Selasa, 31 Mei 2011

Mihar Harahap

Membaca Cerpen Rebana Bulan Maret 2011

CERPEN KITA, Rebana bulan Maret 2011 harian Analisa ini, telah memuat cerpen “Pemukul Batu” karya Muram Batu (Minggu,13 Maret 2011), cerpen “Pertaruhan Besar Seorang Suami” karya Bamby Cahyadi (Minggu,20 Maret 2011) dan cerpen “Monolog Belantara” karya Salman Yoga (Minggu,27 Maret 2011). Membaca ketiga cerpen ini, kita menangkap fungsi sosial kontrol pengarang bergerak naik. Pengaruhnya, cerpen menjadi lebih tematis dan kritis. Hanya, tinggal bagaimana pengarang mampu mengungkapkannya secara naratif, analitik, sekaligus menarik.

Tematis dan Kritis

Cerpen “Pemukul Batu” karya Muram Batu, bercerita tentang lelaki setengah baya memecahkan batu-batu besar yang terdapat di bawah jembatan titi kuning Sei Deli. Menurut Ompu Dohang Batubara, dalam mimpi lelaki itu, bila tidak memecah batu, maka kota Medan dilanda banjir besar. Dia yakin mimpi itu, lalu melakukannya, meski ber tentangan dengan pendapat istri dan orang-orang sekitarnya. Sayangnya, 1) hujan turun sebelum kerja selesai dan 2) tak dijelaskan apakah terjadi banjir karena cerpenpun berakhir. Artinya, pekerjaan dianggap sia-sia, sebab Tuhan lebih berkuasa.

Dewasa ini, tema lingkungan, terutama DAS (Daerah Aliraan Sungai) menjadi perhatian. Terbukti, dengan meluapnya Sei Babura, maka tujuh kecamatan di kota Medan dilanda banjir besar. Apalagi Sei Deli yang 1) mengalir dari Utara ke Selatan membelah jantung kota Medan, 2) menjadi sumber kehidupan/tempat tinggal warga dan 3) merupakan aset budaya/sejarah bangsa Melayu. Penataan lingkungan/DAS sangat diperlukan agar Sei Deli mampu menampung banjir kiriman/batu besar/kayu gelondongan serta curah hujan berhari-hari dan mengalirkannya ke laut lepas.

Mengingat hal di atas, usaha ‘pemukulan batu’/teguran Ompu, dapat ditafsirkan sebagai sindiran bahwa penguasa, pengusaha dan masyarakat harus dapat bekerjasama untuk menata lingkungan guna menghindari banjir besar yang justru berpotensi mengancam jiwa dan harta. Selain itu, dapat pula berarti, perlunya kerja keras bagai batu dan cerdas bagai palu/pemukul dalam menata kehidupan dan peradaban. Bila kita lengah, niscaya dapat mengancam lingkungan, kehidupan dan peradaban masa kini dan pengaruhnya pada masa mendatang yang lebih menantang.

Berbeda dengan cerpen “Monolog Belantara” karya Salman Yoga. Dalam wilayah yang lebih luas, tema alam raya terutama belantara, justru mengeluhkan nasibnya sendiri. Keluhnya, para pemerhati (penguasa, pengusaha, lembaga) yang katanya 1) peduli akan pertumbuhan/kelestarian dan 2) demi kepentingan rakyat, malah menjual belantara dengan segala isinya. Padahal menurut Wali Negara (Deklamator Gerakan Aceh Merdeka), alam raya Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup anak-cucu kemudian hari.

Menurut belantara, eufemisme ‘kepedulian’ dan ‘kepentingan’ para pemerhati, yang ditandai dengan menggelar berbagai simposium/traveling, hanyalah untuk menguntungkan mereka dan orang-orangnya. Bukan untuk menyejahterakan rakat/memajukan pendidikan/menjamin kesehatan. Rakyat bagai tanaman rindang yang terus dipupuk/diberi janji dan kebodohan, hingga tak merasa dibodohi. Seperti keledai dungu yang selalu menjadi objek penipuan, bahkan disulap dari propaganda pikiran menjadi pembenaran kesalahan.

Dengan demikian, kata belantara, para pemerhati, harus disepuh, dicuci otak dan nuraninya. Mula-mula diingatkan/dievaluasi/dikritik, hingga timbul kesadaran. Sesungguhnya, keuntungan mereka, justru merugikan kehidupan anak-cucu. Bahkan (walau tak disinggung pengarang) dapat mengancam jiwa dan harta, jika terjadi bencana alam akibat pengikisan/penggundulan belantara. Bila belum sadar juga, sudah saatnya dijatuhkan/digantikan/ditangkap/diadili/dipenjarakan, sehingga pada gilirannya, belantara benar-benar untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Cerpen “Pertaruhan Besar Seorang Suami” karya Bamby Cahyadi, bercerita tentang pertentangan batin lelaki/suami/Bongkor. Antara terpaksa membelikan celana dalam dan beha perempuan/istri/Tiktuk, dengan melawan rasa malu, karena di depan gadis pelayan toko. Bagi Bongkor, pertentangan ini merupakan pertaruhan besar. Karena itu, pembelian hampir batal/tak jadi. Hanya, dalam pertaruhan itu, pengarang memenangkan keterpaksaan/kebutuhan dan mengalahkan rasa malu. Akhirnya Bongkor membelikan pakaian dalam Tiktuk di toko itu.

Barangkali orang lain, hal itu bukanlah persoalan, apalagi pertaruhan besar. Bagi Bongkor, hal itu menyangkut harkat/martabat/harga diri. Harga diri adalah hak individu manusia (terutama lelaki) paling hakiki/esensi, sehingga perlu dilindungi/dipertahankan harkat-martabatnya. Jadi, pertaruhan besar itu, bukan sekedar menutupi rasa malu, juga melindungi harga diri, apalagi dalam situasi-kondisi sekarang ini. Dalam cerpen, Bongkor telah membeli/membayar pakaian dalam Tiktuk, berarti Bongkor telah membeli atau menjual rasa malu dan harga dirinya.

Teknik Pengungkapan

Cerpen “Pertaruhan Besar Seorang Suami” karya Bamby Cahyadi, dibangun dengan gambaran seakan Bongkor hendak melakukan kejahatan seperti merampok/mengebom toko. Apalagi adanya narasi:’Tiba-tiba hatinya bergemuruh/sorot matanya terbersit kenekatan yang tak terelakkan. Matanya menjadi nyalang dan liar’, lalu berkata:”Aku harus masuk ke toko itu, masa bodoh apa yang terjadi nanti!”/Bongkor memeriksa isi ranselnya dan berkata: ”Semuanya komplit”(awal cerpen). Lengkaplah gambaran itu, mengecoh pembaca, hingga tak relevan dengan isi cerpen.

Bongkor tinggalkan toko dan berlari ke taman kota. Di sana, dia tenangkan diri/merokok tetapi batinnya bergolak. Terbayang istrinya sakit/ kecewa datang ke kota/wajah gadis pelayan toko dan akhirnya dengan dasar cintanya pada Tiktuk, Bongkor masuk ke toko. Rupanya, mau membeli celana dalam dan beha, sebab sudah dua hari Tiktuk tak mengganti pakaian dalamnya. Pengungkapan cerpen ini melebar dan menyempit. Melebar karena kebanyakan latar padahal fungsinya sebagai penguatan saja, tetapi menyempit ke hal-hal prinsip tentang pertaruhan besar dan harga diri.

Menurut hemat kita, semestinya pertaruhan besar seorang suami (sesuai judul), hingga mengorbankan harga diri lelaki itulah yang perlu didalami, sebab justru tema/makna inilah yang hendak disampaikan pengarang. Pertaruhan besar dan harga diri tidak sekilas pandang/sekedar gereget saja, karena sesudah itu cerpen pun berakhir. Barangkali, kalau hal-hal ini terpenuhi, akan sekaligus dapat menjawab pertanyaan, mengapa menyertakan istri datang ke kota, apakah kepentingannya, mengapa membawa ransel kalau hanya untuk membeli pakaian dalam saja.

Cerpen “Monolog Belantara” karya Salman Yoga, dibangun dengan monolog bagai pohon yang berakar/bercabang ke mana-mana, dari yang kurang penting sampai kepada hal yang paling penting. Mulai dari hendak menyembunyikan siapa ‘aku’ (hingga 10 paragraf) padahal judulnya sudah menunjukkan siapa ‘aku’ itu dan sayangnya/tak konsisten. Akhirnya diberitahukan juga siapa aku itu (paragraf selanjutnya/mendekati akhir cerpen). Kemudian, ‘aku’ mempengaruhi ‘kau’ menjadi ‘kita’ untuk menentang ‘dia’ atau ‘mereka’ (penguasa/pengusaha/lembaga) yang mencari keuntungan.

Tokoh ‘aku’ menuduh ‘dia’/’mereka’ memanfaatkan belantara untuk memperkaya diri/kelompok. Mengajak ‘kau’/’kita’ untuk mengecam/menghukum ‘dia’/’mereka’ meski tanpa bukti/petunjuk sedikitpun. Bahkan mengolok-olokkan ‘kau’/’kita’ bila percaya mulut manis ‘dia’/’mereka’ yang seakan-akan membela orang-orang kampung yang sedari dulu hidup berdampingan dengan belantara. Kita merasa, monolog belantara bukanlah suaranya belantara, melainkan ide politiknya pengarang. Ungkapan demi kepentiangan rakyat, propokatif, oposisi adalah kenderaan idelogi.

Jeritan batin belantara secara implisit jauh lebih penting/universal/bernilai kemanusiaan belum terungkap. Misalnya, pengundulan belantara berakibat pengikisan hutan/tanah longsor/banjir besar yang dapat mengancam jiwa dan harta. Lebih ironis lagi, berdampak burung-burung kehilangan sangkar/anak-anak kehilangan induk, angin akan kehilangan desaunya. Kalaulah belantara bisa bermonolog, maka jeritan batinnya menangis melihat manusia dan hewan yang hidup berdampingan menjadi terpisah karena mati bergelimpangan. Tidakkah pengarang mendengar jeritan batin itu?

Berbeda dengan kedua cerpen di atas, cerpen “Pemukul Batu” karya Muram Batu yang dibangun dengan dialogis dan dramatis, cukup memikat. “Bukan Bang, aku cuma ingin Abang berpikir normal. Kalau memang mimpi itu membawa pesan, bukan berarti persis dengan yang dia ucapkan. Batu bukan berarti batu!”/”Apa maksudmu? Sudah jelas dia bilang agar aku menghancurkan batu-batu ini agar terhindar dari musibah”(mengutip cerpen). Pertentangan suami-istri antara doktrin tradisi dengan logika kekinian, mengundang keberpihakan pembaca terhadap salah satu opsi tersebut.

Dramatisasi memecah/memukul batu yang dengan keras, tetapi tidak cerdas terus dilakukan, guna menghindari bahaya banjir besar kota Medan, sebagai akibat teguran leluhur Ompu Dohang Batubara, bergerak naik dan menegangkan, hingga menggiring pembaca untuk mengetahui bagaimana akhirnya.Ternyata, akhirnya tanpa akhir, sebab teriak pemukul batu: ”Ompung! Aku sudah berusaha! Kenapa kau tak menghargainya!”(akhir cerpen) dapat berarti, banjir besar ‘mungkin terjadi’ atau ‘tidak terjadi’, walau hujan turun. Akhirnya, Tuhan pun menunjukkan kekuasaannya.
Kampus 5 FKIP-UISU Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar