AKU PENARI
:D. Kemalawati
Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut. Pada wajahku terpaut. Aku telah kalah. Dan tarianku dibusur peracik sirih yang luka
Aku memilih seudati gemuruhnya kutepuk ke dada sendiri.
Tujuh penari dengan sanggul kerucut, dengan riak tumpul dililit melati menganyun puan di resah nganga. Seurune kale dan rapai dabus yang mendayu menawarkan gerak panjang yang gelisah. Para penari meracik sirih, tawarkan ranub masaknya.
Aku terpesona pada hijau daun sirih, pada pinang yang terkepit dan pada cengkeh yang memata. tertata dalam ceurana.
Entahlah, pinto Aceh angkuh menghalang pandang. Tanpa penyangga. Di lampu hias bergantung, rantai besi menyisip misteri.
Seulanga, Jeumpa, irisan pandan menyatu dalam perasan jeruk purut.
Pada rahasia terpaut
Walau kalah, aku tetap memilih seudati alirnya kukayuh di darah sendiri. Dan tarianku tarian peracik sirih yang bebas pada segala.
Ah!
Medan , 2007
SURAT II
kuterima suratmu yang menjelma
muara segala air mata dari aliran
sungai sepanjang derita, padahal
aku rindu danau kabarmu yang
mengalirkan air dari telaga do’a
sepenuh bahagia
Medan, 2010
JEJAK PERJALANAN
lalu sebuah perjalanan kata menapakkan
jejak pada tanah keterasingan
di saat pena kehabisan tinta segala peristiwa
yang catatannya sempat tertinggal di bawah
pengab bantal
temaram lampu teplok menarikan sepi
Angin yang tiba-tiba menampar daun jendela
Melepaskan geram pada riuh sengketa kata
Padahal waktu telah cukup lama merentangkan
Jaring-jaring kalender dan patuk pelatuk waktu
Yang seketika mendatangkan segala debar
temaram lampu teplok membenam cahaya,
ah!
Puisi Deddy Arsya
Odong-odong Fort de Kock
: untuk Faiz Kecil
Lihat paru-paruku ini, Ayah, sepasang sayap rama-rama,
seperti harga tomat orang Alahanpanjang, mengepak naik turun.
Ketika tidur, kau dengar, bergemuruh seperti siul entah dengkur.
Aku memecahkan gelas kristal di Ramayana, Ayah
gelas itu mirip susu ibu, berkilau seperti matamu.
Aku menangis ingin naik odong-odong di Fork de Kock
tapi ibu memukulku dengan tangkai sapu tersudu.
"perangaimu seperti perangai ayahmu.
Inginmu banyak, ini aku jangkau itu kau tuju,
bunuh sajalah aku!"
Jagung manis dipanggang orang di bawah Jam Gadang, Ayah
Gadis Pandai Sikek menjual kacang remang di Lubang Jepang
Aku ingin lemang hangat-hangat dari Pariaman arah ke Sianok.
Lilitan sarung itu ke leherku, Ayah, orang darat tak tahan dingin,
syal di Pasar Bawah lebih mahal dari sadel sepeda roda tiga.
Bawa aku ke Padang saja, aku ingin sup sirip hiu, dan rendang cumi.
Kepala ikan kerapu lebih murah dari itik serati orang Koto Gadang.
Tukang Obat di Pasar Kambang
Kau kata ini belang harimau
Harimau datang nan dari Campa
Kau kata ini gelang pengikat "mau"
Mau datang nan dari tiada
Aku kirim ini pantun
Pantun empunya Malin Karimun
Entah Nias entah Padang
Tapi tinggal di Lubuk Basung
Kau kata ini gajah sembarang gajah
Gajah datang nan dari Lampung
Kau kata ini rajah sembarang rajah
Rajah untuk penikam jantung
Ini rajah pekasih Malin Karimun
Aku tanam di dalam pantun
Boleh kau beli boleh tidak
Asal menawar berapa hendak
Kuda Batak
Tuanku berpedang ketopong yang ujungnya pesong,
sekali sampai juga kau ke Pariaman mengejar kami.
Apakah yang harus kami beri sebagai tanda telah ingkar janji?
Kami tak akan menitah, kapal kami itu lihatlah telah remuk pecah.
Segala garam dagang kami kembali ke asal sebelum dibakar api.
Maka kami serahkan ini yang tersisa, terimalah dengan tangan kuat menggenggam.
Sebab lihat itu ringkiknya, terjangnya, sepaknya, ahoi, barangkali memang
dibawa Wulanda dari Bima, dari Sumba, dari padang sabana betapa luasnya.
Tapi orang kata: “Ini kuda Batak, Tuan, kuda hasil curian, betul kuda Singamangaraja!”
Tuanku berpedang ketopong yang ujungnya pesong,
telah lewat Barus telah lewat Tiku, telah kau dengar kabar
musim duku di Pasemah, telah bersua orang ke Curup memikul kopi.
Dengan ini tongkang bercadik ekor pari, sejauh itu Engku buru kami.
Pedangmu tajam, leher kami tinggi, tidak lagi kami akan melawan.
Pantai barat kepinding ini telah hancurkan dagang segala jurusan.
Kerani dan pialang membawa lari sekalian kami punya piutang.
Maka kami serahkan ini kuda, setali dengan pelananya.
Sebab lihatlah, pantatnya labu Siam, kepalanya hiu merjan, ahoi, barangkali
memang bukan datang dari pulau ini. Tapi orang kata: “Ini kuda Batak punya, Tuan,
dibawa pidari dari penyerangan ke Toba!”
Tuanku berpedang ketopong….
Deddy Arsya lahir 15 Desember 1987 di Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kini ia tengah menempuh studi pascasarjana Ilmu Sejarah di Universitas Andalas, Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar