesalan yang amat besar. Lelaki itu menyesal telah merperturutkan angkara murka dalam hatinya, lalu membakar traktor mini milik Haji Sulaiman dan ketika warga menyerbunya, lelaki itu menusuk salah seorang warga hingga roboh dan akhirnya mati. Lelaki itu benar-benar menyesal. Angkara murka memang selalu menyebabkan seseorang terdorong melakukan hal-hal diluar kontrol dirinya.

“Seharusnya Bang Dapot tidak di sini lagi. Seharusnya Bang Dapot sudah pergi jauh!,” batin Tiurma masih berkata-kata sendiri.

Demi Tuhan, Tiurma tidak menyadari, mana mungkin Bang Dapot pergi jauh hingga ke ujung langit. Sebab pergi sejauh itu membutuhkan ongkos. Padahal tekad Bang Dapot memang sudah amat besar untuk pergi jauh, apa lagi setelah dia mendapatkan seuntai kalung yang masih melingkar di leher Tiurma. Kalung itu pasti laku lima atau enam juta rupiah, cukup untuk ongkos pergi jauh, cukup untuk persediaan hidup selama beberapa bulan hingga di Jawa nanti dan mendapatkan pekerjaan. Menjadi penarik ojek di sana juga lumayan , atau jadi sopir angkutan.

Tapi rencana untuk pergi menyingkir jauh akhirnya kandas ketika Bang Dapot menjual seuntai kalung yang diraihnya dari leher Tiurma ternyata tidak laku satu sen pun, sebab perhiasan yang tampak berkilau seperti emas murni itu ternyata adalah imitasi!. Keluar dari toko emas itu, dengan hati kesal bercampur marah lelaki itu melemparkan barang imitasi itu ke parit di pinggir jalan.

Sekarang, lelaki itu melangkah tidak tentu arah lagi. Andainya perhiasan yang berkilau itu adalah emas murni, pasti Bang Dapot sudah mendapatkan uang lumayan dan pasti dia sudah naik truk yang mengangkut gula bargot ke Pulau Jawa. Pasti Bang Dapot tidak akan pernah datang lagi di tengah malam ke rumah Tiurma.

Sekarang lelaki itu masih di desa itu. Lelaki itu pasti akan datang lagi menemui Tiurma di malam yang sepi dan dingin. Ketenteraman hidup Tiurma akan terusik lagi. Perasaan was-was dan ketakutan akan menghantui Tiurma lagi.

“Ayo kita pulang!,” ajak Bang Lindung menyentakkan lamunan Tiurma yang amat lama memperhatikan lelaki berpakaian kumuh dan menelusuri sepanjang jalan itu.

“Biarlah lelaki tua itu mengemis dan berharap belas kasihan orang!”

Lihatlah, Bang Lindung sendiri menganggap lelaki itu sebagai pengemis. Tiurma hanya menghela nafas panjang dan hatinya masih penuh dengan perasaan kasihan. Hampir saja air mata mengalir di pipinya.

Mobil tua penuh muatan sembako itu meluncur di jalan raya menuju desa. Amat hati-hati Bang Lindung mengenderai mobil tua miliknya. Lubang paling kecil pun harus dihindari agar tidak menyebabkan goncangan pada mobilnya, biar Tiurma nyaman duduk. Sebab goncangan mobilnya dapat menyebabkan kandungan Tiurma gugur. Batu kerikil paling kecil pun dihindari. Tiurma harus selalu sehat. Janin dalam rahimnya harus tumbuh normal. Jangan sampai terjadi pendarahan. Biar bayi itu cepat lahir ke dunia. Bang Lindung sudah amat ingin menimangnya.

Bang Lindung sudah sering mengusap kandungan Tiurma. Lelaki itu sudah sering meletakkan telinganya di perut Tiurma dan berkata-kata, seperti bercanda dengan bayinya. Dia merasa dirinya adalah seorang lelaki perkasa yang paling berbahagia.

***

Y

ANG senantiasa merasakan kesedihan adalah Bu Nauli. Ada genangan air mata di pelupuk mata Bu Nauli ketika dia mendengar kabar tentang kehamilan Tiurma. Rasanya nasib Tiurma lebih beruntung dari dirinya, padahal dia tidak tahu apa yang telah terjadi sesungguhnya.

“Aku akan menganggap anak yang dilahirkan Tiurma nanti adalah anakku juga. Sesekali aku akan menggendongnya!,” terdengar suara Bu Nauli di sisi Bang Lindung.

“Tidak usah khawatir,Nauli. Aku tetap sayang kepadamu!,” Bu Nauli mendapat hadiah kecupan dari Bang Lindung. Bu Nauli sudah sempat menitikkan air mata. Dia sering termenung sendiri dan selalu merasa, bahwa dirinya adalah paling malang di muka bumi.

Bu Nauli masih termenung ketika seorang perempuan tua berkaca mata putih hadir di rumahnya di desa itu. Perempuan tua itu tertegun ketika melihat Bu Nauli termangu-mangu. Perempuan tua itu adalah seseorang yang telah melahirkan Bu Nauli ke dunia lebih dari 35 tahun silam.

“Jangan merasa dirimu paling malang,Nauli!,” kata-kata itu menyentakkan Bu Nauli dari lamunan.

“Oh, ibu!,” Bu Nauli segera mencium tangan ibundanya.”Aku tidak pernah menyesali diriku.”

“Biarlah suamimu mendapatkan keturunan dari perempuan lain dan kau tidak perlu merasa sedih.”

“Ibu datang hanya untuk menasihatiku perihal itu?”

“Tidak hanya untuk itu, tapi ada hal-hal lain yang jauh lebih penting.”

“Tentang apa?,” Bu Nauli memandang wajah ibundanya yang sudah ditumbuhi keriput dan uban di balik kerudung putihnya juga sudah terlihat lebih banyak.

“Ibu mendapat panggilan untuk berangkat ke Tanah Suci.”

“Ya, memang sudah seharusnya ibu berangkat ke sana.”

“Ibu merasa harus ada seseorang yang menemani karena ibu merasa sudah mulai uzur.”

“Lalu siapa yang akan menemani ibu?”

“Rasanya yang paling tepat adalah kau, Nauli.”

“Aku?. Niat untuk ke sana memang sudah lama ada, Bu.”

“Nah, tunggu apa lagi?. Andainya ayahmu masih ada, pasti yang akan menjadi teman ibu adalah ayahmu.”

Sesaat Bu Nauli termenung.

“Ibu menyadari hatimu terluka karena suamimu menikah lagi apalagi ternyata dari perkawinan itu suamimu berhasil akan mendapatkan keturunan. Kalau hatimu memang terluka, kepergianmu ke Tanah Suci akan mengobati luka itu.”

Di depan ibunya Nauli termenung lagi.

“Kau akan mendapat kekuatan batin di sana,anakku. Tidak hanya itu. Kau harus menyadari, bahwa banyak tempat-tempat makbul untuk berdoa. Siapa tahu doamu di Jabal Rahmah atau di depan Multazam permohonanmu untuk mendapatkan anak akan dikabulkan Allah.”

“Hatiku tergugah,Bu. Tiba-tiba saja hatiku tergerak untuk menemani ibu,” sahut Bu Nauli.

“Kau belum terlambat untuk hamil dan punya anak, Nauli. Siapa tahu seteguk air zam-zam yang kau ambil sendiri dari sumbernya akan menjadi obat yang paling ampuh bagimu. Siapa tahu seteguk air zam-zam yang kau peroleh sendiri dan kau sapukan diperutmu kau akam hamil nanti!”

Tiba-tiba saja Bu Nauli bangkit dan memeluk ibundanya. Ada derai air mata di pipinya.

“Aku akan pergi ke sana bersama ibu. Aku akan menjual apa yang ada untuk dapat menjejakkan kaki di Masjidil Haram, juga untuk hadir di Arafah!” cetus Bu Nauli dalam pelukan ibunya.

“Syukurlah kalau hatimu memang tergugah!”

Sesaat Bu Nauli segera kekamarnya dan mengambil sebuah kotak berisi berbagai perhiasan. Bu Nauli menghitungnya satu demi satu. Ada kalung lengkap dengan mainannya, ada gelang, ada cincin dan juga subang. Semua perhiasan emas murni itu diperoleh dengan menabung sedikit demi sedikit . Setiap warga desa pasti selalu hidup sederhana sehingga dapat menabung. Lihatlah, perhiasan yang dimilikinya sudah mencapai 200 gram, hampir cukup untuk melunasi ONH yang tiap tahun terus naik.

“Rasanya belum cukup,Bu,” terdengar suara Bu Nauli setelah menghitung-hitung bila semua perhiasan itu dijual untuk melunasi ONH dan sekedar uang saku.

“Berdoalah satu dua hari ini mudah-mudahan Allah memberimu kemurahan rezeki. Pertolongan Tuhan selalu datang kalau untuk niat yang suci.”

“Bang Lindung masih memiliki dua sapi lagi.”

“Mungkinkah suamimu mengizinkan sapi itu dijual untuk tambahan ongkosmu?”

“Aku yakin hati Bang Lindung akan terbuka!”

“Ibu ikut berdoa!”

“Oh, ibu. Rasanya hari ini aku seperti mendapatkan rahmat.”

Sekali lagi Bu Nauli memeluk ibunya. Dia merasa belum terlambat untuk memohon hadirnya seorang bayi dalam rahimnya. Aku akan berdoa di Multazam. Aku akan memohon di depan Pancuran Emas. Aku akan memohon di Masjid Nabawi. Aku akan berdoa di Arafah. Aku akan meminta di Jabal Rahmah. Aku aku meneguk air zam-zam dan aku akan menyapukan air zam-zam yang kujemput sendiri di sumbernya pada perutku. Semoga Tuhan mengabulkan doaku. Semoga apa yang kuminta didengar Allah. Amien. Itulah doa Bu Nauli.

***

P

ERTOLONGAN Tuhan selalu datang kalau seseorang berniat suci dan ikhlas, apa lagi untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ke Tanah Suci. Hati Bang Lindung yang biasanya sekeras batu-batu gunung dan sukar untuk bergeser, tapi mendadak menjadi selembut sutera ketika mendengar Bu Nauli akan berangkat ke Tanah Suci.

Hati lelaki itu menjadi rapuh, apa lagi ketika mendengar untuk melunasi ONH uang dari hasil menjual perhiasan milik Bu Nauli masih kurang.

“Aku berharap Bang Lindung mau membantu,” pinta Bu Nauli.

“Bantuan apa?”, lelaki itu menatapnya. “Uang?. Kalau itu yang kau harapkan aku tidak memiliki banyak uang. Tapi kalau harus menjual salah seekor sapi kita tidak ada salahnya.”

“Sungguh?”

“Tentu!. Biar niatmu yang suci itu tidak terhalang.”

“Oh, Bang Lindung. Ternyata hati Bang Lindung selembut kapas. Kemana lagi aku memohon bantuan kalau tidak kepada Bang Lindung,” Bu Nauli rebah di dada suaminya.

“Besok sapi itu pasti jadi uang. Sebab di kota ada orang yang butuh seekor sapi untuk pesta perkawinan anaknya. Mudah-mudahan sapi itu laku dengan harga tinggi.”

“Syukurlah kalau begitu. Berangkat ke Tanah Suci tidak hanya butuh uang pas, tapi harus ada cadangan. Siapa tahu di sana jatuh sakit. Meski pun biaya perawatan ditanggung sepenuhnya oleh penyelenggara perjalanan haji, tapi ada hal-hal yang butuh biaya bila seorang jamaah jatuh sakit. Tawaf, Sa'i dan melontar jamrah harus mengupah orang kalau seseorang jatuh sakit atau tidak mampu.”

“Mudah-mudahan selama di sana Tuhan melindungimu.”

Bu Nauli masih rebah di dada suaminya. Dia rasakan detak-detak jantung lelaki itu. Terkadang Bu Nauli merindukan dekapan hangat suaminya,terutama di malam-malam yang dingin dan sepi. Sejak ada perempuan lain di sisi suaminya, apalagi sekarang, setelah perempuan yang dinikahi Bang Lindung hamil, terkadang sikap Bang Lindung mulai dingin.

Kasih sayang dan perhatian Bang Lindung lebih banyak untuk Tiurma yang kini perutnya mulai tampak seperti karung beras. Tidak seperti dulu lagi, dalam seminggu ,waktunya lebih banyak untuk perempuan kelahiran Tarutung itu. Terkadang dalam seminggu hanya satu malam saja bersama Bu Nauli. Di Tanah Suci nanti, terutama di depan Ka'bah yang dimuliakan jutaan umat muslim sedunia, tepat di depan multazam, Bu Nauli akan memohon agar kasih sayang suaminya kembali seperti dulu.

“Bawakan oleh-oleh untukku nanti!,” pinta Bang Lindung saat menyerahkan uang hasil menjual seekor sapi benggala.

“Oleh-oleh apa?”

“Sebuah cincin bermata zamrud yang berkilau.”

“Akh, kenapa harus zamrud?. Sudah waktunya Bang Lindung tidak percaya pada hal-hal magik dan mistik. Tidak ada kekuatan apa pun pada permata yang namanya zamrud, leontin atau lainnya meskipun harganya mahal.”

“Pokoknya sudah lama aku menginginkan cincin seperti itu yang dibawa dari Tanah Suci.”

“Bukankah lebih baik seuntai tasbih?. Dengan tasbih Bang Lindung dapat zikir dan selalu ingat kebesaran Tuhan.”

“Tasbih boleh juga, tapi zamrud itu tetap keharapkan.”

Bu Nauli tersenyum. Dia bersyukur Bang Lindung tidak hanya menyerahkan sejumlah uang hasil penjualan seekor sapi jantan, tapi juga memberi uang tambahan setengah juta.

“Terima kasih,Bang Lindung. Uang ini akan besar manfaatnya di Tanah Suci nanti. Siapa tahu aku jatuh sakit, sudah ada upah untuk tawaf keliling Ka'bah dengan tandu dan juga ketika melaksanakan Sa'i dengan kursi dorong.”

“Kau masih amat muda dan sehat. Tuhan dan malaikat akan melindungimu selama di sana. Malaikat akan selalu ada di sisimu nanti.”

Tekad untuk segera berangkat ke Tanah Suci sudah amat besar dalam hati Bu Nauli, sudah amat berkobar. Rasanya sudah tidak sabar Bu Nauli untuk hadir di telaga zam-zam yang penuh dengan keajaiban. Bu Nauli tidak sabar lagi untuk segera meneguknya, juga mengusap perutnya. Biar doanya untuk mendapatkan karunia anak dikabulkan Tuhan.

Jangan katakan warga desa adalah warga yang sangat melarat di negeri ini. Apa lagi bila padi yang ditanam tidak mengalami gangguan hama dan tidak terjadi bencana seperti banjir atau kekeringan. Pasti hasilnya lumayan. Warga desa dengan pola hidup sederhana pasti dari tahun ke tahun dapat menabung. Tanyalah penduduk desa, pasti memiliki simpanan emas. Warga desa memang sudah terbiasa hidup sederhana. Orang-orang yang bermukim di desa-desa sudah biasa hidup hemat.

Justru warga desa adalah sosok manusia yang tidak pernah terkena imbas krisis ekonomi yang berkepanjangan di negeri ini. Sebab warga desa tidak perlu membeli sayur, tidak perlu membeli lauk pauk. Untuk apa membeli lauk pauk kalau mereka memelihara ternak seperti ayam dan itik?. Telur ayam dan itik adalah lauk yang bergizi tinggi. Cabai dan sayur tinggal memetik di halaman. Dan yang paling tampak adalah warga desa sebagai sosok yang menerapkan hidup sederhana jauh dari pola konsumtif, jauh dari kebiasaan jor-joran dan mengumbar kemewahan.

Itu sebabnya tiap tahun banyak jamaah haji yang berangkat ke Tanah Suci berasal dari desa dan terkadang dari desa yang terpencil. Mereka melunasi ONH dengan menjual ternak atau hasil panen. Tidak pernah ada warga desa yang berangkat ke Tanah Suci dengan uang haram hasil korupsi atau perbuatan dosa lainnya.

Bila Bu Nauli berangkat nanti, uangnya juga benar-benar bersih dan halal. Dia tidak akan tersesat di sana. Dia tidak akan jatuh sakit di sana. Dia tidak akan mengalami kesulitan nanti. Beda dengan orang kota yang berangkat menunaikan ibadah itu dengan uang hasil menipu, menggerogoti uang negara, dari komisi dan perbuatan tercela lainnya. Pasti disana akan mendapat hukuman dari Allah dan mereka akan tersesat, akan hilang atau jatuh sakit. Yang kehilangan uang di tanah suci juga banyak karena uang yang diperoleh tidak jelas asal usulnya.

***

A

IR mata berderai-derai ketika suara azan terdengar mengiringi langkah Bu Nauli keluar dari rumah untuk selanjutnya terbang menuju Jeddah. Para tamu amat banyak, terutama kerabat dekat, jiran tetangga dan sesama guru. Amat banyak tamu-tamu yang ikut menitikkan air mata pada saat melepas kepergian Bu Nauli menuju ke tempat yang amat jauh, menyeberangi hutan belantara, menyeberangi gunung-gunung, lembah ,samudera maha luas dan gurun pasir gersang.

Namun yang amat mengharukan adalah tangis seorang bocah perempuan murid kelas tiga es-de yang selalu amat dekat dengan Bu Nauli. Bocah yang tangisnya amat mengharukan itu adalah Ronggur.

“Ronggur tidak ingin kehilangan ibu,” ujar bocah itu dengan mata basah.

“Ibu tidak pergi selamanya,Ronggur. Ibu akan pulang lagi!, Ibu akan hadir di depan kelas lagi. Ibu akan memberi pelajaran lagi nanti,” Bu Nauli memeluk gadis cilik itu.

“Maukah ibu mendoakan saya?”

“Tentu!. Doa apa yang kamu minta?”

“Ibu saya sudah tidak ada. Doakan saya, andainya ayah saya menikah lagi nanti sebaiknya dengan seorang perempuan yang baik, seperti Bu Nauli.”

“Seperti ibu?,” Nauli menunjuk dadanya sendiri “Kenapa harus seperti ibu?”

“Hati ibu lembut. Hati ibu penuh dengan kasih sayang. Hati ibu seperti sutera. Ronggur takut kalau ayah kawin lagi nanti dengan seorang ibu yang hatinya keras seperti baja. Ronggur takut pengganti ibu tidak memiliki kasih sayang....,” gadis cilik itu tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena tersedak. Isak tangisnya amat mengharukan.

“Ibu akan berdoa untukmu, Ronggur. Percayalah kalau ada seorang ibu yang akan menggantikan almarhumah ibumu adalah seorang ibu yang hatinya mulia.” Bu Nauli membujuk seorang muridnya yang selalu dekat dengannya. Nauli juga menyeka air mata yang mengalir di pipi bocah itu.

“Ronggur tidak mau tinggal di rumah lagi kalau ayah menikah dengan perempuan yang hatinya keras. Ronggur tidak mau tinggal di rumah kalau pengganti ibu tidak sayang kepada Ronggur,” terdengar lagi suara bocah cilik itu. Air matanya masih berderai-derai. Dia merasa kehilangan Bu Bu Nauli, seorang guru yang sudah amat lekat di hatinya.

“Ronggur akan tinggal dimana kalau tidak mau di rumah?,” Bu Bu Nauli menatapnya amat dalam dan sekali lagi menyeka air mata di pipi gadis cilik itu.

“Ronggur mau tinggal di sekolah!”

“Tapi di sekolah tidak ada tempat tidur.”

“Ronggur akan tidur di bangku kelas.”

Bu Nauli amat terharu mendengar keluhan gadis cilik itu. Kepergian ibu kandungnya amat memukul batinnya. Di hati gadis cilik itu ada rasa takut , bahwa suatu saat nanti dia akan mendapatkan pengganti ibunya seorang ibu yang tidak memiliki kasih sayang.

“Tidak usah terlalu sedih,Ronggur.Ibu akan selalu berdoa untukmu. Percayalah, kamu akan mendapatkan pengganti ibu seorang ibu yang hatinya lembut dan penuh cinta kasih,” lama Bu Nauli memeluk muridnya yang paling dia sayangi dalam kelas itu.

“Saya juga mohon agar Bu Nauli berdoa untuk masa depan saya,” pinta gadis cilik itu lagi.

“Kamu mau jadi dokter?”

Gadis itu menggeleng.

“Mau jadi sarjana hukum?”

Gadis cilik itu menggeleng lagi.

“Lalu mau jadi apa?”

“Saya ingin jadi guru seperti Bu Nauli!”

“Kalau hanya itu yang kamu pinta, ibu pasti doakan untukmu!”

Bu Nauli menahan rasa haru yang dalam di hatinya. Tamu-tamu amat banyak, namun yang paling bersedih adalah gadis cilik itu. Beda dengan Bang Lindung, tidak sedikit pun menitikkan air mata. Tidak ada rasa haru tampak di wajahnya padahal Bu Nauli pergi amat jauh dan lama. Padahal udara di Madinah teramat dingin, dibawa 5 derjat dan di Arafah justru panasnya seakan membakar ubun-ubun serta makanan pun tidak sesuai. Lebih mengerikan lagi suasana ketika ibadah pelontaran jamrah dan dua juta manusia saling berdesakan dan puluhan korban terkadang berjatuhan di sana, mati terinjak para jemaah lainnya.

Tentu saja Bang Lindung tidak merasa sedih karena di sisinya sudah ada seorang isteri cantik yang sebentar lagi akan melahirkan anak sebagai penerus keturunan yang bertahun-tahan amat didambakannya. Hingga saat ini pun waktunya lebih banyak bersama Tiurma. Bu Nauli seakan mulai tersisih dari sisi Bang Lindung.

Tandanya jalan hidup Bu Nauli selalu lurus dan bersih, dalam perjalanan itu dia selalu mendapat kemudahan dan seakan malaikat selalu ada di sisinya, selalu melindungi dirinya.

Dalam perut pesawat berbadan besar menuju daratan Saudi Arabia, Bu Nauli dan ibunya mendapat tempat duduk dekat jendela. Sepuas hatinya dia dapat memandang awan bergumpal-gumpal dibawah pesawat. Bu Nauli juga dapat memandang persawahan yang menghijau,memandang kebun-kebun karet dan kelapa sawit sepanjang pegunungan dan juga sungai-sungai .Teramat indah kulit bumi ini terlihat dari langit. Keindahan seperti itu pula yang dimiliki bumi Mandailing, tempat kelahiran Bu Nauli yang kini sudah tertinggal jauh.

Laut maha luas juga tampak amat indah. Apalagi ketika pesawat itu sudah memasuki kawasan zazirah Arab, tampak gurun pasir kemerahan, kebun-kebun kurma dan ladang-ladang minyak. Jangan katakan di tengah gurun gersang itu tidak ada kebun sayur mayur dan bunga-bunga indah. Justru saat ini zazirah Arab banyak menghasilkan sayur mayur, buah-buahan dan hasil pertanian lainnya. Negeri Arab memang amat kaya dan penuh pesona,penuh nilai-nilai sakral.

Betapa Bu Nauli amat bersyukur ketika tiba di Madinah ditempatkan di lantai l0 hotel berbintang empat, Al Andalus. Seumur hidupnya baru kali ini, ketika dia menunaikan ibadah haji, dia tidur di hotel berbintang ,lengkap dengan pesawat televisi, mandi pun tersedia air dingin atau panas.

Dari lantai l0 hotel itu Bu Nauli dapat memandang keliling kota Madinah. Madinatul Munawarrah sungguh menakjubkan, indah dan mempesona, apalagi pada waktu malam, lampu-lampu di sekitar masjid Nabawi gemerlapan.

Dan yang lebih disyukuri Bu Nauli, hotel itu amat dekat dengan Masjid Nabawi yang amat dimuliakan berjuta-juta umat muslim dan di sisinya terletak Makam Rasululullah Muhammad S.a.w. Hanya beberapa langkah, Bu Nauli sudah sampai di depan pintu masjid yang amat megah itu. Tiap pagi, meski pun udara sedingin salju dan angin gurun yang berhembus membawa serpihan pasir, Bu Nauli sudah berada di pintu masjid yang masih ditutup.

Tangisnya berderai ketika Bu Nauli dan ribuan jamaah menziarahi makam Rasululullah. Semua menitikkan air mata, sebab menyadari, betapa amat berat perjuangan Rasulullah dalam menegakkan Islam.

“Syukur pada-Mu, Tuhan.” ucapnya ketika pertama kali Bu Nauli bersimpuh di Masjid Nabawi, dan malaikat seperti menuntunnya untuk mendapatkan tempat sholat paling depan. Di tempat itu Bu Nauli berdoa, semoga suatu saat nanti Allah memberinya anak. Tidak hanya ingin mendapatkan seorang keturunan, tapi dia juga berdoa agar suaminya tidak lagi terlalu percaya kepada hal-hal yang berbau mistik dan magik. Bahkan sampai hal-hal yang amat kecil didoakannya, terutama agar suaminya tidak lagi merokok. Siapa tahu kemandulan itu terjadi disebabkan suaminya yang terlalu kecanduan terhadap asap tembakau.

Bu Guru kelas tiga yang berasal dari sebuah desa di kaki bukit di kawasan Mandailing itu menahan keharuan ketika kakinya terjejak di puncak Jabal Uhud.

Hati siapa yang tidak terharu tegak di puncak Jabal Uhud karena di sinilah dulu terjadi pertempuran paling dahsyat antara para pejuang muslim dengan musuh-musuh Islam . Di Jabal Uhud ini banyak sahabat Nabi yang gugur di medan tempur. Di Jabal Uhud inilah puluhan syuhada gugur di antaranya adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman nabi.

Hukuman Tuhan bagi ummat yang melakukan dosa-dosa besar ketika di tanah air selalu mendapat ganjaran di tanah suci. Ganjaran itulah yang dilihat Bu Nauli ketika dia dan ibunya menuruni lereng Jabal Uhud, ketika seorang lelaki gagah tiba-tiba saja terjatuh dan tidak mampu berdiri lagi. Lelaki itu terpaksa turun dengan dipapah.

“Laki-laki itu menerima hukuman Tuhan karena hadir di Tanah Suci dengan uang yang tidak jelas asal-usulnya,” terdengar komentar orang di sisi Bu Nauli.

“Seperti itulah jadinya kalau seorang pejabat di instansi pemerintah berbuat tidak jujur, memberi makan anak isteri dengan hasil menggerogoti uang rakyat. Di sini , di Jabal Uhud ini stroke menyerangnya dan membuatnya lumpuh.” ujar seorang jamaah lainnya.

“Tanah Suci seakan tidak mau menerima kehadiran orang-orang yang banyak menyulap uang rakyat,”

Bu Nauli hanya menghela nafas panjang. Baru saja pulang dari Jabal Uhud, ketika akan memasuki kamarnya, ketika dalam lift,dia bertemu dengan seorang wanita dengan bibir bengkak dan dua hari tidak dapat menelan nasi.

“Udara dingin menyebabkan bibir perempuan itu pecah-pecah dan terserang infeksi,” komentar salah seorang. “Tapi bukan udara sangat dingin sebagai penyebab utamanya. Mungkin selama hidupnya gemar menggunjingkan orang,bahkan terkadang menyebarkan fitnah.”

Kasihan perempuan itu, hukuman Tuhan atas prilakunya selama di tanah air demikian cepat diterimanya pada hari ketiga berada di Tanah Suci.

“Dengan keadaan bibir pecah-pecah dan bengkak serta diiringi infeksi mana mungkin dapat menyelesaikan sholat Arbain,” ujar Bu Nauli.

“Begitulah kehidupan dikota, perempuanlah yang paling senang bergunjing dan menyebarkan fitnah.” terdengar suara ibunya

“Perempuan pula yang selalu memutuskan tali silaturrahmi, beda dengan warga desa yang selalu menjaga lidahnya dari kata-kata yang tidak berguna.”

Hari berikutnya, ketika suasana Madinah masih gelap, ketika azan subuh masih lama berkumandang , Bu Nauli sudah bangun, sudah bersiap-siap untuk berangkat ke masjid, tapi temannya sesama jamaah yang menempati kamar di lantai l0, mengeluh tidak dapat bangkit karena kakinya bengkak dan tidak dapat berjalan. Suhu udara dibawah 5 derjat menyebabkan asam uratnya kambuh, bahkan menyebabkan dia tidak mampu berjalan.

Ya, Tuhan. Tidak hanya udara dingin menyebabkan jamaah itu terserang asam urat, tapi karena datangnya hukuman Tuhan. Karena selama hidupnya gemar berfoya-foya, gemar melangkahkan kakinya ke tempat hiburan seperti karaoke, pub dan diskotik.

“Sebelum bermunajat di Padang Arafah dan dosanya mendapatkan pengampunan, dia harus merasakan ganjaran terlebih dulu,” cetus Bu Nauli.

“Begitulah warna kehidupan di kota-kota besar, selalu penuh dengan dosa-dosa besar pula. Beda dengan kehidupan di desa kita, warganya selalu polos dan bersih dari dosa,” sahut ibunda Bu Nauli yang sudah berusia diatas 50 tapi masih tegar dan energik. Berjalan jauh ketika ziarah ke Masjid Qubah, ke Masjid Sa'ah langkahnya selalu ringan.

****

B

ETAPA Bu Nauli amat bersyukur, malaikat seakan melindungi dan menuntunnya ketika tawaf tujuh kali keliling Ka'bah dan diakhir tawaf itu Bu Nauli dengan mudah mencium Hajar Aswad. Padahal ketika musim haji, apa lagi menjelang dan sesudah wuquf, mengerjakan tawaf bukanlah ibadah yang mudah karena ribuan jamaah dari seluruh pelosok dunia saling berdesakan.

Begitu juga dengan sholat dua rakaat di Maqam Ibrahim serta di Hijir Ismail, semua amat lancar dikerjakan guru dari desa itu. Jamaah bertubuh besar dari Afrika seakan menyingkir jauh ketika Bu Nauli dan ibunya sholat di sana. Begitu juga ketika tawaf, jamaah bertubuh besar itu selalu memberi jalan. Apa lagi ketika sa'i, ketika berjalan menelusuri bukit Safa dan Marwah tujuh kali, tidak ada kesulitan apa pun.

Air mata pun berderai lagi ketika seorang guru dari desa di kaki bukit di Mandailing itu bermunajat persis di depan Multazam, di antara Hajar Aswad dan pintu Ka'bah. Rasanya hampir tidak mungkin menjadi kenyataan, seorang guru di desa yang letaknya jauh dari kota besar, yang gajinya kecil, kini bersimpuh di depan tempat yang paling dimuliakan, yakni Ka'bah.

Di Multazam itulah amat lama Bu Nauli berpasrah diri kepada Tuhan dan memanjatkan doa.

“Ya, Allah. Hanya karena kebesaran-Mu, hanya karena pertolongan-Mu, aku dapat hadir di tempat yang amat mulia ini,” sepasang bibir Bu Nauli bergetar lirih dan melantunkan doa-doa agar jalan hidupnya selalu jauh dari dosa meski pun sekecil butiran pasir, agar selalu dapat beramal ibadah. Dan yang paling dimintanya adalah kehadiran seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri.

“Ya, Rabbi. Aku mohon anugerah-Mu. Aku sangat merindukan seorang anak yang lahir dari rahimku. Aku mohon rahmat-Mu, jadikan aku seorang perempuan sejati yang dapat mengandung, yang dapat mempersembahkan seorang anak bagi suamiku,”

Sesaat perempuan yang berasal dari desa di kaki bukit itu tertegun ketika usai bermunajah di Multazam kemudian melangkah ke arah sumur zam-zam yang penuh dengan mukzizat itu. Lihatlah sumur itu tidak pernah kering meski pun pada musim haji lebih dua juta ummat meneguknya dan membawanya pulang ke tanah air.Sumur yang airnya amat bening itu tidak pernah kering dan tanpa dimasak kebersihannya dijamin Allah. Tidak pernah ada seorang pun jamaah yang sakit perut meneguk air zam-zam. Justru air zam-zam itu banyak diyakini orang menyembuhkan berbagai penyakit.

Tidak ada tempat yang sepi di tanah suci pada musim haji, bahkan Gunung Sila' di kawasan Khandak, juga orang berziarah kesana untuk mengunjungi lima masjid yang megah di sana.

“Di tempat ini dulu Rasul membuat parit-parit perlindungan untuk menghindari serangan kaum musyrik,” terdengar suara Bu Nauli di sisi ibunya. Sebagai seorang guru yang selalu taat beribadah, Bu Nauli senang membaca. Karena itulah dia tahu, bahwa Rasulullah saat akan diserbu oleh bala tentara Quraisy bersama sekutunya dari Yahudi Nadir dan Bani Ghathfan, segera membuat parit perlindungan di Khandak.

Sang ibu sesaat tertegun di kawasan itu dan ingat betapa amat berat perjuangan Rasulullah dalam menegakkan Islam.

Tempat kelahiran Rasul di kawasan Syughullail dan sekarang menjadi Perpustakaan Makkatul Mukarramah juga selalu ramai dikunjungi orang. Lebih ramai lagi suasana di Jabal Nur dan disana terdapat Gua Hira dan jaraknya hanya 6 KM dari Masjidil Haram. Jabal Tsur yang letaknya tidak terlalu jauh dari Ka'bah juga tidak pernah sepi. Bahkan kompleks kuburan pun seperti Ma'alla, tempat makam Khadijah ,isteri Rasul, selalu ramai dikunjungi orang.

Di sumur zam-zam keadaannya lebih ramai lagi. Jammah yang baru saja selesai melaksanakan tawaf dan sa'i, lalu menyerbu sumur zam-zam dan meneguknya dengan penuh kesyukuran. Air zam-zam itu tidak hanya menghilangkan dahaga, tidak hanya menghilangkan kelelahan, tapi banyak memiliki mukzizat lainnya.

Sesaat di depan telaga itu Bu Nauli tertegun. Demi Tuhan, seorang guru di desa yang gajinya kecil, tapi langkahnya telah terbawa sejauh ribuan mil dari rumah dan kini berada di depan sumur zam-zam yang penuh dengan mukzizat itu.

“Ayo,teguklah air zam-zam itu,Nauli!,” terdengar suara ibunya ketika Bu Nauli masih tertegun. “Teguklah dengan nikmat dan bacalah doa. Bukankah kau ingin kehadiran seorang anak?. Usapkanlah air zam-zam itu di perutmu!,”

Perlahan sekali dengan kedua telapak tangannya Bu Nauli menampung air zam kemudian meneguknya. Betapa amat sejuk air yang melewati kerongkongannya, betapa amat nikmat. Rasanya Bu Nauli seperti mendapatkan tambahan tenaga setelah lelah melakukan tawaf dan sa'i. Dalam waktu sekejap, setelah Bu Nauli meneguk air zam-zam kelelahan pada dirinya hilang dan tubuhnya kembali segar bugar. Tubuhnya terasa amat ringan.

Sesaat Bu Nauli menengadahkan tangannya ke atas, dia menyebut kebesaran Allah. Dari celah bibirnya terdengar doa:

“Allahumma inni as-aluka 'ilman naafi'an wa rizqan waasi'an wa syifaa an min kulli dan-in wasaqam,” Bu Nauli menahan genangan air mata.

“Ya Allah aku memohon padaMu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, rezeki yang luas dan juga rezeki keturunan serta sembuh dari segala macam penyakit. Ya Allah, hadirkanlah dalam rahimku seorang bayi dari suamiku. Amien.”

Usai meneguk air zam-zam , usai membaca doa itu air matanya tidak terbendung. Bu Nauli juga menyapukan air zam-zam itu di atas perutnya dan menembus pakaiannya hingga terasa sejuk ke bagian perutnya, terasa sejuk hingga sel-sel darahnya. Malaikat pun ikut mengaminkan doa itu. Malaikat pun seakan berkata kepada seorang guru dari desa yang terpencil namun amat subur itu dan sedang berada di sisi telaga zam-zam.

“Allah mendengar doamu,wahai perempuan soleha. Allah akan mengabulkan doamu, wahai manusia berhati mulia. Setelah kau pulang nanti, Allah akan menghadirkan seorang bayi dalam rahimmu. Itulah rahmat untukmu!,” suara itu amat lirih terdengar, persis di depan telaga zam-zam yang airnya baru saja diteguk Bu Nauli dan ibunya.

Sungguh air zam-zam yang sejuk dan penuh dengan rahmat. Bu Nauli amat merasakan hal itu. Dia pun menyadari, air zam-zam itu muncul karena penderitaan seorang perempuan bernama Siti Hajar yang ditinggalkan suaminya sementara dia membawa seorang anak tercinta, Nabi Ismail. Namun perempuan itu berhati tabah meski pun berjalan mondar-mandir antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari seteguk air. Jejakkan kaki Ismail di atas padang pasir yang gersang ternyata mengundang keajaiban dan mukzizat, sebab seketika air yang amat jernih pun memancur. membasahi padang pasir yang amat luas itu. Siti Hajar pun meneguk air itu dan berjuta-juta ummat juga menikmati air zam-zam itu hingga kini, hingga akhir zaman. Telaga itu tidak pernah kering.

Kepada siapa lagi mengakui semua dosa dan memohon keampunan kalau tidak kepada Allah semata-mata?. Bermunajat dan memohon maghfirah di Padang Arafah benar-benar mengundang tangis yang tidak terbendung.

“Lihatlah, Bu. Di Padang Arafah ini bagaikan sedang turun hujan air mata yang amat deras. Berjuta-juta manusia tidak mampu membendung derai tangisnya,” terdengar suara Bu Nauli di sisi ibunya ketika dia sengaja keluar dari tenda untuk membiarkan ubun-ubunnya dibakar matahari.

“Di sinilah kita merasakan kebesaran Allah,” sahut ibunya. “Semua manusia sama derjatnya di sini,”

Lama ibu dan anak yang berasal dari desa itu merasakan terik matahari yang membakar kulit di tengah padang pasir yang amat luas . Mereka berasal dari desa, sementara di sisi mereka seorang pimpinan bank juga ikut menitikkan air mata. Juga pejabat penting di instansi pemerintah, konglomerat, dosen, dokter, ahli hukum, menteri, semua merasakan terik matahari yang membakar ubun-ubun. Semua menangis. Semua memohon keampunan.

Mereka semua bersujud, semua bermunajat kepada Allah dan semua sama dan setara di sisi-Nya. Tidak ada keistimewaan seseorang di tempat itu meski pun dia pejabat, orang kaya atau petani miskin.

Dalam hal melontar jamrah dan lebih dua juta ummat berdesakan disana, Tuhan juga tidak memberi keistimewaan bagi orang kaya dan warga kota. Justru warga desa yang hidupnya sederhana namun selalu polos dan jalan hidupnya selalu lurus selalu diberi kemudahan.

“Tuhan, bakarlah diriku pada terik matahari di Padang Arafah ini, tapi jangan lagi Engkau membakar diriku di api neraka nanti,” doa itu diucapkan Bu Nauli diiringi derai air matanya.

Keringat membasahi pakaiannya namun tetap saja Bu Nauli tidak bergeming dan bibirnya berkomat--kamit membaca doa wuquf. Sebentar lagi, dia akan meninggalkan Arafah, melakukan pelontaran Jamrah, lalu kembali ke Masjidil Haram untuk tawaf Ifadah kemudian pulang ke tanah air dengan diri yang bersih dari dosa. Pulang dengan membawa kenangan indah selama amat dekat dengan Allah di tanah suci.

Di tempat pelontaran Jamrah Aqabah, Bu Nauli melihat sendiri seorang lelaki terjatuh dan terinjak-injak oleh jamaah lainnya. Dari hidung dan mulut lelaki itu mengeluarkan darah. Lelaki itu sedang menerima ganjaran dari Allah di tempat pelontaran jamrah itu. Sebab selama hidupnya lelaki itu banyak melakukan dosa, mencari nafkah dengan cara yang tidak halal.

Lelaki itu adalah seorang pejabat di instansi pemerintah, tiap saatnya menerima pegawai baru pasti perutnya tambah buncit, sebab dia selalu menerima uang suap dari para calon pegawai di instansinya. Biarlah lelaki itu menerima hukuman dari Tuhan ketika menunaikan ibadah haji, sementara manusia-manusia yang jalan hidupnya selalu lurus senantiasa didampingi malaikat dan mendapat kemudahan, seperti yang dialami Bu Nauli dan ibunya.

****

P

ULANG ke kampung halaman membawa rahmat yang amat besar, itulah yang banyak dirasakan mereka yang menunaikan ibadah haji dengan niat yang benar dan ikhlas. Rahmat itu tidak hanya dirasakan oleh Bu Nauli sendiri, tapi juga bagi warga desanya.

Hasil sawah meningkat hampir dua kali lipat karena hama wereng atau tikus tidak berani mendekat. Burung-burung pemakan padi pun menyingkir jauh. Pemanjat-pemanjat pohon aren atau yang biasa disebut “si paragat” tiap hari selalu bernyanyi gembira karena perolehan nira yang meningkat, bahkan melimpah. Produksi gula bargot jauh lebih banyak di desa itu.

Para penenun ulos atau kain adat juga tampak gembira karena pesanan melebihi dari biasanya. Pasaran gula bargot dan kain adat itu hingga menyeberang ke Pulau Jawa. Bahkan rahmat Tuhan itu juga turun ke desa-desa tetangga seperti desa Siapar Dolok Hole, desa Tor Pangulubalang, desa Salgundi, Aek Batangka, Aek Lotong hingga Pangkal Dolok dan desa Sigordang Lombang. Desa-desa itu benar-benar makmur dan warganya hidup sejahtera dan damai.

Sejak kepulangan Bu Nauli dari Tanah suci, warga desa yang sakit berbulan-bulan mendadak sembuh setelah meneguk air zam-zam yang diberikan Bu Nauli.

“Ompung Ojaan sangat berterima kasih kepadamu, Nauli. Penyakit yang sudah lama diderita Ompung Ojaan sembuh dan mampu memanjat pohon aren lagi!,” ujar salah seorang tetangga.

“Kesembuhan itu karena izin Allah,” sahut Bu Nauli yang kini lebih kental melakukan ibadah. Sholat Duha dan Tahajud lebih sering dilakukannya.

“Terimalah kiriman Ompung Ojaan sebagai tanda terima kasihnya,” tetangga itu mengulurkan sekeranjang gula bargot hasil produksinya sendiri. Ompung Ojaan yang sudah berumur lebih lima puluh tahun itu memang seorang pemanjat pohon aren yang benar-benar piawai. Nyanyiannya yang merupakan mantera-mantera di puncak pohon enau agar air nira yang diperoleh melimpah selalu enak didengar. Tidak hanya gula bargot yang diberikan Ompung Ojaan, tapi juga sepasang ayam untuk diternakkan.

Sebagai tanda kepulangan Bu Nauli dari Tanah Suci membawa rahmat, ternak-ternak milik warga desa itu populasinya jauh meningkat. Sapi-sapi betina cepat hamil dan lahirlah anak-anak sapi yang gemuk. Juga kambing dan kerbau.

Warga juga semakin sehat, sehingga Puskesmas yang dipimpin Dr.Jamilah Parinduri tiap hari sepi karena tidak ada pasien. Dokter yang masih amat muda itu hanya duduk-duduk membaca buku atau memasak arsik ikan mas, juga membuat sambal tuk-tuk. Sesekali dokter muda itu memutar kaset dan dia amat asyik mendengar musik tradisional gondang serta alunan suara “Onang-Onang Intan Soripada”.

Dokter muda itu bagaikan sedang berada di tengah laut, di atas sebuah sampan dan ombak laut membuatnya terayun-ayun di atas sampan itu. Lirik Onang-onang yang terdengar seakan angin yang berhembus lembut membelai tubuhnya.

Sesekali dokter muda yang masih gadis itu mendengar musik Si Togol dan liriknya menyebabkan dia terkenang pada pacarnya yang sedang bekerja di tempat yang jauh. Lirik nyanyian Si Togol memang selalu bernuansa kerinduan, kemesraan, cinta, kasih sayang, tetapi terkadang juga bermuatan kesedihan saat terjadi perpisahan.

Dr. Jamilah Parinduri yang cantik itu memang amat gemar musik tradisional daerah kelahirannya.Bunyi-bunyian dari sekelompok alat musik tradisional yang terdiri dari gendang inang, ogung jantan, ogung boru-boru, beberapa buah talempong, gong kecil. sepasang tali sayat ditambah dengan seLindungng bambu sungguh amat memikat hati dan menyentuh jiwa.

Siapa menyangka, bahwa seorang perempuan hamil yang tampak sehat tapi mengalami kesukaran pada saat melahirkan?. Dan perempuan itu adalah Tiurma. Sudah dua hari perutnya terasa mulas yang tidak tertahan. Perutnya terasa seperti dipulas-pulas,bahkan terasa hampir pecah, tapi bayi yang dikandungnya belum juga mau lahir ke dunia. Apa lagi pada bagian pinggul, sakitnya tidak tertahan.

“Aku tidak tahan lagi,Bang Lindung!. Tolong aku!,” Tiurma meronta-ronta menahan sakit yang luar biasa, namun bayi itu belum juga ingin lahir.

“Kuatkan tenagamu, Tiur!,” hanya itu yang mampu diucapkan Bang Lindung yang senantiaa memegang tangan Tiurma dan memberinya semangat. Orang-orang merasa iba melihat perempuan hamil itu terus menerus mengerang kesakitan.

Lelaki itu tidak sampai hati melihat isterinya dalam keadaan seperti itu. Dia melihat seakan ada mahluk halus yang mengganggu. Lelaki itu merasa ada mahluk jahat yang menutupi jalan lahir bayinya. Bang Lindung memang masih amat percaya pada hal-hal yang mengandung unsur mistik dan magik.

Itulah sebabnya, mobil tua itu segera melaju amat kencang menuju rumah seorang dukun bersalin di ujung kampung.

“Isterimu sedang disusupi begu golang-golang!,” ujar sang dukun setelah membaca mantera-matera.

Bang Lindung kaget setengah mati mendengar isterinya disusupi mahluk halus.

“Lalu bagaimana untuk mengusirnya agar bayi itu segera lahir?,” Bang Lindung memelas.

“Sediakan benang tiga warna, merah, hitam dan putih!,” pinta sang dukun dengan mimik meyakinkan. “Juga sediakan pisau kecil,lidi dan tarugi atau sapu ijuk!”

Amat tergesa-gesa Bang Lindung mencari benda-benda yang diminta sang dukun. Semua segera diserahkan kepada sang dukun untuk mengusir mahluk jahat yang menghalangi jalan lahir anaknya.

“Begu golang-golang memang amat sulit untuk diusir, apa lagi untuk dikembalikan ke tempat asalnya.” ujar sang dukun setelah membaca mantera-matera untuk mengusir mahluk halus. Lama sepasang bibir dukun itu berkomat-kamit membaca doa. Di depannya mengepul asap kemenyan dan tanah kuburan juga ada di sana.

“Bagaimana jadinya. Sudah pergikah hantu golang-golang itu?”

“Untuk mengusirnya kita perlu burung elang biar elang itu yang akan membawa mahluk halus itu terbang jauh.”

“Burung elang?. Dimana aku harus menangkap burung elang?,” Bang Lindung merasa kepalanya pening. Untuk menangkap elang bukanlah hal yang mudah.

“Kalau elang tidak dapat ditangkap, carilah kumbang jantan!”

“Kalau kumbang yang dibutuhkan mudah-mudahan gampang didapat!”

Hanya butuh sesaat di halaman depan, di antara kuntum-kuntum bunga Bang Lindung memang dengan mudah menangkap seekor kumbang jantan. Dukun itu kembali bekerja dengan mantera-manteranya.

Namun bayi yang dikandung Tiurma belum juga tampak ada-ada tanda akan segera lahir. Tiurma semakin sering mengeluh kesakitan. Perutnya seakan meledak dan melilit-lilit.

Seorang ompung mora yang sudah tua dan giginya ompong segera menghampiri Bang Lindung.

“Seharusnya tidak perlu memanggil dukun, Lindung!,” terdengar suara ompung mora.

“Tapi bayi itu tidak mau lahir. Kasihan Tiurma mengerang terus karena si golang-golang yang menempel pada dirinya.”

“Jangan terlalu percaya pada hal-hal seperti itu. Isterimu bukan kemasukan roh halus, tapi Tuhan memang belum menghendaki anakmu lahir.”

Ompung mora segera menepuk pundak Bang Lindung dan terdengar lagi suaranya:

“Kau lupa isterimu Nauli baru pulang dari Tanah Suci. Mintalah air zam-zam seteguk saja lalu berikan kepada Tiurma. Seteguk air zam-zam biasanya sudah cukup untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit dan memudahkan perempuan hamil melahirkan bayinya.”

Tanpa menunggu lebih lama, mobil tua itu segera meluncur ke arah rumah Nauli. Hati perempuan yang baru pulang dari tanah suci itu memang selalu lembut dan pemurah, apa lagi kalau yang diminta hanya seteguk air zam-zam. Nauli pasti memberikannya dengan ikhlas. Di hati Nauli memang tidak pernah ada kebencian. Lihatlah, kehadiran Tiurma menyebabkan Bang Lindung jarang berada di rumahnya, tapi Nauli tidak membenci perempuan itu.

“Semoga seteguk air zam-zam ini memberi kemudahan kepada isterimu untuk melahirkan!,” ujar Bu Nauli kepada suaminya.”Aku juga ikut berdoa semoga bayinya segera lahir.”

Bagaikan terbang, lelaki itu kembali menemui Tiurma yang tampak seperti kehabisan tenaga. Hanya seteguk air zam-zam yang melewati kerongkongannya, Tiurma merasa dada dan perutnya sejuk. Sesaat kemudian,setelah sisa air zam-zam itu disapukan pada puncak perut Tiurma, bayi itu lahir dengan mudah. Padahal yang disapukan di perut Tiurma hanya beberapa tetes, tapi khasiatnya luar biasa.

Tangis bayi itu terdengar melengking tinggi, seperti memanggil seseorang yang kini sedang bersembunyi dari satu tempat ke tempat lainnya.

Betapa Bang Lindung amat bersyukur. Kegembiraan tampak di wajahnya ketika melihat bayi itu adalah bayi laki-laki yang mungil. Hingga detik itu, Bang Lindung tidak menyadari, bahwa bayi itu tidak sedikit pun mirip dengannya, sebab ayahnya adalah orang lain yang mendatangi Tiurma ketika malam kelam, gelap dan sepi.

“Anak kita laki-laki, Bang Lindung,” bisik Tiurma masih amat lemah.

“Ya, laki-laki, seperti yang kuinginkan. Aku bangga padanya.”

Tiurma tersenyum.

“Apakah kita segera melakukan adat anak tubu?,” Tiurma menatap wajah suaminya yang tampak sangat gembira dan bahagia.

“Tentu, Tiurma. Sekali gus dengan acara paginjang obuk,” sahut Bang Lindung lagi. Paginjang obuk adalah acara adat memotong rambut bayi yang kelak dimasukkan dalam kelapa muda lalu ditanam. Bang Lindung juga menyebut upacara paijur tano, atau membawa sang bayi turun ke tanah lalu diiringi dengan upacara adat manangko dalam yang berari mencari jalan buat si bayi.

Pekik “Horaaas” terdengar bergaung serentak di rumah itu ketika segenap famili dan kerabat berkumpul menghadiri acara adat itu. Semua ikut gembira sebab seorang lelaki yang bertahun-tahun merindukan lahirnya seorang anak, kini anugerah Tuhan itu baru diperolehnya, dari perkawinannya yang kedua.

Dan bayi laki-laki yang baru lahir ke dunia itu diberi nama “Monang”, artinya seseorang yang akan selalu memperoleh kemenangan. Sebab ayah bayi itu menganggap hidup ini adalah arena pacuan untuk mengejar kehidupan yang lebih baik dan bayi yang baru lahir itu harus mampu memenangkan pacuan itu.

****

S

UARA merdu selalu terdengar di rumah itu sejak lahirnya seorang bayi laki-laki bernama Monang. Seorang ibu cantik ternyata memiliki suara amat merdu ketika meninabobokkan bayinya. Pagi dan sore, bahkan ketika malam hari ibu cantik itu melantunkan lagu-lagu tradisional marbue-bue atau senandung menidurkan anak.

Bayi itu pasti tidak mau tidur pulas sebelum ibunda yang melahirkannya mendendangkan nyanyian itu. Mata bayi itu tetap saja membelalak sebelum ibundanya melantunkan bue-bue.

Malam itu pun ketika sedang sepi dan gerimis turun rintik-rintik, suara merdu itu terdengar lagi . Angin yang berhembus giris membawa udara dingin, juga menyebabkan suara bue-bue yang amat merdu itu terdengar hingga jauh, hingga terdengar oleh seorang berpakaian kumal dan bertongkat. Siapa lagi lelaki bertongkat itu kalau bukan Bang Dapot yang hatinya selalu terpanggil ke rumah itu?.

Sesaat lelaki berpakaian kumuh itu tertegun ketika mendengar suara meninabobokkan bayi. Lelaki itu tersenyum sendiri.

“Alangkah merdunya suara itu,” bisiknya seorang diri dan langkahnya terhenti. “Sungguh mendayu-dayu, hingga ke relung hati, hingga ke jantung. Aku seperti amat mengenal suara itu, seperti suara Tiurma menidurkan anaknya, juga anakku!”

Lelaki itu tersenyum lagi. Dia amat senang mendengar senandung itu.

“Lagu itu seperti memanggilku, seperti mengimbauku untuk datang,” bisiknya lagi seorang diri.

Lelaki itu melangkah ke arah datangnya suara merdu itu. Lelaki itu belum pergi jauh, padahal dia sudah bertekad untuk pergi hingga ke ujung langit agar polisi tidak lagi dapat mengikuti jejaknya.

Tapi kadang-kadang di hatinya ada rasa berat untuk pergi hingga ke ujung langit. Hatinya amat berat tidak hanya untuk meninggalkan Tiurma yang cantik dan kini sudah menjadi seorang ibu, tapi juga hatinya amat berat untuk meninggalkan tanah leluhur, tanah Mandailing yang amat elok.

Kalau lelaki itu pergi jauh, dia tidak akan mendengar senandung onang-onang lagi. Tidak akan mendengar lagi gondang sebagai musik tradisional yang disenangi setiap warga yang mengaku berdarah Mandailing. Bang Dapot tidak akan pernah lagi mendengar ende-ende atau pantun-pantun yang dilantunkan orang pada acara tertentu.

Kalau Bang Dapot pergi jauh tidak akan pernah lagi melihat alam Mandailing yang amat elok dengan sungai-sungai dan gunung-gunungnya yang menjulang tinggi dan hijau. Bang Dapot tidak akan pernah lagi mendengar derai aek Sungai Batang Gadis yang bermuara di Singkuang. Dia pun tidak pernah lagi melihat sungai-sungai di desa tetangganya seperti Sungai Aek Godang, Aek Sibundong, Aek Barerang, Aek Kambiri, Aek Tipa-tipa dan banyak lagi.

Andainya langkah Bang Dapot terbawa hingga Pulau Jawa, dia pasti akan selalu merindukan gunung-gunung di desanya atau di desa tetangganya seperti Gunung Kulabu, Tor Simago-mago, Tor Sarogadung, Tor Sibual-buali, Tor Sibuni-buni dan bukit-bukit lainnya yang berjejer sepanjang Pulau Sumatera. Semua teramat amat indah.

Sekarang kakinya masih terjejak di desa kelahirannya dan langkah itu terbawa ke sebuah rumah di ujung desa dan dari arah rumah itu masih terdengar suara merdu meninabobokkan seorang bayi mungil yang baru saja lahir ke dunia.

Sesaat dia melekatkan telinganya di dinding rumah itu, agar lebih jelas mendengar suara merdu itu. Lelaki itu tidak hanya ingin mendengar suara Tiurma yang merdu, tapi dia juga ingin melihat gerak bibirnya yang tipis. Lelaki itu ingin melihat wajah TIurma yang cantik. Itulah sebabnya dia segera mencari celah dinding dan mengintip ketika Tiurma masih menidurkan bayinya dan saat itu Bang Lindung berada di rumah Bu Nauli.

“Kau semakin cantik,Tiurma!,” desis lelaki itu ketika mengintip dari celah dinding dan melihat wajah Tiurma. Dari celah dinding itu pula dia melihat hidungnya yang kecil dan mancung.

“Kau semakin cantik setelah jadi seorang ibu!,” ujarnya lagi ketika melihat pipinya yang mulus,apa lagi matanya yang teduh.

“Jauh di dasar hatiku ada cinta dan kasih sayang yang amat besar kepadamu. Terlalu berat hatiku untuk meninggalkanmu ke tempat yang jauh,”

Lelaki itu berkata-kata sendiri di balik dinding di luar rumah, tak perduli nyamuk menggigitnya. Lelaki itu tidak perduli udara malam yang dingin, tidak perduli dalam kegelapan. Rintik hujan masih terus turun.

Suara merdu itu masih terus terdengar bersama rintik hujan. Dari celah dinding Bang Dapot masih mengintip Tiurma. Dari celah dinding itu Bang Dapot melihat betis Tiurma yang indah, juga melihat pangkal lengannya yang mulus. Apa lagi di atas betisnya,betapa amat indah dan mulus.

Meski pun udara dingin karena rintik hujan masih terus turun, tapi Tiurma tidak menyelimuti dirinya ketika dia berbaring bersama bayinya. Bila daster tipis yang melekat pada dirinya tersingkap, Bang Dapot melihat tubuh indah itu. Tidak ada bekas luka meski pun sekecil ujung jarum. Tidak ada bekas gigitan nyamuk sebab nyamuk merasa enggan untuk hinggap di tubuh yang indah dan mulus itu.

Lelaki itu menahan nafas ketika melihat bagian dada Tiurma, ketika dia sedang memberikan asi kepada bayinya. Darahnya gemuruh melihat tubuh indah itu.

“Sayangilah bayi itu,Tiurma. Dia adalah anakku. Aku bangga kau melahirkannya. Aku senang kau menyayangi anakku. Kalau dia besar nanti dia pasti akan mencariku sebagai ayahnya!,” lelaki itu berkata-kata sendiri.

Lama lelaki itu mengintip dari celah dinding dan memperhatikan rambut Tiurma yang tergerai, memandang lehernya yang jenjang, dagunya yang runcing seperti lebah bergantung, dahinya, alisnya dan semuanya tampak amat indah. Apalagi malam itu Tiurma hanya mengenakan daster tipis sehingga semua bentuk tubuhnya yang indah membayang. Tiurma memang seorang perempuan cantik. Dan kecantikan itu benar-benar membuat darah dalam diri Bang Dapot gemuruh.

“Tiurma!,” lelaki itu memanggil dengan suara parau. Tidak ada sahutan menyebabkan dia memanggil sekali lagi.

“Tiurma!. Dari jauh aku sudah mendengar suaramu yang amat merdu. Aku merasa terpanggil kemari!”

Sejenak penghuni rumah itu menghentikan suaranya dan tertegun karena ada seseorang yang memanggil namanya dari luar rumah.

“Teruslah bernyanyi untuk anak kita,Tiur. Teruslah bernyanyi!. Jangan berhenti karena aku ingin mendengarnya dengan jelas!”

Tiurma terdiam , rasa was-was dan ketakutan kembali menghantui dirinya. Dia tahu yang datang adalah Bang Dapot.

“Ayo teruslah bersenandung,Tiurma. Teruskan bue-bue itu. Biar anak kita cepat tertidur dan aku ingin melihatnya!”

Tapi Tiurma tidak bernyanyi lagi. Bue-bue untuk meninabobokkan bayinya terhenti karena mendengar suara seseorang di luar rumah. Tubuhnya mendadak gemetar. Ada rasa takut di hatinya, padahal yang datang adalah seorang lelaki yang pernah menjadi suaminya namun kini menjadi buronan aparat.

“Kenapa berhenti menyanyi,Tiur?. Bukankah anak kita belum tidur?”

Tidak ada suara apa-apa dan bayi itu belum juga tidur meski pun sudah amat kenyang meneguk asi dari ibundanya. Bayi itu masih membelalakkan mata seperti tidak ingin tidur. Bayi itu seperti menyadari ada seseorang yang berada di luar rumah dan memperhatikannya dari celah dinding. Bayi itu seperti ingin melihat apa yang akan terjadi bila lelaki di balik dinding itu masuk ke dalam rumah.

“Kalau kau lelah dan tidak ingin bernyanyi lagi, bukalah pintu,” suara lelaki itu terdengar lagi. Tidak ada sahutan dari dalam.

“Bukalah pintu,Tiurma!,” pinta lelaki di balik dinding.

Tiurma hanya termenung sesaat. Dia memandang bayinya yang belum juga mau memejamkan mata padahal bayi itu sudah kenyang meneguk asi. Sepasang mata bayi tak berdosa itu tampak jernih dan Tiurma menatapnya amat dalam.

“Haruskah kubuka pintu,anakku?,” Tiurma berbisik kepada bayinya. Dia seperti ingin mencari jawab pada sinar mata bayi itu. “Jawablah,anakku. Apakah pintu harus kubuka?”

Sepasang mata bayi itu berkedip, seperti memberi jawaban agar ibunya membuka pintu untuk lelaki itu.

“Baiklah kalau kau menghendaki, pintu akan kubuka, anakku!”

Tiurma bangkit dari tempat tidurnya. Tidak ada keragu-raguan lagi di hatinya untuk memperkenankan Bang Dapot masuk. Malam semakin kelam, semakin sepi dan semakin gelap ketika pintu terbuka dan lelaki itu melangkah masuk.

“Aku merasa terpanggil kemari, Tiurma. Aku mendengar suaramu menidurkan bayi kita!”, terdengar suara lelaki itu setelah mengamati sekitar rumah itu dan benar-benar sepi. Tidak seorang pun melihat kedatangannya.

Lelaki itu membuka topi lebar yang selalu menutupi kepalanya dan juga wajahnya agar tidak dikenali oleh aparat. Lelaki itu juga membuka brewok palsu yang membuat wajahnya tampak kotor. Perlahan sekali lelaki itu berjalan ke arah bayi lelaki yang terbaring.

Sesaat lelaki itu bertatapan pandang dengan bayi mungil dan tatapan matanya masih amat polos. Setiap bayi yang lahir ke dunia memang dalam keadaan suci dan bersih dari segala dosa. Bayi itu benar-benar cantik dan dari sinar matanya tampak bijak.

Lama Bang Dapot memperhatikan bayi itu, memandang sepasang matanya, memandang bibirnya, memandang hidungnya, dagunya dan semuanya.

“Ha..ha..ha...ha...”, tiba-tiba terdengar lelaki itu tertawa lebar. Tanpa sadar suara tertawa itu terdengar hingga keluar rumah. Lelaki itu tampak seperti amat senang memandang bayi itu.

Tiurma heran melihat Bang Dapot mendadak tertawa lebar seperti tidak pernah ada kegelisahan dalam diri lelaki itu, padahal dia masih dalam buronan aparat.

“Kenapa Bang Dapot tertawa seperti itu?,” tanya Tiurma heran.

Lelaki itu tertawa lagi.

“Kenapa tertawa?. Adakah hal-hal yang lucu?.” Tiurma mengulangi dan menghampiri lelaki itu

“Lihat matanya, Tiur!. Lihat sinar matanya!”

“Kenapa matanya?. Adakah yang aneh?,” Tiurma memandang mata bayinya yang tidak mau terpejam padahal sudah jauh malam dan udara pun amat dingin.

“Kau lihat matanya, sangat mirip dengan aku,bukan?. Sungguh mirip dengan aku!”

Tiurma hanya menghela nafas panjang setelah memperhatikan sepasang mata bayi itu kemudian memandang sepasang mata Bang Dapot. Memang amat mirip. Karena byi itu memang berasal dari benih-benih yang ditaburkan Bang Dapot dalam rahimnya.

“Kau lihat hidungnya, Tiur!. Tataplah hidungnya dalam-dalam!,”

Tiurma memperhatikan bentuk hidung bayinya, kemudian memandang hidung lelaki itu pula.

“Kau lihat hidung bayi ini mirip dengan hidungku,bukan?”

Tiurma tidak menyahut.

“Lihat keningnya. Lihat bibirnya. Lihat alisnya!”

Tiurma memandang bayinya lagi, memandang kening dan alisnya. Sesaat dia tertegun.

“Katakanlah dengan jujur, Tiur. Katakanlah dengan jujur apakah alis, kening dan semuanya mirip aku!”

Tiurma tidak mampu menyahut. Lelaki itu menyentuh kedua lengan Tiurma dan mengguncangnya keras diiringi suaranya yang keras pula di malam senyap.

“Katakan! Katakan dengan sebenarnya apakah semua mirip dengan aku!”

Sekali lagi lelaki itu mengguncang kedua lengan Tiur diiringi suara keras. Tiur akhirnya menangguk lirih.

“Bayi ini anakku, Tiur!. Dia anakku!” cetus lelaki itu dengan suara keras, hingga terdengar keluar rumah. Lelaki itu tidak menyadari, bahwa di luar rumah terlihat mengendap-endap beberapa orang lelaki. Bang Dapot tidak menyadari, bahwa ketika dia melangkah ke arah rumah itu, dari kejauhan seseorang mengikuti langkahnya. Bang Dapot tidak menyadari, bahwa langkahnya sudah tercium oleh polisi. Rumah itu pun sudah dikepung oleh aparat yang sudah mempersiapkan sepasang gari untuk memborgol tangan lelaki itu. Polisi juga sudah mempersiapkan senjata lengkap dengan pelurunya. Andainya lelaki itu mencoba kabur, laras senjata akan terarah kepadanya kemudian peluru akan meletus untuk melumpuhkan.

“Tataplah bayi ini dalam-dalam ,Tiur!. Tataplah dia, kemudian katakan kepadaku apakah mirip denganku!”

Di sisi suaminya Tiurma menatap bayinya. Dia mengangguk lirih. Tubuhnya gemetar dan darahnya gemuruh. Dia berharap lelaki itu sudah pergi jauh hingga ke ujung langit. Dia berharap Bang Dapot tidak akan datang lagi mengusik kebahagiaanya bersama Bang Lindung. Dia berharap Bang Dapot sudah berada di tempat yang sangat jauh dan tidak akan pernah pulang lagi. Tapi lelaki itu ternyata kembali lagi dan kini ada di sisinya di tengah malam yang sepi dan dingin.

“Aku bangga pada bayi ini!. Aku bangga!,” terdengar suara Bang Dapot tanpa menyadari rumah itu sudah dikepung aparat keamanan. Aparat pun mendengar suara itu.

“Lihat matanya,Tiur. Mata seorang lelaki sejati. Dia akan jadi lelaki pemberani nanti. Dia akan jadi lelaki perkasa!”

Tiur hanya menunduk. Dia membiarkan lelaki itu menyentuh bayi itu kemudian menggendongnya. Bang Dapot terlalu asyik dengan bayi itu sehingga merasa tidak haus dan lapar. Dia tidak ingin dibuatkan kopi. Dia tidak ingin disediakan nasi dengan lauk sambal tuk-tuk kegemarannya. Padahal setiap kedatangannya lelaki itu selalu minta dibuatkan kopi hangat dan makan.

Bayi itu membuat lelaki itu sama sekali tidak merasa dahaga, sama sekali tidak merasa lapar.

“Jaga dia baik-baik,Tiur!. Asuh dia dengan kasih sayang!,” terdengar lagi suara lelaki itu. Tiurma hanya termenung. Dia tidak mampu berkata-kata.

“Jangan pukul dia kalau berbuat kesalahan nanti. Jangan hardik dia kalau nakal nanti. Jangan hukum dia!”

Tidak ada kata-kata yang mampu diucapkan Tiurma. Dia tetap saja merundukkan kepala. Ada perasaan khawatir yang amat besar dalam hatinya. Nalurinya seperti merasakan adanya tanda-tanda sesuatu yang akan terjadi di rumah itu.

“Jangan sakiti dia,Tiurma!. Kalau dia berbuat kesalahan, aku yang akan menghukumnya!,” suara Bang Dapot terdengar lagi.

“Bukankah Bang Dapot akan pergi jauh?,” Tiur mengangkat wajahnya, menatap wajah lelaki itu.

“Bagaimana aku akan pergi jauh kalau aku tidak punya uang?. Kalung darimu ternyata imitasi dan tidak laku sepeser pun. Kaulah yang membuat aku gagal untuk melangkah jauh. Kalung itu sudah kulemparkan dalam parit!'

“Jangan salahkan aku kalau Bang Dapot tidak dapat pergi jauh!” sahut Tiur dan tubuhnya masih tetap gemetar. Terlalu lama Bang Dapot menatap sepasang mata bayi itu. Terlalu lama lelaki itu menggendong bayi itu. Hingga tanpa disadari, malam semakin larut, hingga menjelang pagi dan terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan.

“Kelahiran bayi ini semakin membuatku enggan pergi jauh. Aku akan selalu datang kemari,Tiur. Aku akan selalu melihatnya. Aku benar-benar bangga padanya!”

“Tapi...tapi...” Tiurma tidak mampu melanjutkan kata-kata itu.

“Aku akan menghadapi apa pun yang akan terjadi!”

“Ingat, Bang Dapot. Polisi akan tetap mencari dan memburu,” Tiurma mengucapkan kata-kata itu dengan menatap wajah lelaki itu amat dalam.

“Aku tidak ingin Bang Dapot tertangkap di sini!”

“Aku juga tidak sampai hati membuatmu dalam kesulitan, Tiur. Aku tidak akan membuat dirimu dalam kesusahan. Aku tidak akan membuatmu menderita. Aku tidak ingin membuatmu ikut memikul beban persoalan meski pun hanya seberat butiran pasir. Dari jauh aku akan akan menjaga dirimu dan juga anak ini!'

Di luar rumah itu masih terdengar kokok ayam bersahut-sahutan. Kicau burung di ranting pohon pun mulai terdengar nyaring dan langit di ufuk timur tampak merah karena fajar sesaat lagi akan terbit. Lelaki itu tidak menyadari, bahwa sebentar lagi cuaca akan terang benderang. Dia terlalu asyik dengan bayi mungil itu. Dia terlalu asyik menatap sepasang mata bayi itu. Dia amat bangga.

Sudah amat lama lelaki itu berada di rumah itu. Dia tidak menyadari fajar sesaat lagi akan terbit. Di luar terlihat orang-orang berjalan menuju masjid untuk melaksanakan sholat subuh. Sebentar lagi azan akan terdengar bergema membangunkan orang-orang yang tidur lelap. Juga membangunkan burung-burung yang tidur dalam sarangnya di ranting pohon untuk segera mencarikan makan anaknya.

“Hari sudah pagi,Bang Dapot. Sebentar lagi matahari terbit,” Tiurma mengingatkan lelaki itu untuk segera pergi.

“Biarkan pagi!. Biarlah matahari terbit.”

“Orang-orang akan melihat kedatangan Bang Dapot.”

“Mereka tidak mengenalku. Rasanya aku tidak ingin pergi lagi dari sini.”

“Tapi Bang Dapot harus pergi. Harus!,” pinta Tiurma dan di wajahnya tampak ada perasaan cemas di hatinya.

Lelaki itu termenung sejenak. Sesaat dia memandang bayi yang baru saja lahir dari rahim Tiurma dan sesaat kemudian dia memandang wajah Tiurma. Bayi itu pun masih tetap membelalakkan mata. Bayi itu seperti tidak mau tidur sekejap pun. Bayi itu membuka matanya lebar-lebar seolah-olah ingin melihat apa yang akan terjadi sesaat lagi.

“Bang Dapot butuh uang lagi?,” Tiur masih menatap wajah lelaki itu. Dia ingin buru-buru memberikan uang kepada Bang Dapot, biar lelaki itu segera pergi.

“Tentu!. Aku juga butuh makan, Tiur!”

Tanpa harus menunggu lama Tiur berjalan ke kamarnya. Dia membuka lemari pakaian dan meraih dompet yang penuh berisi uang hasil penjualan barang-barang kebutuhan sehari-hari di warungnya. Sebentar lagi Bang Lindung akan datang untuk mengambil uang itu untuk belanja pengisi warung itu.

Demi Tuhan, Tiurma tidak menyadari, bahwa lelaki itu ada di sisinya ketika dia membuka lemari dan mengeluarkan dompet yang padat berisi uang. Tiba-tiba saja tangan Bang Dapot yang amat kekar dan tegar itu merampas dompet itu dari tangan Tiurma. Sekejap saja dompet penuh uang itu sudah berpindah ke tangan Bang Dapot.

“Jangan ambil semua uang itu, Bang Dapot!. Jangan ambil semua!,” Tiurma berusaha untuk meminta kembali dompet itu.

“Aku butuh uang, Tiur!. Kau harus sadar, aku butuh uang. Tanpa uang aku akan mati kelaparan.” tukas lelaki itu dan bersiap-siap untuk melangkah pergi.

“Tapi uang itu untuk modal.” Tiurma berusaha merebut dompet itu dari tangan Bang Dapot, tapi sia-sia. “Warung ini akan bangkrut kalau Bang Dapot mengambilnya.”

“Ingat, kau bebas pergi kemana saja, Tiur. Kau dapat mencari uang lagi. Besok atau lusa kau akan mendapatkannya kembali.”

Lelaki itu bersiap-siap untuk pergi. Untuk terakhir kalinya, lelaki itu mencium bayi yang tetap saja belum mau tidur. Tatapan mata bayi itu terlihat amat tajam. Bayi itu benar-benar ingin melihat apa yang akan terjadi sesaat lagi. Telinganya juga terbuka lebar untuk mendengar suara letusan peluru yang ditembakkan aparat kemudian akan terdengar rintihan panjang.

Bersama dengan suara azan yang berkumandang dari puncak menara masjid, lelaki itu melangkah pergi dari pintu belakang. Tiurma tidak mampu lagi membendung air mata. Kehadiran Bang Dapot selalu membuat kebahagiaan Tiurma terusik. Dia hanya mampu menangis.

****

B

ERSAMA azan subuh yang bergema di langit di atas desa itu, terdengar pula suara tembakan. Aparat yang sudah mengepung rumah itu melihat sesosok tubuh keluar dari pintu belakang.

“Berhenti!,” salah seorang polisi dengan senjata di tangannya memberi peringatan kepada sesosok tubuh yang berusaha kabur di pagi subuh itu.

Tapi lelaki itu tidak peduli pada peringatan itu dan terus berusaha lari.

“Berhentiiii!!,” peringatan itu tidak menyurutkan langkah lelaki yang baru saja keluar dari pintu belakang rumah itu. Dan itulah yang menyebabkan salah seorang anggota polisi itu mengacungkan senjata dan terdengar tembakan ke udara.

Letusan sebutir peluru itu memecah kesunyian pagi hari yang masih sepi dan kelam. Tembakan itu juga menyentakkan orang-orang yang sudah berbaris menyusun syaf didalam masjid. Tembakan itu juga mengagetkan seorang lelaki yang sedang berada di atas mobil tua miliknya yang sedang menuju rumah Tiurma, yakni Bang Lindung.

Semut-semut kecil yang baru saja keluar dari sarangnya di balik pohon bambu amat kaget mendengar suara letusan senjata. Petir yang membahana tidak akan mengagetkan semut-semut yang beriring-iring itu. Tapi bila peluru meletus pastilah amat mengejutkan semua mahluk,sebab bila peluru meletus, pastilah ada korban yang tersungkur. Kecoa pun terkejut dan bertanya-tanya, siapa gerangan yang akan tersungkur ke bumi ditembus peluru?.

Sekali lagi terdengar peluru meletus di arahkan ke langit sebagai peringatan, tapi lelaki bertopi lebar itu tetap saja berlari bagaikan kijang jantan. Polisi yang sedang mengepung rumah itu memang aparat yang terlatih dan profesional. Mereka tidak sembarangan menembak. Apa lagi tembakan itu sampai menewaskan seseorang. Sembarangan menembak, apalagi sampai melukai atau menewaskan seseorang pasti menimbulkan citra yang buruk.

Lihatlah mereka mengintai dengan rapi. Sudah beberapa hari aparat itu mengintai rumah itu. Suatu saat seorang buronan bernama Pandapotan yang sudah membakar traktor milik Haji Sulaiman dan menewaskan seorang warga, pasti akan datang ke rumah itu. Karena lelaki itu amat mencintai penghuni rumah itu yang cantik dan baru saja melahirkan seorang anak.

Setelah tembakan peringatan tidak dihiraukan, baru laras senapan itu diarahkan ke kaki buronan itu. Cukup sebutir peluru, lelaki bernama Pandapotan itu akhirnya merasa kakinya pedih dan amat sakit ditembus timah panas. Lelaki itu akhirnya tersungkur. Darah pun memerahi tanah di belakang rumah itu, juga memerahi rumput-rumput yang dibasahi embun.

Lelaki itu memang memiliki hati sekeras batu cadas yang amat sukar dilunakkan. Lelaki itu tidak mudah menyerah. Meski pun kakinya sudah ditembus sebutir peluru, tapi dia masih berusaha untuk menghindar dari sergapan aparat. Dengan sisa tenaga dan menahan sakit dia berusaha merangkak. Tapi lelaki itu tidak lagi mampu menghindar jauh.

Sepasang gari segera dilingkarkan di pergelangan tangganya, namun lelaki itu meronta.

“Jangan tangkap aku!. Jangan tangkap akuuu!,” suaranya menggelegar di pagi yang dingin itu. Bahkan tinju lelaki itu sempat menyinggahi dagu seorang polisi yang berusaha menangkapnya. Namun sebagai polisi yang profesional, aparat itu tahu apa yang harus dilakukannya. Tiap aparat pasti sudah dibekali dengan keahlian bela diri untuk membekuk batang leher orang yang dicarinya. Sebuah pukulan pada tengkuk lelaki itu menyebabkan dia tidak berdaya dan tidak mampu mengelak ketika dipergelangan tangannya dilingkarkan sepasang gari.

“Lepaskan!. Lepaskan akuuuu!.” suara itu bergema di pagi subuh. Burung-burung di ranting pohon pun mendengar teriakan itu. Anak-anak burung yang masih tidur di bawah ketiak induknya juga terbangun oleh teriakan itu.

Anak burung itu masih sempat melihat darah yang tercecer di atas rumput-rumput. Burung-burung yang masih berada dalam sarang juga melihat kaki lelaki itu sudah ditembus sebutir peluru, namun tetap tidak ingin menyerah. Lelaki berhati baja itu masih berusaha meronta ketika digiring . Lelaki itu tetap memberontak ketika tubuhnya diseret aparat.

“Jangan bawa aku!. Lepaskaaaaan!,” lelaki yang sudah berbulan-bulan menjadi buronan itu terus meronta dan berusaha melepaskan diri dari sergapan empat aparat yang sudah lama mengejarnya.

Namun sia-sia lelaki itu meronta untuk melepaskan diri, karena tangannya sudah dilingkari sepasang gari dan darah terus mengucur dari kakinya yang ditembus peluru.

“Aku akan menyerah, tapi izinkan aku bertemu isteriku!. Aku akan menyerah, tapi perkenankan aku menyampaikan pesan kepada Tiurma,” pintanya kepada polisi yang menyeretnya. Darah terus mengucur memerahi rumput-rumput yang tumbuh di halaman belakang rumah itu.

“Beri aku kesempatan untuk bertemu isteriku!,” pinta lelaki itu lagi berulang-ulang.

Aparat itu memang memiliki belas kasihan. Aparat itu memang masih memiliki kemanusiaan dan memperkenankan lelaki yang tertembak kakinya itu untuk bertemu isterinya.

Bang Pandapotan berusaha untuk berdiri, tapi kakinya yang ditembus peluru dan darah amat banyak mengucur menyebabkan dia tidak mampu lagi untuk tegak. Kakinya tidak kuat lagi untuk menopang tubuhnya yang kekar. Dua orang polisi terpaksa membantunya untuk berdiri dan memapahnya beberapa langkah.

Seorang perempuan berwajah cantik dan baru saja melahirkan seorang bayi sudah tegak tidak jauh dari pintu belakang rumahnya. Perempun itu kaget ketika mendengar suara tembakan. Bayinya juga terkejut mendengar letusan peluru. Bayi itu mendadak menangis, seperti menyesali seorang ayah yang kakinya ditembus sebutir peluru untuk melumpuhkannya.

Sesaat Tiurma tertegun melihat suaminya menatapnya dalam keadaan tidak berdaya. Ada perasaan iba yang amat dalam ketika melihat darah yang terus mengucur dari kakinya yang biasanya amat tegar untuk melangkah kemana-mana. Ada perasaan kasihan yang amat dalam di relung hatinya. Apa lagi melihat darah lelaki itu tercecer di rerumputan, bercampur dengan embun pagi.

“Tiurma!,” terdengar suara lelaki itu.

Tiurma tidak mampu menyahut, hanya memandang dengan perasaan iba dan sedih.

“Bayi itu anakku,Tiur. Jaga dia baik-baik!,” itulah pesan Bang Dapot. Tatapan mata lelaki itu tidak seperti dulu lagi, karena saat itu keadaannya amat lemah.

Tiurma tidak mampu berkata-kata. Lidahnya bagaikan keluh, sepasang bibirnya bagaikan terkunci.

“Jangan sakiti dia, Tiur!”

Tiurma hanya mengangguk.

“Jangan pukul dia!”

Sekali lagi Tiurma mengangguk pelan.

“Jangan sakiti dia!”

Tiurma pun mengangguk lagi.

“Beri tahu dia kalau bertanya dimana ayahnya.”

Tiurma mengangguk lagi amat lirih. Suasana sepi amat terasa di pagi subuh itu. Orang-orang yang baru usai melaksanakan sholat subuh berhenti melangkah karena melihat sesuatu di halaman belakang rumah itu.

“Ingat, Tiurma. Jangan larang dia kalau suatu saat nanti mencari ayahnya. Jangan cegah dia kalau mencariku!”

Sekali lagi Tiurma mengangguk. Matanya terasa berat karena harus membendung cairan bening yang akan mengalir. Tidak ada kata-kata yang diucapkan Tiurma ketika lelaki itu akhirnya dibawa pergi oleh empat orang polisi yang sudah amat lama mengintainya.

Lama Tiurma tertegun di belakang rumah itu. Lama dia menekuri rumput-rumput yang ditetesi darah Bang Dapot. Tiurma tidak menyadari, bahwa di belakangnya sudah berdiri seorang lelaki yang baru turun dari sebuah mobil tua dan lelaki itu adalah Bang Lindung, suaminya.

Bang Lindung masih sempat mendengar suara tembakan. Dia masih sempat melihat seorang lelaki roboh kemudian polisi melingkarkan sepasang gari di tangannya. Bang Lindung masih sempat melihat lelaki itu diseret petugas, tapi meronta-ronta untuk bertemu isterinya. Bang Lindung masih sempat melihat lelaki yang kakinya ditembus peluru menatap Tiurma dengan wajah sedih dan memelas.

Bang Lindung juga masih sempat mendengar apa yang diucapkan lelaki yang kakinya berlumur darah.

“Bayi itu anakku, Tiurma. Jaga dia baik-baik. Jangan sakiti dia. Jangan pukul dia. Beri tahu dia kalau bertanya dimana ayahnya. Jangan larang dia kalau ingin bertemu ayahnya. Jangan cegah dia kalau ingin bertemu aku!,” ucapan itu terus terngiang-ngiang di rongga telinga Bang Lindung.

Kata-kata itu justru terdengar seperti tembakan meriam yang pelurunya tepat mengenai kening pemilik mobil tua itu. Amat menyakitkan rongga telinga. Amat menyakitkan rongga dada. Amat menyayat hati. Amat menyakitkan jantung.

Bang Lindung tahu apa makna kata-kata itu. Bahwa seorang bayi yang selama ini amat dibanggakan Bang Lindung ternyata bukan anaknya, bukan darah dagingnya. Bayi itu berasal dari titisan darah seorang lelaki yang baru saja dilumpuhkan sebutir peluru yang ditembakkan aparat.

Wajah lelaki itu tampak tegang. Dia amat marah. Ingin rasanya dia menampar wajah Tiurma. Ingin rasanya dia menarikkan rambutnya lalu menghempaskannya ke tanah. Bahkan ingin rasanya lelaki itu mencekik batang lehernya. Seorang isteri yang melayani lelaki lain, pasti pantas mati!.

Tapi lelaki itu masih memiliki kesabaran di hatinya. Sama sekali lelaki itu tidak menyentuh tubuh Tiurma yang mendadak bersujud di kakinya.

“Maafkan aku, Bang Lindung!. Ampuni aku!,” Tiur menghiba dan berusaha mencium kaki lelaki itu.

“Aku sudah tahu apa yang terjadi!. Aku sudah tahu rumah ini penuh dosa. Rumah ini penuh noda!,” suara lelaki itu menggelegar dan melangkah pergi. “Aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah yang penuh dosa.”

“Jangan pergi, Bang Lindung!. Jangan pergi!.” tangis Tiurma berderai-derai dan mencegah Bang Lindung agar tidak meninggalkannya. Tapi lelaki itu tidak perduli.

“Demi Tuhan, aku tidak kembali ke rumah ini lagi!,” lelaki itu melangkah ke arah mobilnya dan tidak sekali pun menoleh lagi.

Sebagai tanda kekesalan dan amarah yang menggelegar bagaikan gunung berapi yang meletus, lelaki itu segera naik ke mobilnya. Mobil itu segera meluncur amat kencang. Suaranya meraung-raung dan debu tebal beterbangan.

“Biarkan Tiurma mati disambar petir!,” dalam mobilnya yang terus meluncur amat kencang lelaki itu melontarkan sumpah serapah. Dadanya gemuruh, seperti gunung berapi yang akan meletus dan melontarkan lahar panas, larva dan isi bumi lainya.

“Biar dia mati karena malaria!.”

“Biar dia mati disambar buaya!.”

“Biar kutukan Tuhan datang kepadanya!,”

“Biarkan dia bersama anaknya mati ditimpa pohon tumbang!”

“Biar rumah itu diterbangkan angin topan!”

Berbagai kata-kata berbau busuk terlontar dari mulut lelaki yang sedang diamuk amarah itu. Karena amarah yang berkobar dalam dadanya, lelaki itu tidak menyadari di depannya seorang pemanjat pohon aren yang sedang mengenderai sepeda dan membawa tabung bambu berisi penuh air nira tersenggol mobil tua itu.

Pemanjat pohon aren itu terlempar di atas jalan tidak beraspal dan air nira yang dibawanya tertumpah, padahal air nira itu sebentar lagi akan dimasak untuk dijadikan gula bargot kemudian dijual untuk nafkah keluarganya.

Mobil yang dikendarai Bang Lindung sudah jauh meningalkan rumah Tiurma, tapi dari celah bibir lelaki itu masih terlontar kata-kata sumpah serapah terhadap Tiurma :

“Biarkan dia mendapat kutukan Tuhan. Biarkan dia digigit ulok sonduk atau ulok sibaganding”, ujar lelaki itu masih memegang stir mobilnya yang meluncur kencang. Ulok sonduk dan ulok sibaganding adalah sejenis ular yang amat berbisa yang banyak terdapat di kawasan Mandailing, disamping ulok hoppak, ulok dari sihin dan ulok sende.

“Biarkan dia diserang ribuan pandoit sampai tubuhnya bengkak-bengkak sampai mati,” Bang Lindung menyebut serangga penyengat yang amat berbisa. Di desanya memang banyak terdapat berbagai jenis pandoit atau serangga penyengat berbisa seperti dila-dila horbo, gonting-gonting, piongot, altong, badu borngin dan loba.

Bahkan berbagai jenis siapor atau belalang yang terkadang dimakan manusia juga disebut-sebut Bang Lindung agar ikut menyengat tubuh Tiurma seperti siapor umbang, siapor lunjung, siapor ina-ina, siapor hotang dan siapor tek-tek.

Begitulah kalau seorang suami merasa telah dikhianati, amanah amat gemuruh dalam dadanya, seperti gunung meletus.

***

W

AJAH tegang itu masih terlihat ketika Bang Lindung tiba di rumah Nauli. Dadanya masih gemuruh oleh amarah yang berkobar. Bahkan sumpah serapahnya masih terlontar dari mulutnya.

“Tiurma akan mati disambar petir!,” sepasang bibir itu tergetar lagi.

“Kenapa Bang Lindung tiba-tiba berkata begitu?. Bukankah sejak dari rahimnya lahir seorang anak, Bang Lindung amat sayang kepadanya?.”

“Biarkan dia mati digigit ular berbisa!”

“Bersabarlah, Bang Lindung. Mengapa harus mengucapkan kata-kata seperti itu?,” betapa Bu Nauli bersikap amat lembut kepada suaminya yang sedang diamuk amarah.

“Rumah itu akan diruntuhkan badai. Rumah itu akan diterbangkan topan dan biarkan Tiurma mati disana!”

“Jangan ucapkan kata-kata kasar seperti itu, Bang Lindung. Perdengarkanlah kata-kata yang lembut!,” dengan sikap amat lembut Bu Nauli berusaha meredakan gunung berapi yang sedang meletus itu.Betapa amat mulia perempuan yang bekerja sebagai guru di desa itu dan baru saja kembali dari Tanah Suci. Terhadap siapa saja sikapnya selalu selembut sutera,apa lagi terhadap suami. Senyum selalu menghiasi bibirnya. Bukankah senyum adalah hadiah yang amat tinggi nilainya?. Senyum adalah kebaikan.

Bu Nauli mengulurkan gelas mungil berisi air zam-zam kepada suaminya yang sedang menghadapi gunung meletus yang dahsyat. Air zam-zam itu diambil sendiri oleh Bu Nauli dari telaganya yang terletak tidak jauh dari Masjidil Haram.

“Minumlah seteguk air zam-zam ini,Bang Lindung. Dada Bang Lindung akan terasa sejuk. Hati Bang Lindung akan merasa tenteram dan damai,” suara Bu Nauli amat lembut, selembut sutera halus dan putih bersih.

Seteguk air zam-zam itu tidak hanya terasa sejuk di dada, tidak hanya mampu mengobati berbagai penyakit, tapi juga mampu mengusir iblis dalam dada manusia. Juga mampu menenteramkan hati yang gemuruh, mampu menenteramkan hati yang gelisah.

Perlahan sekali Bang Lindung mengangkat gelas dan meneguk isinya yang berisi air bening namun mengandung banyak khasiat dan mukzizat. Dadanya terasa sejuk dan lapang. Tidak ada lagi badai, tidak ada lagi gunung meletus yang melontarkan lahar panas.

Lelaki itu duduk dan bersandar, wajahnya tertunduk. Dengan amat lembut, Bu Nauli mengusap pundak lelaki itu.

“Mengapa Bang Lindung mengucapkan kata-kata disambar petir, digigit ular berbisa dan tertimpa pohon?,” suara Bu Nauli terdengar lirih dan lembut. Begitulah bila seseorang sudah menginjakkan kaki di Tanah Suci, sikapnya akan berubah menjadi lembut dan penuh kasih sayang.

“Tuhan memberiku petunjuk apa yang telah dilakukan Tiurma,” kata-kata itu diucapkan Bang Lindung dengan wajah tertunduk.

“Adakah kekeliruan yang dilakukan Tiurma?. Adakah dia bersikap kasar terhadap Bang Lindung?. Apakah sikapnya tidak lemah lembut terhadap Bang Lindung?. Apakah kasih sayang terhadap Bang Lindung surut?. Kalau memang demikian, berilah dia maaf. Ampuni dia.”

Lihatlah betapa amat mulia sikap Bu Nauli terhadap suaminya. Dengarlah kata-katanya, betapa amat lembut, seperti kapas yang amat halus, putih dan bersih.

“Aku tidak dapat memberinya maaf. Aku tidak dapat memberinya keampunan. Aku hanya ingin dia mati disambar petir,” tiba-tiba suara lelaki itu kembali keras.

“Kenapa?”

“Lebih baik dia menghunus pedang dan membelah dadaku dari pada dia berbuat dosa yang amat besar itu. Lebih baik dia memberiku racun daripada dia menerima kehadiran orang lain!”

“Jangan teramat mudah menuduh,Bang Lindung!”, Bu Nauli masih berkata dengan lembut. Dia masih mengusap pundak suaminya.

“Aku sudah tahu semua!. Tuhan sudah menunjukkan kepadaku apa yang terjadi.”

Dengan iringan hela nafas panjang lelaki itu mengungkapkan apa yang baru dilihat dengan mata kepalanya sendiri, seorang lelaki roboh diterjang sebutir peluru. Sebelum diseret ke mobil polisi lelaki itu berkata-kata tentang anak yang lahir dari rahmi Tiurma.

“Jaga anak itu baik-baik. Bayi itu anakku. Jangan pukul dia. Jangan larang kalau nanti dia mencari ayahnya. Biarkan dia mencariku!,” Bang Lindung menirukan ucapan lelaki yang baru saja dilumpuhkan sebutir peluru pada kakinya di pagi subuh yang dingin itu. Semut-semut kecil yang sedang berjalan beriring juga melihat bagaimana lelaki itu tersungkur mencium tanah setelah terdengar peluru meletus memecah kesunyian.

“Tuhan menunjukkan kepada Bang Lindung, bahwa di depan pelupuk mata kita terkadang ada segumpal dosa dan kemunafikan.” sahut Bu Nauli dan menggenggam jari tangan Bang Lindung. Amat erat genggaman tangan itu seperti Bu Nauli tidak ingin lelaki itu pergi jauh. Dia juga tidak ingin ada perempuan lain di sisi suaminya.

“Tetaplah di sisiku,Bang Lindung. Ketika aku sedang bersimpuh di depan Ka'bah, tepat di depan Multazam, aku bermunajat kepada Allah dan memohon agar kita mendapat anugerah anak. Tahukah, Bang Lindung, bahwa malaikat seakan menghampiriku dan berbisik bahwa kita akan mendapatkannya?.” ujar Bu Nauli masih dengan suara lembut dan kasih sayang.

“Sungguh?” lelaki di sisinya menatapnya amat tajam.

Bu Nauli hanya mengangguk dan lelaki itu mendekapnya amat erat.

“Aku akan selalu ada di sisimu,Nauli!,” suara lelaki itu lirih di telinga Nauli.

***

B

ILA sebuah rumah penuh dengan rahmat, nur hidayah selalu ada di sana dan seorang isteri selalu tersenyum serta sikapnya selalu lembut seperti sutera paling halus, tentulah seorang suami akan betah tinggal di rumah itu.

Tak pernah lagi lelaki itu melangkah tidak tentu arah, selain mengenderai mobil tua miliknya untuk mengangkut padi hasil panen dari sawah ke lumbung. Juga mengangkut gula bargot yang semakin meningkat produksinya, karena pohon-pohon enau itu lebih banyak mengeluarkan air nira.

Suara nyaring pemanjat pohon aren yang menyanyikan mantera-matera di puncak pohon itu semakin sering terdengar. Semua perempuan desa pasti amat senang mendengar nyanyian Si Paragat yang berada di puncak pohon aren yang memukul-mukul tandan aren yang masak dengan irama tertentu. Persis seperti memanjakan seorang gadis cantik dengan musik tradisional .

Sepanjang hari mobil tua itu selalu terlihat menelusuri jalan desa karena langganan Bang Lindung semakin bertambah. Orang-orang kaya yang ingin melaksanakan pesta perkawinan anaknya dengan memotong sapi juga selalu ada. Siapa yang mengangkut sapi-sapi itu kalau bukan Bang Lindung dengan mobil tua miliknya?.

Pengrajin tenunan kain juga semakin meningkat hasilnya dan mobil tua itu pasti disewa untuk mengangkut kain-kain tenun itu. Apa lagi hasil kebun rakyat seperti karet juga meningkat.

Hasil produksi pengrajin besi yang membuat pisau, parang,cangkul dan kapak juga semakin meningkat.

Yang tidak lagi menjadi langganannya hanya seorang perempuan yang diharapkan Bang Lindung mati disambar petir atau ditimpa pohon tumbang. Dan perempuan itu adalah Tiurma yang kini senantiasa dirundung malang. Dia seperti telah kehilangan segalanya. Hidupnya penuh dengan air mata. Status janda yang melekat pada dirinya membuatnya lebih sengsara lagi.

Bang Lindung hampir tidak mengenal bekas isterinya lagi. Andainya Bu Nauli tidak melihatnya, pasti Bang Lindung tidak menoleh.

“Lihat siapa perempuan menggendong anak itu?,” Bu Nauli yang duduk di sisi Bang Lindung menunjuk ke arah seorang ibu yang sedang menggendong anak.

Bang Lindung memandang perempuan itu.

“Kenalkah Bang Lindung siapa perempuan itu?”

Lama dia memandang ke arah perempuan itu dan sebuah nama tercetus dari celah bibirnya.

“Seperti Tiurma!”

“Ya, tidak salah lagi. Tampaknya anaknya sedang sakit dan berobat ke Puskesmas.”

“Kasihan,” gumam Bang Lindung. “Tidak ada seorang pun yang perduli.”

Bang Lindung hanya menghela nafas panjang. Kasihan, seorang ibu yang dulu amat cantik sekarang harus berjalan kaki di tengah panas terik dengan menggendong anaknya untuk berobat ke Puskesmas.

“Pernahkah Bang Lindung mendengar kabar, bahwa Tiurma juga sering sakit-sakitan?,”

“Dia memang sedang mengalami hidup susah. Warung sembako miliknya seperti dijauhi orang.”

Dari kejauhan Bang Lindung masih sempat memperhatikan langkah-langkah seorang perempuan yang dulu paling cantik dan pernah menjadi isterinya. Dulu kasih sayangnya kepada perempuan itu melebihi kasih kasih sayangnya terhadap Bu Nauli.

Tapi sekarang semua sudah berubah. Bang Lindung tidak pernah perduli lagi dan tidak pernah bertemu lagi. Sekarang perempuan itu telah kehilangan kecantikannya. Wajahnya penuh bercak-bercak karena terbakar matahari, karena kemana pun pergi harus berjalan kaki, padahal dulu Bang Lindung selalu mengantarnya sehingga tubuh mulus itu tak pernah disentuh sinar matahari.

Sekarang tubuh mulus itu terlihat ada bekas-bekas kudis. Sepasang matanya tidak lagi jernih, tidak lagi seperti air telaga. Penderitaannya menyebabkan sepasang mata itu kehilangan sinar cerah. Apa lagi rambutnya yang dulu tergerai indah, sekarang banyak yang gugur karena kepalanya selalu terasa pening akibat persoalan-persoalan hidup yang teramat berat.

Apa lagi pakaian yang melekat pada dirinya, dulu selalu baru dan mahal. Namun sekarang pakaian itu warnanya sudah buram, bahkan sudah bertambal juga masih melekat pada tubuhnya. Perempuan itu benar-benar telah kehilangan kecantikannya.Yang dia miliki sekarang hanya penderitaan. Hidupnya penuh dengan keluhan panjang dan juga derai air mata.

Milik siapa kebahagiaan itu sekarang kalau bukan milik seorang guru yang baru saja kembali dari mencium Hajar Aswad di Tanah Suci?. Milik siapa kemesraan itu kalau bukan milik seorang perempuan yang amat kental beribadah dan baru saja tubuhnya dibakar teriknya matahari di Padang Arafah?.

Berbahagialah Bu Nauli yang berhasil menampung sendiri air zam-zam dari sumbernya dan meneguknya sepuas hati kemudian turunlah rahmat pada keluarganya.

Hubungan amat intiem bersama suami pun terasa semakin hangat dan semakin indah, semakin mesra dan manis. Tidak pernah ada kebahagiaan seperti saat itu.

Seteguk air zam-zam itu ternyata benar-benar membawa rahmat dan juga membawa kesuburan pada dirinya. Lalu pada diri suaminya menambah keperkasaannya. Khasiat pada suaminya, air zam-zam itu seakan menambah subur pada benih-benih yang ditaburkan di rahim Bu Nauli.

Warga desa itu juga ikut melihat pintu rahmat telah terbuka lebar-lebar di rumah yang menghadap ke barat itu.

“Bang Lindung tidak seperti dulu lagi,” cetus seorang pengrajin tenunan di desa itu. “Dia sudah menjauhi rokok, padahal dulu rokoknya seperti kereta api. Dulu Bang Lindung seperti mati lemas kalau dari hidungnya tidak mengepul asap rokok.”

“Bang Lindung tahu, rokok adalah makruh sehingga harus dijauhi,” sambung seorang pengrajin gula bargot dan paling piawai memanjat pohon aren.

“Apa lagi yang haram, pasti Bang Lindung tidak akan pernah menyentuhnya,” sahut Bang Hasudungan, seorang pemain musik tradisional gondang yang cukup dikenal di desa itu. “Rumah Bang Lindung memang benar-benar penuh rahmat.”

“Siapa yang tidak senang kalau melihat seorang lelaki seperti Bang Lindung yang dulu sering nongkrong di Lapo Tuak, tapi sekarang rajin ke masjid?. Sekarang siapa yang tidak terbangun kalau azan subuh sudah berkumandang dan suaranya amat merdu?. Semua tahu itu adalah suara Bang Lindung yang menggantikan Pak Lokot yang sudah sangat tua dan uzur,” ujar seorang pemilik kebun karet di desa itu.

“Kalau ada orang yang meninggal, pada saat jenazah itu disolatkan pasti Bang Lindung ada pada barisan paling depan. Dia pasti ikut memikul kerandanya dan ikut menurunkan jenazah itu ke liang lahat.” ujar salah seorang jamaah masjid.

“Keluarga Bu Nauli pastilah keluarga yang paling berbahagia.” itulah komentar setiap warga desa itu.

Lelaki itu memang tidak seperti dulu lagi. Lihatlah jidatnya selalu tampak licin, bersih dan berseri karena selalu bersujud.

Bahkan tidak jarang bila ada anggota masyarakat yang meninggal Bang Lindung ikut menggali lobang kubur hingga tubuhnya bergelimang lumpur.

Ketika Ompung Marah Hakim menderita sesak nafas di tengah malam yang mengantarnya ke poskesmas juga lelaki itu, tak perduli hujan turun.

Mobil tua miliknya tidak hanya mengangkut langganan, tidak hanya semata-mata mencari uang. Dua minggu sekali, mobil tua itu pasti terlihat menuju ke desa di kecamatan seberang untuk menjeput Ustaz H.Muluk yang akan memberikan ceramah di majlis ta'lim di Masjid Al Hidayah.

Mobil tua itu juga selalu tampak mengangkut pasir sungai ketika Masjid Al Hidayah direnovasi. Tidak perduli tubuh lelaki itu bermandi peluh ketika memuat pasir dari sungai ke mobilnya.

****

U

NDANGAN amang tua yang akan melaksanakan horja haroan boru memang tidak terelakkan meski pun Bang Lindung merasa amat lelah setelah hari kemarin ikut gotong royong merenovasi masjid di desanya. Tulang pinggangnya seakan patah karena sehari penuh mengaduk semen.

Hari masih pagi ketika Bang Lindung tampak gagah berpakaian rapi dan sepatunya mengkilat. Mobil tua di halaman rumah itu sudah dicuci bersih meski pun badannya sudah keropos tidak dapat ditutupi. Bang Lindung harus berpakaian rapi, sebab di pesta itu pasti akan ada margondang, pasti lagu-lagu onang-onang akan diperdengarkan mengiringi kaum kerabat yang naik pentas menarikan tor-tor sebagai tarian kebesaran adat.

Sesaat dia tertegun ketika melihat Nauli masih terbaring.

“Ayo lekas bersiap-siap!,” ajak Bang Lindung menghampiri isterinya.

“Rasanya kepalaku mau pecah!,” Nauli memijit-mijit jidatnya. “Rasanya aku tidak dapat pergi!”

“Kurang baik dipandang famili kalau kita tidak hadir. Ayo cepat, gantilah pakaian. Pakailah kebaya yang baru dibeli kemarin. Bukankah kebaya itu sengaja kau beli untuk menghadiri pesta inang uda hari ini?”

Tubuh Bu Nauli memang terasa berat sebab ketika pulang dari mengajar sepanjang jalan tubuhnya diguyur hujan lebat hingga air melimpah ke jalan. Tiga hari berturut-turut Nauli pulang dari mengajar bermandi hujan. Pakaiannya basah kuyup. Hanya beberapa saat setelah tiba di rumah, kepala Bu Nauli terasa berdenyut dan alam pun tampak seperti berputar-putar. Setelah menenggak puyer penghilang rasa sakit barulah tubuhnya kembali ringan.

Tapi pagi ini, ketika waktunya untuk berangkat menghadiri pesta horja haroan boru di rumah kerabat suaminya, kepalanya kembali pusing tujuh keliling. Kepalanya masih amat berat ketika Bu Nauli mengenakan kebaya yang baru ditempahnya. Nauli juga tidak bersemangat ketika memoleskan bedak di wajahnya, kemudian memoleskan lipstik di bibirnya.

“Ternyata isteriku cantik jelita hari ini!,”Bang Lindung memuji ketika berdiri di depan cermin, di sisi isterinya.

Bu Nauli mencoba tersenyum.

“Kita pasti diminta untuk naik panggung pada acara tor-tor nanti. Kau pasti jadi perhatian segenap famili. Semua orang pasti kagum padamu sebagai guru yang disenangi murid-murid, cantik dan bertitel hajjah.” terdengar suara Bang Lindung lagi.

“Berhentilah memuji setinggi langit, Bang Lindung!,” ssahut Bu Nauli ketika merapikan jilbabnya.

Mobil tua itu meluncur ke arah barat. Tempat horja haronn boru itu sudah dipenuhi undangan. Yang datang terlambat hanya tinggal Bang Lindung dan Bu Nauli. Itu pun karena Bu Nauli merasa tubuhnya tidak sehat.

Dari kejauhan sudah terdengar musik gondang dan senandung onang-onang yang menggugah hati setiap yang mendengarnya. Semua yang hadir benar-benar terpesona mendengar musik gondang dan senandung onang-onang yang dilantunkan amat merdu. Kaum kerabat mulai naik panggung dan semua tampak gembira saat melenggang-lenggokkan tubuh, terutama gerakan tangan dalam tarian tradisonal tor-tor. Tapi tidak sembarang orang boleh naik ke panggung. Pada tarian tor-tor juga ada urutan kehormatan garis kekerabatan. Yang paling awal naik pentas adalah perempuan dari urutan dari pihak suhut, diikuti pihak kahanggi kemudian barulah menyusul anak boru.

Tiap pasang mata tidak berkedip ketika seorang perempuan bertubuh langsing naik ke pentas dan jari-jemari tangannya yang lentik mulai bergerak diiringi alunan onang-onang. Bu Guru SD itu tampak semakin cantik dengan kebaya baru dan kain adat “abit godang” terselempang di bahunya.

“Alangkah cantiknya Bu guru kita hari ini,” terdengar suara salah seorang orang tua murid yang ikut hadir pada pesta itu.

“Sayang, Bu guru yang cantik itu belum juga dianugerahi anak!,” ucapan seperti itu terdengar lagi di pesta itu.

“Siapa tahu dengan kepergiannya ke tanah suci membawa rahmat baginya.”

Semua pasang mata tertuju ke atas pentas ketika Bu Nauli sedang menortor dan gerakannya amat lembut. Tapi baru beberapa saat, sepasang tangan lentik itu memegang jidatnya. Bu Nauli merasakan kepalanya berdenyut amat sakit dan sempoyongan. Dia hampir roboh di atas pentas. Untunglah Bang Lindung menyadari keadaan isterinya sehingga Bu Nauli tidak sempat terkulai di atas pentas diantara penari tor-tor yang masih mengikuti irama musik gondang dan onang-onang.

“Kepalaku, Bang Lindung. Kepalaku seperti mau pecah,” keluh Bu Nauli ketika dipapah turun dari atas panggung.: Tubuhku seperti tidak berdaya.”

“Ya, ayo kita pulang!,” ajar Bang Lindung.

“Tidak usah pulang. Aku merasa tidak tahan lagi.” suara itu pun terdengar lemah. Sesaat musik gondang itu berhenti. Alunan onang-onang juga tidak terdengar lagi. Semua perhatian tertuju kepada Bu Guru yang sedang dipapah suaminya ke mobilnya.

“Kalau tidak pulang harus kemana?”

“Antar aku ke dokter Jamilah.” Bu Nauli menyebut nama dokter yang masih muda di Puskesmas yang memang amat dikenalnya.

“Yakinlah kau tidak sakit,Nauli. Pasti penyebabnya adalah diguyur hujan kemarin!,” ujar suaminya ketika mobil itu menderu di jalanan.

“Aku juga merasa begitu!”

Bu Nauli memang tidak mampu lagi untuk berdiri. Tiba di Puskesmas dia langsung berbaring dan untunglah Dr.Jamilah sedang berada di tempat. Dokter muda yang masih berstatus bujing atau gadis itu memeriksa dengan teliti,terutama tekanan darah dan detak jantung.

“Bagaimana dokter?,” tanya Bang Lindung cemas.

“Tidak ada kelainan pada jantung.”

“Yang lainnya?”

Dokter muda itu menatap Bang Lindung.

“Kelihatannya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun sangat diperlukan pemeriksaan laboratorium.”

Masih dalam keadaan lemah dan terbaring, Bu Nauli hanya memajamkan mata ketika darahnya diambil dan juga urine untuk pemeriksanaan medik. Dia pun masih berbaring ketika dokter muda itu menanyakan hal-hal yang sangat bersifat pribadi.

“Tidak ada yang harus dikhawatirkan,Bu Guru. Semua bik-baik saja. Insya Allah besok sudah dapat bekerja seperti biasa,” kata-kata itu amat melegakan Bu Nauli.

“Bagaimana dengan siklus haid Bu Guru?.” dokter muda itu menatap sepasang mata Bu Nauli.

Sesaat Bu Nauli mengingat-ingat tamu bulanan yang amat setia mendatanginya, namun sudah lewat akhir bulan haid itu belum juga datang.

“Rasanya sudah terlambat tiga atau empat minggu,” sahut Bu Nauli.

“Nah, hal itu merupakan tanda-tanda telah terjadi suatu perubahan!”

Dokter yang masih amat muda namun sudah amat banyak mengunyah pengalaman dan menangani berbagai penyakit, terutama penyakit yang diderita warga desa itu mengamati puting payu dara yang kehitaman dan membesar. Pinggul juga menjadi perhatian dokter itu.

Dokter muda itu melepas steteskop yang selalu bergantung di lehernya kemudian tersenyum kepada pasiennya.

“Maukah Bu Guru mendengar suatu kabar gembira?”

“Kabar gembira tentang apa?.”

“Bu Guru akan menerima tamu baru!,” dokter muda itu tersenyum.

“Artinya saya hamil?,” tiba-tiba saja Bu Nauli seperti mendapatkan tenaga baru. Tiba-tiba saja kepalanya tidak lagi pening. Bu Nauli menatap wajah dokter yang baru saja mengamati hasil plano test.

“Lihat hasilnya positip!,” dokter itu tersenyum lagi.

Kegembiraan amat meluap dalam hati Bu Guru di desa itu. Dia segera memeluk dokter itu.

“Terima kasih,dokter!. Hari ini rahmat Tuhan itu benar-benar datang.”

“Bersyukurlah. Janin di rahim Bu Guru harus dijaga baikpppp-baik sebab sudah terlalu lama Bu Guru merindukannya, bukan?”

“Saya akan berhati-hati. Saya akan menjaganya!”

Berkali-kali Bu Nauli bersyukur kepada Tuhan. Bila Bang Lindung memasuki ruang periksa, Bu Nauli segera memeluknya.

“Anugerah itu sudah datang, Bang Lindung!. Kita akan segera punya anak!,” Bu Nauli meraih tangan lelaki itu dan meletakkan di atas perutnya.

“Usaplah perutku, Bang Lindung. Didalamnya ada anak kita!,” kata-kata itu tercetus dari celah bibir Bu Nauli karena didorong luapan kegembiraan di hatinya.

Lelaki itu mengusap perut isterinya, memang belum ada gerakan apa pun, tapi suatu saat nanti gerakan itu akan terasa seperti seorang bocah bermain bola.

“Kau seorang ibu sejati, Nauli. Rasanya sebuah keajaiban telah terjadi.” cetus lelaki itu ketika memberikan ciuman di kening Bu Nauli.

“Bukan sebuah keajaiban, tapi karena seteguk air zam-zam yang kuhirup membawa khasiat yang amat besar.”

Bang Lindung tersenyum dan sekali lagi memberikan kecupan di kening isterinya tercinta. Burung-burung di ranting pohon pun bernyanyi ikut gembira karena rahmat yang telah turun ke bumi, turun di desa di kaki bukit itu.

--oo0oo--

Diposkan oleh Maulana Syamsuri di 00:12
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Label: communication, Creative writing, Fiction writing, internet, speaking, writer, writing, Writing prompts, Writing resources, Writing skills, Writing styles, Writing tips
0 komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Fish
Arsip Blog

* ▼ 2011 (9)
o ► April (2)
+ TASBIH UNTUK IBU
+ PUSARA
o ▼ Februari (7)
+ PEREMPUAN MERAJUT GELOMBANG
+ DI SEBERANG LAUT JAWA
+ SETEGUK AIR ZAM-ZAM B
+ SANG PAWANG
+ KESAKSIAN SEMUT
+ PERNAK-PERNIK PUISI
+ Kumpulan Cerpen Maulana Sjamsuri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar