Selasa, 31 Mei 2011

MENAPAKI JEJAK KOMUNITAS SASTRA PRAKEMERDEKAAN INDONESIA: Dari Rusydiah Klub hingga Pujangga Baru

Iwan Gunadi

Kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra sejak 1990-an secara faktual dapat dirujuk hingga hingga jauh ke masa silam. Pada era kerajaan-kerajaan, ketika tradisi tulisan sudah dikenal, para pujangga bekerja dengan dukungan komunitasnya, terutama dukungan raja. Para pujangga bekerja memadukan fakta dan titah atau keinginan raja dalam suatu karya sastra. Artinya, mereka bekerja sebagai salah satu pranata yang turut mendukung keberlangsungan kerajaan dan keagungan raja.

Setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada awal abad ke-15 dan agama Islam mulai menyebar di Jawa, ternyata, bukan hanya kerajaan yang menjadi pendukung perkembangan kesusastraan. Aktivitas pendidikan keagamaan yang dikembangkan para ulama juga menjadi penyokong lain dari perkembangan kesusastraan. Tome Pires, musafir Portugis yang berkunjung ke Jawa pada abad ke-15, dalam Summa Oriental menulis bahwa dia melihat kegiatan para ulama yang luar biasa di bidang keagamaan, kesenian, dan kerajinan.

Contoh nyata adalah apa yang dilakukan Sunan Bonang, salah seorang dari sembilan wali—terkenal dengan sebutan Wali Sanga—yang menjadi penyebar utama agama Islam di Jawa. Selain sebagai agamawan, Sunan Bonang memang dikenal sebagai sastrawan. Melalui karya sastranya besutan pada abad ke-16, yakni Suluk Wujil, kita tahu bahwa dia menjadi pengayom kegiatan sastra di antara kegiatan pendidikan agama yang dilakukannya. Salah satu santri yang mengikuti kegiatan tersebut adalah mantan pelawak di Keraton Majapahit yang bertubuh cebol (wujil). Di suluk itu diceritakan bahwa dia sudah sepuluh tahun nyantri kepada Sunan Bonang dan menguasai sastra Arab secara fasih, tapi dia belum menemukan sesuatu yang hakiki yang dicarinya.[1]

Deskripsi tersebut mengesankan bahwa ada kegiatan sastra dilakukan di antara kegiatan keagamaan. Kalau ada kegiatan sastra, tentu, ada komunitas sastra yang mendukungnya, walau komunitas sastra itu tak persis sama seperti komunitas sastra pada saat ini. Artinya, komunitas menjadi basis penyebaran atau dakwah Islam dan kesenian tradisional menjadi media yang efektif agar penyebaran atau dakwah Islam itu menjadi kontekstual dengan napas masyarakat yang akan menghirupnya. Jadi, pada masa awal penyebaran Islam di Jawa, komunitas sastra menjadi bagian yang “terselubung” dari komunitas agama.

Peran penting kerajaan dalam mengembangkan kesusastraan dan kebudayaan juga ditunjukkan di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau (Kepri), pada abad ke-19. Pada awal abad tersebut, kesenian—termasuk kesusastraan—dan kebudayaan Melayu berkembang pesat di pulau seluas sekitar 240 hektare di seberang barat Pulau Bintan itu. Saat itu, kegiatan tulis-menulis dipandang sebagai pekerjaan mulia yang bisa dilakukan siapa saja, sehingga kesusastraan Melayu berkembang pesat dan buku-buku sastra banyak diterbitkan.

Tahun 1890-an, percetakan Mathba’atul Riauwiyah dan Mathba`atul Al Ahmadi dibangun untuk menyebar-luaskan karya-karya yang dihasilkan putra-putri Pulau Penyengat. Sebuah kelompok bernama Rusydiah Klub yang beranggotakan intelektual dan sastrawan Melayu juga dibentuk pada 1895 sebagai forum bersama untuk mengembangkan sastra dan budaya Melayu, yakni Rusdiyah Klub. Boleh jadi, itulah komunitas sastra—sekurangnya komunitas penulis—pertama yang telah memiliki kesadaran berorganisasi atau berkelompok di wilayah yang kemudian bernama Indonesia. Atau, bahkan, itulah organisasi modern pertama di Indonesia yang hadir mendahului Djamiat Chair di Jakarta dan Sarekat Dagang Islam di Solo, misalnya.

Dari pulau kecil bertanah merah itu kemudian lahir banyak tokoh penulis dan sastrawan produktif yang keberadaannya di kenal luas di Semenanjung Tanah Melayu. Salah seorang pengarang produktif yang dikenal pada masa itu adalah Raja Haji Ahmad Engku Tua, putra tertua Raja Haji Fisabillilah. Raja Haji Ahmad Engku Tua menulis banyak syair seperti Syair Engku Puteri dan Syair Perang Johor serta menyusun kerangka tulisan buku Tuhfat An-Nafis yang penulisannya kemudian dilanjutkan putranya, Raja Ali Haji. Lelaki kelahiran Penyengat Indera Sakti pada 1808 dan meninggal pada 1873 ini kemudian terkenal dengan karya-karya besarnya, seperti Gurindam XII, Syair Abdul Muluk, Syair Suluh Pegawai, Syair Siti Shianah, dan Syair Sinar Gemala Mestika Alam. [2]

Contoh konkret dari era kerajaan yang lebih akhir diberikan Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Di sana, kebudayaan dan kesusastraan Jawa berkembang dan terpelihara dengan baik. Begitu juga di Kesultanan Langkat, Sumatra Utara, pada awal abad ke-20, kebudayaan dan kesusastraan Melayu berkembang dan terpelihara dengan baik. Salah satu penyebabnya, membaca dan mendengarkan hikayat dan syair menjadi kegemaran orang-orang terkemuka dan rakyat. Mendengarkan pembacaan hikayat dan syair merupakaan kebiasaan di kalangan penduduk asli Langkat asli, baik lelaki maupun perempuan. Kebiasaan tersebut dilakukan pada waktu senggang, terutama pada malam hari. Pembaca syair atau pencerita hikayat itu adalah orang yang memang ahli. Sultan Langkat juga sering menyuruh anak-anaknya, termasuk Amir Hamzah, untuk membaca syair atau menceritakan hikayat kesusastraan Melayu di hadapannya dan sering pula sembari dihadiri orang lain.[3] Aktivitas semacam itulah yang sekarang dikenal sebagai salah satu bentuk kegiatan komunitas sastra.

Boleh jadi, Majalah De Gids di Belanda hanya mengokohkan para penganut paham tradisional yang menempatkan kesusastraan hanya sebagai alat berkhotbah. Karena itu, kalangan penulis dan penyair muda yang kemudian membentuk Tachtigers (Angkatan 1880) tertantang menyusun majalah tandingannya, De Nieuwe Gids. Meski Tachtigers kemudian turut memengaruhi satu paruh dalam sejarah kesusastraan modern Indonesia, boleh jadi pula, pengaruh itu tak akan mewujud kalau tidak diawali pengaruh yang ditimbulkan pandangan-pandangan sebagaimana yang ditulis Conrad Theodore van Deventer pada salah satu edisi Majalah De Gids.

Pada nomor 63, 1899, Majalah De Gids menurunkan tulisan Deventer yang bertajuk “Een Eereschuld” atau “Utang Kehormatan”. Artikel tersebut menilai sistem tanam paksa yang diterapkan Kerajaan Belanda di Hindia Belanda sejak 1830 dan sistem liberal sejak 1870 sebagai politik drainage alias politik pengeringan atau pengerukan kekayaaan. Kedua sistem tersebut mengeruk segala kekayaan negeri jajahan, terutama di Jawa dan tidak meningggalkan sedikit pun untuk menyejahterakan penduduk negeri jajahan. Padahal, menurut Van Deventer, pada 1978, Kerajaan Belanda telah menerbitkan Undang-Undang Anggaran Belanja (Comptabiliteitswet), yang menggariskan bahwa sebagian pendapatan negara harus disediakan untuk keperluan-keperluan negeri jajahan. Maksudnya, sejak 1978, negeri jajahan seharusnya memiliki anggaran belanja sendiri. Tapi, amanat undang-undang tersebut tak pernah dijalankan secara konsekuen, menurut Van Deventer, sehingga Kerajaan Belanda berutang kepada Hindia Belanda. Sampai dengan 1899, ketika tulisan itu diterbitkan, Van Deventer mengalkulasi, jumlah utang itu mencapai 187 juta gulden. Utang tersebut, tandasnya, harus dilunasi Kerajaan Belanda kepada masyarakat Hindia Belanda sebagai suatu kewajiban moral.[4]

Utang kehormatan atau utang budi itu, menurut Deventer, harus dikembalikan kepada penduduk Hindia Belanda dengan jalan: (a) memperkecil dan mengurangi penderitaan penduduk Hindia Belanda; (b) memberantas hal-hal yang menghambat kemajuan penduduk Hindia Belanda; dan (c) memajukan pengajaran di Hindia Belanda. Untuk itu, Deventer mengimbau atau menganjurkan Kerajaan Belanda memperhatikan tiga hal yang dianggapnya sangat penting bagi penduduk Hindia Belanda. Ketiganya adalah irigasi atau pengairan, emigrasi atau pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah yang jarang penduduk, dan edukasi atau pendidikan.[5]

Di Belanda, pandangan seperti itu sesungguhnya tak hanya bersemayam di kepala Deventer. Perasaan bertanggung jawab untuk membalas budi itu mulai merebak di kalangan intelektual Belanda pada saat itu. Mereka risau, pertumbuhan kapitalisme modern di negeri jajahan mengabaikan nilai-nilai humanisme. Karena itu, mereka merasa terpanggil untuk mengingatkan bangsa mereka, terutama para penguasa di Belanda, tentang bahaya-bahaya dehumanisasi di negeri jajahan yang berkaitan dengan penerapan sistem kapitalisme. Peringatan itu menjadi efektif tak lepas dari kondisi konfigurasi politik di Belanda sendiri yang dikuasai para penganut paham politik etis. Karena itulah, pada pidato pembukaan sidang Parlemen Belanda pada 1901, Ratu Belanda mencanangkan sistem politik baru untuk negeri jajahan, yakni politik etis.[6]

Tindakan-tindakan melalui pembaruan dan perluasan di bidang pendidikanlah yang kemudian menyorongkan akibat yang jauh pada perkembangan masyarakat Hindia Belanda.[7] Bahkan, perluasan pendidikan gaya Barat ini dinilai sebagai tanda resmi politik etis. Pendidikan tersebut tak hanya menghasilkan jenis tenaga kerja yang diperlukan lembaga Pemerintah Hindia Belanda dan kegiatan bisnis swasta Belanda, tapi juga menjadi alat utama untuk “mengangkat” bumiputra dan menuntun mereka menuju modernitas serta “persatuan Timur dan Barat”. Tak heran jika pendidikan gaya Barat itu berkembang luas pada pengujung abad ke-19 dan dua dekade pertama abad ke-20. Pada 1893, dua jenis sekolah dasar untuk bumiputra dibentuk. Satu, eerste klass inlandsche scholen (sekolah bumiputra angka satu) untuk anak-anak priyayi dan mereka yang berasal dari kalangan berada. Dua, tweede klass inlandsche scholen (sekolah bumiputra angka dua) untuk anak-anak dan rakyat kebanyakan. Lihat, misalnya, jumlah sekolah bumiputra angka dua melonjak dari 1.387 sekolah pada 1900 menjadi 1.942 sekolah pada 1905, 3.127 sekolah pada 1910, 3.400 sekolah pada 1915, dan 4.213 sekolah pada 1920. Jumlah muridnya sendiri melambung dari 98.173 murid menjadi masing-masing 161.816 murid, 232.629 murid, 320.974 murid, dan 357.970 murid.[8]

Dari kalangan terdidik seperti itulah, kemudian muncul kesadaran sebagai suatu bangsa. Awalnya, “embrio bangsa” tersebut diungkapkan melalui surat kabar pribumi. “Embrio bangsa” menguat setelah memperoleh wadah dalam suatu organisasi untuk memajukan atau mengembangkan suatu kelompok masyarakat. Bukan lagi kata-kata. Awalnya, fokus sejumlah organisasi pioner adalah pendidikan atau kebudayaan, walau ada beberapa yang bertolak dari perdagangan. Maklum, organisasi politik memang tak diperbolehkan pada saat itu. Seiring perputaran waktu dan perubahan keadaan, solidaritas kesukuan atau kelompok yang dikembangkan berbagai organisasi mulai mengristal menjadi solidaritas kebangsaan. Pijakan nasionalisme yang lebih tegas berhasil ditularkannya ke pelbagai kelompok sosial, termasuk pelbagai organisasi yang bermula dari solidaritas kesukuan dan kelompok. Pertentangan antara penjajah dan pihak yang dijajah makin lama makin memengaruhi kehidupan kaum terdidik di kota-kota besar di Hindia Belanda. Ancaman bahaya Perang Dunia I makin mengokohkan pertentangan itu. Posisi tawar penduduk Hindia Belanda bertambah kuat. Akhirnya, pada 1918, Dewan Rakyat atau Volksraad didirikan di Jakarta. Perjuangan politik sudah menemukan wadahnya. Organisasi-organisasi politik pun tumbuh.[9]

Di tengah kegairahan mewujudkan nasionalisme menjadi kemerdekaan yang dikobarkan para pelaku media massa dan organisasi politik itu, berkembang pula kegairahan berdiskusi di antara mereka. Di tengah-tengah diskusi yang mengusung persoalan-persoalan kebangsaan, terselip pula perbincangan-perbincangan tentang kebudayaan dan kesenian, termasuk kesusastraan. Pada tititk-titik tertentu, perbincangan tentang kebudayaan dan kesenian, termasuk kesusastraan, itu menjadi bagian dari perbincangan tentang kebangsaan, terutama masa depan menjadi Indonesia yang merdeka. Perbincangan-perbincangan yang kemudian menjadi rutinitas itulah yang akhirnya dapat ditengarai sebagai pembentukan komunitas. Komunitas-komunitas itu tak hanya melibatkan kalangan bumiputra, tapi tak jarang juga kalangan keturunan asing, seperti Tionghoa atau Indo.

Lihat saja apa yang dilakukan Kwee Tek Hoay pada awal abad ke-20 dengan acara silaturahminya. Pengarang keturunan Tionghoa itu sering mengundang teman-temannya berkumpul di rumahnya untuk bertukar pikiran. Lingkungan pergaulan Kwee Tek Hoay memang luas. Tapi, banyak pihak lebih menengarainya sebagai sastrawan dan memang di posisi itulah dia sangat menonjol. Artinya, pertukaran pikiran yang digelar di rumahnya bukan mustahil terjadi juga dengan sesama sastrawan atau peminat sastra.

Bahkan, Kwee Tek Hoay pernah memrakarsai organisasi perempuan pengarang pada akhir 1920-an. Anggotanya berasal dari Jakarta, Sukabumi, Bogor, Bandung, serta beberapa kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi.[10] Jumlah mereka awalnya sekitar 30 orang. Organisasi tersebut bermula dari Rubrik “Halaman Perempoean” yang sengaja dibuka Kwee Tek Hoay pada Majalah Panorama yang diasuhnya selama 1926-1933. Rubrik tersebut dihadirkannya untuk mengembangkan bakat-bakat kaum perempuan dalam mengekspresikan diri. Mereka dianjurkan menyumbangkan tulisan dalam bentuk syair, cerita, dan esai. Banyak perempuan muda meresponsnya. Sebagian besar dari mereka menyumbangkan syair dan cerita pendek (cerpen). Karena perhatian terhadap rubrik itu begitu besar, Kwee Tek Hoay menyarankan kepada salah seorang dari perempuan penulis itu merintis sebuah persatuan journaliste. Kelompok itu pun dibentuk. Bahkan, untuk menjadi anggota kelompok itu, salah satu syaratnya, calon anggota harus membentuk suatu perhimpunan atau persatuan di kota masing-masing dengan tujuan memajukan kaum perempuan. Hubungan antaranggota dilakukan melalui korespondensi. Tapi, mereka pernah satu kali bertemu bersama melalui acara tamasya. Sayangnya, tak banyak di antara anggota komunitas ini yang menjadi pengarang produktif. Tampaknya, usia organisasi ini pun tak lama. Menikah dan berumah tangga menjadi alasan umum mereka untuk menghentikan aktivitas mereka di komunitas ini.[11]

Meski begitu, boleh jadi, itulah komunitas sastra yang pertama dengan anggota khusus perempuan. Yang luar biasa, ketika hubungan transportasi darat dan laut saja masih jarang serta komunikasi via telepon masih sangat jarang, sehingga komunikasi antaranggota umumnya dilakukan melalui surat-menyurat, komunitas sastra tersebut mampu mengumpulkan anggota dengan cakupan wilayah yang tergolong luas.

Untuk menyokong semangat pergerakan nasional, pada periode yang sama, 1920-an dan 1930-an, banyak tokoh nasional, termasuk para sastrawan, mencoba mencari dan merumuskan identitas kebudayaan Melayu (baca: Indonesia): apakah kebudayaan Melayu mesti digali dari khazanah asli kebudayaan yang hidup di Nusantara atau berkaca pada kebudayaan Barat. Di bidang kesusastraan, pertanyaan tersebut dijawab Sutan Takdir Alisjahbana dengan mencoba menerobos aturan-aturan yang kaku yang selama ini diberlakukan Balai Pustaka. Takdir menginginkan hadirnya kesusastraan baru yang berkaca pada kesusastraan Barat, yang notabene becermin pada kebudayaan Barat. Di wilayah yang disebut terakhir itu pula sesungguhnya sasaran akhir gagasan Takdir secara menyeluruh. Latar seperti itu pula yang menjadi habitat upaya penerbitan Majalah Pujangga Baru lengkap dengan komunitas pendukungnya.

Mulanya, konsep “Pujangga Baru” merupakan sebuah upaya Takdir menggagas tradisi kesusastraan Melayu yang baru di Hindia Belanda di bawah pengaruh kebudayaan Barat. Sebab, menurutnya, hanya dengan pendekatan baru di bawah pengaruh kebudayaan Barat, kesusastraan Melayu dapat diperkaya. Melalui gagasan tersebut, Takdir seperti membayangkan akan adanya suatu pencerahan dalam tradisi kesusastraan Melayu sebagaimana yang pernah dicapai Tachtigers (Angakatan 1880) yang menunjukkan kebangkitan kembali kesusastraan Neoromantik di Belanda pada abad ke-19. Kritik-kritik Takdir pada kesusastraan yang berkembang selama 1920-an pun sering menggunakan terminologi Tachtigers.

Gagasan itu ingin dijadikan Takdir sebagai suatu gerakan. Untuk itu, dia mencoba mencari dukungan. Ketika Armijn Pane mendukung gagasannya, Takdir menyatakan pentingnya dibentuk organisasi pengarang yang siap mendukung dan menyebarluaskan gagasan itu. Tapi, Armijn tak setuju. Yang lebih utama, menurutnya, adalah penerbitan majalah kesusastraan yang bebas, tidak seperti yang dilakukan Majalah Balai Pustaka dengan kebijakan redaksional yang membatasi. Perhimpunan pengarang tanpa penyambung lidah, tambahnya, amat kecil artinya dalam mencapai tujuan. “Kalau sudah ada majalah itu, akan adalah pemartabatan pujangga semuanya, sedang kalau ada perkumpulan dan tiada majalahnya, maka maksud perkumpulan itu tiada akan banyak tercapai,” tulis Armijn kepada Takdir dalam satu suratnya tertanggal 18 November 1932.

Sambil terus mencari dukungan dari pengarang-pengarang muda dari pelbagai pelosok Nusantara, yang dilakukan melalui surat edaran yang dibikin Armijn, Takdir dan Armijn terus mengupayakan kehadiran penerbitan majalah kesusastraan itu. Januari 1933, Armijn menyambangi Jakarta. Dalam pertemuan dengan Takdir dan Amir Hamzah, teman Armijn ketika di algemene middelbare school (AMS) Solo, Jawa Tengah, anggaran dasar yang telah disusun Armijn untuk pembentukan organisasi pengarang didiskusikan. Tujuannya adalah memajukan dan meningkatkan kesusastraan Indonesia berdasarkan bahasa Melayu (sic!) dan kegiatan utama untuk mencapai tujuan itu adalah penerbitan majalah sastra. Hasil pertemuan itu kemudian disosialisasikan melalui surat edaran kepada 40 nama yang sebelumnya pernah disurati Armijn. Surat edaran tersebut terutama untuk menjajaki respons para pengarang itu tentang mana yang akan didahulukan: organisasi pengarang atau majalah. Ternyata, pendapat Armijn yang menang: mereka setuju agar dimulai dengan penerbitan majalah sebelum dibentuk organisasi pengarang. Akhirnya, nomor pertama majalah itu terbit pada Juli 1933. “Nama majalah itu ialah Pujangga Baru, sebab majalah itulah akan jadi penambat pujangga-pujangga muda, pujangga-pujangga baru yang sekarang. Di situlah mereka itu bersuara sebebas-bebasnya,” tulis surat edaran tertanggal 8 Februari 1933.[12]

Namun, setelah kekuasaan Hindia Belanda beralih dari Belanda ke Jepang, cita-cita perjuangan Pujangga Baru gagal menarik minat para sastrawan generasi berikutnya. Cara pendekatan Pujangga Baru yang bersifat romantis, sentimental, dan kedaerahan dianggap tak sesuai sama sekali untuk suasana yang menuntut tindakan, bukan impian.[13]. Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) yang didirikan Pemerintah Jepang di Jakarta juga hadir untuk mengorganisasi para pengarang dan seniman Indonesia selama 1942-1945 demi tujuan politisnya[14].

Tulisan ini pernah diterbitkan Majalah Sagang (Pekanbaru) Edisi 151, April 2011.

[1] Abdul Hadi W.M., “Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk” dalam Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber: Esei-esei Sastra Profetik dan Sufistik (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 120-142), hlm. 133.

[2] Suara Karya (Jakarta), 13 Agustus 2006, mengutip berita Antara yang ditulis Maryati.

[3] Sagimun M.D., Pahlawan Nasional Amir Hamzah (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 40.

[4] R.Z. Leirissa, Terwujudnya Suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950 (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1985), hlm. 22.

[5] Sagimun M.D., Jakarta: Dari Tepian Air ke Kota Proklamasi (Jakarta: Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, 1988), hlm. 179-180.

[6] R.Z. Leirissa, ibid., hlm. 22-23.

[7] Ibid., hlm. 24.

[8] Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 37.

[9] R.Z. Leirissa, ibid., hlm. 44-50.

[10] Myra Sidharta, “Kesastraan Melayu Tionghoa”, dikutip dari situs web Indonesia Media Online, Mei 2000.

[11] Myra Sidharta, “Bunga-bunga Di Taman Mustika: Pandangan Kwee Tek Hoay Terhadap Wanita dan Soal-soal Kewanitaan”, dalam Myra Sidharta, penyunting, 100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989, hlm. 55-82), hlm.57-58.

[12] Keith Foulcher, Pujangga Baru; Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, terjemahan Sugiarta Sriwibawa (Jakarta: PT Girimukti Pasaka, 1991), hlm.14-23.

[13] A. Teeuw, (1980), ibid., hlm. 149.

[14] Pamusuk Eneste, editor, Buku Pintar Sastra Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 122.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar